0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
48 tayangan5 halaman
Dokumen tersebut membahas perkembangan korupsi di Indonesia sejak era Soekarno hingga Jokowi. Pemerintah telah membentuk berbagai lembaga pemberantasan korupsi namun korupsi tetap sulit dihapuskan karena telah menjadi budaya dan penegakan hukum yang lemah serta kasus yang panjang dan melibatkan banyak pihak.
Dokumen tersebut membahas perkembangan korupsi di Indonesia sejak era Soekarno hingga Jokowi. Pemerintah telah membentuk berbagai lembaga pemberantasan korupsi namun korupsi tetap sulit dihapuskan karena telah menjadi budaya dan penegakan hukum yang lemah serta kasus yang panjang dan melibatkan banyak pihak.
Dokumen tersebut membahas perkembangan korupsi di Indonesia sejak era Soekarno hingga Jokowi. Pemerintah telah membentuk berbagai lembaga pemberantasan korupsi namun korupsi tetap sulit dihapuskan karena telah menjadi budaya dan penegakan hukum yang lemah serta kasus yang panjang dan melibatkan banyak pihak.
Bagaimana perkembangan korupsi di Indonesia sejak jaman Sukarno s/d Jokowi !
1. Era Soekarno (Orde Lama) Pada tahun 1957 terbit Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan tentang pemberantasan korupsi itu dibuat atas keinginan penguasa militer saat itu, yakni Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Ada dua peraturan lanjutan yang juga dibuat. Pemerintah juga mengesahkan Undang-undang Nomor 74 tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya. Undang-undang itu menjadi dasar Orde Lama untuk membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN). Lembaga ini diketuai Jenderal AH Nasution dengan dua anggota yakni M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Pada masa itu, militer memegang kekuasaan besar atas pengelolaan negara. Kekuasaan militer makin tak terkendali seiring dengan upaya militer mengambil alih aset perusahaan Belanda. Militer ikut melibatkan diri dalam bisnis dan kekuasaan. Banyak pejabat militer baik di tingkat pusat atau militer memperkaya diri. Jenderal Nasution berusaha memberantasnya dengan mencopot mereka yang ketahuan. Pada 1959, Undang-undang Keadaan Bahaya dicabut. Pemerintah menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Di tahun yang sama, Pemerintah membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) yang diketuai oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Dikutip dari Jangan Bunuh KPK (2016), Bapekan menyelesaikan 402 dari 912 aduan masyarakat seputar penyelewengan jabatan dan korupsi. Seperti KPK, Bapekan dipercaya masyarakat. Namun kala itu, situasi politik kacau. Kabinet dan perdana menteri digonta-ganti dan konstitusi yang tak jelas. Ini membuat upaya pemberantasan korupsi terlupakan. PARAN dan Bapekan juga bersaing dan berseteru. Presiden Soekarno sampai harus mempertemukan pimpinan kedua lembaga itu agar berhenti bertikai dan membagi tugas. Sayangnya, Bapekan tiba-tiba dibubarkan oleh Sukarno setelah tiga tahun berdiri. Tak ada alasan jelas. Salah satu dugaan kuat, karena Bapekan menerima banyaknya aduan korupsi pembangunan Kompleks Gelora Bung Karno kebanggaan Sukarno. Masih di era Orde Lama, pada 1963 didirikan lembaga Operasi Budhi. Jenderal AH Nasution juga yang memimpin lembaga ini. Tugasnya, meneruskan kasus-kasus korupsi perusahaan dan lembaga negara ke pengadilan. Kendati menyelamatkan uang negara hingga Rp 11 miliar, Operasi Budhi dibubarkan Soekarno hanya tiga bulan setelah didirikan. Alasannya, Operasi Budhi dianggap mengusik prestise Soekarno. Sebagai penggantinya, pada 1964, Soekarno mendirikan Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) yang dipimpin Subandrio. Sayangnya, lembaga ini pun tak bertahan lama karena setahun kemudian terjadi peristiwa G30S.
2. Era Soeharto (Orde Baru)
Memasuki era Orde Baru, Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) di Kejaksaan Agung pada 1967. Namun lembaga ini kehilangan taringnya. Ia ciut ketika harus mengusut kasus yang melibatkan kroni Soeharto.TPK hanya mengusut kasus korupsi receh. Pembiaran terhadap kasus korupsi besar menuai protes dari mahasiswa dan masyarakat. TPK dibubarkan. Setelah itu, Soeharto membentuk Komite Empat. Isinya orang-orang yang dikenal bersih seperti Profesor Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo, dan A Tjokroaminoto. Komite itu menemukan korupsi dalam Departemen Agama, Bulog, Telkom, hingga Pertamina. Namun, pemerintah mengabaikan temuan ini. Tercatat, di era Orde Baru setidaknya ada enam peraturan seputar korupsi dan gratifikasi. Ada pula tiga lembaga antikorupsi yang didirikan. Namun seperti kita semua ketahui, korupsi justru merajalela di era itu. Semangat pemberantasan korupsi sudah muncul di masa-masa awal kelahiran negara ini. Sejumlah aturan hukum diterbitkan; sejumlah lembaga pun didirikan. Tapi, perkara korupsi tak kunjung selesai. Di era Orde Baru, Soeharto juga membentuk lembaga pemberantasan korupsi namun ia sendiri terjungkal karena korupsi.
3. Era Habibie (Era Reformasi)
Pada era pemerintahan BJ Habibie, Gerakan anti korupsi ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme bersamaan pembentukan lembaga anti korupsi Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Ombudsman. Namun secara umum lembaga-lembaga ini belum menunjukan kemampuan pemberantasan korupsi di Indoenesia, dengan pandangan bahwa lembaga ini masih baru dibentuk sehingga masih berkutat dengan permasalahan adminsitrasi dan tata tertib kelembagaan.
4. Era Abdurrahman Wahid/ Gus Dur (Era Reformasi)
Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid, TGPTPK dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Tim ini beranggotakan jaksa, polisi, dan wakil dari masyarakat dan berada di bawah Jaksa Agung, Namun pada pelaksanaannya, TGPTPK tidak mendapat dukungan. Beberapa kasus yang coba diusut oleh TGPTPK ditolak oleh Jaksa Agung, seperti misalnya kasus BLBI. Walaupun mampu menunjukkan sinergi positif dengan terbentuk dari unsur-unsur kepolisian dan kejaksaan, lembaga ini dinilai gagal bekerja dengan maksimal. TGPTPK akhirnya dibubarkan pada 2001 ketika gugatan judicial review atas tiga Hakim Agung yang pernah diperiksa TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung lewat putusan Np. 03p/HUM/2000 karena dianggap bertentangan dengan UU No. 31 Tahun 1999.
5. Era Megawati Soekarno Putri (Era Reformasi)
Pada era pemerintahan Megawati, komitmen tetap memerangi korupsi juga terus digalakkan. Pada masa inilah dibentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melalui Undang Undang No. 30 Tahun 2002. Struktur dan kelembagaan KPK tidak dipengaruhi oleh kekuasaan apapun. Begitu dibentuk, KPK langsung bekerja ekstra. Sehingga meskipun lembaga baru, KPK menunjukkan diri sebagai lembaga yang berwibawa dan ditakuti oleh para pejabat. Tidak sedikit pejabat dan politisi, terutama DPR/DPRD, yang diseret ke pengadilan atas tuduhan korupsi. Walaupun banyak pejabat dan politisi yang terjerat hukum karena korupsi, namun tetap saja era Megawati juga menyuburkan korupsi, terbukti dengan banyaknya mantan pejabat yang masuk bui.
6. Era Susilo Bambang Yudhoyono (Era Reformasi)
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terungkap korupsi skala besar dan menjerat pejabat tinggi. Kemudian, dibentuk TimTasTipikor (Tim Pemberantas Korupsi) berdasarkan Keppres No. 61 Tahun 2005. Lembaga ini mengemban misi melakukan pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan. Eksistensi dan kedudukannya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dengan demikian, di era SBY memiliki 2 kelembagaan anti korupsi, yaitu KPK dn TimTasTipikor. Namun dalam perkembangannya pada pertengahan tahun 2007, Lembaga TimTasTipikor dibubarkan dan fungsinya dijalankan oleh Lembaga peradilan umum.
7. Era Joko Widodo (Era Reformasi)
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemberantasan korupsi di Indonesia mulai mandek. Hal itu karena kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengendur. dalam dua tahun terakhir kinerja KPK menurun. Hal ini terlihat dari jumlah kasus yang ditangani KPK selama 2021 ini. Menurutnya, KPK masih punya banyak utang menyelesaikan sejumlah perkara korupsi. Namun, Jokowi tetap berkomitmen dalam isu pemberantasan korupsi. Ia meminta kepada publik untuk tidak melihat hanya dari penindakan, tetapi juga pencegahan. Jokowi lebih mengedepankan langkah preventif. Saat ini, pemerintah sudah mengerjakan strategi nasional (stranas) pencegahan korupsi, reformasi ASN, reformasi birokrasi, pemangkasan proses perizinan, jumlah perizinan, penggunaan teknologi untuk meningkatkan transparansi.
Mengapa korupsi sulit dihapuskan di Indonesia?
1. korupsi sendiri telah menjadi "way of life" atau gaya hidup tersendiri, tidak hanya bagi pemerintah maupun oknum pejabat, banyak masyarakat yang dalam kehidupan sehari harinya melakukan tindak korupsi, ditambah lagi dengan penegakan hukum yang dirasa cukup lemah terhadap pemberantasan korupsi. 2. Korupsi merupakan rantai kejahatan yang panjang, akibatnya sulit untuk mencari alat bukti guna mengusut atau menuntaskan kasus korupsi. Selain itu, Locus dilicti (tempat dan lokasi kejadian) dalam kasus korupsi terkadang bersifat lintas negara. Apalagi, alat atau sarana kejahatan semakin canggih.Di internet saja ada jasa membuka rekening dengan biaya Rp10 juta. Nanti namanya bisa dipalsukan. Dengan rekening-rekening ini bisa dilakukan pencucian uang. 3. Sulitnya memberantas korupsi juga disebabkan adanya persepsi dari masyarakat Indonesia dalam memandang korupsi. Saat ini korupsi dipandang sebagai kebiasaan. 4. Kasus korupsi itu terkadang melibatkan banyak pihak dan berbelit. Korupsi di Indonesia ibarat gunung es, hanya kelihatan atasnya saja. Semakin dibongkar korupsi ini maka semakin banyak pula kasus yang bertambah.