Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PSIKOLOGI

BULIMIA NERVOSA

Dosen Pembimbing: Mariana Dwi Mayangsari,M.PSI

Disusun Oleh:

Akhmad Iswan Rizaldi (P07131119003)

Maria Ulfah (P07131119039)

Mauliatika Pratiwi (P07131119012)

Netasya Rizki Amanda (P07131119052)

Noor Maulida (P07131119055)

Ridhatunnisa (P07131119068)

Prodi : DIII Gizi Tk 1 B

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Banjarmasin

Program Diploma III Jurusan Gizi

2020
KATA PENGANTAR

 Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan
inayah-Nya serta nikmat sehat sehingga penyusunan makalah guna memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Pangan ini dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan. Shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW dan semoga kita selalu berpegang teguh
pada sunnahnya Aamiin.

Dalam penyusunan makalah ini yang berjudul “MAKALAH BUMILIA” tentunya


hambatan selalu mengiringi namun atas bantuan, dorongan dan bimbingan dari orang tua, dosen
pembimbing dan teman-teman yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu akhirnya semua
hambatan dalam penyusunan makalah ini dapat teratasi. Makalah ini kami susun dengan tujuan
sebagai informasi serta untuk menambah wawasan khususnya mengenai konsep Materi Bumilia

Kami menyadari sepenuhnya, tanpa bantuan berbagai pihak, makalah ini tidak akan
terwujud. Melalui makalah ini, kami mengucapkan banyak terimakasih atas segala bimbingan
dan bantuannya sehingga dalam mengerjakan makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan sebagai bantuan pemikiran
khususnya untuk para pembaca dan tidak lupa kami mohon maaf apabila dalam penyusunan
makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari keseluruhan makalah ini.
Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan untuk itu
kritik serta saran sangat kami harapkan demi kebaikan kami untuk kedepannya.

Banjarbaru, 19 April 2020


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang kasus
Bulimia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “lapar seperti sapi jantan”. Gangguan
ini mencakup episode konsumsi sejumlah besar makanan secara cepat, diikuti dengan
perilaku kompensatori, seperti muntah, puasa, atau olahraga berlebihan, untuk mencegah
bertambahnya berat badan. DSM mendefinisikan makan berlebihan sebagai makan makanan
dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu kurang dari dua jam.Terdapat satu perbedan
mencolok antara Bulimia Nervosa dengan Anoreksia Nervosa, yaitu adalah penurunan berat
badan. Pasien yang menderita Anoreksia nervosa mengalami penurunan berat badan yang
secara drastis, sedangkan pasien Bulimia nervosa tidak.

Pada Bulimia, makan berlebihan biasanya dilakukan secara diam-diam, dapat dipicu
oleh stress dan berbagai emosi negatif yang ditimbulkannya, dan terus berlangsung hingga
orang yang bersangkutan merasa sangat kekenyanga (Grilo, Shiffman, & Carter-Campbell,
1994). Para penderita bulimia nervosa menuturkan bahwa mereka hilang kendali ketika
makan berlebihan, bahkan hingga ke titik mengalami sesuatu yang mirip dengan keadaan
dissosiatif, mungkin kehilangan kesadaran terhadap apa yang mereka lakukan dan merasa
bahwa bukan diri mereka yang makan berlebihan. Mereka biasanya malu dengan kondisi
tersebut dan mencoba menutupinya.

Bulimia nervosa biasanya terjadi pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa.
Sekitar 90 persen kasus terjadi pada perempuan, dan prevalensi pada perempuan
diperkirakan sekitar 1 hingga 2 persen dari populasi. Banyak pasien Bulimia nervosa
kelebihan berat badan sebelum onset gangguan tersebut, dan makan berlebihan sering kali
dimulai saat menjalani diet. Bulimia nervosa dikaitkan dengan sejumlah diagnosis lain,
terutama depresi, gangguan kepribadian terutama gangguan kepribadian borderline,
gangguan anxietas, penyalahgunaan zat, dan gangguan tingkah laku. Dalam studi terhadap
orang kembar ditemukan bahwa bulimia dan depresi berhubungan secara genetic (Walters
dkk., 1992)
Setelah selesai makan berlebihan, rasa jijik, rasa tidak nyaman, dan takut bila berat
badan bertambah memicu tahap kedua Bulimia nervosa, pengurasan untuk menghilangkan
efek asupan kalori karena telah makan berlebihan. Paling sering penderita memasukkan jari-
jari mereka ke tenggorokan agar tersedak dan muntah. Penyalahgunaan obat-obat pencahar
dan diuretic serta berpuasa dan olahraga berlebihan juga dilakukan untuk mencegah
penambahan berat badan.

Terdapat dua tipe bulimia nervosa, yaitu :

1. Tipe Purging: sengaja melakukan perbuatan mengeluarkan makanan atau sisa-


sisa makanan, dengan cara merangsang muntah dan menggunakan obat
pencahar.
2. Tipe Non-purging: dengan sengaja melakukan perbuatan berlebihan untuk
mengkompensasi makanan yang berlebihan. Misalnya dengan olahraga mati-
matian sampai pingsan, atau puasa sampai sakit maag/pingsan. Dalam beberapa
studi, orang-orang Bulimia dengan tipe nonpurging memiliki berat badan lebih
besar, lebih jarang makan berlebihan, dan menunjukkan lebih sedikit
psikopatologi dibandingkan dengan orang-orang Bulimia tipe purging.

Lampiran artikel :
BAB II
TEORI

2.1 Teori psikologi

a. Pandangan Psikodinamika

Terdapat banyak teori psikodinamika mengenai gangguan makan, namun sebagian besar
berpendapat bahwa penyebab utamanya terdapat dalam hubungan orang tua-anak yang
terganggu dan sepekat bahwa beberapa karakteristik kepribadian penting, seperti harga
diri yang rendah dan perfeksionisme, ditemukan pada individu yang memiliki gangguan
makan. Berbagai teori psikodinamika juga menyatakan bahwa simtom-simtom gangguan
makan menjadi suatu pemenuhan bagi keberhasilan mempertahankan diet ketat atau tidak
tumbuh secara seksual dengan menjadi sangat kurus sehingga tidak mencapai tubuh
seorang perempuan pada umumnya (Goodsitt, 1997).

Teori psikodinamika lain, menyatakan bahwa Bulimia nervosa pada perempuan berakar
dari kegagalan untuk mengembangkan kesadaran diri yang kuat karena hubungan ibu-
anak yang dipenuhi konflik. Makanan menjadi symbol kegagalan hubungan tersebut.
Makan berlebihan dan pengurasan yang dilakukan si anak mencerminkan konflik antara
kebutuhan akan ibu dan keinginan untuk menolak ibu.

b. Pandangan Kognitif-Perilaku

Para penderita Bulimia nervosa dianggap memiliki kekhawatiran berlebihan dengan


penambahan berat badan dan penampilan tubuh. Pasien Bulimia nervosa memang menilai
diri mereka terutama berdasarkan berat badan dan bentuk tubuh mereka. Mereka juga
memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan karena berat badan serta bentuk tubuh cukup
lebih mudah dikendalikan dibanding aspek diri yang lain, mereka cenderung
memfokuskan pada berat badan dan bentuk tubuh, dan berharap bahwa usaha mereka
dalam bidang ini akan membuat mereka secara umum merasa lebih baik.

Mereka mencoba mengikuti pola makan terbatas yang sangat kaku, dengan aturan ketat
mengenai jumlah asupan makanan, jenis makanan yang dimakan dan kapan harus makan.
Aturan ketat tersebut pada akhirnya dilanggar, dan pelanggaran tersebut meningkat
menjadi makan berlebihan. Setelah makan berlebihan, timbul perasaan jijik dan rasa takut
menjadi gemuk, sehingga memicu tindakan kompensatori seperti muntah. Meskipun
pengurasan untuk sementara mengurangi kecemasan karena telah makan berlebihan, yang
memicu makan berlebihan dan pengurasan yang semakin sering, suatu siklus yang
mempertahankan berat badan yang dikehendaki, namun mengandung berbagai
konsekuensi medis. Ditemukan beberapa kondisi lain yang semakin meningkatkan
banyaknya asupan makanan pada orang-orang yang melakukan pembatasan makanan
setelah asupan awal, yang perlu dicatat adalah beragam mood negatif, seperti kecemasan
dan depresi.

Meningkatnya konsumsi makanan pada orang-orang yang membatasi asupan


makanannya terutama terjadi ketika citra diri mereka terancam dan jika mereka memiliki
harga diri rendah. Apabila orang-orang yang membatasi asupan makanannya
mendapatkan umpan balik yang salah bahwa mereka memiliki berat badan tinggi, mereka
merespons dengan peningkatan emosi negatif dan peningkatan kinsumsi makanan.

Penderita Bulimia nervosa umumnya makan berlebihan bila menghadapi stres dan
mengalami afek negatif. Sehingga makan berlebihan berfungsi sebagai alat
mengendalikan afek negatif. Pasien Bulimia mengatakan meningkatnya kadar kecemasan
mereka ketika mereka makan, naum tidak dapat melakukan pengurasan dan penuturan
diri tersebut telah divalidasi melalui pengukuran fisiologis, seperti konduktans kulit.
Secara sama , kadar kecemasan menurun setelah pengurasan, sekali lagi memperkuat
pemikiran bahwa pengurasan diperkuat oleh berkurangnya kecemasan.

2.2 Pengobatan Bulimia

Fokus utama pengobatan bulimia adalah mengobati gangguan mental yang dialami penderita
dan memperbaiki pola makan. Upaya pengobatan ini melibatkan peran dari berbagai pihak,
yaitu keluarga, psikiater, dan dokter gizi. Ada beberapa metode pengobatan untuk
menangani bulimia, yaitu:
 Psikoterapi

Psikoterapi atau konseling bertujuan untuk membantu penderita bulimia dalam membangun
kembali sikap dan pikiran positif terhadap makanan dan pola makan. Ada dua jenis
psikoterapi yang dapat dilakukan, yaitu:

 Terapi perilaku kognitif Terapi perilaku kognitif digunakan untuk membantu


mengembalikan pola makan penderita, serta mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi
sehat dan pola pikir yang negatif menjadi positif.
 Terapi interpersonal Terapi ini bertujuan untuk membantu pasien dalam berinteraksi
dengan orang lain, serta meningkatkan kemampuan penderita dalam berkomunikasi dan
menyelesaikan masalah.

 Obat-obatan

Untuk meredakan gejala yang dialami penderita bulimia, dokter akan memberikan
fluoxetine. Obat ini merupakan jenis obat antidepresan yang paling sering digunakan untuk
mengobati bulimia, namun tidak diperuntukkan bagi penderita bulimia di bawah usia 18
tahun. Fluoxetine juga dapat meredakan depresi dan gangguan cemas yang dialami
penderita. Selama pengobatan dengan antidepresan, dokter akan memantau perkembangan
kondisi dan reaksi tubuh penderita terhadap obat secara berkala.

 Konseling gizi

Konseling gizi bertujuan untuk mengubah pola makan dan pola pikir terhadap makanan,
meningkatkan asupan nutrisi dalam tubuh, serta meningkatkan berat badan secara perlahan.
Jika gejala bulimia semakin memburuk atau disertai komplikasi yang serius, maka
penanganan secara khusus di rumah sakit perlu dilakukan. Langkah ini perlu dilakukan
untuk mencegah akibat fatal dari komplikasi, misalnya bunuh diri. Pengobatan bulimia
membutuhkan waktu yang cukup lama. Dukungan dan motivasi dari keluarga, teman, dan
kerabat terdekat sangat penting dalam proses penyembuhan penderita.

2.3 Akibat dari Bumilia


Menurut (Leon, 1991).

1) pembengkakan kelenjar ludah di pipi

2) Jaringan parut di buku jari tangan yang digunakan untuk merangsang muntah

3) Pengikisan email gigi akibat bulimia yang sering muntah dan mengeluarkan asam
lambung

4) Kadar kalium yang rendah dalam darah.

5) Gigi sensitive terhadap panas atau dingin

6) Masalah pada kelenjar ludah yang berupa rasa nyeri atau pembengkakan

7) Paparan asam lambung berlebih pada kerongkongan bisa menyebabkan borok, pecah atau
penyempitan.

8) Terganggunya proses pencernaan akibat pencahar, bisa mengakibatkan disfungsi organ


pencernaan .

9) Ketidakseimbangan cairan tubuh akibat stimulus zat diuretic secara berlebih.

2.4 Dampak terhadap masalah gizinya

1. Sistem pencernaan
Kebiasaan makan dari orang dengan bulimia adalah makan berlebihan di awal kemudian
memuntahkan kembali makanannya. Hal ini yang membuat sistem pencernaan terganggu.
Ya, efek bulimia memicu kelelahan dan kelemahan pada gerak pencernaan. Kebiasaan
muntah secara terus-terusan bikin mulut terkena cairan asam dari lambung, yang
kemudian menyebabkan masalah gigi dan mulut. Selanjutnya kondisi ini akan
menimbulkan gigi rusak, gigi sensitif, dan penyakit gusi. Selain itu, hal juga dapat
membuat pipi dan rahang terlihat lebih besar karena adanya pembengkakan kelenjar air
liur.

Selain merusak gigi dan mulut, naiknya asam lambung dapat menyebabkan beberapa
masalah kesehatan lain, di antaranya:
 Iritasi kerongkongan, dalam kasus yang parah dapat memecah kerongkongan dan
perdarahan
 Iritasi lambung, sehingga menyebabkan sakit perut dan refluks asam lambung
 Merusak usus, menyebabkan perut kembung, diare, dan konstipasi

Tidak sedikit pula penderita bulimia yang menggunakan pil diuretik, pil diet, atau obat
pencahar untuk mengeluarkan makanan yang telah masuk ke dalam perutnya. Keseringan
menggunakan produk-produk tersebut dapat membuat penderita mengalami sulit buang
air besar. Hal ini juga dapat merusak ginjal dan menyebabkan wasir berkepanjangan.

1. Kekurangan nutrisi.

Dalam hal ini, memasukkan lalu mengeluarkan kembali makanan dengan tujuan supaya
gizi dalam makanan tidak terserap akan berdampak yang cukup serius terutama untuk
pemenuhan kebutuhan tubuh berupa gizi sehingga dapat memicu menstruasi yang tidak
teratur, dehidrasi, berdampak pada gagal ginjal, kulit yang kering, kadar kalium yang
rendah dalam darah dan masalah-masalah yang berhubungan dengan gizi lainnya.

2. Peningkatan risiko

kerusakan jantung yang dapat berisiko tinggi untuk mengalami gagal jantung, aritmia
jantung dan bahkan dapat mengakibatkan kematian.

3. Kerusakan pada area mulut

seperti kerusakan gigi dan gusi yang diakibatkan asam lambung yang sering dikeluarkan
dan mengakibatkan gigi sensitif, kerusakan karang gigi, pembengkakan kelenjar ludah di
pipi, atau dapat menjadi borok di kerongkongan akibat paparan asam lambung dari
seringnya mengeluarkan makanan secara paksa (muntah).akibat dari kebiasaan
mengeluarkan makanan akan menimbulkan jaringan parut yang ada di jari tangan,
ketidakseimbangan elektrolit atau cairan tubuh, mengganggu sistem pernapasan, lesu,
pucat, hipotensi (tekanan darah rendah), kehilangan konsentrasi dan lain sebagainya.
BAB III

ANALISIS KASUS

3.1 Karakteristik Diagnostic (DSM-IV-TR)

Orang dengan Bulimia Nervosa akan mengalami :

Makan berlebihan secara berulang

Pengurasan berulang untuk mencegah bertambahnya berat badan

Simtom-simtom terjadi sekurang-kurangnya 2 kali seminggu selama sekurang-kurangnya 3


bulan

Penilaian diri sangat tergantung pada bentuk tubuh dan berat badan

3.2 Faktor pemicu bulimia

Faktor Biologis

Genetik bulimia nervosa dapat terjadi dalam satu keluarga. Studi terhadap saudara
kembar terkait gangguan makan juga menunjukkan pengaruh genetik. Sebagian besar
studi mengenai Bulimia dan Anoreksia menunjukkan tingkat kesesuaian yang lebih tinggi
pada saudara kembar. Faktor-faktor genetik yang umum dapat berperan dalam hubungan
antara karakteristik kepribadian tertentu, seperti emosionalitas negatif dan gangguan
makan.

Faktor Keluarga

Gangguan makan sering kali berkembang dari adanya konflik dalam keluarga. beberapa
terori berfokus pada efek brutal dari self awareness terhadap orang tua. Mereka
mengatakan bahwa beberapa remaja menggunakan penolakan untuk makan sebagai cara
menghukum orang tua mereka karena perasaan kesepian dan keterasingan yang mereka
rasakan di rumah. Sikap keluarga terhagap berat badan dan diet berperan penting, sikap
ibu yang membatasi perilaku makan anak akan membuat anak merasa tidak kompeten
untuk mengatur perilaku makannya sehingga gangguan makan lebih banyak terjadi pada
keluarga dimana orangtua selalu mengkritik berat badan, bentuk tubuh dan kebiasaan
makan anaknya.

Tanpa memperhatikan faktor yang memicu munculnya gangguan makan, dukungan sosial
bisa menjadi salah satu faktor yang mempertahankan keberadaan gangguan makan. anak-
anak dengan gangguan makan dapat secara cepat menjadi pusat perhatian pada keluarga
mereka, dan menerima perhatian dari orang tua yang mungkin sebelumnya kurang.

Faktor Sosiokultural

Berbagai standar budaya mengenai bentuk tubuh ideal feminine yang berubah sepanjang
waktu. Para perempuan yang memang benar-benar kelebihan berat badan atau hanya
takut menjadi gemuk mungkin juga merasa tidak puas dengan tubuh mereka.
Ketidakpuasan akan bentuk tubuh tampaknya semakin meningkat dan merupakan
predictor kuat perkembangan gangguan makan di kalangan remaja perempuan.

Selain itu, preokupasi, untuk menjadi kurus atau merasa ditekan untuk menjadi kurus
memprediksi meningkatnya ketidakpuasan dengan bentuk tubuh di kalangan remaja
perempuan, yang pada akhirnya memprediksi diet yang lebih sering dan timbulnya
berbagai emosi negatif. Tubuh kurus yang ideal berdasarkan standar sosiokultural
kemungkinan merupakan sarana yang membuat orang-orang mempelajari rasa takut
menjadi gemuk atau bahkan merasa gemuk. Selain menciptakan bentuk tubuh yang tidak
diinginkan, menjadi gemuk memiliki berbagai konotasi negatif, seperti ketidaksuksesan
dan kurang memiliki control diri.

Orang lain memandang obese sebagai orang-orang yang kurang cerdas dan dicap sebagai
orang yang kesepian, pemalu, dan haus kasih sayang. Dengan demikian, perempuan
mungkin merasa malu dengan tubuh mereka bila melihat ketidakcocokan antara standar
ideal individu sedikit berbeda dari standar ideal diri mereka dan penilaian budaya (yang
diobjektivikasi) tentang perempuan. Hal ini menunjukkan pengobjektivikasian diri sendiri
dan rasa malu tentang bentuk tubuh terkait dengan gangguan makan.

Faktor Gender

Salah satu alasan utama mengapa gangguan makana lebih umum terjadi pada perempuan
dibanding laki-laki adalah bahwa pada kaum perempuan standar budaya masyarakat Barat
menguatkan keinginan untuk menjadi kurus dibanding laki-laki. Selain itu, nilai-nilai
sosiokultural mendorong objektivikasi tubuh perempuan, sedangkan kaum laki-laki lebih
dihargai berdasarkan berbagai keberhasilan mereka. Resiko gangguan makan pada kelompok
perempuan yang sangat peduli terhadap berat badan, misalnya, para model, penari, dan pesenam,
sangat tinggi (Garner dkk., 1980)

3.3 Pencegahan bulimia

Pencegahan primer

Ditujukan pada populasi yang berisiko tinggi seperti murid SMP perempuan untuk
mencegah timbulnya gangguan makan pada mereka yang asimtomatik. Sejumlah program
pendidikan dapat dicoba berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan dapat mengubah sikap
dan perilaku, program tersebut ditekankan pada pemahaman tentang citra diri.

Pencegahan sekunder

Bertujuan untuk deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan pendidikan pada petugas
kesehatan di pusat pelayanan kesehatan primer. Dengan intervensi dini morbiditas dapat
diturunkan.

3.4 Penanganan-penanganan untuk bulimia nervosa

Penanganan Biologis

Karena Bulimia nervosa sering kali komorbid dengan depresi, ganguan ini ditangani
dengan berbagai antidepresan. Minat difokuskan pada fluoksetin. Perempuan dengan
Bulimia ditangani sebagai pasien rawat jalan selama delapan minggu. Fluoksetin ternyata
lebih memberikan hasil dibandingkan placebo untuk mengurangi makan berlebihan dan
muntah, juga mengurangi depresi dan sikap yang menyimpang terhadap makanan dan
makan. Dalam sebagian besar studi termasuk studi double-blind dengan kelompok
control placebo, mengkonfirmasi kemampuan berbagai macam antidepresan untuk
mengurangi pengurasan dan makan berlebihan, bahkan di kalangan pasien yang tidak
mengalami perbaikan dalam penanganan psikologis yang diberikan sebelumnya.

Dari segi negatifnya, jauh lebih banyak pasien yang tidak tuntas menjalani penanganan
dengan obat-obatan dalam berbagai studi tentang bulimia dibanding yang tidak tuntas
menjalani jenis penanganan kognitif-perilaku. Dalam studi multisentral tentang
fluoksetin, hampir sepertiga pasien berhenti sebelum akhir masa penanganan yang
berlangsung selama delapan minggu, teruatama disebabkan efek samping obat-obatan
yang diberikan. Bandingkan dengan angka kurang dari lima persen pasien yang berhenti
dari terapi kognitif-behavioral. Terlebih lagi, sebagian besar pasien kambuh ketika
pemberian berbagai jenis obat antidepresan dihentikan, seperti yang terjadi dengan
sebagian besar obat-obatan psikoaktif. Terdapat beberapa kecenderungan untuk kambuh
tersebut berkurang bila antidepresan diberikan dalam konteks terapi kognitif-behavioral.

Penanganan Psikologis Bulimia Nervosa

Psikoterapi Kognitif-Behavioral Therapy (CBT) harus dianggap sebagai, patokan lini


pertama pengobatan untuk bulimia nervosa. Data pendukung efektivitas CBT didasarkan
pada kepatuhan yang ketat dan harus betul-betul dilaksanakan dengan sangat rinci,
petunjuk-dipandu perawatan yang mencakup sekitar 18 sampai 20 sesi selama 5 sampai 6
bulan. CBTmenerapkan sejumlah prosedur kognitif dan perilaku untuk (1) mengganggu
siklus mempertahankan diri perilaku makan berlebihan dan diet dan (2) mengubah
kognisidisi fungsional individu, yaitu keyakinan tentang makanan, berat badan, citra
tubuh, dan keseluruhan konsep diri.

Dynamic Psikoterapi (Pengobatan psikodinamik) pasien dengan bulimia nervosa telah


mengungkapkan kecenderungan untuk mengkonkretkan mekanisme pertahanan
introjective dan proyektif.Dengan cara yang analog dengan membelah, pasien membagi
makanan ke dalam dua kategori: item yang bergizi dan mereka yang tidak sehat.
Makanan yang ditunjuk bergizi dapat dicerna dan dipertahankan karena secara tidak sadar
melambangkan introjects baik. Tapi junk food secara tidak sadar berhubungan dengan
introjects buruk dan oleh karena itu, dikeluarkan melalui muntah, dengan sadar bahwa
semua fantasi merusak, kebencian, dan kejahatan sedang dievakuasi. Pasien sementara
dapat merasa nyaman setelah muntah karena evakuasi fantasi, tapi perasaan yang terkait
menjadi baik adalah singkat karena didasarkan pada kombinasi tidak stabil.
Terapi keluarga juga dapat dilakukan yaitu dengan memperbaiki pola-pola interaksi untuk
memutus pola enmeshment dan rigidity, dan membuat anak perempuannya mengubah
kebiasaan makannya.

DAFTAR PUSTAKA

Davidson, Gerrald C, dkk. (2006). Psikologi Abnormal, Edisi 9. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Nevid, Jeffrey S, dkk. (1997). Abnormal Psychology in a Changing world, fifth edition. New
Jersey: Rentice Hall.

Halgin, Ricahard P, dkk. (2010). Abnormal Psychology Clinical Perspectives on Psychology


disorders, New York: Mc. Graw Hill.

https://analisadaily.com/berita/arsip/2017/10/30/441728/bahaya-bulimia-nervosa-
pada-remaja/ diakses tanggal 19 april 2020

Anda mungkin juga menyukai