Anda di halaman 1dari 27

ANTROPOLOGI

Makalah ini Ditujukan untuk Memenuhi Nilai Pengantar Ilmu Sosial


Dosen : Barkah Yasarudin, M.Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Albar Alhaetami
Alfia Putri Utami
Cacep Supiandi
Dewi Maryana
Diana Rachmawati
Muhamad Firmansyah
Siti Aisyah

PROGRAM PENDIDIKAN EKONOMI AKUNTANSI


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PGRI - SUKABUMI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan Makalah yang berjudul “Antropologi” ini dengan baik tanpa ada
halangan.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan
Mahasiswa dalam hal menulis, khususnya untuk memenuhi nilai Mata Kuliah
Pengantar Ilmu Sosial.
Terselesaikannya makalah ini tentu tidak lepas dari bantuan banyak pihak.
Oleh karena itu , kami mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Barkah Yasarudin, M.Pd., selaku Dosen mata kuliah Pengantar Ilmu
Sosial.
2. Rekan-rekan kelompok 2 yang telah ikut membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Makalah ini disusun untuk melengkapi nilai Pengantar Ilmu Sosial.Selain itu,
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
menjadi referensi untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala kritikan dan saran yang
membangun dan dapat menjadikan makalah ini jauh lebih baik lagi. Kami mohon
maaf setulus-tulusnya atas kesalahan maupun kekurangan dalam penyusunan
makalah ini.
Sukabumi, 13 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. iii
1.1. Latar Belakang ................................................................................... iii
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. iii
1.3. Tujuan Penulisan ............................................................................... iii
BAB II KAJIAN TEORI.................................................................................. 1
2.1. Pengertian Antropologi dan Ruang Lingkup Antropologi................. 1
2.2. Pendekatan, Ilmu bantu , dan jenis
penelitian Antropologi........................................................................ 3
2.3. Tujuan dan Kegunaan Antropologi.................................................... 6
2.4. Hubungan Antropologi dengan Ilmu sosial Lainnya.......................... 6
2.5. Objektivitas dalam Antropologi......................................................... 8
2.6. Sejarah Perkembangan Antropologi................................................... 10
2.7. Konsep-konsep Antropologi............................................................... 12
2.8. Generalisasi-Generalisasi Antropologi............................................... 14
2.9. Teori-Teori Antropologi..................................................................... 16
BAB III REFLEKSI MATERI......................................................................... 19
BAB IV PENUTUP.......................................................................................... 20
4.1. Kesimpuan.......................................................................................... 20
4.2. Saran................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Secara harfiah antropologi adalah ilmu (logos) tentang manusia (antropos).
Definisi demikian tentu kurang jelas, karena dengan definisi seperti itu
antropologi mencakup banyak disiplin ilmu seperti sosiologi, psikologi, ilmu
polotik, ilmu ekonomi, ilmu sejarah, biologi manusia dan bahkan humaniora,
filsafat dan sastra yang semuanya mempelajari atau berkenaan dengan manusia.
Sudah tentu hal ini tidak benar, palagi disiplin-disiplin ilmu lain tersebut justru
sudah berkembang jauh lebih tua dari pada antropologi.
Oleh karena itu pasti ada sesuatu yang khusus tentang manusia yang
menjadi pusat perhatian antropologi. Sayangnya bidang permasalahan yang
khusus dipelajari oleh antropologi tidak jelas batasnya, karena terlalu cepatnya
pemisahan ilmu-ilmu cabang antropologi yang sangat berlainan bidang
permasalahan yang dipelajari. Akibatnya tidak ada satupun definisi umum yang
dapat disepakati oleh semua ilmuwan antropologi.
Salah satu karakteristik yang paling banyak mendapat perhatian dalam
antropologi adalah hubungan antara kebudayaan dan ciri-ciri biologis manusia.
Masa ketergantungan manusia pada pengangkutan jalan kaki, ukuran otak yang
besar, dan kemampuan menggunakan simbol-simbol adalah contoh beberapa ciri
biologis yang memungkinkan mereka menciptakan dan mendapatkan kebudayaan.
1.2. Rumusan Masalah
1) Mengapa penting mempelajari antropologi?
2) Apa manfaat mempelajari antropologi
1.3. Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui Antropologi secara lebih jelas.
2) Untuk mengetahui manfaat Antropologi.

iii
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Pengertian Antropologi dan Ruang Lingkup Antropologi


Antroplogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu anthropos yang berarti
manusia, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari menusia sebagai
makhluk biologis, sekaligus makhluk sosial. Ada beberapa pengertian mengenai
antropologi, yaitu sebagai berikut:
a)   Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari
budaya masyarakat etnis tertentu, yang berawal dari ketertarikan orang-orang
Eropa dengan melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, dan budaya yang berbeda
yang dikenal Eropa.
b)   Antropologi lebih memusatkan pada penduduk sebagai masyarakat tunggal,
yaitu kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang sama. Antropologi
hampir identik dengan sosiologi. Akan tetapi, sosiologi menitikneratkan pada
masyarakat dan kehidupan sosialnya, sedangkan antropologi menitikberatkan
pada unsure budaya, pola piker, dan pola kehidupannya.
c)   William A. Havilland (1998:6) mengatakan bahwa antropologi adalah studi
mengenai umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, serta untuk memperoleh
pengertian yang lengkap tentang keragaman manusia.
d)   Koentjaraningrat mengatakan bahwa antropologi adalah ilmu yang
mempelajari umat manusia pada umummnya dengan mempelajari berbagai
warna, bentuk fisik, masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan
(Koentjaningrat, 1989:13).
Dari semua pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa antropologi adalah
ilmu yang mempelajari manusia dari segi keragaman fisik serta kebudayaan
(cara-cara berperilaku, tradisi-tradisi, dan nilai-nilai) yang dihasilkan,
sehingga setiap manusia satu dengan lainnya berbeda. Antroplogi mempelajari
seluk-beluk yang terjadi dalam kehidupan manusia, pada masa dahulu hingga
masa sekarang, sebagai fenomena yang terjadi di tengah kehidupan kultural
masyarakat dewasa ini. Adapun yang menjadi ruang lingkup Antropologi
adalah sebagai berikut :

1
1) Antropologi fisik (Physical Antropology/Antropo-biologi)
Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme biologis yang
melacak perkembangan manusia menurut evolusinya dan menyelidiki variasi
biologisnya dalam berbagai jenis (spesies). Melalui aktivitas analisis yang
mendalam terhadap fosil-fosil dan pengamatan pada primata-primata yang
pernah hidup, para ahli antrpologi fisik berusaha melacak nenek moyang jenis
manusia untuk mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa kita menjadi
makhluk seperti sekarang ini.
2) Antropologi Budaya (Cultural Antropology)
Antropologi budaya memfokuskan perhatiannya kepada kebudayaan
manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. menurut Haviland 7
cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga bagian, yakni
arkeologi, antroplogi linguistic, dan etnologi. Kemudian dikembangkan lagi
menurut Koentjaraningrat ada beberapa cabang dalam antropologi Budaya.
Antropologi budaya juga merupakan studi tentang praktik-praktik sosial,
bentuk-bentuk ekspresif, dan penggunaan bahasa, dimana makna diciptakan
dan diuji sebelum digunakan oleh masyarakat manusia.. Biasanya, istilah
antropologi budaya dikaitkan dengan tradisi riset dan penulisan antropologi di
Amerika. Pada awal abad ke-20, Franz Boas (1940) mengajukan tinjauan
kritisnya terhadap asumsiasumsi antropologi evolusioner serta implikasi yang
cendrung bersifat rasial. Dalam hal itu, Boas menyoroti keberpihakan pada
komparasi dan generalisasi antropologi tradisional yang dinilainnya kurang
tepat, selanjutnya ia mengembangkan aliran baru yang sering disebut
antropologi Boas. Dalam hal ini, Boas merumuskan konsep kebudayaan yang
bersifat relative, plural dan holistic. Saat ini kajian antropologi budaya lebih
menekankan pada 4 (empat) aspek yang tersusun.
a) Pertimbangan politik di mana antropologi budaya sering terjebak oleh
kepentingan-kepentingan politik dan membiarkan dalam penulisannya
masih terpaku oleh metode-metode lama yang sudah terbukti kurang layak
untuk menyusun sebuah karya ilmiah, seperti yang dikeluhkan Edward W.
Said dalam orientalisme (1970).

2
b) Menyangkut hubungan kebudayaan dengan kekuasaan jika pada awalnya
bertumpuk pada asumsi-asumsi kepatuhan dan penguasaan masing-masing
terhadap kebudayaanya sedangkan pada masa kini dengan munculnya
karya Bourdieu (1977) dan Foucault (1977,1978) kian menekankan
pengunaan taktis diskursus budaya yang melayani kalangan tertentu di
masyarakat.
c) Menyangkut bahasa dalam antropologi budaya dimana terjadi pergeseran
makna kebudayaan dari homogenitas ke heterogenitas yang menekankan
peran bahasa sebagai sistem formal abstraksi-abstraksi kategori budaya.
d) Preferensi dan pemikiran individual dimana terjadi antara hubungan antara
jati diri dan emosi, sebab antara kepribadian dan kebudayaan memiliki
keterkaitan yang erat.

2.2. Pendekatan, Ilmu Bantu , dan Jenis penelitian Antropologi


Pendekatan yang dipakai dalam antropologi menggunakan pendekatan
kuantitatif (positivistik) dan kualitatif (naturalistik). Artinya dalam penelitian
antropologi dapat dilakukan melalui pengkajian secara statistik-matematis baik
dilakukan untuk mengukur pengaruh maupun korelasi antar variabel penelitian,
maupun dilakukan secara kualitatif-naturalistik.
Selain dikenal pendekatan positivistik dan naturalistik, menurut Kapplan
dan Manners (1999: 6) dalam antropologi juga dikenal pendekatan relativistik dan
komparatif. Pendekatan relativistik memandang bahwa setiap kebudayaan
merupakan konfigurasi unik yang memiliki cita rasa khas dan gaya serta
kemampuan tersendiri. Keunikan ini sering dinyatakan dukungan maupun tanpa
dukungan bukti serta tidak banyak upaya membahas atau menjelaskannya.
Memang dalam pengertian tertentu, setiap budaya itu unik, persis sebagaimana
uniknya individu, tiap helai rambut, dan tiap atom di alam semesta tidak sama.
Akan tetapi bagaimana kita pernah mengetahuinya jika tidak lebih dulu
membandingkan suatu budaya dengan budaya lain? Keberadaan tersebut kadarnya
bermacam-macam. Andai kata suatu fenomena sepenuhnya unik, kita mustahil
akan memahaminya. Karena kita mampu memahami suatu fenomena, hanya
dengan memahami bahwa ia mengandung beberapa kemiripan tertentu dengan

3
hal-hal yang telah  kita kenal sebelumnya. Di sini kaum relativis menyatakan
bahwa suatu budaya harus diamati sebagai suatu kebulatan tunggal, dan hanya
sebagai “dirinya sendiri”.
Sedangkan kaum komparativis berpendapat bahwa suatu institusi, proses,
kompleks atau ihwal sesuatu hal, haruslah terlebih dahulu dicopot dari matriks
budaya yang lebih besar dengan cara tertentu sehingga bisa dibandingkan dengan
institusi, proses, kompleks, atau ikhwal-ikhwal dalam konteks sosiokultural lain.
Adanya relativitas yang ekstrem, berangkat dari anggapan-anggapan bahwa tiada
dua budaya pun yang sama; bahwa pola, tatanan dan makna akan “dipaksakan”
jika elemen-elemen diabstrasikan demi perbandingan. Oleh karenanya
pembandingan bagian-bagian yang telah diabstrasikan dari suatu keutuhan,
tidaklah bisa dipertahankan secara analitis.
Namun karena pemahaman tentang ketidaksamaan itu bersumber dari
perbandingan, maka tidak bisa kita katakan bahwa pendekatan relativistik itu tidak
memiliki titik temu dengan pendekatan komparatif. Tik temu kedua tersebut
terletak pada pasal tidak diijinkannya “pemaksaan”. Terutama soal-soal yang
berkaitan dengan ideologi, minat dan tekanan yang menimbulkan keragaman
pendekatan metodologis itu. Sebab komparatif dan relativis sama-sama
mengetahui bahwa tidak ada dua budaya pun yang sama persis. Sungguh pun
demikian, mereka berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut paling tidak du hal
penting; (1) walaupun para komparativis mengakui bahwa semua bagian suatu
budaya niscaya ada unsur perbedaannya, namun mereka percaa dan menekankan
pada unsur persamaannya, yang saling kait-mengait secara fungsional; (2)
sebaliknya kaum relativis sangat menekankan masalah-masalah perbedaan
dibandingkan komparativis (Kapplan dan Manners, 1999: 6-8).
Peranan ilmu kesehatan masyarakat dalam antropologi adalah memberikan
pemahaman tentang sikap penduduk yang ditelitinya tentang kesehatan, tentang
sakit, pengobatan tradisional, terhadap pantangan-pantangan kebiasaan dan
makanan dan sebagainya. Kemudian peranan ilmu psikiatri dalam antropologi
merupakan suatu pengulasan dari hubungan antara ilmu antropologi dan
psikologi, yang kemudian mendapat fungsi praktis setelah memahami tingkah
laku manusia dengan segala latar belakang dan proses-proses mentalnya. Begitu

4
pula peranan ilmu linguistik dalam antropologi memiliki kontribusi besar dalam
mengembangkan konsep-konsep dan metode-metode untuk mengupas segala
macam bentuk bahasa dan asalnya. Demikian juga dapat dicapai suatu pengertian
tentang ciri-ciri dasar dari tiap bahas di dunia secara cepat dan mudah dipahami
(Koentjaraningrat, 1983: 33).
Peranan ilmu sejarah dalam antropologi, memiliki arti penting dalam
memberi gambaran, latar belakang tentang kehidupan masa lalu sebagai mana
dilukiskan dalam berbagai peninggalan, seperti; dokumen, prasasti, naskah
tradisional, arsip kuno, dan lain sebagainya. Para antropolog memerlukan sejarah
terutama sejarah dari suku-suku bangsa yang ditelitinya. Selain itu juga untuk
memecahkan persoalan-persoalan alkulturasi, difusi yang bersifat eksternal.
Sedangkan peranan geografi dalam antropologi adalah memberikan deskripsi
tentang bumi serta ciri-ciri iklim dan lingkungan fisik lainnya yang
mempengaruhi fisik dan kebudayaan masyarakatnya. Lain lagi dengan peranan
ilmu ekonomi dalam peranannya terhadap antropologi adalah memberikan
gambaran aktivitas kehidupan ekonominya yang sangat dipengaruhi sistem
kemasyarakatannya, untuk bahan komparatif tentang berbagai hal misalnya sikap
kerja terhadap kekayaan, sistem gotong-royong, kebiasaan menghadapi musim
paceklik, dll. Begitu juga peranan ilmu hukum adat bagi antropologi, bisa
memberikan jawaban tentang masalah-masalah hidup yang bersifat perdata, sosial
kontrol, dan pengendalian sosial lainnya yang menggambarkan keteraturan hidup
masyarakat yang ditelitinya. Bagi ilmu politik, peranannya dalam antropologi
adalah untuk memahami kekuatan-kekuatan, wewenang, distribusi, serta proses-
proses politik dalam segala macam sistem pemerintahan mereka.
Penelitian komparatif. Untuk penelitian komparatif ini menurut Gopala
Sarana (1975) dalam antropologi terbagi-bagi lagi menjadi 4 macam yakni; (a)
penelitian komparatif dengan tujuan menyusun sejarah kebudayaan manusia
secara inferensial, (b) penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu proses
perubahan kebudayaan, (c) penelitian komparatif untuk taksonomi kebudayaan
dan (d) penelitian komparatif untuk menguji korelasi-korelasi antar unsur, antar
pranata, dan antar gejala kebudayaan, guna membuat generalisasi-generalisasi
mengenai tingkah laku manusia pada umumnya.

5
2.3. Tujuan dan Kegunaan Antropologi
Menurut Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (2002) tujuan
antropologi adalah: Tujuan akademis: untuk mencapai pengertian tentang
makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai bentuk fisiknya,
masyarakat dan kebudayaannya, Tujuan praktis: mempelajari manusia di berbagai
masyarakat suku bangsa di dunia guna membangun masyarakat itu sendiri.
Terkait tujuan ilmu antropologi maka dapat diketahui manfaat mempelajari
antropologi untuk: Mengetahui pola perilaku manusia dalam kehidupan
bermasyarakat secara universal maupun pola perilaku manusia pada tiap-tiap
masyarakat (suku bangsa). Mengetahui kedudukan dan peran yang harus
dilakukan sesuai dengan harapan warga masyarakat dari kedudukan yang sedang
disandang. Memperluas wawasan tentang pergaulan umat manusia di seluruh
dunia yang mempunyai kekhususan-kekhususan sesuai dengan karakteristik
daerahnya sehingga menimbulkan toleransi yang tinggi. Mengetahui berbagai
macam problem dalam masyarakat, memiliki kepekaan terhadap kondisi-kondisi
dalam masyarakat, serta mampu mengambil inisiatif pemecahan masalah.

2.4. Hubungan Antropologi dengan Ilmu sosial Lainnya


a) Hubungan Antara Ilmu Geologi Dan Antropologi
ilmu geologi mempelajari ciri serta perubahan lapisan bumi, dibutuhkan
oleh subilmu antropologi untuk menetapkan umur fosil makhluk tersubut,
serta artefak-artefak dan bekas kebudayaan yng digali dalam lapisan bumi.
b) Hubungan antara ilmu paleontologi dan antropologi
paleontologi sebagai ilmu yang meneliti fosil makhluk zaman dahulu
untuk membuat suatu rekonstruksi tentang proses evolusi bentuk makhluk
dari zaman dahulu hingga sekarang, sangat diperlukan ilmu paleo-
antropologi dan prehistori
c) Hubungan antara ilmu anatomi dan antropologi antropologi fisik
sangat perlu akan ilmu anatomi karena ciri-ciri dari berbagai bagian
kerangka manusia, berbagai bagian tengkorak, dan ciri-ciri dari bagian
tubuh manusia pada umumnya, menjadi objek penelitian yang terpenting

6
dari seorang ahli antropologi-fisik untuk mendapat pengertian tentang asal
mula dan penyebaran manusia serta hubungan antara ras-ras di dunia.
d) Hubungan antara ilmu kesehatan masyarakat dan antropologi
ilmu antropologi dapat memberi metode dan cara untuk segera mengerti
dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan dan adat-istiadat lain.
e) Hubungan antara ilmu psikiatri dan antropologi, merupakan suatu
pengluasan dari hubungan antara ilmu antropologi dan ilmu psikologi,
yang kemudian mendapat fungsi yang praktis.
f) Hubungan antara ilmu linguistik dan antropologi
Ilmu linguistik telah berkembangan menjadi suatu ilmu yang berusaha
mengembangkan konsep dan metode untuk mengupas segala macam
bentuk bahasa di dunia. Jadi, dapat dicapai suatu pengertian tentang ciri-
ciri dasar dari tiap bahasa di dunia secara cepat dan mudah.
g) Hubungan antara ilmu arkeologi dan antropologi
ilmu arkeologi meneliti sejarah dari kebudayaan kuno dalam zaman purba,
sebagai bahan penelitian menggunakan bekas-bekas bangunan kuno, tetapi
prasast atau buku kuno yang ditulis dalam zaman kebudayaan itu berjaya.
h) Hubungan antara ilmu sejarah dan antropologi
antropologi memberi bahan prehistori sebagai pangkal bagi tiap penulis
sejarah dari tiap bangsa di dunia. Selain itu, banyak masalah tentang
historigrafi sejarah suatu bangsa dapat dipecahkan dengan metode-metode
antropologi.
i) Hubungan antara ilmu hukum adat Indonesia dan antropologi
antropologi dianggap penting karena hukum adat bukan merupakan suatu
sistem hukum yang telah diabstraksikan sebagai aturan-aturan dalam kitab
undang-undang, melainkan timbul dan hidup langsung dari masalah
perdata yang berasal dari dalam aktivitas masyarakat.

j) Hubungan antara ilmu geografi dan antropologi


antropologi adalah satu-satunya ilmu yang mampu menyelami masalah
beragam manusia, maka tentu saja ilmu geografi tidak dapat mengabaikan
ilmu antropologi. Seorang sarjana antropologi juga memerlukan

7
pengertian tentang geografi, karena banyak masalah kebudayaan manusia
yang mempunyai hubungan dengan keadaan lingkungan alamnya.

2.5 Objektivitas dalam Antropologi


Masalah lama ilmu-ilmu social yang belum terpecahkan sampai sekarang
adalah mengenai kesenjangan peneliti. Sebab sebagaimana mungkin dpat
diharapkan tercapainya ilmu pengetahuan yang objektif mengenai dapat
diharapkan tercapainya ilmu sosial adalah sekaligus sebagai ideologinya?
Barangkali soal ini lah yang paling sulit dan menjadi kendala, terutama
dalam antropologi karena dalam cara pengumpulan data dasarnya yang rumit
dalam persoalan tersebut. Secara tradisional menurut David kapplan dan Albert A.
Manners, antropologi berkecimplung selama satu tahun atau lebih dalam kancah
suatu budaya yang eksotik yang dipelajarinya, mengamati Lembaga-lembaga,
pranata, dan cara hidup (Kapplan dan Manners, 1999:32). Selanjutnya, Kapplan
dan Manners mengemukakan sebagai berikut :
Kemudian antroplog itu pulang dan menulis laporan mengenai “cara hidup
suku…” akan tetapi, seberapa jauhkah catatan itu merupakan pantulan bias pribadi
si antropolog itu sendiri, rasa suka dan tidak Sukanya sendiri? Masalah ini
berulang kali disadari dengan penuh keprihatinan oleh para antropolog. Mungkin
kasus yang klasik ialah tepoztlan, suatu dusun di meksiko selatan. Etnografi awal
mengenai tepoztlan disusun oleh Robert Redfield pada akhir tahun 1920-an.
Gambaran yang muncul dari catatan itu ialah suatu komunitas yang harmonis,
egaliter, tentram dan damai.
Hal itu berbeda dengan laporan Oscar lewis yang sama- sama mempelajari
Tepoztlan kira-kira 20 tahun setelah Redfield, mengemukakan masyarakat
Tepoztlan sebagai komunitas yang ditandai dengan perbedaan tajam dalam hal
kekayaan dan tercabik-cabik oleh konflik antar pribadi yang tinggi. Dapatlah
dikatakan bahwa perbedaan kedua antropolog itu minimal terdapat dua
kemungkinan.
1. Terjadi karena memang adanya perubahan selama kurun waktu 20 tahun. Jika
memang hanya karena perubahan selama 20 tahun, barangkali tidak
mengancam objektivitas antropologi.

8
2. Mereka memperoleh hasil yang berbeda karena ditentukan oleh bagaimanakah
cara mereka memperoleh laporan, dimana kepentingan pribadi, kelompok atau
golongan, agama, dan ideologi ikut serta memengaruhi penilaian baik dan
buruk terhadap sesuatu yang dikajinya.
Untuk itu, menurut Kapplan dan Manners (1999:32) semua ilmu sosial dan
bukan hanya antropologi mengalami bias. Keliru jika kita bermaksud
mendapatkan objekvitas dalam pemikiran dan sikap antropolog selaku individu.
Bukan disana kita harus mencarinya, melainkan seperti ditulis oleh Karl
Popper objektivitas haus dicari dalam institusi dan tradisi kritik suatu disiplin
(Popper,1964:155-159). Hanya dengan saling memberi dan menerima kritik suatu
disiplin (Popper,1964:155-159) hanya dengan saling memberi dan menerima
kritik terbuka serta melalui saling mempengaruhi antara bermacam-macam
biasdapat berharap akan munculnya sesuatu yang mendekati objektivitas. Dengan
kata lain objektivitas hakiki sesuatu disiplin ilmu di upayakan dan di tingkatkan
secara kumulatif dari masa ke masa.catatan Redfield dan lewis telah merangsang
suatu pertukaran kritik dan ulasan yang didasarkan pada perbandingan antara
kedua catatan itu dengan catatan-catatanmengenai komunitas petani lain,
khususnya di meksiko (lewis,1961:174-184). Dari situ penulis yakin telah
dihasilkan potret yang mendekati objektif mengenai kehidupan petani.
Jika semua orang termasuk antropolog memandang dunia melalui layar
penyaring yang berbentuk dari nilai-nilai bias (tidak objektif)dari sudut pandang
individual apakah ilmu-ilmu sosial lainnya pun bebas nilai? Cukup banyak ilmuan
sosial yang memangmenyangkal adanya kemungkinan tersebut.karena semua
pengetahuan mengenai fenomena sosio kultural niscaya memantulkan
kesenjangan (bias ataupun subjektif) perseorangan. Maka pencarian objektivitas
dan netralitas adalah angan-angan belaka yang tidak pernah terlaksana.
Salah satu kelemahan pendapat semacam itu adalah kaum antropolog
berusaha menempatkan objektivitas itu dalam pemikiran dan sikap para
peneliti.padahal, tempat yang lebih layak untuk mencari dan menemukan
objektivitas adalah dalam tradisi kritik suatu disiplin. Sikap elavistik seperti itu
masih memiliki kelemahan lain, yaitu disana tidak dibedakan antara apa yang oleh
filsuf ilmu disebut konteks penemuan dengan konteks justifikasi (Kapplan dan

9
Manners,1999:33). Kesenjangan dan nilai individual memiliki pean dalam
konteks penemuan, tetapi keduanya tidak serta merta dan memang tidak boleh
memiliki pean penting dalam konteks justifikasi. Seperti yang Kapplan (1964:232)
kemukakan berikut ini :
… sementara pertanyaan tentang sumber suatu pengetahuan ilmiah dapat
dijelaskan motivasi seorang ilmuwan dalam menyatakan gagsan tertent,
pertanyaan tersebut tidak memiliki relevansi logis dengan suatu penilaian
kritis tentang kesahihan atau validitas gagasan itu.

Selanjutnya, Kaplan mengemukakan lebih jauh seperti beberapa kritikus


tergoda untuk mengesampingkan rumusan Marx dengan alasan Marx seorang
yahudi dan Kurdistan. Alasan semacam itu jelas merupakan suatu yang tidak logis
dan perlu diabaikan.sebaliknya, gagsan dan teori-teori Marx akan tetap berdiri
tegak maupun runtuh sesuai dengan kandungan kemampuan logis dan kebenaran
gagasan kebenaran ilmuan itu sendiri. Apapun yang menjadi sumber gagasan atau
teori seseorang, jika kita tidak mau mengakui bahwa ada standar yang bersifat non
personal untuk menilai bukti dan argumentasinya maka antropologi dan mungkin
seluruh ilmu sosial akan menjadi tidak lebih dari himpunan ideologi belaka
(Kapplan dan Manners, 1999:34).

2.6. Sejarah Perkembangan Antropologi


Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam
perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu
Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk
menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia.
Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga
banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah
petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian
ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan
dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan,
susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi
tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan
etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
10
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian,
pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan
etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar.
Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan
bahan etnografi.
Fase Kedua (tahun 1800-an) Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut
telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi
masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara
perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap
bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitive yang tertinggal,
dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya. Pada fase
ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan
kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang
tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Fase Ketiga (awal abad ke-20) Pada fase ini, negara-negara di Eropa
berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika,
Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut,
muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli,
pemberontakanpemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa
serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial
negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian
menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan
etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan
dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Fase Keempat (setelah tahun 1930-an) Pada fase ini, Antropologi
berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di
jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa
Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia
II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan
membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total.
Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan
kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga, muncul semangat

11
nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu
penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun
banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa
Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses
perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi
ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku
bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan
Lapp.

2.7 Konsep-konsep Antropologi


Sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, pengunaan konsep dalam
antropologi adalah penting karena pengembangan konsep yang terdefinisikan
dengan baik merupakan tujuan dari setiap disiplin ilmu. Antropologi sebagai
disiplin ilmu yang relative bar uterus berusaha mengidentifikasi dan
mengembangkan konsep, walau tidak seperti ilmu-ilmu lainnya yang lebih dahulu
settle to stand up. Namun memang, tetap tidak mudah untuk menyamakan suatu
persepsi.benar menurut Keesing (1958:152) yang mengemukakan no two
anthropologists think exactly alike, or use precisely the same operating concept
or symbols. ‘tidak ada dua ahli antropologi yang berpikirnya sama persis, atau
menggunakan dengan tepat pengoperasian konsep-konsep atau symbol-simbol
yang sama’.
Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi di antaranya:
1. Kebudayaan Dalam bahasa latin, kebudayaan disebut dengan cultura yang
berarti: berkembang dan tumbuh. Kebudayaan mengacu pada kumpulan
pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi, ke generasi
berikutnya.
2. Evolusi merupakan sebuah transformasi yang berlangsung secara bertahap.
3. Cultur area (daerah budaya) Suatu daerah budaya merupakan, daerah
geografis yang memiliki sejumlah ciri-ciri budaya, dan kompleksitas lain yang
dimilikinya.
4. Enkulturasi merupakan sebuah sikap memahami proses kebudayaan sendiri,
maupun kebudayaan orang lain.

12
5. Difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur secara meluas, sehingga
melewati batas tempat di mana kebudayaan itu muncul.
6. Akulturasi merupakan proses ataupun saling mempengaruhi dari satu
kebudayaan asing yang berbeda sifatnya. Lambat laun unsur-unsur
kebudayaan yang ada, diakomodasikan ke kebudayaan itu sendiri. Akan tetapi,
masih memegang unsur kebudayaan aslinya.
7. Etnosentrisme berarti penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai, dan
standar budaya sendiri. Pemahaman seperti ini, dapat menghambat
komunikasi antar-budaya.
8. Tradisi merupakan pola perilaku yang dilakukan berulang kali oleh
sekelompok orang. Lama kelamaan pola perilaku tersebut, menjadi sebuah
tradisi.
9. Ras dan etnik Ras merupakan sekelompok orang yang memiliki beberapa
kesamaan berdasarkan aspek fisik yang disebabkan karena adanya faktor
keturunan.
10. Stereotip Menurut Fred E. Jandt, dalam bukunya yang berjudul Intercultural
Communication: An Introduction bahwa stereotip merupakan salah satu
penghambat terjadinya komunikasi antarbudaya. Stereotip adalah persepsi
terhadap seseorang berdasarkan kelompok mana orang itu dikategorikan atau
berdasarkan keyakinan tertentu.
11. Kekerabatan Menurut Malinowski, keluarga atau kekerabatan merupakan
suatu institusi domestik yang bergantung pada afeksi. Selain itu, konsep
kekerabatan juga ingin menegaskan bahwa tujuan dari keluarga adalah
membesarkan anak.
12. Magis Menurut antropolog J.G Frazer, dalam karyanya yang berjudul Golden
Bough, magis berarti penerapan yang salah dalam dunia materiil. Dunia
materiil ini mendukung adanya pemikiran terkait dunia yang semu.
13. Tabu Dalam ilmu antropologi, tabu berarti terlarang. Dalam hal ini, contoh
tabu adalah bersentuhan dengan kepala suku.
14. Perkawinan Secara umum, konsep perkawinan mengacu pada konsep formal
pemaduan hubungan 2 individu yang berbeda jenis dan dilakukan secara
seremonial-simbolis, serta semakin dikaraterisasi oleh adanya kesederajatan,

13
kerukunan, dan kebersamaan dalam hidup berpasangan. Di sebagian besar
tradisi, perkawinan juga dimaknai sebagai proses institusi sosial dan wahana
untuk mengembangkan keturunan.

2.8 Genereralisasi-Generalisasi Antropologi


a) Budaya Dalam mengapresiasi budaya bangsa, setiap kebudayaan selain
memilki kelemahan juga memilki keunggulan. Oleh karena itu, tidak akan ada
suatu bentuk kebudayaan yang sempurna.
b) Evolusi Evolusi tidak terbatas pada bidang biologi saja, tetapi meluas pada
bidang sosial dan kebudayaan. Dalam bidang sosial, kita mengenal evolusi
universal dari Herbert Spencer,dalam bidang keluarga dikenal evolusi
keluarga J.J. Bachoven, dalam bidang agama dan kepercayaan dikenal evolusi
animisme, religi dan magis dari E.B. Taylor dan J.G. Frazer, dalam bidang
kebudayaan dikenal evolusi kebudayaan E.B. Taylor dan L.H. Morgan, serta
dalam sosiokultural dikenal evolusi sosiokultural dari Sahlins dan Haris.
c) Culture Area Pertumbuhan kebudayaan menyebabkan timbulnya unsure-unsur
baru yang akan mendesak unsur-unsur budaya lama kearah pinggir, sekeliling
daerah pusat pertumbuhan budaya itu. Oleh karena itu, jika hendak mencari
atau meneliti unsur-unsur budaya kuno maka tempat untuk mendapatkannya
adalah di daerah-daerah pinggiran sebagai culture areanya.
d) Enkulturasi Pada hakikatnya, proses enkulturasi (proses mempelajari
kebudayaan) seseorang terhadap budaya orang lain itu diperlukan, guna
menumbuhkembangkan sikap toleransi dan saling menghargai kebudayaan
yang beragam dalam suatu pendidikan multikultural maupun pendidikan
global.
e) Difusi Orang dapat saja beranggapan bahwa dengan meluasnya unsur-unsur
budaya megalith Mesir kuno, yang berda di kawasan Afrika, Laut Tengah,
Mesopotamia, India, Indonesia, Polinesia, sampai ke Amerika, kemudian
menyimpulkan bahwa telah terjadi proses difusi budaya heliolithic.
f) Akulturasi Dalam proses akulturasi, biasanya budaya overt atau lahiriah jauh
lebih berkembang dibanding budaya covert atau tersembunyi.

14
g) Etnosentrisme Pada hakikatnya, setiap bangsa memliki etnosentrisme atau
penilaian yang baik terhadap sikap-sikap dan pola kebudayaan kelompoknya
sendiri. Hanya intentisitasnyalah yang berbeda-beda, ada yang sedikit dan ada
pula yang sangat etnosentris. Suatu bangsa, semakin tinggi etnosentrisnya,
akan semakin memperbanyak saingan dan lawan dalam kehidupan
internasional.
h) Tradisi Bagi pendukung antropologi aliran fungsionalisme, tradisi pada
hakikatnya adalah aktivitas kebudayaan yang bermaksud untuk memuaskan
suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang
berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
i) Ras dan Etnik Ras merupakan suatu konsep biologi yang valid. Ia tidak
sekadar menggambarkan morfologinya, yakni struktur fisik yang diamati,
tetapi juga komposisi genetik sub-subbagian spesies itu, seperti gen untuk
golongan darah dan untuk protein-protein spesifik. Sedangkan konsep etnik
lebih merujuk kepada kesatuan-kesatuan sosial dalam sistem sosial
kebudayaan yang memiliki arti atau kedudukan tertentu karena keturunan,
adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan kapabilitas tiap
ras dan etnis, tidak ada di dunia ini yang menjadi ras dan etnis yang superior
atau inferior.
j) Stereotif Berkembangnya prasangka dan stereotif antaretnik yang terjadi di
Indonesia merupakan salah satu faktor penyebab hambatan dalam
mewujudkan multikulturalisme bangsa Indonesia yang pada gilirannya akan
memperlemah rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
k) Kekerabatan Ikatan ibu dan anak dapat diamati dan dinilai secara universal,
tetapi peran ayah dan ibu dalam masyarakat tradisional sangatlah bervariasi.
Oleh karena itu, sistem kekerabatan pada masyarakat tradisional tidak dapar
digenelarisir secara universal. Namun demikian, harus diakui bahwa gagasan
yang hampir sama mengenai perkawinan yang menghindari tabu insect, yaitu
perkawinan antara keturunan yang memilki hubungan darah yang sangat
dekat, dapat diteliti pada masyarakat-masyrakat tradisional bahkan modern
sekaligus.

15
l) Magis memang kejam, jahat, dan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan. Namun, perkembangan magis pernah mengalami masa-
masa jaya pada masa kehidupan primitive
m) Tabu, Pada setiap tatanan masyarakat tradisional, tabu selalu ada. Dalam
pandangan kaum fungsionalis, tabu pun memiliki nilai-nilai kegunaan yang
perlu dijaga oleh masyarakatnya dalam uapaya pemenuhan kebutuhan
hidupnya (Koentjaraningrat 1987:171)
n) Perkawinan, pada semua masyarakat, untuk mengatur proses pemilihan
pasangan dan perkawinan memiliki norma atau peraturan yang begitu
kompleks. Upacara perkawinan merupakan suatu ritual perpindahan bagi
setiap pasangan. Seorang pemuda dan pemudi dewasa secara ritual memasuki
kedudukan kedewasaan dengan hak-hak dan kewajiban baru. Ia pun
menandakanadanya persetujuan masyarakat atas ikatan itu (Goode, 2002:64)

2.9 Teori-Teori Antropologi


a) Teori Orientasi Nilai Budaya dari Kluckhohn
Menurut teori tersebut, hal-hal yang paling tinggi nilainya dalam
kebudayaan hidup manusia minimal ada 5 hal, yaitu:
a. Human Nature atau makna hidup manusia
b. Human Nature atau makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
c. Time yaitu persepsi manusia mengenai waktu
d. Activity yaitu masalah makna dari pekerjaan,karya,dan amal dari perbuatan
manusia
e. Relational yaitu hubungan manusia dengan sesame manusia

b) Teori Evolusi Sosiokultural Paralel-konvergen-Devergen Sahlins dan


Harris
1. Evolusi Sosiokultural meliputi seluruh sistem sosiokultural maupun
komponen-komponen yang terpisah. Biasanya, terjadinya perubahan berawal
dari suatu komponen dari suatu komponen atau subkomponen dan perubahan
ini menimbulkan perubahan-perubahan pada komponen yang lain.
2. Evolusi Paralel merupakan evolusi yang terjadi dalam dua atau lebih sosio

16
budaya atau masyarakat yang berkembang dengan cara yang sama dan
dengan tingkat pada dasarnya sama.
3. Evolusi Konvergen terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula berbeda
perkembangannya, namun akhirnya mengikuti pola yang serupa
kemajuannya.
4. Evolusi Divergen terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula mengikuti
banyak persamaan yang serupa, namun akhirnya mencapai tingkat
perkembangan yang jauh berbeda.

c) Teori Evolusi Kebudayaan Lewis H. Morgan


Delapan tahap tentang evolusi kebudayaan secara universal:
1. Zaman Liar Tua
2. Zaman Liar Madya
3. Zaman Liar Muda
4. Zaman Barbar Tua
5. Zaman Barbar Madya
6. Zaman Barbar Muda
7. Zaman Peradaban Purba
8. Zaman Peradaban Masa Kini

d) Teori evolusi animisme dan megic dari tailor dan Frazer


Secara garis besar, inti teorinya sebagai berikut:
1. Animisme, adalah suatu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup di
balik semua benda.
2. Asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, disebabkan
dua hal yaitu :
a) Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan
mati.
b) Peristiwa mimpi, di mana ia melihat dirinya di tempat lain yang
menyebabkan manusia membedakan antar tubuh jasmani dan rohani.
3. Manusia memecahkan beberapa persoalan hidupnya selalu dengan akal dan
sistem pengetahuan.

17
4. Antara agama dan megic itu berbeda. Agama adalah cara mengambil hati
untuk menenangkan kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, yang
menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan nasib kehidupan
manusia. Sedangkan magic di lihatnya sebagai usaha untuk memanipulasi
hukum-hukum alam tertentu yang dipahami.

e) Teori evolusi keluarga J.J Bachove


Inti teori evolusi keluarga dari Bachoven tersebut bahwa seluruh
keluarga di seluruh dunia mengalami perkembangan melalui empat tahap,
sebagai berikut:
1. Tahap promispuitas, manusia hidup serupa binatang berkelompok, laki-laki
dan perempuan berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunan tanpa
ikatan.
2. Lambat laun manusia sadar akan hubungan natara ibu dengan anaknya
sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat.
3. Tingkat berikutnya adalah sistem patriarchat, dimana ayah menjadi kepala
keluarga.
4. Perkawinan tidak selalu dari luar kelompok (eksogami), tetapi dapat juga
dari dalam keluarga yang sama (endogami).

f) Teori upacara sesaji Smith


Menurut Koentjaraningrat dikemukakan bahwa pada umumnya terdapat 3
gagasan penting mengenai asas-asas religi dan agama sebagai berikut:
1. Gagasan pertama, disamping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara
pun merupakan suatu perwujudan dari religi yang memerlukan studi analisi s
khusus.
2. Gagasan kedua, upacara religi atau agama tersebut, biasanya dilaksanakan
oleh banyak masyarakat dan memiliki fungsi sosial untk mengintensifkan
solidaritas masyarakat.
3. Pada prinsipnya, upacara sesaji, hakikatnya sama denga asuatu aktivitas
untuk mendorong rasa soidaritas dengan para dewa.

18
BAB III
REFLEKSI MATERI

Antropologi dikatakan sebagai salah satu akar atau landasan lahirnya ilmu
komunikasi. Seiring dengan perkembangan antropologi tersebutlah akhirnya para
ahli budaya melihat jika dalam budaya juga sangat tergantung pada komunikasi.
Hal inilah yang kemudian dikaji mengenai proses dari komunikasi tersebut
sehingga lahirlah ilmu komunikasi dari antroplogi. Namun untuk lebih jelasnya
mengenai keterkaitan tersebut sebaiknya kita terlebih dahulu melihat menganai
antopologi dan komunikasi itu sendiri.
Kebudayaan adalah komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah
keterampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-
simbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi.
Menurut Levo-Henriksson (1994), kebudayaan itu meliputi semua aspek
kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup – apapun bentuknya – baik
itu mitos maupun sistem nilai dalam masyarakat. Ross (1986,hlm 155) melihat
kebudayaan sebagai sistem gaya hidup dan ia merupakan faktor utama (common
domitor) bagi pembentukan gaya hidup
Antropologi sangat bermanfaat untuk dipelajari baik bagi kebudayaan,
individu maupun untuk mengembangkan keilmuan itu sendiri. Manfaat
mempelajari antropologi, antara lain:
1. Mengetahui pola perilaku masyarakat yang dapat digunakan untuk
mengembangkan kebudayaan
2. Menjelaskan peran manusia dalam suatu masyarakat sehingga sesuai
dengan harapan masyarakat terhadap dirinya
3. Meningkatkan toleransi karena adanya karakteristik yang berbeda dari tiap
budaya.
4. Memperluas pengetahuan mengenai karakteristik suku bangsa yang
berbeda
5. Mengidentifikasi berbagai jenis permasalahan dalam masyarakat sehingga
tercipta solusi untuk menyelesaikannya.

19
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir
atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri
fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih
memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam
arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti
sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan
kehidupan sosialnya.

4.2   Saran
Antropologi sangat besar peranannya dalam perkembangan kehidupan
manusia sehingga diharapkan kepada kita semua untuk selalu mengembangkan
wawasan dan memperdalam pemahaman tentang kehidupan masyarakat yang
berkaitan dengan antropologi

20
DAFTAR PUSTAKA

Dadang Supardan, 2007, Pengantar Ilmu Sosial, Bandung: Bumi Aksara

Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Kupper, Adam, 2000a, “Antropologi” dalam Adam Kuper dan Jessica Kupper
(ed),  Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar
dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Hlm. 29-33.

Kupper, Adam, 2000b, “Kekerabatan” dalam Adam Kuper dan Jessica Kupper
(ed)  Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar
dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Hlm. 553-535.

Lechte, John, 2001, 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Post


Modernisme, Diterjemahkan A. Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Kanisius
.
Humm, Maggie, 2000, “Teori Feminisme” dalam Adam Kuper dan Jessica
Kupper, Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan oleh Haris
Munandar, Jakarta: Raja Grafindo Persada

21

Anda mungkin juga menyukai