Anda di halaman 1dari 3

Pemuda Memperlakukan Kekuasaan

Oleh : Astra Tandang

Pada fase formatif pembentukan negara bangsa Indonesia, peran intelektual sangat menyatu
dengan gerak kekuasaan, bahkan menjadi isntrumen sekaligus pelaku aktif proses nation and
character building. Sebagian dari mereka adalah generasi muda yang tercerahkan. Sudjatmoko
melabeli mereka sebagai “activists-intelectuall” yang mendapatkan penerimaan luas karena
kesediaanya mengambil resiko menghadapi kekuasaan kolonial.

Sejarah merekam, sembilan puluh tiga tahun yang lalu, para pemuda berembuk dalam forum
Kongres Pemuda Kedua. Masing-masing, hati mereka menyala api, pikiran mereka menggegam
kebenaran dan tangan mereka mengepal perlawanan. Mereka siap berkalung resiko,
meninggalkan ego kedaerahan pun kegamanan. Perjumpaan yang mereka gelar dirayakan dalam
semangat persaudaraan dan nasionalisme yang membara. Bahwa mereka gerah dan marah hidup
dan membiak di rahim kolonialisme juga feodalisme. Mereka berikhtiar untuk segera melahirkan
negara modern yang bernama Indonesia.

Sumpah Pemuda, demikian keputusan penting dari para pemuda di tahun 1928, yang saat ini
setiap tanggal 28 Oktober kita mengenangnya. Nafas perjuangan para pemuda ini terus
berdesakan mencari jalan. Hingga pada tanggal 15 Agustus 1945, beberapa pemuda itu datang
dengan kepala tegap menantang Soekarno. “Sekarang Bung, sekarang! Malam ini juga kita
kibarkan revolusi!,” uacap Chaerul Saleh. “Kami siap mempertaruhakan jiwa dan raga kami!
Kita harus merebut kekuasaan!” teriak Sukarni diikuti suara lainnya yang saling bersahutan.

Namun saja pengalaman romantik di atas berusia sangat singkat. Bangsa ini, harus menelan pil
pahit ketika kekuasaan Orde Baru (Orba) membangun relasi yang isntrumentalis dengan
Pemuda. Pada babak ini, pemuda tidak lebih hanya dijadikan sebagai sapi perah untuk
melanggegkan kekuasan Soueharto. Ia mendikte agenda-agenda perjuangan, perubahan sosial
bahkan ilmu pengetahuan yang diproduksi oleh activists-intelectuall guna mendukung agenda
pembangunan maupun ideology negara.

Anak Muda Sekarang

Soeharto tumbang, pergantian rezim politik dimulai. Sayangnya, tidak disusul dengan perubahan
yang berarti. Posisi instrumentalis antara pemuda dan kekuasaan masih berlajut, bahkan
mengalami pendangkalan sangat serius, yakni menjadi pelayan dari hasrat briokratisasi,
korporatisasi, teknokratisasi yang semakin tidak terkendali. Kita sama-sama menyaksikan
dengan putus asa-bahkan menjadi bagian darinya-bagaimana proses pembinanan dan kaderisasi
yang berlangsung di sejumlah organisasi pemuda sekarang ini berkahir dengan memproduksi
laporan yang bertumpuk, riuh rendah berebutan foto selfie, ajang pertunjukan para pengurus,
bahkan jadi ladang upeti. Kita harus menyaksikan kenyataan yang menghina akal sehat ini
dengan sedih. Keberanian untuk berkalung dengan resiko, bersama dengan yang tertindas,
membangun kerja-kerja intelektual dalam krangka memproduksi ilmu pengetahuan, perubahan
sosial dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan semakin asing terdengar.

Saya mengingat cukup baik, pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Cornelis Lay di awal tahun
2019 silam yang berusaha menenggarai perdebatan antara komunitas epistemik dalam hal ini
kampus dengan posisi intelektual para akademisi dihadapan kekuasaan. Selama ini memang
kedua kelompok ini seolah-olah dihadapkan hanya pada dua pilihan jalan yang saling
meniadakan, yaitu pertama, mendekat dan menjadi bagian dari kekuasaan atau sebaliknya,
kedua menjauhi bahkan memusuhi kekuasaan.

Menurutnya, ada empat hal yang bisa diperiksa dalam relasi dengan kekuasaan. Pertama,
bagaimana memperlakukan kekuasaan ketika para intelektual mendapatkan kekuasaan. Apakah
memperlakukan kekuasaan sebagai sesuatu yang normal, rutin, wajar dan bukan hal yang luar
biasa. Ia menyangsikan, begitu banyak orang berakhir dengan prilaku membelakangi akal sehat
dan menampakan diri sebagai manusia kemaruk yang gila hormat.

Di tubuh aktivis mahasiswa atau pemuda, ekspresi atas fenomena ini beragam. Seorang yang
menjadi pengurus organisasi pergerakan, baik di cabang atau pusat kadang begitu mudah
tersinggung ketika diundang dan tidak menempati tempat duduk yang dianggap mewakili
statusnya. Ada juga yang kebingungan mengatur penampilan, membangun jarak yang sangat
panjang, bahkan dengan sahabat masa lalu melalui penciptaan saluran protokoler yang rumit dan
panjang. Ada juga yang perlu mendemontrasikan dirinya dengan arak-rakan, pagar betis, tarian
dan pengalungan saat berkunjung ke cabang-cabang. Kebiasaan terakhir ini akarab dilakukan
oleh para ketua pengurus pusat. Demikian mereka mengemis privilege!

Kedua, penyalagunaan kekuasan yang membuat imparsialitas. Menurutnya tidak sedikit orang
yang gagal pada fase ini. Jabatan yang didapat kadang berubah wajah menjadi partisan, bahkan
tidak jarang merosot menjadi keluarga atau individual pemegang kekuasaan. Di tubuh organisasi
pemuda kita bisa menemukan klaim “organisasi adalah aku.” Bahkan kekuasaan yang sedang
digenggam tidak jarang dipakai untuk melakukan “pembasisan elit”. Menjual muka kesana
kemari dihadapan para pejabat negara demi mendulang cuan atau jabatan pasca kepengurusan.

Ketiga, menjadikan kekuasaan bermanfaat bagi banyak orang. Pada fase ini banyak juga yang
gagal melewati. Menurutnya, hal tersebut dipengaruhi oleh mentahnya penguasaan ideologi dan
rendahnya penguasaan aspek teknokratik-manajerial. Di tubuh organisasi pemuda, fenoemna ini
diekspriksan dengan kesukaan mengkrtik, bahkan memaki, menghina bekerjanya kekuasaan dan
pada saat bersamaan lupa membangun kerja-kerja empowering dan strengthening yang justru
dipelukan kekuasaan untuk mendelivery kebaikan banyak orang.

Keempat, bagaimana seseorang turun dari kekuasaan secara elegan dan bermartabat. Di tubuh
organisasi pemuda, orang yang gagal pada fase ini biasanya karena mempertahankan kekuasaan
dengan segala cara bahkan dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Ataupun jika ia minggat dari
kekuasaan, ia tetap berupaya menciptakan berbagai mekanisme pengamanan diri agar
kekuasaannya tetap awet dengan mengontrol berlangsungnya kerja-kerja kepengurusan yang
baru. Karena dengan demikian ia masih memiliki akses yang besar tehadap sumber daya negara
atau sekedar untuk tetap mendapatakan ruang pertunjukan diri dihadapan generasi sesudahnya.

Bersiasat

Ditengah kesulitan saat menemukan jalan pulang akibat tersesat di rimba raya politik kekuasaan
yang tak bertepian, pilihan jalan ketiga relasi antara pemuda dengan kekuasaan mendesak untuk
dicari. Bagi Cornelis Lay ia berusaha menawarkan jalan alternatif yang berbeda dengan logika –
berumah di angin- ala Rendra si Burung Merak yang menekankan fungsi resi. Dimana kaum
intelektual dalam hal ini pemuda hanya boleh hadir dalam situasi darurat dalam rangka
memperbaiki. Menurut Cornelis, kaum intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan
berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, bukan didikte oleh motif kecintaan atau
kebencian terhadap kekuasaan. Jalan ketiga yang ia tawarkan menekankan pada sentralitas
voluntarism dalam politik.

Karena itu, dihadapan kekuasaan penting bagi pemuda untuk bersiasat. Pemuda bukan saja
menjadi activists-intelectuall yang selalu punya energi memverifikasi berjalanya kekuasaan,
entah dengan lantang memaki kekuasaan dan pelakunya, tetapi ia boleh bersahabat dengan
kekuasaan sembari tetap menjaga kewarasan, karakter intelektual, keberpihakan dan berpikir
bebas.

Tentu cara bersisat demikin membutuhkan kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam
memahami kekuasaan. Sehingga memperlakukan kekuasaan itu bukan menjadi sesuatu yang
selalu berdaya koersif, deminatif atau hegemonic yng harus diperebutkan dengan mengeksklusi
yang lain. Melainkan sesuatu yang positif dan berdaya kreatif. Dengan demikian, Sumpah
Pemuda kembali menemukan jalan pulang. Ia tetap menjadi bara api bagi pemuda masa kini
untuk terus menghasilkan voice bukan kebisingan dan control atas kerja-kerja kekuasaan.

Penulis adalah Penikmat Kopi Tanpa Gula, Tinggal di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai