Anda di halaman 1dari 6

Konflik: Disharmoni dan Diskriminasi antara etnis Cina dan non-

Cina
Adanya konflik antaretnis yang selalu membawa korban pada etnis Cina memberi
indikasi bahwa hubungan antaretnis khususnya antara etnis Cina dengan etnis "asli" Indonesia
tidak harmonis. Sering dianalogkan bahwa etnis Cina di Indonesia ibarat kerupuk yang ditaruh
dalam kaleng yang selalu digoyang untuk menemukan posisinya yang tepat. Sepanjang posisi itu
belum tepat, etnis Cina akan selalu digoyang.
Rentetan konflik di Indonesia yang melibatkan etnis Cina, sebenarnya sudah dimulai
sejak masa penjajahan dahulu, dekade kedua abad 20 an, yaitu tahun 1912 dan 1918. Kerusuhan
tahun 1912 itu berlangsung di Surabaya dan Surakarta. Kerusuhan itu dipercaya memiliki
keterkaitan dengan kegiatan-kegiatan Serikat Indonesia. Enam tahun setelah kerusuhan itu, yaitu
tahun 1918, kerusuhan anti-Cina kembali terjadi di Kudus. Kerusuhan itu timbul sebagai akibat
pertentangan kepentingan para pengusaha Tionghoa dengan para pedagang pribumi. Akibat dari
kerusuhan itu, beberapa orang Tionghoa terbunuh dan mereka juga banyak yang mengalami
luka-luka. Selain korban jiwa, rumah orang Tionghoa pun banyak yang dibakar habis
(Suryadinata, 1999: 157).
Pada masa Indonesia merdeka pun kerusuhan masih sering terjadi. Peristiwa "natal
kelabu" di Tasikmalaya, Rengasdengklok, Pasuruan, Probolinggo, Pekalongan, Situbondo,
Banjarmasin, Ujungpandang dan Ketapang (Warsilah, 2000: 22) termasuk di antaranya.
Kerusuhan ini juga melibatkan etnis Cina sebagai pihak yang menjadi korban. Kerusuhan paling
besar yang telah membuat trauma dan hampir melanda seluruh kota-kota di Indonesia, yang
menciptakan rasa takut tidak saja bagi etnis Cina tetapi juga seluruh lapisan masyarakat adalah
peristiwa 12 - 14 Mei 1998. Sebab, "Mei Kelabu"--sering disebut demikian--itu disertai dengan
tindakan kekerasan seperti penjarahan, pembakaran, penganiayaan, pembunuhan bahkan
pemerkosaan (Siburian, 1999). Pada peristiwa "Mei Kelabu", korban jiwa manusia (baik
meninggal maupun luka-luka) tidak hanya berasal dari golongan etnis Cina saja, juga dari
kalangan penduduk "asli" Indonesia yang terjebak di pusat-pusat perbelanjaan yang dibakar,
seperti yang terjadi di Plaza Yogya di daerah Klender, Jakarta Timur. Kerugian akibat kerusuhan
1998 itu mencapai Rp 2,5 trilyun (lihat tabel). Kerugian tidak hanya di bidang meterial, sebab
wanita etnis Cina yang diperkosa mencapai 168 orang dan mereka yang eksodus ke luar negeri
mencapai 100.000 orang (Herlianto, Masalah Cina 3 dikutip dari Kompas, 3 Juli 2003, dalam
http://www.yabina.org/artikel/A6.01.HTM, diambil tgl. 5 Januari 2005).

1|Page
Tabel Fasilitas yang Mengalami Kerusakan
Akibat Kerusuhan Mei 1998

Fasilitas Jumlah (Unit)


Pasar 13
Rumah toko (Ruko) 2.479
Mall/Plaza 40
Toko 1.604
Bengkel 45
Kantor Camat 2
Kantor Polsek 11
Kantor Swasta 383
Bank 65
Restoran 24
Hotel 12
Pompa bensin 9
Bis kota / Metromini 8
Mobil / Motor 1.119
Bioskop 80
Sumber: Herlianto, Masalah Cina 3 dikutip dari Kompas, 3 Juli 2003,
dalam http://www.yabina.org/artikel/A6.01.HTM
(diambil tgl. 5 Januari 2005).

Dampak kerusuhan itu tidak berhenti pada saat itu saja, sebab perekonomian Indonesia
pada waktu itupun relatif lumpuh. Usaha-usaha ekonomi yang dimiliki oleh orang Cina banyak
yang tutup, padahal usaha-usaha itu banyak mempekerjakan orang pribumi. Akibatnya, tidak
sedikit orang pribumi yang kehilangan pekerjaan, dan pada gilirannya berdampak pula pada
perekonomian nasional.
Kurang berterimanya masyarakat Indonesia untuk menempatkan etnis Cina sebagai etnis
yang sejajar dengan etnis "asli" tentu ada yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah faktor
kecemburuan sosial. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, posisi etnis Cina adalah "anak emas"
sekaligus "anak tiri" bangsa Indonesia. Artinya, di satu sisi etnis Cina diperlakukan sangat
istimewa oleh pemerintah Indonesia, tetapi di sisi lain, pada saat yang sama etnis Cina dipersulit
dalam berbagai hal. Dalam hal ini, pemerintah selalu mendiskriminasikan etnis Cina-- siapa pun
dia itu--dengan berbagai aturan.
Masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia bagaimana pihak imigrasi
memperlakukan pahlawan bulu tangkis Indonesia Hendrawan (WNI keturunan Cina) yang begitu
sulit untuk memperoleh tanda pengesahan sebagai warga negara Indonesia dari pemerintah.
Padahal, Hendrawan bukan orang yang seharusnya dicurigai mengingat sumbangsihnya untuk
negeri ini. Dia adalah pahlawan yang dapat mengharumkan nama bangsa Indonesia di tingkat
internasional di saat-saat Indonesia memerlukan pemulihan akibat keterpurukan ekonomi,
politik, hukum dan kepemimpinan. Agar masalah kewarganegaraan Hendrawan dapat segera
diselesaikan sehingga tidak mengganggu konsentrasinya berjuang membela keharuman bangsa
dan negara melalui dunia bulu tangkis, mantan Presiden Megawati harus turun tangan. Perlakuan
yang diterima oleh Hendrawan sangat disayangkan. Sebab, akibat perlakuan yang demikian

2|Page
seorang Kepala Negara harus turun tangan untuk menyelesaikan urusan adminsitrasi yang
sebenarnya tidak perlu dibuat menjadi sulit.
Perlakuan yang hampir sama juga diterima oleh pasangan emas Olympiade Barcelona
1992 Susi Susanti dan Alan Budikusumah (keduanya WNI keturunan Cina), ketika mereka
mendapat kehormatan sebagai pelari mewakili Indonesia untuk membawa obor Olimpiade Atena
tahun 2004. Pihak imigrasi juga mempersulit Susi dan Alan ketika ingin mengurus paspor. Pihak
imigrasi meminta SKBRI dan surat balik nama kepada pasangan ini. Padahal seluruh dunia
mengetahui sumbangsih pasangan ini terhadap keharuman bangsa Indonesia. Atas kejadian ini,
pemerintah seolah-olah tidak pernah memandang positif apa yang telah diperjuangkan dan
diperbuat oleh WNI keturunan Cina.
Dimintanya surat balik nama terkait dengan peraturan yang pernah dikeluarkan oleh
pemerintah berupa Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang
kebijakan pokok WNI terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta
adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti
dengan nama Indonesia. Hal penggantian nama ini sebenarnya sudah muncul pada masa
Pemerintahan Soekarno. Pada tahun 1961, Soekarno mengeluarkan peraturan untuk mengganti
nama Cina menjadi nama yang terdengar seperti nama Indonesia. Namun, peraturan ini hanya
berupa anjuran saja bukan sebagai paksaan. Sejak saat itulah, warga etnis Cina khususnya yang
telah WNI banyak mengganti namanya menjadi nama "Indonesia" (Suryadinata, 1999: 42).
Kecenderungan untuk menggunakan nama "Indonesia" masih berlangsung hingga era reformasi
ini.
Sementara ketika status kewarganegaraan itu dipertanyakan, hal itu terkait dengan
pemberlakuan peraturan tentang SKBRI. Akan tetapi, SKBRI yang tadinya wajib bagi WNI etnis
Cina, dengan keluarnya Keppres No. 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia tidak berlaku lagi, maka dalam Keppres itu ditegaskan bahwa bukti kewarganegaraan
cukup ditujukkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Akta Kelahiran seharusnya tidak
berlaku lagi. Pada masa Presiden BJ. Habibie pun, Intruksi Presiden No. 4 tahun 1999 juga
dikeluarkan. Isi Inpres itu adalah memerintahkan semua instansi agar memberikan layanan yang
sama terhadap semua warga negara, tanpa mempersoalkan SKBRI
(http://kabarberita.blogdrive.com/comments?id=17). Namun dengan adanya kasus Hendrawan,
Susi Susanti dan Alan Budikusuma, jajaran pemerintah bagian imigrasi menganggap kedua
peraturan tersebut tidak pernah ada, atau barangkali mereka tidak dapat menterjemahkan
peraturan itu untuk diimplementasikan dengan baik.
Berdasarkan realita tersebut di mana WNI keturunan Cina setenar Hendrawan dan Susi
Susanti masih menerima perlakuan yang tidak simpati dari pemerintah Indonesia mengenai
status kewarganegaraanya, kendati peraturan yang mengharuskan etnis Tionghoa memiliki
SKBRI sudah dicabut; bagaimana dengan WNI keturunan Cina lain yang sumbangsihnya bagi
negara ini tidak begitu kasat mata yang jumlahnya jutaan jiwa, sudah pasti perlakuan yang
mereka terima tentu lebih sulit lagi.
Pendiskriminasian etnis Cina ini sebenarnya sudah berlangsung ketika Indonesia masih
berada di bawah penjajahan kolonial Belanda. Secara resmi, pemerintahan Hindia Belanda (sejak
permulaan abad ke-19) membagi penduduk Hindia Belanda dalam tiga golongan: Eropa, Timur
asing (Cina, Arab dan lain-lain), dan pribumi. Orang Cina pada waktu itu tampil sebagai
pedagang perantara dan pedagang eceran. Golongan Cina ini cukup makmur di bawah kekuasaan
kolonial (Ong Hok Ham, 1999: 35).

3|Page
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, etnis Cina ini seperti "dianakemaskan" oleh
Belanda. Kegiatan mereka di bidang perdagangan sangat dihargai. Hal itu disebabkan oleh
semangat dagang dan usaha yang dimiliki oleh imigran Cina itu, termasuk kesediannya
menerima tamu, kecenderungannya mengadakan jamuan makan dan ramah dalam pergaulan
(Liem Twan Djie, 1996: 29). Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Duyvendak yang dikutip
oleh Liem Twan Djie (1996: 29) bahwa orang-orang Cina sangat gesit dan rajin serta mereka
tidak segan bekerja dan tidak gentar menghadapi kesulitan demi memperoleh uang. Oleh karena
orang Cina unggul di bidang perdagangan, orang Cina pernah menjadi rebutan antara Pangeran
Banten dengan penjajah Belanda. Pada tahun 1916, J.P. Cohen hendak memindahkan orang Cina
yang berada di Banten, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 2000 orang ke Jakarta. Maksudnya
adalah agar perdagangan di Banten lumpuh sehingga Jakarta menggantikan posisi Banten
sebagai tempat penimbunan komoditas perdagangan. Namun usaha itu dapat digagalkan oleh
Pangeran Banten yang menyadari taktik jahat dari penguasa penjajah Belanda itu. Sebab,
pemindahan orang Cina dari Banten berakibat pada lumpuhnya usaha perdagangan di Banten
(Hoetink dikutip Liem Twan Djie, 1996: 29). Pendiskriminasian orang Cina terlepas dari apakah
pendiskriminasian itu menguntungkan orang Cina atau tidak berlanjut ke masa kolonial Jepang,
dan sampai ke masa pemerintahan Indonesia merdeka.
Ketika Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda, etnis Cina hanya diperbolehkan
bergerak di bidang perdagangan. Tertutupnya akses etnis Cina berusaha di bidang lain
disebabkan oleh hambatan-hambatan perundang-undangan yang merintangi mereka. Misalnya,
pada tahun 1823 pemerintah kolonial di bawah Gubernur Jenderal Van Der Capellen
mengeluarkan peraturan yang melarang penyewaan tanah kepada orang-orang Cina dan asing
lainnya (Wie, 1995: xiv). Hal inilah yang mengawali mengapa orang Cina banyak bergerak di
bidang perdagangan.
Pada masa penjajahan Jepang, etnis Cina digolongkan sebagai bangsa asing, didasarkan
pada Undang-undang Nomor 7 tanggal 11 April 1942. Oleh karena itu etnis atau orang Cina
diharuskan membayar pajak bangsa asing, untuk laki-laki f100 dan perempuan f50. Dengan
demikian, kemanapun etnis Cina dewasa bepergian, mereka diharuskan membawa kartu
pengenal asing dan surat jalan (Kwartanada, 1996: 31).
Pada masa pemerintahan Indonesia merdeka, praktek yang hampir mirip dengan yang
dilakukan oleh Jepang ketika menjajah Indonesia banyak terjadi. Berbagai pungutan--baik resmi
ataupun tidak--harus dibawar oleh pengusaha Tionghoa, sebagai "uang keamanan" mengingat
status mereka sebagai minoritas yang tidak disukai. Setiap etnis Tionghoa diwajibkan untuk
memiliki SBKRI, yang berfungsi sebagai "surat sakti" untuk berbagai keperluan, seperti untuk
masuk sekolah/kuliah (Kwartanada, 1996: 37).
Dengan berbagai aturan yang dijelaskan itu, secara eksplisit dinyatakan bahwa etnis Cina
bukanlah orang "asli" Indonesia. Sebab, yang diwajibkan untuk melengkapi persyaratan sebagai
warga negara Indonesia seperti di atas hanyalah etnis Cina atau warga asing yang menjadi warga
negara Indonesia. Padahal dilihat dari segi historis, etnis Cina sudah lama diakui keberadaannya
di Indonesia. Walaupun demikian, etnis Cina masih dikategorikan sebagai orang asing. Kalaupun
etnis Cina diterima sebagai warga negara Indonesia tetapi masih dengan setengah hati, padahal
jumlah mereka mencapai jutaan orang dan sudah banyak yang kawin campur dengan etnis "asli".

4|Page
Pengelompokan Etnis Cina
Sering warga "asli" atau "pribumi" memandang etnis Cina secara homogen, padahal tidak
demikian adanya. Dalam komunitas etnis Cina terdapat keheterogenitasan, seperti kelompok
pribumi Indonesia. Dari sisi tempat lahir dan penggunaan bahasa saja, secara kultural etnis Cina
yang jumlahnya lebih dari lima juta orang dapat dikelompokkan atas dua bagian1 (Suryadinata,
1999: 170). Pertama, adalah kelompok etnis Cina peranakan. Mereka ini lahir di Indonesia dan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, tidak saja kepada warga pribumi juga
sesama mereka yang berasal dari etnis Cina itu sendiri.
Etnis Cina peranakan ini banyak terdapat di Pulau Jawa. Mereka inipun sudah kehilangan
kefasihannya berbicara dalam bahasa Cina karena mereka sudah banyak menyerap unsur
kebudayaan pribumi tempat di mana etnis Cina peranakan ini bermukim (Suryadinata, 1999:
170-171) ataupun sebaliknya. Dalam hal ini, antara kebudayaan Cina dan kebudayaan pribumi
sudah terjadi dialektika. Oleh karena itu, untuk memberi sebutan kepada mereka ini sering
dikaitkan dengan salah satu etnik "asli" di mana unsur kebudayaannya diserap seperti "Cina
Betawi" atau "Cina Jawa".
Etnis Cina kelompok peranakan ini terkadang secara fisik tidak berbeda dengan ciri-ciri
fisik yang dimiliki oleh kebanyakan warga pribumi. Misalnya, kebanyakan bentuk mata etnis
Cina adalah sipit dan kulit berwarna putih (ras mongoloid). Kendati demikian, mereka yang
berasal dari etnik Cina peranakan ini sudah banyak yang memiliki mata dengan tingkat
kesipitannya yang tidak lagi menonjol. Selain itu, warna kulit merekapun sudah banyak yang
mengarah ke kecoklat-coklatan bahkan ada yang lebih gelap dari pada warna kulit warga pribumi
Indonesia.
Kedua, kelompok etnis Cina totok. Tempat lahir mereka ini berada di luar negeri atau
sebagian besar terletak di negeri Cina. Mereka ini bermigrasi ke Indonesia pada abad 19 dan 20.
Kelompok ini merupakan gelombang migrasi terakhir secara besar-besaran. Oleh karena mereka
ini masih asli dari negeri Cina sana, maka baik bahasa yang digunakan dan kebudayaan yang
diekspresikan masih bernuansa Cina. Ringkasnya, mereka ini masih orang Cina. Hal ini
ditegaskan secara hukum bahwa mereka ini masih dikelompokkan sebagai warga negara asing
(WNA). Etnik Cina kelompok totok ini kebanyakan bermukim di luar Pulau Jawa (Suryadinata,
1999: 170-171). Usia mereka inipun sudah lanjut. Salah satu bukti bahwa mereka masih warga
negara asing seperti yang saya amati di Sidikalang, Sumatera Utara. Bagi setiap etnis Cina totok
yang ada di sana, di atas pintu rumah bagian depan terdapat tulisan WNA atau warga negara
asing. Dengan demikian, etnis Cina totok ini masih merupakan warga negara asing yang memang
kebetulan mencari nafkah (makan) di bumi Indonesia.
Etnis Cina pun sudah banyak yang meninggalkan religi leluhurnya, dan menganut salah
satu dari agama yang diakui oleh negara pada masa Orde Baru; seperti Islam, Kristen, Budha dan
Hindu. Bahkan etnis Cina yang beragama Kristen ini sudah banyak yang menjadi pendeta
dengan jemaat yang berasal dari berbagai latar belakang etnis.

5|Page
Analisa
Keberadaan etnis Cina di Indonesia sudah berlangsung lama. Bahkan etnis Cina sudah bermukim
di negeri ini jauh sebelum Indonesia merdeka. Tetapi dalam realitanya, etnis Cina masih
dikategorikan sebagai warga asing yang belum dapat terintegrasikan secara total dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal itu ditunjukkan oleh adanya persyaratan
yang harus dipenuhi oleh seseorang yang berasal dari etnis Cina layaknya orang asing yang ingin
menjadi warga negara Indonesia.
Sisi lain adalah, hubungan warga "asli" Indonesia dengan etnis Cina belum terjalin
dengan harmonis akibat selain perbedaan kultural yang tidak bisa dihindari, adalah juga
perbedaan dalam kesempatan ekonomi. Dalam hal yang satu ini, etnis Cina menjadi anak "emas"
pemerintah dengan berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada mereka.
Keunggulan di bidang ekonomi yang berakibat pada keunggulan untuk menghimpun
kekayaan memposisikan mereka berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan
warga pribumi dalam status sosial masyarakat Indonesia. Kondisi itu memposisikan etnis Cina
merupakan golongan yang eksklusif. Keadaan itu terus terpelihara dan mereka tidak membuka
jalan pembauran dengan sesama warga "asli" lain. Akibatnya adalah "jarak" etnis Cina dengan
warga "asli" semakin jauh. Sikap seperti itu menciptakan ketidaksenangan pada kelompok
pribumi, sehingga bila ada konflik sekecil apapun dengan etnis Cina, yang dikedepankan oleh
warga "asli" adalah sikap "anti Cina".
Agar persoalan hubungan etnis di Indonesia dapat terpelihara dengan baik, sudah
selayaknya penyebutan warga negara pribumi dan non-pribumi dihilangkan. Istilah dengan
pengkategorian seperti itu sudah menciptakan dikotomi tersendiri dengan segala konsekuensinya.
Hal yang perlu ditanamkan pada masyarakat Indonesia melalui media pendidikan bahwa
Indonesia itu multi etnik, multi agama, multi adat istiadat, yang satu sama lain harus hidup
berdampingan untuk membangun Indonesia yang kuat. Kemudian, pemerintah sudah waktunya
menghilangkan diskriminasi di antara etnik-etnik yang ada di Indonesia ini, sebab
pendiskriminasian seperti yang dialami oleh etnis Cina selama ini akan sulit menghilangkan
perbedaan. Karena, dengan adanya pendiskriminasian sekaligus menunjukkan adanya perbedaan.
Oleh karena itu, WNI etnis Cina pun tidak menganggapnya sebagai etnis yang paling unggul
yang dapat menciptakan sentimen keetnisan.
Selain itu, intropeksi ke dalam perlu juga dilakukan oleh etnis Cina itu sendiri. Sebab,
kendati etnis Cina sudah lama bermukim di Indonesia ini, tampaknya adaptasi yang dilakukan
selama ini masih belum berhasil mengingat setiap terjadinya kerusuhan tidak jarang melibatkan
etnis Cina selaku pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, alternatif dari strategi adaptasi yang
dilakukan selama ini perlu dicari dan dimunculkan.

6|Page

Anda mungkin juga menyukai