Anda di halaman 1dari 3

Dilema Desa Wisata

Oleh: Astra Tandang

Sebentar, kita lepas dulu pembicaraan soal Jakarta, tentang kemacetan, banjir dan sejumlah
akrobatik poltik yang terjadi di dalamnya. Mari kita ke desa. Hitung-hitung mengasah kepekaan
lokal kita. Desa, sebuah arena masyarakat tatap muka yang selalu setia merawat kesamaan
emosi. Desa bukanlah masyarakat digital. Melainkan tatap muka adalah hakekat dan tradisi
orang-orang desa.

Di Manggarai Timur (Matim), Bupati dan Wakil Bupati melantik beberapa Kepala Desa (Kades)
di kawasan objek wisata. Tepatnya di Rana Kulan. Sebuah Danau yang pesonanya mengundang
daya pikat bagi banyak wisatawan. Meski memang beberapa infrastruktur pendukung untuk
memudahkan akses ke Ranah Kulan masih butuh sentuhan serius pemerintah, seperti jalan,
jaringan listrik Negara atau pun jaringan internet.

Pilihan tempat pelantikan para pejabat desa seperti ini memang agak jarang kita temukan. Di
beberapa daerah di Indonesia mungkin saja ada, tetapi tidak semua. Meski ini tidak lebih sebagai
upacara seremonial. Namun apresiasi atas niat baik Pemerintah daerah (Pemda) Matim
mempromosikan wisata di daerahnya ini pantas untuk diberikan. Sampai-sampai Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Sandiaga Uno bahkan rela membuat video
pendek berisi ucapan yang sama, apresiasi. Menurut Sandi ini bagian dari Pemda dan desa untuk
mendukung kerja-kerja pengembangan pariwisata nasional.

Dilema

UU Desa No.6 tahun 2014 dapat dilihat sebagai peraturan yang cukup progresif dan revolusioner
dari sejumlah produk peraturan tentang desa dari sejumlah rezim kekuasaan sebelumnya. Produk
aturan ini tampak sebagai upaya penebusan. Meminjam istilah salah satu perancang UU Desa
Yando Zkaria, sebagai ‘utang yang harus dibayar’ terhadap segala bentuk marginalisasi dan
korporatisasi terhadap desa yang dilakukan melalui produk peraturan oleh rezim kekuasaan
sebelumnya.

Pemerintah desa dengan asas rekognisi dan subsidiaritas yang terkandung dalam produk
peraturan ini, tidak lagi sekedar bertugas menyelenggarakan rumah tangga, melainkan memiliki
kuasa ruang yang besar untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Satu
diantaranya berkaitan dengan memetakan, menghadirkan dan mengurusi desa wisata.

Uang Negara yang masuk ke desa untuk mendukung pengembangan desa wisata pun tidaklah
sedikit. Jumlahnya fantastis. Tidak hanya dari Dana Desa (DD) yang jumlahnya miliaran itu,
dari Kemenparekraf bahkan meluncurkan program khusus yang diberi nama bantuan insentif
pemerintah (BIP) untuk pelaku ekonomi kreatif dan desa wisata. Nilainya tidak sedikit, yakni
Rp 60 miliar.

Melalui kuasa ruang yang besar dan didukung dengan dana segar seperti ini tentu bisa dijadikan
daya ungkit bagi kemandirian desa. Desa pun bisa lebih bertenaga, baik secara social, budaya,
ekonomi maupun teknologi. Selain mendatangkan pundi-pundi Pendapatan Asli Desa (PADes),
di sisi yang lain akses terhadap kesejahteraan oleh masyarakat desa pun tentu semakin mudah
didapat.

Desa wisata sendiri selama ini dilembagakan dalam bentuk BUM Desa. Di BUM Desa sendiri
dikenal dengan istilah tiga A, yakni aset, actor dan arena. Aset adalah harta yang dimiliki seperti
potensi alamiah maupun budaya yang kemudian dalam konteks ini bisa dijadikan sebagai
destinasi wisata. Aktor adalah mereka yang menjadi pengelola bisnis skala desa. Mereka adalah
perangkat desa atau pun warga desa sediri. Arena adalah ruang di mana BUMDesa akan tumbuh
dan berkembang.

Ketiga hal tersebut menjadi kekuatan penting dalam membangun desa wisata. Meski yang terjadi
di lapangan tidak jauh dari beragam evaluasi. Kepala desa misalnya, tidak jarang menjelma
menjadi mandor proyek ketimbang menjadi pemimpin rakyat. Setiap saat harus bergelut dengan
admisnistrasi keuangan dan laporan yang bertumpuk.

Secara arena, desa juga belum berhasil merebut semuanya. Parkarsa desa masih banyak dibatasi
dan dilarang. Misalnya dengan kehadiran frasa ‘belum ada payung hukumnya’, ‘belum ada
aturannya’, atau ‘aturan ini melarang’. Kecurigaan dan pengawasan jauh lebih menonjol
ketimbang pembinaan dan pemberdayaan. Hal ini biasanya terjadi akibat semangat UU Desa
direduksi hanya sebagai proyek DD atau proyek desa wisata.

Alhasil, BUM Desa yang bergerak di desa wisata pun tidak lagi serius diurus agar tumbuh sehat,
mandiri dan kuat, serta bermanfaat untuk kehidupan masyarakat. Malah yang terjadi hanya
menjadi lading upeti. Ia hadir tunggu ada bantuan dan perintah dari atas, misal Bupati. Meskipun
ia dipaksa berjalan bahkan dicambuk sekalipun ia tetap menjadi kerdil. Karena ia hadir bukan
karena prakarsa desa, melainkan karena perintah dari atas. Tidak mengherankan jika daftar
panjang kasus korupsi akhir-akhir ini banyak diisi oleh para kades. Karena desa wisata dijadikan
ajang buru rente.

Memuliakan Desa

Ditengah proyek DD, administrasi, aturan, dan perangkat yang mengatur, mengendalikan,
memperlalat dan menarget desa, salah satu jalan untuk memuliakannya adalah dengan
menghadirkan desa wisata. Desa wisata yang terintegrasi ke dalam BUM Desa menjadi penting
perananya dalam mengembangkan ekonomi desa. Ia tidak harus terjebak dalam bisnis
konvensional yang menimbang untung rugi. Melinkan hadir dengan semangat kororporasi
kerakyatan serta hasil konsoslidasi desa untuk menjawab isolasi dan ekonomi di desa.
Karenanya, utuk mencapai tujuan tersebut harus ada koordinasi, konsolidasi, dan kolaborasi.
Melalui rekognisi-subsidiaritas, desa mendapatkan mandat dari Negara untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, seperti kebutuhan infratrktur, ekonomi lokal atau
pelayanan dasar. Mengurus itu semua tentu dilakukan dengan ‘cara desa’ sendiri, berdasarkan
prakarsa, adat istiadat atau kearifan lokal yang dimiliki.

Karena itu, untuk memuliakan desa, kerja pemberdayaan penting dilakukan. Mulai dari
katalisasi, edukasi, fasilitasi untuk mengkonsolidasikan kekuatan local yang dimiliki desa.
Sehingga desa wisata itu bukan hanya sekedar proyek yang datang dari atas atau dijadikan bahan
pertunjukan para pejabat. Melainkan lahir dari pengetahuan, kearifan, prakarsa dan kepentingan
desa itu sendiri.

Penggiat Desa, Alumnus Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai