Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Peran Nilai-nilai Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Pengetahuan di


Indonesia

OLEH:
Nama : Ira Wahyuni
Nim : 1892041008
B/02

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2020/2021

1
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................1
C. Tujuan Penyusunan....................................................................................1
D. Manfaat Penyusunan..................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pancasila dan Ilmu Pengetahuan ..............................................................3
B. Pancasila sebagai Landasan Etik Bagi Pengembangan Ilm Pengetahuan 8
C. Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan .....................................14
D. Pancasila Sebagai Genetivus Objektivus dan Genetivus Subjektivus ......17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..........................................................................................20
B. Saran.....................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................21

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan
kami kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Peran
Nilai-nilai Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Pengetahuan di Indonesia”
dapat selesai seperti waktu yang telah kami rencanakan. Tersusunnya makalah ini
tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil
dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, saya sampaikan terimakasih banyak kepada
semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini dari awal
hingga akhir. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Bulukumba, 28 April 2020

Penyusun

Ira Wahyuni

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Membahas potensi Pancasila sebagai nilai dasar pengembangan ilmu di Indonesia
berarti membicarakan kemungkinan kontekstualisasi atau aktualisasi Pancasila dalam
bidang keilmuan. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional memang
memiliki implikasi etis, yuridis, maupun politis untuk diaktualisasikan,
dikontekstualisasikan atau diimplementasikan dalam kehidupan bernegara. Aktualisasi
Pancasila dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain revitalisasi epistemologis,
menjadikannya sebagai landasan etik pengetahuan, sosialisasi lewat pendidikan, dan
menjadikannya sebagai sumber material hukum Indonesia (Kaelan, 2007). Jadi, nilai
Pancasila dapat diaktualisasikan pada bidang keilmuan.
M. Sastrapartedja (2006) menyatakan ada 2 (dua) peran Pancasila dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Pertama, Pancasila merupakan landasan bagi
kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua, Pancasila menjadi landasan bagi
etika pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk lebih mendalami terkait
hal tersebut maka kami menyusun makalah dengan judul Peran nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan Pengetahuan di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari penyusunan makalah ini yaitu:
1. Bagaimana Hubungan atau Keterkaitan Antara Pancasila dengan Ilmu Pengetahuan?
2. Bagaimana Pancasila sebagai Landasan Etik Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
3. Bagaimana Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan.
4. Bagaimana Pancasila Sebagai Genetivus Objektivus dan Genetivus Subjektivus.

C. TUJUAN PENYUSUNAN MAKALAH


Adapun tujuan penyusunan makalah ini yaitu:
1. Untuk Mengetahui Bagaimana hubungan atau keterkaitan antara Pancasila dengan
Ilmu Pengetahuan?
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Pancasila sebagai Landasan Etik Bagi Pengembangan
Ilmu Pengetahuan.
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan.

1
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Pancasila Sebagai Genetivus Objektivus dan
Genetivus Subjektivus.
D. MANFAAT PENYUSUNAN MAKALAH
Adapun manfaat dari penysusunan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui Bagaimana hubungan atau keterkaitan antara Pancasila dengan Ilmu
Pengetahuan?
2. Mengetahui Bagaimana Pancasila sebagai Landasan Etik Bagi Pengembangan Ilmu
Pengetahuan.
3. Mengetahui Bagaimana Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan.
4. Mengetahui Bagaimana Pancasila Sebagai Genetivus Objektivus dan Genetivus
Subjektivus.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PANCASILA DAN ILMU PENGETAHUAN
a. Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) itu berbeda dengan ilmu (science). Sedangkan
istilah ilmu pengetahuan merupakan terjemahan dari science itu sendiri. Dalam
bahasa Indonesia, kata ilmu dilanjutkan dengan istilah ilmu pengetahuan. Istilah
“ilmu pengetahuan” biasa dan umum digunakan, padahal istilah tersebut dapat
dikatakan sebagai “pleonasme”, suatu pemakaian kata yang lebih dari yang
diperlukan (Sapriya, 2012).
Setiap ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak setiap pengetahuan adalah ilmu.
Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil pekerjaan manusia
menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi pikiran manusia yang
merupakan hasil dari proses usaha manusia untuk tahu. Ilmu berada setingkat di atas
pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan bersifat
ilmiah. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan didapatkan
secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu.
Lebih lanjut dikatakan terdapat 3 (tiga) pengertian ilmu (Gie dalam Sapriya,
2012). Pengertian pertama lebih menekankan bahwa ilmu merupakan pengetahuan
yang sistematis. Pengertian ini telah dianut begitu luas dalam berbagai ensiklopedi
dan kepustakaan yang banyak membahas tentang ilmu. Pengertian kedua,
menekankan bahwa ilmu sebagai metode penelitian ilmiah. Pengertian yang ketiga
menekankan bahwa ilmu merupakan suatu proses aktivitas penelitian. Tiga sudut
pandang pengertian ilmu ini pada dasarnya saling melengkapi pengertian ilmu
secara utuh bahwa ilmu seyogianya merupakan pengetahuan yang bersifat
sistematis, diperoleh melalui langkah berpikir metode ilmiah, dan perolehan tersebut
harus melalui kegiatan penelitian. Dengan kata lain, ilmu dihasilkan melalui proses
penelitian sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh komunitas
keilmuan masing-masing untuk membangun struktur keilmuan.
Ada beberapa ersyaratan pengetahuan dapat meningkat menjadi ilmu.
Persyaratan itu adalah sebagai berikut.

3
1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri atas satu golongan
masalah yang sama sifat hakikatnya, bentuknya tampak dari luar maupun dari
dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji
keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni
persesuaian antara tahu dengan objek sehingga disebut kebenaran objektif bukan
subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subj ek penunjang penelitian.
2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada
cara tertentu untuk menj amin kepastian kebenaran. Secara umum metodis berarti
metode tertentu yang di gunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu
objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis
sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu,
dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.
Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat
merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang
bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari
kadar keumuman (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam
mengingat Objeknya adalah tindakan manusia. Oleh karena itu, untuk mencapai
tingkat universalitas dalam ilmuilmu sosial, harus tersedia konteks tertentu pula.
Ilmu dibagi menjadi 3 (tiga) bidang utama, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu
budaya (humaniora).
1. Ilmu alam
Ilmu alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu
dimana objeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti
dan umum, berlaku kapan pun di mana pun. Ilmu alam mempelajari aspek-
aspek fisik & nonmanusia tentang bumi dan alam sekitarnya. Istilah ilmu alam
juga digunakan untuk mengenali “ilmu” sebagai disiplin yang mengikuti metode
ilmiah, berbeda dengan filsafat alam. Beberapa contoh yang termasuk kategori
ilmu alam adalah Astronomi, Biologi, Ekologi, dan Fisika.
2. Ilmu sosial
Ilmu sosial (social science) atau Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah
sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang

4
berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda
dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah
dalam mempelaj ari manusia, termasuk metode kuantitatif dan kualitatif.
Beberapa cabang dari ilmu sosial, meliputi Antropologi, Ekonomi, Geografi,
Hukum, Linguistik, Pendidikan, dan Politik.
3. Ilmu budaya(humaniora)
Ada dua pengertian dari humaniora. Pertama, humaniora adalah ilmu yang
mengkaji hakikat manusia beserta persoalan-persoalan manusiawi mereka
dengan tujuan untuk meraih kualitas kehidupan yang lebih baik. Karena
humaniora mempelajari tentang manusia, maka objek material ilmu ini
sebenarnya adalah manusia itu sendiri. Kedua, humaniora terdiri atas cabang-
cabang ilmu lain, di antaranya bahasa, sastra, filsafat, sejarah, dan seni. Ilmu-
ilmu ini pada dasarnya sama-sama mengkaji tentang manusia, namun dengan
cara yang berbeda-beda.
b. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi ilmu
Membicarakan ilmu pengetahuan dapat ditinjau dari 3 (tiga) cabang dalam
filsafat yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
1. Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua kata,
yaitu ontos berarti ada, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka
ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan. Menurut
Suriasumantri (1998), ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui,
seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain, suatu pengkajian mengenai
teori tentang “ada”. Telaah ontologis tentang ilmu pengetahuan akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan pokok, yakni:
 Apakah objek ilmu yang akan ditelaah.
 Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, dan
 Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
2. Epistemologi
Epistemologi berdasarkan akar katanya berasal dari kata episteme
(pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori). Secara terminologi,
epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar

5
pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan
validitas atau sah berlakunya Pengetahuan itu. Bahasan epistemologi mencakup
beberapa pertanyaan yang harus dijawab yakni apakah ilmu itu? Dari mana
asalnya? Apa Sumbernya? Apa hakikatnya? Bagaimana membangun ilmu yang
tepat dan benar? Apa kebenaran itu? Mungkinkah kita mencapai ilmu yang
benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai manakah batasannya? semua
pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok, masalah sumber
ilmu dan masalah benarnya ilmu.
3. Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos, axios artinya nilai atau
sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori. Aksiologi artinya teori nilai,
penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Aksiologi
sebagai cabang filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Aksiologi adalah
ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Jadi, aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat
yang sebenarnya dari pengetahuan. Sebenarnya, ilmu pengetahuan itu tidak ada
yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Pembahasan aksiologi
menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya, pada
tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya
dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesej ahteraan
bersama, dan bukan sebaliknya. Pertayaan-pertanyaan pokok dalam aksiologi
yaitu:
 Untuk apa Pengetahuan tersebut digunakan?
 Bagaimana kaitan antara cara Penggunaannya dengan kaidah moral?
 Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral?
 Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral (Mukhtar Latif, 2014).
c. Kaitan Pancasila dengan Ilmu Pengetahuan

6
Telah dikemukakan bahwa Pancasila itu lebih terkait dengan kehidupan
bernegara. Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia memiliki implikasi etis,
yuridis, dan politis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Implikasi etis Pancasila
dasar falsafah negara adalah Pancasila menjadi sumber norma etik bernegara.
Implikasi yuridis Pancasila dasar falsafah negara adalah Pancasila menjadi sumber
norma hukum bernegara. Implikasi politis Pancasila dasar falsafah negara adalah
Pancasila menjadi ideologi nasional. Kedudukan, isi, dan implikasi Pancasila dalam
kehidupan bernegara itu telah banyak dikemukakan baik melalui pemikiran jalur
akademik maupun politik kenegaraan. Namun demikian, di antara pemikiran yang
berkembang juga menyatakan bahwa Pancasila memiliki kaitan dengan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu sosial di Indonesia. Pemikiran ini sudah dimulai sejak
lama, hanya saja sekarang ini tidak sekuat pemikiran Pancasila di bidang
kenegaraan.
Pertanyaan utama dari bahasan tersebut adalah “ilmu pengetahuan itu untuk
apa?” Jawabannya sederhana, ilmu pengetahuan itu harus diabdikan kepada
manusia. Jawaban ini kita berikan dengan suatu pemberian bahwa bila ilmu
pengetahuan tidak diabdikan untuk manusia, ia bisa membawa bencana bagi
manusia itu sendiri. Penting pula dilakukan penyelidikan ilmu pengetahuan dengan
sifat gotong royong sebagai jiwa dari Pancasila. Gotong royong mengandaikan
pendekatan dari pelbagai jurusan (multiple approach) dalam mencari kebenaran
ilmu. Melalui ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Pengetahuan Sosial, unsur-unsur
Pancasila atau gotong royong ini dapat kita jalinkan atau sisipkan. Filsafat Pancasila
dapat digunakan sebagai pangkal tolak pembahasan keadaan alam dan masyarakat
Indonesia. Demikian pula pada cabang-cabang Ilmu Pengetahuan Sosial lainnya
dapat juga kita masukkan unsur-unsur Pancasila secara sistematis, dengan tidak
menyimpang dari kebenaran yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan (Soepardo, et
al., 1960).
Pemikiran berikutnya yang mengkaitkan adalah karya Prof. Notonagoro yang
berjudul Pantjasila Dasar F ilsafat Negara Republik Indonesia, terbit pertama tahun
1974. Beberapa bahasan terkait adalah butir 6, berjudul “Pancasila sebagai pegangan
dan pedoman bagi ilmu pengetahuan”; butir 7, “Pancasila sebagai pangkal sudut
pandangan dalam penyelidikan”; butir 8, “pertanggungjawaban ilmiah bagi sila
Ketuhanan”; butir 9, “Pancasila terhadap soal-soal fundamentil ilmu pengetahuan”;
dan butir 10, “Pancasila sebagai objek ilmu pengetahuan tentang negara dan hukum.

7
Berdasarkan sejarah pemikiran yang ada, kaitan Pancasila dengan ilmu
pengetahuan memang sudah sejak awal diwacanakan secara akademik. Dewasa ini,
pemikiran tentang Pancasila dan ilmu pengetahuan ditunjukkan dengan adanya
Simposium dan Sarasehan Nasional dengan tema “Pancasila sebagai Paradigma
Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa” di Yogyakarta pada 14-15 Agustus
2006. Di antara pembicara di acara tersebut adalah Prof. Dr. Sofian Effendi, Prof.
Dr. M. Sastrapratedja, dan Prof. Umar Anggara Jenie.
Soiian Effendi dengan menyitir pendapat Soekarno dalam rangkaian kuliah
umum Pancasila Dasar Falsafah Negara pada tanggal 26 Juni 1958 sampai dengan 1
Februari 1959, bahwa setiap sila Pancasila perlu dij adikan blueprint bagi setiap
pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia, karena kalau tidak akan terjadi
kemunduran dalam pencapaian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai blueprint dalam pernyataan Soekarno lebih kurang mengandung
pengertian yang sama dengan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, karena sila-sila Pancasila sebagai blueprint harus masuk
ke seluruh rencana pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia. Lebih Lanjut
dikatakan bahwa Pancasila telah lama diterima dan dimaknai sebagai ideologi, tetapi
belum mampu menjadi filsafat sosial yang mendasari perumusan ilmu pengetahuan
yang kontekstual Indonesia.
M. Sastrapratedja melihat ada 2 (dua) peran utama Pancasila dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Pertama, Pancasila merupakan landasan
bagi kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan, dan dua, Pancasila menjadi
landasan bagi etika pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembicara lain
pada Simposiun dan seminar, yakni Prof. Umar Anggara Jenie berpendapat,
Pancasila akan bisa digunakan sebagai paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi
yakni dalam memberikan panduan etika kepada penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi itu sendiri.
Dengan demikian, itulah beberapa pemikiran pakar mengenai hubungan
Pancasila dengan ilmu pengetahuan. Namun, harus diakui bahwa wacana Pancasila
dan ilmu pengetahuan ini belumlah sekuat perkembangan pemikiran Pancasila
dalam konteks kenegaraan.
B. PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIK PENGEMBANGAN ILMU DI
INDONESIA

8
Banyak ahli yang telah mewacanakan bahwa Pancasila dapat menjadi landasan
etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, seperti dicontohkan oleh
Notonagoro dan para pembicara di simposium tahun 2006. Merujuk pada pendapat
Kaelan (2007), menghubungkan Pancasila dengan ilmu pengetahuan bisa dilakukan
dengan 2 (dua) cara, yaitu (l) Pancasila menjadi landasan etik bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan (2) nilai-nilai Pancasila menjadi paradigma ilmu pengetahuan di
Indonesia.
Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat mengacu pada beberapa
jenis pemahaman (Tim dosen Pancasila, 2014). Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dikembangkan di Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kedua, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai - nilai Pancasila
sebagai faktor internal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Ketiga, bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, artinya mampu
mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi agar tidak keluar dari cara berpikir dan
cara bertindak bangsa Indonesia. Keempat, bahwa setiap pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia
sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indigenisasi ilmu (mempribumian ilmu).
Keempat pengertian Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu sebagaimana
dikemukakan di atas mengandung konsekuensi yang berbeda-beda. Pengertian pertama
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila mengandung asumsi bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi itu sendiri berkembang secara otonom, kemudian dalam peijalanannya
dilakukan adaptasi dengan nilai-nilai Pancasila. Pengertian kedua bahwa setiap ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-
nilai Pancasila sebagai faktor internal mengandaikan bahwa sejak awal pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi sudah harus melibatkan nilai-nilai Pancasila. Namun,
keterlibatan nilai-nilai Pancasila ada dalam posisi tarik ulur, artinya ilmuwan dapat
mempertimbangkan sebatas yang mereka anggap layak Untuk dilibatkan.
Pengertian ketiga bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengasumsikan bahwa ada aturan
main yang harus disepakati oleh para ilmuwan sebelum ilmu itu dikembangkan. Namun,
tidak ada jaminan bahwa aturan main itu akan terus ditaati dalam perjalanan

9
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Sebab, ketika ilmu
pengetahuan dan teknologi terus berkembang, aturan main seharusnya terus mengawal
dan membayangi agar tidak terjadi kesenjangan antara pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan aturan main.
Pengertian keempat yang menempatkan setiap pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi harus berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri sebagai
proses indegenisasi ilmu mengandaikan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai dasar
nilai pengembangan ilmu, namun sudah menjadi paradigma ilmu yang berkembang di
Indonesia. Untuk itu, diperlukan penjabaran yang lebih rinci dan pembicaraan di
kalangan intelektual Indonesia, sejauh mana nilainilai Pancasila selalu menjadi bahan
pertimbangan bagi keputusankeputusan ilmiah yang diambil.
Pancasila sebagai landasan etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan di
Indonesia berkaitan dengan aksiologi ilmu. Pertanyaan utama dalam aksiolgi adalah
untuk apa pengetahuan tersebut di gunakan dan bagaimana kaitan penggunaan tersebut
dengan kaidah-kaidah moral. Sebagaimana dinyatakan Slamet Sutrisno (2006), bahwa
butirnilai-nilai Pancasila dapat dikembangkan sebagai pembangun filsafat ilmu sosial,
sekurang-kurangnya dalam kapasitas aksiologi ilmu, meliputi (l) spiritualitas, (2)
keadilan, dan (3) kekeluargaan.
Dalam hal ini, nilai-nilai Pancasila menjadi panduan etik pengembangan ilmu
karena aksiologi berbicara tentang nilai atau moral. Pancasila menjadi kaidah moral
perihal untuk apa dan bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan itu. Merujuk pada
pendapat Slamet Sutrisno di atas, maka konfigurasi nilai-nilai Pancasila sebagai
aksiologi ilmu tersebut adalah sebagai berikut.
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai fundamen moral Pancasila menempatkan
realitas spiritual religius sebagai nilai tertinggi, termasuk dalam konteks kegiatan ilmiah.
Manusia dan masyarakat sebagai subj ek dan objek penelahan ilmu sosial tidak dapat
mengabaikan realitas spiritual ini.
Sama dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab menekankan pada pesan keadilan dalam interaksi antar manusia. Realisasi
pesan sila ini akan mengantarkan manusia dan masyarakat Pancasila membangun
keadaban dan peradaban spiritual. Acuan materialis ditekankan lebih pragmatis pada sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Masyarakat Indonesia sehingga keadilan dan kemakmuran
yang ingin dicapai dijiwai oleh semangat keadaban dan peradaban.

10
Postulat kekeluargaan ada pada sila Persatuan Indonesia dan sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Postulat
kekeluargaan dimaksudkan sebagai prinsip integralistik holistik dan prinsip tata diri
dinamik dalam sistem kemasyarakatan dan kebudayaan Indonesia.
Dalam kapasitas aksiologi ilmu, nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila merupakan merupakan sumber nilai, kerangka pikir serta asas moralitas bagi
pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Apabila kita melihat sila
demi sila, Pancasila menunjukkan adanya panduan etika dalam pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai berikut (T. J acob, 1986).
Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, implementasi ilmu pengetahuan, perlu
menciptakan perimbangan antara rasional dan irrasional, antara akal, rasa, dan
kehendak. Berdasarkan sila pertama ilmu pengetahuan tidak hanya memikirkan apa
yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan, tetapi juga mempertimbangkan maksud
dan akibatnya, kerugian dan keuntungan untuk manusia dan sekitarnya.Pengolahan
diimbangi dengan pelestarian. Sila pertama menempatkan manusia di alam semesta
bukan sebagai posisi sentral melainkan sebagai bagian yang sistematika dari alam yang
diolahnya.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberikan dasar-dasar moralitas
bahwa manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah secara
beradab. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari proses budaya manusia
yang beradab dan bermoral. Oleh karena itu, pembangunan ilmu pengetahuan dan
teknologi harus berdasarkan kepada usaha-usaha mencapai kesejahteraan umat manusia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dapat diabadikan untuk peningkatan harkat dan
martabat manusia, bukan menjadikan manusia sebagai makhluk yang angkuh dan
sombong akibat dari penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sila Persatuan Indonesia, memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia bahwa
rasa nasionalisme bangsa Indonesia akibat dari sumbangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi persatuan dan kesatuan bangsa dapat
terwujud dan terpelihara, persaudaraan dan pesahabatan antar daerah di berbagai daerah
terjalin karena tidak lepas dari faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
sebab itu, ilmu pengetahuan dan teknologi harus dapat dikembangkan untuk
memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan selanjutnya dapat dikembangkan
dalam hubungan manusia Indonesia dengan masyarakat internasional.

11
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Pennusyawaratan/Perwakilan, mendasari pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara demokratis. Artinya, setiap ilmuwan haruslah memiliki kebebasan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, setiap ilmuwan juga harus
menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang
terbuka. Terbuka untuk dikritik/dikaji ulang maupun dibandingkan dengan penemuan
teori lainnya.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengimplementasikan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah menjaga keseimbangan
keadilan dalam kehidupan kemanusiaan, yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia
lain, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam
lingkungannya.
Hakikat Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi juga dikemukakan Prof. Wahyudi Sediawan dalam Simposium dan Sarasehan
Nasional Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa
(2006) dalam makalahnya yang berjudul “Profesi Teknik dan Nilai-Nilai luhur
Pancasila" sebagai berikut.
1. Sila pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kesadaran bahwa manusia
hidup di dunia ibarat sedang menempuh ujian dan hasil ujian akan menentukan
kehidupannya yang abadi di akhirat nanti. Salah satu ujiannya adalah manusia
diperintahkan melakukan perbuatan untuk kebaikan, bukan untuk membuat
kerusakan di bumi. Tuntunan sikap itu, seperti menjunjung tinggi keselamatan,
kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat; serta berperilaku terhormat, bertanggung
jawab, etis dan taat aturan untuk meningkatkan kehormatan, reputasi, dan
kemanfaatan profesional adalah suatu manifestasi perbuatan untuk kebaikan
tersebut. Ilmuwan yang mengamalkan kompetensi teknik yang dimiliki dengan baik
sesuai dengan tuntunan sikap tersebut berarti mensyukuri anugerah Tuhan
2. Sila kedua. Kemanusiaan yang adil dan beradab memberikan arahan bersifat
universal maupun khas terhadap ilmuwan dan ahli teknik di Indonesia. Asas
kemanusiaan atau humanisme menghendaki agar perlakuan terhadap manusia harus
sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu memiliki keinginan, seperti

12
kecukupan materi, bersosialisasi, eksistensinya dihargai, mengeluarkan pendapat,
berperan nyata dalam lingkungannya, bekerja sesuai kemampuannya.
3. Sila ketiga. Persatuan Indonesia memberikan landasan esensial bagi ilmuwan dan
ahli teknik Indonesia untuk menjunjung tinggi kerja sama yang sinergis
antarindividu dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi daripada penjumlahan produktivitas
individunya. Suatu pekerjaan atau tugas yang dikerjakan bersama dengan semangat
nasionalisme yang tinggi dapat menghasilkan produktivitas yang lebih optimal.
4. Sila keempat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan memberikan arahan asa kerakyatan, yang mengandung
arti bahwa ilmuwan dan ahli teknik wajib memberikan kontribusi sebasar-besarnya
sesuai kemampuan untuk kemajuan negara. Sila keempat ini juga memberi arahan
bahwa manajemen pengambilan keputusan, yang dilandasi semangat musyawarah
akan mendatangkan hasil yang lebih baik, karena dapat melibatkan semua pihak
dengan penuh kerelaan.
5. Sila kelima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memberikan arahan agar
selalu diusahakan tidak terjadinya jurang (gap) kesejahteraan di antara bangsa
Indonesia. Ilmuwan dan ahli teknik yang mengelola industri perlu selalu
mengembangkan sistem yang memajukan perusahaan sekaligus menjamin
kesejahteraan karyawan.
Syahrial Syarbaini (2012) berpendapat bahwa pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-nilai Pancasila. Peran nilai-nilai
dalam setiap sila dalam Pancasila tersebut adalah sebagai berikut.
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan
perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini
menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu
pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan,
tidak hanya untuk kelompok atau lapisan tertentu.
3. Sila Persatuan Indonesia: mengomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang
lain, sehingga suprasistem tidak mengabaikan sistem dan subsistem. Solidaritas
dalam subsistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas,
tetapi tidak mengganggu integrasi.

13
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalarn
Permusyawaratan/Perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan
penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara
perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan
Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif.
Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan
masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan
semu. Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas
dan inovasi.
C. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN DI INDONESIA
Pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan adalah aktualisasi Pancasila di
bidang keilmuan selain sebagai panduan etik pengembangan ilmu. Menurut KBBI,
istilah paradigma berarti daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan
konjugasi dan deklinasi kata tersebut; model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka
berpikir.
Paradigma secara etimologis diartikan sebagai model teori ilmu pengetahuan atau
kerangka berpikir. Secara terminologi diartikan sebagai pandangan mendasar para
ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang senantiasa dipelajari oleh satu
cabang ilmu pengetahuan.
Menurut Thomas Kuhn, orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut
menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma sebagai alat bantu para
illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab,
bagaimana seharusnya dalam menjawab, dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus
dij alankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut
pandang dan kerangka acuan yang harus dij alankan oleh ilmuwan yang mengikuti
paradigma tersebut.
Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang
ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu
pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang
ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain, seperti bidang politik, hukum, sosial dan

14
ekonomiParadigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka Pikir,
kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, para. meter, arah, dan tujuan.
Paradigma keilmuan sebagai suatu contoh, model, atau pola berpikir, misalnya,
merupakan hasil kesepakatan dari komunitas keilmuan yang berdasarkan pada kode etik
dan tradisi keilmuan. Hasil kesepakatan yang telah menjadi paradigma ini seyogianya
telah menjadi kerangka pikir, cara pandang, dan prosedur kerja dari anggota komunitas
keilmuan yang sama.
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai
acuan, kerangka acuan berpikir, pola acuan berpikir atau sebagai sistem nilai yang
dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi
'yang menyandangnya'. Yang menyandangnya itu di antaranya: (1) pengembangan ilmu
pengetahuan, (2) pengembangan hukum, (3) supremasi hukum dalam perspektif
pengembangan HAM, (4) pengembangan sosial politik, (5) pengembangan ekonomi, (6)
pengembangan kebudayaan bangsa, dan (7) pembangunan pertahanan (Pipin Hanapiah,
2001).
Pancasila memberikan dasar nilai-nilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, yaitu didasarkan moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan
beradab. Dengan diletakkannya pengembangan ilmu pengetahuan di atas Pancasila
sebagai paradigmanya, maka perlu dipahami dasar dan arah peranannya dari nilai
Pancasila sebagai berikut.
1. Aspek ontologi, bahwa hakikat ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aktivitas
manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan
menentukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang secara
utuh dalam dimensinya sebagai
 masyarakat, menunjukkan adanya suatu academic community yang dalam hidup
keseharian para warganya untuk terus menggali dan mengembangkan ilmu
pengetahuan,
 proses, menggambarkan suatu aktivitas masyarakat ilmiah yang melalui
abstraksi, spekulasi, imajinasi, reHeksi, observasi, eksperimentasi, komparasi
dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan,
 produk, adalah hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya
ilmiah beserta implikasinya yang berwujud fisik ataupun nonfisik.

15
2. Aspek epistemologi, bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya dijadikan metode berpikir. _
3. Aspek aksiologi, dengan menggunakan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila sebagai metode berpikir, maka kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu
pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan ideal dari Pancasila dan
secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Menempatkan nilai-nilai Pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan
merupakan kontekstualisasi nilai-nilai Pancasila dalam suatu bidang keilmuan. Dalam
hal ini, Pancasila memberikan dasar ontologis bagi ilmu pengetahuan (Kaelan, 2007).
Berdasar pendapat ini dan pendapat-pendapat sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa
Pancasila dapat memberi dasar-dasar aksiologis dan ontologis bagi ilmu pengetahuan.
Dasar-dasar aksiologis berhubungan dengan peran Pancasila sebagai kaidah moral atau
nilai-nilai yang memandu perihal untuk apa ilmu pengetahuan digunakan dan
bagaimana kaidah moral/etik menggunakan ilmu pengetahuan tersebut. Dasar dasar
ontologis, berkaitan dengan bagaimana sebuah pengembangan kajian ilmu, khususnya
ilmu-ilmu sosial “diisi” menurut sudut pandang Pancasila.
Perihal Pancasila memberi dasar ontologis ini, Kaelan (2007) memberi contoh
hakikat manusia menurut Hlsafat Pancasila adalah “monopluralis”, sehingga misalnya
dalam hubungannya dengan ilmu hukum, paham positivisme yang tidak mengakui nilai-
nilai hukum Tuhan, bagi hukum negara Indonesia diakui adanya nilai-nilai hukum
Tuhan. Dalam bidang ekonomi, tidak mendasarkan pada persaingan bebas sebagaimana
halnya ekonomi kapitalis, tetapi sebagai makhluk sosial yang senantiasa memerhatikan
orang lain, sehingga persaingan tidak senantiasa membuat penderitaan bagi orang lain.
Seturut dengan pendapat di atas, Heri Santoso (2003) menyatakan perlunya
penggalian Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia.
Gerakan ini selanjutnya dikenal sebagai gerakan pribumisasi ilmu-ilmu sosial. Lebih
jauh dikatakan, Pancasila bisa menjadi landasan filosofis pengembangan ilmu sosial di
Indonesia. Contoh yang bisa ditunjukkan, misalnya pemikiran Notonagoro mengenai
hukum dan kenegaraan Pancasila dan pemikiran Mubyarto mengenai ekonomi
Pancasila. Fungsi Pancasila demikian juga pernah dikemukakan melalui buku teks PKn
“Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia” karangan Mr. Soepardo, dkk (1960). Dalam
buku tersebut dikembangkan pemikiran bahwa Hlsafat Pancasila dapat digunakan
sebagai pangkal tolak pembahasan keadaan alam dan masyarakat Indonesia. Demikian
pula pada cabang-cabang Ilmu Pengetahuan Sosial lainnya dapat juga kita masukkan

16
unsur-unsur Pancasila secara sistematis, dengan tidak menyimpang dari kebenaran yang
menjadi tujuan ilmu pengetahuan (Soepardo, dkk. 1960).
Mengembangkan Pancasila sebagai ilmu juga pernah dikemukakan oleh
Kuntowijoyo. Dikatakan bahwa Pancasila semacam filsafat sosial, cara pandang negara
terhadap gejala-gejala sosial, dan dari filsafat sosial itu dapat diturunkan menjadi teori
sosial, yang juga memiliki metodologinya (Kompas, 21 Januari 2001).
Pengembangan Pancasila sebagai filsafat sosial untuk ilmu-ilmu sosial di
Indonesia dimungkinkan oleh karena ilmu sosial berbeda dengan ilmu-ilmu alam yang
mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan mudah dikontrol. Ilmu sosial mempelajari
gejala sosial, bukan fakta mati yang butuh penelaahan sesuai dengan konteks interaksi
yang dinamis. Ilmu sosial dengan mengutip pendapat Jujun S. Suriasumantri (1986:115)
harus mampu mengidentifikasi pikiran-pikiran dasar yang cocok dengan situasi
kontekstual. Soedjatmoko (1984: 276) juga mengatakan teori ilmu sosial tidak bisa
melepaskan diri dari pola kebudayaan yang memengaruhi sistem kognitif masyarakat.
Ilmu sosial di Indonesia bukan sekadar menerima teori-teori sosial yang dihasilkan oleh
ilmuwan luar yang pijakan realitas sosialnya belum tentu sesuai dengan yang terjadi di
Indonesia (Haris Mudjiman, 1995). Jadi, menyusun teori sosial yang berdasar pada
Hlsafat Pancasila di Indonesia bukanlah suatu kekeliruan, tetapi merupakan kebutuhan
untuk mengembangkan ilmu sosial Indonesia yang kontekstual dengan pikiran-pikiran
dasar dan kebudayaan masyarakatnya. Pemikiran ini juga merupakan salah satu bentuk
implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa. Gagasan ini dapat dikatakan bukan
sesuatu yang baru karena pernah termuat dalam materi Pancasila pada buku Civics
Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (1960) dengan sub topik Pantjasila dan ilmu
pengetahuan. Dikatakan bahwa filsafat Pancasila dapat dijadikan pangkal tolak
pembahasan keadaan alam dan masyarakat Indonesia.
D. PANCASILA SEBAGAI GENETIVUS OBJECTIVUS DAN GENETIVUS
SUBJECTIVUS
Istilah Pancasila sebagai genetivus subjectivus dan genetivus objectivus, dapat
ditelusuri dari pendapat Darji Darmodiharjo (2006) yang mengatakan Pancasila bisa
sebagai genetivus objectivus maupun genetivus subjectivus. Menurutnya, menempatkan
Pancasila sebagai subjek yang memberi penilaian terhadap segala sesuatu yang
menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Atau dengan
perkataan lain, sebagai genetivus subjektivus berarti mengonsepsi Pancasila sebagai

17
suatu sistem filsafat. Sebagai sistem filsafat, Pancasila dalam arti praktis dipandang
sebagai produk dan pandangan hidup, dan dalam arti praktis.
Di sisi lain, Pancasila merupakan genetivus objectivus berarti Pancasila
berkedudukan sebagai objek yang dapat dikaji secara ilmiah dengan menggunakan
kerangka berpikir teoretis barat. Koento Wibisono (Mustafa Kamal Pasha, 2002)
menyatakan bahwa bidang filsafat Pancasila dapat dibedakan menjadi dua, yakni filsafat
Pancasila sebagai genetivus objectivus dan filsafat Pancasila sebagai genetivus
subjectivus. Sebagai genetivus objectivus, artinya nilai-nilai Pancasila dijadikan objek
material dalam telaah filsafati. Nilai-nilai Pancasila bisa dikaji secara teoretis akademik
menurut sudut pandang aliranaliran filsafat tertentu. Misalnya, nilai-nilai Pancasila
dikaji dari sudut pandang filsafat pragmatisme, eksistensialisme, fenomenologis, dan
lain-lain. Pemikiran ini bisa menghasilkan keragaman pendapat karena menggunakan
perspektif Hlsafat yang berbeda-beda.
Sebagai genetivus subjectivus, Pancasila dijadikan subjek yang mengkaji dan
menguji berbagai aliran Hlsafat yang lain. Pancasila dijadikan pisau analisis, pokok
pangkal, dan sudut pandang untuk mencari jawaban atas masalah-masalah fundamental,
seperti masalah hubungan manusia dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan diri sendiri.
Contoh dari metode ini adalah apa yang dilakukan oleh Notonagoro dalam menelaah
hukum Indonesia berdasar filsafat Pancasila, pemikiran Mubyarto dalam menelaah
ekonomi Indonesia menurut perspektif Pancasila, dan pemikiran Mohammad Noer
Syam dalam menelaah pendidikan Indonesia melalui perspektif Pancasila.
Berdasar pada uraian-uraian sebelumnya dapat dikemukakan beberapa simpulan
perihal Pancasila dan kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Bahwa Pancasila dapat
memberikan dasar-dasar baik ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu pengetahuan di
Indonesia. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
di Indonesia. Pengertian dasar nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi
dan arah pengembangan ilmu. Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung
dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia untuk mencari
kebenaran yang tidak mengenal titik henti. Dalam dimensi epistemologis, nilainilai
Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berpikir dan tolok ukur kebenaran, misal
dengan pendekatan gotong royong. Dalam dimensi aksiologis, ada nilai-nilai imperatif
dalam mengembangkan ilmu yakni sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan.
Merujuk pada pendapat Sri Soeprapto (2010), dasar ontologis Pancasila adalah
pengetahuan rasional yang realistis, yaitu pengertian yang ideal bersifat abstrak umum

18
universal. Dasar ontologis Pancasila dapat menjadi sumber bahan dan nilai untuk
menentukan dasar epistemologis dan aksiologis pengetahuan ilmiah tentang bidang-
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut. Pengetahuan Pancasila yang
substansial akan mampu menjadi dasar aksiologis pengembangan ilmu pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila yang merupakan kesinambungan dengan dasar
ontologis Pancasila adalah pengertian Pancasila yang substansial, yaitu pengetahuan
rasional yang realistis. Dasar epistemologis Pancasila, yaitu pengetahuan substansial
yang rasional realistis tersebut akan mampu menjadi dasar untuk menghindarkan diri
dari jenis-jenis pengetahuan ilmiah tentang bidang-bidang kehidupan yang empiris dan
pragmatis. Pengetahuan ilmiah di bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa
yang akan datang perlu selalu memerhatikan dua pertimbangan, yaitu berhubungan
dengan dasar epistemologis Pancasila dan dengan teori-teori ilmiah bidang-bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara terutama ilmu hukum, politik, dan sosial budaya.
Dasar aksiologis Pancasila berguna untuk menghindarkan diri dari pengetahuan
ilmiah tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang cenderung menganggap bahwa
pengetahuan semata-mata berdasarkan pengalaman serta ilmu yang pasti (positivistis)
dan pragmatis. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dibarengi
dengan dasar-dasar nilai moral Pancasila yang kuat justru akan menjadi aspek
penghancur bangsa, terutama dari segi moralitas dan mentalitas. Tanpa kita sadari
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu santemya kita mulai
melupakan akan apa tujuan dari yang kita lakukan ini. Padahal hal ini tercantum jelas
dalam ideologi Pancasila bahwa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
haruslah secara beradab sebagaimana tercantum dalam sila kedua yang berbunyi.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya diwujudkan
untuk keadilan sosial dan kehidupan yang beradab, serta bermoral.

19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Banyak ahli yang telah mewacanakan bahwa Pancasila dapat menjadi landasan
etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Pancasila dengan ilmu
pengetahuan bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu (l) Pancasila menjadi landasan
etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan (2) nilai-nilai Pancasila menjadi
paradigma ilmu pengetahuan di Indonesia. Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu dapat mengacu pada beberapa jenis pemahaman (Tim dosen
Pancasila, 2014). Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dikembangkan di Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Kedua, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai - nilai Pancasila sebagai
faktor internal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Ketiga,
bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, artinya mampu mengendalikan ilmu
pengetahuan dan teknologi agar tidak keluar dari cara berpikir dan cara bertindak
bangsa Indonesia. Keempat, bahwa setiap pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi harus berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri atau yang
lebih dikenal dengan istilah indigenisasi ilmu (mempribumian ilmu).
B. SARAN
Makalah ini masing sangat jauh dari kata sempurna . Untuk itu kami selalu
mengharakan kritik dan saran yang membagun dari para pembaca, agar kemudian bisa
menjadi masukan dan bahan perbaikan bagi penulis sehingga makalah ini bisa
menjadi lebih baik lagi kedepannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Winarno. 2016. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila. Jakarta: Bumi Medika.

21

Anda mungkin juga menyukai