Anda di halaman 1dari 10

C.

Cakupan CDR TB Paru

Secara nasional menurut data dari profil kesehatan Indonesia tahun 2017

Cakupan Pengobatan Semua Kasus Tuberkulosis (Case Detection Rate/CDR)

yang Diobati semua kasus tuberkulosis (insiden). Perkiraan jumlah semua kasus

tuberkulosis merupakan insiden dalam per 100.000 penduduk dibagi dengan

100.000 dikali dengan jumlah penduduk. CDR menggambarkan seberapa banyak

kasus tuberkulosis yang terjangkau oleh program. Case Detection Rate kasus

tuberkulosis pada tahun 2017 sebesar 42,8% meningkat dibandingkan dengan

tahun 2016 sebesar 35,8%.8

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,

penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan

langkah pertama dalam kegiatan program penanggulanangan TB. Penemuan dan

penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan

kematian dan kesakitan TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan

kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.9

Penemuan pasien TB di lakukan dengan strategi :

a. Penemuan pasien TB dilakukan dengan cara promosi aktif kepada pasien.

Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan,

didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan

maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka

pasien TB.

b. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA

positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan

gejala yang sama harus diperiksa dahaknya.

41
42

c. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah.

1. Diagnosis Tuberkulosis ( TB)

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu:

Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat

ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara

mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,

biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang

sesuai dengan indikasi.9

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja. Foto toraks tidak memberikan gambaran yang khas pada TB Paru

sering terjadi overdiagnosis. 9

Sedangkan diagnosis TB ekstra paru ditentukan dengan mengetahui gejala

dan keluhan tergantung dari organ yang terkena. Misalnya kaku kuduk pada

meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura, pembesaran kelenjar limfe superfisialis

pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang pada spondilitis TB dan

lain-lain. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja

ditegakkan berdasarklan gejala klinis TB yang kuat dengan menyingkirkan

kemungkinan penyakit lain. 9

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.

Namun, pada kondisi tertentu pemeriksaan foto tpraks perlu dilakukan sesuai

dengan indikasi sebagai berikut. 9


43

a. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasil BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB

paru BTA positif.

b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.

c. Pasien tersebut di duga mengalami komplikasi sesak napas berat yang

memerlukan penanganan khusus seperti pneumotoraks, pluritus eksudativa

dan efusi perikarditis dan pasien yang mengalami hemoptisis berat.

2. Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menmyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut;10

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan

gunakan OAT tunggal (monoterapi).

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung (DOT= directly Observed Treatmaent) oleh seorang Pengawas

Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan

lanjutan

Tahap awal (intensif)


44

 Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi

obat.

 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu

2 minggu.

 Sebagian besar pasien BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)

dalam 2 bulan

Tahap lanjutan

 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan.

Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan

OAT:10

Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3

a. Kategori 1 ini diberiakan untuk pasien baru :

- Pasien baru TB paru BTA positif

- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

- Pasien TB ekstra paru


45

b. Kategori 2 ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya:

-pasien kambuh

- pasien gagal

- pasien dengan pengobatan setelah putus berobat

Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan

OAT:11

Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3

3. Pengawasan Menelan Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka

pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan

diperlukan seseorang PMO. Syarat PMO adalah seseorang yang dikenal,

dipercaya, dan disetujui baik oleh petugas ataupun petugas kesehatan maupun

pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien, seseorang yang tinggal

dekat dengan pasien, bersedia membantu pasien dengan sukarela, dan bersedia

dilatih atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.9

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan desa, perawat,

pekarya, sanitarian, dan juru imunisasi. Bila tidak ada petugas kesehatan yang

memungkinkan maka PMO bisa berasal dari kader kesehatan, guru, tokoh
46

masyarakat, dan keluarga. Tugas seorang PMO adalah mengawasi pasien TB agar

menelan obat secara teratur samapai selesai pengobatan, memberi dorongan

kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa ulang

dahak pada waktu yang telah ditetapkan, dan memberikan penyuluhan pada

anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala mencurigai untuk segera

memeriksakan ke unit pelayanan kesehatan. 9

Penting juga untuk disampaikan kepada PMO mengenai penyakit TB

sebagai berikut: 9

a. TB disebabkan kuman, bukan kutukan atau penyakit keturunan.

b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c. Cara penularan TB, gejala yang mencurigakan dan pencegahannya.

d. Cara pemberian pengobatan kepada pasien.

e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

f. Kemungkinan terjadi efek samping obat dan perlunya segera meminta

pertolongan ke pelayanan kesehatan.

4. Indikator Program TB

Guna menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan

indikator. Indikator yang digunakan nasional ada 2 yakni:

a. Angka penemuan kasus baru TB BTA positif (Case Detection Rate =

CDR) (target angka CDR >70%) yaitu proporsi jumlah pasien baru

BTA(+) yang ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA(+)

yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Angka Penemuan Kasus

(Case Detection Rate = CDR) menggambarkan cakupan penemuan pasien

baru BTA positif pada wilayah tersebut.12


47

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan

perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan

jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program Penanggulangan

TB Nasional minimal 70%. Data dari Puskesmas Kuin Raya untuk capaian

CDR Tahun 2017 yaitu 48.89% masih dibawah target minimal nasional.

b. Angka keberhasilan pengobatan (success rate = SR) (target angka

kesembuhan >85%)

Kementrian Kesehatan RI telah menerbitkan pedoman nasional

pengendalian tuberkulosis yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan

untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Memiliki sasaran strategi

nasional pengendalian TB yaitu menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000

penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Sasaran keluaran adalah: (1)

meningkatkan prosentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari

73% menjadi 90%; (2) meningkatkan prosentase keberhasilan pengobatan kasus

baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%; (3) meningkatkan prosentase provinsi

dengan CDR di atas 70% mencapai 50%; (4) meningkatkan prosentase provinsi

dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88%.13

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7

strategi13:
48

1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu

2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat

miskin serta rentan lainnya

3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),

perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin

kepatuhan terhadap International Standards for TB Care

4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.

5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen

program pengendalian TB

6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB

7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.

Terdiri dari rincian kegiatan13:

A. Tatalaksana dan Pencegahan TB

• Penemuan Kasus Tuberkulosis

• Pengobatan Tuberkulosis

• Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis

• Pengendalian Infeksi pada sarana layanan

• Pencegahan Tuberkulosis

B. Manajemen Program TB

• Perencanaan program Tuberkulosis

• Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis

• Manajemen Logistik Program Tuberkulosis

• Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis

• Promosi program Tuberkulosis


49

C. Pengendalian TB komprehensif

• Penguatan Layanan Laboratorium Tuberkulosis

• Public - Private Mix (Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan)

• Kolaborasi TB-HIV

• Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB

• Pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru

• Manajemen TB Resist Obat

• Penelitian tuberkulosis

D. Pemberdayaan Kader

Alternatif program pemberantasan TB paru adalah DOTS dengan active

case finding dengan melibatkan peran serta masyarakat yaitu dengan cara

menjaring penderita TB paru dengan melibatkan peran kader kesehatan. Kader

kesehatan di masing-masing wilayah diberikan pendidikan kesehatan mengenai

TB paru yang selanjutnya secara aktif mencari, memotivasi dan melakukan

supervisi terhadap pengawas menelan obat. Kader kesehatan dengan pengetahuan

yang ada diharapkan dapat mengenali tanda dan gejala dini dari TB paru untuk

segera diobati di unit pelayanan kesehatan terdekat. Kelebihan dari active case

finding adalah dapat menemukan secara tepat dan cepat penderita TB paru di

masyarakat yang enggan berobat. Proses peningkatan pengetahuan dan perubahan

perilaku penderita TB paru dapat dilakukan melalui pendekatan antara kader

kesehatan dengan anggota keluarga penderita TB atau masyarakat. Kader

kesehatan dapat dianggap sebagai perantara utama dalam perawatan TB paru agar

tidak menyebar ke masyarakat luas. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan

yang bersifat edukatif pada kader kesehatan menurut penelitian kuantitatif yang
50

dilakukan oleh Tri Hartini pada kader TB Aisyiyah Semarang tahun 2013 Kader

kesehatan memberikan kontribusi terhadap tinggi rendahnya penemuan kasus

tuberculosis.14

Anda mungkin juga menyukai