Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh
Kelompok 5
1. SUCI RAHMADHANI PUTRI : 1711312047
2. NOVA SAFITRI : 1711312049
3. VIANNY PERMATA AUDINA : 1711313009
4. SARAH OKTAVIANI CINTYA : 1711313011
5. PUTRI ANNELYDIA : 1711313013
6. MUTIARA SALAM : 1711313017
7. MAWADDAH TURRAHMAH : 1711313019
8. NAFHANIA NUR EFNIYATI : 1711313023
9. DHEANA MUTIA : 1711313025
ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami kirimkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat membuat dan menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “Identifikasi Data Keluarga : Stres, Koping dan Adaptasi Keluarga”
adapun makalah ini kami tampilkan hasil diskusi kami, kami juga mengambil
beberapa kesimpulan dari hasil diskusi yang kami lakukan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan makalah ini, diantaranya:
1. Yang terhormat dosen mata kuliah Keperawatan Keluarga
2. Pihak-pihak lain yang ikut membantu dalam pelaksanaan maupun proses penyelesaian
makalah ini.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi
para pembaca dan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam proses
pembelajaran.
Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
maupun pembahasan dalam makalah ini, sehingga belum begitu sempurna.Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut sehingga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................. 1
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada zaman modern sekarang ini semua orang dalam hidupnya pernah mengalami
stres. Stres dalam bentuk apa pun adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Melihat
kenyataaan bahwa perpindahan penduduk dari daerah ke kota-kota besar sebagai dampak
modernisasi, berpengaruh pula pada taraf kesehatan penduduk. Kehidupan kota besar yang
lebih keras dan individualistis amat berbeda dengan pola kehidupan di pedesaan. Konflik
psikososial yang sering terjadi dan merupakan stres kehidupan, ialah antara harapan (high
expectation) dengan kenyataan hidup (reality if life) amat berbeda jauh.
Stres Keluarga Seseorang atau keluarga dikatakan sehat tidak hanya terlepas dari
penyakit saja, tetapi juga perasaan tentram, tenang dan harmonis yang ditunjukkan oleh
adanya kemampuan dalam menggunakan koping yang efektif dalam mengadapi stressor baik
yang bersumber dari dalam maupun dari luar. Secara umum, stres terjadi jika individu dihadapkan
dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai ancaman kesehatan fisik atau psikologis.
Setiap individu dapat menggunakan beberapa jenis koping yang dirasa sesuai dengan
konsekuensi dan masalah yang sedang dihadapi. Penggunaan mekanisme koping sering
dipengaruhi oleh latar belakang budaya individu, pengalaman individu dalam menghadapi
masalah, faktor lingkungan; kepribadian, konsep diri indlvidu, faktor sosial dan lain-lain, dan
itu sangat berpengaruh pada kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian keluarga menurut UU Nomor 10 Tahun 1992 adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan
anaknya atau ibu dan anaknya. Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang
disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi dan berkomunikasi satu sama lain
yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri, ayah, dan ibu, anak laki-
laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan
kebudayaan bersama (Puspitawati 2009).
Keluarga merupakan sumber daya penting dalam pernberian layanan kesehatan, baik
bagi individu rnaupun keluarga. Saat perawatan difokuskan pada keluarga, efektifitas
perawatan terbukti meningkat (Gilliss & Davis, 1993). U.S Bureau of the Census
menggunakan definisi keluarga yang berorientasi tradisional, yaitu sebagai berikut:
Keluarga terdiri atas individu yang bergabung bersama oleh ikatan pernikahan, darah,
atau adopsi dan tinggal di dalam suatu rumah tangga yang saran.
1. Pengertian Stres
Stres is define as a challenging event that requires physiological, cognitive, or
behavioral adaptation (Oltaman & Emery, 2004).Para peneliti juga memperdebatkan
apakah stres didefinisikan sebagai peristiwa kehidupan itu sendiri atau penilaian
tentang peristiwa kehidupan, peristiwa itu ditambahn reaksi individu terhadapnya.
Stres adalah keadaan yang bersifat internal, yang disebabkan oleh tuntutan
fisik (badan) atau lingkungan, dan situasi social yang berpotensi merusak dan tidak
terkontrol (Morgan &King , dalam Umam, 2010). Stres juga dapat berarti respon dari
diri seseorang terhadap tantangan fisik maupun mental yang datang dari dalam atau
luar dirinya (Nasrudin, 2010). Stress merupakan tanggapan seseorang terhadap
perubahan di lingkungan yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya
terancam baik secara fisik maupun mental. Dari definisi-definisi yang dikemukakan
oleh (Atwater & Duffy, 1999), dan Feldman (1989), dapat dikatakan bahwa stres
adalah peristiwa yang dipersepsikan seseorang sebagai peristiwa yang menekan dan
menuntut penyesuaian respon adaptif. Setiap orang memiliki tingkatan toleransi
tertentu pada tekanan disetiap waktunya, yaitu kemampuan untuk mengatasi atau
tidak mengatasinya (Anoraga, 2009)
Menurut Diana faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang atau penilaian
4
terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari
situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh
bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Hal ini
sependapat dengan Sellye bahwa stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda,
yaitu dapat menjadi peristiwa positif dan tidak berbahaya atau menjadi peristiwa yang
berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu sangat berpengaruh terhadap
respon yang akan muncul (Umam, 2010).
2. Model – Model Stres
Definisi-definisi stres dapat digolongkan menjadi tiga kategori (Bartlett, 1998;
Goetsch & Fuller, 1995) :
Stres sebagai stimulus
Stres sebagai Stimulusmenurut konsepsi ini stres merupakan stimulus yang
ada dalam lingkungan (environment).Individu mengalami stres bila dirinya
menjadi bagian dari lingkungan tersebut.Dalam konsep ini stres merupakan
variable bebas sedangkan individu merupakan variabel terikat.
Stres sebagai respon
Konsepsi kedua mengenai stres menyatakan bahwa stress merupakan respon
atau reaksi individu terhadap stressor.Dalam konteks ini stress merupakan
variable tergantung (dependen variable) sedangkan stressor merupakan variable
bebas atau independent variable.
Stres sebagai interaksi antara organisme dan lingkungannya.
Menurut pandangan ketiga, stress sebagai suatu proses yang meliputi stressor
dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan
lingkungan. Interaksi antara manusia dan lingkungan yang saling mempengaruhi
disebut sebagai hubungan transaksional. Di dalam proses hubungan ini termasuk
juga proses penyesuaian. (Bart Smet, 1994 : 111). Dalam konteks stres sebagai
interaksi antara individu dengan lingkungan, stres tidak dipandang sebagai
stimulus maupun sebagai respon saja, tetapi juga suatu proses di mana individu
juga merupakan pengantara (agent) yang aktif, yang dapat mempengaruhi stressor
melalui strategi perilaku kognitif dan emosional.
3. Klasifikasi Stres dengan tiga model diatas
a. Engineering model melihat stres eksternal memunculkan reaksi stres, atau strain ,
pada individu. Stres terletak dalam ciri-ciri stimulus lingkungan : stres adalah apa
yang terjadi pada seseorang (bukan apa yang terjadi dalam diri seseorang). Stres
5
dapat dihindari dan dapat dapat di toleransi, dan tingkat moderat stres bahkan
dapat menguntungkan (eustress: Selye, 1956). Tanpa stres, seperti yang diukur
oleh kecemasan atau rangsangan fisiologis, bisa mengakibatkan detrimental.
Sebagai contoh, saat anda dalam kondisi relaks anda tidak melihat mobil yang
melaju kearah anda pada saat anda menyebrang jalan.Stres membantu membuat
kita tetap alert (waspada), memberikan energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan interes pada lingkungan kita, untuk mengeksplorasinya dan
beradaptasi dengannya. Akan tetapi, jika kita “direnggangkan melampaui batas-
batas elastisitas kita”, stres akan merugikan.
b. Physiological model terutama menyangkut apa yang terjadi dalam diri seseorang
sebagai akibat stres (aspek-aspek “respon” dari engeering model), khususnya
perubahan-perubahan fisiologis. Impetus untuk pandangan stres ini adalah definisi
Selye (1956) bahwa “Stres adalah respon nonspesifik tubuh terhadap tuntutan
yang dialamatkan kepadanya”. Selama menjadi mahasiswa kedokteran, Selye
melihat sebuah sindrom umum yang diasosiasikan dengan “being ill” (sakit),
telepas dari apa sakitnya, yang ditandai dengan (i) hilanganya nafsu makan; (ii)
kehilangan berat badan dan kekuatan yang berkaitan dengannya; (iii) hilangnya
ambisi; dan (iv) ekspresi wajah tipikal yang diasosiasikan dengan sakit.
c. Transactional model merepresentasikan semacam percampuran antara kedua
model yang pertama dan banyak mengacu pada penelitian Lazarus (1966). Bagi
Lazarus dan Folkman (1984) stres adalah hubungan tertentu antara seseorang dan
lingkungan yang nilai oleh orang itu sebagai hal yang berat atau melampaui
sumber dayanya dan membahayakan kesejahteraannya. Oleh karena persepsi
seseorang tentang mismatch anatara tuntutan dan kemampuanlah yang
menyebabkan stres, model memungkinkan perbedaan-perbedaan individual
penting yang daoat menghasilkan stres dan seberapa besar stres yang dialami.
Demikian juga ada perbedaan besar antara bagaimana orang berusaha mengatasi
stres, secara psikologis maupun perilaku.Engeering model terutama menyangkut
pertanyaan “apa yang menyebabkan stres?”, dan model psikologis dengan
pertanyaan “apa efek stres ?”. Model transaksional menyangkut keduan
pertanyaan tersebut, ditambah “bagaimana kita menanggulangi stres ?”.
4. Respon Psikological terhadap Stress
Respon Fisiologis 6
Didalam otak hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) diaktifkan oleh stres dan
hal ini yang akhirnya mendorong sekresi hormon. Ketika ancaman yang
dipersepsi tercatat di korteks, ia memberi sinyal pada amigdala, struktur otak yang
terutama bertanggung jawab untuk mengaktifkan respon stres, yang menyekresi
corticotrophin-releasing factor (CRF). CRF menstimulasi batang otak untuk
mengaktifkan sistem saraf simpatik.Dalam merespons rangsangan simpatik,
kelenjar adrenal melepaskan dua hormon.Yang pertama adalah epinephrine (yang
lazim dikenal sebagai adrenalin) yang bertindak sebagai suatu neuromodulator
dan menyebabkan dilepaskannya nerophinephrine dan lebih banyak epinephrine
ke dalam aliran darah yang mengaktifkan system saraf simpatetik dalam tubuh.
Pada saat yang sama, hipotalamus mensekresi CRF yang menyebabkan
pituitary mensekresi hormone ACTH (adrenocorticotrophic hormone) dan hal ini
menyebakan korteks adrenal mensekresi hormone yang kedua, Cortisol. Kortisol
yang sering disebut “hormone stres” karena pelepasannya berkaitan erat dengan
stres.Kortisol memiliki tindakan yang kurang cepat dibanding adrenalin, tetapi
kortisol itu berfungsi dengan cepat untuk membantu tubuh melakukan perbaikan
dalam merespon cedera atau infeksi. Salah satu fungsi kortisol adalah
“penahanan” patogen dalam tubuh.
Respon Psikologis
Situasi stres menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan (jika
peristiwa menuntut tetapi dapat ditangani) sampai emosi umum seperti
kecemasan, kemarahan, kekecewaan, dan depresi.Jika situasi stres terus terjadi,
emosi kita mungkin berpindah bolakbalik diantara emosi-emosi tersebut,
tergantung pada keberhasilan kita bagaimana bisa menyelesaikannya.
1. Anxiety (Kecemasan)
Kecemasan yang dimaksud adalah emosi yang tidak menyenangkan yang
dikenal dengan beberapa istilah seperti ‘kekhawatiran’, ‘kegelisahan’,
‘ketegangan‘, dan ‘ketakutan’, semuanya kita alami dalam taraf yang
berbeda. Orang yang mengalami peristiwa-peristiwa dibawah batas normal
‘ambang penderitaan manusia’ terkadang memiliki pola yang kuat atas
anxiety-related symptoms yang disebut postraumatik stress disorder. Adapun
gejalanya adalah sebagai berikut:
a. Mati rasa terhadap dunia, kehilangan ketertarikan terhadap aktivitas
7
sebelumnya dan perasaan asing kepada orang lain.
b. Pelepasan (lessen) trauma dalam ingatan dan mimpi yang berulang kali
c. Gangguan tidur, susah berkonsentrasi, dan overalertness.
d. Beberapa orang merasa bersalah jika bisa selamat sementara yang lain
tidak selamat.
2. Anger and Aggression (Marah dan Depresi)
Kemarahan memicu dan membawa kepada agresi.Anak-anak
seringkali menjadi marah dan menunjukkan perilaku agresi ketika mengalami
frustrasi.Asumsi frustrationaggression hypothesis, bahwa ketika upaya
seseorang dalam mencapai tujuannya terhambat, maka dorongan agresif
menyebabkan motif berperilaku menyakiti -objek atau pun orang-
menyebabkan frustrasi.Agresi secara langsung terhadap sumber frustrasi
tidaklah selalu baik, kadangkadang sumber tersebut ‘samar’ dan ‘kasat’.
Seseorang tidak mengetahui apa yang harus dilawan tetapi merasa marah dan
mencari objek untuk melepaskan perasaan ini. Ketika keadaan tidak
mengizinkan untuk ‘direct attack’ terhadap sumber frustrasi, agresi
‘displaced’: Aksi agresi menjadi tertuju pada objek atau orang yang tidak
bersangkutan daripada sumbernya langsung.
3. Apathy and Depression
Apati adalah respon pasif agresi terhadap frustrasi. Jika kondisi stress
terus berlangsung dan individu tidak berhasil mengatasinya, maka apati akan
berkembang menjadi depresi. Teori learned-helplessness (Seligman, 1975)
menjelaskan bahwa ‘aversive experience’, ‘uncontrollable events’ membawa
kepada apati dan depresi; yang dapat membantu kita memahami mengapa
orang pasrah dan menyerah pada peristiwa sulit. Gejala learned-helplessness,
antara lain: apati, penarikan diri, dan diam. Seperti korban Nazi percaya
bahwa tak ada yang dapat dilakukan, menyerah, dan tidak mencoba untuk
melarikan diri.
4. Cognitive Impairment
Gejalanya:
a. sukar berkonsentrasi
b. sukar mengorganisasikan pikiran secara logis
c. mudah terganggu 8
performa mereka pada tugas kompleks kurang memuaskan/buruk
5. Pengertian Coping
Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan coping sebagai mengubah secara
konstan upaya kognitif dan perilaku untuk menjawab tuntutan internal dan atau
eksternal yang dinilai menyita atau melampaui sumber daya yang dimiliki oleh orang
yang bersangkutan.
Mekanisme koping adalah berbagai usaha yang dilakukan individu untuk
menanggulangi stres yang dihadapinya (Stuart, 1984). Mekanisme koping merupakan
suatu perubahan yang konstan dari usaha kognitif dan tingkah laku untuk menata
tuntutan eksternal dan internal yang dinilai sebagai ha1 yang membebani atau
melebihi surnber daya individu (Lazarusdan Folkman, 1984).
Perilaku koping menurut Lazarus (1976) diacu dalam Lukman (2002) sebagai:
Perilaku tindakan yang langsung melawan ancaman atau lari dari ancaman
(melawan atau lari) dan di desain untuk mengubah hubungan stress dengan
lingkungan fisik atau sosial
Bentuk intrapsychic koping merupakan mekanisme pertahanan (misalnya
penolakan) yang lebih didesain untuk mengurangi munculnya emosi
dibandingkan untuk mengubah situasi. Tindakan dan pikiran dapat membuat
seseorang lebih baik jika mereka tidak dapat mengubah sumber stres.
Dua strategi alternative yang sangat penting adalah coping terfokus-masalah dan
terfokus-emosi (Lazarus & Folkaman, 1984) :
a. Emotion-focused coping (EFC)
Emotion-focused coping melibatkan usaha mengurangi emosi-emosi negatif
yang menjadi bagian dari pengalaman stres. Sebelum menjalani sebuah ujian
besar, yang anda lakukan adalah duduk dengan tenang dan bernapas dalam-dalam
untuk menenangkan diri.
b. Problem-focused coping (PFC)
Problem-focused coping (PFC) melibatkan mengambil tindakan langsung untuk
mengatasi masalahnya, atau mencari informasi yang relevan dengan solusinya.
Jika pekerjaan yang dihadapi stressful, tindakan selanjutnya mencari pekerjaan
baru. 9
c. Psychological resources for coping with stress
Memikirkan Kembali Masalah
Berikut ini 3 cara yang efektif untuk melakukan metode cognitive coping :
Menilai atau meninjau kembali situasinya. Walaupun anda tidak dapat
menghilangkan masalah yang membuat stres, anda dapat memilih untuk
memikirkan masalah itu secara berbeda proses yang disebut sebagai
reappraisal (menilai/meninjau kembali). Masalah dapat diubah menjadi
tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak
terduga. Cara anda berpikir mengenai suatu situasi atau provokasi,
memepengaruhi emosi yang anda rasakan mengenai situasi atau provokasi
tersebut. Reappraisal dapat mengubah kemarahan menjadi simpati,
kecemasan menjadi determinasi, dan perasaan kehilangan menjadi
perasaan memiliki kesempatan (Folkman & Moskowitz, 2000).
Belajar dari pengalaman. Banyak korban dari kejadian traumatis dan
penyakit yang mengancam nyawa melaporkan bahwa pengalaman
membuat mereka lebih kuat, lebih tegar, dan bahkan mereka menjadi
manusia yang lebih baik karena bertumbuh dan belajar dari kejadian
tersebut (Mc Farlan & Alvaron, 2000).
Membuat perbandingan sosial. Dalam situasi sulit, orang yang sukses
bertahan seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang lain
yang (mereka rasakan) kurang beruntung dibandingkan mereka. Separah
apapun kondisi mereka, bahkan jika mereka memiliki penyakit mematikan,
mereka menemukan orang lain yang keadaannya jauh lebih parah (Taylor
& Lobel, 1989; Wood, Michaela, & Giordano, 2000).
Mendapatkan Dukungan Sosial
Sejauh ini kita telah membahas strategi coping individual, hal-hal yang
dapat anda lakukan bagi diri anda sendiri. Namun seringkali strategi individual
tidak cukup, dan perlu bagi kita untuk mendapatkan bantuan dan dukungan
sosial dari orang lain yang berada dalam lingkaran keluarga, teman, tetangga,
dan rekan kerja.
Saat Teman Membantu Anda Menghadapi Masalah. Memiliki teman
adalah hal yang menyenangkan, dan hal ini bahkan dapat meningkatkan
kesehatan anda. Orang yang hidup di dalam jejaring hubungan yang dekat,
hidup lebih lama dibandingkan orang yang tidak memiliki hal tersebut.
10
Dalam dua penelitian yang mengikuti perkembangan ribuan orang dewasa
selama sepuluh tahun, orang yang memiliki banyak teman, kenalan, atau
keanggotaan dalam kelompok keagamaan atau yang lainnya, secara rata-
rata hidup lebih lama, dibandingkan denganmereka yang hanya memiliki
sedikit teman.
Dukungan sosial meningkatkan kesehatan sebagian karena, seperti
memiliki locus of control internal dan perasaan optimism, hal tersebut
meningkatkan sistem kekbalan. Orang yang merasa kesepian memiliki
fungsi kekebalan yang lebih buruk dibandingkan dengan orang yang tidak
kesepian.
Coping terhadap Teman. Tentu saja, terkadang orang lain tidak
membantu. Seringkali justru merekalah yang menyebabkan
ketidakbahagiaan, stress, dan kemarahan dalam diri kita. Dalam hubungan
dekat, orang yang sama dapat menjadi sumber dukungan dan juga
sekaligus sumber stress, terutama jika kedua belah pihak saling bertengkar.
Selain menjadi sumber konflik, teman dan kerabat juga terkadang tidak
memberikan dukungan saat bencana atau sakit hanya karena mereka
memnag tidak peduli atau merasa canggung.
Sembuh Dengan Membantu Orang Lain
Cara terakhir untuk menghadapi stress, kehilangan, dan tragedy adalah
dengan memberikan dukungan bagi orang lain, dan bukannya selalu menerima
dukungan dari orang lain. Orang mendapatkan kekuatan, menurutnya, dengan
mengurangi focus terhadap kesulitan mereka sendiri dan lebih banyak
menolong orang lain yang juga berada dalam kesulitan. Oran yang sering
menolong teman dan keluarga mereka dengan bantuan praktis dan dukungan
emosional juga hidup lebih panjang daripada orang yang mementingkan diri
sendiri dan jarang membantu orang lain (Brown dkk., 2003).
Kemampuan untuk melihat hal-hal di luar diri sendiri, untuk peduli dan
membantu orang lain, berhubungan dengan hamper semua mekanisme coping
yang berhasil dan telah kita bicarakan.Kemampuan ini menstimulasi
optimisme dan mengembalikan perasaan memiliki kendali. Kemampuan ini
juga mendorong untuk memecahkan masalah sendiri dan bukan menyalahkan
orang lain. 11
2.3 Fase waktu stress dan strategi koping
a. Periode Antistres
Periode stress sebelum benar-benar melawan stressor, antisipasi kadang
mungkin terjadi, terdapat ksadaran terhadap bahaya yang mengancam atau ancaman
situasi yang dirasakan. Jika keluarga atau orang yang membantu dapat
mengidentifikasi stressor yang akan datang, bimbingan antisipasi serta strategi koping
pencegahan dapat dicari atau diberikan.
b. Periode Stres Aktual
Strategi koping selama periode stress biasanya berbeda intensitas dan jenisnya
dari strategi yang digunakan seblum awitan stressor dan stress. Mungkin terdapat
strategi defensive dan bertahan yang sangat dasar digunakan selama periode ini jika
stress dalam keluarga sangat berat.
c. Period Pasca Stres
Stratgi koping yang diterapkan setelah periode stress akut, diseebut fase
pascatrauma yang terdiri dari strategi untuk mngembalikan keluarga ke keadaan yang
seimbang. Untuk mningkatkan kesejahteraan keluarga selama fae ini, keluarga perlu
saling bekerja sama, saling mengungkapkan perasaan dan memecahkan masalah atau
mencari dukungan keluarga untuk memperbaiki situasi penuh stress.
Ada empat kemungkinan hasil akhir dari pascatrauma ini, yaitu :
Keluarga berfungsi pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya
Keluarga berfungsi pada tigkat yang lebih rendah dari yang sebelumnya
Keluarga berfungsi pada tingkat yang sama dengan prastres
Perpecahan keluarga (seperti : perpisahan, perceraian dan pengabaian)
Konsep Stres Keluarga Seseorang atau keluarga dikatakan sehat tidak hanya terlepas
dari penyakit saja, tetapi juga perasaan tentram, tenang dan harmonis yang ditunjukkan oleh
adanya kemampuan dalam menggunakan koping yang efektif dalam mengadapi stressor baik
yang bersumber dari dalam maupun dari luar.
Alarm Reaction (AR), Tanda-tanda reaksi tubuh disebut alarm reaction, yaitu
sistem pertahanan tubuh untuk mengatasi stresor. Menurut Seyle pada alarm
reaction ini dibag dua tahap yaitu fase shock dan fase counter shock. Selama fase
shock, penyebab stres dapat diamati pada orang sadar maupun yang tidak sadar.
Respon ini berlangsung dalam waktu pendek, lebih kurang satu menit sampai 24
jam. Selama fase counter shockperubahan yang dihasilkan tubuh berlawanan
dengan fase shock, pada fase ini penderita mengadakan reaksi perbaikan.
Stage of resistance (Tingkat perlawanan), Apabila stresor bisa diimbangi oleh
daya tahan tubuh maka akan timbul kekuatan untuk melawan. Tanda-tanda dari
reaksi alarm akan hilang bahkan daya melawan ini bisa melebih batas-batas
normal.
Stage of Exhaustion (Tingkat kelelahan), Apabila tubuh dihadapkan pada
stresor yang lama dan waktu yang terlalu lama, maka energi untuk beradaptatsi
akan habis, sehingga akan timbul kembali reaksi- reaksi alarm tetapi ini bersifat
irreversibel.
2. Model yang akan dibahas berkaitan dengan model krisis dari adanya stres
keluarga
a. Teori Stres Keluarga dari Hill (1949) adalah model yang menggambarkan faktor-
faktor yang menghasilkan krisis atau non knsis dalam keluarga. Berdasarkan riset
dari Hill tentang perpisahan akibat perang dan reuni, ia mengembangkan sebuah
teori stres keluarga yang disebut ABCX, &mana ia mengidentifikasikan satu set
variabel utama dan hubungannya yang menimbulkan krisis keluarga. Secara teoritis,
ia menggambarkan determinan-determinan krisis keluarga, yaitu: "faktor A
(kejadian atau stresor) yang berinteraksi dengan B (sumber-sumber koping
13
keluarga, selanjutnya berinteraksi dengan C (persepsi keluarga terhadap kejadian),
yang akhirnya menghasilkan X (knsis)."
b. Model ABCX dari McCubbin dan Patterson (1980) merupakan bentuk
pengembangan dari teori ABCX-nya Hill. Mengingat teori Hill meliputi variabel-
variabel krisis, teori McCubbin dan Patterson menjelaskan perbedaan dalam
adaptasi keluaiga pasca krisis. Setiap variabel asli (ABCX) 'diuji kembali dan
definisi-definisinya dimodifikasi. Setiap variabel dalam model digambarkan secara
ringkas sebagai berikut :
Faktor aA, setumpuk stresor keluarga. McCubbin dan Patterson (1980)
menyatakan bahwa ada lebih dari satu stresor utama, yang berturnpuk menjadi
stresor keluarga", dan ini berpengaruh penting dalam tingkat adaptasi keluarga.
Faktor bB: Sumber-Sumber Koping Keluarga. Faktor ini adalah surnber-sumber
keluarga untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang dihadapi keluarga. Faktor
tersebut terdiri dari sumber-sumber pribadi angota keluarga (pendidikan,
kesehatan dan karakteristik kepribadian), dan sumber-sumber internal dari
system keluarga (peran-peran yang fleksibel, kekuasaan bersama, komunikasi,
dan ikatan keluarga serta dukungan sosial).
Faktor cC: DeJinisi dun makna keluarga atau persepsi keluarga terhadap stresor.
Definisi faktor ini pada pokoknya menyangkut penilaian dari konseptualisasi
tentang definisi situasi keluarga yang dibuat oleli Hill.
Faktor xX: Adaptasi Keluarga. Dalam model ABCX Ganda, terdapat tiga tingkat
analisa: anggota keluarga (individu), unit keluarga clan komunitas dimana
keluarga menjadi bagannya. Masing-masing unit ini digambarkan memiliki
tuntutan dan kemampuan.
c. Model Stres Keluarga dari Boss (1983). Ia telah mengembangkan teori stres dari
Hill untuk menerangkan pengaruh konteks keluarga. Keluarga tidak hidup dalarn
isolasi tetapi mereka merupakan bagian dari konteks yang lebih besar yang
mempengaruhi variabel-variabel model dari Hill. Dua konteks berbeda yang
menjadi media bagi stres keluarga adalah konteks internal dan eksternal.
Konteks Internal keluarga terdiri dari tiga elemen yang dikontrol oleh keluarga
dan dapat diubah. Ada elemen-elemen psikologs, struktural dan filosofi.
Konteks eksternal dari keluarga adalah konteks yang tidak dikontrol oleh
keluarga. Konteks tersebut termasuk lingkungan dimana keluarga berada,
14
terdiri dari batas- batas genetik dan perkembangan, dan konteks "tempat dan
waktu" (sejarah, ilmu, ekonomi, kebudayaan).
2.5 Stressor dan Dampaknya
a. Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stress yang dialami
seseorang; misalnya pertengkaran, perpisahan (separation), perceraian, kematian salah
satu pasangan, ketidaksetiaan, dan lain sebagainya. Stressor perkawinan ini dapat
menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
b. Problem Orang Tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalnya tidak punya anak,
kebayankan anak, kenakalan anak, anak sakit; hubungan yang tidak baik dengan
mertua, ipar, besan, dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut diatas merupakan
sumber stress yang pada gilirannya seseorang dapat jatuh dalam depresi dan
kecemasan.
c. Hubungan Interpersonal
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami
konflik, konflik dengan kekasih, antara atasan dan bawahan, dan lain sebagainya.
Konflik hubungan interpersonal ini dapat merupakan sumber stress bagi seseorang,
dan yang bersangkutan dapat mengalami depresi dan kecemasan karenanya,
d. Lingkungan Hidup
Kondisi lingkungan yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang,
misalnya soal perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran, hidup dalam
lingkungan yang rawan (kriminalitas) dan lain sebagainya.
e. Perkembangan
Masalah perkembangan baik fisik maupun mental seseorang, misalnya masa
remaja, masa dewasa, menopause, usia lanjut dan lain sebagainya. Kondisi setia15
pperubahan fase-fase tersebut di atas, untuk sebagaian individu dapat menyebabkan
depresi dan kecemasan, terutama pada mereka yang mengalami menopause atau usia
lanjut.
f. Faktor Keluarga
Faktor stress yang dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan karena
kondisi keluarga yang tidakbaik (yaitu sikap orangnya) misalnya:
1. Hubungan kedua orang tua yang dingin, atau penuh ketegangan, atau acuh tak
acuh
2. Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk bersama dengan
anak-anak.
3. Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak baik
4. Kedua orang tua berpisah atau bercerai
5. Salah satu orang tua menderita gangguan jiwa/kepribadian
6. Orang tua dalam pendidikan anak kurang sabar, pemarah, kerasa, dan otoriter.
g. Lain – lain
Stressor kehidpuan lainnya juga dapat menimbulkan depresi dan kecemasan adalah
antara lain, bencana alam, kebakaran, perkosaan, kehamilan di luar nikah, dan lain
sebagainya.
Berikut adalah berbagai macam penyakit serta gangguan kesehatan akibat stres mental
yang bisa terjadi yaitu :
1. Penyakit Jantung.
Kita tahu bahwasannya stres akan meningkatkan hormon tubuh yang bernama
"adrenaline" kedalam saluran darah kita. Hormon ini bersama-sama dengan beberapa hormon
yang lain akan menyebabkan beberapa perubahan terjadi di dalam tubuh kita sebagai
persiapan untuk melindungi kita. Di antara perubahan-perubahan itu ialah denyut jantung
akan meningkat dan tekanan darah akan meningkat pula.
Bila hal ini dibiarkan, maka hal ini akan bisa berakibat buruk terhadap kesehatan
jantung kita serta juga kesehatan pembuluh darah juga. Stress juga akan meningkatkan
tekanan darah di samping juga akan memudahkan proses pembekuan darah. Semua ini
merupakan perubahan-perubahan yang bisa menyebabkan serangan jantung. (Health
Education Associates, 1996; Stress and Heart Disease).
2. Kegemukan (Obesitas).
Banyak manusia ketika sedang dalam tekanan yang berat maka tindakan yang
16
dilakukannya, atau pun mekanisme koping terhadap stres yang dilakukannya adalah banyak
makan. Dan yang lebih membahahayakan lagi adalah bila makan ini adalah banyak
mengkonsumsi makanan yang kurang sehat.
Terlalu banyak makan junk food, camilan tinggi garam dan gula atau minuman
berpengawet dan berperisa buatan secara terus-menerus dalam waktu lama bisa
mengakibatkan berat badan berlebih atau obesitas. Selain itu juga akan memberikan dampak
yang buruk lainnya yaitu menumpuknya kolesterol jahat dalam tubuh dan akan banyak lagi
penyakit yang bisa tmbul akibat dari obesitas serta kolesterol jahat ini.
3. Depresi.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang berat dan dimanifestasikan dengan
gangguan fungsi sosial dan fungsi fisik yang hebat, lama dan menetap pada individu yang
bersangkutan. Depresi adalah suatu jenis alam perasaan atau emosi yang disertai komponen
psikologik seperti halnya rasa susah, murung, sedih, putus asa dan tidak bahagia, serta
komponen somatik contohnya: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan
darah dan denyut nadi sedikit menurun. Inilah yang dimaksud dengan pengertian depresi.
Dan ini juga termasuk dalam penyakit yang disebabkan stres juga.
Maka gangguan akibat depresi serta stres seperti tersebut di atas lah yang akan bisa
mengganggu kesehatan diri seseorang. baik itu secara fisik maupun mentalnya. Bila dibiarkan
berkelanjutan, maka depresi akan berpengaruh terhadap penurunan kondisi tubuh secara fisik,
gangguan kesehatan mental akut bahkan sampai bisa terjadi resiko kematian.
4. Tubuh Mudah Terkena Sakit.
Beberapa ilmuwan yang telah melakukan penelitian mengenai hubungan stres dengan
penyakit ini juga bahwasannya stress akut akan bisa menurunkan daya tahan tubuh manusia.
Beberapa studi kasus telah menunjukkan bahwa beberapa hormon stres yang dikeluarkan
tubuh ketika beban berlebihan datang, hal ini akan bisa memengaruhi kemampuan kelenjar
thymus untuk menstimulasi dan mengatur aktivitas leukosit (sel darah putih).
Terganggunya aktifitas sel darah putih ini lah yang akan bisa menurunkan imunitas dan daya
tahan tubuh akan menurun. Kita tahu bahwa salah satu fungsi leukosit ini adalah memerangi
berbagai jenis virus bakteri yang masuk ke dalam tubuh. Bila terganggu maka otomatis tubuh
akan lebih mudah untuk terserang berbagai jenis penyakit yang berkaitan denan imunitas
tubuh sendiri.
2.6 Strategi Koping Keluarga
4) Memahami suatu masalah. Salah satu cara untuk menemukan koping yang efektif
adalah menggunakan mekanisme mental dengan memahami masalah yang dapat
mengurangi atau menetralisir secara kognitif terhadap bahaya yang dialami.
Menambah pengetahuan keluarga merupakan cara yang paling efektif untuk
mengatasi stressor yaitu dengan keyakinan yang optimis dan penilaian yang positif.
Menurut Folkman et al. diacu dalam Friedman (1998), keluarga yang
menggunakan strategi ini cenderung melihat segi positif dari suatu kejadian yang
penyebab stres.
6) Fleksibilitas peran. Fleksibilitas peran merupakan suatu strategi koping yang kokoh
untuk mengatasi suatu masalah dalam keluarga. Pada keluarga yang berduka,
fleksibilitas peran adalah sebuah strategi koping fungsional yang penting untuk
membedakan tingkat berfungsinya sebuah keluarga.
19
7) Normalisasi. Salah satu strategi koping keluarga yang biasa dilakukan untuk
menormalkan keadaan sehingga keluarga dapat melakukan koping terhadap sebuah
stressor jangka panjang yang dapat merusak kehidupan dan kegiatan keluarga.
Knafl dan Deatrick diacu dalam Friedman (1998), mengatakan bahwa normalisasi
merupakan cara untuk mengkonseptualisasikan bagaimana keluarga mengelola
ketidakmampuan seorang anggota keluarga, sehingga dapat menggambarkan
respons keluarga terhadap stres.
Untuk mengurangi ketegangan atau stres dalam keluarga, anggota keluarga boleh jadi
secara fisik atau psikososial saling berpisah. Perpisahan ini mencakup kehilangan anggota
keluarga karena pengabaian, perpisahan, atau perceraian, dan gangguan psikososial anggota
keluarga lewat keterlibatan anggota dalam kecanduan (mis.,alkohol, obat – obatan, berjudi).
Hanya keluarga yang mengalami kecanduan yang dibahas di sini.
Terdapat enam tipe kekerasan dalam keluarga , yang bergantung pada siapa pelaku
penganiyaan dan siapa korbannya. Enam tipe tersebut adalah: penganiayaan pasangan,
penganiayaan dan pengabaian anak, penganiayaan saudara kandung, penganiayaan lansia,
penganiayaan orang tua, dan penganiayaan homoseksual.
Pengananiayaan Pasangan
Walaupun penggunaan paksaan fisik oleh seorang pasangan terhadap
24
pasangannya (kebanyakan suami terhadap istri) baru – baru ini telah dikenali oleh
media massa dan profesional sebagai masalah sosial yang signifikan (Gelles, 2000;
Straus & Gelles, 1990), hal ini merupakan taktik yang telah biasa digunakan guna
mengatasi frustasi dan stresor di sepanjang sejarah negara kita dan, hal semacam ini,
telah dikenakan sanksi secara sosial di masa lalu. Walaupun wanita umumnya adalah
korban dari penganiayaan pasangan, mereka dapat juga menjadi pelaku. Beberapa studi
telah menunjukkan bahwa pria yang menjadi korban penganiayaan pasangan lebih
sering terjadi daripada yang orang bayangkan (Wallace, 1996). Akan tetapi,
penganiayaan yang diderita wanita lebih sering dan lebih berat dibandingkan
penganiayaan yang dialami pria dalam hubungan pasangan.
Penganiyaan Dan Pengabaian Anak
Penganiayaan anak dapat berupa fisik, emosional atau seksual, atau kombinasi
kedua atau ketiganya. Sementara penganiayaan anak mencakup cedera fisik, pengabaian
anaka meliputi anak tidak adekuatnya pemberian asuhan fisik dan emosionalnya
esensial pada anak. Penganiayaan fisik pada anak telah didefinisikan sebagai “tindakan
apa pun yang menyebabkan cedera fisik yang sengaja dilakukan oleh seseorang yang
mengasuh, menjaga, atau mengendalikan anak.” (Wallace, 1996, hlm.29).
Penganiayaan Saudara Kandung
Penaniayaan saudara kandung telah didefinisikan sebagai “setiap bentuk
penganiayaan fisik, mental, atau seksual yang disebabkan oleh satu anak dalam sebuah
unit keluarga terhadap anak lain” (Wallace, 1996, hlm. 101). Sering kali, penganiayaan
saudara kandung terjadi saat anak yang lebih besar atau lebih berkuasa memiliki kendali
terhadap anak yang lebih kecil (si korban). Selain itu, penganiyaan saudara kandung
telah ditemukan lebih banyak dalam keluarga yang mengalami penganiyaan anak atau
penganiayaan pasangan (Straus & Gelles, 1990)
Penganiyaan Lansia
Penganiayaan dan pengabain lansia adalah masalah yang telah meningkat secara
nasional (Larsen, 1989) dan hanya baru – baru ini saja diteliti (Gelles, 2000; Steinmetz,
1987). Diperkirakan lebih dari dua juta lansia dianiaya setiap tahunnya di Amerika
Serikat (Lynch, 1997).
Penganiayaan Orang Tua
Bentuk penganiayaan tersembunyi lainnya yaitu anak yang cukup besar saat ini
melakukan kekerasan terhadap orang tua mereka. Anak pada satu pihak adalah korban
penganiayaan , dan melalui pemodelan peran, belajar bahwa pemakaian kekerasan
25
merupakan cara mengungkapkan marah yang mudah dan dapat diterima. Dalam studi
yang meneliti fenomena ini, anak – anak tersebut adalah remaja dan biasanya remaja
putra (Gelles, 2000).
Penganiayaan Homoseksual
o Perpecahan keluarga
o Penyalahgunaan alcohol dan atau obat-obatan
o Kekerasan dalam keluarga
o Pengabaian anak
3. Adaptasi
Bagimana pengelolaan dan fungsi keluarga? Apakah stressor atau masalah
keluarga dikelola secara adekuat oleh keluarga? Apa dampak dari stressor pada
fungsi keluarga?
Apakah keluarga berada dalam krisis? Apakah masalah yang ada bagian
ketidakmampuan kronik menyelesaikan masalah?
4. Mengidentifikasi Stresor, Koping dan Adaptasi
Ketika perawat keluarga bekerja dengan keluarga sepanjang waktu, akan
sangat bermanfaatuntuk mengidentifikasi atau memantau bagaimana keluarga bereaksi
terhadap stressor,persepsi, koping dan adaptasi. Apakah keluarga mulia pulih,
menghasilkan proses koping.yang berguna, atau apakah tetap pada tingkat adptasi yang
sama atau menunjukkan tanda-tanda penurunan daptasi?
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Stress menurut Hans Selye 1976 merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik
terhadap setiap tuntutan atau beban atas nya.
Koping merupakan cara-cara yang digunakan oleh individu untuk menghadapi situasi
yang menekan.Oleh karena itu meskipun koping menjadi bagian dari penyesuaian diri,namun
koping merupakan istilah yang khusus digunakan untuk menunjukkan reaksi individu ketika
menghadapi tekanan/stress.
Koping yang negatif menimbulkan berbagai persoalan baru di kemudian hari,bahkan
sangat mungkin memunculkan berbagai gangguan pada diri individu yang
bersangkutan.Sebaliknya koping yang positif menjadikan individu semakin matang,dewasa
dan bahagia dalam menjalani kehidupannya.
Banyak perubahan berlansung dimasyarakat kita danberhubungan dengan keluarga
sepanjang waktu. Bagaimana keluarga mengatasi perubahanpenuh stress yang berbeda.
Walaupun begitu rentang respon yang luas terjadi saat kemalangan yang berat. Beberarapa
keluargaberadaptasi sangat baik terhadap stressor dan ketegangan dan mengubah pola
fungsi,menggunakan sumber dan strategi koping yangmembantu mengelola stress
tersebut.Keluarga lain mengguanakan strategi koping yang membahayakan atau
disfungsionalyang hanya dapat mengurangi stress sementara. Hasil akhir bagi keluarga ini
dapat termasukkekerasan dalam keluarga, perpecahan keluarga dan kecanduan. Keluarga dan
33
anggota keluarga menggunakan susunan strategi koping keluarga yangluas guna mengatasi
situasi penuh stress.
3.2 Saran
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Kami tetap
berharap makalah ini tetap memeberikan manfaat bagi pembaca. Namun, saran dan kritik
yang sifatnya membangun dengan tangan terbuka kami terima demi kesempurnaan di masa
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Rubiyanti, Yanti. 2008. Motivasi dan Manajemen Stres. Diakses tanggal 29 Desember 2014
dari,http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/09/pustaka_unpad_motivasi_dan_ma
najemen_stress.pdf
34