BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pendidikan Islam dewasa ini sangat erat kaitannya dengan
kejadian-kejadian yang dicatat dalam sejarah. Dalam perkembangannya
pendidikan terus melihat dan belajar dari perjalanan para pendahulu yang ingin
membangun pendidikan Islam menjadi ilmu yang dapat diterima secara universal.
Peran pemikir Islam terdahulu juga sangat besar pengaruhnya dalam
perkembangan pendidikan Islam, melalui pertikaian politik, sosial dan ekonomi,
pendidikan Islam tetap dapat sampai pada generasi-generasi berikutnya.
Dalam pembahasan pemikiran pendidikan Islam, terlebih dahulu kita harus
mengerti batas dan pokok bahasan yang ada dalam materi, sehingga pembahasan
menjadi relevan. Pemikiran pendidikan Islam merupakan hasil olah pikir para
pemikir intelektualisme, filosof, dan cendikiawan yang menganggap pentingnya
pendidikan Islam dalam menyebarkan agama Islam itu sendiri.
Para pemikir Islam menganganggap perlu untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan, terutama dalam pendidikan Islam, dan hal ini menjadi latar
belakang para pemikir membahas kaitan sejarah dan hubungannya dengan
pendidikan.
Pada pembahasan sebelumnya kita telah mendengar bagaimana
perkembangan pendidikan Islam sejak masa awal datangnya Islam, sejak dari
Makkah hingga Madinah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, hingga para
khulafaurrasyidin. Penyebaran dan perkembangan pendidikan Islam masa awal ini
telah mengorbankan begitu banyak hal, dari harta hingga nyawa.
Meski dalam situasi yang paling berbahaya sekalipun, para pendahulu
tetap teguh dalam menyebarkan dan menanamkan pendidikan Islam dalam setiap
aspek kehidupan mereka. Selanjutnya dalam makalah ini akan membahas sejarah
pemikiran pendidikan Islam masa Dinasti Umayyah. Dalam pembahasan ini akan
dipaparkan bentuk dan spesifikasi pendidikan yang ada pada masa Dinasti
Umayyah.
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan
diteliti melalui penelitian ini dapat diidentifikas sebagai berikut:
1. Bagaimanakah berdirinya Dinasti Umayyah?
2. Bagaimanakah sistem pendidikan di zaman Dinasti Umayyah?
3. Bagaimana bentuk pendidikan di zaman Dinasti Umayyah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian di dalam makalah ini merupakan target yang akan
dicapai melalui serangkaian aktivitas penulisan, karena segala sesuatu yang
diusahakan pasti mempunyai tujuan tertentu yang sesuai dengan
permasalahannya, yaitu:
1. Menjelaskan berdirinya Dinasti Umayyah.
2. Menjelaskan sistem pendidikan di zaman Dinasti Umayyah.
3. Menjelaskan bentuk pendidikan di zaman Dinasti Umayyah.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Samsul Nizar. Menelusuri Jejak Sejarah Era Rasululullah sampai Indonesia, Kencana,
Jakarta: 2006. Cet-4, hal. 54
4
ibn Muljam, dan setelah wafatnya Ali kemudian Abd. ar-Rahman ibn
Muljam dibunuh. Sementara Muawiyah hanya tertikam saja dan ‘Amr ibn
‘Ash ketika hendak dibunuh ia dalam keadaan sakit. Kedudukannya
sebagai imam shalat subuh ketika itu digantikan oleh Kharijah ibn Habib
as-Suhami yang disangka oleh ‘Amr ibn Bakr sebagai ‘Amr ibn ‘Ash.
Setelah wafatnya khalifah Ali ibn Abi Thalib, maka berakhirlah
kepemimpinan khulafaur rasyidin. Pada saat itu masyarakat Arab, Irak,
dan Iran mengangkat Hasan ibn Ali untuk menggantikan kedudukan
ayahnya. Pada awalnya Hasan menolak karena ia menuntut balas atas
kematian ayahnya, akan tetapi Qois ibn Abbas malarang Hasan. Akhirnya
Hasan dibaiat Qois ibn Saad dan diikuti oleh masyarakat Irak.
Pembaiatan Hasan tidak bisa menyatukan umat, karena polemik
dengan Muawiyah belum selesai. Pihak Muawiyah semakin kuat, beberapa
hari setelah pengangkatan Hasan, Muawiyah mengirim tentara untuk
menyerang Irak. Hal ini diketahui oleh Hasan, maka ia mengirim Qaish
ibn Saad untuk melawan pasukan Muawiyah.
Demi menghindari pertumpahan darah yang lebih besar di
kalangan umat Islam, maka Hasan ibn Ali bersedia mengundurkan diri
dengan beberapa syarat kepada Muawiyah, antara lain:
a. Agar Muawiyah tidak meneruh dendam terhadap seseorang pun
terhadap Irak.
b. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diberikan kepada Hasan setiap
tahun.
c. Muawiyah membayar kepada saudara Husain sebanyak dua juta
dirham.
d. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalalahn penduduk Irak.
e. Pemberian kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pada
bani Abdu Syam.
f. Jabatan khalifah setelah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan
musyawarah di antara kaum muslimin.
5
2
Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, Pustaka Al Husna, Jakarta: 2003.
Cet-4, hal. 264
6
dihasilkan oleh wakil pihak Ali (Abu Musa al-Asy’ari) dan pihak
Mu’awiyah (Amr ibn ‘Ash) justru memperkuat kedudukan Muawiyah dan
golongan yang mendukungnya. Umat Islam pada saat itu terbagi menjadi
tiga golongan:
1. Bani Umayyah dan pendukungnya dipimpin oleh Muawiyah.
2. Syiah atau pendikung Ali, yaitu golongan yang mendukung
kekhalifahan Ali.
3. Khawarij yang menjadi lawan dari kedua partai tersebut.
b. Pembagian Wilayah
Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 (sepuluh) propinsi, yaitu
Syiria Kuffah dan Irak, Basrah, Persiah, Sijistan, Khurasan, Bahrain,
Oman, Najd, dan Yamamh, Arneia, Hijaz, Karman, dan India, Agypt
(Mesir), Ifriqiyah (Afrika Utara), Yaman dan Arab Selatan serta
Andalusia.
3
Samsul Nizar. Op.Cit; hal. 54
8
d. Organisasi Keungan
Organisasi keuangan masih terpusat pada Baitulmaal yang
asetnya diperoleh dari pajak tanah, perorangan bagi non muslim.
Percetakan uang dilakukan pada masa Khalifah Abdul Malik ibn
Marwan.
e. Organisasi Ketentaraan
Umumnya yang boleh menjadi tentara adalah warga Arab atau
keturanan Arab.
f. Organisasi Kehakiman
Organisasi ini sudah mulai ditata secara baik dan professional .
j. Bidang Arsitektur
Bukti perkembangan arsitektur Islam, terlihat pada kubah al-
Sakhra di Baitul Maqdis, yaitu kubah batu yang didirikan pada masa
khalifah Abdul Malik ibn Marwan pada tahun 691 M.
sehingga tidak diketahui oleh para pelayan dan para tamu agar dia
tidak dipandangnya rendah oleh para pelayan dan tamu.
4
Prof. Dr. H. Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta: 2011. hal.
67-70
11
2. Madrasah Madinah
Madrasah Madinah adalah tempat para sahabat menuntut ilmu.
Adapun ulama-ulama di Madinah adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi
Thalib, Zaid bin Sabit, dan Abdullah bin Umar bin Khattab. Namun, yang
aktif mengajar agama Islam adalah Zaid bin Sabit (ahli qiraat dan ahli
fiqih, khususnya dalam faraid), dan Abdullah bin Umar (ahli hadis).
Setelah para ulama wafat digantikan oleh murid-muridnya, tabi’in, yaitu
Sa’id bin Al-Musaiyab (murid Zaid bin Sabit), dan ‘Urwah bin Az-Zubair
bin Al-Awam. Sesudah tingkat tabi’in digantikan oleh Ibnu Syihab Az-
Zuhri al-Quraisyi (ahli fiqhi dan hadis). Madrasah Madinah ini melahirkan
Imam Malik bin Anas, imam Madinah.
12
3. Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah adalah Abu Musa Al-
Asy’ari (ahli fiqih, ahli hadis, dan ahli al-Qura’an) dan Anas bin Malik
(ilmu hadis). Madrasah Basrah melahirkan ulama terkenal, besar, berbudi
tinggi, saleh, fasih lidahnya, dan berani mengeluarkan pendapatnya, ia
adalah Al-Hasan Basry (ahli fiqih, ahli pidato dan kisah, ahli fikir, serta
ahli tasawuf). Ada pula Ibnu Sirin yang pernah belajar pada Zaid bi Sabit,
Anas bin Malik, dan lain-lain. Ia ahli hadis dan hidup semasa dengan al-
Hasan Basry.
4. Madrasah Kufah
Ulama di Kufah ialah Ali bin Abu Talib dan Abdullah bin Mas’ud.
Ali lebih banyak menangani politik dan urusan peperangan. Sedangkan
Ibnu Mas’ud mengajarkan ilmu al-Qur’an dan ilmu agama, ia juga ahli
tafsir dan ahli fiqih. Madrasah Kufah melahirkan Nu’man, Abu Hanifah.
5
Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam, PT. Hidakarya Agung, Jakarta: 1990. hal.
34-38
14
2. Lembaga Pendidikan
Diantara lembaga pendidikan yang berkembang pada masa Daulah
Umayyah yaitu:
a. Kutab
Kutab sebenarnya sudah ada semenjak masa Khulafa’ al Ra-
sya-idin, namun pada masa ini Kutab dilaksankan di dekat masjid dan
gurunya tidak dibayar. Pada masa khalifah Muawiyyah, Kutab bukan
hanya di dekat masjid tetapi juga di rumah guru dan di istana. Bgi guru
Kutab yang mengajar di masjid, memang guru tidak diberi gaji, namun
guru Kutab di istana di beri gaji , ada di antara penguasa yang
membayar atau menggaji guru untuk mengajar anak-anaknya bahkan
disediakan tempat mukim untuk guru di istana.
b. Istana
Pendidikan tidak hanya tingkat rendah, tetapi lanjut pada
pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqoh, masjid, dan madrasah.
Guru di istana dinamakan Muaddib. Tujuan pendidikan istana bukan
saja mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan Muaddib harus mendidik
kecedasan, hati dan jasmani anak. Adapun rencana pelajaran di istana
sebagai berikut:
1) Al-Qur’an.
2) Hadist-hadist yang termulia.
3) Syair-syair yang terhormat.
4) Riwayat hukama.
5) Menulis, membaca, dan lain-lain.6
6
Prof. Dr. H. Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta: 2011. hal. 71
15
c. Badiah
Ini merupakan bentuk pemurnian penggunaan bahasa Arab
yang sesuai dengan kaidahnya. Dengan adanya Arabisasi oleh khalifah
Abdul Malik ibn Marwan, maka munculah istilah badiah, yaitu dusun
badui di Padang Sahara yang masih fasih bahasa arabnya dan murni
sesuai dengan kaidah bahasa Arab itu.
Akibat dari Arabisasi ini munculah qawa’id dan cabang ilmu
lainya untuk mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab ini sudah sampai
ke Irak, Syiria, Mesir, Lebanon, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, di
samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab, dan sekitarnya. Sehingga
banyak khalifah mengirim anaknya ke badiah untuk belajar bahasa
Arab, bahkan Ulama’ juga belajar bahasa Arab seperti; Al Khalil ibn
Ahmad belajar ke Badiah, Hijaz, Nejd, dan Tihamah.
d. Perpustakaan
Al Hakam ibn Nasir (350 H/961 M) mendirikan perpustakaan
yang besar di Qurtubah (Cordova). Perpustakaan ini tidak hanya
dipergunakan untuk membaca buku, tetapi juga disana disediakan
ruanagan untuk melaksanakan proses pembelajaran yang dibimbing
oleh para ulama sesuai dengan bidang keahliannya.
e. Bramantisan (Rumah Sakit)
Cucu Muawiyah Kahlid ibn Yazid sangat tertarik pada ilmu
dan kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerinyahkan
para sarajana Yunani yang ada di Mesir untuk menerjamahkan buku
kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Hal ini menjadi
terjemahan pertama dalam sejarah sehingga Al Walid ibn Abdul Malik
memberikan perhatian terhadap Bamaristan. Rumah sakitdisamping
berfungsi untuk mengobati dan merawat orang sakit, tetapi juga
berfungsi sebagai tempat mendidik para calon tenaga medis dan
oerawat, dan juga untuk mempelajari ilmu kedokteran.
16
7
Ibid, hal. 72-73
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemerintahan dinasti Umayyah mengutamakan dasar-dasar agama Islam
dalam melaksanakan pendidikan. Setiap bidang ilmu selalu dilandaskan kepada
ajaran-ajaran dan nilai Islam. Maka dinasti Umayyah masih menjalankan
pendidikan yang masih tradisionalis, bentuk pendidikan yang masih sama dengan
pendidikan yang berlangsung pada masa Rasulullah saw dan khulafaurrasyidin.
Hanya saja pada masa dinasti Umayyah pendidikan berlangsung lebih meluas
sejalan dengan perluasan wilayah Islam yang dilakukan para khalifah pada masa
itu.
Meskipun pendidikan yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah
merupakan terusan dari metode dan jalan pendidikan yang dilaksanakan pada
masa Rasulullah saw dan para khulafaurrasyidin, atau dapat dikatakan oleh para
ahli, pendidikan tradisionalisme, namun perluasan wilayah yang dilakukan
menjadi dorongan paling kuat untuk mengembangkan pendidikan menjadi lebih
luas.
Khalifah Muawiyah, sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi pada masa
itu, melihat pentingnya menanamkan dasar-dasar agama pada tiap bidang-bidang
ilmu. Masuknya budaya baru yang masuk dengan perluasan wilayah, terus
disaring, hal ini guna menghindarkan pendidikan agama Islam dari hal-hal yang
dapat menyesatkan Islam.
18
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Mahmud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam dari Zaman Nabi SAW,
Khalifah-Khalifah Rasyidin, Bani Umayyah dan Abbasiyah sampai Zaman
Mamluks dan Utsmaniyah. Jakarta: PT Hidakarya Agung.