Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ni Made Nina Novi Anti

No : 29
Kelas : XII IPS 1

Semakin Meningkatnya Kasus Tindak Pidana Korupsi Oleh Pejabat


Negara

Korupsi atau rasuah atau mencuri adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak. Korupsi di Indonesia dimulai sejak nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik
awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik.
Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan
sekadar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara,
Indonesia selalu menempati posisi paling tinggi. Keadaan ini bisa menyebabkan
pemberantasan korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan
oleh pihak masyarakat sendiri. Perkembangan korupsi di
Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di
Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di
Indonesia belum mampu atau menunjukkan titik terang
melihat peringkat.
Antara 1951–1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran
lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis
dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan
Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel.
Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan
pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana
atas intervensi PM Ali Sastroamidjojo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal
ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah
juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu.
Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet
sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe
berhasil ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961
karena dianggap sebagai lawan politik Soekarno. . Nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya
korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah
kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil
nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan
korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim
pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi
paling subur. Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu,
yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh
Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari
Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima
Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staf Nya. Proses
hukum Soeharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim
Soeharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan
Soeharto menjadi ketua Senat Seskoad.
Namun, dari tahun ke tahun kasus korupsi di Indonesia mengalami peningkatan walau sudah
terdapat organisasi yang khusus mengurus kasus Korupsi di Indonesia. Upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia sudah dilakukan melalui berbagai
cara, namun hingga saat ini masih saja terjadi korupsi
dengan berbagai cara yang dilakukan oleh berbagai
lembaga. Praktik- praktik tindak pidana korupsi yang
terjadi di Indonesia hampir setiap hari diberitakan oleh
media massa. Kenyataan praktik korupsi yang terjadi di
Indonesia bukan hanya melibatkan personal, tetapi juga
instansi politik dan hukum. Indonesia Corruption Watch
(ICW) menilai, sistem peradilan dan hukum di Indonesia
belum membuat para koruptor jera. Menurut Peneliti ICW
Lalola Easter, fenomena itu muncul karena masih minimnya penggunaan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(UU TPPU) dalam tuntutan maupun pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Jika dihadapkan dengan kondisi-kondisi saat ini terlihat
jelas bahwa Korupsi semakin menggila. Beberapa kasus
korupsi yang banyak menyeret para pejabat di Instansi
pemerintahan menjadi salah satu bukti. Parahnya yaitu
walaupun korupsi telah banyak menyeret para pejabat ke
dalam jeruji besi, namun belum juga bisa membuat jera
para penyelenggara negara. Hingga saat ini telah banyak
para pejabat terseret kasus korupsi, tidak hanya di Jawa
namun juga telah merata di beberapa daerah di Indonesia.
Korupsi yang menyeret Bupati Sulsel yang baru dilantik
menjadi salah satu contoh betapa korupsi semakin
menggila. Selain itu penangkapan Kepala Subdirektorat
Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana
Perkara Perdata MA, yaitu Andri Tristianto Sutrisna atas
dugaan kasus suap, mengindikasikan bahwa lembaga peradilan tertinggi di Indonesia juga tak
luput dari korupsi. Berdasarkan data yang dimiliki ICW (Indonesia Corruption Watch), di
Indonesia terdapat 550 kasus korupsi sepanjang tahun 2015. Nilai total dari kasus-kasus
korupsi tersebut mencapai Rp.3,1 Triliun. Sementara itu, Jawa Timur menjadi salah satu
wilayah dengan jumlah kasus korupsi terbanyak. Jumlah kasus yang disidik di provinsi
tersebut sebanyak 54 kasus, dengan nilai kerugian negara sebesar Rp. 332,3 miliar dan nilai
suap sebesar Rp. 2, 4 miliar. Menurut staf divisi investigasi ICW, Wana Alamsyah, modus
yang paling sering digunakan pada kasus-kasus korupsi tahun 2015 adalah penyalahgunaan
anggaran sekitar 24% atau 134 kasus.
Kebijakan yang mengatur atas tindakan korupsi di
Indonesia yaitu UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Peraturan pemerintah untuk pemberantasan
korupsi yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 2001
atau yang sering disebut UU Tipikor. UU Tipikor
tersebut ditetapkan oleh pemerintah pusat pada 21
November 2001 dan berlaku sejak tanggal
penetapan tersebut. Dengan ditetapkannya UU No.
20 Tahun 2001, pemerintah mencabut UU. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
UU No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana. UU No.
20 Tahun 2001 juga memuat perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
UU ini menegaskan, tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas. Sehingga tindak pidana
korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Tujuan
UU Tipikor untuk lebih menjamin kepastian hukum,
menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat, serta perlakuan adil dalam memberantas tindak
pidana korupsi. Dalam UU Tipikor tercantum hukuman dan
denda bagi pelaku korupsi atau yang disebut koruptor.
● Di Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, koruptor mendapat
hukuman pidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta
denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
● Dalam Pasal 3 UU Tipikor, pelaku korupsi dan
menyalahgunakan kewenangan, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda
minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Sedangkan orang yang dengan sengaja mencegah secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi juga dapat dipidana. Di Pasal 21 UU
Tipikor, pelaku akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama
12 tahun dan atau denda minimal Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta
Perbedaan pendapat terjadi dalam menemukan solusi untuk mencegah meningkatnya
kasus korupsi di Indonesia. Baru-baru ini terdapat berita hangat mengenai pro kontra
penetapan hukuman mati bagi para koruptor. Hal ini menuai banyak perdebatan hingga saat
ini. Sebagian menganggap jenis hukuman ini dapat menimbulkan rasa jera, karena diberikan
hukuman yang paling berat. Namun ada juga yang menentangnya dengan berbagai alasan.
Misalnya karena alasan hukuman mati yang dinilai tidak efektif menimbulkan rasa jera.
sejumlah contoh negara-negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor, nyatanya
angka korupsi di sana masih tetap tinggi, salah satunya China. Untuk itu, upaya yang
berbentuk pencegahan dinilai lebih efektif untuk mengatasi jenis kejahatan ini. Ada juga yang
berpendapat bahwa memberikan hukuman mati mungkin akan menimbulkan efek jera untuk
kedepannya.

Namun, pegiat anti korupsi dan kelompok masyarakat sipil menyebut hukuman mati
tak semestinya dijatuhkan. Pemenjaraan dan perampasan aset dianggap lebih efektif,
termasuk memanfaatkan para pelaku untuk mengungkap pihak lain yang turut menikmati
uang haram. Organisasi yang bertanggung
jawab atas tindakan korupsi di Indonesia yaitu
KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). KPK
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna
dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen
dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Tindakan korupsi diatur dan diurus oleh organisasi
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Polri,
Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. KPK yang
bertugas dalam penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Polri yang
bertugas dalam penyelidikan dan penyidikan atas
semua tindak pidana, termasuk di dalamnya adalah
korupsi. Lalu ada Kejaksaan Agung yang melakukan
penyidikan, penuntutan, dan melaksanakan keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Kemudian ada Mahkamah Agung selaku
pengawas tertinggi terhadap jalannya peradilan di
semua lingkungan peradilan.

Anda mungkin juga menyukai