Anda di halaman 1dari 5

Nama : moh aldo fahrul azmi

NIM : B200200492
Kelas : SIA K

Tugas 4 SIA

Bagaimana perkembangan korupsi di Indonesia sejak jaman Sukarno s/d Jokowi !


1. Era Soekarno (Orde Lama)
Pada tahun 1957 terbit Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957.
Peraturan tentang pemberantasan korupsi itu dibuat atas keinginan penguasa militer saat
itu, yakni Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Ada dua peraturan
lanjutan yang juga dibuat. Pemerintah juga mengesahkan Undang-undang Nomor 74 tahun
1957 tentang Keadaan Bahaya. Undang-undang itu menjadi dasar Orde Lama untuk
membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN).
Lembaga ini diketuai Jenderal AH Nasution dengan dua anggota yakni M Yamin
dan Roeslan Abdulgani. Pada masa itu, militer memegang kekuasaan besar atas
pengelolaan negara. Kekuasaan militer makin tak terkendali seiring dengan upaya militer
mengambil alih aset perusahaan Belanda. Militer ikut melibatkan diri dalam bisnis dan
kekuasaan. Banyak pejabat militer baik di tingkat pusat atau militer memperkaya diri.
Jenderal Nasution berusaha memberantasnya dengan mencopot mereka yang ketahuan.
Pada 1959, Undang-undang Keadaan Bahaya dicabut. Pemerintah menggantinya dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Di tahun yang sama,
Pemerintah membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) yang
diketuai oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Dikutip dari Jangan Bunuh KPK (2016),
Bapekan menyelesaikan 402 dari 912 aduan masyarakat seputar penyelewengan jabatan
dan korupsi. Seperti KPK, Bapekan dipercaya masyarakat. Namun kala itu, situasi politik
kacau. Kabinet dan perdana menteri digonta-ganti dan konstitusi yang tak jelas. Ini
membuat upaya pemberantasan korupsi terlupakan.
PARAN dan Bapekan juga bersaing dan berseteru. Presiden Soekarno sampai harus
mempertemukan pimpinan kedua lembaga itu agar berhenti bertikai dan membagi tugas.
Sayangnya, Bapekan tiba-tiba dibubarkan oleh Sukarno setelah tiga tahun berdiri. Tak ada
alasan jelas. Salah satu dugaan kuat, karena Bapekan menerima banyaknya aduan korupsi
pembangunan Kompleks Gelora Bung Karno kebanggaan Sukarno. Masih di era Orde
Lama, pada 1963 didirikan lembaga Operasi Budhi. Jenderal AH Nasution juga yang
memimpin lembaga ini. Tugasnya, meneruskan kasus-kasus korupsi perusahaan dan
lembaga negara ke pengadilan. Kendati menyelamatkan uang negara hingga Rp 11 miliar,
Operasi Budhi dibubarkan Soekarno hanya tiga bulan setelah didirikan. Alasannya,
Operasi Budhi dianggap mengusik prestise Soekarno. Sebagai penggantinya, pada 1964,
Soekarno mendirikan Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) yang
dipimpin Subandrio. Sayangnya, lembaga ini pun tak bertahan lama karena setahun
kemudian terjadi peristiwa G30S.

2. Era Soeharto (Orde Baru)


Memasuki era Orde Baru, Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) di Kejaksaan Agung pada 1967. Namun lembaga ini kehilangan taringnya.
Ia ciut ketika harus mengusut kasus yang melibatkan kroni Soeharto.TPK hanya mengusut
kasus korupsi receh. Pembiaran terhadap kasus korupsi besar menuai protes dari
mahasiswa dan masyarakat. TPK dibubarkan.
Setelah itu, Soeharto membentuk Komite Empat. Isinya orang-orang yang dikenal bersih
seperti Profesor Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo, dan A Tjokroaminoto.
Komite itu menemukan korupsi dalam Departemen Agama, Bulog, Telkom, hingga
Pertamina. Namun, pemerintah mengabaikan temuan ini.
Tercatat, di era Orde Baru setidaknya ada enam peraturan seputar korupsi dan gratifikasi.
Ada pula tiga lembaga antikorupsi yang didirikan. Namun seperti kita semua ketahui,
korupsi justru merajalela di era itu. Semangat pemberantasan korupsi sudah muncul di
masa-masa awal kelahiran negara ini. Sejumlah aturan hukum diterbitkan; sejumlah
lembaga pun didirikan. Tapi, perkara korupsi tak kunjung selesai.
Di era Orde Baru, Soeharto juga membentuk lembaga pemberantasan korupsi namun ia
sendiri terjungkal karena korupsi.

3. Era Habibie (Era Reformasi)


Pada era pemerintahan BJ Habibie, Gerakan anti korupsi ditandai dengan
dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme bersamaan pembentukan lembaga anti korupsi
Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), dan Ombudsman. Namun secara umum lembaga-lembaga ini belum
menunjukan kemampuan pemberantasan korupsi di Indoenesia, dengan pandangan bahwa
lembaga ini masih baru dibentuk sehingga masih berkutat dengan permasalahan
adminsitrasi dan tata tertib kelembagaan.

4. Era Abdurrahman Wahid/ Gus Dur (Era Reformasi)


Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid, TGPTPK dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2000 sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Korupsi. Tim ini beranggotakan jaksa, polisi, dan wakil dari masyarakat 
dan berada di bawah Jaksa Agung, Namun pada pelaksanaannya, TGPTPK tidak
mendapat dukungan. Beberapa kasus yang coba diusut oleh TGPTPK ditolak oleh Jaksa
Agung, seperti misalnya kasus BLBI.
Walaupun mampu menunjukkan sinergi positif dengan terbentuk dari unsur-unsur
kepolisian dan kejaksaan, lembaga ini dinilai gagal bekerja dengan maksimal. TGPTPK
akhirnya dibubarkan pada 2001 ketika gugatan judicial review atas tiga Hakim Agung
yang pernah diperiksa TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung lewat putusan Np.
03p/HUM/2000 karena dianggap bertentangan dengan UU No. 31 Tahun 1999.

5. Era Megawati Soekarno Putri (Era Reformasi)


Pada era pemerintahan Megawati, komitmen tetap memerangi korupsi juga terus
digalakkan. Pada masa inilah dibentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melalui
Undang Undang No. 30 Tahun 2002. Struktur dan kelembagaan KPK tidak dipengaruhi
oleh kekuasaan apapun. Begitu dibentuk, KPK langsung bekerja ekstra. Sehingga
meskipun lembaga baru, KPK menunjukkan diri sebagai lembaga yang berwibawa dan
ditakuti oleh para pejabat. Tidak sedikit pejabat dan politisi, terutama DPR/DPRD, yang
diseret ke pengadilan atas tuduhan korupsi. Walaupun banyak pejabat dan politisi yang
terjerat hukum karena korupsi, namun tetap saja era Megawati juga menyuburkan korupsi,
terbukti dengan banyaknya mantan pejabat yang masuk bui.

6. Era Susilo Bambang Yudhoyono (Era Reformasi)


Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terungkap korupsi
skala besar dan menjerat pejabat tinggi. Kemudian, dibentuk TimTasTipikor (Tim
Pemberantas Korupsi) berdasarkan Keppres No. 61 Tahun 2005. Lembaga ini mengemban
misi melakukan pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan. Eksistensi dan
kedudukannya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dengan
demikian, di era SBY memiliki 2 kelembagaan anti korupsi, yaitu KPK dn TimTasTipikor.
Namun dalam perkembangannya pada pertengahan tahun 2007, Lembaga TimTasTipikor
dibubarkan dan fungsinya dijalankan oleh Lembaga peradilan umum.

7. Era Joko Widodo (Era Reformasi)


Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemberantasan korupsi di Indonesia
mulai mandek. Hal itu karena kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
mengendur. dalam dua tahun terakhir kinerja KPK menurun. Hal ini terlihat dari jumlah
kasus yang ditangani KPK selama 2021 ini. Menurutnya, KPK masih punya banyak utang
menyelesaikan sejumlah perkara korupsi.
Namun, Jokowi tetap berkomitmen dalam isu pemberantasan korupsi. Ia meminta
kepada publik untuk tidak melihat hanya dari penindakan, tetapi juga pencegahan. Jokowi
lebih mengedepankan langkah preventif. Saat ini, pemerintah sudah mengerjakan strategi
nasional (stranas) pencegahan korupsi, reformasi ASN, reformasi birokrasi, pemangkasan
proses perizinan, jumlah perizinan, penggunaan teknologi untuk meningkatkan
transparansi.

Mengapa korupsi sulit dihapuskan di Indonesia?


1. korupsi sendiri telah menjadi "way of life" atau gaya hidup tersendiri, tidak hanya
bagi pemerintah maupun oknum pejabat, banyak masyarakat yang dalam kehidupan
sehari harinya melakukan tindak korupsi, ditambah lagi dengan penegakan hukum
yang dirasa cukup lemah terhadap pemberantasan korupsi.
2. Korupsi merupakan rantai kejahatan yang panjang, akibatnya sulit untuk mencari alat
bukti guna mengusut atau menuntaskan kasus korupsi. Selain itu, Locus
dilicti (tempat dan lokasi kejadian) dalam kasus korupsi terkadang bersifat lintas
negara. Apalagi, alat atau sarana kejahatan semakin canggih.Di internet saja ada jasa
membuka rekening dengan biaya Rp10 juta. Nanti namanya bisa dipalsukan. Dengan
rekening-rekening ini bisa dilakukan pencucian uang.
3. Sulitnya memberantas korupsi juga disebabkan adanya persepsi dari masyarakat
Indonesia dalam memandang korupsi. Saat ini korupsi dipandang sebagai kebiasaan.
4. Kasus korupsi itu terkadang melibatkan banyak pihak dan berbelit. Korupsi di
Indonesia ibarat gunung es, hanya kelihatan atasnya saja. Semakin dibongkar korupsi
ini maka semakin banyak pula kasus yang bertambah.

Anda mungkin juga menyukai