Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Defenisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri

Mycobacterium tuberkulosis. Bakteri ini biasanya menyerang paru-paru (TB paru),

tetapi dapat menyerang organ-organ tubuh lainnya (TB ekstra paru). Bakteri tersebut

masuk tubuh melalui udara pernafasan yang masuk ke dalam paru, kemudian bakteri

menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem

saluran limfe, melalui saluran nafas atau penyebaran langsung ke tubuh lainnya.1,10

Mycobacterium tuberkulosis adalah agen menular yang dapat muncul sebagai

reaktivasi dari infeksi laten pada pasien imunokompromais atau sebagai infeksi

primer setelah adanya transmisi dari manusia ke manusia pada berbagai stadium

infeksi HIV.11

2.1.2 Epidemiologi

Berdasarkan Global Tuberkulosis Report 2018, Sebanyak 10 juta penduduk

dunia yang menderita TB, penderita terbanyak terjadi pada laki-laki sekitar 5,8 juta

penduduk dibanding perempuan sebanyak 3,2 juta penduduk dan 1,3 juta diantaranya

meninggal dunia.1 Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2018, kawasan

asia tenggara menempati urutan pertama kasus TB terbanyak dan Indonesia

menduduki peringkat ke-3 dengan angka kejadian sebanyak 425.089 kasus

berdasarkan jumlah kasus tuberkulosis tahun 2017.2

5
6

2.1.3 Etiologi

Tuberkulosis merupakan penyakit yang bersifat infeksius. Tuberkulosis

disebabkan oleh invasi bakteri Mycobacterium tuberculosis saat daya tahan tubuh

menurun. Dalam prosesnya, terdapat interaksi dari tiga komponen, yaitu host, agent,

dan environtment. Vulnerabilitas terhadap Mycobacterium tuberculosis sangat

dipengaruhi oleh status imunitas seseorang. Individu dengan HIV/AIDS atau

memiliki penyakit kronik lain dapat memudahkan terjadinya infeksi dari

Mycobacterium tuberculosis.2 Tuberkulosis menular melalui droplet yang ada di

udara, droplet tersebut dapat bertahan di udara selama beberapa jam setelah

pengeluaran.12 beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan tuberculosis adalah

sebagai berikut13:

1. Kondisi imunosupresi

Individu dengan kondisi penurunan kekebalan tubuh dapat meningkatkan

risiko terjadinya tuberkulosis. Kondisi seperti HIV/AIDS merupakan salah

satu faktor resiko tertinggi untuk terjadinya tuberculosis. Imunitas yang

diperantarai sel sangat berperan dalam pertahanan tubuh melawan

Mycobacterium tuberculosis.

2. Malnutrisi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi malnutrisi baik defisiensi

mikro maupun makro dapat meningkatkan risiko tuberculosis karena terjadi

kerusakan respon imunitas tubuh. Tuberkulosis sendiri dapat mengakibatkan

terjadinya malnutrisi yang disebabkan penurunan nafsu makan dan

perubahan metabolic dalam tubuh.


7

3. Usia muda

Usia muda memiliki risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis. Kebanyakan anak

berusia kurang dari 2 tahun terinfeksi tuberkulosis dari rumah tangga.

Sedangkan anak berusia lebih dari 2 tahun kebanyakan terinfeksi dari

komunitas. Risiko tinggi terjadi pada infeksi primer yang terjadi pada balita.

4. Petugas kesehatan

Petugas kesehatan memiliki risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis. Laporan

dari seidler et al, menunjukkan bahwa pada pekerja kesehatan di Negara

maju, jumlah insiden tuberkulosis kurang dari 10-25 dari 100.000 individu

pertahun. Sedangkan pada negara berkembang, insidensi tuberkulosis pada

petugas kesehatan mencapai 69-5780 dari 100.000 individu pertahun.

2.1.4 Patofisiologi

Mycobacterium tubeculosis yang terdapat pada droplet diudara dapat terhirup

orang sehat dan akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel ini

dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Bakteri ini akan

dihadapi pertama kali oleh netrofil, kemudian makrofag dan keluar dari percabangan

trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila bakteri menetap di

jaringan paru maka akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag dan dapat

terbawa ke organ tubuh lainnya. Bakteri yang bersarang di jaringan paru akan

berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek

primer. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar

sampai ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Bakteri dapat juga masuk melalui

saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit. Kemudian terjadi


8

limfadenopati regional dan bakteri masuk kedalam vena serta menjalar ke seluruh

organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi

penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Sarang primer akan timbul

peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan diikuti

pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Limfadenitis ini

menjadi kompleks primer dengan proses 3 – 8 minggu.14,15

2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis

A. Tanda dan Gejala16

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau

lebih. Selain itu, dapat juga diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur

darah, berkeringat pada malam hari tanpa aktifitas, nafsu makan menurun, berat

badan menurun, malaise dan badan terasa lemas. Gejala sesak napas dan nyeri dada

dapat ditemukan bila terdapat komplikasi (efusi pleura, pneumotoraks dan

pneumonia).

Gejala klinis TB paru pada Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) sering kali

tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan

berat badan yang signifikan (lebih dari 10%). Selain itu, dapat ditemukan gejala lain

terkait TB ekstra paru (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat

dan TB abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan, pembesaran

kelenjar limfe di leher, sesak napas dan lain-lain.

B. Pemeriksaan laboratorium dahak17

Pada ODHA meskipun sulit menemukan kasus TB paru hanya dengan

mengandalkan pemeriksaan mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang


9

menderita TB paru biasanya BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak

tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua

spesimen dahak Sewaktu dan Pagi (SP) dan bila minimal salah satu spesimen dahak

hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan.

Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB.

Ada dua macam media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan yaitu media padat

dan media cair. Waktu pemeriksaan dengan media cair lebih singkat dibandingkan

dengan media padat. Namun, bakteri TB merupakan bakteri yang lambat dalam

pertumbuhan sehingga biakan memerlukan waktu sekitar 6 – 8 minggu. Pemeriksaan

biakan memerlukan waktu cukup lama sehingga bila penegakan diagnosis TB pada

ODHA hanya mengandalkan pada pemeriksaan biakan maka dapat mengakibatkan

angka kematian TB pada ODHA meningkat. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan

mikroskopis dahaknya BTA negatif sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan

biakan dahak karena hal ini dapat membantu penegakan diagnosis TB bila hasil

pemeriksaan penunjang lainnya negatif. Pemeriksaan biakan dahak dilakukan pada

laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Direktorat Bina

Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan.

C. Pemeriksaan penunjang radiologis

Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam

penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif.

Indikasi pemeriksaan foto toraks pada ODHA:

a. BTA positif

 pasien sesak napas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi pleura)


10

 pasien hemoptysis

 pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.

b. BTA negatif

 Lakukan foto toraks pada pasien TB paru BTA negatif.

 Kelainan gambaran radiologis yang ditemukan pada TB Paru

2.2 HIV dan AIDS

2.2.1 Defenisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem

kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV merupakan virus

RNA yang termasuk dalam golongan Retrovirus. Retrovirus anggota famili

Retroviridae menurut sistem klasifikasi Baltimore termasuk golongan VI.18

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV.

AIDS disebabkan oleh adanya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dalam

tubuh.19

2.2.2 Epidemiologi

Berdasarkan WHO, jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh dunia pada tahun

2017 sebanyak 36,9 Miliar penduduk yang terinfeksi HIV.20 Berdasarkan data

Kementrian Kesehatan RI tahun 2018, sebanyak 630.000 ODHA di Indonesia,

penderita terbanyak pada laki-laki sebesar 66% dibanding perempuan sebesar 34%

dengan kelompok umur terbanyak pada umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun

provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099), diikuti
11

Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah

(24.757).4

2.2.3 Etiologi

AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh

seorang ilmuwan dari Institute Pasteur Paris, Barre-Sinoussi yaitu Montagnier pada

tahun 1983, yang mengisolasi virus ini dari seorang penderita dengan gejala

“lymphadenopathy syndrome”, sehingga pada waktu itu dinamakan

Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Pada tahun 1984, Popovic, Gallo dari

Institute of Health, Amerika Serikat, menemukan virus lain yang disebut Human T

Lymphotropic Virus Type III (HTLV-III) yang juga adalah penyebab AIDS.21,22

Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga

berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Toxonomy of Viruses tahun

1986, WHO memberikan nama resmi HIV. Tahun 1986 di Afrika ditemukan juga

virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan

HIV-1 secara genetik maupun maupun antigenik. HIV-2 yang ditemukan di Afrika

Barat dianggap kurang patogen dibandingkan HIV-1 yang sering menyerang

manusia.22

Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Retrovirus

mempunyai kemampuan untuk mengkode enzim khusus, reserve transcriptase

(enzim transkriptase reversi), yang memungkinkan DNA ditranskripsi dari RNA.

Sehingga HIV dapat menggandakan gen-nya sendiri. Hal tersebut terjadi dengan
12

menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu,

virus tersebut menghancurkan CD4 dan limfosit.21

Gambar 2.1 Virus HIV

Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan

bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian

RNA (Ribonucleic Acid), enzim reverse transkriptase dan beberapa jenis protein.

Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp41 dan gp120). Gp120

berhubungan dengan reseptor lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus

(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap

pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan

dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan

sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. 23

2.2.4 Patofisiologi

HIV akan menempel pada limfosit sel induk melalui gp120 sehingga terjadi

fusi membrane HIV dengan sel induk. Lalu, inti HIV akan masuk ke dalam

sitoplasma sel induk. Setelah di dalam sel induk, HIV akan membentuk DNA HIV

dari RNA HIV melalui enzim polimerase. Kemudian dengan bantuan enzim
13

integrase, DNA HIV akan berintegrasi dengan DNA sel induk. DNA HIV yang

selanjutnya dianggap sebagai DNA sel induk oleh tubuh akan membentuk mRNA

dengan fasilitas dari sel induk, sedangkan mRNA dalam sitoplasma akan diubah oleh

enzim protease menjadi HIV baru. Akhirnya, HIV baru akan mengambil selubung

dari bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV. Hal ini akan mempengaruhi

sistem imun karena terjadi penekanan sistem imun (imunosupresi) yang dapat

menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit.23

HIV cenderung menyerang jenis sel yang mempunyai antigen permukaan

CD4, terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan

mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus ini juga dapat

menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel Langerkans pada kulit, sel dendrit

folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri

dan sel-sel mikroglia otak. HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur

replikasi yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah

satunya ialah tat, gen yang dapat mempercepat replikasi virus sehingga terjadi

penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang menyebabkan system kekebalan

tubuh menjadi lumpuh dan kelumpuhan inilah yang mengakibatkan timbulnya

penyakit opurtunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS.24

2.2.5 Diagnosis HIV

Pemeriksaan diagnosa HIV dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan

atau peningkatan kejadian infeksi HIV. Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan

melalui KTS atau TIPK dan harus dengan persetujuan pasien.


14

a. KTS (Konseling dan Tes Sukarela) dilakukan dengan langkah-langkah seperti

konseling pra tes, tes HIV, dan konseling pasca tes.

b. TIPK (Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan) dilakukan dengan

langkah-langkah seperti pemberian informasi tentang HIV dan AIDS sebelum tes,

pengambilan darah untuk tes, penyampaian hasil tes, dan konseling.

Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis dan/ atau teknisi

laboratorium yang terlatih. Tes HIV dilakukan dengan metode rapid diagnostic test

(RDT) atau EIA (Enzyme Immuno Assay). Sedangkan, konseling wajib diberikan

pada setiap orang yang telah melakukan tes HIV oleh konselor terlatih baik tenaga

kesehatan maupun non kesehatan.25

A. Rapid Diagnostic Test (RDT)23

WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test (dipstick)

sehingga hasilnya bisa segera diketahui. Ada beberapa gejala dan tanda mayor, antara

lain:

1. Kehilangan berat badan (BB) >10%

2. Diare Kronik >1 bulan

3. Demam >1 bulan

Sedangkan tanda minornya, antara lain:

1. Batuk menetap >1 bulan

2. Dermatitis pruritis (gatal)

3. Herpes Zoster berulang

4. Kandidiasis orofaring

5. Herpes simpleks yang meluas dan berat


15

6. Limfadenopati yang meluas

Tanda lain adalah sarkoma kaposi yang meluas dan meningitis kriptokokal.

Jika ada minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor tanpa

diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat, atau bila

terdapat salah satu saja dari tanda lain.

B. Enzyme Immuno Assay (EIA) atau Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay

(ELISA)26

Bahan yang diperiksa adalah serum atau cairan darah yang lain (cairan otak)

yang diambil secara steril dan disimpan pada suhu 20°C tanpa diberi anti koagulan.

Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil

positif 2-3 bulan setelah infeksi.

2.3 Hubungan TB dengan HIV11

HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB) saat ini merupakan masalah kesehatan

global. TB paru merupakan infeksi oportunistik paling sering terjadi pada penderita

HIV/AIDS di dunia. Mycobacterium tuberkulosis adalah agen menular yang dapat

muncul sebagai reaktivasi infeksi laten pada pasien imunokompromais atau sebagai

infeksi primer setelah penularan dari orang ke orang pada berbagai stadium HIV.

Tuberkulosis adalah penyebab kematian pada 13% orang dengan infeksi HIV.

Infeksi tuberkulosis dapat muncul sebagai tuberkulosis paru atau tuberkulosis

ekstraparu pada berbagai jumlah sel CD4. Gambaran klinis terdiri dari demam,

penurunan berat badan, dan gejala konstitusional seperti batuk dan nyeri dada.

Tuberkulosis paru merupakan infeksi yang paling sering muncul pada pasien
16

koinfeksi TB-HIV. Tuberkulosis ekstraparu (termasuk keterlibatan limfonodi, sistem

saraf pusat dan bakteremia) dapat timbul pada pasien defisiensi imun stadium lanjut.

Gambaran radiologi TB pada pasien HIV dengan CD4 > 200 sel/μL sama seperti

gambaran TB pada umumnya, dengan predominansi adanya kelainan pada lobus paru

atas, infeksi kavitas, dan adanya efusi pleura. Pada pasien defisiensi imun, (jumlah

CD4 <200 sel/μL), pada umumnya timbul limfadenopati mediastinum, infeksi non-

kavitas, dan tuberkulosis ekstraparu. Diperkirakan hingga 10% pasien TB dengan

infeksi HIV memiliki gambaran radiologi paru yang normal.

Diagnosis infeksi M. tuberkulosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan

mikroskopis sputum pasien dan kultur, pemeriksaan radiologi, histopatologis, kultur

sumsum tulang, dan pembesaran limfonodi atau hati. Pemeriksaan spesimen sputum

dengan NAA (Nucleic Acid Amplification) dapat mendiagnosis infeksi tuberkulosis

lebih cepat. Spesifitas tes NAA sangat tinggi pada cairan tubuh lainnya, terutama

dalam mendiagnosis meningitis TB dan pleural TB.

Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan adalah tes tuberkulin (TST) dan

Interferon-gamma release assays. DHHS merekomendasikan tes ulang infeksi TB

laten pada pasien yang jumlah CD4-nya < 200 sel/μL ketika jumlah tersebut telah

mencapai 200 sel/μL diikuti dengan mulainya penggunaan ARV. Skrining TB (paru

dan ekstra paru) perlu dilakukan secara rutin untuk setiap ODHA. Prosedur skrining

harus standar dengan menggunakan alat skrining (kuesioner) yang sederhana terhadap

tanda dan gejala (penilaian risiko terhadap TB). Skrining dikerjakan oleh konselor,

manajer kasus atau para medis lainnya, dan harus dilakukan pada semua ODHA
17

setelah KTS (Konseling Post Test) dan secara berkala selama pelayanan HIV

termasuk sebelum memulai ART, atau selama pemberian ART.27


18

2.3 kerangka Teori


Sosioekonomi dan
kebiasaan

Jenis Kelamin
Koinfeksi dengan
penderita HIV dengan
pajanan yang sudah lama
Kontak dengan penderita
Gaya hidup bebas
tuberkulosis

HIV Tuberkulosis

Deplesi CD4 + T
Limfosit

Penurunan aktifitas
makrofag

1. Batuk berdahak
2. Nyeri dada
3. Demam
4. Penurunan berat badan
5. Limfadenopati generalisata
persisten
6. Asimtomatik

Usia Kondisi Imunosupresi


CD4 < 200

Jenis terapi OAT

Infeksi oportunistik lainnya

Outcome

Gambar 2.2 Kerangka Teori


19

2.5 Kerangka Konsep

Tuberkulosis HIV

Jumlah penderita Profil Keluhan utama Pemeriksaan penunjang Jenis terapi Infeksi
OAT oportunistik
dan outcome

Berdasarkan usia dan 1. Batuk berdahak 1. Pemeriksaan 1. OAT


jenis kelamin 2. Nyeri dada sputum BTA kategori I
3. Demam 2. Genexpert 2. OAT
4. Penurunan berat 3. Pemeriksaan kategori II
badan radiologi
5. Limfadenopati 4. Jumlah
generalisata limfosit T
persisten CD4+
6. Asimtomatik 5. Lainnya
7. Lainnya

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai