LP KPD Sudah Edit
LP KPD Sudah Edit
ROGOJAMPI BANYUWANGI
DISUSUN OLEH :
ARDHI KUSUMA PUTRA
2114201000013
Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan.
Bila ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada
kehamilan premature. Dalam keadaan normal 8 – 10 % wanita hamil aterm akan mengalami
ketuban pecah dini (Prawirohardjo, 2010)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-tanda
persalinan. Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi diatas 37 minggu kehamilan, sedangkan
dibawah 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2010).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan pada
primipara < 3 cm dan pada multipara <5 cm. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun
jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37
minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya
melahirkan (Mochtar, 2007).
Ketuban pecah dini disebabkan oleh kurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya
tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membrane
disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Penyebabnya juga
disebabkan karena inkompetensi servik. Polihidramnion / hidramnion, mal presentasi janin
(seperti letak lintang) dan juga infeksi vagina / serviks (Prawirohardjo, 2010).
Adapun yang menjadi faktor resiko terjadinya ketuban pecah dini adalah :
(Prawirohardjo, 2010)
Korioamnionitis adalah keadaan pada ibu hamil dimana korion, amnion dan cairan
ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu
dan janin, bahkan dapat menjadi sepsis. Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput
ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan
terjadinya KPD.
Serviks yang inkompeten, kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan
pada serviks uteri (akibat persalinan, curettage). Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi
(inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan
kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester
kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus
dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada
konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi
kehamilan atau laserasi obstetrik.
c. Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini. Trauma yang
didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi yang ≥4 kali seminggu, posisi
koitus yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu
terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan
terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi.
Perubahan volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil akhir
kehamilan yang kurang bagus. Ketegangan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara
berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gamelli.
e. Kelainan letak,
Misalnya sungsang sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul
serta dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
f. Paritas
Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara. Primipara adalah wanita yang
pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang
mengalami ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil,
gangguan fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain itu, hal ini
berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir triwulan kedua dan awal triwulan
ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan didukung oleh faktor lain seperti keputihan
atau infeksi maternal. Sedangkan multipara adalah wanita yang telah beberapa kali mengalami
kehamilan dan melahirkan anak hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan
mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang
terlampau dekat, diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan
berikutnya.
g. Usia kehamilan
Persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas, infeksi diyakini
merupakan salah satu penyebab terjadinya KPD dan persalinan preterm (Prawirohardjo, 2010).
Pada kelahiran <37 minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila ≥47 minggu lebih
sering mengalami KPD (Manuaba, 2010). Komplikasi paling sering terjadi pada ketuban pecah
dini sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindroma distress pernapasan, yang terjadi pada
10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian ketuban pecah dini, selain itu
juga terjadinya prolapsus tali pusat. Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada
ketuban pecah dini preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada
ketuban pecah dini preterm. Kejadiannya mencapai 100% apabila ketuban pecah dini preterm
terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.
Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami KPD kembali. Patogenesis
terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen
dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini
preterm terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada
kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah
mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari
pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran
yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan
berikutnya.
b. Membran terkait dengan pembukaan terjadi devaskularisasi serta nekrosis dan dapat diikuti
pecah spontan
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang mengeluarkan enzim
proteolotik dan enzim kolagenase.
Pathway
Pembukaan Prematur
serviks
Memgeluarkan Enzim
Proteolotik dan
Kologenese
Ketuban Pecah Dini
Komplikasi yang terjadi pada KPD meliputi mudah terjadinya infeksi intra uterin, partus
prematur, dan prolaps bagian janin terutama tali pusat (Manuaba, 2009). Terdapat tiga
komplikasi utama yang terjadi pada KPD yaitu peningkatan morbiditas neonatal oleh karena
prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran, dan resiko infeksi baik pada ibu
maupun janin. Risiko infeksi karena ketuban yang utuh merupakan penghalang penyebab infeksi
(Prawirohardjo, 2010).
Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonal.
Komplikasi akibat KPD kepada bayi diantaranya adalah IUFD, asfiksia dan prematuritas.
Sedangkan pada ibu diantaranya adalah partus lama, infeksi intrauterin, atonia uteri, infeksi
nifas, dan perdarahan post partum (Mochtar,2007).
6. Diagnosa Ketuban Pecah Dini
Menurut Prawirohardjo (2010) untuk mendiagnosa ketuban pecah dini yaitu dengan
menentukan pecahnya selaput ketuban di vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakan
sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan. Penentuan cairan ketuban
dapat dilakukan dengan tes lakmus (nitrazin test) merah menjadi biru. Tentukan usia kehamilan, bila
perlu dengan pemeriksaan USG. Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu
ibu ≥48°C serta air ketuban keruh dan berbau. Leukosit darah > 15.000/mm3. Tentukan tanda-tanda
persalinan, tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan
penanganan aktif (terminasi kehamilan).
1) Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna. Konsentrasi, baud an pHnya.
2) Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air ketuban, urine, atau secret
vagina.
3) Secret ibu hamil pH: 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna tetap kuning.
4) Tes lakmus (nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan
adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7-7,5, darah dan infeksi vagina dapat
menghasilkan tes yang positif palsu.
5) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan
dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukan daun pakis. (Varney, 2007)
b. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.
Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi
kesalahan pada penderita oligohidramnion (Varney, 2007). Pemeriksaan Ultrasonogafi
(USG)
8. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini
Sebagai gambabaran umum untuk tatalaksana ketuban pecah dini dapat dijabarkan
sebagai berikut: (Manuaba, 2010)
b. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi peicu sepsis, meningitis janin,
dan persalinan prematuritas.
c. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan berlangsung dalam waktu
72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat terjamin.
Kehamilan ≥47 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea. Dapat pula
diberikan misoprostol 25µg – 50µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila skor pelvic < 5,
lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan
seksio sesarea. Bila skor pelvic > 5, induksi persalinan (Prawirohardjo, 2010).
Berikut bagan penatalaksaan ketuban pecah dini menurut Manuaba (2010) sebagai
berikut :
1) Usia Kehamilan
Usia kehamilan adalah ukuran lama waktu seorang janin berada dalam rahim
(Prawirohardjo, 2010). Umur atau usia kehamilan adalah lamanya kehamilan ibu.
Kehamilan dibagi atas 3 triwulan (trimester) : kehamilan triwulan I antara 0-12 minggu,
kehamilan triwulan II antara 13-28 minggu dan kehamilan triwulan III antara 29-40 minggu
(Manuaba, 2010).
Usia kehamilan pada saat kelahiran merupakan satu-satunya alat ukur kesehatan
janin yang paling bermanfaat dan waktu kelahiran sering ditentukan dengan pengkajian usia
kehamilan (Varney, 2007). Usia kehamilan merupakan salah satu prediktor penting bagi
kelangsungan hidup janin dan kualitas hidupnya. Persalinan umumnya terjadi pada usia
kehamilan cukup bulan. Pada kehamilan umur 20 minggu berisiko terjadi komplikasi
kehamilan (Mansjoer, 2010).
Janin dikatakan cukup bulan (aterm) apabila usia kehamilannya mencapai 37 minggu
lengkap (atau dengan kata lain 38 minggu) hingga 42 minggu. Bila kurang daripada itu
disebut sebagai “prematur/preterm” (<37 minggu) dan jika lebih dinamakan “postmatur/
postterm” (≥48 minggu) (Manuaba, 2010).
Manuaba (2010) menjelaskan bahwa usia kehamilan berkaitan dengan kejadian
KPD. Kejadian KPD lebih sering terjadi pada persalinan usia kehamilan ≥47 minggu, dan
pada persalinan usia <37 minggu tidak terlalu sering terjadi KPD dan hanya kelahiran
preterm yang sering terjadi.
Akan tetapi komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan, dimana ha tersebut dapat mengakibatkan terjadi infeksi maternal ataupun
neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin,
meningkatnya insiden Sectio Caesaria, atau gagalnya persalinan normal. Setelah ketuban
pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan.
Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan
antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu
persalinan terjadi dalam 1 minggu (Manuaba, 2010). Semakin lama menunggu,
kemungkinan infeksi semakin besar dan membahayakan janin serta ibu (Varney, 2007).
Hasil penelitian Oktavia (2013) menjelaskan bahwa paritas ibu bersalin resiko tinggi
sebanyak 15 (41,7%) mengalami ketuban pecah dini dan 21 (58,3%) tidak mengalami
ketuban pecah dini. Pada usia kehamilan diketahui bahwa ibu dengan usia kehamilan
prematur sebanyak 9 (64,3%) mengalami ketuban pecah dini dan 5 (35,7%) tidak mengalami
ketuban pecah dini, sedangkan pada ibu dengan usia kehamilan matur sebanyak 15 (19,2%)
mengalami ketuban pecah dini dan 63 (73,9%) tidak mengalami ketuban pecah dini.
Hasil penelitian Susilowati (2009) mengenai gambaran karakteristik ibu bersalin dengan
KPD, diketahui bahwa ibu yang mengalami ketuban pecah dini sebagian besar umur
kehamilan antara 37-42 minggu yaitu sebanyak 106 ibu (82,2%
2) Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang diakhiri dengan kelahiran janin yang memenuhi
syarat untuk melangsungkan kehidupan atau pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu dan berat
janin mencapai lebih dari 1000 gram (Manuaba, 2010). Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup
yang dipunyai oleh seorang wanita (Prawirohardjo, 2010).
Menurut Prawirohardjo (2010), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan
grandemultipara.
a. Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup
di dunia luar
b. Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (2-4 anak)
c. Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya
mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan.
Penggolongan paritas bagi ibu yang masih hamil atau pernah hamil berdasarkan
jumlahnya menurut Perdinakes-WHOJPHIEGO dalam Varney (2007) yaitu:
a. Primigravida adalah wanita hamil untuk pertama kalinya
b. Multigravida adalah wanita yang pernah hamil beberapa kali, di mana kehamilan tersebut
tidak lebih dari 4 kali (2-3)
Grandemultigravida adalah wanita yang pernah hamil ≥4 kali
Paritas 2 – 3 merupakan jumlah paling aman ditinjau dari sudut kesehatan serta sudut
kematian maternal dan perinatal (Manuaba, 2010). Paritas 1-2 merupakan paritas paling aman
ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 0 dan paritas tinggi (≥4) mempunyai angka
kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada
paritas 0 dapat ditangani dengan asuhan obstetri lebih baik. Sedangkan risiko pada paritas tinggi
dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi
adalah tidak direncanakan (Saifuddin, 2006)
Paritas tinggi (pasritas 1 dan ≥4) merupakan salah satu dari penyebab terjadinya kasus
ketuban pecah sebelum waktunya. Paritas 1 dan paritas tinggi (≥4) mempunyai angka kematian
maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1
dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat
dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana dengan dua anak cukup dan mempunyai lebih
dari tiga termasuk paritas tinggi dan maksimal dua anak digolongkan dengan paritas rendah.
Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
Paritas kedua dan ketiga merupakan keadaan yang relatif lebih aman untuk hamil dan
melahirkan pada masa reproduktif, karena pada keadaan tersebut dinding uterus belum banyak
mengalami perubahan, dan serviks belum terlalu sering mengalami pembukaan sehingga dapat
menyanggah selaput ketuban dengan baik (Varney. 2007). Ibu yang melahirkan beberapa kali
lebih berisiko mengalami KPD, oleh karena vaskularisasi pada uterus mengalami gangguan yang
mengakibatkan jaringan ikat selaput ketuban mudah rapuh dan akhirnya pecah spontan.
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah mengalami KPD pada kehamilan
sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat diyakini lebih beresiko akan mengalami
KPD pada kehamilan berikutnya (Varney, 2007).
Hasil penelitian Sari (2014) menjelaskan bahwa ibu dengan paritas grandemultipara
sebagian besar mengalami KPD sebanyak 14 kasus (73,7%) sedangkan ibu yang tidak
mengalami KPD hampir seluruhnya adalah ibu dengan paritas primipara 85 kasus (88,5%) dan
multipara 150 kasus (82,9%). Hasil penelitian Susilowati (2009) mengenai karakteristik ibu
bersalin dengan KPD, diketahui bahwa ibu yang mengalami ketuban pecah dini sebagian besar
adalah primigravida yaitu sebanyak 85 ibu (65,9%).
Hasil penelitian Oktavia (2013) menjelaskan bahwa paritas ibu bersalin resiko tinggi
sebanyak 15 (41,7%) mengalami ketuban pecah dini dan 21 (58,3%) tidak mengalami ketuban
pecah dini, sedangkan paritas ibu bersalin resiko rendah sebanyak 9 (16,1%) mengalami ketuban
pecah dini dan 47 (83,9%) tidak mengalami ketuban pecah di
3) Penanganan Medis
1. Rawat di rumah sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan
pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa
mencapai 37 minggu
2. Berikan antibiotika (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin) dan
metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari
3. Jika umur kehamilan < 32-34 minggu dirawat selama air ketuban masih keluar, atau
sampai air ketuban tidak keluar lagi
4. Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu kematangan paru
janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu.
Sedian terdiri atas betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau
deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali
5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa (-): beri
deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada
kehamilan 37 minggu
6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik
(salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam
7. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi
8. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin)
Pada kehamilan aterm berupa penanganan aktif, antara lain:
1. Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesaria. Dapat
pula diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
2. Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan di
akhiri:
Bila skor pelvik < 5 lakukan pematangan serviks kemudian induksi. Jika tidak
berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.
Bila skor pelvik > 5 induksi persalinan, partus pervaginam.
1. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Biodata Klien
Berisi tentang : Nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku, agama, alamat, no. medical
Penanggung jawab : Nama Suami, Umur, Pendidikan, Pekerjaan , Suku, Agama, Alamat,
Tanggal Pengkajian.
b. Keluhan utama :
keluar cairan warna putih, keruh, jernih, kuning, hijau / kecoklatan sedikit / banyak, pada
periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering, inspeksikula tampak air
ketuban mengalir / selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah kering
c. Riwayat haid
Umur menarchi pertama kali, lama haid, jumlah darah yang keluar, konsistensi, siklus haid,
hari pertama haid dan terakhir, perkiraan tanggal partus.
d. Riwayat Perkawinan
Kehamilan ini merupakan hasil perkawinan ke berapa? Apakah sah/tidak direstui dengan
orang tua?
e. Riwayat Obstetris
Berapa kali dilakukan ANC, hasil laboratorium, USG, darah, urine, keluhan selama
kehamilan termasuk situasi emosional dan impresi, upaya mengatasi keluhan tindakan dan
pengobatan yang di peroleh.
j. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan
yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret
vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan
adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat
mengahsilakan tes yang positif palsu.
Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan
kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada
kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahn pada
penderita oligohidromnion.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
3. INTERVENSI
1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-5), frekuensi, dan waktu.
Menandai gejala nonverbal. Misalnya: gelisah, takikardia, dan meringis.
2. Dorong pengungkapan perasaan
3. Berikan aktivitas hiburan, misalnya: membaca, berkunjung, dan lain -lain.
4. Lakukan tindakan paliatif, misalkan: pengubahan posisi, massase, rentang gerak pada
sendi yang sakit.
5. Intruksikan pasien/dorong untuk menggunakan visualisasi/bimbingan imajinasi,
relaksasi progresif, teknik nafas dalam.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring
Memperlihatkan kamajuan (ketingkat yang lebih tinggi dari mobilitas yang mungkin)
Memperlihatkan penurunan tanda-tanda hipoksia terhadap aktifitas (nadi, tekanan darah,
pernapasan)
Intervensi :
0. Kaji respon individu terhadap aktivitas
3. Instruksikan klien untuk konsulasi kepada dokter atau ahli terapi fisik untuk program
latihan jangka panjang.
Tujuan : - Bebas dari proses infeksi nosokomial selama perawatan di rumah sakit
Intervensi :
5. Amati terhadap manifestasi klinik infeksi (mis; demam, urine keruh, drainase
purulen)
1. Profilaksis
2. Infeksi
4. Stop antibiotic
Achadiat, 2004, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : EGC.
Herdman, Heather T. 2010. NANDA Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta : EGC.
Manuaba. 2009. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Varney, Helen. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Ed. 4, Vol. 1. Jakarta : EGC. 2007.
Wilkinson, M. Judith. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan medis
Pathway
Pembukaan Prematur
serviks
Memgeluarkan Enzim
Proteolotik dan
Kologenese
Ketuban Pecah Dini