Disusun oleh:
Desti Nur Wahyunita (061940420279)
Sintia Muharani (061940420275)
Risa Aulia (061940422010)
Kelompok : 2
Kelas : 4 KIA
ii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Komposisi Kandungan Abu pada Beberapa Biomassa
Lignoselulosa ........................................................................................ 13
2.2 Syarat Mutu Bioetanol Untuk Campuran BBM ..................................... 14
3.1 Hasil Percobaan Pengaruh Konsentrasi terhadap Kadar Bioetanol ........ 18
3.2 Hasil analisa pengaruh kadar bioetanol terhadap nilai kalor ................. 18
3.3 Hasil analisa pengaruh kadar bioetanol terhadap densitas .................... 18
3.4 Hasil analisa pengaruh kadar bioetanol terhadap indeks bias ................ 19
4.1 Biaya Bahan Habis Pakai ....................................................................... 24
4.2 Anggaran Honorium ............................................................................... 24
4.3 Anggaran Biaya Analisa Produk ............................................................ 24
4.4 Biaya Lain-Lain ...................................................................................... 25
4.5 Rekapitulasi Anggaran Biaya Pembuatan Bioetanol Menggunakan
Kertas Bekas............................................................................................ 25
4.6 Jadwal Pelaksanaan Pembuatan Bioetanol dari kertas bekas
menggunakan metode hidrolisis asam..................................................... 25
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Rumus Bangun Struktur Molekul Selulosa ............................................ 9
2.2 Gula Penyusun Hemiselulosa ................................................................. 10
2.3 Gugus Struktur dan Fungsional Lignin Kayu Lunak dan Keras ............ 12
3.1 Blok Diagram Pembuatan Bioetanol Menggunakan Kertas Bekas ........ 17
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
bioetanol yang pada selama ini dari bahan baku yang mengandung gula atau pati-
patian langsung, menjadi bahan-bahan yang mengandung lignoselulosa (Charisma
dan Budi, 2017). Pada umumnya, kertas mengandung lebih dari 90% kadar
selulosa yang memungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi bioetanol. Bahan baku
yang tersedia melimpah di Indonesia dan iklim yang sesuai untuk pertumbuhan
tanaman selulosa akan meningkatkan industri bioetanol berbahan baku
Lignoselulosa.
Bahan lignoselulosa merupakan substrat terbanyak yang penggunaanya belum
dilakukan secara maksimal, namun komponen dari bahan lignoselulosa ini
sangatlah kompleks, sehingga dalam penggunaannya sebagai substrat untuk
pembuatan bioetanol harus melalui tahapan-tahapan prosees seperti pretreatment
dan delignifikasi untuk menghilangkan selulosa dan hemiselulosa dari ikatan
kompleks lignin, depolimerisasi untuk mendapatkan gula bebas dan fermentasi
gula untuk mendapatkan produksi bioetanol (Anindyawati, 2009). Lignoselulosa
yang sudah dipecah menjadi gula sederhana dari metode pretreatment dan
hidrolisis kemudian diubah menjadi etanol dengan proses fermentasi. Proses
hidrolisa selulosa tadi dapat dilakukan dengan metode enzimatik atau metode
asam encer. Hidrolisa selulosa secara enzimatik memberi persen yield etanol yang
sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode hidrolisa asam (Palmqvist
and Hahn-Hägerdal, 2000). Proses enzimatik merupakan proses dengan biaya
yang sangat mahal jika dibandingkan dengan metode asam encer. Pada penelitian
ini dipelajari pengaruh konsentrasi asam sulfat terhadap kadar bioetanol yang
dihasilkan dari limbah kertas melalui proses hidrolisa enzim dan dilanjutkan
dengan fermentasi.
2
bekas terhadap kadar bioetanol dari kertas bekas dengan metode hidrolisis
enzimatik. Enzim yang digunakan pada penelitian ini adalah enzim selulase.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bioetanol
Etanol merupakan hidrokarbon dengan gugus hydroxyl (-OH) dengan 2
atom karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum etanol lebih dikenal
dengan etil alkohol berupa bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman
yang mengandung karbohidrat (pati) seperti ubi kayu, ubi jalar, sorgum, beras,
ganyong dan sagu yang kemudian dipopulerkan dengan nama bioethanol.
Bahan baku lainnya adalah tanaman atau buah yang mengandung gula
seperti tebu, nira, buah mangga, nanas, pepaya, anggur, lengkeng, dll. Bahan
berserat (selulosa) seperti sampah organik dan jerami padi pun saat ini telah
menjadi salah satu alternatif penghasil bioetanol. Bahan baku tersebut merupakan
tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir diseluruh wilayah Indonesia,
sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk
dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bietanol.
Secara lebih rinci bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bioetanol
dibagi menjadi empat generasi, yaitu Bioetanol generasi satu (G1) yang
menggunakan bahan baku yang mengandung pati atau bahan yang mengandung
gula. Bioetanol generasi dua (G2) menggunakan bahan baku yang berasal dari
biomassa lignoselulosa. Bioetanol generasi tiga (G3) menggunakan bahan baku
yang berasal dari mikroalga maupun makroalga. Bioetanol generasi empat (G4),
yang kadang-kadang disebut bioetanol lanjut (advanced bioethanol), dihasilkan
dari biomassa atau oleh mikrob yang telah mengalami proses modifikasi genetika.
2.1.1. Bioetanol generasi Satu
Bioetanol G1 merujuk pada etanol yang terbuat dari gula atau pati. Bahan
baku untuk produksi bioetanol G1 bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik
yang secara langsung menghasilkan gula sederhana (tebu dan sorgum manis)
maupun tanaman yang meng- hasilkan pati (jagung, ubi kayu, dan gandum). Jenis
tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber bahan baku bioetanol generasi
satu dapat dilihat pada Gambar 2.1.
4
Sumber: Dimodifikasi dari Monceaux (2009); Naik, Goud, Rout, dan Dalai (2010)
Gambar 2.1 Pengelompokan Tanaman Sumber Bahan Baku Bioetanol G1
5
tetapi teknologi enzim terus berkembang untuk menghidrolisis pati secara
efisien (Comprehensive cellulosic ethanol report: A detail report on
cellulosic ethanol, 2010; Zheng dkk., 2009).
Kemudian, larutan gula yang diperoleh dari proses hidrolisis
difermentasi dengan bantuan ragi. Ragi yang digunakan biasanya
Saccharomyces cerevisiae. Bakteri Zymomonas mobilis juga sering
digunakan dalam proses fermentasi etanol ini. Konsentrasi etanol yang
dicapai dari proses fermentasi adalah 10% (Wahono dkk, 2015). Tahap
terakhir adalah permurnian alkohol hasil fermentasi melalui proses
distilasi dan dehidrasi sehingga dicapai bioetanol kualitas bahan bakar
(kadar > 99,5%). Proses penghilangan air melalui distilasi dan adsorpsi
atau proses dehidrasi lainnya menjadi kunci penting dalam produksi
bioetanol untuk keperluan bahan bakar (Zheng dkk., 2009). Hal ini karena
proses tersebut harus mampu mengatasi sifat azeotropik campuran etanol
dan air sehingga etanol untuk keperluan pencampuran dengan BBM dapat
dihasilkan. Sifat azeotropik terjadi bila ada campuran dua atau lebih
komponen yang saling terikat dengan sangat kuat dan sulit dipisahkan
dengan distilasi biasa. Titik azeotrop alkohol adalah pada kondisi
campuran 96% alkohol dan air 4%. Bagan proses pembuatan bioetanol G1
dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Pembuatan bioetanol G1 akhir-akhir ini dikaji kembali karena empat
alasan. Pertama, bahan yang digunakan berkompetisi dengan bahan
pangan sehingga akan mendorong kenaikan harga komoditi pangan.
Kedua, pembuatan bioetanol GI hanya menggunakan pati sehingga
lignoselulosa yang ada pada bahan baku awal terbuang dan menghasilkan
limbah dalam jumlah besar. Ketiga, mendorong peningkatan produksi
pupuk dan akan berimbas pada biaya ko- moditas pangan. Kempat,
keterbatasan geografi daerah penghasil bahan baku (Bringezu dkk., 2009;
Comprehensive cellulosic ethanol report: A detail report on cellulosic
ethanol, 2010; Ritslaid, Küüt, & Olt, 2010; Zheng dkk., 2009).
6
Sumber: Dimodifikasi dari Monceaux (2009)
Gambar 2.2 Bagan Proses Pembuatan Bioetanol Generasi Satu
7
bioetanol G1 dan bahan bakar fosil. Bioetanol dari lignoselulosa hanya
menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 11 kg CO2-eq per MJ, sementara
bioetanol G1 dan bensin melepaskan emisi berturut-turut sebesar 81 kg CO2-eq
per MJ dan 94 kg CO2-eq per MJ (Farrell dkk., 2006).
Bahan lignoselulosa adalah kombinasi dari tiga polimer yang berikatan
dalam matriks padat. Ketiga polimer tersebut adalah selulosa, hemiselulosa, dan
lignin. Kandungan selulosa dan hemi- selulosa tersebut dapat dikonversi menjadi
bioetanol. Kimiawan Prancis, Henri Braconnot, adalah orang pertama yang
menemukan selulosa yang dapat dihidrolisis menjadi gula dengan menggunakan
asam sulfat pada 1819 (Demirbas, 2009). Gula kemudian diproses untuk
membentuk etanol melalui fermentasi.
Proses hidrolisis adalah proses konversi selulosa/hemiselulosa menjadi
gula monomer (C6 atau C5) dengan menggunakan asam atau enzim. Proses
fermentasi menggunakan ragi, umumnya ragi Saccharomyces cerevisiae,
dilakukan untuk mengubah glukosa (C6) menjadi bioetanol. Ragi Pichia stipitis
juga dapat digunakan untuk mengubah xilosa (C5) menjadi bioetanol.
Rekombinan kedua ragi tersebut biasanya dipakai untuk konversi serentak dari
gula C6 dan C5 menjadi bioetanol (Zhang & Geng, 2012). Tahapan selanjutnya
adalah pemurnian untuk mendapatkan bioetanol kadar tinggi (≥ 99,5%) dengan
proses distilasi dan dehidrasi.
Proses pembuatan bioetanol G2 dapat dilakukan dengan me- tode konversi
biokimia, termobio kimia, atau termokimia. Metode biokimia terdiri atas empat
tahapan, yaitu perlakuan awal (pretreat- ment), sakarifikasi, fermentasi, dan
pemurnian (Bansal, 2010). Pem- buatan bioetanol G2 dengan metode biokimia
akan dibahas pada Bab 4 dan 5. Pembuatan bioetanol dengan metode
termobiokimia adalah proses gasifikasi untuk memecah biomassa menjadi gas
sintesis (campuran karbon monoksida dan hidrogen) dan gas sintesis tersebut
kemudian difermentasi menjadi bioetanol dengan bantuan mikrob.
8
2.1.3. Bioetanol Generasi 3
Jika bioetanol G1 berbahan baku pati atau gula sederhana dan bioetanol
G2 berasal dari biomassa lignoselulosa, bioetanol G3 berasal dari alga (Daroch,
Geng, & Wang, 2013; Harun dkk., 2014; Kumar, Mishra, Shrivastav, Park, & Yang,
2015; Li, Liu, & Liu, 2014; Voloshin, Rodionova, Zharmukhamedov, Vejat, &
Allakhverdiev, 2016). Penggunaan alga sebagai bahan bakar nabati memang bukan
hal yang baru. Namun, semakin menipisnya sumber daya alam penghasil bahan
bakar fosil dan semakin tingginya kesadaran manusia terhadap lingkungan
membuat penelitian mengenai pemanfaatan sumber daya terbarukan seperti alga
akan terus dikembangkan.
Berdasarkan morfologi dan ukurannya, alga dikategorikan menjadi dua
jenis, yaitu makroalga dan mikroalga. Makroalga dapat tumbuh hingga mencapai
panjang 60 m; terdiri atas banyak sel dan memiliki organ yang menyerupai
batang, akar, dan daun seperti tumbuhan tingkat tinggi. Berdasarkan variasi
pigmentasi fotosintesisnya, makroalga diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
utama, yaitu makroalga merah (Rhodophyta), makroalga cokelat (Phaeophyta),
dan makroalga hijau (Chlorophyta) (John, Anisha, Nampoothiri, & Pandey, 2011;
Kraan, 2013). Makroalga merah (Rhodophyta) biasa hidup di daerah tropis,
sementara makroalga cokelat (Phaeophyta) hidup di air yang sangat dingin dan
makroalga hijau (Chlorophyta) dapat hidup di semua jenis air (Bucholc dkk.,
2014).
Makroalga dan mikroalga sama-sama berpotensi sebagai bahan baku
bioetanol. Produktivitas, skala proses, dan kesinambungan suplai adalah faktor
penting dalam pemilihan jenis alga (mikroalga dan makroalga) sebagai bahan
baku untuk bahan bakar nabati (Chen, Zhou, Luo, Zhang, & Chen, 2015). Selain
mengandung karbohidrat, alga juga mengandung protein dan lipid. Hal inilah
yang menjadikan alga potensial untuk dikonversi tidak hanya untuk bioetanol,
tetapi juga untuk bahan bakar nabati lainnya, seperti biodiesel, biolistrik, dan
biooil (Dragone, Fernandes, Vicente, & Teixeira, 2010; Suganya, Varman,
Masjuki, & Renganathan, 2016). Tabel 2.1 memperlihatkan komposisi biokimia
masing-masing makroalga dan mikroalga. Dibandingkan dengan mikroalga,
pemanfaatan makroalga untuk dijadikan sebagai bioetanol kurang mendapat
9
perhatian. Hal ini disebabkan karena walaupun mak- roalga memiliki kandungan
karbohidrat yang tinggi dan lignin yang rendah, glukosa yang terkandung dalam
makroalga, seperti rumput laut (seaweed) hanya sedikit (Milledge, Smith, Dyer, &
Harvey, 2014).
Tabel 2.1 Komposisi Biokimia Makroalga dan Mikroalga (% berat kering)
Alga Karbohidrat Protein Lipid
Makroalga
Ulva lactica 54,3 20,6 6,2
Gelidium amansii 83,6 12,2 0,9
Laminaria japonica 59,5 30,9 1,5
Caulerpa cupressoides 51,75 7,43 10,97
Caulerpa laetevirens 56,25 8,78 8,80
Mikroalga
Porphyridium cruentum 40–57 28–39 9–14
Dunaliela salina 32 57 6
10
hemiselulosa yang bebas dari kungkungan lignin bisa diproses menjadi bioetanol.
Bahan hasil pemecahan lignin juga menjadi inhibitor dalam proses produksi
bioetanol (Hisano, Nandakumar, & Wang, 2009). Tantangan lainnya, limbah dari
proses pemisahan lignin dan bahan kimia dalam pengolahan awal jumlahnya
besar, tergantung jenis biomassa yang digunakan.
Sebagai contoh, limbah lignin mencapai 20–35% dari berat bahan baku
biomassa yang diolah. Kedua tantangan ini sangat memengaruhi biaya produksi
bioetanol G2. Namun, karena etanol sangat dibutuhkan untuk mengurangi
ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, industri bioetanol G2 di beberapa
negara telah beroperasi atau sedang dibangun dalam pada 2013 dan 2014.
Lain lagi tantangan yang dihadapi dalam proses pembuatan bioetanol G3
atau yang terbuat dari alga. Tantangan yang dimaksud adalah energi yang
diperlukan untuk proses pemanenan atau pemi- sahan alga dari air masih sangat
besar. Dengan dilatarbelakangi oleh berbagai tantangan tersebut, pada akhir 1990-
an muncul penelitian yang mencari cara lain guna memanfaatkan biomassa
lignoselulosa dan biomassa non-lignoselulosa, terutama untuk menghasilkan
proses pengolahan awal yang lebih efisien dan lebih ramah lingkungan. Bioetanol
yang dihasilkan dalam penelitian ini disebut bioetanol generasi empat atau G4
(Lu, Sheahan, & Fu, 2011; Saha, Yoshida, Cotta, & Sonomoto, 2013), dan ada
pula yang menyebutnya sebagai etanol lanjut (advanced biofuel) (Aro, 2016).
Pendekatan yang digunakan para ahli untuk menghasilkan bioetanol G4
dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok. Pertama, melakukan modifikasi
genetika untuk mengubah jumlah lignin dalam tanaman. Kedua, melakukan
modifikasi genetika untuk meningkatkan jumlah penyerapan karbon dioksida oleh
tanaman. Ketiga, menggunakan modifikasi genetika bakteri untuk menghasilkan
bioetanol.
11
kelompok kayu keras (hardwood), contohnya kayu jati dan mahoni. Kedua, kayu
lunak (softwood), contohnya kayu pinus. Ketiga, kelompok tanaman herbaceous,
contohnya rumput-rumputan. Biomassa lignoselulosa terdiri atas komponen
selulosa dan hemiselulosa (disebut dengan holoselulosa), lignin, senyawa
ekstraktif, dan mineral yang jumlahnya bervariasi tergantung sumbernya (Mabee,
McFarlane, & Saddler, 2011). Selulosa, hemiselulosa, dan lignin membentuk
struktur yang disebut mikrofibril, yang kemudian bergabung menjadi makrofibril.
Struktur inilah yang menyebabkan dinding sel tanaman menjadi stabil dan kuat
(Rubin, 2008).
1. Selulosa
Selulosa adalah karbohidrat alami yang termasuk golongan polisakarida
dan menjadi komponen utama dalam setiap struktur tanaman. Jumlah selulosa
hasil fotosintesis tanaman diperkirakan mencapai 7,5x1010 ton per tahun
(McKendry, 2002). Selulosa terdiri atas unit monomer D-glukosa yang terikat
melalui ikatan β-1-4-glikosidik. Derajat polimerasi (DP) selulosa bervariasi
antara 7.000–15.000 unit glukosa, tergantung bahan asalnya. Rumus bangun
struktur molekul selulosa pada Gambar 2.3.
Sumber: Digambar ulang berdasarkan Klemm, Philipp, Heinze, Heinze, dan Wagenknecht (1998)
Gambar 2.3. Rumus Bangun Struktur Molekul Selulosa
12
organik. Selain itu, selulosa tidak dapat dicerna manusia dan mamalia.
Struktur amorf pada selulosa mempunyai susunan yang tidak teratur. Efek
dari struktur serat selulosa heterogen ini menyebabkan hanya sebagian kecil
serat selulosa yang dapat dipenetrasi oleh molekul yang lebih besar, seperti
enzim. Makhluk hidup yang mampu mencerna selulosa adalah makhluk hidup
yang menghasilkan enzim selulase, misalnya jamur, bakteri, dan invertebrata
seperti rayap (Judoamidjojo, Said, & Hartoto, 1989).
2. Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan heteropolisakarida rantai cabang dari
polisakarida. Hemiselulosa memiliki rantai utama lurus yang tersusun atas
silosa, dan rantai cabang yang tersusun atas gula pentosa (C5) dan gula
heksosa (C6). Gula pentosa terdiri atas D-silosa dan D-arabinose, sementara
gula heksosa terdiri atas D-glukosa, D-mannosa, dan D-galaktosa, dengan
rumus bangun seperti pada Gambar 2.4.
13
yang satu berikatan dengan gugus hidroksil C2, C3, dan C4 dari molekul
yang lain. Derajat polimerisasi dari hemiselulosa antara 20 sampai 300.
Serat hemiselulosa berbentuk amorf dan tidak membentuk daerah kristalin.
Hal ini menyebabkan hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis menjadi gula.
Hidrolisis hemiselulosa dengan asam kuat encer akan menghasilkan gula
heksosa dan pentosa, seperti silosa, arabinose, dan sedikit glukosa (González,
López‐Santín, Caminal, & Solà, 1985). Hidrolisis lebih lanjut akan
menghasilkan furfural dan produk terdekomposisi lainnya (Gong, Chen,
Flickinger, & Tsao, 1981). Gula pentosa (C5) sulit difermentasi menjadi
etanol (Mussatto & Roberto, 2004). Oleh karena itu, diperlukan enzim dan
ragi yang spesifik untuk mengonversi hemiselulosa menjadi etanol.
3. Lignin
Lignin merupakan senyawa polimer yang berikatan dengan selulosa dan
hemiselulosa pada jaringan tanaman. Lignin berfungsi sebagai perekat
sehingga memberi sifat yang kuat, kaku, dan keras pada struktur tanaman.
Lignin tersusun oleh banyak senyawa sehingga memiliki struktur kompleks
(Novikova, Medvedeva, Volchatova, & Bogatyreva, 2002). Contoh struktur
lignin dapat dilihat pada Gambar 2.5. Lignin bukan polisakarida, melainkan
senyawa polimer tiga dimensi yang terdiri atas fenilphropanoid berupa unit
guasil (G) dari prekusor trans koniferil alkohol, unit siringil (S) dari prekusor
trans sinafil alkohol, dan unit p-hidroksil fenil (H) dari prekursor trans p-
kumaril alkohol. Ketiganya dihubungkan dengan beberapa ikatan berbeda
antara ikatan C-O-C dan C-C. Guasil terdapat pada hampir semua lignin dari
kayu lunak, sedangkan guasil dan siringil terdapat pada lignin dari kayu keras
(Santos, Hart, Jameel, & Chang, 2013). Struktur guasil, siringil, dan
hidroksil fenil pada lignin ditunjukkan pada Gambar 2.5. Secara alamiah,
lignin berfungsi melindungi komponen lain. Jika masih ada lignin, tidak
mudah menghidrolisis selulosa dan hemiselulosa. Ketahanan terhadap
hidrolisis ini disebabkan oleh adanya ikatan eter (Higuchi, 2004).
14
Sumber: Digambar ulang dari Santos dkk. (2013); Zakzeski, Bruijnincx, Jongerius, dan
Weckhuysen (2010)
Gambar 2.5 Gugus Struktur dan Fungsional Lignin Kayu Lunak (a) dan Kayu Keras (b)
Lignin adalah polimer dari gugus aromatik dan bukan merupakan polimer
gula. Lignin dan monomernya tidak bisa difermentasi menjadi bioetanol.
Pada proses konversi biomassa lignoselulosa menjadi bioetanol, lignin
menjadi penghalang dalam proses hidrolisis. Oleh karena itu, perlu perlakuan
awal untuk menghancurkan ikatan lignin agar konversi polisakarida menjadi
bioetanol G2 optimal.
4. Senyawa Ekstraktif
Zat ekstraktif adalah komponen di luar dinding sel biomassa lignoselulosa
yang dapat dipisahkan dari dinding sel. Zat ekstraktif terdiri atas berbagai
jenis komponen senyawa organik, seperti terpen (minyak yang mudah
menguap), asam lemak dan esternya, lilin, alkohol polihidrik, mono dan
polisakarida, alkaloid, dan komponen aromatik. Kandungan zat ekstraktif
dalam biomassa lignoselulosa biasanya kurang dari 10% (Sjöström, 1993a).
Selain itu, zat ekstraktif juga dapat memberikan warna dan bau pada kayu
(Fengel & Wegener, 1995).
5. Mineral
Mineral berasal dari berbagai garam yang terendapkan dalam dinding sel,
lumen, dan beberapa terdapat dalam rongga sel (Sjöström, 1993b). Menurut
Fengel dan Wegener (1995), komponen mineral utama dalam kayu adalah Ca,
K dan Mg, diikuti Mn, Na, P dan Cl. Kandungan mineral pada abu beberapa
biomassa lignoselulosa dapat dilihat pada Tabel. 2.2.
Tabel 2.2 Komposisi Kandungan Abu pada Beberapa Biomassa Lignoselulosa
15
Biomassa SiO2 CaO K 2O P2O5 Al2O3 MgO Fe2O3 SO3 Na2O TiO2
Lignoselulosa (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Tanaman Kayu
Kulit Eucalyptus 10,04 57,74 9,29 2,35 3,1 10,91 1,12 3,47 1,86 0,12
Kulit poplar 1,86 77,31 8,93 2,48 0,62 2,36 0,74 0,74 4,84 0,12
Sisa kayu 53,15 11,66 4,85 1,37 12,64 3,06 6,24 1,99 4,47 0,57
Biomassa Pertanian
Sorgum manis 66,85 10,41 4,49 3,47 0,81 3,12 0,58 3,47 1,47 0,06
Jerami gandum 50,35 8,21 24,89 3,54 1,54 2,74 0,88 4,24 3,52 0,09
Bagas tebu 46,79 4,91 6,95 3,87 14,6 4,56 11,12 3,57 1,61 2,02
16
Tabel 2.3 Syarat Mutu Bioetanol untuk Campuran BBM
Parameter Uji Satuan min/maks Persyaratana)
Kadar etanol b) % v/v, min 99,5 (setelah didenaturasi
dengan denatonium benzoate);
94,0 (setelah didenaturasi
dengan hidrokarbon)
Keterangan:
a) Jika tidak diberikan catatan khusus, nilai batasan (spesifikasi) yang tertera adalah
nilai untuk bioetanol yang sudah didenaturasi dan akan dicampurkan ke dalam
bensin pada kadar sampai dengan 10% v/v
b) Fuel Grade Ethanol (FGE) umumnya memiliki berat jenis dalam rentang 0,7936–
0,7961 pada kondisi 15,56oC atau dalam rentang 0,7871–0,7896 pada kondisi 25oC,
diukur dengan piknometer atau hidrometri yang sudah sangat lazim diterapkan
dalam industri alkohol.
Sumber: (SNI 7390:2012, 2012)
17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
18
c. Larutan H2SO4
d. Aquadest
e. Larutan NaOH (40%)
19
Kertas Bekas
Pretreatment
Filtrat Belimbing
Wuluh Penghilangan Tinta
Batu
Kapur Delignifikasi
Lignoselulosa
Hidrolisis
Selulosa
Fermentasi
Bioetanol
3.3.1. Pengamatan
Pada percobaan ini dilakukan pembuatan bioetanol dari kertas bekas
dengan menggunakan metode hidrolisis enzimatik. Pada percobaan ini
dilakukan dengan berbagai perlakuan dan variasi konsentrasi NaOH, dan waktu
20
fermentasi untuk mencari kadar bioetanol terbaik dengan kualitas yang sesuai
dengan Standar mutu bahan bakar. Selain itu juga dilakukan analisa terhadap
nilai kalor, indeks bias, dan densitas dari bioetanol tersebut. Adapun data yang
diperlukan dalam penelitian ini yaitu:
Tabel 3.1 Hasil Percobaan Pengaruh Konsentrasi terhadap
Kadar Bioetanol
Konsentrasi H2SO4 Kadar Bioetanol
(%) (%v/v)
2. Delignifikasi
a. Mencampurkan kertas dengan Natrium Hidroksida (NaOH) pada
suhu 121oC selama 60 menit.
b. Campuran tadi didinginkan pada suhu kamar kemudian dilakukan
pencucian sebanyak lebih kurang 3 kali.
21
a. Siapkan 5 buah ukuran 500 ml (sudah di sterilisasi menggunakan
autoklaf) untuk 5 sampel yang akan dihidrolisis.
b. Membuat larutan 1,5% , 2,0%, 2,5%, 3,0%, 3,5% dari asam sulfat
96% dengan volume masing-masing 200 ml, sesuai dengan
persamaan:
V1. M1 = V2. M2
c. Bubur kertas yang telah halus tadi ditimbang sebanyak 100 gr
untuk 5 sampel (masing-masing 20 gr)
d. Masukkan bubur kertas tersebut ke dalam masing-masing
Erlenmeyer yang sudah disiapkan kemudian masukkan larutan
asam sulfat sesuai konsentrasi nya (1,5%, 2,0%, 2,5%, 3,0%, 3,5%)
ke dalam masing- masing erlenmeyer.
e. Mengaduk hingga sampel terendam sempurna kemudian
tambahkan 50 mL enzim selulase.
f. Kemudian segera tutup dengan gabus yang sudah dilapisi
Aluminium foil.
g. Selanjutnya 5 buah sampel tadi dimasukkan ke dalam autoclave
pada temperatur 120oC selama 60 menit
h. Setelah itu hidrolisat didinginkan terlebih dahulu dan dilakukan uji
kandungan kadar glukosanya.
5. Fermentasi
a. Ambil sampel dengan kadar glukosa tertinggi setelah hidrolisis tadi
untuk difermentasikan.
b. Kemudian ukur pH larutan, pH 4-5. Pengukuran pH hasil hidrolisis
perlu dilakukan karena khamir akan dimasukkan pada hidrolisat
sehingga pH diatur 4-5 dimana derajat keasaman tersebut sesuai
dengan khamir Saccharomyces cereviceae untuk dapat bekerja
dengan baik. Jika pH asam maka diperlukan penetralan dengan
penambahan NaOH.
c. Masukkan ragi roti ke dalam bubur hidrolisat yang sudah di
hidrolisis masing-masing sebanyak 20% dari massa feed.
22
d. Lalu diaduk lebih kurang 5 menit sampai campuran homogen.
e. Setelah itu Erlenmeyer 500 ml yang berisis bubur bubur kertas
tersebut dihubungkan dengan selang karet dan ujung selang
dimasukkan ke dalam air agar tidak terjadi kontak langsung dengan
udara.
f. Selanjutnya larutan difermentasikan selama 72 jam, 120 jam, 168
jam.
g. Setelah fermentasi selesai, dilakukan penyaringan sehingga larutan
terpisah dari pengotor lain.
6. Distilasi
a. Siapkan peralatan destilasi dan rangkai peralatan dengan benar.
b. Masukkan hasil fermentasi tadi ke dalam labu lalu pasang labu
pada alat destilasi yang telah ada.
c. Atur temperaturnya 78 oC dan waktu destilasi dilakukan selama ±1
jam.
d. Simpan hasil (destilat) yang di dapat dalam botol yang ditutup
rapat. kemudian timbang destilat yang telah disimpan itu.
23
3.4. Jadwal Penelitian
3.4.1. Anggaran Biaya
Tabel 4.1. Anggaran Biaya Pembuatan Bioetanol Menggunakan Kertas Bekas
No Jenis Pengeluaran Biaya Yang Diusulkan (Rp)
1 Anggaran Biaya Bahan Habis Pakai Rp 1.775.000,00
2 Anggaran Biaya Analisa Produk Rp 1.000.000,00
3 Anggaran Honorium Rp 800.000,00
4 Anggaran Biaya Lain-Lain Rp 300.000,00
Total Rp 3.875.000,00
24
DAFTAR PUSTAKA
Al-Azkawi, A., Elliston, A., Al-Bahry, S., & Sivakumar, N. (2019). Waste paper
to bioethanol: Current and future prospective. Biofuels, Bioproducts and
Biorefining, 13, 1106–1118.
Asghar, U., Nadeem, M., Irfan, M., Syed, Q., Nelofer, R., & Irum, M. (2015, 7).
Effect of NaOH on delignification of Saccharum spontaneum.
Environmental Progress & Sustainable Energy, 35. doi:10.1002/ep.12211
Branco, R. H., Serafim, L. S., & Xavier, A. M. (2019). Second generation
bioethanol production: on the use of pulp and paper industry wastes as
feedstock. Fermentation, 5, 4.
Dharmaraja, J., Shobana, S., Arvindnarayan, S., Vadivel, M., Atabani, A. E.,
Pugazhendhi, A., & Kumar, G. (2020). Chapter 5 - Biobutanol from
lignocellulosic biomass: bioprocess strategies. In A. Yousuf, D. Pirozzi, &
F. Sannino (Eds.), Lignocellulosic Biomass to Liquid Biofuels (pp. 169-
193). Academic Press. doi:https://doi.org/10.1016/B978-0-12-815936-
1.00005-8
Hartantio, Y., Hartati, R. S., & Kumara, I. N. (n.d.). Analisa Penggunaan Bahan
Bakar Bioetanol Dari Limbah Kertas Sebagai Bahan Bakar Genset.
Majalah Ilmiah Teknologi Elektro, 17, 433–438.
Kalpatari, S. O., Chairul, C., & Yelmida, Y. (n.d.). Biokonversi Kertas HVS
Bekas Menjadi Bioetanol Dengan Variabel Konsentrasi Saccharomyces
cerevisiae. Biokonversi Kertas HVS Bekas Menjadi Bioetanol Dengan
Variabel Konsentrasi Saccharomyces cerevisiae. Retrieved from
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFTEKNIK/article/view/23081
Kamzon, M. A., Abderafi, S., & Bounahmidi, T. (2016). Promising bioethanol
processes for developing a biorefinery in the Moroccan sugar industry.
International Journal of Hydrogen Energy, 41, 20880-20896.
doi:https://doi.org/10.1016/j.ijhydene.2016.07.035
Kennes, D., Abubackar, H. N., Diaz, M., Veiga, M. C., & Kennes, C. (2016).
Bioethanol production from biomass: carbohydrate vs syngas
fermentation. Journal of Chemical Technology & Biotechnology, 91, 304-
317. doi:https://doi.org/10.1002/jctb.4842
Kumara, S. (2020, 2). ANALYSIS OF BIOETHANOL PROCESSING FROM
PAPER WASTE AS GENERATOR FUEL. ANALYSIS OF
BIOETHANOL PROCESSING FROM PAPER WASTE AS GENERATOR
FUEL. OSF Preprints. doi:10.31219/osf.io/b3z94
25
Oktafrianti, A. F. (2019). PEMANFAATAN LIMBAH KERTAS SEBAGAI
BAHAN BAKU BIOETHANOL OLEH AKTIVITAS ENZIMATIS
FUNGI DAN RAGI.
Sholikhah, S. M. (2018). Produksi Bioetanol dari Kertas HVS Bekas melalui
Hidrolisis Enzim Selulase Jamur Tiram. Indonesian Journal of Chemical
Science, 7, 11–16.
Sun, S., Sun, S., Cao, X., & Sun, R. (2016). The role of pretreatment in improving
the enzymatic hydrolysis of lignocellulosic materials. Bioresource
Technology, 199, 49-58. doi:https://doi.org/10.1016/j.biortech.2015.08.061
Wiratmaja, I. G., & Elisa, E. (2020). Kajian Peluang Pemanfaatan Bioetanol
Sebagai Bahan Bakar Utama Kendaraan Masa Depan Di Indonesia. Jurnal
Pendidikan Teknik Mesin Undiksha, 8, 1–8.
26