Mengapa Penyidik Dapat Mengatakan Alat Bukti Tidak Sah, Sementara Pada Proses
Penyelidikan Sudah Mempersyaratkan Harus Menyertakan 2 Alat Bukti Yang Sah
Penyidikan adalah kegiatan mengumpulkan bukti yang akan membuat terang perkara
sehingga kemudian dapat menemukan tersangka. Sehingga proses penetapan tersangka itu
bukanlah penetapan acak, karena penetapan tersangka secara acak niscaya akan sangat
merugikan orang kebanyakan atau orang yang tidak mampu membela diri secara baik dengan
cara yang baik dan benar.1 Penyelidikan adalah untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan adalah proses untuk mencari serta
mengumpulkan bukti dan menemukan tersangka.
1
“Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia” (Diakses di https://repository.uai.ac.i
d/wp-content/uploads/2020/09/Himpunan-putusan-Mahkamah-Konstitusi-Republik-Indonesia_fix.pdf8u pada tang
gal 6 September 2021 pukul 14.00 WIB)
2
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, edisi
kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 150.
Untuk dapat mengetahui bahwa dalam suatu penyidikan tidak terdapat cukup bukti, maka
harus diketahui kapankah hasil penyidikan dipandang sebagai cukup bukti. Untuk dapat
dinyatakan sebagai cukup bukti ialah tersedianya minimal dua alat bukti yang sah untuk
membuktikan bahwa benar telah suatu tindak pidana dan tersangkalah sebagai pelaku yang
bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang
dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c.
Saksi; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.3
Kekuatan alat bukti dapat membuktikan putusan pengadilan bahwa putusan itu benar
sehingga si tersangka dinyatakan bersalah. Kekuatan pembuktiannya terletak pada hubungan
banyak atau tidaknya perbuatan yang dianggap sebagai petunjuk dengan perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa.4
Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa apa yang
disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pidana seperti yang diatur dalan
KUHP, maka penyidik berwenang untuk menghentikan penyidikan. Penyidik dalam menentukan
sebuah peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan, harus berpegang pada unsur delik dari
tindak pidana yang disangkakan. Karena dalam sebuah definisi tindak pidana terdapat unsur
delik yang harus dipenuhi, sehingga penyidik dapat memutuskan sebuah peristiwa sebagai
tindak pidana.5
Biasanya alat bukti juga tidak boleh dipercaya begitu saja oleh hakim misalnya
keterangan terdakwa pada Pasal 189 ayat (1) bahwa keterangan terdakwa yang dapat dijadikan
sebagai alat bukti adalah keterangan terdakwa yang dinyatakan di sidang tentang perbuatan yang
ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri, alami sendiri. Jadi, hakim tidak boleh percaya begitu saja
atas keterangan yang terdakwa berikan sehingga hal-hal yang akan merugikan dia atau
memperberat hukumannya tidak akan diungkapkan.6 Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat
bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh
undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang.
Kepada ketentuan Pasal 184 KUHAP inilah penyidik berpijak menentukan apakah alat
bukti yang ada di tangan benar-benar cukup untuk membuktikan kesalahan tersangka dimuka
persidangan. Kalau alat bukti tidak cukup dan memadai, penyidikan perkara tersebut haruslah
dihentikan. Tetapi apabila di kemudian hari penyidik dapat mengumpulkan bukti yang lengkap
dan memadai, dapat lagi kembali memulai penyidikan terhadap tersangka yang telah pernah
dihentikan pemeriksaan perkaranya.7
3
Anonimous, KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 271.
4
Eddy Os. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, hlm. 52.
5
Marfuatul Latifah, Kasus Penghentian Penyidikan dan Penegakan hukum Di Indonesia, Info singkat, Vol
VI, Jakarta, 2013.
6
C. Djisman Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hlm. 114.
7
Yahya Harahap, Op-Cit, hlm. 151