Anda di halaman 1dari 27

PENGERTIAN SERTA RUANG LINGKUP DAN PENDEKATAN DALAM

METODOLOGI STUDI ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Studi Islam


Oleh : Andik Raisman

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


MA’HAD AL-QURAN DAN TARBIYAH SHOLAHUDDIN
2017
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat, nikmat serta hidayah kesehatan dan kesempatan, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah kami “Metode Studi Islam”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
            Makalah ini memuat tentang Pengertian metodelogi Studi Islam dan ruang lingkupnya
beserta pendekatannya. Materi yang terdapat dalam makalah ini  disusun dari berbagai sumber
pustaka.
           Karena keterbatasan waktu dan pengetahuan dalam penyusunan, kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan atau kesalahan didalamnya baik dari
segi isi maupun bahasa. Semoga segala aktivitas keseharian kita sebagai mahasiswa mendapat
berkah dari Allah SWT dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita. Amin..

Bogor, 04 November 2017


DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................. 1
Daftar Isi...................................................................................................................... 2

BAB I   PENDAHULUAN


1. Latar Belakang................................................................................................... 3
2. Rumusan Masalah.............................................................................................. 4
3. Tujuan................................................................................................................ 4
4. Manfaat.............................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Metodologi........................................................................................ 5
2. Ruang Lingkup Studi 6
Islam.................................................................................
a. Agama sebagai Doktrin dari 6
Tuhan...............................................................
b. Agama sebagai Gejala 8
Budaya......................................................................
c. Agama sebagai Interaksi 10
Sosial.....................................................................
3. Pendekatan-pendekatan Metode Studi 11
Islam.......................................................
a. Pendekatan Teologis Normatif...................................................................... 12
b. Pendekatan Antropologis.............................................................................. 12
c. Pendekatan Sosiologis................................................................................... 12
d. Pendekatan Filosofis..................................................................................... 13
e. Pendekatan Historis....................................................................................... 13
f. Pendekatan Psikologis................................................................................... 14
g. Pendekatan Ideologis 15
Komprehensif.............................................................

BAB III PENUTUP


1. Kesimpulan..................................................................................................... 17
2. Saran............................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu.
Orang akan berkata : kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti ; Agama adalah
wahyu Allah. Sikap serupa terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theorist Of
Religion dikatakan dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti
Agama. Sebab, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ), tidak bisa disingkronkan.
Kehadiran Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk
agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya,
Al qur’an dan Al Hadits, tampak sangat ideal dan Agung. Islam mengajarkan kehidupan dinamis
dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material spiritual, senantiasa mengembangkan
kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas,
kemitraan, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap
positif lainnya.
Studi-studi agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda
jika dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian
agama sebelum abad ke-19 memiliki beberapa karakteristik yang antara lain, sinkritisme,
penemuan arca baru, dan untuk kepentingan misionari dipicu oleh semangat dan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi islam mengalami perubahan.
Adapun Studi Islam sendiri merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi
ini, pemeluknya mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal perbuatan kepada
Allah SWT. Diketahui pula bahwa Islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi yaitu
mulai dari dimensi keimanan, akal fikiran, politik ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi
lingkungan hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk memahami berbagai dimensi
ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai disiplin
ilmu. Selama ini islam banyak dipahami dari segi teologis dan normative.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Metodologi Studi Islam?
2. Apa saja ruang lingkup Metodologi Studi Islam?
3. Apa saja pendekatan-pendekatan dalam Metodologi Studi Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Metodologi Studi Islam
2. Mengetahui ruang lingkup Metodologi Studi Islam
3. Mengetahui pendekatan-pendekatan Metodologi Studi Islam
D. Manfaat
1. Memahami Pengertian Metodologi Studi Islam
2. Memahami Ruang Lingkup Metodologi Studi Islam
3. Memahami Pendekatan-pendekatan Metodologi Studi Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta
(sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah
yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu
cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah“metodologi” berasal dari bahasa yunani yakni metodhos dan
logos, methodos berarti cara, kiat dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelsaikan
sesuatu, sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala dan wawasan. Dengan demikian
metodologi adalah metode atau cara-cara yang berlaku dalam kajian atau penelitian.
Metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu,
metode kognitif yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting dari filsafat, sains,
atau hanya mempunyai bakat.
Cara dan prosedur untuk memperoleh pengetahuan dapat ditentukan berdasarkan
disiplin ilmu yang dikajinya, oleh karena itu dalam menentukan disiplin ilmu kita harus
menentukan metode yang relevan dengan disiplin  itu, masalah yang dihadapi dalam proses
pengenalan ini adalah bagaimana prosedur kajian dan cara dalam pengumpulan dan analisis data
agar kesimpulan yang ditarik memenuhi persyaratan yang berfikir induktif. Penetapan prosedur
kajian dan cara ini disebut metodologi kajian atau metodologi penelitian
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti
“studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan
cara yang sudah diterima(well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam
metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam
metode tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya
dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu.
Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode
tidak.
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk
menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.
Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian-
kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian
atas metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi
islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum
menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.
2. Ruang Lingkup Studi Islam
Pembahasan kajian keislaman mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya,
sehingga terkesan bernuansa kajian yang mengikuti selera pengkajinya, secara material, ruang
lingkup studi islam dalam tradisi sarjana barat, meliputi pembahasan mengenai ajaran, doktrin,
teks sejarah dan instusi-instusi keislaman pada awalnya ketertarikan sarjana barat terhadap
pemikiran islam lebih karena kebutuhan akan penguasaan daerah koloni. Mengingat daerah
koloni pada umumnya adalah Negara Negara yang banyak didomisili warga Negara yang
beragama islam, sehingga mau tidak mau mereka harus faham budaya lokal. Kasus ini dapat
dilihat pada perang aceh sarjana belanda telah mempelajari islam terlebih dahulu sebelum
diterjunkan dilokasi deengan asumsi ia telah memahami budaya dan peradapan massyarakat aceh
yang mayoritas beragama islam.
Islam dipahami dari sisi ajaran, doktrin dan pemahaman masyarakat dengan
asumsi dapat diketahui tradisi dan kekuatan masyarakat setempat. Setelah itu pemahaman yang
telah menjadi input bagi kaum orentalis diambil sebagai dasar kebijakan oleh penguasa kolonial
yang tentunya lebih menguntungkan mereka ketimbang rakyat banyak diwilayah jajahanya.
Hasil studi ini sesungguhnya lebih menguntungkan kaum penjajah atas dasar masukan ini para
penjajah kolonial dapat mengambil kebijakan didaerah koloni dengan mempertimbangkan
budaya lokal. Atas masukkan ini, para penjajah mampu membuat  kekuatan social, masyarakat
terjajah sesuai dengan kepentingan dan keutunganya. Setelah mengalami keterpurukan, dunia
islam mulai bangkit melalui para pembaru yang telah dicerahkan. Dari kelompok ini munculah
gagasan agar umat islam mengejar ketertinggalanya dari umat lain.
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi:
a. Agama Sebagai Doktrin dari Tuhan
Agama Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah 
final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya. Kata doktrin berasal dari bahasa
inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina;,
yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.
Studi doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang
sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya
adalah karena ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam
berbuat atau mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal
tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di maksud adalah studi tentang ajaran
Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: “al-Islamu wahyun
ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-
akhirah” (Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat)
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana di kemukakan di atas, maka inti
dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah al-Qur`an dan al-
Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz,
mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang
ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau al-Hadist, kita dapat lihat di berbagai kitab hadist.
Misalnya kitab hadist Muslim yang disusun oleh Imam Muslim, kitab hadist Shaleh Bukhari
yang ditulis Imam al-Bukhari, dan lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, al-Qur`an dan al-Sunnah, ajaran Islam diambil. Namun
meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut diatas, ternyata dalam realitasnya,
ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam
bentuk ijtihad.
Dengan ijtihad ini, maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang ada di
dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang diajarkan secara garis
besar atau global. Masalah-masalah yang berkembang kemudian yang tidak secara terang
disebut di dalam dua sumber itu di dapatkan dengan cara ijtihad.
Dengan demikian, maka ajaran Islam selain termaktub pula di dalam penjelasan
atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui ijtihad itu.
Hasil ijtihad selama tersebar dalam semua bidang, bidang yang lain. Semua itu
dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab, ada kitab fiqih, kitab ilmu kalam, kitab akhlaq,
dan lain-lain.
Sampai disini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam itu selain langsung diambil
dari al-Qur`an dan al-Sunnah, ada yang diambil melalui ijtihad. Bahkan kalau persoalan
hidup ini berkembang dan ijtihad terus dilakukan untuk mencari jawaban agama Islam
terhadap persoalan hidup yang belum jelas jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama
itu. Maka ajaran yang diambil dari ijtihad ini semakin banyak.
Studi Islam dari sisi doctrinal itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi
tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam al-Qur`an maupun yang ada di dalam al-Sunnah
serta ada yang menjadi penjelasan kedua sember tersebut dengan melalui ijtihad.
Jadi sasaran studi Islam doctrinal ini sangat luas. Persoalannya adalah apa yang
kemudian di pelajari dari sumber ajaran Islam itu.
b. Agama sebagai Gejala Budaya
Objek selanjutnay yaitu Agama sebagi gejala budaya yang berarti seluruh yang
menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang
terhadap doktrin agamanya.   Pada awalnya ilmu hanya ada dua. Suatu penemuan yang
dihasilkan seseorang pada waktu-waktu mengenai suatu gejala sifat alam.
Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai kenyataan, berbagai
aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran
studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melakukan studi.
Studi budaya di selenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang
diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan. Kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk social yang isinya adalah
perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk
memahami dan menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan untuk mendorong dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian pendapat
Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa: “agama samawi
dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian
dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling
hubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia
sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan istri, yang
dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si istri, demikian pula
sebaliknya. Atas dasar pandangan di atas, maka agama Islam sebagai agama samawi bukan
merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam
bukan merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing berdiri sendiri, namun terdapat
kaitan erat antara keduanya. Menurut Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam
merupakan dasar, asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-
nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama (Islam)lah yang
menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya,
sehingga ia menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam. Lebih jauh Faisal
menjelaskan bahwa walaupun memiliki keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua
entitas yang berbeda, sehingga keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya
adalah unsurnya (ajaran) agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia
dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga menjadi
pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat sholat orang
membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, membuat sajadah alas
untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup kepala, pakaian, dan lain-lain. Itulah
yang termasuk aspek kebudayaan.
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua
kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbaharui
budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung
dari kekuatan dari  dua entitas kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan
yang kuat maka akan muncul muatan-muatan local dalam agama, seperti Islam Jawa.
Sebaliknya, jika entitas Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul
kebudayaan Islam.
Agama sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai mekanisme control, karena
agama adalah pranata social dan gejala social, yang berfungsi sebagai kontrol, terhadap
institus-institus yang ada. Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang
pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded
alashlah, artinya: memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk
budaya baru yang lebih baik. Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa hasil pemikiran
manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan, maka sisitem
pertahanan Islam, system keuangan Islam, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil
pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun ada perbedaannya dengan
kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak pada keadaan institusi-institusi
kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas dasar prinsip-prinsip yang terdapat dalam
al-Qur`an.
c. Agama sebagai Interaksi Sosial
Agama sebagai interaksi sosial meruapakan realitas umat Islam. Bila islam dilihat
dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh
karena sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini
tidak memerlukan penelitian didalamnya. Melalui pendekatan antropologi hubungan agama
dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan
fungsional dan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Islam sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan sebagai studi tentang Islam
sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap
dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala social lainnya yang saling berkaitan. Dengan
demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran studi social adalah
Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi fenomena Islam. Yang menjadi
fenomena adalah Islam yang sudah menjadi dasar dari sebuah perilaku dari para
pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan Studi Islam dalam Teori
dan Praktek,  bahwa ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan dalam
mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah atau
sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka
agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku dan penghayatan para
penganutnya. Ketiga,  ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadah-ibadah, seperti shalat, haji,
puasa, perkawinan dan waris.Keempat, alat-alat, organisasi-organisasi keagamaan tempat
penganut agama berkumpul, seperti Muhammadiyah dan lain-lain. Masih menurut M. Atho
Mudzhar, agama sebagai gejala social, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi
agama. Sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat.
Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi
menurutnya, sosiologi sekarang ini mempelajari bukan masalah timbal balik itu, melainkan
lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama sebagai
system nlai mempengaruhi masyarakat.
Meskipun kecenderungan sosiologi agama. Beliau member contoh teologi yang
dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-orang khawarij, orang-orang ahli al-Sunnah wa al-
jannah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun oleh para penganut masing-masing itu
tidak lepas dari pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama. Persoalan
berikutnya adalah bagaimana lita melihat masalah Islam sebagai sasaran studi social. Dalam
menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu
kealaman, karena sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan
yang hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji. Jadi dengan
demikian metodologi studi Islam dengan mengadakan penelitian social. Penelitian social
berada diantara ilmu budaya mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi
dengan cara memahami keterulangan. Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya
positivisme. Paragdima positivisme dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru dianggap sebagai
ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan
(verifiable). Sedangkan ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat
diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu social yang diangap dekat dengan ilmu kealaman
berarti juga dapat diamati, diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi social,
maka harus mengikuti paragdima positivism itu, yaitu dapat diamati gejalanya, dapat diukur,
dan dapat diverifikasi. Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian kualitatif yang
tidak menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti ilmu social itu dianggap tidak dekat
kepada ilmu kealaman. Jika halnya demikian, maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini
berarti sifatnya unik. Lima hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas kemudian
dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan ilmu social
sebagaimana juga telah dungkap diatas. Masalahnya tokoh agama Islam, penganut agama
Islam, interaksi antar umat beragama, dan lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran studi
Islam.
3. Pendekatan-pendekatan Metode Studi Islam
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu
bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Sedangkan metode dipahami
lebih sempit dari pendekatan. Metode memiliki arti cara atau jalan yang dipilih dalam upaya
memahami sesuatu. Dalam hal ini, memahami ajaran agama yang bersumber dari Alquran dan
Hadits.
Berikut akan dijelaskan beberapa pendekatan studi Islam, yang umumnya
meliputi: (1) Pendekatan Teologis Normatif; (2) Pendekatan Antropologis; (3) Pendekatan
Sosiologis; (4)  Pendekatan Filosofis; (5) Pendekatan Historis; (6) Pendekatan Psikologis; dan
(7) Pendekatan Ideologis Komprehensif.
1. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah
dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu
Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan
dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Pendekatan normatif
dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi
normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dari apa yang
tertera dalam teks Alquran dan Hadits. Melalui pendekatan teologis normatif ini, seseorang
memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada yang diyakininya.
Namun pendekatan ini biasa berkaitan dengan tauhid dan ushuluddin semata.
2. Pendekatan Antropologis
Dalam konteksnya sebagai metodologi, Antropologi merupakan ilmu
tentang masyarakat dengan bertitik tolak dari unsur-unsur tradisional, mengenai aneka
warna, bahasa-bahasa dan sejarah perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai
dasar-dasar kebudayaan manusia dalam masyarakat. Memahami Islam secara antropologis
memiliki makna memahami Islam dengan mengungkap tentang asal-usul manusia yang
berbeda dengan pandangan Teori Evolusi (The Origin of Species) nya Charles Darwin. Bisa
juga memahami misalnya, tentang kisah Ashabul Kahfi yang tidur selama kurang lebih 309
tahun. Ini merupakan salah satu topik yang menarik untuk diteliti melalui pendekatan
antropologis.
3. Pendekatan Sosiologis
Pada prinsipnya, Sosiologi merupakan sebuah kajian ilmu yang berkaitan
dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara
kelompok yang satu dengan yang lain. Pendekatan Sosiologi merupakan sebuah pendekatan
dalam memahami Islam dari kerangka ilmu sosial, atau yang berkaitan dengan aspek
hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu
dengan yang lain.
4. Pendekatan Filosofis
Metode filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan
yang universal dengan meneliti akar permasalahannya. Metode ini bersifat mendasar dengan
cara radikal dan integral, karena memperbincangkan sesuatu dari segi esensi (hakikat
sesuatu). Harun Nasution (1979:36) mengemukakan bahwa berfilsafat intinya adalah berfikir
secara mendalam, seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, tidak terikat kepada apapun,
sehingga sampai kepada dasar segala dasar.
Metode ini sangat lemah, sebagaimana dikemukakan Arkoun (1994:55)
bahwa sikap filsafat mengunjung diri dalam batas-batas anggitan dan metodologi yang telah
ditetapkan oleh nalar mandiri secara berdaulat. Selain itu, terkesan metode filsafat ini
melakukan pemaksaan gagasan-gagasan. Hal ini dikemukakan Amal dan Panggabean
(1992:19), gagasan-gagasan yang dipaksakan terlihat dalam penjelasan para filosof Muslim
mengenai kebangkitan manusia di akhirat kelak. Kemudian, sejumlah besar gagasan asing
lainnya telah disampaikan oleh para filosof ke dalam Alquran ketika membahas tentang
kekekalan dunia, doktrin kenabian, dan Iain-Iain.
Disamping itu, filsafat sejatinya bukan merupakan pengetahuan an
sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis
maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran? Secara
praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan? Dari dua spektrum inilah kemudian
filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-
tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah(w. 751
H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi.
Ditambah lagi, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia. Jika
demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak
ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq(kebenaran) dan al-
khair (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu,
Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang
dihasilkannya.

5. Pendekatan Historis
Secara umum, sejarah mempunyai dua pengertian, yaitu sejarah dalam arti
subyektif, dan sejarah dalam arti obyektif. Menurut materinya (subject-matter) nya, sejarah
dapat dibedakan atas: (a) Daerah (Asia, Eropa, Amerika, Asia Tenggara, dan sebagainya);
(b) Zaman, (misalnya zaman kuno, zaman pertengahan modern); dan (c) Tematis (ada
sejarah sosial politik, sejarah kota, agama, seni dll). Sebuah studi atau penelitian sejarah,
baik yang lalu maupun yang kontemporer, sebenamya merupakan kombinasi antara analisa
dari aktor dan peneliti, sehingga merupakan suatu realitas dari hari lampau yang konon utuh.
Metode sejarah menitikberatkan pada kronologi pertumbuhan dan
perkembangan. Menurut Soerjono Soekanto (1969:30), pendekatan historis mempergunakan
analisa atas peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum.
Metode ini dapat dipakai misalnya, dalam mempelajari masyarakat Islam dalam hal
pengamalan, yang disebut dengan ”masyarakat Muslim” atau ”kebudayaan
Muslim”.  Metode ini biasanya dikombinasikan dengan metode komparative (perbandingan).
Contohnya ialah seperti yang digunakan oleh Geertz yang membandingkan bagaimana Islam
berkembang di Indonesia (Jawa) dan di Maroko.
Berdasarkan penjelasan tersebut, sejarah sebenarnya hanya merupakan
gambaran pelaksanaan sebuah aturan, ajaran dan ideologi tertentu. Namun ia tetaplah
bersifat subjektif, artinya dia tidak bisa menjadi kaidah atau sumber hukum. Kecuali sejarah
yang diambil dengan riwayat shahih atau terpercaya dan sejarah tersebut bukan diambil dari
pandangan orang kafir dan orientalis. Jika hal ini dilanggar maka studi Islam akan menjadi
sebuah studi yang bersifat ‘gosip’ dan ‘fitnah’ semata.
6. Pendekatan Psikologis
Psikologi mempelajari tentang jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang
dapat diamati. Dalam konteks studi agama, pendekatan Psikologis diartikan sebagai
penerapan metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan
pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang, atau
dengan kata lain, pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan dengan
menggunakan paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama dan sikap
keagamaan seseorang. Salah satu cara yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah
dengan cara mempelajari jiwa seseorang melalui perilaku yang tampak yang mungkin saja
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam hal ini, pendekatan psikologis tidak
akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau keyakinan yang dianut seseorang,
melainkan dengan mementingkan bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya
dalam perilaku penganutnya. Pendekatan ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan
masalah sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk agama. Penerapan
pendekatan ini dalam studi Islam dapat dilihat, misalnya pada pengaruh yang ditimbulkan
oleh ibadah puasa, dan haji terhadap perilaku yang nampak setelah ibadah tersebut
dilakukan.
Pendekatan ini nampak bersifat asumtif dan individualis, sehingga tidak
komprehensif, bahkan pendekatan ini hanya berbicara kelakuan para pemeluk Agama yang
belum tentu mencerminkan agama Islam itu sendiri. Pendekatan seperti ini bisa
menyebabkan orang yang memandang Islam malah salah paham, misal: jika sebuah
masyarakat mayoritas muslim, lalu disana ada prostitusi, dan mungkin yang melakukan
kemesuman dan maksiat tersebut bisa jadi orang Islam, nah dengan pendekatan psikologis
bisa-bisa dianggap bahwa ajaran Islam itulah yang membolehkan prostitusi. Disinilah letak
kelemahan pendekatan psikologis.
7. Pendekatan Ideologis Komprehensif
Pendekatan ini bermula dari realitas ajaran Islam itu sendiri secara
objektif, tidak terpengaruh pandangan subjektif keilmuan Barat. Islam adalah agama (ad-
din) yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan
manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya. Yang meliputi: (1)
hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah; (2)
Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian;
(3) Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah (publik) dan
uqubat (sanksi).
Islam adalah ajaran yang meliputi akidah dan sistem (nizhâm). Akidah
dalam konteks ini adalah keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat serta
Qadha’ dan Qadar, yang baik dan buruknya hanya dari Allah swt semata.
Sedangkannizhâm  atau syariah  adalah kumpulan hukum syara’ yang mengatur seluruh
masalah manusia. Syariat Islam sendiri berisi aturan (sistem) yang bisa diklasifikasikan: (1)
Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan individu dengan Penciptanya (Allah swt),
seperti ibadah, baik shalat, puasa, zakat, haji-umrah, termasuk jihad; (2) Peraturan (sistem)
yang menyangkut hubungan individu dengan dirinya sendiri, seperti hukum terkait pakaian,
makanan, minuman, dan juga hukum seputar akhlak, yang mencerminkan sifat dan tingkah-
laku seseorang; (3) Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan dengan orang lain,
seperti masalah bisnis-perdagangan, pendidikan, sosial-masyarakat, pemerintahan, politik,
sanksi hukum-peradilan dan lain-lain.
Karena itu pendekatan Ideologis komprehensif ini adalah sebuah cara
memahami Islam yang dimulai dari sebuah pandangan bahwa Islam adalah sebuah Ideologi
artinya Islam mengurusi seluruh urusan kehidupan, sehingga harus diterapkan dalam
kehidupan. Metodologi ini menggunakan pendekatan yang integral dimana semua ilmu
keislaman original dikerahkan, mulai dari ilmu tauhid, ulumul quran, ulumul hadits, fikih,
ushul fikih, bahasa arab, dan lain sebagaiya. Pendekatan ini juga sesuai dengan khazanah
keilmuan Islam yang dikembangkan para ulama muktabar. Maka dari itu pendekatan ini
cocok untuk ajaran Islam. Pendekatan ini dikenalkan oleh pemikir muslim, Dr. Samih Athif
az-Zain dalam beberapa karyanya.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
A. Metodelogi Studi Islam adalah ilmu yang digunakan untuk melakukan kajian islam dari
berbagai sudut pandang. Metodelogi Studi Islam berfungsi untuk mempermudah
pemahaman terhadap Islam, tidak hanya dalam materi saja namun juga metode untuk
mempelajarinya. Sehingga Islam dapat dipahami dan dipelajari dengan benar dan sistematis
oleh masyarakat pada umumnya.
B. Islam dapat diterima dari segala aspek bidang ilmu pengetahuan, baik secara ilmu agama
yang menitik beratkan pada ajaran agama, maupun secara ilmu lainnya yang
mengembangkan segala aspek pengetahuan. Ini karena hasil akhirnya bertemu pada titik isi
dari al-Qur’an. Ini menandakan bahwa keterkaitan islam sebagi sumber ilmu dalam semua
bidang bisa terlihat dengan adanya studi islam sebagai objek studi.
C. Semua pendekatan tersebut bersifat subjektif dan parsial, kecuali pendekatan Ideologis
Komprehensif. Pendekatan ini sesuai dengan realitas Islam itu sendiri sebagai agama (ad-
din) yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengatur hubungan
manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya, Yang meliputi: (1)
hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah; (2)
Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian;
(3) Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah (publik) dan
uqubat (sanksi).
2. Saran
Demikian makalah ini kami buat, ada kurang dan lebihnya kami mohon maaf,
serta kami sangat mengharap kritik dan saran dari pembaca, agar makalah yang akan datang
menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Metodologi Studi Islam,  Bandung : Pustaka Setia , 2008
Atho Mudzahar, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2007
Mukti Ali, Metodologi Memahami Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1991
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pres, 2012
http://elsya2389.blogspot.com/2012/04/metodologi-studi-islam-pengertian-ruang.html
SUMBER PENGETAHUAN
( WAHYU, AKAL DAN RASA )

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam oleh:
Dedi Mulyana
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
MA’HAD AL-QURAN DAN TARBIYAH SHOLAHUDDIN
2017

Pertama-tama perkenankanlah kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan puji


syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan
judul PRINSIP DASAR EPISTEMOLOGI ISLAM.
Solawat serta Salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad Solallohu
‘Alaihi Wasalam, kepada keluarganya para sahabatnya serta kepada kita dan umat nya sampai
akhir zaman nanti. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide untuk menyusun makalah ini.
Kami selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan makalah
ini, namun tidak mustahil apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu kami
memohon saran serta komentar yang dapat kami jadikan motivasi untuk menyempurnakan
pedoman dimasa yang akan datang.
                                                                  , Nopember 2017
                                                                              Penyusun,

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan masalah....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Epistemologi dan Islam ........................................................2
2.2.Sumber Pengetahuan (Wahyu, Akal dan Rasa).......................................4
2.3.Kriteria Kebenaran dalam Epistemologi Islam.......................................5
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan..............................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M. hingga saat ini, fenomena pemahaman ke-
Islaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat variatif. Kondisi
pemahaman ke-Islaman serupa ini barangkali terjadi pula diberbagai negara lainnya. Kita
tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus
diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya
standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan
yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari
ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah serta sejalan dengan data-data
historis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahaannya

1.2 Rumusan masalah


Berkaitan dengan uraian di atas, maka permasalahan yang perlu untuk dilakukan
pengkajian adalah:
1. Apa pengertian epistemologi dan Islam?
2. Bagaimana sumber pengetahuan (wahyu, akal, dan rasa)?
3. Bagaimana kriteria kebenaran dalam epistemologi Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Epistemologi dan Islam


a. Pengertian Epistemologi
      Menurut Harun Nasution, pengertian epistemologi ; episteme berarti pengetahuan dan
epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana
memperoleh pengetahuan. 
Selanjutnya, Drs. R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi sebagai
berikut; Epistemologi berarti : ilmu filsafat tentang pengetahuan atau pendek kata, filsafat
pengetahuan. 
Dari pengertian diatas Nampak bahwa epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah
yang meliputi:
1)  Filsafat yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
2)  Metode yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh realitas
kebenaran pengetahuan.
3)  Sistem yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

b.  Pengertian Islam
Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek
peristilahan. Menurut bahasa, kata islam berasal dari kata ‫ﺇﺴﻼﻤﺎ‬ - ‫ﻴﺴﻠﻢ‬ - ‫ﺍﺴﻠﻢ‬ , yang
mempunyai arti, yaitu keselamatan, perdamaian, dan penyerahan diri kepada Allah SWT.
Dari pengertian kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama yang
berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan. Senada dengan itu
Nurcholis Majid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat
dari pengertian Islam.
Pengertian Islam menurut Maulana Muhammad Ali dapat dipahami dari Firman Allah
yang terdapat pada ayat 208 surat Al-Baqarah yang artinya: Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu
turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Dan
juga dapat dipahami dari ayat 61 surat al-Anfal yang artinya: dan jika mereka condong
kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dari uraian diatas, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata Islam dari segi
kebahasaan mengandung arti patuh tunduk, taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam
upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup baik didunia maupun diakhirat. Hal
demikian dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-
pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam
kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Harun Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah (islam sebagai agama),
adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia
melalui Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-
ajawan yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari
kehidupan manusia.
Sementara itu, maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama
perdamaian; dua ajaran pokoknya, yaitu kesesaan Allah dan Kesatuan atau persaudaraan
umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka kata Islam menurut istilah adalah mengacu
kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal
dari manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad SAW. Posisi Nabi dalam
ajaran Islam diakui sebagai yang ditugasi oleh Allah untuk menyebarkan agama Islam
tersebut kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran agama Islam nabi terlibat dalam
member keterangan, penjelasan, uraian, dan contoh prakteknya. Namuan keterlibatan ini
masih dalam batas-batas yang dibolehkan Tuhan.

2.2.  Sumber Pengetahuan (Wahyu, Akal dan Rasa)


Bagi yang mengaku dirinya muslim sumber utamanya adalah wahyu atau al-Quran
sebagai sumber absolut yang berasal dari Tuhan semesta alam. Wahyu menempati posisi
absolut karena bersumber dari yang absolut pula. Semua yang terkandung dalam wahyu
adalah benar dan kebenarannnya tidak dapat dibantah manusia. Hampir setiap penilaian
terhadap sesuatu senantiasa merujuk kepada wahyu tersebut. Wahyu yang menekankan
ketiga sumber tersebut dan mengingatkan manusia tentang ketertinggalan dan kemunduran
untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran tidak lain disebabkan oleh diri manusia itu
sendiri yang lalai dan malas menggunakan semua potensi- potensi yang telah
dianugerahkan kepada mereka atau pengetahuan itu tidak menghampiri manusia karena
ada hijab (batas) yang menghalanginya.
Di kalangan kaum muslimin ada dua tipe pemikiran dalam memahami wahyu itu sebagai
sumber. Pertama, sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah dan kedua, sebagai sumber
petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal
dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kedalam kelompok yang pertama sedangkan Ibn
Ishak al-Syathibi dan Quraish Shihab termasuk kelompok yang kedua. Mahdi Ghulsyani
memilih berada diantara kedua kelompok tersebut, ia menekankan wahyu itu sebagai
petunjuk bagi manusia yang mengandung ilmu pengetahuan dan manusia itu diperintahkan
untuk senantiasa menggunakan indra, akal dan hatinya untuk menggali pengetahuan dari
alam ini atas bimbingan wahyu itu sendiri.
Sumber pengetahuan yang lain adalah akal yang mempunyai fungsi sangat besar untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Posisinya sangat tinggi dalam Islam, ia berpotensi sebagai
alat untuk berfikir, memahami dan mengambil kesimpulan, khususnya dikalangan para
filosof dibagi kepada dua yakni aktif dan teoritis dengan fungsinya masing-masing. Akal
aktif berkaitan dengan etika, sedangkan yang pokok akal teoritis merupakan fakultas
pemahaman.
Manusia dibedakan dari hewan oleh kecakapan mental yang luar biasa , yang tidak dimiliki
oleh hewan yakni akal. Akal mempunyai kemampuan bertanya secara kritis. Kelebihan
yang paling istimewa dari akal terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk
menangkap kuiditas atau esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya.
Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat pengetahuan, indra tentu sangat penting.
Begitu pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat tertentu, seperti empirisme, indra
dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indra adalah sumber awal mengenal
alam sekeliling kita. Bahkan satu riwayat menyatakan : “apabila seorang manusia
kehilangan salah satu indranya, maka ia telah kehilangan setengah ilmu”. Melalui mata
manusia menangkap hal-hal yang tampak apakah bentuk, keberadaan, sifat atau
karakteristik benda-benda yang ada di dunia. Melalui telinga dapat mendengar suara.
Demikian juga dengan indra perasa, kita bisa mengenal dimensi yang lain lagi dari objek-
objek dunia yaitu rasa, (masam, manis , asam, pahit dan lain-lain) yang tentunya tidak
dapat dilihat dan didengar oleh mata dan telinga .Indra peraba untuk memegang. Tak kalah
pentingnya juga indra penciuman yang dapat menyerap aspek lain dari objek-objek fisik
yaitu bau Setelah melihat fungsi indra sangat besar pengaruhnya untuk mendapatkan
pengetahuan. Persoalan sekarang, cukupkah indra memenuhi kebutuhan akan ilmu sebagai
pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya?. Apakah misalnya penglihatan manusia
telah mampu memberikan pengetahuan tentang sebuah benda, katakanlah langit, bulan,
bintang ? Sepintas bisa dijawab ya, dapat dikatakan langit itu biru dan bintang itu kecil.
Namun apakah penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri sebagaimana adanya
atau semata-mata kesan yang tercerap oleh mata belaka?. Apakah kesan-kesan inderawi itu
sama dengan kenyataan? tidak, ternyata indra itu terbatas. Banyak dorongan dan perintah
bagi kaum muslimin dalam Alquran untuk mengadakan pengamatan (observasi) dengan
indera juga penalaran dalam memahami alam.

2.3.  Kriteria Kebenaran dalam Epistemologi Islam


Pandangan Islam akan kebenaran merujuk kepada landasan keimanan dan
keyakinan terhadap keadilan yang bersumber pada Al-Qur’an. Sebagaimana yang
diutarakan oleh fazrur rahman bahwa semangat dasar dari Al-qur’an adalah semangat
moral, ide-ide keadilan social dan ekonomi. Hokum moral adalah abadi, ia adalah
“perintah Allah”. Manusia tak dapat membuat dan memusnahkan hokum moral: ia harus
menyerahkan diri kepadanya. Pernyataan ini dinamakan Islam dan Implementasinya dalam
kehidupan di sebut Ibadah atau pengabdian kepada Allah. Tetapi hokum moral dan nilai-
nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.
Dalam kajian epistemologi Islam dijumpai beberapa teori tentang kebenaran :
a.  Teori Korespondensi
Menurut teori ini suatu posisi atau pengertian itu benar adalah apabila terdapat suatu fakta
bersesuaian, yang beralasan dengan realitas, yang serasi dengan situasi actual, maka
kebenaran adalah sesuai fakta dan sesuatu yang selaras dengan situasi akal yang diberinya
interpretasi.

b.  Teori Konsistensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement)
dengan suatu yang lain yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-
putusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan-
putusan yang baik dengan putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui benar terlebih
dahulu, jadi sesuatu itu benar, hubungan itu saling berhubungan dengan kebenaran
sebelumnya.
c.  Teori Prakmatis
Teori ini mengemukakan benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau semata-mata tergantung
kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk berfaedah
dalam kehidupannya.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat yang eksistensinya adalah mengajak manusia
untuk berfikir, mentadaburi alam yang dikemas dalam ilmu pengetahuan yang sistematis,
memberi konstribusi bagi perkembangan manusia dalam ranah keilmuan. Dan dengan
beberapa prinsip dasar epistemologi islam kita bisa mengatehaui peranan islam dalam ilmu
pengetahuan, yang mana Al-Quran (wahyu) sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan
yang kemudian ditalar melaui akal sebagai keistimewaan bagi manusia dan serta panca
indra (rasa) atau sentuhan indrawi yang membantu memperoleh pengetahuan.

REFERENSI

Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam, Jakarta, 2000, h. 95.


Harun Nasution, Filsafat Islam, Jakarta, 1978, h. 10.
Drs. T. Ibrahim dan Drs. H. Darsono, Membangun Akidah Akhlak, (Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2003) h. 15-16.
Dr. H. Abuddin Nata, MA, Op.Cit, h.62-65.
http://repository.usu.ac.id/bistream/.
http://File.satus.net/i/identical/-20110527T003832-q26aqr7.html
http://saumua.blogspot.co.id/2014/01/prinsip-dasar-epistemologi-islam_5107.html

Anda mungkin juga menyukai