TINJAUAN PUSTAKA
1
Pada diabetes kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat
menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan
ini menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik
akut seperti diabetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler
nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat ikut menyebabkan
komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi
neuropati (penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai dengan peningkatan insidens
penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard, stroke dan penyakit
vaskuler perifer (Brunner & Suddarth, 2002).
2. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes ada empat jenis, antara lain (Damayanti, 2015):
a) DM Tipe 1
DM tipe 1 ditandai oleh destruksi sel beta pankreas, terbagi dalam dua sub
tipe yaitu tipe 1A yaitu diabetes yang diakibatkan proses immunologi (immune-
mediated diabetes) dan tipe 1B yaitu diabetes idiopatik yang tidak diketahui
penyebabnya. Diabetes 1A ditandai oleh destruksi autoimun sel beta.
Sebelumnya disebut dengan diabetes juvenile, terjadi lebih sering pada orang
muda tetapi dapat terjadi pada semua usia. Diabetes tipe 1 merupakan gangguan
katabolisme yang ditandai oleh kekurangan insulin absolut, peningkatan glukosa
darah, dan pemecahan lemak dan protein tubuh (Damayanti, 2015) .
b) DM Tipe 2
DM tipe 2 atau juga dikenal sebagai Non-Insulin Dependent Diabetes
(NIDDM). Dalam DM tipe 2, jumlah insulin yang diproduksi oleh pankreas
biasanya cukup untuk mencegah ketoasidosis tetapi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh total. Jumlahnya mencapai 90-95% dari seluruh
pasien dengan diabetes, dan banyak dialami oleh orang dewasa tua lebih dari 40
tahun serta lebih sering terjadi pada individu obesitas. Kasus DM tipe 2
umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya
resistensi insulin. Resistensi insulin awalnya belum menyebabkan DM secara
klinis. Sel beta pankreas masih dapat melakukan kompensasi bahkan sampai
overkompensasi, insulin disekresi secara berlebihan sehingga terjadi kondisi
hiperinsulinemia dengan tujuan normalisasi kadar glukosa darah. Mekanisme
kompensasi yang terus menerus menyebabkan kelelahan sel beta pankreas yang
disebut dekompensasi, mengakibatkan produksi insulin yang menurun secara
2
absolut. Kondisi resistensi insulin diperberat oleh produksi insulin yang
menurun, akibatnya kadar glukosa darah semakin meningkat sehingga
memenuhi kriteria diagnosa DM (Damayanti, 2015).
Resistensi insulin utamanya dihasilkan dari kerusakan genetik dan
selanjutnya oleh faktor lingkungan. Ketika glukosa intrasel meningkat, maka
asam lemak bebas (Free Fatty Acid- FFAs) disimpan, namun ketika glukosa
menurun maka FFAs masuk ke sirkulasi sebagai substrat dari produksi glukosa.
Pada kondisi normal, insulin memicu sintesa trigliserida dan menghambat
lipolisis postprandial. Glukosa diserap ke dalam jaringan adiposa dan sirkulasi
FFAs mempunyai efek yang bahaya pada produksi glukosa dan sensitifitas
insulin, peningkatan glukosa darah pun ikut berperan. Pada tipe ini terjadi
kehilangan sel beta pankreas lebih dari 50% (Damayanti, 2015).
c) Diabetes pada kehamilan (Gestasional Diabetes)
Diabetes kehamilan terjadi pada intoleransi glukosa yang diketahui selama
kehamilan pertama. Jumlahnya sekitar 2-4% kehamilan. Wanita dengan diabetes
kehamilan akan mengalami peningkatan risiko terhadap diabetes setelah 5-10
tahun melahirkan (Damayanti, 2015).
3
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya
diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini ditentukan pada individu yang
memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen
transplantasi dan proses imun lainnya.
2) Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
3) Faktor lingkungan
4
pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang
besar. Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan
ideal. Pencegahan sekunder berupa program penurunan berat badan,
olahraga dan diet. Tahap awal tanda-tanda/gejala yang ditemukan adalah
kegemukan, perasaan haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan
berat badan, bayi lahir lebih dari berat badan normal, memiliki riwayat
keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan peningkatan gula darah.
Menurut Smeltzer & Bare (2010), DM tipe II disebabkan kegagalan
relatif sel beta dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak
mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya
sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta pankreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa. Penyebab resistensi insulin pada
diabetes sebenarnya tidak begitu jelas, faktor yang banyak berperan
menurut Riyadi (2008) antara lain:
(1) Riwayat keluarga
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes. Ini terjadi karena DNA pada orang DM akan ikut
diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi
insulin. Glukosa darah puasa yang tinggi dikaitkan dengan risiko DM
di masa depan. Keluarga merupakan salah satu faktor risiko DM. Jika
salah satu dari orang tua menderita DM tipe 2, risiko anak mereka
terkena DM tipe 2 dengan sebesar 40%. Risiko ini akan menjadi 70%
jika kedua orang tuanya menderita DM tipe 2. Kembar identik akan
berisiko lebih tinggi terkena DM dibandingkan dengan kembar yang
tidak identik. Gen pembawa DM tersebut ikut mengatur fungsi dari sel
yang memproduksi insulin beta (Yang, 2010).
(2) Jenis kelamin
Pria lebih rentan terkena hiperglikemia dibandingkan dengan
wanita. Persentase hiperglikemia pada pria sebesar 12,9%, sedangkan
pada wanita 9,7%. Hal ini berbeda dengan penelitian Gale dan
5
Gillespie (2010) dimana DM tipe 2 dominan terjadi pada wanita
daripada pria. Tidak ada perbedaan prevalensi DM tipe 2 antara pria
dan wanita ketika berusia di bawah 25 tahun. Akan tetapi, mulai ada
perbedaan sebesar 20% pada wanita daripada pria yang berusia 25-34
tahun. Pada kelompok usia 35-44 tahun perbedaannya menjadi 60%
dan kelompok usia 45-64 tahun DM tipe 2 lebih tinggi 2 kali lipat pada
wanita daripada pria (Gillespie, 2010).
(3) Kelainan genetic
DM dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap DM.
Ini terjadi karena DNA pada orang DM akan ikut diinformasikan pada
gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin.
(4) Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara
dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan
ini yang berisiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas yang
memproduksi insulin. Menurut Merck (2008), DM tipe 2 biasanya
bermula pada penderita yang usianya lebih dari 30 tahun dan menjadi
semakin lebih umum dengan peningkatan usia. Sekitar 15% dari orang
yang lebih tua dari 70 tahun menderita DM tipe 2. DM tipe 2 di negara
maju relatif terjadi di usia yang lebih muda, tetapi di negara
berkembang terjadi pada kelompok usia lebih tua. Kenaikan prevalensi
DM dimulai pada masa dewasa awal. Di Amerika orang yang berusia
45-55 tahun terkena DM empat kali lebih banyak dibandingkan pada
mereka yang berusia 20-44 tahun (Finucane dan Popplewell, 2010).
(5) Gaya hidup stress
Stress cenderung membuat hidup seseorang mencari makan yang
cepat saji yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini
berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stress juga meningkatkan
kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan sumber energi yang
berakibat pada kenaikan kerja pankreas mudah rusak sehingga
berdampak pada penurunan insulin.
(6) Pola makan yang salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama risiko terkena
DM. Malnutrisi dapat merusak pankreas, sedangkan obesitas
6
meningkatkan gangguan kerja dan resistensi insulin. Pola makan yang
tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan berperanan pada
ketidakstabilan kerja pankreas.
(7) Obesitas
Obesitas mengakibat sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi
pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa
pada penderita obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu
banyak.
(8) Kebiasaan merokok
Rokok mengandung zat adiktif yang bernama nikotin. Nikotin ini
dapat mengakibatkan ketergantungan dan kehilangan kontrol. Merokok
dapat mengakibatkan peningkatan sementara kadar glukosa darah,
merokok juga dapat merusak sensitivitas organ dan jaringan terhadap
aksi insulin. Asupan nikotin dapat meningkatkan kadar hormon, seperti
kortisol, yang dapat mengganggu efek insulin.
(9) Infeksi
Masuknya bakteri atau virus kedalam pankreas akan
mengakibatkan rusaknya sel-sel pankreas. Kerusakan ini berakibat
pada penurunan fungsi pankreas. Seseorang yang sedang menderita
sakit karena virus atau bakteri tertentu, merangsang produksi hormon
tertentu yang secara tidak langsung berpengaruh pada kadar gula darah.
4. Tanda dan Gejala
Tiga hal yang tidak bisa di pisahkan dari gejala klasik diabetes mellitus adalah
polyuria (banyak kencing), polydipsia (banyak minum) dan polyphagia (banyak
makan). Terjadi polyuria karena hal ini berkaitan dengan kadar gula yang tinggi
diatas 160-180 mg/dl maka glukosa akan sampai ke urin tetapi jika tambah tinggi
lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar
glukosa yang hilang. Gula bersifat menarik air sehingga bagi penderitanya akan
mengalami polyuria atau kencing banyak. Terjadi polydipsia karena di awali dari
banyaknya urin yang keluar maka tubuh mengadakan mekanisme lain untuk
menyeimbangkannya yakni dengan banyak minum. Diabetes akan selalu
menginginkan minuman segar serta dingin untuk menghindari dari dehidrasi.
Terjadi polyphagia karena insulin yang bermasalah, pemasukan gula ke dalam sel-
sel tubuh kurang akhirnya energi yang dibentuk pun kurang. Inilah mengapa orang
7
merasakan kurangnya tenaga akhirnya diabetes melakukan kompensasi yakni
dengan banyak makan (Novitasari, 2012).
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah,
somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat
menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak
mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk
mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya,
pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala
apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium
dan melakukan tes toleransi glukosa.
Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita
polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami
ketoasidosis karena ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif.
Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis.
Kalau hiperglikemia berat dan pasien UU berespons terhadap terapi diet, atau
terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk
menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan
sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin
berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk
mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga reisten terhadap
insulin eksogen (Sylvia & Lorraine, 2014).
5. Patofisiologi
Pada diabetes mellitus tipe ini terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan
penurunan reaksi intrasel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan oleh jaringan. Ada beberapa faktor yang diperkirakan
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin seperti faktor genetik,
usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun), obesitas,
riwayat keluarga dan kelompok etnik tertentu seperti golongan Hispanik serta
8
penduduk asli Amerika (Brunner & Suddarth, 2002).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
DM tipe 2 (Brunner & Suddarth, 2002).
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe 2,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu
ketoasidosis diabetes jarang terjadi pada DM tipe 2. Jika DM tipe 2 tidak terkontrol
dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik
hyperosmolar nonketotik (HHNK) (Brunner & Suddarth, 2002).
6. Komplikasi
Menurut Black & Hawks (2005), Smeltzer, et all (2008) mengklasifikasikan
komplikasi diabetes mellitus menjadi 2 kelompok yaitu :
a. Komplikasi akut
(10) Hipoglikemia
Kadar glukosa darah yang abnormal/rendah terjadi jika kadar glukosa darah
turun dibawah 60-50 mg/dL (3,3-2,7 mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi
akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi
makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat.
Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Kejadian
ini bisa dijumpai sebelum makan, khususnya jika waktu makan tertunda
atau bila pasien lupa makan cemilan.
(11) Ketoasidosis Diabetik
Keadaan ini disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya
jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Pada tiga gambaran klinis
yang penting pada diabetes ketoasidosis: dehidrasi, kehilangan elektrolit,
dan asidosis. Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang
memasuki sel akan berkurang pula. Di samping itu produksi glukosa oleh
9
hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan
hiperglikemia.
(12) Sindrom Hiperglikemi Hiperosmolar Nonketotik
Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran (sense of
awareness). Pada saat yang sama tidak ada atau terjadi ketosis ringan.
Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin
efektif. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik
sehingga terjadi kehilangan cairan elekrolit. Untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke dalam
ruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai
keadaan hypernatremia dan peningkatan osmolaritas. Salah satu perbedaan
utama antara sindrom HHNK dan DKA adalah tidak terdapatnya ketosis
dan asidosis pada sindrom HHNK. Perbedaan jumlah insulin yang terdapat
dalam masing-masing keadaan ini dianggap penyebab parsial perbedaan
diatas. Pada hakikatnya, insulin tidak terdapat pada DKA.
b. Komplikasi kronik
(13) Komplikasi Makrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi
pada diabetes mellitus. Perubahan aterosklerotik ini serupa dengan yang
terlihat pada pasien-pasien nondiabetik, kecuali dalam hal bahwa perubahan
tersebut cemderung terjadi pada usia yang lebih muda dengan frekuensi
yang lebih besar pada pasien- pasien diabetes mellitus.
(14) Komplikasi Mikrovaskuler
Perubahan mikrovaskuler merupakan komplikasi unik yang hanya
terjadi pada diabetes mellitus. Penyakit mikrovaskuler diabetik
(mikroangiopati) ditandai oleh penebalan membran basalis pembuluh
kapiler. Membran basalis mengelilingi sel-sel endotel kapiler.
(15) Retinopati Diabetik
Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetic disebabkan oleh
perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata.
(16) Nefropati
Penyakit diabetes mellitus turut menyebabkan kurang lebih 25% dari
pasien- pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang memerlukan
10
dialisis atau transplantasi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Penyandang
diabetes mellitus tipe I sering memperlihatkan tanda-tanda permulaan
penyakit renal setelah 15-20 tahun kemudian, sementara pasien diabetes
mellitus tipe 2 dapat terkena penyakit renal dalam waktu 10 tahun sejak
diagnosis diabetes ditegakkan. Banyak pasien diabetes mellitus tipe 2 ini
yang sudah menderita diabetes mellitus selama bertahun-tahun selama
penyakit tersebut didiagnosis dan diobati.
(17) Neuropati
Neuropati dalam diabetes mellitus mengacu kepada sekelompok penyakit-
penyakit yang menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer
(sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam
secara klinis dan bergantung pada lokasi sel saraf yang terkena (Hasdianah,
2014).
11
Umur
Konsumsi makanan
manis berlebih Penurunan kualitas dan
kuantitas insuin Gaya hidup
Hiperglikemia
Ulkus
BB turun
Kerusakan Integritas
Kulit
Ketidak stabilan
kadar glukosa Pembedahan
darah (debridement)
Nyeri akut
GANGGUAN
MOBILITAS FISIK
12
7. Penatalaksanaan
Menurut Perkeni (2011) dalam pengelolaan/tatalaksana diabetes mellitus, terdapat
empat pilar yang harus dilakukan dengan tepat yaitu:
a. Pendidikan/edukasi
Peran perawat sebagai educator dimana pembelajaran merupakan health
education yang berhubungan dengan semua tahap kesehatan dan tingkat
pencegahan. Perawat harus mampu memberikan edukasi kesehatan dalam
pencegahan penyakit, pemulihan, penyusunan program health education serta
memberikan informasi yang tepat tentang kesehatan. Agar perawat dapat
bertindak sesuai perannya sebagai educator pada pasien dan keluarga, maka
perawat harus memiliki pemahaman terhadap prinsip-prinsip pengajaran dan
pembelajaran (Bastable, 2014).
Tujuan edukasi kesehatan adalah membantu individu mencapai tingkat
kesehatan yang optimal melalui tindakannya sendiri. Metode dalam pelaksanaan
edukasi juga ikut berperan penting. Metode edukasi yang digunakan harus
disesuaikan dengan tujuan dan sasaran pembelajaran. Metode edukasi dibagi
menjadi 3 yaitu metode edukasi untuk individual, metode edukasi untuk
kelompok, dan metode edukasi untuk massa. Selain menggunakan metode yang
tepat, sebagai intervensi yang terstruktur, maka edukasi membutuhkan persiapan
media dalam pelaksanaannya sehingga dapat meningkatkan efektifitas edukasi.
Secara umum orang mempergunakan tiga metode dalam belajar yaitu visuali,
auditory, kinesthetic (Widiastuti, 2012).
b. Terapi gizi medis
Pengelolaan diet pada penderita diabetes mellitus sangat penting. Tujuan
dari pengelolaan diet ini adalah untuk membantu penderita memperbaiki gizi
dan untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik yaitu ditunjukkan
pada pengendalian glukosa, lipid dan tekanan darah. Penatalaksanaan diet
bagi penderita diabetes tipe 2 ini merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes mellitus secara total (Waspadji, 2010).
Standar dan prinsip diet diabetes mellitus tipe 2 menurut Waspadji
(2010), standar diet diabetes melitus diberikan pada penderita diabetes
mellitus atau pasien sehat yang bukan penderita diabetes mellitus sesuai
kebutuhannya. Terdapat 8 jenis standar diet menurut kandungan energi, yaitu
diet diabetes mellitus 1100, 1300, 1500, 1700, 1900, 2100, 2300, dan 2500
13
kalori. Secara umum standar diet 1100 kalori sampai dengan 1500 kalori
untuk pasien diabetes yang gemuk. Diet 1700 sampai dengan 1900 kalori
untuk pasien diabetes dengan berat badan normal. Sedangkan diet 2100
sampai dengan 2500 kalori untuk pasien diabetes kurus (Waspadji dkk,
2010).
Penatalaksanaan diet ini meliputi 3 hal utama yang harus diketahui dan
dilaksanakan oleh penderita diabetes mellitus, yaitu jumlah makanan, jenis
makanan, dan jadwal makanan (Perkeni, 2011). Penatalaksanaan diet pada
penderita diabetes mellitus tipe 2 berfokus pada pembatasan jumlah energi,
karbohidrat, lemak jenuh dan natrium (ADA, 2011).
1) Jumlah makanan
Pramono (2011) menyatakan bahwa jumlah kalori yang dikonsumsi
oleh penderita diabetes mellitus dalam sehari terbagi dalam 3 besar dan 3
kecil, dengan ketentuan sarapan pagi 20% dari jumlah kalori, cemilan
diantara sarapan pagi dan makan siang 10% makan siang dari jumlah
kalori, makan siang 25% dari jumlah kalori, cemilan diantara makan
siang dan makan malam 10% dari jumlah kalori, makan malam 25% dari
jumlah kalori dan cemilan sebelum tidur 10% dari jumlah kalori.
3) Jadwal makan
Pada penderita diabetes melitus, pengaturan jadwal makan juga penting
16
karena berkaitan dengan kadar glukosa darah (ADA, 2010). Komposisi zat
gizi yang direkomendasikan untuk penderita diabetes melitus adalah
sebagai berikut:
(1) Karbohidrat dan pemanis
Menurut Perkeni (2011), karbohidrat yang dianjurkan bagi penderita
diabetes melitus di Indonesia sebesar 45 – 65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total < 130 gr/hari tidak dianjurkan,
makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat
tinggi. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penderita
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain,
sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi, pemanis
alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake),
makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat
dalam sehari.
(2) Serat
Seperti halnya masyarakat umum penderita diabetes dianjurkan
mengkonsumsi cukup serat dan kacang – kacangan, buah dan
sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena
mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk
kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25gr/1000 kkal/hari
(Perkeni, 2011).
(3) Kebutuhan Protein
Protein dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber
protein yang baik adalah seafood, daging lemak, ayam tanpa kulit,
produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe. Pada
penderita diabetes melitus dengan neuropati perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 gr/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi dan 65% hendaknya bernilai biologis tinggi (Perkeni, 2011).
(4) Kebutuhan Lemak
Asupan lemak penderita diabetes melitus di Indonesia dianjurkan
sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori dan tidak diperkenankan melebihi
30% total asupan energi. Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori.
Lemak tidak jenuh ganda < 10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh
17
tunggal (ADA, 2010).
(5) Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penderita diabetes sama dengan
anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau
sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur. Mereka yang
hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit (Perkeni,
2011).
c. Latihan jasmani/olahraga
Kegiatan jasmani sehari-hari yang dilakukan secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
diabetes tipe 2. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang teratur dapat menyebabkan kontraksi otot
meningkat, sehingga permeabilitas membran sel terhadap glukosa meningkat
dan resistensi insulin berkurang. Ada beberapa latihan jasmani yang disarankan
bagi penderita diabetes melitus, diantaranya: jalan, bersepeda santai, jogging
dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Penelitian yang dilakukan oleh Choi, Kyung (2012)
menunjukkan bahwa setelah dilakukan latihan selama 60 menit dengan 12 kali
latihan, kelompok intervensi menunjukkan penurunan berat badan secara
signifikan, lingkar pinggang, tekanan darah, glycatet hemoglobin,
apolipoproptein B dan kadar asam lemak bebas (Kyung, 2012).
a) Intervensi farmakologis
Penderita diabetes melitus tipe 1 mutlak diperlukan suntikan insulin setiap
hari. Penderita diabetes melitus tipe 2, umumnya perlu minum obat
antidiabetes secara oral atau tablet. Penderita diabetes memerlukan suntikan
insulin pada kondisi tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin dan
tablet (Perkeni, 2011).
a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Merupakan obat penurun kadar glukosa pada darah yang diresepkan
oleh dokter khusus bagi diabetesi. Obat penurun glukosa darah
bukanlah hormon insulin yang diberikan secara oral. OHO bekerja
18
melalui beberapa cara untuk menurunkan kadar glukosa darah (Perkeni,
2011).
b. Insulin
Insulin merupakan basis pengobatan penderita diabetes melitus tipe I
yang harus diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pemberian insulin adalah jenis preparat,
dosis insulin, waktu dan cara penyuntikan insulin, serta penyimpanan
insulin (Suyono dkk, 2011).
B. Konsep Dasar Lansia
1. Definisi
WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia pada bab 1 pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia
permulaaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang
berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar
tubuh yang berakhir dengan kematian (Nugroho, 2017).
Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui
tiga tahap kehiduannya yaitu anak, dewasa, dan tua (Nugroho, 2017).
19
a. Tipe arif bijaksana : lanjut usia ini kaya dengan hikmah pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap
ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi
panutan.
b. Tipe mandiri : lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang holang dengan
kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta
memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas : lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir batin,
menentang proses penuaan, yang menyebabkan kehilangan kecantikan,
kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang
disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani,
dan pengkritik.
d. Tipe pasrah : lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik,
mempunyai konsep (“habis gelap terbitlah terang”), mengikuti kegiatan ibadah,
ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.
e. Tipe bingung : lanjut usia yang kagetan, kehilangan kepribadian, mengasingkan
diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh.
4. Pengertian Proses Menua
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994). Proses menua ini
merupakan proses yang terus-menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai sejak
lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup (Aspiani, 2014).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai
dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan (Nugroho,
2017).
22
3 Ke Kamar Kecil Mandiri
Masuk dan keluar dari kamar kecil
kemudian membersihkan genetalia
sendiri
Tergantung
Menerima bantuan untuk masuk ke
kamar kecil dan menggunakan pispot
4 Berpindah Mandiri
Berpindah ke dan dari termpat tidur
untuk duduk, bangkit dari kursi sendiri
Tergantung
Bantuan dalam naik atau turun dari
tempat tidur atau kursi, tidak
melakukan satu atau lebih perpindahan
5 Kontinen Mandiri
BAK dab BAB seluruhnya dikontrol
sendiri
Tergantung
Inkontinensia parsial atau total,
penggunaan kateter, pispot, enema,
dan pembalut (pampers)
6 Makan Mandiri
Mengambil makanan dari piring dan
menyuapinya sendiri
Tergantung
Bantuan dalam hal mengambil
makanan dari piring dan menyuapinya,
tidak makan sama sekali, dan makan
parenteral (NGT)
Tabel 2.2 Pengkajian Status Fungsional (Index Katz)
Keterangan:
Beri tanda (√) pada point yang sesuai kondisi klien, analisis hasil:
Nilai A : Kemandirian dalam hal makan, kontinen
(BAK/BAB), berpindah, ke kamar kecil, mandi, dan
berpakaian
23
Nilai B : Kemandirian dalam semua hal, kecuali satu dari
fungsi tersebut
Nilai C : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan
satu fungsi tambahan
Nilai D : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi,
berpakaian, dan satu fungs tambahan
Nilai E : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi,
berpakaian, ke kamar kecil, dan satu fungsi tambahan
Nilai F : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi,
berpakaian, ke kamar kecil, berpindah, dan satu
fungsi tambahan
Nilai G : Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut
Lain-lain : Ketergantungan sedikitnya dua fungsi tetapi tidak
dapat diklasifikasikan sebagai C, D, E, F, G
24
Jawab:.........................................................
9 Siapa nama Presiden Republik Indonesia
sekarang?
Jawab:.........................................................
10 Coba hitung terbalik dari angka 20 ke 1!
Jawab:.........................................................
Jumlah
Tabel 2.3 Shorth Portable Mental Status Quesioner (SPMSQ)
Analisis hasil:
Skore salah : 0-2 : Fungsi intelektual utuh
Skore salah : 3-4 : Kerusakan intelektual ringan
Skore salah : 5-7 : Kerusakan intelektual sedang
Skore salah : 8-10 : Kerusakan intelektual berat
25
11 Apakah anda pikir bahwa kehidupan anda
sekarang menyenangkan?
12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti
seperti perasaan anda saat ini?
13 Apakah anda merasa penuh semangat?
14 Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak
ada harapan?
15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik
keadaannya daripada anda?
Tabel 2.4 Geriatric Depression Scale (Skala Depresi)
Keterangan:
Setiap jawaban yang sesuai mempunyai skor “1” (satu)
Skor 5-9 : kemungkinan depresi
Skor 10 atau lebih : depresi
26
Saya puas dengan cara keluarga
(teman-teman) saya
mengekspresikan afek dan
berespon terhadap emosi saya,
seperti marah, sedih, atau
mencintai
5 R: Resolve
Saya puas dengan cara teman-
teman saya dan saya menyediakan
waktu bersama-sama
mengekspresikan afek dan
berespon
Jumlah
Tabel 2.5 Apgar Keluarga
Penilaian:
Nilai : 0-3 : Disfungsi keluarga sangat tinggi
Nilai : 4-6 : Disfingsi keluarga sedang
Nilai : 7-10 : Fungsi keluarga baik
C. Konsep Mobilitas
1. Pengertian gangguan mobilitas
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan pergerakan fisik tubuh satu atau
lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (NANDA – 1, 2018:217).
2. Etiologi
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017) etiologi dari gangguan mobilitas fisik, yaitu: Kerusakan integritas
struktur tulang, perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali
otot, penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan,
kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuloskuletal, gangguan
neuromuskular, Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia, efek agen
farmakologis, dan nyeri.
27
Menurut Nanda-1 (2018) faktor yang berhubungan dengan gangguan mobilitas
fisik yaitu:
a. Intoleransi aktivitas
b. Ansietas
c. Indeks masa tubuh diatas persentil 75 sesuai usia
d. Kepercayaan budaya aktivitas sesuai usia
e. Penurunan kesehatan tubuh
f. Penurunan kendali otot
g. Penurunan masa otot
h. Penurunan kekuatan otot
i. Malnutrisi
j. Gangguan neuromuscular, nyeri
k. Kurang pengetahuan tentang aktivitas fisik
l. Disuse, kaku sendi
m. Kurang dukungan lingkungan
n. Gaya hidup monoton
o. Fisik tidak bugar
p. Keengganan mulai bergerak
4. Manifestasi klinis
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017) tanda dan gejala gangguan mobilitas fisik terbagi menjadi 2, yaitu:
5. Keterangan
a) dispesifikkan menjadi kulit atau jaringan
b) kulit hanya terbatas pada dermis dan epidermis sedangkan jaringan meliputi
tidak hanya kulit tetapi juga mukosa, kornea,fasia, otot, tendon, tulang,
kartilago, kapsul sendi dan atau ligament.
E. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman yang sangat individual dan subjektif yang dapat
mempengaruhi semua orang di semua usia. Nyeri dapat terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa. Penyebab nyeri yaitu proses penyakit, cedera, prosedur, dan
intervensi pembedahan (Kyle, 2015).
3. Jenis Nyeri
Banyak system berbeda dapat digunakan untuk mengklasifikasikan nyeri, yang
paling umum nyeri diklasifikasikan berdasarkan durasi, etiologi, atau sumber atau
lokasi (Kyle, 2015
a. Berdasarkan Durasi
(1) Nyeri Akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang berkaitan dengan awitan cepat intensitas
yang bervariasi. Biasanya mengindikasikan kerusakan jaringan dan berubah
dengan penyembuhan cedera. Contoh penyebab nyeri akut yaitu trauma,
prosedur invasif, dan penyakit akut.
(2) Nyeri Kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang terus berlangsung melebihi waktu
penyembuhan yang diharapkan untuk cedera jaringan. Nyeri ini dapat
mengganggu pola tidur dan penampilan aktifitas anak yang menyebabkan
penurunan nafsu makan dan depresi
31
b) Berdasarkan etiologi
(1) Nyeri Nosiseptif Nyeri yang diakibatkan stimulant berbahaya yang merusak
jaringan normal jika nyeri bersifat lama. Rentang nyeri nosiseptif dari nyeri
tajam atau terbakar hingga tumpul, sakit, atau menimbulkan kram dan juga
sakit dalam atau nyeri tajam yang menusuk.
(2) Nyeri Neuropati
Nyeri akibat multifungsi system saraf perifer dan system saraf pusat. Nyeri
ini berlangsung terus menerus atau intermenin dari biasanya dijelaskan
seperti nyeri terbakar, kesemutan, tertembak, menekan atau spasme.
c) Berdasarkan Lokasi
a. Nyeri Somatik
Nyeri yang terjadi pada jaringan. Nyeri somatik dibagi menjadi dua yaitu
superfisial dan profunda. Superfisial melibatkan stimulasi nosiseptor di
kulit, jaringan subkutan atau membrane mukosa, biasanya nyeri terokalisir
dengan baik sebagai sensasi tajam, tertusuk atai terbakar. Profunda
melibatkan otot, tendon dan sendi, fasia, dan tulang. Nyeri ini terlokalisir
dan biasanya dijelaskan sebagai tumpul, nyeri atau kram.
b. Nyeri Viseral
Nyeri yang terjadi dalam organ, seperti hati, paru, saluran gastrointestinal,
pankreas, hati, kandung empedu, ginjal dan kandung kemih. Nyeri ini
biasanya dihasilkan oleh penyakit dan terlokalisir buruk serta dijelaskan
nyeri dalam dengan sensasi tajam menusuk dan menyebar.
34