BULIMIA NERVOSA
Disusun Oleh:
Ridhatunnisa (P07131119068)
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan
inayah-Nya serta nikmat sehat sehingga penyusunan makalah guna memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Pangan ini dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan. Shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW dan semoga kita selalu berpegang teguh
pada sunnahnya Aamiin.
Kami menyadari sepenuhnya, tanpa bantuan berbagai pihak, makalah ini tidak akan
terwujud. Melalui makalah ini, kami mengucapkan banyak terimakasih atas segala bimbingan
dan bantuannya sehingga dalam mengerjakan makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan sebagai bantuan pemikiran
khususnya untuk para pembaca dan tidak lupa kami mohon maaf apabila dalam penyusunan
makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari keseluruhan makalah ini.
Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan untuk itu
kritik serta saran sangat kami harapkan demi kebaikan kami untuk kedepannya.
Pada Bulimia, makan berlebihan biasanya dilakukan secara diam-diam, dapat dipicu
oleh stress dan berbagai emosi negatif yang ditimbulkannya, dan terus berlangsung hingga
orang yang bersangkutan merasa sangat kekenyanga (Grilo, Shiffman, & Carter-Campbell,
1994). Para penderita bulimia nervosa menuturkan bahwa mereka hilang kendali ketika
makan berlebihan, bahkan hingga ke titik mengalami sesuatu yang mirip dengan keadaan
dissosiatif, mungkin kehilangan kesadaran terhadap apa yang mereka lakukan dan merasa
bahwa bukan diri mereka yang makan berlebihan. Mereka biasanya malu dengan kondisi
tersebut dan mencoba menutupinya.
Bulimia nervosa biasanya terjadi pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa.
Sekitar 90 persen kasus terjadi pada perempuan, dan prevalensi pada perempuan
diperkirakan sekitar 1 hingga 2 persen dari populasi. Banyak pasien Bulimia nervosa
kelebihan berat badan sebelum onset gangguan tersebut, dan makan berlebihan sering kali
dimulai saat menjalani diet. Bulimia nervosa dikaitkan dengan sejumlah diagnosis lain,
terutama depresi, gangguan kepribadian terutama gangguan kepribadian borderline,
gangguan anxietas, penyalahgunaan zat, dan gangguan tingkah laku. Dalam studi terhadap
orang kembar ditemukan bahwa bulimia dan depresi berhubungan secara genetic (Walters
dkk., 1992)
Setelah selesai makan berlebihan, rasa jijik, rasa tidak nyaman, dan takut bila berat
badan bertambah memicu tahap kedua Bulimia nervosa, pengurasan untuk menghilangkan
efek asupan kalori karena telah makan berlebihan. Paling sering penderita memasukkan jari-
jari mereka ke tenggorokan agar tersedak dan muntah. Penyalahgunaan obat-obat pencahar
dan diuretic serta berpuasa dan olahraga berlebihan juga dilakukan untuk mencegah
penambahan berat badan.
Lampiran artikel :
BAB II
TEORI
a. Pandangan Psikodinamika
Terdapat banyak teori psikodinamika mengenai gangguan makan, namun sebagian besar
berpendapat bahwa penyebab utamanya terdapat dalam hubungan orang tua-anak yang
terganggu dan sepekat bahwa beberapa karakteristik kepribadian penting, seperti harga
diri yang rendah dan perfeksionisme, ditemukan pada individu yang memiliki gangguan
makan. Berbagai teori psikodinamika juga menyatakan bahwa simtom-simtom gangguan
makan menjadi suatu pemenuhan bagi keberhasilan mempertahankan diet ketat atau tidak
tumbuh secara seksual dengan menjadi sangat kurus sehingga tidak mencapai tubuh
seorang perempuan pada umumnya (Goodsitt, 1997).
Teori psikodinamika lain, menyatakan bahwa Bulimia nervosa pada perempuan berakar
dari kegagalan untuk mengembangkan kesadaran diri yang kuat karena hubungan ibu-
anak yang dipenuhi konflik. Makanan menjadi symbol kegagalan hubungan tersebut.
Makan berlebihan dan pengurasan yang dilakukan si anak mencerminkan konflik antara
kebutuhan akan ibu dan keinginan untuk menolak ibu.
b. Pandangan Kognitif-Perilaku
Mereka mencoba mengikuti pola makan terbatas yang sangat kaku, dengan aturan ketat
mengenai jumlah asupan makanan, jenis makanan yang dimakan dan kapan harus makan.
Aturan ketat tersebut pada akhirnya dilanggar, dan pelanggaran tersebut meningkat
menjadi makan berlebihan. Setelah makan berlebihan, timbul perasaan jijik dan rasa takut
menjadi gemuk, sehingga memicu tindakan kompensatori seperti muntah. Meskipun
pengurasan untuk sementara mengurangi kecemasan karena telah makan berlebihan, yang
memicu makan berlebihan dan pengurasan yang semakin sering, suatu siklus yang
mempertahankan berat badan yang dikehendaki, namun mengandung berbagai
konsekuensi medis. Ditemukan beberapa kondisi lain yang semakin meningkatkan
banyaknya asupan makanan pada orang-orang yang melakukan pembatasan makanan
setelah asupan awal, yang perlu dicatat adalah beragam mood negatif, seperti kecemasan
dan depresi.
Penderita Bulimia nervosa umumnya makan berlebihan bila menghadapi stres dan
mengalami afek negatif. Sehingga makan berlebihan berfungsi sebagai alat
mengendalikan afek negatif. Pasien Bulimia mengatakan meningkatnya kadar kecemasan
mereka ketika mereka makan, naum tidak dapat melakukan pengurasan dan penuturan
diri tersebut telah divalidasi melalui pengukuran fisiologis, seperti konduktans kulit.
Secara sama , kadar kecemasan menurun setelah pengurasan, sekali lagi memperkuat
pemikiran bahwa pengurasan diperkuat oleh berkurangnya kecemasan.
Fokus utama pengobatan bulimia adalah mengobati gangguan mental yang dialami penderita
dan memperbaiki pola makan. Upaya pengobatan ini melibatkan peran dari berbagai pihak,
yaitu keluarga, psikiater, dan dokter gizi. Ada beberapa metode pengobatan untuk
menangani bulimia, yaitu:
Psikoterapi
Psikoterapi atau konseling bertujuan untuk membantu penderita bulimia dalam membangun
kembali sikap dan pikiran positif terhadap makanan dan pola makan. Ada dua jenis
psikoterapi yang dapat dilakukan, yaitu:
Obat-obatan
Untuk meredakan gejala yang dialami penderita bulimia, dokter akan memberikan
fluoxetine. Obat ini merupakan jenis obat antidepresan yang paling sering digunakan untuk
mengobati bulimia, namun tidak diperuntukkan bagi penderita bulimia di bawah usia 18
tahun. Fluoxetine juga dapat meredakan depresi dan gangguan cemas yang dialami
penderita. Selama pengobatan dengan antidepresan, dokter akan memantau perkembangan
kondisi dan reaksi tubuh penderita terhadap obat secara berkala.
Konseling gizi
Konseling gizi bertujuan untuk mengubah pola makan dan pola pikir terhadap makanan,
meningkatkan asupan nutrisi dalam tubuh, serta meningkatkan berat badan secara perlahan.
Jika gejala bulimia semakin memburuk atau disertai komplikasi yang serius, maka
penanganan secara khusus di rumah sakit perlu dilakukan. Langkah ini perlu dilakukan
untuk mencegah akibat fatal dari komplikasi, misalnya bunuh diri. Pengobatan bulimia
membutuhkan waktu yang cukup lama. Dukungan dan motivasi dari keluarga, teman, dan
kerabat terdekat sangat penting dalam proses penyembuhan penderita.
2) Jaringan parut di buku jari tangan yang digunakan untuk merangsang muntah
3) Pengikisan email gigi akibat bulimia yang sering muntah dan mengeluarkan asam
lambung
6) Masalah pada kelenjar ludah yang berupa rasa nyeri atau pembengkakan
7) Paparan asam lambung berlebih pada kerongkongan bisa menyebabkan borok, pecah atau
penyempitan.
1. Sistem pencernaan
Kebiasaan makan dari orang dengan bulimia adalah makan berlebihan di awal kemudian
memuntahkan kembali makanannya. Hal ini yang membuat sistem pencernaan terganggu.
Ya, efek bulimia memicu kelelahan dan kelemahan pada gerak pencernaan. Kebiasaan
muntah secara terus-terusan bikin mulut terkena cairan asam dari lambung, yang
kemudian menyebabkan masalah gigi dan mulut. Selanjutnya kondisi ini akan
menimbulkan gigi rusak, gigi sensitif, dan penyakit gusi. Selain itu, hal juga dapat
membuat pipi dan rahang terlihat lebih besar karena adanya pembengkakan kelenjar air
liur.
Selain merusak gigi dan mulut, naiknya asam lambung dapat menyebabkan beberapa
masalah kesehatan lain, di antaranya:
Iritasi kerongkongan, dalam kasus yang parah dapat memecah kerongkongan dan
perdarahan
Iritasi lambung, sehingga menyebabkan sakit perut dan refluks asam lambung
Merusak usus, menyebabkan perut kembung, diare, dan konstipasi
Tidak sedikit pula penderita bulimia yang menggunakan pil diuretik, pil diet, atau obat
pencahar untuk mengeluarkan makanan yang telah masuk ke dalam perutnya. Keseringan
menggunakan produk-produk tersebut dapat membuat penderita mengalami sulit buang
air besar. Hal ini juga dapat merusak ginjal dan menyebabkan wasir berkepanjangan.
1. Kekurangan nutrisi.
Dalam hal ini, memasukkan lalu mengeluarkan kembali makanan dengan tujuan supaya
gizi dalam makanan tidak terserap akan berdampak yang cukup serius terutama untuk
pemenuhan kebutuhan tubuh berupa gizi sehingga dapat memicu menstruasi yang tidak
teratur, dehidrasi, berdampak pada gagal ginjal, kulit yang kering, kadar kalium yang
rendah dalam darah dan masalah-masalah yang berhubungan dengan gizi lainnya.
2. Peningkatan risiko
kerusakan jantung yang dapat berisiko tinggi untuk mengalami gagal jantung, aritmia
jantung dan bahkan dapat mengakibatkan kematian.
seperti kerusakan gigi dan gusi yang diakibatkan asam lambung yang sering dikeluarkan
dan mengakibatkan gigi sensitif, kerusakan karang gigi, pembengkakan kelenjar ludah di
pipi, atau dapat menjadi borok di kerongkongan akibat paparan asam lambung dari
seringnya mengeluarkan makanan secara paksa (muntah).akibat dari kebiasaan
mengeluarkan makanan akan menimbulkan jaringan parut yang ada di jari tangan,
ketidakseimbangan elektrolit atau cairan tubuh, mengganggu sistem pernapasan, lesu,
pucat, hipotensi (tekanan darah rendah), kehilangan konsentrasi dan lain sebagainya.
BAB III
ANALISIS KASUS
Penilaian diri sangat tergantung pada bentuk tubuh dan berat badan
Faktor Biologis
Genetik bulimia nervosa dapat terjadi dalam satu keluarga. Studi terhadap saudara
kembar terkait gangguan makan juga menunjukkan pengaruh genetik. Sebagian besar
studi mengenai Bulimia dan Anoreksia menunjukkan tingkat kesesuaian yang lebih tinggi
pada saudara kembar. Faktor-faktor genetik yang umum dapat berperan dalam hubungan
antara karakteristik kepribadian tertentu, seperti emosionalitas negatif dan gangguan
makan.
Faktor Keluarga
Gangguan makan sering kali berkembang dari adanya konflik dalam keluarga. beberapa
terori berfokus pada efek brutal dari self awareness terhadap orang tua. Mereka
mengatakan bahwa beberapa remaja menggunakan penolakan untuk makan sebagai cara
menghukum orang tua mereka karena perasaan kesepian dan keterasingan yang mereka
rasakan di rumah. Sikap keluarga terhagap berat badan dan diet berperan penting, sikap
ibu yang membatasi perilaku makan anak akan membuat anak merasa tidak kompeten
untuk mengatur perilaku makannya sehingga gangguan makan lebih banyak terjadi pada
keluarga dimana orangtua selalu mengkritik berat badan, bentuk tubuh dan kebiasaan
makan anaknya.
Tanpa memperhatikan faktor yang memicu munculnya gangguan makan, dukungan sosial
bisa menjadi salah satu faktor yang mempertahankan keberadaan gangguan makan. anak-
anak dengan gangguan makan dapat secara cepat menjadi pusat perhatian pada keluarga
mereka, dan menerima perhatian dari orang tua yang mungkin sebelumnya kurang.
Faktor Sosiokultural
Berbagai standar budaya mengenai bentuk tubuh ideal feminine yang berubah sepanjang
waktu. Para perempuan yang memang benar-benar kelebihan berat badan atau hanya
takut menjadi gemuk mungkin juga merasa tidak puas dengan tubuh mereka.
Ketidakpuasan akan bentuk tubuh tampaknya semakin meningkat dan merupakan
predictor kuat perkembangan gangguan makan di kalangan remaja perempuan.
Selain itu, preokupasi, untuk menjadi kurus atau merasa ditekan untuk menjadi kurus
memprediksi meningkatnya ketidakpuasan dengan bentuk tubuh di kalangan remaja
perempuan, yang pada akhirnya memprediksi diet yang lebih sering dan timbulnya
berbagai emosi negatif. Tubuh kurus yang ideal berdasarkan standar sosiokultural
kemungkinan merupakan sarana yang membuat orang-orang mempelajari rasa takut
menjadi gemuk atau bahkan merasa gemuk. Selain menciptakan bentuk tubuh yang tidak
diinginkan, menjadi gemuk memiliki berbagai konotasi negatif, seperti ketidaksuksesan
dan kurang memiliki control diri.
Orang lain memandang obese sebagai orang-orang yang kurang cerdas dan dicap sebagai
orang yang kesepian, pemalu, dan haus kasih sayang. Dengan demikian, perempuan
mungkin merasa malu dengan tubuh mereka bila melihat ketidakcocokan antara standar
ideal individu sedikit berbeda dari standar ideal diri mereka dan penilaian budaya (yang
diobjektivikasi) tentang perempuan. Hal ini menunjukkan pengobjektivikasian diri sendiri
dan rasa malu tentang bentuk tubuh terkait dengan gangguan makan.
Faktor Gender
Salah satu alasan utama mengapa gangguan makana lebih umum terjadi pada perempuan
dibanding laki-laki adalah bahwa pada kaum perempuan standar budaya masyarakat Barat
menguatkan keinginan untuk menjadi kurus dibanding laki-laki. Selain itu, nilai-nilai
sosiokultural mendorong objektivikasi tubuh perempuan, sedangkan kaum laki-laki lebih
dihargai berdasarkan berbagai keberhasilan mereka. Resiko gangguan makan pada kelompok
perempuan yang sangat peduli terhadap berat badan, misalnya, para model, penari, dan pesenam,
sangat tinggi (Garner dkk., 1980)
Pencegahan primer
Ditujukan pada populasi yang berisiko tinggi seperti murid SMP perempuan untuk
mencegah timbulnya gangguan makan pada mereka yang asimtomatik. Sejumlah program
pendidikan dapat dicoba berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan dapat mengubah sikap
dan perilaku, program tersebut ditekankan pada pemahaman tentang citra diri.
Pencegahan sekunder
Bertujuan untuk deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan pendidikan pada petugas
kesehatan di pusat pelayanan kesehatan primer. Dengan intervensi dini morbiditas dapat
diturunkan.
Penanganan Biologis
Karena Bulimia nervosa sering kali komorbid dengan depresi, ganguan ini ditangani
dengan berbagai antidepresan. Minat difokuskan pada fluoksetin. Perempuan dengan
Bulimia ditangani sebagai pasien rawat jalan selama delapan minggu. Fluoksetin ternyata
lebih memberikan hasil dibandingkan placebo untuk mengurangi makan berlebihan dan
muntah, juga mengurangi depresi dan sikap yang menyimpang terhadap makanan dan
makan. Dalam sebagian besar studi termasuk studi double-blind dengan kelompok
control placebo, mengkonfirmasi kemampuan berbagai macam antidepresan untuk
mengurangi pengurasan dan makan berlebihan, bahkan di kalangan pasien yang tidak
mengalami perbaikan dalam penanganan psikologis yang diberikan sebelumnya.
Dari segi negatifnya, jauh lebih banyak pasien yang tidak tuntas menjalani penanganan
dengan obat-obatan dalam berbagai studi tentang bulimia dibanding yang tidak tuntas
menjalani jenis penanganan kognitif-perilaku. Dalam studi multisentral tentang
fluoksetin, hampir sepertiga pasien berhenti sebelum akhir masa penanganan yang
berlangsung selama delapan minggu, teruatama disebabkan efek samping obat-obatan
yang diberikan. Bandingkan dengan angka kurang dari lima persen pasien yang berhenti
dari terapi kognitif-behavioral. Terlebih lagi, sebagian besar pasien kambuh ketika
pemberian berbagai jenis obat antidepresan dihentikan, seperti yang terjadi dengan
sebagian besar obat-obatan psikoaktif. Terdapat beberapa kecenderungan untuk kambuh
tersebut berkurang bila antidepresan diberikan dalam konteks terapi kognitif-behavioral.
DAFTAR PUSTAKA
Davidson, Gerrald C, dkk. (2006). Psikologi Abnormal, Edisi 9. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Nevid, Jeffrey S, dkk. (1997). Abnormal Psychology in a Changing world, fifth edition. New
Jersey: Rentice Hall.
https://analisadaily.com/berita/arsip/2017/10/30/441728/bahaya-bulimia-nervosa-
pada-remaja/ diakses tanggal 19 april 2020