Pandemi Dan Yang Tersingkir
Pandemi Dan Yang Tersingkir
Bagi siapa saja yang memiliki cukup tabungan, berpenghasilan tetap dan memiliki
cukup saran untuk bekerja dari rumah, saya ingin berbagai narasi pada Anda
sekalian tentang pandemi dan yang tersingkir. Mereka adalah warga Negara yang
tidak memiliki privilese seperti Anda. Sebut saja mereka dalalah kelompok
marjinal yang ditengah wabah malah mengalami kerentanan ganda. Merrka tidak
ahnay terekslusi dari sumber-sumber material, tetapi juga dari kesempatan-
kesempatan, pilhan-pilihan, maupun kesempatan hidup yang memungkinkan
mere4ka hidup dengan layak dan bermartabat (Millar, 2007).
Karena memang sejak awal, ketika sekelompok orang mengalami peliyanan baik
dari masyarakat, komunitas tetentu bahkan Negara, lantas mereka akan menjadi
non warga (non-citizens) yang tidak terakui (misrecognition), tidak dapat
melakukan klaim atas redistribusi sumber daya, seperti hak-hak yang berkaitan
dengan kesejahteraan (maldistribution), serta tidak dapat berpartisipasi dan
terwakilakan (misrepresentation) dalam proses-proses pembuatan kebijakan
(Stokke 2017). Sehingga ketika dalam kondisi darurat kesehatan, mereka inilh
menanggung resiko yang tidak proporsional. Seperti anak-anak dan lansia,
penyandang disabilitas, kelompok minoritas ras, etnis, agama, termasuk
masyarakat adat, perempuan, kelompok minoritas gender, imigran yang tidak
terdokumentasi atau pengusi.
Yang Tersingkir
Ditengah wabah yang tidak jelas kapan berakir dan respons “bussines as usual”
dari Pemerintah, kepada yang termarjninalkan, mereka dalah korban yang sudah
jatuh tertimpa tangga pula. Misal yang menimpa perempuan dan anak yang
menjadi penyintas kekerasan bebrasis gender, termasuk kekesrasan dalam rumah
tangga. Komnas Perempuan mencatat, selama periode Januari-Juli 2021, korban
kekerasan tehadap perempuan meningkat menjadi 2.500 dari tahun sebelumnya
yakni 2.400 kausus. Beguitupun yang menimpa anak-anak. Pada peringatan Hari
Anak Nasional, (23/7/2021) lalu, Kemen PPPA merilis laporan kekerasan pada
anak meniningkat sampai pada angka 5.463 kasus. Paling banyak terjadi di lingkup
rumah tangga, selebihnya terjadi di tempat kerja, sekolah, fasilitas umum dan
lembaga pendidikan kilat. Di masa pandemic, resiko kekerasan pada anak dan
peremouan dilaporkan meningkat tentu juga akibat kebijakan-kebijaka seperti
“bekerja dari rumah” atau “di rumah saja” yang memaksa mereka untuk berbagi
ruang tinggal yang sama dengan pelaku kekerasan untuk waktu yang cukup lama.
LBH Apik, misalnya, mencatat setidaknya 59 kasus kekerasan terhadap
perempuan terjadi hanya dalam waktu dua minggu sejak karantina mandiri mulai
dilakukan dari pertengahn hingga akhir maret 2020 di Jakarta, di mana 17
diataranya adalah kasus kekerasan pada rumah tangga (Octaviani, 2020).
Kerentanan ganda yang sama juga terjadi pada kelompk lansia. Apalagi jika
mereka adalah penyintas pelanggaran HAM berat masa lalu yang juga harus
menanggung stigma social dan karenanya seringkali tersekslusi dari layanan-
layanan maupun bantaun-bantaun jamnian pengaman social pemerintah. Pada
kelompok minoritas gender dan orientasi seksual, seperti para traspuan atua
waria, yang kebayakan bekerja disektor informal, mereka juga kersp kali
menda[atlan pengahsilan , apalgai jika menreka adalah poengamen. Slain
ancaraman kekerasan dan stigma social yang emrak terima selama ini, di masa
pandemic ruang gerak mereka juga akan semakin terbatas dan sempit.