Disusun oleh:
KINTAN YAUMI LAILATIL QODRI
(P1337434119105)
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue merupakan infeksi yang disebabkan virus dengue, virus RNA
rantai tunggal yang masuk kelompok B Arbovirus , famili Flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus
dengue yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4, yang disebarkan oleh Aedes aegypti
dan Aedes albopictus dan bisa bermanifestasi sebagai Dengue Fever , Dengue Hemorrhage
Fever , dan Dengue Shock Syndrome . Penyakit ini endemik terutama di wilayah tropis dan
subtropis seperti Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat.
Provinsi Bali termasuk salah satu provinsi dengan incidence rate per 100.000 penduduk
tertinggi yakni 75,42 setelah Sulawesi Selatan yang mencapai 76,16. Jumlah kasus yang terjadi
di Bali mencapai 2.996 dengan CFR 0,23%. Infeksi primer oleh satu serotipe virus bisa berupa
Dengue fever atau DHF. Rapid Diagnostic Test merupakan uji cepat menggunakan teknik
immuno chromatographic test dengan dipstick yang mendeteksi antibodi pada serum, plasma,
atau darah segar. Alat ini mempunyai tiga pita atau garis . Pita pertama adalah kontrol yang
harus selalu muncul pada saat tes dilakukan, sedangkan dua pita yang lain yaitu M dan G
mengandung colloidal gold conjugate anti IgM dan IgG yang akan berubah warna menjadi
merah maroon atau ungu apabila hasilnya positif.
HASIL
Berdasarkan data yang diperoleh dari Laboratorium Klinik RS Balimed periode
Januari-Juni 2014 didapatkan 454 pasien suspek DBD yang terdiri daro 243 laki-laki (53,52%)
dan 211 perempuan (46,48%). Sampel dibagi 6 kelompok usia yaitu 101 kelompok usia 0-5
(22,25%), sebanyak 90 berusia 6-11 tahun (19,82%), sebanyak 92 berusia 12-25 tahun
(20,26%), sebanyak 129 berusia 26-45 tahun (28,41%), sebanyak 31 berusia 46-65 tahun
(6,83%), dan sebanyak 10 berusia lebih dari 65 tahun (2,20%). Jumlah sampel tertinggi yaitu
laki-laki dan kelompok usia 26-45 tahun seperti yang tertera pada Tabel 1
Berdasarkan hasil pemeriksaan serologis 454 sampel suspek DBD di Laboratorium Klinik RS
Balimed didapatkan hasil seropositif sejumlah 366 (80,61%), sebanyak 61 (13,43%) berupa
IgM (+), sebanyak 238 (52,42%) IgG (+) dan sebanyak 67 (14,75%) IgM (+) & IgG (+). Selain
hasil seropositif didapatkan pula hasil seronegatif sejumlah 88 (19.4%) berupa IgM (- ) & IgG
(-). Sejumlah 13,16% laki-laki yang mengalami infeksi dengue primer dan 12,79% perempuan.
Sedangkan yang mengalami infeksi dengue sekunder sejumlah 68,72% laki-laki dan 65,40%
perempuan. Kelompok usia 6- 11 tahun memiliki persentase infeksi dengue primer tertinggi
dibandingkan kelompok usia lainnnya yaitu 26,66%. Kelompok usia 26-45 tahun memiliki
persentase infeksi dengue sekunder tertinggi dibandingkan kelompok usia lainnnya yaitu
82,17%. Untuk melihat distribusi data berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia secara
lengkap, dapat dilihat pada Tabel 2.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan serologis dengue di Laboratorium Klinik RS Balimed
periode Januari sampai Juni 2014 didapatkan seroprevalensi sejumlah 13,43% dengue primer
sedangkan sejumlah 67,18% dengue sekunder. Sehingga didapatkan seroprevalensi dengue
sekunder lebih tinggi dibandingkan dengue primer. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian
yang dilakukan oleh Irwadi dkK, pada tahun 2007 di Makassar mengenai Gambaran Serologis
IgM-IgG Cepat dan Hematologi Rutin Penderita DBD yang menyatakan seroprevalensi
sejumlah 12% dengue primer dan sejumlah 82% dengue sekunder. Laki-laki yang mengalami
infeksi dengue primer sejumlah 13,16% dan 12,79% perempuan. Sedangkan laki-laki yang
mengalami infeksi dengue sekunder sejumlah 68,72% dan 65,40% perempuan. Dari data di
atas didapatkan seroprevalensi infeksi dengue pada laki-laki sejumlah 81,89% dan perempuan
sejumlah 78,19%. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih rentan terhadap DBD
terkait aktivitas atau pekerjaan di luar rumah saat siang hari yang merupakan waktu paparan
terhadap vektor virus dengue dan laki-laki lebih rentan mengalami infeksi dengue
dibandingkan perempuan. Kelompok usia 25-46 tahun ini juga memiliki persentase tertinggi
infeksi dengue sekunder yaitu 82,17%, hal ini menunjukkan kelompok dewasa pun tidak
memiliki imunitas yang cukup untuk infeksi dengue dengan serotipe berbeda. Hal yang
menyebabkan tingginya kasus hal ini dikarenakan kelompok usia ini adalah kelompok usia
produktif yang memiliki kegiatan pada siang hari lebih banyak baik di dalam ruangan maupun
di luar ruangan, mobilisasi tinggi, interaksi dengan orang lain juga tinggi sehingga
memudahkan vektor yakni nyamuk Aedes aegypti untuk menularkan virus dengue. Hal ini
ditunjang oleh penelitian di Yogyakarta yang menyebutkan kondisi kerja seperti duduk diam
dan aktivitas di dalam gedung memililiki risiko lebih tinggi terpapar vektor virus dengue
dibandingkan aktivitas berkeliling di lapangan. 8 Penelitian Jalily pada tahun 2013 di India
yang meneliti 113 sampel DBD yang dilakukan pemeriksaan serologis didapatkan kasus
dengue tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-30 tahun sejumlah 42%. Berbeda halnya
dengan infeksi dengue sekunder, infeksi dengue primer dengan persentase tertinggi terjadi pada
pada kelompok usia 6-11 tahun yaitu 26,66%.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan serologis pada 454 sampel suspek DBD di
Laboratorium Klinik RS Balimed didapatkan hasil seropositif sejumlah 366 (80,61%) berupa
IgM (+) sejumlah 61 (13,43%), IgG (+) sejumlah 238 (52,42%), dan IgM (+) & IgG (+)
sejumlah 67 (14,75%), sehingga seroprevalensi dengue primer sejumlah 13,43% sedangkan
seroprevalensi dengue sekunder sejumlah 67,18%. Prevalensi infeksi dengue primer dan
sekunder pada lelaki (81,89%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (81,89%). Infeksi dengue
primer tertinggi terjadi pada kelompok anak-anak (26,66%), sedangkan infeksi dengue
sekunder tertinggi pada kelompok dewasa (82,17%).
GEJALA RUBELA BAWAAN (KONGENITAL) BERDASARKAN
PENDAHULUAN
Definisi Congenital Rubella Syndrome Rubella atau campak Jerman adalah penyakit
yang disebabkan oleh infeksi virus rubella. Tujuh puluh persen kasus infeksi rubella di orang
dewasa menyebabkan terjadinya atralgi atau artritis. Jika infeksi virus rubella terjadi pada
kehamilan, khususnya trimester pertama sering menyebabkan Congenital Rubella Syndrome.
CRS merupakan gabungan beberapa keabnormalan fisik yang berkembang di bayi sebagai
akibat infeksi virus rubella maternal yang berlanjut dalam fetus. Nama lain CRS ialah Fetal
Rubella Syndrome.
Epidemiologi
Congenital Rubella Syndrome pertama kali dilaporkan pada tahun 1941 oleh Norman
Greg seorang ahli optalmologi Australia yang menemukan katarak bawaan di 78 bayi yang
ibunya mengalami infeksi rubella di awal kehamilannya. Berdasarkan data dari WHO paling
tidak 236 ribu kasus CRS terjadi setiap tahun di negara berkembang dan meningkat 10 kali
lipat saat terjadi epidemi. Di Amerika Serikat tahun 1964–1965 dilaporkan terdapat 20.000
kasus CRS dengan 11.600 gangguan pendengaran, 3.580 kebutaan dan 1.800 retardasi mental.
Untuk negara-negara di Asia Tenggara, kasus CRS tahun 1999 per jumlah penduduk
dilaporkan sebagai berikut:
Virus Rubella
Struktur virus
Virus rubella diasingkan pertamakali pada tahun 1962 oleh Parkman dan Weller. Virus
rubella memiliki 3 protein struktural utama yaitu 2 glycoprotein envelope, E1 dan E2 dan 1
protein nukleokapsid. Virus rubella dapat dihancurkan oleh proteinase, pelarut lemak,
formalin, sinar ultraviolet, PH rendah, panas dan amantadine tetapi nisbi rentan terhadap
pembekuan, pencairan atau sonikasi.
Virus Rubella (VR) terdiri atas dua subunit struktur besar, satu berkaitan dengan envelope virus
dan yang lainnya berkaitan dengan nucleoprotein core.
Antigenicity
Virus rubella memiliki sebuah hemaglutinin yang berkaitan dengan pembungkus virus
dan dapat bereaksi dengan sel darah merah anak ayam yang baru lahir, kambing, dan burung
merpati pada suhu 4oC dan 25oC dan bukan pada suhu 37oC. Aktivitas komplemen
berhubungan secara primer dengan envelope, meskipun beberapa aktivitas juga berhubungan
dengan nukleoprotein core.
Replika virus
Virus rubella mengalami replikasi di dalam sel inang. Siklus replikasi yang umum
terjadi dalam proses yang bertingkat terdiri dari tahapan: 1 perlekatan, 2 pengasukan , 3
diawasalut , 4 biosintesis, 5 pematangan dan pelepasan. Proses ini melibatkan beberapa
mekanisme, yaitu: 1 penggabungan envelope virus dengan membrane sel inang , 2 pengasukan
langsung ke dalam membrane, 3 interaksi dengan tempat penerima membrane sel, 4 viropexis
atau fagositosis. Setelah memasuki sel inang, asam nukleat virus harus sudah terlepas dari
pembungkusnya, atau terlepas dari kapsulnya. Sintesis virus terjadi baik di dalam inti maupun
di dalam sitoplasma sel inang, bergantung dari jenis asam nukleat virus dan kelompok virus.
Pada virus RNA, seperti Virus Rubella, sintesis ini terjadi di dalam sitoplasma, sedangkan pada
kebanyakan virus DNA, asam nukleat virus bereplikasi di inti sel inang sedangkan protein virus
mengalami replikasi pada sitoplasma.
Patogenesis Congenital Rubella Syndrome
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di nasofaring
dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah
terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella dapat menular ke setiap orang
yang berada di ruangan yang sama dengan penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar
antara 14–21 hari. Pada episode ini, Virus rubella sangat menular. Dalam rembihan tekak dan
air kemih bayi dengan CRS, terdapat virus rubella dalam jumlah banyak yang dapat
menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan
hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran. Kerusakan janin disebabkan
oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan
sel oleh virus. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan
bahwa virus rubella dialihkan ke dalam peredaran janin sebagai emboli sel endotel yang
terinfeksi. Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Virus rubella juga
dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis.
Reinfeksi
Upaya penapisan terhadap infeksi bawaan dapat dilakukan dengan menghitung kadar
IgM. Meski reinfeksi dapat terjadi, tetapi biasanya asimtomatik dan dapat ditemukan
peningkatan IgG. Hal ini menandakan bahwa viremia juga dapat terjadi pada saat reinfeksi.
Meskipun beberapa penelitian menyebutkan bahwa vaksin virus rubella dapat melalui
perintang plasenta dan dapat menginfeksi janin selama kehamilan muda, tetapi risiko terjadinya
kelainan bawaan akibat vaksinasi rendah sampai tidak ada sama sekali.
DIAGNOSIS INFEKSI VIRUS RUBELLA PADA KEHAMILAN
Rubella merupakan penyakit infeksi di antaranya 20–50% kasus bersifat asimptomatis.
Gejala rubella hampir mirip dengan penyakit lain yang disertai ruam. Virus dapat berdampak
di semua organ dan menyebabkan berbagai kelainan bawaan. Janin yang terinfeksi rubella
berisiko besar meninggal dalam kandungan, lahir prematur, abortus sertamerta dan mengalami
malabentuk sistem organ. Risiko infeksi akan menurun 10–20% apabila infeksi terjadi pada
trimester II kehamilan. 50% lebih kasus infeksi rubella selama kehamilan bersifat subklinis
bahkan tidak dikenali.
1. Isolasi virus
Virus rubella dapat diasingkan dari sekret hidung, darah, hapusan tenggorok, air kemih,
dan cairan serebrospinalis penderita rubella dan CRS. Virus juga dapat diasingkan dari
tekak 1 minggu sebelum dan hingga 2 minggu setelah munculnya ruam. Hal ini
menyebabkan metode pengasingan virus bukan sebagai metode diagnostik rutin. Virus
rubella dapat ditemui dengan adanya Cytophatic effects.
2. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologis digunakan untuk mendiagnosis infeksi virus rubella bawaan dan
pascanatal dan untuk menentukan keadaan Imunoasai enzim. Pemeriksaan terhadap wanita
hamil yang pernah bersentuhan dengan penderita rubella, memerlukan upaya diagnosis
serologis secara tepat dan teliti . Penderita tanpa gejala klinis tetapi terdiagnosis secara
serologis merupakan sebuah masalah khusus. Mereka mungkin sedang mengalami infeksi
pratama atau re-infeksi karena telah mendapatkan vaksinasi dan memiliki antibodi. Adanya
antibodi IgG rubella dalam serum penderita menunjukkan bahwa penderita tersebut pernah
terinfeksi virus dan mungkin memiliki kekebalan terhadap virus rubella.
Kadar IgG ≥ 15 IU/ml, umumnya dianggap dapat melindungi janin terhadap rubella. Setelah
vaksinasi; bila positif berarti ada perlindungan dan bila negatif berarti tidak ada.