Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil Transmitted Helminth

Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

nematoda yang menginfeksi usus manusia ditularkan melalui tanah dan

disebut dengan soil transmitted helminth (STH)9 yang disebut juga dengan

geohelminth atau intestinal helminth.10 Beberapa STH yang penting diketahui

karena sering menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia adalah

Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale,

Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan beberapa spesies

Trichostrongylus.9

Ascaris lumbricoides dewasa hidup di rongga usus halus, seekor

cacing betina dapat bertelur sebanyak 100 000 sampai 200 000 butir sehari.9

Telur A. lumbricoides ditandai dengan adanya mamillated outer coat dan

thick hyaline shell yang membuat ia dapat bertahan hidup karena partikel

tanah akan melekat pada dinding telur yang dapat melindunginya dari

kerusakan.11 Dalam lingkungan yang sesuai (tanah yang lembab, hangat,

dan terlindung dari matahari) telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk

infeksius dalam waktu kurang lebih tiga minggu.9, 11


Bentuk infeksius yang

tertelan manusia akan menetas di usus halus, selanjutnya larva akan

menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe,

lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di

Universitas Sumatera Utara


paru akan menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk

rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus.

Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan

pada faring, pasien akan terbatuk akibat rangsangan ini. Selanjutnya larva

akan tertelan ke dalam esophagus dan mencapai usus halus dimana larva

akan berubah menjadi cacing dewasa. Diperlukan waktu sekitar dua bulan

sejak telur infeksius tertelan sampai menjadi dewasa.9

Cacing T. trichiura betina dewasa diperkirakan menghasilkan 3000

sampai 10 000 telur per hari. Telur berbentuk seperti tempayan dengan

semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar

berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi

dikeluarkan hospes bersama tinja, telur menjadi matang (infeksius) dalam

waktu 3 sampai 6 minggu pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah

yang lembab dan tempat yang teduh.9

Individu akan terinfeksi jika tertelan telur infeksius. Setelah tertelan,

larva akan keluar melalui dinding telur dan masuk ke usus halus, setelah

menjadi dewasa turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon,

terutama sekum (cacing ini tidak mempunyai siklus di paru). Waktu yang

diperlukan sejak telur infeksius tertelan hingga menjadi cacing dewasa

adalah 30 sampai 90 hari.9

Universitas Sumatera Utara


2.2. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminth

Infeksi STH merupakan penyakit yang dikaitkan dengan kemiskinan,

menimbulkan penderitaan dan kematian, juga menyebabkan kemiskinan

yang berkelanjutan akibat gangguan kemampuan kognitif anak,

berkurangnya kapasitas dan produktifitas kerja orang dewasa.12 Infeksi STH

paling sering terjadi di daerah tropis dan subtropis dari negara-negara yang

sedang berkembang dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi yang

kurang.13 Prevalensi infeksi STH di Sumatera Utara pada tahun 1995 adalah

57% sampai 90%.14 Sedangkan berdasarkan spesiesnya maka prevalensi di

Sumatera Utara 46% sampai 75% untuk ascariasis, 65% untuk trichuriasis,

dan 20% untuk infeksi cacing tambang.15

A. lumbricoides dijumpai di seluruh dunia dan diperkirakan 1.3 milyar

orang pernah terinfeksi cacing ini, tidak jarang dijumpai infeksi campuran

dengan cacing lain terutama T. trichiura. Prevalensi tertinggi ascariasis di

daerah tropis dijumpai pada kelompok usia 3 sampai 8 tahun.11 Usia yang

paling rentan untuk mendapat infeksi T. trichiura adalah 5 sampai 15 tahun.16

2.3. Imunologi Infeksi Soil Transmitted Helminth

Berbagai Protozoa dan cacing berbeda dalam ukuran, struktur, sifat

biokimiawi, siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respons

imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya kronis dan

menimbulkan rangsangan antigen persisten yang akan meningkatkan kadar

imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen

Universitas Sumatera Utara


yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang

T independen.6 Hipersensitifitas yang diperantarai IgE merupakan

mekanisme imun utama dalam mengatasi infeksi cacing.17

Pertahanan terhadap kebanyakan infeksi cacing diperankan oleh

aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas

IL-4 dan IL-5, IL-4 selanjutnya merangsang produksi IgE dan IL-5

merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan

dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan

dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit.18,19

Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil

mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan ROI

(reactive oxygen intermediate) yang diproduksi neutrofil dan makrofag.

Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik.

Reaksi imunologi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah

menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna.18

Universitas Sumatera Utara


Protein kationik, Superoksida,
Histamin oksida nitrit
MBP, neurotoksin

spasme
PMN
Sel mast/ Eosinofil
makrofag
Basofil

IgA/IgG

IgE
IgA/IgG

cacing

Gambar 1. Pengeluaran cacing dari lumen saluran cerna.18

Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel

mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang

menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada

cacing melalui IgG/IgA dan melepaskan protein kationik, MBP (myelin basic

protein) dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan

melepas superoksida, oksida nitrit, dan enzim yang membunuh cacing.18

Infeksi parasit secara khusus merangsang sejumlah mekanisme

pertahanan, baik yang diperantarai antibodi maupun yang diperantarai sel,

dan respons yang paling efektif tergantung jenis parasit dan stadium

infeksi.20

Antibodi dan sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap

antigen parasit memperkuat aktifitas antiparasit dari makrofag, neutrofil, dan

Universitas Sumatera Utara


eosinofil. Eosinofil diduga berkembang sebagai pertahanan terhadap parasit

di jaringan yang terlalu besar untuk difagositosis, dan reaksi sel mast yang

tergantung IgE untuk melokalisir eosinofil dekat parasit dan memperkuat

fungsi antiparasit. IgE pada infeksi cacing bisa menimbulkan efek berat pada

pejamu akibat pelepasan mediator dari sel mast.20

Meskipun dari berbagai penelitian cross-sectional terlihat adanya

perkembangan imunitas terhadap A. lumbricoides, tetapi respons antibodi

humoral tidak mempunyai peranan untuk menekan infeksi. Adanya antibodi

terhadap antigen Ascaris dewasa dan larva, merupakan refleksi dari

intensitas infeksi dan tidak memberikan dampak perlindungan terhadap

infeksi.11

Infeksi STH menimbulkan respons imun pada manusia khas berupa

kadar IgE yang meningkat, eosinofilia, dan peningkatan produksi sitokin Th2

oleh lekosit darah perifer sebagai respons terhadap rangsangan antigen

parasit.21-23 Paparan awal parasit berhubungan dengan meningkatnya

respons inflamasi alergi terhadap parasit, sementara pada infeksi jangka

panjang dan infeksi berulang respons inflamasi menjadi lebih terkendali.

Infeksi kronis memiliki efek regulasi yang kuat pada respons inflamasi

antiparasit, berhubungan dengan respons Th2 yang telah bermodifikasi yang

selain memungkinkan parasit tetap hidup juga memberikan perlindungan dari

penyakit imun bagi pejamu.21 Ketahanan hidup STH pada infeksi kronis

dimungkinkan dengan adanya mekanisme imunoregulasi, termasuk sel T

regulatori (T reg) yang mampu mensekresi sitokin imunosupressan seperti

Universitas Sumatera Utara


IL-10 dan/atau TGF-β, menghasilkan suasana antiinflamasi.19,22,24 Respons

antibodi terhadap berbagai stadium A. lumbricoides tidak berpengaruh besar

baik pada derajat infeksi yang baru terjadi maupun pada intensitas infeksi

ulangan.25 Regulasi imunitas pejamu oleh infeksi kronis STH tidak hanya

mempengaruhi respons terhadap antigen parasit tetapi juga terhadap antigen

eksogenus lainnya seperti antigen vaksin dan alergen udara, efek tersebut

dapat menjelaskan terjadinya gangguan imunogenitas vaksin dan penurunan

prevalensi penyakit alergi di daerah pedesaan negara tropis.21

2.4. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminth dan Penyakit atopi

Beberapa observasi menunjukkan adanya peningkatan prevalensi immune-

mediated disease (misalnya; inflammatory bowel disease, multiple sclerosis,

asma, dan diabetes tipe 1) di daerah dimana paparan pada cacing jarang

terjadi, pemberian obat anticacing meningkatkan gejala atopi, cacing

memberikan proteksi terhadap immune-mediated disease pada binatang

percobaan dengan meningkatkan respons regulatori, dan pengobatan

immune-mediated disease dengan menggunakan cacing mengurangi

aktifitas immune-mediated disease.26

Dua mekanisme yang mungkin menimbulkan efek protektif infeksi

cacing pada perkembangan atopi: pertama, jumlah besar IgE poliklonal

memadati reseptor Fcε pada permukaan sel mast sehingga mengganggu

ikatan IgE spesifik antigen pada sel mast, dan mencegah degranulasi sel

mast (IgE blocking hypothesis): kedua, IL-10 dan/atau TGF-β yang

Universitas Sumatera Utara


disekresikan oleh APC (antigen presenting cell) atau sel Tr (sel T reg)

sebagai respons terhadap infeksi kronis cacing secara langsung

menghambat degranulasi sel mast atau menghambat proliferasi sel Th2.27

Penyakit atopi berhubungan secara signifikan dengan kadar allergen-

spesific IgE, sensitisasi kulit dengan alergen yang sama, dan gejala klinis

pada kulit (eksim/dermatitis atopi), pada saluran nafas bagian atas (rinitis

alergi) dan saluran nafas bagian bawah (atopic asthma).10

Infeksi STH mungkin mempengaruhi respons terhadap sensitisasi

alergi atau respons dari efektor alergi. Temuan dari penelitian terbaru telah

memperkuat temuan sebelumnya karena sensitisasi alergi ditentukan

berdasarkan peningkatan kadar IgE poliklonal atau IgE spesifik alergen pada

populasi di daerah endemis infeksi STH.10 Studi prospektif Rodrigues dkk

pada anak di Salvador Brazil menunjukkan bahwa infeksi berat T.trichiura

pada awal masa anak-anak menurunkan risiko reaktifitas uji alergi kulit pada

tahapan usia selanjutnya.28

Mekanisme yang dapat dipengaruhi oleh infeksi STH termasuk

komponen efektor dari hipersensitifitas tipe segera dan respons fase lambat,

yang dicapai melalui inhibisi aktifasi sel mast dan inhibisi terhadap

pengumpulan dan fungsi sel efektor di tempat terjadinya reaksi inflamasi.10

Alergen sama halnya dengan antigen cacing merupakan inducer kuat

bagi respons Th2 dan diketahui bahwa penyakit alergi termasuk asma,

eksim, dan rinitis berkaitan dengan inflamasi yang ditimbulkan oleh Th2.13

Universitas Sumatera Utara


Studi pada 441 anak di Sulawesi menunjukkan tidak ada hubungan antara

adanya cacing di usus dan reaktifitas uji kulit.29

Soil Transmitted Helminth dan Asma.

Infeksi cacing dikaitkan dengan atopic asthma oleh adanya persamaan

fenomena imunologi; eosinofilia dan peningkatan antibodi IgE serum.

Hubungan ini menimbulkan dua hipotesis yang bertentangan yaitu bahwa

infeksi parasit memberikan efek proteksi terhadap asma dan bahwa infeksi

parasit merupakan predisposisi untuk asma.30

Beberapa penelitian telah mempelajari hubungan antara gejala asma

dan infeksi STH dengan hasil yang berbeda seperti ditulis oleh Cooper dkk.

Penelitian terbaru menunjukkan bukti adanya hubungan terbalik antara

gejala asma dan infeksi STH yang diketahui dari pemeriksaan tinja,

sementara penelitian lain menunjukkan tidak ada hubungan signifikan atau

bahkan menunjukkan adanya hubungan positif antara gejala asma dan

infeksi STH atau terdapatnya IgE terhadap Ascaris. Perjalanan penyakit

asma bisa berbeda pada individu yang terinfeksi STH, menyebabkan asma

yang lebih ringan pada daerah dengan endemisitas yang tinggi, meskipun di

daerah dengan prevalensi yang rendah keadaan sebaliknya bisa terjadi.10

Adanya kadar IgE dan eosinofil yang tinggi pada individu dengan

infeksi cacing tapi jarang disertai inflamasi mukosa saluran nafas

menimbulkan dugaan bahwa terdapat perbedaan antara respons terhadap

cacing dan respons terhadap alergen udara.17

Universitas Sumatera Utara


Tidak semua infeksi parasit memberikan efek protektif terhadap asma,

tapi infeksi cacing tambang mungkin mengurangi risiko asma.31

Soil Transmitted Helminth dan Dermatitis Atopi.

Eksim merupakan penyakit inflamasi kulit kronis yang ditandai dengan lesi

kronis yang gatal. Terdapat dua jenis eksim: 70% sampai 80% pasien eksim

menunjukkan bentuk atopi, dengan kadar IgE serum yang meningkat dan

sensitisasi alergi, sementara 20% sampai 30% pasien menunjukkan bentuk

non-atopi dengan kadar IgE serum yang normal dan sensitisasi pada sedikit

alergen spesifik.32 Prevalensi dermatitis atopi diketahui lebih rendah di

daerah pedesaan dibandingkan daerah perkotaan Ethiopia, tapi risiko

dermatitis atopi tidak berkaitan dengan infeksi STH. Suatu penelitian cross-

sectional pada anak usia sekolah di Ecuador menunjukkan tidak ada bukti

hubungan antara dermatitis atopi dan infeksi STH. Suatu penelitian intervensi

di Uganda menunjukkan bahwa bayi dari ibu dengan infeksi STH pada saat

melahirkan mempunyai risiko yang lebih rendah untuk menderita eksim jika

dibandingkan dengan bayi dari ibu tanpa infeksi STH (masing-masing 9%

dan 39%).10

Soil Transmitted Helminth dan Rinitis Alergi.

Prevalensi rinitis alergi di populasi sebesar 5% sampai 40%, menimbulkan

morbiditas yang tinggi karena mempengaruhi kehidupan sosial, aktifitas

pekerjaan, dan prestasi belajar di sekolah terutama pada anak.33 Cooper dkk

menyebutkan bahwa penelitian di Ecuador menunjukkan tidak ada hubungan

Universitas Sumatera Utara


antara gejala rinitis alergi dan parasit STH, penelitian di daerah perkotaan

Taiwan membuktikan adanya hubungan terbalik antara enterobiasis dan

diagnosis rinitis alergi dan penelitian di Afrika Selatan membuktikan adanya

hubungan positif antara gejala rinitis dan terbentuknya IgE terhadap

Ascaris.10

2.5. Kerangka Konseptual

Sanitasi dan higiene

Status nutrisi
Infeksi STH - Berat badan
- Tinggi badan

Sel Th2 CD4+

IL-4 IL-5

IgE serum total Eosinophil

Reseptor IgE Alergen

Gejala dan atau Riwayat atopi dalam


tanda penyakit atopi keluarga

: Hal yang diamati dalam penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai