Anda di halaman 1dari 76

STRATEGI

IMPLEMENTASI NDC
( N AT I O N A L LY D E T E R M I N E D C O N T R I B U T I O N )

i
ii
STRATEGI IMPLEMENTASI NDC
(NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION)

Oktober 2017

iii
Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution)

Penyusun :
1. Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc
2. Ir. Emma Rachmawaty, M.Sc
3. Yulia Suryanti, S.Si., M.Sc
4. Hany Setyawan, S.Hut., M.Si
5. M. Farid, S.Hut., M.Si
6. Nur Iskandar, SP

Editor :
Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc

Design Sampul :
Aida Novita

ISBN :

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang menggunakan isi maupun memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik
dalam bentuk fotocopy, cetak, microfilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk
keperluan pendidikan atau non komersil lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai
berikut :

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (2017). Buku Strategi Implementasi NDC
(Nationally Determined Contribution), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Diterbitkan oleh :
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Gedung Manggala Wanabakti Blok VII Lantai 12
Jakarta, 10270 Indonesia
Telp/Fax +62-21-572 0194

iv
I. PENGANTAR

Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang diadopsi pada COP-21 tahun 2015
merupakan persetujuan internasional berdimensi sangat luas yang entry into force
kurang dari satu tahun setelah diadopsinya persetujuan tersebut, jauh lebih cepat dari
yang diperkirakan oleh banyak negara pihak (Parties) yang mengadopsi persetujuan
dimaksud.

Nationally Determined Contribution (NDC) merupakan komitmen setiap negara pihak


terhadap Persetujuan Paris. Indonesia telah menyampaikan NDC kepada Sekretariat
UNFCCC menjelang COP-22 Marrakech pada tahun 2016, sebagai elaborasi dari NDC
dan sekaligus menggantikan INDC yang disampaikan kepada Sekretariat UNFCCC
sebelum COP-21 Paris. Dokumen First NDC Indonesia sebagaimana terlampir akan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Strategi Implementasi NDC.

Strategi implementasi NDC ini dimaksudkan sebagai pemandu langkah sinergi setiap
komponen bangsa mulai dari Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Akademisi,
Sektor Bisnis, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Masyarakat Umum untuk
mencapai komitment nasional dalam menurunkan emisi GRK dan mencapai tujuan
pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim seperti yang tertuang dalam
dokumen NDC. Kementerian LHK sebagai National Focal Point Perubahan Iklim di
Indonesia, akan melakukan segala upaya dalam upaya bersama meraih keberhasilan
implementasi NDC ini.

Melalui Strategi Implementasi NDC ini diharapkan sinergi antar sektor dapat diperkuat
guna memenuhi komitmen nasional kepada dunia internasional yang sejalan dengan
tujuan dan cita-cita nasional.

Jakarta, Juli 2017


Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan

Dr. Siti Nurbaya

v
vi
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ……………………........……………………………………... v

DAFTAR ISI ………………………………........…………………………………….. vii

I. LATAR BELAKANG …………….........................................………………. 1

II. PARIS AGREEMENT DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16


TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN PARIS AGREEMENT
TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON
CLIMATE CHANGE ….......................................................................…… 4

III. KOMITMEN DALAM NDC ……..............................................................… 8

IV. PROGRAM IMPLEMENTASI NDC ……...............................................… 11

V. PENDANAAN . ........................................................................................... 20

VII. PENUTUP ................................................................................................... 23

vii
viii
I. LATAR BELAKANG

Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah menentukan 9


(sembilan) aksi prioritas pembangunan nasional yang dituangkan melalui Nawa Cita.
Nawa Cita secara eksplisit juga memberi penekanan pada pentingnya pengendalian
perubahan iklim, yaitu pada : (A) Berdaulat Dalam Bidang Politik, pada butir Nawa
Cita 1 “Membangun wibawa politik luar negeri dan merespon peran Indonesia
dalam isu-isu global” huruf b. 5) “Mengintensifkan kerjasama internasional dalam
mengatasi masalah-masalah global yang mengancam umat manusia seperti.........
perubahan iklim......, dan (B) Berdikari Dalam Bidang Ekonomi, pada butir Nawa Cita
3 “Membangun daulat energi berbasis kepentingan nasional” huruf 3. h) “Merancang
isu perubahan iklim bukan hanya untuk isu lingkungan semata melainkan juga
untuk perekonomian nasional”. Bila disimak butir-butir Nawa Cita lainnya, banyak
diantaranya sangat relevan dengan elemn-elemen NDC.

Presiden Joko Widodo pada Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change/UNFCCC) yang ke 21 di Paris tahun 2015 menyatakan
komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 29% di bawah
Business As Usual (BAU) pada tahun 2030 dan sampai dengan 41 % dengan bantuan
internasional.

Pertemuan COP21/CMP11 UNFCCC, atau disebut juga Paris Climate Change


Conference tahun 2015 menjadi titik kulminasi dari pembahasan yang dimulai sejak
COP-17 di Durban tahun 2011 untuk menegosiasikan regime baru dalam penanganan
perubahan iklim pasca-2020 yang berlaku bagi Negara Pihak UNFCCC dengan prinsip
common but dfferentiated responsibility and respective capability (CBDR-RC).

Proses negosiasi di Paris telah diarahkan untuk mencapai kesepakatan yang


seimbang menuju peningkatan ambisi penurunan emisi dan penyusunan kesepakatan
regime baru dalam penanganan perubahan iklim. Dalam catatan sejarah sebelumnya,
penerapan regime pengendalian perubahan iklim global termasuk Kyoto Protokol yang
manjalankan prinsip common but differential responsibility and recpective capabilities
(CBDR-RC) menuju 2020 belum berhasil mencapai target-target yang telah disepakati
oleh Negera Pihak. Selain itu, temuan baru dari IPCC melalui dokumen Assessment
Report ke-5 (AR5) membuktikan aksi-aksi mitigasi tidak banyak mengalami kemajuan

1
dan saat ini mendorong setiap Negara untuk serius dalam menajalankan program-
program nasionalnya.

Indonesia bersama-sama dengan anggota masyarakat internasional melalui Konferensi


Para Pihak (COP) UNFCCC ke-21 di Paris, telah mengadopsi Paris Agreement to the
United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim),
yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan Persetujuan dimaksud pada tanggal 22
April 2016 di New York, Amerika Serikat.

Paris Climate Change Conference menghasilkan kesepakatan baru disebut Paris


Agreement, atau Persetujuan Paris, yang salah satunya menghasilkan kesepakatan
mengenai NDC yang mengatur dan memproyeksikan potensi penurunan emisi GRK
dilakukan oleh para Negara Pihak dalam kerangka waktu pasca-2020.

Sebagai tindak lanjut pernyataan komitmen Presiden Joko Widodo pada COP-21
adalah diratifikasinya Paris Agreement melalui UU No. 16 Tahun 2016. Pada saat
yang hampir bersamaan, Indonesia menyampaikan dokumen Nationally Determined
Contribution (NDC) ke Sekretariat UNFCCC, yang merupakan penjabaran lebih lanjut
dan menggantikan dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC)
yang disampaikan Indonesia sebelum COP-21 Paris. Sebagai bagian dari komitmen
pre-2020, Indonesia telah membuat upaya penurunan emisi GRK secara sukarela
sejak tahun dengan menuangkan target penurunan emisi GRK sebesar 26% dari BaU
di tahun 2020, dan sampai dengan 41% apabila terdapat dukungan internasional.
Pembelajaran dari implementasi komitmen tersebut menjadi salah satu pertimbangan
dalam menentukan target sampai dengan tahun 2030.

Dengan telah diratifikasinya Paris Agreement dan dengan rintisan yang telah cukup
panjang dilakukan di Indonesia termasuk kesepakatan antar sektor tentang target
kuantitatif masing-masing dalam NDC (yang merupakan gambaran garis besar transisi
Indonesia menuju pembangunan masa depan yang rendah emisi dan berketahanan
iklim), maka untuk mengimplementasikannya diperlukan dukungan serta komitmen
seluruh pihak. Dukungan dan komitmen tersebut secara konsisten dan kontinyu
memerlukan tindak lanjut untuk menjaga sumber daya alam dan lingkungan Indonesia
menjadi lebih baik dan berkontribusi dalam mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih
dari 2oC dan menuju 1.5oC dibandingkan dengan era pra-industrialisasi.

Dokumen NDC merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen ratifikasi
Perjanjian Paris, yang disusun berdasarkan prinsip common but differentiated
responsibilities and respective capabilities. Penyampaian NDC kepada UNFCCC
Secretariat merupakan salah satu implementasi Perjanjian Paris terutama merujuk
pada Keputusan 1/CP.21 paragraf 22. Prinsip clarity-transparency-understanding
(CTU) merupakan core principles dan isu strategis yang akan terus dirujuk dalam
mengelaborasi First NDC Indonesia ke dalam rencana implementasinya di setiap
kategori sektor.

2
CTU sangat penting untuk mengukur penurunan emisi GRK oleh setiap negara
sehingga dapat dilakukan perbandingan dan agregasi upaya global penurunan
emisi GRK. Implementasi CTU dalam NDC akan didasarkan pada pengalaman dan
kemampuan Indonesia di dalam penurunan emisi GRK di semua sektor yang dapat
diverifikasi melalui proses MRV. Oleh karena itu, penjabaran NDC ke dalam aksi-
aksi mitigasi oleh seluruh Kementerian/Lembaga serta non-party stakeholders, dapat
merujuk kepada proses MRV yang sudah dikembangkan sejak tahun 2013.

Pelaksanaan Persetujuan Paris khususnya NDC akan menjadi momentum bagi


Indonesia untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya-
upaya yang lebih intensif misalnya dalam menjaga hutan, melindungi lingkungan,
mengembangkan penerapan energi baru dan terbarukan, meningkatkan transportasi
yang berkelanjutan, pertanian yang rendah emisi dan meningkatkan ketahanan
pangan, industri yang ramah lingkungan, bangunan yang ramah lingkungan serta
pengelolaan limbah yang terpadu. Hal ini dapat membuka peluang antara lain untuk
membangun aksi koheren di tingkat nasional oleh seluruh komponen masyarakat,
pengembangan riset, mobilisasi sumber daya melalui kemitraan dan kerjasama
internasional serta peluang lain berkaitan dengan pembangunan nasional.

Salah satu langkah awal dalam mengimplementasikan di tingkat nasional adalah


mendorong penyelarasan NDC dalam program dan kegiatan kementerian terkait untuk
Rencana Kegiatan Pemerintah Tahun 2018 yang diarahkan menuju pencapaian target
10 Prioritas Nasional Pembangunan, untuk kemudian dikaitkan dengan program dan
kegiatan prioritas. Mengingat komitmen mandatori di bawah UNFCCC yang melibatkan
seluruh negara pihak seperti dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement) merupakan
hal yang baru bagi Indonesia sebagai negara berkembang, maka diperlukan strategi
untuk mengimplementasikannya yang terbagi ke dalam program-program dari
persiapan sampai tahap akhir termasuk review dan pembaruan komitmen dalam NDC
pada setiap periode yang ditentukan.

3
II. PARIS AGREEMENT DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN
PARIS AGREEMENT TO THE UNITED NATIONS
FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE

Persetujuan Paris merupakan perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang


bertujuan untuk menahan kenaikan suhu rata- rata global di bawah 2°C di atas tingkat
di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu
ke 1,5°C di atas tingkat pra–industrialisasi. Selain itu, Persetujuan Paris diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim,
menuju ketahanan iklim dan pembangunan rendah emisi, tanpa mengancam produksi
pangan, dan menyiapkan skema pendanaan untuk menuju pembangunan rendah
emisi dan berketahanan iklim.

Persetujuan Paris yang bersifat mengikat secara hukum dan diterapkan semua
negara (legally binding and applicable to all) dengan prinsip tanggung jawab
bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common
but differentiated responsibilities and respective capabilities), memberikan tanggung
jawab kepada negara-negara maju untuk menyediakan dana, peningkatan kapasitas,
dan alih teknologi kepada negara berkembang. Disamping itu, Persetujuan Paris
mengamanatkan peningkatan kerja sama bilateral dan multilateral yang lebih efektif
dan efisien untuk melaksanakan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan
dukungan pendanaan, alih teknologi, peningkatan kapasitas yang didukung dengan
mekanime transparansi serta tata kelola yang berkelanjutan.

Persetujuan Paris memuat materi pokok substansi sebagai berikut:

a. Kewajiban masing-masing Negara untuk menyampaikan Kontribusi yang


Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions). Kontribusi
penurunan tersebut harus meningkat setiap periode, dan negara berkembang
perlu mendapatkan dukungan untuk meningkatkan ambisi tersebut (Pasal 3).

b. Komitmen Para Pihak untuk mencapai titik puncak emisi gas rumah kaca
secepat mungkin dan melakukan upaya penurunan emisi secara cepat melalui
aksi mitigasi (Pasal 4).

c. Pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk aktivitas penurunan emisi


dari deforestasi dan degradasi hutan serta pengelolaan hutan berkelanjutan,
konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan termasuk melalui
pembayaran berbasis hasil (Pasal 5).

4
d. Pengembangan kerja sama sukarela antarnegara dalam rangka meningkatkan
ambisi penurunan emisi termasuk melalui mekanisme pasar dan nonpasar
(Pasal 6).

e. Penetapan tujuan global adaptasi untuk meningkatkan kapasitas adaptasi,


memperkuat ketahanan, dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan
iklim sebagai pengakuan bahwa adaptasi merupakan tantangan global yang
membutuhkan dukungan dan kerja sama internasional khususnya bagi negara
berkembang (Pasal 7).

g. Pengakuan pentingnya meminimalkan dan mengatasi kerugian dan kerusakan


(loss and damage) akibat dampak buruk perubahan iklim (Pasal 8).

h. Kewajiban negara maju menyediakan sumber pendanaan untuk membantu


negara berkembang dalam melaksanakan mitigasi dan adaptasi. Selain itu,
pihak lain dapat pula memberikan dukungan secara sukarela (Pasal 9).

i. Peningkatan aksi kerja sama seluruh negara dalam hal pengembangan dan
alih teknologi (Pasal 10).

j. Perlunya kerja sama Para Pihak untuk memperkuat kapasitas negara


berkembang dalam implementasi Persetujuan Paris dan kewajiban negara
maju untuk memperkuat dukungan bagi peningkatan kapasitas di negara
berkembang (Pasal 11).

k. Kerja sama Para Pihak dalam upaya penguatan pendidikan, pelatihan,


kesadaran publik, partisipasi publik, dan akses publik terhadap informasi
mengenai perubahan iklim (Pasal 12).

l. Pembentukan dan pelaksanaan kerangka kerja transparansi dalam rangka


membangun rasa saling percaya dan meningkatkan efektivitas implementasi,
meliputi aksi maupun dukungan dengan fleksibilitas bagi negara berkembang.
Kerangka ini merupakan pengembangan dari yang sudah ada di bawah
Konvensi (Pasal 13).

m. Pelaksanaan secara berkala inventarisasi dari implementasi Persetujuan Paris


untuk menilai kemajuan kolektif dalam mencapai tujuan Persetujuan Paris
(Global stocktake) dimulai tahun 2023 dan selanjutnya dilakukan setiap lima
tahun (Pasal 14).

n. Pembentukan mekanisme untuk memfasilitasi implementasi dan mendorong


kepatuhan terhadap Persetujuan Paris (Pasal 15).

Dalam rangka mencapai tujuan Persetujuan Paris, kontribusi nasional terhadap upaya
global yang dituangkan dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC),
semua negara pihak melaksanakan dan mengkomunikasikan upaya ambisiusnya dan

5
menunjukkan kemajuan dari waktu ke waktu, yang terkait dengan Kontribusi yang
Ditetapkan Secara Nasional (mitigasi, adaptasi), dan dukungan pendanaan, teknologi
dan pengembangan kapasitas bagi negara berkembang oleh negara maju.

Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) Indonesia mencakup aspek mitigasi
dan adaptasi. Sejalan dengan ketentuan Persetujuan Paris, NDC Indonesia perlu
direview secara berkala dan dilakukan penyesuaian sesuai keperluan. Pada periode
pertama, target NDC Indonesia adalah mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya
sendiri dan sampai dengan 41% jika ada dukungan internasional dari kondisi tanpa ada
aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor
kehutanan, energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian.
Komitmen NDC Indonesia untuk periode selanjutnya ditetapkan berdasarkan kajian
kinerja dan harus menunjukkan peningkatan dari periode sebelumnya.

Paris Agreement telah memasuki masa efektif berlaku (entry into force) pada tanggal 4
November 2016, yaitu hari ke-30 setelah lebih dari 55 negara yang merepresentasikan
55% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global menyampaikan instrumen ratifikasi
kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dengan Undang-Undang Nomor 16


Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework
Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), dan telah diundangkan
pada tanggal 25 Oktober 2016.

Pengesahan Persetujuan Paris ini didorong juga oleh amanat Pasal 28 A UUD
1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya”. Artinya Pemerintah bersama-sama dengan negara-negara
dunia lainnya untuk mempertahankan daya dukung global agar segenap manusia
dapat hidup dalam level kehidupan yang layak. Dan dalam Pasal 28 H UUD 1945
butir (1) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ratifikasi ini merupakan salah satu
upaya Pemerintah dalam memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang berkualitas.

Perubahan iklim memiliki dimensi nasional dan global yang keduanya terakomodir
dalam NAWACITA. Untuk dimensi global, salah satu butir NAWACITA tentang
peningkatan peran global mengamanatkan untuk meningkatkan kerjasama
internasional dalam mengatasi masalah-masalah global yang mengancam umat
manusia termasuk perubahan iklim. Untuk konteks nasional sejumlah butir NAWACITA
mengamanatkan aksi yang mengandung manfaat mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim, misal tentang penguatn sektor kehutanan, serta membangun tata ruang dan
lingkungan yang berkelanjutan.

6
Dengan mengesahkan Persetujuan Paris dan menjalankan seluruh komitmen dan
pengaturan yang terkait didalamnya, Indonesia akan mendapatkan manfaat antara
lain:

1. Peningkatan perlindungan wilayah Indonesia yang sangat rentan terhadap


dampak perubahan iklim melalui mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

2. Peningkatan pengakuan atas komitmen nasional dalam menurunkan emisi dari


berbagai sektor, pelestarian hutan, peningkatan energi terbarukan dan peran
serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan
iklim yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia.

3. Menjadi para pihak yang dapat berperan serta (memiliki hak suara)
dalam pengambilan keputusan terkait Persetujuan Paris, termasuk dalam
pengembangan modalitas, prosedur dan pedoman pelaksanaan Persetujuan
Paris.

4. Memperoleh kemudahan untuk mengakses sumber pendanaan, teknologi


transfer, peningkatan kapasitas bagi implementasi aksi mitigasi dan adaptasi.

7
III. KOMITMEN DALAM NDC

Komitmen dalam Nawa Cita menjadi salah satu dasar bagi penyusunan dokumen
the First NDC Indonesia, yang menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan
yang rendah emisi dan berketahanan iklim. Mengacu pada kesiapan Indonesia dalam
menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dengan kemampuan sendiri,
NDC disusun untuk meningkatkan aksi dan kondisi yang mendukung pencapaian
tujuan yang lebih ambisius setelah tahun 2020 yang akan berkontribusi dalam upaya
untuk mencegah kenaikan temperatur global di bawah 2oC dan mengejar upaya
membatasi kenaikan temperatur global 1.5oC dibandingkan masa pra-industri.

Dalam upaya tersebut, sesuai dengan kewajiban/komitmen negara, dalam NDC telah
direncanakan aksi-aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai aksi yang
terintegrasi untuk membangun ketahanan dalam menjaga sumber daya pangan, air,
dan energi. Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
(mitigasi) pada tahun 2030 sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan sampai
dengan 41% bila dengan dukungan internasional, dibandingkan dengan tanpa aksi
mitigasi atau business as usual (BAU).

Dalam NDC dijelaskan tentang lima kategori sektor dan proporsi kontribusinya dalam
upaya penurunan emisi GRK 29 % dari BAU 2030, yakni: kehutanan (17.2%), energi
(11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%). Sedangkan untuk
adaptasi, komitmen Indonesia meliputi peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan
sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem dan lansekap selain
juga pengkondisian untuk ketahanan iklim. Untuk melihat target penurunan emisi per
kategori sektor dapat dilihat pada Tabel 1 dan Bagan 1.

8
Table 1. Proyeksi BAU dan reduksi emisi GRK dari setiap kategori sektor

Tingkat Rerata
Tingkat Emisi GRK 2030 Penurunan Emisi GRK Pertum- Rerata
Emisi
GRK buhan Pertum-
No Sektor (MTon CO2e) (MTon CO2e) % of Total BaU Tahunan buhan
2010
BAU 2000-
MTon (2010- 2012*
BaU CM1 CM2 CM1 CM2 CM1 CM2
CO2e 2030)
1 Energi* 453.2 1,669 1,355 1,271 314 398 11% 14% 6.7% 4.50%
2 Limbah 88 296 285 270 11 26 0.38% 1% 6.3% 4.00%
3 IPPU 36 69.6 66.85 66.35 2.75 3.25 0.10% 0.11% 3.4% 0.10%
4 Pertanian 110.5 119.66 110.39 115.86 9 4 0.32% 0.13% 0.4% 1.30%
5 Kehutanan** 647 714 217 64 497 650 17.2% 23% 0.5% 2.70%
TOTAL 1,334 2,869 2,034 1,787 834 1,081 29% 38% 3.9% 3.20%
* Termasuk fugitive **Termasuk kebakaran gambut
Notes: CM1= Counter Measure 1 (kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi-unconditional)
CM2= Counter Measure 2 (kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi-conditional)

Bagan 1. Proyeksi BAU dan Reduksi Emisi GRK dari Setiap Kategori Sektor

1669
1800 19% dari BAU-energi 70% dari BAU-kehutanan
11% dari BAU Total 17.2% dari BAU Total
1600
1400
1200
714 497
1000 650
314
800
398
600 296
2.75
11 3.25 119.66
400 69.6
9
4
200
0 Energy Waste IPPU Agriculture Foresty

Emission BAU (2030) ER (CM1) ER (CM2)

(penurunan emisi (ER) dalam juta ton CO2e; CM1 = 29%; CM2 = 38%)

Di samping itu, menghadapi pembangunan paska-2020, Indonesia memandang


pencapaian ketahanan iklim kepulauan merupakan sebuah hasil dari pelaksanaan
program adaptasi-mitigasi dan strategi penurunan risiko bencana yang komprehensif.

9
Dukungan baik berupa intervensi soft technology maupun hard technology merupakan
aspek yang harus dipenuhi dan dapat dilakukan melalui pemberdayaan dan
peningkatan kapasitas, memperbaiki layanan dasar kesehatan dan pendidikan,
inovasi teknologi rendah emisi, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan
yang sejalan dengan prinsip berkelanjutan dan tata kelola yang baik.

10
IV. PROGRAM IMPLEMENTASI NDC

Implementasi NDC memerlukan komitmen tidak hanya Pemerintah tetapi juga


Pemerintah Daerah, Swasta, NGOs, dan stakeholders lainnya. Dan mengingat
komitmen mengikat yang tertuang dalam NDC merupakan hal baru bagi negara
berkembang termasuk Indonesia, maka untuk mengimplementasikannya diperlukan
strategi yang sesuai dengan tingkat kesiapan masing-masing negara. Strategi
implementasi NDC ini terbagi ke dalam 9 (sembilan) program mulai dari persiapan
sampai tahap akhir termasuk review dan pembaruan komitmen dalam NDC pada
setiap periode yang ditentukan. Kesembilan program tersebut dapat digambarkan
seperti Bagan 2 dan Tabel 2:

Bagan 2. Sembilan Program Implementasi NDC

I. PENGEMBANGAN OWNERSHIP • Kementerian/Lembaga Pemda Swasta, Masyarakat Sipil, Lembaga Keuangan


DAN KOMITMEN

• Penguatan kelembagaan dan kapasitas SDM (elaborasi NDC_sektor dan wilayah,


II. PENGEMBANGAN KAPASITAS
KRP, IGRK, MRV, SRN Implementasi NDC)

III. ENABLING ENVIRONMENT • Peraturan-perundangan dan kebijakan terkait (UU No. 16/2016 ttg Ratifikasi Paris
Agreement, PP.46/2016 ttg KLHS, dll)

IV. PENYUSUNAN KERANGKA


KERJA DAN JARINGAN • Koordinasi dan sinergi antar sektor dan wilayah serta aktor/pelaku
KOMUNIKASI

• SIGN-SMART: data inventarisasi GRK nasional


V. KEBIJAKAN SATU DATA GRK • SRN (termasuk MRV): aksi Mitigasi, Adaptasi, JMA dan Mol (pendanaan, teknologi,
peningkatan kapasitas)

VI. PENYUSUNAN KEBIJAKAN, • Penyelarasan NDC dengan perencanaan pembangunan di 5 kategori sekor mitigasi
RENCANA DAN PROGRAM (KRP) dan adaptasi sektoral dan wilayah > untuk menjamin penganggaran (APBN-APBD)
INTERVENSI dan mobilisasi sumberdaya baik dari dalam negeri maupun internasional

VII. PENYUSUNAN PEDOMAN • Pedoman untuk Pusat dan daerah (perencanaan, pelaksanaan, MRV dan review
IMPLEMENTASI NDC NDC);

• Didasarkan pada hasil penyusunan KRP serta rencana implementasi NDC


VIII. IMPLEMENTASI NDC • Dikoordinasikan oleh KLHK (terkait target pengurangan emisi dan kebijakan PI) dan
BAPPENAS (terkait pembangunan nasional).

• Pemantauan progres implementasi NDC


IX. PEMANTAUAN DAN REVIEW • Menjelang tahun 2020 akan dilakukan review dan adjustment NDC bila diperlukan
NDC (tidak ada backsliding)

11
Tabel 2. Detail Sembilan Program Implementasi NDC

No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan

1 PENGEMBANGAN 1. Sosialisasi • Kementerian/ Pusat :


OWNERSHIP DAN a. Pusat Lembaga mulai April
KOMITMEN Target Parlemen, • Pemda, 2017
Kementerian/ Lembaga, • Swasta,
Media, Akademisi • Masyarakat Sipil
b. Regional dan Propinsi • Lembaga Keuangan Daerah :
Regional Sumatera • Parlemen mulai Mei
Regional Kalimantan 2017
Regional Jawa, Bali
dan Nusa Tenggara
Regional Sulawesi
Regional Maluku dan
Papua
2. Komunikasi stakeholder Maret 1. Informasi
(2017 dan seterusnya) 2017 dan dalam forum
hasilnya berupa seterus- komunikasi
pembentukan forum nya disampaikan
komunikasi kepada publik.
2. Meningkatkan
Dua kegiatan dimaksud transparansi
diarahkan untuk membangun implementasi
kesepahaman peran dan NDC.
tanggungjawab

2 PENGEMBANGAN Penguatan kelembagaan dan • KLHK 2017 dan Target:


KAPASITAS kapasitas SDM (elaborasi • ESDM seterusnya • CBNA selesai
(Capacity Building) NDC_ sektor dan wilayah, • Kem. Pertanian Agustus 2017
KRP, IGRK, MRV, SRN, • Kem. Perindustrian • Road Map
implementasi NDC) : • Kem. Keuangan selesai
• Penyusunan Capacity • BAPPENAS Desember
Building Needs Assessment • K/L terkait:, , 2017.
(CBNA) : Kemendagri, • CB adl.
Identifikasi kebutuhan Kemendes, PUPR, evolving
peningkatan kapasitas BPPT, ATR/PPN, process;
perubahan iklim untuk Kemendiknas, , dimulai parallel
tingkat nasional, sub- Kemenkes, KPPA, dengan
nasional (provinsi) dan KKP, BMKG, Lapan, penyusunan
lokal BIG, BPS Kemen Road Map.
Identifikasi kelompok Perhubungan) • CB dilakukan
sasaran • Parlemen untuk semua
Identifikasi jenis kegiatan • Pakar/ perguruan pihak di semua
peningkatan kapasitas tinggi level semuai
yang dibutuhkan • Pemerintah daerah kebutuhan CB.
(pendidikan, pelatihan, • Swasta
peningkatan kesadaran, • Asosiasi profesi
akses terhadap informasi, • LSM
pelibatan masyarakat, • Kelompok
kerjasama internasional) masyarakat
Identifikasi substansi/
materi peningkatan
kapasitas: perubahan
iklim secara umum,
mitigasi, adaptasi,
teknologi, IMRV –
GRK, akses terhadap
pendanaan, pengusulan
kegiatan/ proyek,
negosiasi, dsb

12
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan

• Penyusunan Peta Jalan


(Roadmap) Peningkatan
Kapasitas Perubahan Iklim:
Kegiatan yang harus
dilaksanakan pada setiap
tingkatan (nasional,
sub-nasional/ provinsi dan
lokal) dan pada setiap
sektor utama penghasil
emisi GRK
Siapa yang harus
melakukan Peningkatan
Kapasitas (pelaksana:
instansi pemerintah,
swasta, masyarakat)
Kelompok sasaran
Bentuk/jenis peningkatan
kapasitas yang diperlukan
(pendidikan, pelatihan,
peningkatan kesadaran,
akses terhadap informasi,
pelibatan masyarakat,
kerjasama internasional)
Waktu pelaksanaan
Lokasi pelaksanaan
Sumber pendanaan
• Pelaksanaan peningkatan
kapasitas secara sistematis
(dalam dan luar negeri):
Pendidikan
Training
Seminar/workshop/
conference
Internship/magang
TOT
Sekolah lapang

3 ENABLING 1. Identifikasi peraturan- • Kementerian / April –Mei Identifikasi


ENVIRONMENT perundangan dan kebijakan Lembaga 2017 tentang
perubahan iklim untuk bagaimana
melihat gaps dan overlaps masing-masing
dan potensi harmonisasi regulasi
peraturan perundangan. memberikan
2. Peraturan-Perundangan landasan bagi
yang telah teridentifikasi, implementasi
antara lain: NDC dan
• UU No. 16/2016 tentang dukungan
Ratifikasi Paris Agreement peraturan-
• UU 21 Tahun 2014 tentang perundangan
Panas Bumi baru yang
• UU 37 Tahun 2014 tentang diperlukan
Konservasi Tanah dan Air
• UU 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan
dan Pemberantasan
Perusakan Hutan UU
32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan
Pengelolaan LH

13
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan

• UU No. 18 Tahun 2013


tentang Pencegahan dan
Pengendalian Deforestasi
• UU 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan
• UU 31 Tahun 2009
tentang Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika
• UU 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
• Undang-Undang No.
5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya
Alam dan Ekosistem
• UU 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan
Sampah
• UU 30 Tahun 2007
tentang Energi
• PP No 37 Tahun 2012
tentang Pengelolaan DAS
• PP No. 71 Tahun 2014
tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem
Gambut jo. PP No. 57
Tahun 2016 regarding
Amandemen PP No. No.
71/2014
• PP No. 64 Tahun 2013
tentang Pemanfaatan Air
dan Hutan di kawasan
lindung, taman nasional,
forest park dan Taman
Wisata Alam
• PP No.45 Tahun 2004
tentang Perlindungan
Hutan
• PP No. 79 Tahun 2014
tentang Kebijakan Energi
Nasional
• PP. 46 Tahun 2016
tentang KLHS
• Peraturan Presiden No.
61 tahun 2011 tentang
Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi GRK
• Peraturan Presiden No.
71 tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan
Inventarisasi GRK
Nasional
• Perpres No.1/2016
tentang Badan Restorasi
Gambut
• Inpres No.6/2017
tentang Penundaan dan
Penyempurnaan Tata
Kelola Izin Baru HUtan
Alam Primer dan Gambut

14
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan

• Perpres No. 9/2016


tentang Percepatan
Pelaksanaan Satu Peta
• Kebijakan Reforma
Agraria dan perhutanan
sosial.
3. Penyiapan penyusunan
Peraturan-Perundangan
tentang Perubahan Iklim.

4 PENYUSUNAN Koordinasi dan sinergi antar • KLHK 2017 dan • Terkait


KERANGKA sektor dan wilayah serta • ESDM seterus- dengan target
KERJA DAN aktor/pelaku • Kem. Pertanian nya penurunan
JARINGAN • Kem. Perindustrian emisi dan
KOMUNIKASI • Kem. Keuangan MRV,
• BAPPENAS kebijakan
• K/L terkait: dan program
(Kemendagri, adaptasi
Kemendes, PUPR, dikoordinir oleh
BPPT, ATR/PPN, KLHK
Kemendiknas, , • Terkait dengan
Kemenkes, KPPA, perencanaan
KKP, BMKG, Lapan, pembangunan
BIG, BPS Kemen dikoordinir
Perhubungan) Bappenas.
• Parlemen • Didalam
• Pakar/ perguruan melaksanakan
tinggi tugasnya,
• Pemerintah daerah diperlukan
• Swasta sinergi
• Asosiasi profesi Bappenas
• LSM dengan KLHK.
• Kelompok • Masing-masing
masyarakat kategori sektor
dikoordinir oleh
Kementerian
yang memiliki
mandat di
bidang tsb,
yaitu:
• Kehutanan dan
Limbah: KLHK
• Energi: ESDM
• Pertanian:
Kem.
Pertanian
• IPPU: Kem.
Perindustrian

5 KEBIJAKAN SATU a. Membangun kesepahaman • Kemtan a. 2017 Identifikasi


DATA GRK* dan kesepakatan tentang • Kementerian tentang
SIGN – SMART: pentingnya satu data GRK Perindustrian bagaimana
data inventarisasi b. Institutional arrangements • BIG b. 2017 masing-masing
GRK nasional untuk memperkuat • Lapan regulasi
SRN (termasuk “Kebijakan Satu Data GRK” • BMKG memberikan
MRV): Sistem c. Penguatan existing systems • BPS c. 2017 landasan bagi
Registri Nasional untuk “Kebijakan Satu Data • BNPB implementasi
tentang aksi GRK” • Kemenkeu NDC dan
Mitigasi, Adaptasi, • Perhubungan dukungan
JMA dan MoI • PUPERA peraturan-

15
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan

(pendanaan, d. Membangun Protocol data d. 2017 perundangan


teknologi, untuk SIGN –SMART dan baru yang
peningkatan SRN (sector, daerah dan diperlukan
kapasitas) nasional)
e. Memfasilitasi sektor untuk e. 2018
mengintegrasikan data GRK
dalam pengelolaan data di
lembaganya
f. Evaluasi Kesiapan f. 2018
Implementasi Kebijakan Satu
Data GRK
g. Implementasi Kebijakan Satu g. mulai
Data GRK 2018

6 PENYUSUNAN Penyelarasan NDC dengan • KLHK 2017 • Koordinasi


KEBIJAKAN, kebijakan pembangunan: • ESDM KLHK, K/L 5
RENCANA DAN 1. Mitigasi di 5 kategori sektor: • Kemtan kategori sektor,
PROGRAM (KRP) • LULUCF: koordinasi • Kementerian BAPPENAS,
INTERVENSI internal KLHK, Perindustrian KemenKeu.
• energi: koordinasi dg • Kemenkeu • Terkait
Kem. ESDM dan Kem. • Bappenas dengan target
Perhubungan • K/L terkait: penurunan
• IPPU: koordinasi dg Kem. Kemendagri, emisi dan
Perindustrian utk Kemendes, PUPR, MRV,
• limbah: koordinasi internal BPPT, ATR/PPN, kebijakan
KLHK Kemendiknas, , dan program
• pertanian: koordinasi dg Kemenkes, KPPA, adaptasi
Kem. Pertanian KKP, BMKG, Lapan, dikoordinir oleh
2. Adaptasi sektoral dan BIG, BPS Kemen KLHK
wilayah: Perhubungan) • Terkait dengan
• Ketahanan pangan • Parlemen perencanaan
• Ketahanan energi • Pakar/ perguruan pembangunan
• Ketahanan air tinggi dikoordinir
• Kesehatan • Pemerintah daerah Bappenas.
• Permukiman • Swasta • Didalam
• Infrastruktur • Asosiasi profesi melaksanakan
• Pesisir dan pulau-pulau • LSM tugasnya,
kecil • Kelompok diperlukan
• Ekosistem lainnya masyarakat sinergi
(Tiga ketahanan dalam NDC: Bappenas-
ekonomi, sosial dan livelihood, KLHK-Kem.
ekosistem dan lanskap) Keu.
Catatan : penyelarasan • Masing-masing
termasuk dengan SDGs dan kategori sektor
komitmen di bawah Persetujuan dikoordinir oleh
Internasional lainnya. Kementerian
yang memiliki
mandat di
bidang tsb,
yaitu:
• Kehutanan dan
Limbah: KLHK
• Energi: ESDM
• Pertanian:
Kem.
Pertanian
• IPPU: Kem.
Perindustrian

16
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan

7 PENYUSUNAN Pedoman untuk Pusat dan • KLHK 2017/2018


GUIDANCE daerah: • ESDM
IMPLEMENTASI a. Implementasi, Monitoring, • Kemtan a. Dikoordinasikan
NDC Pelaporan, Evaluasi dalam • Kementerian BAPPENAS
konteks capaian target Perindustrian
pembangunan (daerah– • Kemenkeu
pusat) • BAPPENAS
b. IGRK melalui SIGN-SMART b. Dikoordinasikan
dan MRV–SRN KLHK

8 IMPLEMENTASI Pengurangan emisi sesuai • KLHK s/d 2030 • Didasarkan


NDC target masing-masing kategori • ESDM pada hasil
sektor: • Kemtan penyusunan
• LULUCF, • Kementerian KRP serta
• energi, Perindustrian rencana
• IPPU, • Kemenkeu implementasi
• limbah, • Bappenas NDC
• pertanian • Pemerintah Daerah
Peningkatan kapasitas adaptasi • Swasta • Dikoordinasi-
dan ketahanan iklim menuju: • Masyarakat kan oleh KLHK
• Ketahanan ekonomi (terkait target
Pertanian dan perkebunan pengurangan
berkelanjutan emisi dan
Pengelolaan daerah aliran kebijakan PI)
sungai (DAS) terpadu
Penurunan laju deforestasi • Dikoordinasi-
dan degradasi hutan kan oleh
(mempertahankan fungsi BAPPENAS
ekosistem) (terkait dengan
Konservasi lahan target capaian
(Penanggulangan pembangunan
degradasi lahan melalui nasional)
Konservasi tanah dan air)
Pemanfaatan lahan • Diperlukan
terdegradasi untuk sinergi
energi terbarukan (tidak Bappenas-
menggunakan lahan KLHK-Kem.
berhutan) Keu.
Perbaikan efisiensi energi
dan pola konsumsi
• Ketahanan sosial dan
sumber penghidupan
Peningkatan kapasitas
adaptasi dengan
membangun sistem
peringatan dini (bencana
terkait iklim), kampanye
kesadaran publik secara
luas dan program
kesehatan masyarakat
Pengembangan kapasitas
dan partisipasi masyarakat
di dalam proses
perencanaan lokal, untuk
mengamankan akses
kepada sumber daya
alam utama (key natural
resources)

17
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan

Meningkatkan secara
cepat program kesiap-
siagaan menghadapi
bencana dalam rangka
pengurangan risiko
bencana
Identifikasi wilayah rentan
perubahan iklim dalam
perencanaan dan tata
guna lahan
Peningkatan permukiman
masyarakat, penyediaan
kebutuhan dasar dan
Pembangunan prasarana
tahan iklim
Pencegahan dan resolusi
konflik
• Ketangguhan ekosistem dan
lanskap
Peningkatan kapasitas
adaptasi dengan
membangun sistem
peringatan dini (bencana
terkait iklim), kampanye
kesadaran publik secara
luas dan program
kesehatan masyarakat
Pengembangan kapasitas
dan partisipasi masyarakat
di dalam proses
perencanaan lokal, untuk
mengamankan akses
kepada sumber daya
alam utama (key natural
resources)
Meningkatkan secara
cepat program kesiap-
siagaan menghadapi
bencana dalam rangka
pengurangan risiko
bencana
Identifikasi wilayah rentan
perubahan iklim dalam
perencanaan dan tata
guna lahan
Peningkatan permukiman
masyarakat, penyediaan
kebutuhan dasar dan
Pembangunan prasarana
tahan iklim
Pencegahan dan resolusi
konflik

9 PEMANTAUAN a. Pemantauan progres • KLHK a. • Dikoordinasikan


DAN REVIEW implementasi NDC, termasuk • ESDM Pra 2020: oleh KLHK
NDC penggunaan platform atau • Kemtan mulai 2017 (terkait target
mekanisme untuk mengakses • Kementerian pengurangan
informasi kemajuan Perindustrian Paska emisi dan
implementasi NDC dan hasil- • Kemenkeu 2020: 2020 kebijakan PI)
hasilnya. • Bappenas - 2030

18
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan

b. Review dan adjusment b. setiap • Dikoordinasikan


5 tahun oleh KLHK
(review I: (terkait target
2019) pengurangan
emisi dan
kebijakan PI)
• Dikoordinasikan
oleh
BAPPENAS
(terkait dengan
target capaian
pembangunan
nasional)
• Menjelang
tahun 2020
akan dilakukan
review dan
adjustment
NDC bila
diperlukan
(tidak ada
backsliding)
• Diperlukan
sinergi
Bappenas-
KLHK-Kem.
Keu.

)* Semua data yang ada link ke SRN

19
V. PENDANAAN

Target penurunan emisi gas rumah kaca yang telah ditetapkan melalui NDC, yaitu
unconditional sebesar 29% dan target conditional sampai dengan 41% dibandingkan
skenario bussines as usual (BAU) tahun 2030 memerlukan pendanaan yang
memadai dan dapat diperkirakan jumlah serta opsi-opsi pendanaannya untuk dapat
mencapai target penurunan emisi GRK dan dalam waktu yang sama mencapai target
pembangunan. Isu pendanaan yang memadai, dapat diprediksi dan berkelanjutan
(adequate, predictable, sustainable) sudah dibahas dan disepakati sejak COP ke-
13 di Bali tahun 2007 melalui Decision 1/CP 13 para 1e(i) bahwa perlu “Improved
access to adequate, predictable and sustainable financial resources and financial
and technical support, and the provision of new and additional resources, including
official and concessional funding for developing country Parties”. Selanjutnya Paris
Agreement menyatakan “Recognizes the importance of adequate and predictable
financial resources, including for results-based payments, as appropriate, for the
implementation of policy approaches and positive incentives for reducing emissions
from deforestation and forest degradation, and the role of conservation, sustainable
management of forests and enhancement of forest carbon stocks”. Dalam hal ini,
sudah cukup jelas tentang kebutuhan dukungan pendanaan dari negara maju
untuk negara berkembang, selain sumber dana yang disiapkan sendiri oleh negara
berkembang.

Untuk mengelola pendanaan NDC, instrument pendanaan perubahan iklim di tingkat


nasional, termasuk kelembagaannya yang dapat menerapkan pola pengelolaan
keuangan dengan mekanisme pendanaan yang fleksible dan dapat menjamin
transparansi serta akuntabilitas dalam memobilisasi dan mendistribusikan pendanaan
perubahan iklim merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu, saat ini pemerintah
sedang berproses dalam membentuk lembaga pendanaan lingkungan hidup, dimana
perubahan iklim menjadi salah satu jendela pada lembaga pendanaan tersebut. Hal ini
sejalan dengan mandat UU No. 32 tahun 2009, pasal 42 dan pasal 43, yang mengatur
bahwa pemerintah harus membuat kebijakan mengenai pendanaan lingkungan hidup.

Melalui [Rancangan] Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan


Hidup, maka mandat pembentukan lembaga pendanaan yang menerapkan pola
keuangan badan layanan umum tersebut diatur pada [Rancangan] PP tersebut.

20
Sementara pembentukan kelembagaan pendanaan lingkungan hidup dibentuk melalui
Peraturan Presiden tentang Pendanaan Lingkungan Hidup.

Lembaga pendanaan lingkungan hidup (BPDLH) dirancang untuk dapat mengelola


pendanaan dari anggaran pemerintah dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan
Pemerintah yang digunakan untuk kebutuhan belanja, investasi dan pembiayaan
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk untuk upaya
pengendalian perubahan iklim. Untuk itu, lembaga pendanaan lingkungan hidup akan
dikelola secara profesional dengan mematuhi prinsip-prinsip pengelolaan keuangan
negara dan menerapkan standar fidusiari dan praktik-praktik terbaik yang diterima
secara internasional. Lembaga pendanaan lingkungan hidup tersebut akan berada
dibawah pembinaan Kementerian Keuangan dan KLHK dalam hal ini berperan
sebagai koordinator dalam memberikan arahan program-program lingkungan hidup,
termasuk program-program pengendalian perubahan iklim.

Lembaga pendanaan lingkungan hidup tersebut mengelola dua jenis dana utama,
yaitu:

1) Dana penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup,


yaitu dana yang disiapkan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah untuk
menanggulangi dan memulihkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup tanggap darurat dan yang tidak jelas sumber dan pelakunya.

2) Dana amanah/bantuan konservasi, yaitu dana yang berasal dari sumber hibah
dan donasi untuk kepentingan konservasi sumberdaya alam dan pelestarian
fungsi lingkungan hidup.

Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga pendanaan lingkungan hidup membentuk


beberapa jendela pendanaan (funding window) sesuai kebutuhan dan ketersediaan
anggaran. Salah satu jendela tersebut dan yang akan dikembangkan sejak awal
beroperasinya lembaga pendanaan tersebut adalah jendela pendanaan perubahan
iklim, yang diawali dengan pendanaan untuk REDD+. Jendela Pendanaan REDD+
akan mencakup kegiatan yang termasuk dalam dana jaminan pemulihan lingkungan
hidup dan dana amanah atau dana bantuan konservasi (Bagan 2).

21
Badan Layanan Umum (BLU) sebagai Pengelola Dana Lingkungan

INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN

PERENCANAAN PENDANAAN INSENTIF/DISINSENTIF

Dikelola oleh BLU

Dana Jaminan Pemulihan LH Dana Kerusakan/Pencemaran Dana Hibah Konservasi


Lingkungan
Tujuan: Tujuan:
• Kerusakan lingkungan yang • Perlindungan sumber
disebabkan degradasri/pencemaran daya alam
• Pemulihan lingkungan yang • Perlindungan
diakibatkan kerusakan/ atmosfer
pencemaran

Jendela Degradasi/ Jendela Konservasi Jendela


Pencemaran Lingkungan Sumber Daya Alam Perubahan Iklim Jendela Lain

Bagan 2. Pendanaan Lingkungan Hidup yang akan dikelola BLU

Mengingat untuk mencapai target pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca
sebagaimana ditetapkan dalam NDC diperlukan peran dan kontribusi berbagai pihak
dalam melaksanakan program dan kegiatanya, maka pendanaan NDC tidak hanya
dapat menggunakan pendanaan dengan mekanisme APBN/APBD sebagaimana
dijalankan oleh K/L dan Pemerintah Daerah. BPDLH yang mengelola dana dari
berbagai sumber diharapkan dapat menjadi pendukung dalam pendanaan NDC yang
dilakukan baik oleh Pemerintah (nasional dan sub-nasional) maupun non-Pemerintah
(swasta dan civil societies).

22
VI. PENUTUP

Implementasi NDC dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) tahap. Tahap pertama adalah
penyiapan prakondisi yang harus bisa diselesaikan sebelum tahun 2020. Tahap ini
terdiri dari: pengembangan ownership dan komitmen; pengembangan kapasitas;
enabling environment; penyusunan kerangka kerja dan jaringan komunikasi; kebijakan
satu data GRK; penyusunan kebijakan, rencana dan program (KRP) intervensi; dan
penyusunan pedoman implementasi NDC, termasuk review kesiapan memasuki
periode komitmen 2020 - 2030. Tahap kedua adalah implementasi pada periode
komitmen pertama mulai tahun 2020 – 2030. Tahap ketiga adalah pemantauan dan
review NDC selama periode komitmen, yang mencakup capaian target baik dari sisi
pengurangan emisi dan peningkatan kapasitas adaptasi serta peningkatan resiliensi
termasuk pelaporan internasional (yang dikoordinasikan KLHK) serta capaian target
pembangunan (yang dikoordinasikan oleh BAPPENAS). Dengan demikian, ketiga
tahap ini bukan berarti subsekuen antara satu tahap ke tahap berikutnya namun
dilaksanakan secara simultan. Pemantauan dan evaluasi (MRV untuk pengurangan
emisi) sudah mulai dilaksanakan pada tahap penyiapan prakondisi untuk memberbaiki
dan penyesuaian dengan situasi serta sumberdaya yang ada.

Keberhasilan implementasi NDC memerlukan sinergi semua komponen bangsa,


mulai dari Kementerian/Lembaga, Sektor Bisnis, Akademisi, Lembaga Swadaya
Masyarakat dan masyarakat umum. Implementasi NDC merupakan kegiatan
yang membutuhkan komitment, peran, dan kontribusi semua komponen bangsa
tersebut untuk berproses bersama-sama dengan merubah perilaku untuk berusaha
mengurangi emisi GRK sebesar 29%-41% dari BAU. Oleh karenanya langkah yang
penting diawali dari unsur pemerintah melalui upaya penyelarasan implementasi NDC
dengan kebijakan pembangunan semua sektor. Setelah Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah dapat inheren menjadikan kegiatan terkait perubahan iklim dalam
kegiatan pembangunannya, dapat lebih diharapkan peran semua komponen bangsa
dalam upaya implementasi NDC ini.

Penyusunan Strategi Implementasi NDC ini diarahkan sebagai pemandu arah gerak
sinergi bagi segenap komponen bangsa untuk melaksanakan komitmet internasional
yang sejalan dengan cita-cita dan tujuan nasional. Semoga langkah dan upaya
segenap komponen bangsa ini mendapat bimbingan dan kemudahan dari Tuhan Yang
Maha Kuasa.

23
24
FIRST NATIONALLY DETERMINED
CONTRIBUTION

REPUBLIC OF INDONESIA

November 2016
FIRST NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION
REPUBLIC OF INDONESIA

1. KONTEKS NASIONAL

Indonesia merupakan negara yang sedang bertumbuh dengan demokrasi yang stabil
dan populasi keempat terbanyak di dunia. Walaupun pertumbuhan ekonomi masih
terus meningkat selama dekade terakhir, sekitar 11% populasi Indonesia masih berada
di bawah garis kemiskinan. Untuk mengentaskan kemiskinan, Pemerintah Indonesia
memproyeksikan pembangunan ekonomi setidaknya mencapai 5% per tahun untuk
menurunkan laju kemiskinan di bawah 4% di tahun 2025 sebagaimana dimandatkan
dalam Undang-Undang, antara lain “bahwa setiap orang berhak memperoleh hidup
yang layak dan sehat”. Mengingat dampak perubahan iklim mulai dirasakan, Indonesia
masih terus mencari keseimbangan pembangunan di masa kini dan masa datang
serta prioritas pengentasan kemiskinan.

Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia mencanangkan target penurunan emisi GRK
sebesar 26% di tahun 2020, dan sampai dengan 41% apabila terdapat dukungan
internasional, dibandingkan terhadap skenario business as usual di tahun 2020.
Pemerintahan Indoesia saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo,
telah menentukan 9 (sembilan) aksi prioritas pembangunan nasional yang dituangkan
melalui Nawa Cita. Nawa Cita melingkupi antara lain melindungi segenap bangsa
dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara
kesatuan, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas
rakyat dan daya saing di pasar internasional. Misi Nawa Cita tersebut sejalan dengan
komitmen nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim,
dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai satu prioritas yang terintegrasi
dan lintas-sektoral dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Mengingat posisi penting Indonesia secara geografis dalam global ocean conveyor
belt (thermohaline circulation), negara kepulauan terbesar dan hutan hujan tropisnya
yang kaya akan keanekaragaman hayati, tingginya cadangan nilai karbon dan sumber
daya energi dan mineral, Indonesia dikenal akan perannya dalam upaya menghadapi
perubahan iklim. Namun, Indonesia juga rentan terhadap bencana alam yang akan
diperparah dengan terjadinya perubahan iklim, terutama di daerah dataran rendah di
seluruh nusantara. Oleh karena itu Indonesia memandang bahwa upaya komprehensif

1
adaptasi dan mitigasi berbasis lahan dan laut merupakan sebuah pertimbangan
strategis yang kritis dalam mencapai ketahanan iklim terkait pangan, air dan energi.

Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia menguraikan transisi Indonesia


menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim. NDC tersebut
menggambarkan peningkatan aksi dan kondisi yang mendukung selama periode
2015-2019 yang akan menjadi landasan untuk menentukan tujuan lebih ambisius
setelah tahun 2020, yang akan berkontribusi dalam upaya untuk mencegah
kenaikan termperatur global sebesar 20C dan mengejar upaya membatasi kenaikan
temperature global sebesar 1,50C dibandingkan masa pra-industri. Untuk periode
2020 dan seterusnya, Indonesia memandang pencapaian ketahanan iklim kepulauan
merupakan sebuah hasil dari pelaksanaan program adaptasi-mitigasi dan strategi
penurunan risiko bencana yang komprehensif. Indonesia telah menentukan tujuan
ambisius mengenai konsumsi dan produksi keberlanjutan terkait pangan, air dan
energi. Tujuan ini akan dapat dicapai melalui pemberdayaan dan peningkatan
kapasitas, memperbaiki layanan dasar kesehatan dan pendidikan, inovasi teknologi,
dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip tata
kelola yang baik.

2. MITIGASI

Menurut dokumen Second National Communication tahun 2010, emisi gas rumah
kaca (GRK) Indonesia diperkirakan sebesar 1,8 GtCO2e di tahun 2005. Angka ini
menunjukkan peningkatan sebesar 0,4 GtCO2e dibandingkan tahun 2000. Sumber
emisi paling besar (63%) berasal dari kegiatan alih guna lahan serta kebakaran hutan
dan lahan gambut, sedangkan konsumsi bahan bakar minyak menyumbangkan emisi
GRK sebesar 19% dari total emisi. Berdasarkan dokumen First Biennial Update
Report (BUR) yang telah disampaikan kepada UNFCCC pada bulan Januari 2016,
emisi GRK nasional adalah sebesar 1,453 GtCO2e di tahun 2012, yang menunjukkan
peningkatan sebesar 0,452 GtCO2e dari tahun 2000. Sektor utama yang berkontribusi
mengeluarkan emisi adalah sektor LUCF termasuk kebakaran gambut (47,8%) dan
sektor energi (34,9%)

Sejak Indonesia mencanangkan penurunan emisi GRK secara sukarela sebesar 26%
dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% apabila ada dukungan internasional,
dibandingkan dengan skenario business as usual 2020, Indonesia telah mengeluarkan
rangkaian perangkat hukum dan kebijakan, termasuk Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi GRK sebagaimana dituangkan dalam PERPRES No. 61/2011 dan
inventarisasi GRK melalui PERPRES No. 71/2011.

Pasca-2020, Indonesia merencanakan untuk meningkatkan target melebihi komitmen


saat ini. Mengacu pada kajian terbaru mengenai tingkat emisi GRK, Indonesia telah
menetapkan target unconditional sebesar 29% dan target conditional sampai dengan
41% dibandingkan skenario business as usual di tahun 2030.

2
Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mengurangi emisi dari
sektor berbasis lahan dengan mengambil kebijakan moratorium penebangan hutan
primer dan pelarangan konversi dari hutan yang tersisa dengan kegiatan pengurangan
deforestasi dan degradasi hutan, restorasi fungsi-fungsi ekosistem, serta pengelolaan
hutan berkelanjutan yang termasuk perhutanan sosial melalui partisipasi aktif sektor
swasta, usaha kecil dan menengah, organisasi masyarakat sipil, masyarakat lokal
dan kelompok masyarakat yang paling rentan, terutama Masyarakat Hukum Adat,
dan perempuan - baik dalam tahap perencanaan maupun implementasi. Pendekatan
dengan skala lanseap dan pengelolaan berbasis ekosistem dengan peranan
pemerintah daerah, merupakan hal penting dalam menjamin manfaat yang lebih besar
dan berkelanjutan dari inisiatif-inisiatif tersebut.

REDD+ akan menjadi komponen penting dari target NDC Indonesia di sektor berbasis
lahan. Forest Reference Emission Level (FREL) untuk REDD+ telah disampaikan
kepada Sekretariat UNFCCC pada bulan Desember 2015, yang mencakup deforestasi
dan degradasi hutan serta dekomposisi gambut. FREL ditetapkan sebesar 0,568
GtCO2e/tahun untuk pool karbon Above Ground Biomass, dengan menggunakan
periode referensi 1990-2012 dan akan digunakan sebagai rujukan terhadap emisi
aktual dari 2013 hingga 2020. Angka ini digunakan sebagai benchmark untuk
mengevaluasi kinerja REDD+ selama periode implementasi (hingga 2020). Indonesia
akan melakukan adjustment (penyesuaian) manakala diperlukan.

Di sektor energi, Indonesia telah menentukan kebijakan bauran energi. Selain itu
juga telah ditetapkan kebijakan nasional mengenai pengembangan sumber energi
bersih. Secara kolektif, kebijakan ini akan menempatkan Indonesia ke arah jalur
dekarbonisasi. Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional menetapkan ambisi untuk melakukan transformasi, di tahun 2025 dan 2050,
bauran penyediaan energi utama sebagai berikut:

a) energi baru terbarukan setidaknya sebesar 23% di tahun 2025 dan setidaknya
sebesar 31% di tahun 2050;
b) minyak harus lebih kecil dari 25% di tahun 2025 dan lebih kecil dari 20% di tahun
2050;
c) batubara paling sedikit 30% di tahun 2025 dan paling sedikit 25% di tahun 2050;
dan
d) gas setidaknya paling sedikit 22% di tahun 2025 dan paling sedikit 24% di tahun
2050.

Di sektor pengelolaan limbah, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk


mengembangkan strategi komprehensif untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan
kapasitas institusi di tingkat lokal, meningkatkan kapasitas pengelolaan limbah cair
perkotaan, mengurangi limbah yang dibuang ke landfill melalui pendekatan “Reduce,
Reuse, Recycle”, dan pemanfaatan sampah dan limbah untuk energi. Pemerintah
Indonesia berkomitmen untuk lebih jauh menurunkan emisi GRK dari sektor
pengelolaan limbah di tahun 2030 dan seterusnya melalui pengembangan kebijakan

3
yang komprehensif dan koheren, penguatan institusi, peningkatan mekanisme
keuangan dan pendanaan, inovasi teknologi, dan pendekatan sosial-budaya.

3. ADAPTASI

Perubahan iklim menimbulkan risiko signifikan terhadap sumber daya alam di Indonesia
yang akan mempengaruhi produksi dan distribusi pangan, air dan energi. Oleh karena
itu, Pemerintah Indonesia memandang upaya mitgasi dan adaptasi perubahan iklim
sebagai konsep terintegrasi yang penting dalam membangun ketahanan sumber daya
pangan, air dan energi. Pemerintah telah melakukan upaya signifikan dalam menyusun
dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang
menyediakan kerangka untuk berbagai inisiatif adaptasi yang telah diarusutamakan
ke dalam perencanaan pembangunan nasional.

Pemerintah Indonesia akan meningkatkan aksi untuk mengkaji dan memetakan


kerentanan regional sebagai dasar dari sistem informasi adaptasi, serta memperkuat
kapasitas institusi dan menetapkan kebijakan maupun peraturan terkait perubahan
iklim di tahun 2020. Tujuan jangka menengah dari strategi adaptasi perubahan iklim
di Indonesia adalah untuk menurunkan risiko pada semua sektor pembangunan
(pertanian, sumber daya air, ketahanan energi, kehutanan, maritim dan perikanan,
kesehatan, pelayanan publik, infrastruktur, dan sistem perkotaan) pada tahun 2030
melalui penguatan kapasitas lokal, pengelolaan pengetahuan yang meningkat,
kebijakan yang konvergen tentang adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko
bencana, dan penerapan teknologi yang adaptif.

Kebijakan dan aksi pra-2020 akan mendukung kelancaran transisi menuju pelaksanaan
NDC di bawah kerangka Persetujuan Paris paska-2020. Kebijakan dan aksi dimaksud,
yang akan menjadi landasan kuat bagi pelaksanaan aksi adaptasi sejak tahun 2020,
adalah:

1) Pra-kondisi:
• Pengembangan sistem informasi data kerentanan iklim nasional, yang akan
dibangun berbasis sistem yang telah ada yaitu SIDIK (Sistem Informasi Data
dan Informasi Kerentanan), yang terbuka bagi publik melalui situs http://
ditjenppi.menlhk. go.id.
• Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.33/2016
tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim, yang dapat
dipergunakan oleh pemerintah daerah dalam memformulasikan rencana aksi
adaptasi daerah.
• Peningkatan pelaksanaan RAN-API yang telah ditetapkan pada tahun 2014.

2) Lingkungan hidup dan sosial ekonomi:


• UU No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air akan mengarah pada

4
pertanian dan alih guna lahan yang berkelanjutan. Peraturan ini memandu
para pemangku kepentingan dalam upaya konservasi lahan dan peningkatan
produktivitas menuju pertanian berkelanjutan.
• Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
akan mengarah pada peningkatan daya dukung daerah aliran sungai (DAS).
Peraturan tersebut menyediakan panduan untuk mengidentifikasi DAS yang
harus dilindungi, direstorasi, dan direhabilitasi.
• Pengelolaan hutan berbasis masyarakat akan meningkatkan pendapatan dan
saat bersamaan akan menurunkan tekanan yang mengarah pada deforestasi
dan degradasi hutan primer.
• Peningkatan peran ProKLim (upaya bersama adaptasi dan mitgasi perubahan
iklim) sebagai suatu pendekatan bottom up dalam program ketahanan iklim
di tingkat lokal. Melalui peningkatan peran ProKLim juga akan dimungkinkan
untuk menghitung kontribusinya (terhadap pencapaian penurunan emisi GRK
baik pada periode pra-2020 maupun pasca-2020.

4. PENDEKATAN STRATEGIS

Indonesia memerlukan perencanaan yang komprehensif dan seksama untuk


menerapkan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan secara efektif, memanfaatkan
keragaman kearifan tradisional dan lembaga adatnya. Pengembangan konstitusi
secara lebih luas juga dinilai sebagai titik kritis yang dapat dilakukan melalui pelibatan
seluruh pemangku kepentingan termasuk jejaring kerja berbasis keagamaan dan
gerakan lintaskeagamaan yang telah terbentuk.

Pendekatan strategis NDC Indonesia didasarkan pada prinsip berikut:


• Menerapkan pendekatan lanskap: menyadari bahwa upaya adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim merupakan issue multi-sektor, Indonesia menerapkan pendekatan
lanskap yang terintegrasi meliputi ekosistem daratan, pesisir dan laut.
• Menyoroti best practices: memperhatikan upaya multi-sektor dalam pengendalian
perubahan iklim, Indonesia bermaksud untuk meningkatkan skala kearifan
tradisional dan inovasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
• Mengarusutamakan agenda perubahan iklim ke dalam perencanaan
pembangunan: mengakui adanya kebutuhan untuk integrasi perubahan iklim
ke dalam perencanaan spasial dan proses penganggaran, Indonesia akan
mencantumkan indikator kunci perubahan iklim dalam proses formulasi target
program pembangunan.
• Memajukan ketahanan iklim yang berkaitan dengan pangan, air dan energi:
mengakui pentingnya pemenuhan kebutuhan pangan, air dan energi, Indonesia
akan memperbaiki pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan ketahanan
iklim dengan melindungi dan merestorasi ekosistem daratan, pesisir dan laut.

5
Komitmen Indonesia terhadap masa depan yang rendah karbon memetakan
kerangka peningkatan aksi dan dukungan yang diperlukan untuk periode 2015-2019
yang akan menjadi landasan untuk tujuan lebih ambisius setelah tahun 2020. Hal ini
dapat membuka peluang untuk membangun aksi koheren di tingkat nasional, dengan
menekankan pada pengembangan riset, mobilisasi sumber daya melalui kemitraan,
dan kerjasama internasional. Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup tahun 2009 sebenarnya telah menyediakan kerangka hukum untuk
mendukung strategi dan aksi periode 2015-2019, yang dapat dijadikan dasar sebagai
kondisi yang memungkinkan untuk implementasi kebijakan jangka panjang tahun
2020 dan seterusnya. Walaupun demikian, untuk mencapai tujuan kebijakan jangka
panjang, harmonisasi aspek legal yang komprehensif terhadap semua hal terkait
perubahan iklim dinilai sebagai titik kritis untuk menghadapi tantangan mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melaporkan bahwa selama periode


2007-2014 Indonesia telah mengeluarkan pendanaan sebesar USD 17,48 milyar untuk
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta kegiatan pendukung. Indonesia akan
melanjutkan penyediaan dukungan pendanaan untuk pelaksanaan perencanaan dan
aksi perubahan iklim, termasuk alokasi total sebesar USD 55,01 milyar untuk periode
tahun 2015-2019. Indonesia juga akan melanjutkan untuk menetapkan pendanaan
nasional untuk pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi periode tahun 2020-2030.

Sejalan dengan Persetujuan Paris, Indonesia menjunjung, memajukan dan


mempertimbangkan kewajibannya terkait dengan hak asasi manusia, hak untuk
kesehatan, hak masyarakat hukum adat, komunitas lokal, migran, anak-anak,
masyarakat dengan kemampuan berbeda, masyarakat rentan, dan hak untuk
membangun, demikian juga dengan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan
dan kesamaan antar-generasi. Pelibatan non-party stakeholders, termasuk pemerintah
daerah, sektor swasta, masyarakat umum akan ditingkatkan secara terus menerus.

5. PROSES PERENCANAAN

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat terhadap pengembangan


institusi melalui pembentukan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim
dalam struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dibentuk melalui
Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2015, Direktorat Jenderal dimaksud berperan
sebagai National Focal Point untuk Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim-
Persatuan Bangsa-bangsa, atau United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC), yang berfungsi untuk memfasilitasi program dan proses terkait
perubahan iklim yang telah dijalankan oleh beragam sektor pemerintah dan para
pemangku kepentingan. Mengingat perubahan iklim memiliki dimensi tingkat lokal
hingga nasionall dan internasional, koordinasi dan sinergi akan terus diperkuat antara
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Badan Pembangunan Nasional

6
serta Kementerian Keuangan dalam konteks perubahan iklim, pembangunan nasional
dan anggaran, dan dengan Kementerian Luar Negeri dalam konteks perubahan iklim
dan negosiasi internasional.

Dalam proses penyiapan NDC, Pemerintah Indonesia telah menyelenggarakan


konsultasi dengan beragam pemangku kepentingan yang mewakili kementerian
dan institusi pemerintah lain, akademisi, pakar ilmiah, sektor swasta, dan organisasi
masyarakat; rangkaian konsultasi dimaksud termasuk melalui workshop dan konsultasi
di tingkat nasional maupun tingkat propinsi, dan juga pertemuan bilateral dengan
sektor-sektor kunci.

Penyusunan NDC telah mempertimbangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan


Pasca-2015 atau Post-2015 Sustainable Development Goals (SDGs), terutama
mengenai pelaksanaan aksi segera untuk mengendalikan perubahan iklim dan
dampaknya, memajukan ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan, mencapai
kesamaan jender, menjamin keberadaan sumber daya air dan keberlanjutannya,
akses energi yang murah dan mudah untuk semua, pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan dan inklusif, infrastruktur berketahanan iklim, pola konsumsi dan
produksi yang berkelanjutan, pemanfaatn berkelanjutan dan konservasi sumber
daya laut, dan perlindungan dan pemulihan ekosistem daratan yang berkelanjutan,
pengelolaan hutan berkelanjutan, penanganan penggurunan, penghentian dan
pembalikan degradasi lahan dan kehilangan keanekaragaman hayati.

6. INFORMASI UNTUK MEMFASILITASI KEJELASAN, TRANSPARANSI DAN


PEMAHAMAN (CLARITY, TRANSPARENCY AND UNDERSTANDING)

Tingkat Penurunan Emisi GRK

(a) Penurunan Unconditional Indonesia secara sukarela berkomitmen untuk


menurunkan emisi GRK dengan kemampuan sendiri
sebesar 26% dibandingkan skenario BAU pada tahun
2020.

Komitmen tersebut merupakan kondisi yang


dibutuhkan untuk menuju komitmen yang lebih
ambisius untuk penurunan emisi GRK pada tahun
2030 dengan merinci rencana penurunan emisi GRK
berdasarkan pendekatan berbasis hasil dan bersifat
inklusif. Komitmen tersebut akan dilaksanakan
melalui perencanaan tata guna lahan dan tata
ruang yang efektif, pengelolaan hutan berkelanjutan
termasuk program perhutanan sosial, memulihkan
fungsi ekosistem yang telah terdegradasi termasuk

7
ekosistem lahan basah, meningkatkan produktivitas
pertanian dan perikanan, konservasi energi dan
mendorong sumber energi yang bersih dan terbarukan
serta peningkatan kualitas pengelolaan limbah.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan


emisi GRK secara unconditional sebesar 29%
terhadap skenario BAU pada tahun 2030. Skenario
BAU diproyeksikan sebesar 2,869 GtCO2e pada
tahun 2030, yang merupakan pemutakhiran dari
skenario BAU pada INDC karena kondisi terakhir dari
pengembangan kebijakan energi khususnya pada
pembangkit batu bara.

(b) Penurunan conditional Indonesia dapat meningkatkan kontribusinya dalam


menurunkan emisi GRK sampai dengan 41%
pada tahun 2030, tergantung kepada ketersediaan
dukungan internasional dalam bentuk pendanaan,
transfer dan pengembangan teknologi serta
peningkatan kapasitas.

Tipe Penurunan emisi GRK relatif terhadap baseline


Business As Usual (BAU).

Lingkup Skala nasional dengan pendekatan pengelolaan


lanskap dan ekosistem melalui upaya adaptasi dan
mitigasi dengan membangun dan memperkuat
kapasitas di tingkat sub-nasional.

Cakupan Karbon Dioksida (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide


(N2O)

Baseline Skenario BAU dari proyeksi emisi mulai tahun 2010.

Fair and Ambitious Pertumbuhan GDP Indonesia telah melambat pada


tahun 2010-2015, dari 6,2-6,5% per tahun menjadi
hanya 4,0% (triwulan I tahun 2015).

Jumlah penduduk telah meningkat dengan rata-rata


1,49% pada periode tahun 2000-2010, memberikan
tantangan bagi Indonesia dalam memenuhi kebutuhan
energi, menjamin ketahanan pangan serta memenuhi
kebutuhan lapangan kerja/sumber penghidupan untuk
masyarakat. Pada saat yang sama, pengentasan
kemiskinan masih merupakan tantangan, dengan

8
10,96% dari populasi hidup dalam kemiskinan pada
tahun 2014, dan tingkat pengangguran sebesar
5,9%.

Meski menghadapi tantangan yang sama seperti


negara berkembang lainnya, Indonesia berkomitmen
untuk melakukan transisi dari arah pembangunan
saat ini menuju pembangunan rendah karbon dan
berketahanan iklim secara bertahap. Langkah-langkah
menuju dekarbonisasi ekonomi akan diintegrasikan
secara penuh ke dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024.

Indonesia juga mempertimbangkan untuk


memperhitungkan/ menentukan waktu emisi GRK
puncak nasional (the peaking time of national
GHGs emissions) dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan nasional yang berkelanjutan serta
berkontribusi pada upaya global mengatasi dampak
negatif perubahan iklim.

Asumsi Utama Mitigasi

Pengukuran yang digunakan Global Warming Potential (GWP) skala 100 tahun
berdasarkan Assessment Report 4 IPCC

Metodologi untuk estimasi Model untuk estimasi emisi:


emisi Dashboard AFOLU untuk sektor berbasis lahan;
ExSS (Extended Snap Shot) using GAMS
(General Algebraic Modeling System) dan CGE
(Dynamic CGE) untuk sektor energi;
Peta Jalan Aksi Mitigasi untuk Industri Semen
(Kementerian Perindustrian) untuk sektor IPPU;
First Order Decay-FOD (IPCC-2006) dan peraturan
yang berlaku untuk sektor limbah

Baseline dan asumsi yang BAU Baseline Scenario and Mitigation Scenario
digunakan untuk proyeksi Skenario BAU: skenario emisi ketika
dan Skenario Kebijakan pembangunan tidak mempertimbangkan
tahun 2020-2030 kebijakan mitigasi perubahan iklim.

9
Counter Measure 1 Scenario (CM1): skenario
emisi dengan skenario mitigasi dan
mempertimbangkan target pembangunan
sektoral.
Counter Measure 2 Scenario (CM2) atau
skenario conditional: skenario emisi dengan
skenario emisi yang lebih ambisius dan
mempertimbangkan target pembangunan
sektoral, jika dukungan internasional tersedia.

Lingkup penurunan emisi Dengan baseline dan asumsi yang digunakan untuk
proyeksi kebijakan tahun 2020-2030, BAU dan
penurunan emisii yang diproyeksikan baik untuk
penurunan emisi GRK secara unconditional (CM1)
dan conditional (CM2) ditunjukkan pada Tabel 1
dengan elaborasi dari asumsi untuk setiap sektor
seperti tercantum pada Annex.

Table 1. Proyeksi BAU dan reduksi emisi GRK dari setiap kategori sektor

Tingkat Rerata
Tingkat Emisi GRK 2030 Penurunan Emisi GRK Pertum- Rerata
Emisi
GRK buhan Pertum-
No Sektor (MTon CO2e) (MTon CO2e) % of Total BaU Tahunan buhan
2010
BAU 2000-
MTon (2010- 2012*
BaU CM1 CM2 CM1 CM2 CM1 CM2
CO2e 2030)
1 Energi* 453.2 1,669 1,355 1,271 314 398 11% 14% 6.7% 4.50%
2 Limbah 88 296 285 270 11 26 0.38% 1% 6.3% 4.00%
3 IPPU 36 69.6 66.85 66.35 2.75 3.25 0.10% 0.11% 3.4% 0.10%
4 Pertanian 110.5 119.66 110.39 115.86 9 4 0.32% 0.13% 0.4% 1.30%
5 Kehutanan** 647 714 217 64 497 650 17.2% 23% 0.5% 2.70%
TOTAL 1,334 2,869 2,034 1,787 834 1,081 29% 38% 3.9% 3.20%
* Termasuk fugitive **Termasuk kebakaran gambut
Notes: CM1= Counter Measure 1 (kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi-unconditional)
CM2= Counter Measure 2 (kondisi skenario dengan persyaratan mitigasi-conditional)

7. KERANGKA TRANSPARANSI

Sebagai bagian dari pelaksanaan Pasal 13 Persetujuan Paris, diberlakukan Kerangka


Transparansi Nasional yang terintegrasi melalui: (a) Sistem Registri Nasional (SRN
untuk mitigasi, adaptasi dan dukungan sumberdaya dari nasional maupun internasional;
(b) Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN- SMART); (c) Sistem MRV
untuk mitigasi termasuk REDD+; dan (d) Sistem Informasi Safeguards REDD+ (SIS-
REDD+); serta (e) Sistem Informasi dan Data Indeks Kerentanan serta aksi gabungan
adaptasi-mitigasi di tingkat desa melalui Program Kampung Iklim (PROKLIM).

10
Indonesia berkomitmen untuk mengkomunikasikan secara periodik laporan emisi gas
rumah kaca dari berbagai sektor, termasuk status dari aksi penurunan emisi GRK
dan capaiannya kepada Sekretariat UNFCCC. Indonesia saat ini sedang menyusun
Laporan Komunikasi Nasional Ketiga (Third National Communication atau TNC) untuk
disampaikan pada tahun 2017. Indonesia juga tetap akan memenuhi kewajibannya
dalam menyusun Biennial Update Report (BUR). BUR Pertama Indonesia disampaikan
pada awal tahun 2016.

8. DUKUNGAN INTERNASIONAL

Untuk meningkatkan ambisi dalam penurunan Emisi gas rumah kaca, termasuk
persiapan pelaksanaan NDC (pra-2020) pada semua kategori sektor dan pelaksanaan
REDD+ pada Pasal 5 Persetujuan Paris diperlukan dukungan internasional dari
negara maju dalam bentuk pendanaan, pengembangan dan transfer teknologi, dan
peningkatan kapasitas.

Pasal 5 dari Persetujuan Paris memberikan sinyal politis yang jelas mengenai
pengakuan terhadap peranan hutan dan REDD+. Keputusan COP telah memberikan
arahan yang cukup untuk mengimplementasikan dan mendukung pelaksanaan
REDD+. Selain itu, mempertimbangkan kemajuan persiapan dan transisi REDD+ di
tingkat national dan sub nasional, REDD+ Indonesia telah siap untuk pembayaran/
insentif berbasis hasil (result-based payment). Sebagai pendekatan kebijakan dan
insentif positif, REDD+ harus mampu untuk mendukung capaian target penurunan
emisi gas rumah kaca untuk sektor kehutanan.

Indonesia menyambut kerjasama bilateral, regional dan internasional dalam


pelaksanaan NDC sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Persetujuan Paris, yang
memfasilitasi dan mempercepat proses pengembangan dan transfer teknologi,
pembayaran berdasarkan kinerja, kerjasama teknis, dan akses kepada sumber-
sumber pendanaan untuk mendukung upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim menuju masa depan yang lebih berketahanan iklim.

9. STRATEGI RENDAH KARBON DAN BERKETAHANAN IKLIM

Pendahuluan

Pemerintah Indonesia mempertimbangkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan


iklim sebagai konsep yang terintegrasi yang penting untuk membangun ketahanan
dalam menjaga sumberdaya pangan, air dan energi. Indonesia juga memandang
bahwa pembangunan yang menuju rendah karbon dan berketahanan iklim adalah
konsisten dengan komitmen untuk berkontribusi dalam upaya global untuk mencapai
sasaran tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs, Sustainable Development Goals).

11
Agenda global tersebut sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan
dan posisinya dalam bentang lautan global (sirkulasi thermohaline) dan hutan hujan
tropis yang luas dengan keanekaragaman hayati dan nilai cadangan karbon yang
tinggi. Indonesia merupakan negara yang sedang membangun, dengan kehidupan
demokrasi yang stabil dan dengan jumlah penduduk terpadat keempat sedunia dan
dengan proporsi terbesar adalah generasi muda dan yang paling produktif.

Kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim

Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah pesisir dan kepulauan kecil yang
ekstensif, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia telah
mengalami kejadian iklim ekstrim seperti banjir dan kekeringan, serta dampak jangka
panjang dari kenaikan muka air laut. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk,
bencana alam yang dipengaruhi oleh perubahan iklim menimbulkan dampak yang
lebih luas terhadap masyarakat dan aset yang dimiliki, sehingga mereka mengalami
kesulitan untuk keluar dari garis kemiskinan.

Perubahan iklim diyakini akan meningkatkan risiko bencana hidrogeometeorgi, menjadi


80% dari total bencana yang tradisi di Indonesia. Penduduk miskin dan populasi yang
terpinggirkan cenderung untuk tinggal di daerah yang berisiko tinggi terhadap banjir,
longsor, kenaikan muka air laut dan kelangkaan air sepanjang musim kering.

Sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia
menghadapi risiko tinggi kejadian banjir di pesisir dan kenaikan muka air laut yang
akan berdampak pada 42 juta penduduk yang tinggal di pesisir. Sebagian besar
daerah tersebut merupakan daerah urbanisasi sangat pesat, yang mencapai 50%
pada tahun 2010.

Kerentanan pada wilayah pesisir juga diakibatkan oleh tingkat deforestasi dan
degradasi hutan. Hilangnya ekosistem hutan menimbulkan hilangnya jasa lingkungan
yang utama, daerah tangkapan air, pencegahan erosi dan banjir.

Untuk mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia harus


memperkuat ketahanan iklim dengan mengintegrasikan upaya adaptasi dan mitigasi
di dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Kondisi yang Mendukung Ketahanan Iklim

Arah pembangunan Indonesia menuju rendah karbon dan berketahanan iklim harus
dikembangkan dengan membangun dasar yang kuat melalui dukungan kondisi
sebagai berikut:
• Kepastian dalam perencanaan dan tata guna lahan
• Ketahanan tenurial

12
• Ketahanan pangan
• Ketahanan air
• Energi terbarukan

Ketahanan Ekonomi

Perubahan iklim menimbulkan risiko yang sangat signifikan bagi sumberdaya alam
yang akan mengakibatkan gangguan terhadap produksi dan distribusi pangan, air
dan energi. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan semakin meningkatkan tekanan
terhadap sumberdaya yang sudah terbatas. Untuk merespon hal ini, Indonesia
merencanakan untuk bertransformasi menuju ekonomi rendah karbon dan membangun
ketahanan pangan, air dan energi melalui peningkatan aksi berikut:
• Pertanian dan perkebunan berkelanjutan
• Pengelolaan daerah aliran sungai terintegrasi
• Penurunan deforestasi dan degradasi hutan
• Konservasi lahan
• Pemanfaatan lahan terdegradasi untuk energi terbarukan
• Perbaikan efisiensi energi dan pola konsumsi

Ketahanan Sosial dan Sumber Penghidupan

Perubahan iklim berdampak terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat khususnya


yang sangat rentan. Bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim menimbulkan
dampak yang lebih besar terhadap masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan
dan menghambat pengumpulan modal. Kenaikan harga pangan, air dan energi, yang
biasanya terjadi setelah bencana kekeringan, banjir dan bencana lainnya, akan
menyebabkan masyarakat miskin makin termiskinkan. Kesenjangan sosial-ekonomi
akan secara potensial berkontribusi terhadap ketidak-stabilan politik di daerah yang
sangat terdampak oleh perubahan iklim. Untuk mencegah kesenjangan lebih lanjut,
Indonesia merencanakan untuk membangun ketahanan sosial melalui aksi-aksi
sebagai berikut:
• Peningkatan kapasitas adaptasi dengan membangun sistem peringatan dini,
kampanye kesadaran publik secara luas dan program kesehatan masyarakat;
• Pengembangan kapasitas dan partisipasi masyarakat di dalam proses perencanaan
lokal, untuk mengamankan akses kepada sumberdaya alam utama;
• Meningkatkan secara cepat program kesiap-siagaan menghadapi bencana dalam
rangka pengurangan risiko bencana;
• Identifikasi wilayah sangat rentan di dalam perencanaan dan tata guna lahan;
• Peningkatan permukiman masyarakat, penyediaan kebutuhan dasar dan
pembangunan prasarana tahan iklim,
• Pencegahan dan resolusi konflik

13
Ketahanan Ekosistem dan Lanskap

Sebagai negara kepulauan dengan kekayaan keanekaragaman yang tinggi, ekosistem


dan lanskap Indonesia yang sangat beragam menyediakan berbagai jasa lingkungan
seperti perlindungan daerah aliran sungai, sekuestrasi dan konservasi karbon dan
pengurangan risiko bencana. Untuk membangun ketahanan iklim, Indonesia harus
melindungi dan menjaga keberlanjutan jasa lingkungan dengan pendekatan integratif,
berbasis lanskap di dalam pengelolaan ekosistem daratan, pesisir dan laut. Aksi-aksi
di bawah ini adalah untuk memperkuat ketahanan ekosistem dan lanskap:
• Konservasi dan restorasi ekosistem
• Perhutanan sosial
• Perlindungan kawasan pesisir
• Pengelolaan daerah aliran sungai terintegrasi
• Kota berketahanan iklim

10. KAJI-ULANG DAN PENYESUAIAN

NDC mencerminkan kondisi terakhir dalam hal data dan informasi, analisis, dan skenario
ke depan oleh Pemerintah Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia akan
mengalami perubahan dinamis karena adanya perubahan perekonomian di tingkat
nasional dan global. Dalam hal ini, NDC akan dikaji-ulang dan disesuaikan, sesuai
kebutuhan, dengan mempertimbangkan kondisi, kapasitas dan kemampuan nasional
serta ketentuan di dalam Persetujuan Paris.

Lampiran
Nationally Determined Contribution (NDC) Pertama
Republik Indonesia
Asumsi yang Dipergunakan dalam Proyeksi BAU dan Reduksi Emisi GRK
(reduksi unconditional / CM1 dan conditional / CM2) untuk seluruh
kategori Sektor (Energi, Limbah, IPPU, Pertanian dan Kehutanan)

S E K T O R : E N E R G I
Skenario Mitigasi 1 Skenario Mitigasi 2
BAU
(CM 1) (CM 2)
1. Efisiensi konsumsi energi final Konsumsi energi final
tidak efisien
2. Penerapan teknologi CCT (clean 75% 100%
coal technology) di pembangkit 0%
listrik
3. Penggunaan energi baru 19.6%
Pembangkit Listrik Produksi Listrik
terbarukan pada pembangkit (Committed 7,4 GW
menggunakan batubara 132,74 TWh*
listrik berdasarkan RUPTL)*
4. Penggunaan bahan bakar nabati-
BBN (Mandatory B30) di sektor 0% 90% 100%
transportasi
5. Penambahan jaringan gas 0% 100% 100%
(Jargas)
6. Penambahan Stasiun pengisian
0% 100% 100%
Bahan Bakar Gas (SPBG)

* 132,74 TWh adalah setara dengan 21,65 GW

14
SEKTOR :FOLU
A. Laju deforestasi
- Laju deforestasi untuk BAU 2013-2020 mengikuti baseline FREL-REDD yaitu 0,920 juta ha/
tahun, yang terdiri dari deforestasi tidak terencana dan deforestasi terencana. Laju deforestasi
terencana dihitung terlebih dahulu oleh model sesuai dengan skenario pembangunan.
- Untuk skenario CM1 dan CM2, laju deforestasi tidak terencana diasumsikan lebih rendah seh-
ingga total deforestasi (terencana dan tidak terencana) adalah sebesar 0,450 juta ha
- Laju deforestasi BAU 2021-2030 diasumsikan menurun menjadi 0,820 juta ha/tahun dan untuk
CM1 dan CM2 menjadi 0,325 juta ha

BAU CM1 CM2 Note


Total (000 ha) 2013-’20: 920 2013-’20: 450 2013-’20: 450 Setelah tahun
2020-’30: 820 2020-’30: 325 2020-’30: 325 2030 deforetasi
2030-’50: hasil 2030-’50: hasil 2030-’50: hasil tidak terencana
model model model sudah tidak
1. Deforestasi Tidak 2013-’20: 500 2013-’20: 175 2013-’20: 175 terjadi. Artinya
Terencana 2020-’30: 409 2020-’30: 92 2021-’30: 66 laju deforestasi
2030-’50: 0 2030-’50: 0 2030-’50: 0 sepenuhnya
dari model
2. Deforestasi 2011-’50: hasil 2011-’50: hasil 2011-’50: hasil (deforestasi
Terencana model model model terencana
(Dari model) saja, sesuai
kebutuhan)
B. Asumsi Produksi Kayu
1. Laju ekstraksi kayu dari hutan alam yang lestari dari beberapa literatur berkisar
antara 20 - 35 m3/ha. Studi ini mengasumsikan ekstraksi masih 50 m3/ha pada
tahun 2010 (kelebihan adalah dari penebangan ilegal), dan pada tahun 2050
sudah mencapai 30m3 (laju penebangan lestari, artinya penebangan liar sudah
hampir tidak ada).
2. Target produksi kayu dari hutan alam untuk CM1 dan CM2 mengikuti RKTN
(Dephut, 2011), sedangkan BAU lebih tinggi berdasarkan perkiraan Asosiasi
Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
3. Laju pembangunan HTI untuk BAU mengikuti laju historis dan persentase
lahan layak tanam sekitar 63% yang didasarkan pada asumsi yang digunakan
APHI (2007)
4. Semua hutan yang dibuka untuk keperluan pembangunan, kayu yang dihasilkan
diasumsikan semuanya dimanfaatkan (tidak dibuang)
5. Pemanfaatan kayu sawit dan karet saat akhir rotasi/peremajaan diasumsikan
hanya sebagian saja. Untuk CM3 diasumsikan 50% (sebagian besar dari
kebun negara dan swasta).

C. Asumsi Laju Pertumbuhan:


1. Laju pertumbuhan tanaman dalam satuan tC/ha/tahun hutan alam dihitung
berdasarkan riap pohon dari satuan m3/ha/tahun sehingga digunakan faktor
konversi berikut:
a. Biomass Expansion Factor (BEF): 1,4 (Ruhiyat, 1990)
b. Wood density untuk hutan alam: 0,7 t/m3
2. Laju pertumbuhan tanaman HTI dalam satuan tC/ha/tahun dihitung berdasarkan
data potensi volume produksi kayu yaitu dalam satuan m3/ha, dimana BAU,

15
CM1 dan CM 2 masing-masing tahun 2010: 120 dan tahun 2050 sudah
meningkat jadi 140, 160 dan 200 m3/ha dengan adanya intervensi teknologi.
Kenaikan terjadi setiap interval 10 tahun. Untuk konversi diperlukan data:
a. BEF: 1,4 (IPCC Default)
b. Wood density untuk HTI: 0,4 t/m3
3. Rotasi: 6 tahun.

D. Hasil hitungan CM2 dibuat dengan target yang sangat ambisius (capaian 38%),
dengan perubahan asumsi dari hitungan sebelumnya ialah:
1. Restorasi gambut mencapai tingkat keberhasilan 90% dan luas yang direstorasi
sampai 2030 mencapai 2 juta Ha,
2. Rehabilitasi lahan juga mencapai tingkat keberhasilan 90% dan hampir semua
lahan tidak produktif direhabilitasi (hampir 12 juta ha), sehingga per tahun
hingga 2030 laju penanaman sekitar 800 ribu ha/tahun (baseline hanya sekitar
270 ribu ha).
S E K T O R : P E R T A N I A N
BAU CM1 CM2
1. Penggunaan Tidak ada aksi Penggunaan varietas Penggunaan varietas
varietas rendah mitigasi. rendah emisi pada lahan rendah emisi pada lahan
emisi di lahan sawah diasumsikan sawah diasumsikan
sawah mencapai total 926 ribu ha mencapai 908 ribu ha di
di 2030*. 2030*.
2. Penerapan sistem Tidak ada aksi Penerapan sistem Penerapan sistem
pengairan sawah mitigasi. pengairan sawah lebih pengairan sawah lebih
lebih hemat air. hemat air mencapai 820 hemat air mencapai 803
ribu ha di 2030*. ribu ha di 2030*.
3. Pemanfaatan Tidak ada aksi Pemanfaatan limbah Pemanfaatan limbah ternak
limbah ternak mitigasi. ternak untuk biogas untuk biogas mencapai
untuk biogas. mencapai 0,06% dari 0,06% dari populasi ternak
populasi ternak pada tahun pada tahun 2030**.
2030**.
4. Perbaikan Tidak ada aksi Penggunaan suplemen Penggunaan suplemen
suplemen pakan. mitigasi. untuk pakan mencapai untuk pakan mencapai
2,5% dari populasi ternak 2,5% dari populasi ternak
pada tahun 2030**. pada tahun 2030**.
Catatan: * penggunaan teknologi terbaik yang telah tersedia akan meningkatkan produktivitas ternak dan
menurunkan penggunaan lahan untuk tujuan peternakan.
** peningkatan populasi ternak dan operasionalisasi biogas (dengan asumsi subsidi pemerintah
akan terus berlanjut dengan perimbangan tingginya biaya investasi).

A. Indeks penanaman padi dinaikkan dari 2,11 menjadi 2,50 (lokasi Pulau Jawa)
dan dari 1,70 menjadi 2,00 (luar Pulau Jawa). Berarti diasumsikan semua sawah
di luar Jawa sudah memiliki jaringan irigasi seperti di Jawa, dan semua jaringan
irigasi yang ada di Pulau Jawa berfungsi optimal (kondisi saat ini di Pulau Jawa:
yang beroperasi baik hanya 60-70%).
B. Asumsi Index Penanaman: untuk tanaman semusim, Cropping Intensity atau Indek
Penanaman merupakan rasio antara luas panen dengan luas lahan pertanaman.
Sehingga jika IP=2 artinya penanaman pada lahan yang sama dilakukan 2 kali
dalam setahun. Untuk tanaman tahunan, Indek Penanaman menunjukkan fraksi
tanaman yang sudah menghasilkan (umur produktif).

16
C. Assumsi Populasi/GDP dan Ternak: Untuk semua skenario proyeksi untuk GDP,
populasi ternak sama. Target yang ditetapkan untuk swasembada daging sulit
dicapai, prakiraan ahli pemenuhan kebutuhan daging relatif sulit. Pertumbuhan
populasi ternak mengikuti data historis, lebih rendah dari tingkat pertumbuhan
permintaan terhadap daging.

S E K T O R : L I M B A H

S U B - S E K T O R : L I M B A H PA D AT
BAU CM1 CM2
1. Peningkatan penerapan LFG recovery LFG recovery mereduksi LFG recovery mereduksi
dari 2010 ke 2030 dalam pengelolaan Tidak ada aksi
CH4 dari 0,65% di tahun 2010 CH4 dari 0,65% di tahun 2010
TPA. mitigasi.
menjadi 10% di 2030. menjadi 10% di 2030.
2. Peningkatan persentase pemanfaatan
sampah melalui pengomposan dan 3R Tidak ada aksi 22% di tahun 2020, 30% 22% di tahun 2020, 30%
(kertas). mitigasi. di tahun 2030*. di tahun 2030*.

3. Peningkatan persentase PLTSa/RDF - mencapai 3% dari total - mencapai 3% dari total


(Refuse Derived Fuel), dibandingkan sampah di 2020 dan sampah di 2020 dan
dengan total timbulan sampah. meningkat menjadi 5% meningkat menjadi 5%
Tidak ada aksi
di 2030**. di 2030**.
Catatan: PLTSa = Pembangkit Listrik mitigasi.
- pengembangan PLTSa - pengembangan PLTSa
Tenaga Sampah di 7 kota. di 12 kota (tambahan)***.

Catatan: * merujuk pada target nasional dalam pengelolaan sampah 2015-2025.


** mempertimbangkan perencanaan pemerintah dalam pengembangan PLTSa (Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah) di 7 kota dan tren saat ini dalam hal pemanfaatan sampah melalui RDF di industri.
*** mempertimbangkan ukuran kota, potensi mitigasi dalam RDF dan laju pertumbuhan penduduk.

SUB-SEKTOR: LIMBAH CAIR DOMESTIK


BAU CM1 CM2
- Penanganan limbah cair domestik - Penanganan limbah cair domestik
menggunakan septic tank/latrine menggunakan septic tank/latrine
dilengkapi dengan sludge recovery. dilengkapi dengan sludge recovery.
- Pembangunan septic tank komunal - Pembangunan septic tank komunal
dan biodigester dilengkapi dengan LFG dan biodigester dilengkapi dengan LFG
Pengelolaan recovery. recovery.
Tidak ada
limbah cair
aksi mitigasi. - Penggunaan Aerobic Septic Tank. - Penggunaan Aerobic Septic Tank.
domestik.
Catatan: target kuantitatif akan ditetapkan Catatan: target kuantitatif akan ditetapkan
oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan
Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan.

SUB-SEKTOR: LIMBAH CAIR INDUSTRI


BAU CM1 CM2
Industri pulp and paper diasumsikan melakukan Industri pulp and paper diasumsikan
rangkaian kegiatan mitigasi berupa: pengerukan melakukan rangkaian kegiatan mitigasi
sludge IPAL, pengolahan sludge tersebut di berupa: pengerukan sludge IPAL,
biodigester serta pemanfaatan gas metan-nya. pengolahan sludge tersebut di biodigester
serta pemanfaatan gas metan-nya.

Pengelolaan Tidak Industri pengolahan sawit melakukan kegiatan Industri pengolahan sawit melakukan
limbah cair ada aksi methane capture & utilization pada IPAL dari kegiatan methane capture & utilization
industri. mitigasi. limbah cair pabrik kelapa sawit atau palm oil mill pada IPAL dari limbah cair pabrik kelapa
effluent (POME). sawit atau palm oil mill effluent (POME).

Catatan: target kuantitatif akan ditentukan oleh Catatan: target kuantitatif akan ditentukan
Kementerian Perindustrian dan Kementerian oleh Kementerian Perindustrian dan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.

17
SEKTOR:IPPU
BAU CM1 CM2

Industri semen melaksanakan aksi mitigasi Industri semen melaksanakan aksi


melalui pengurangan “clinker to cement mitigasi melalui pengurangan “clinker to
ratio” (blended cement) dari 80% di 2010 cement ratio” (blended cement) dari 80%
menjadi 75% di 2030. di 2010 menjadi 75% di 2030.
Peningkatan efisiensi industri amonia Peningkatan efisiensi industri amonia
melalui optimasi pemanfaatan gas bumi melalui optimasi pemanfaatan gas bumi
(feedstock) dan CO2 recovery pada Primary (feedstock) dan CO2 recovery pada
Reformer. Primary Reformer.
Proses
industri dan
Tidak ada aksi Aksi lainnya: Aksi lainnya:
penggunaan
mitigasi. - CO2 recovery, improvement process - CO2 recovery, improvement process
produk di
industri besar. pada smelter, dan pemanfaatan besi pada smelter, dan pemanfaatan besi
bekas (scrap) pada industri besi dan bekas (scrap) pada industri besi dan
baja. baja.
- Sisa klaim IPPU (PFCs) dari CDM - Sisa klaim IPPU (PFCs) dari CDM
aluminum smelter. aluminum smelter.

Catatan: Target kuantitatif akan ditetapkan Catatan: Target kuantitatif akan ditetapkan
oleh Kementerian Perindustrian. oleh Kementerian Perindustrian.

REFERENSI

SEKTOR ENERGI
o Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014,
o Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025,
o Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2016.

SEKTOR AFOLU
o Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030 (RKTN),
o Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 100 Tahun NKRI (GAPKI),
o Peta Jalan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) 2050,
o Rencana Strategis Perkebunan (termasuk skenario peternakan),
o Studi Pendahuluan RPJMN 2015-2019 (BAPPENAS, 2013).

SEKTOR LIMBAH
o Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
o Peraturan Pemerintah No. 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

-- o 0 o --

18
FIRST NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION
REPUBLIC OF INDONESIA

1. NATIONAL CONTEXT

Indonesia is a nascent yet stable democracy and the fourth most populous country
in the world. Despite continuous, multi-decade economic growth, approximately 11%
of Indonesia’s population is living below the poverty line. To lift people out of poverty,
the Government of Indonesia (GOI) is promoting economic development projected to
average at least 5% per year in order to reduce the poverty rate to below 4% by 2025,
as mandated by the Indonesian Constitution, inter alia, that “every person shall have the
right to enjoy a good and healthy environment.” As climate change becomes a reality,
Indonesia continues to seek a balance between its current and future development
and poverty reduction priorities.

In 2010 the Government of Indonesia pledged to reduce emissions by 26% (41% with
international support) against the business as usual scenario by 2020. The current
administration, under President Joko Widodo, has determined priority actions within
the national Nawa Cita (Nine Priority Agendas) framework, which includes protecting
Indonesia’s citizens, encouraging rural and regional development, improving the
quality of life, and improving productivity and global competitiveness. These core
missions are consistent with the national commitment towards a low carbon and
climate change-resilient development path, in which climate change adaptation and
mitigation constitute an integrated and cross-cutting priority of the National Medium-
Term Development Plan. The following priorities for enhanced actions in 2015-2019
will be fully integrated into Indonesia’s National Medium-Term Development Plan in
2020.

Given its pivotal geographic position in the global ocean conveyor belt (thermohaline
circulation), the largest archipelagic country and its extensive tropical rainforests with
high biodiversity, high carbon stock values and energy and mineral resources, Indonesia
is recognized its role to play in combatting global climate change. Nevertheless,
Indonesia is vulnerable to natural disaster that will likely be exacerbated by climate
change, especially in low-lying areas throughout the archipelago. Therefore Indonesia
views comprehensive land and ocean-based climate change adaptation and mitigation
efforts as a critical strategic consideration in achieving climate resilience in food, water
and energy.

1
Indonesia’s Nationally Determined Contribution (NDC) outlines the country’s transition
to a low carbon and climate resilience future. The NDC describes the enhanced actions
and the necessary enabling environment during the 2015-2019 period that will lay
the foundation for more ambitious goals beyond 2020, contributing to the concerted
effort to prevent 20C increase in global average temperature and to pursue efforts
to limit the temperature increase to 1.5oC above pre-industrial levels. For 2020 and
beyond, Indonesia envisions achieving archipelagic climate resilience as a result of
comprehensive adaptation and mitigation programmes and disaster risk reduction
strategies. Indonesia has set ambitious goals for sustainability related to production
and consumption of food, water, and energy. These goals will be achieved by
supporting empowerment and capacity building, improved provision of basic services
in health and education, technological innovation, and sustainable natural resource
management, in compliance with principles of good governance.

2. MITIGATION

According to Indonesia’s Second National Communication of 2010, national


greenhouse gas (GHG) emissions were estimated to be 1.8 GtCO2e in 2005. This
represents an increase of 0.4 GtCO2e compared to 2000. Most emissions (63%) are
the result of land use change and peat and forest fires, with combustion of fossil fuels
contributing approximately 19% of total emissions. Based on Indonesia’s First Biennial
Update Report (BUR) submitted to UNFCCC in January 2016, national greenhouse
gas (GHG) emissions was 1.453 GtCO2e in 2012 which represent an increase of
0.452 GtCO2e from year 2000. The main contributing sectors were LUCF including
peat fires (47.8%) and energy (34.9%).

Since Indonesia voluntarily pledged to reduce emissions by 26% on its own efforts,
and up to 41% with international support, against the business as usual scenario by
2020, Indonesia has promulgated relevant legal and policy instruments, including
the national action plan on GHG emissions reduction as stipulated in Presidential
Regulation (PERPRES) No. 61/2011 and GHG inventory through Presidential
Regulation (PERPRES) No. 71/2011.

Post 2020, Indonesia envisions a progression beyond its existing commitment to


emission reductions. Based on the country’s most recent emissions level assessment,
Indonesia has set unconditional reduction target of 29% and conditional reduction
target up to 41 % of the business as usual scenario by 2030.

Indonesia has taken significant steps to reduce emissions in land use sector
by instituting a moratorium on the clearing of primary forests and by prohibiting
conversion of its remaining forests by reducing deforestation and forest degradation,
restoring ecosystem functions, as well as sustainable forest management which

2
include social forestry through active participation of the private sector, small and
medium enterprises, civil society organizations, local communities and the most
vulnerable groups, especially adat communities (Indonesia: Masyarakat Hukum Adat,
internationally known as Indigenous People), and women – in both the planning and
implementation stages. A landscape-scale and ecosystem management approach,
emphasizing the role of sub-national jurisdictions, is seen as critical to ensure greater
and more enduring benefits from these initiatives.

REDD+ will be an important component of the NDC target from land use sector.
Forest Reference Emission Level (FREL) for REDD+ was submitted to the UNFCCC
Secretariat in December 2015, covering deforestation and forest degradation and peat
decomposition. The FREL was set at 0.568 GtCO2e yr-1 (AGB), using reference period
of 1990 – 2012 and will be used as the benchmark against actual emission starting
from 2013 to 2020. These figures should be used as benchmark for evaluating REDD+
performance during the implementation period (up to 2020). Indonesia will adjust the
FREL for post-2020 or earlier when necessary.

In energy sector, Indonesia has embarked on a mixed energy use policy. Indonesia
has also established the development of clean energy sources as a national policy
directive. Collectively, these policies will eventually put Indonesia on the path to de-
carbonization. Government Regulation No. 79/2014 on National Energy Policy, set
out the ambition to transform, by 2025 and 2050, the primary energy supply mix with
shares as follows:

a) new and renewable energy at least 23% in 2025 and at least 31% in 2050;
b) oil should be less than 25% in 2025 and less than 20% in 2050;
c) coal should be minimum 30% in 2025 and minimum 25% in 2050; and
d) gas should be minimum 22% in 2025 and minimum 24% in 2050.

For the waste management sector, the GOI is committed to develop a comprehensive
strategy to improve policy and institutional capacity at the local level, enhance
management capacity of urban waste water, reduce landfill waste by promoting the
“Reduce, Reuse, Recycle” approach, and the utilization of waste and garbage into
energy production. The GOI is committed to further reduce emissions from the waste
management sector by 2020 and beyond, through comprehensive and coherent policy
development, institutional strengthening, improved financial and funding mechanisms,
technology innovation, and social-cultural approaches.

3. ADAPTATION

Climate change presents significant risks for Indonesia’s natural resources that will, in
turn, impact the production and distribution of food, water, and energy. Therefore, the

3
GOI considers climate mitigation and adaptation efforts as an integrated concept that
is essential for building resilience in safeguarding food, water and energy resources.
The GOI has made significant efforts towards developing and implementing a National
Action Plan on Climate Change Adaptation (RAN-API) which provides a framework
for adaptation initiatives that has been mainstreamed into the National Development
Plan.

The GOI will implement enhanced actions to study and map regional vulnerabilities
as the basis of adaptation information system, and to strengthen institutional capacity
and promulgation of climate change sensitive policies and regulations by 2020. The
medium-term goal of Indonesia’s climate change adaptation strategy is to reduce risks
on all development sectors (agriculture, water, energy security, forestry, maritime and
fisheries, health, public service, infrastructure, and urban system) by 2030 through
local capacity strengthening, improved knowledge management, convergent policy
on climate change adaptation and disaster risks reduction, and application of adaptive
technology.

Pre 2020 policies’ and actions will facilitate smooth transition towards implementation
of nationally determined contribution under the Paris Agreement post 2020. The
following pre 2020 policies and actions will lay a strong foundation for adaptation
actions from 2020 onwards:

1) Pre-condition:
• Development of nationwide climate vulnerability index data Information
System, built on the existing system known as SIDIK (Vulnerability Index Data
Information System) which allows public access to the information in the system
website (http://ditjenppi.menlhk. go.id)
• Ministerial Regulation No. P.33/2016 on Guideline for development of National
Adaptation Plan (NAP). The regulation allows sub national government to
formulate their own Sub National Adaptation Plan (Sub NAP)
• Enhance existing National Action Plan on Climate Change Adaptation that has
been formulated in 2014.

2) Environment and social economic area:


• Law No. 37/2014 on Soil and water conservation, which leads to Sustainable
agriculture and land use. The Law guided stakeholders in conserving lands and
increasing productivity towards conservation agricultural approach.
• Government Regulation No. 37/2012 on Watershed Management, which leads
to enhanced watershed carrying capacity. The regulation provides guideline
to identify and address watersheds which need to be protected, restored, and
rehabilitated.
• Community Based Forest Management will enhance community income and at
the same time reduce pressure on primary forest which leads to deforestation
and forest degradation.

4
• Enhance role of PROKLIM (joint adaptation and mitigation/JAM) as a bottom
up approach in climate resilience programme at the village level. Furthermore,
the enhanced PROKLIM will enable to account for its contribution to the
achievement of emission reduction both pre and post 2020.

4. STRATEGIC APPROACH

Indonesia requires a comprehensive and thorough plan to effectively implement


sustainable production and consumption patterns, benefiting from the diversity of
traditional wisdom of her indigenous institutions. Broader constituency building is also
deemed critical through effective engagement of all stakeholders including faith based
networks as well as the existing interfaith movement.

The strategic approach of Indonesia’s NDC is predicated on the following foundational


principles:

• Employing a landscape approach: Recognizing that climate change adaptation


and mitigation efforts are inherently multi-sectoral in nature, Indonesia takes an
integrated, landscape-scale approach covering terrestrial, coastal and marine
ecosystems.
• Highlighting existing best practices: Recognizing significant strides in multi-
stakeholder efforts in combating climate change, Indonesia intends to scale up the
diversity of traditional wisdom as well as innovative climate change mitigation and
adaptation efforts by the government, private sector, and communities.
• Mainstreaming climate agenda into development planning: Recognizing the
needs to integrate climate change into development and spatial planning and
the budgeting process, Indonesia will include key climate change indicators in
formulating its development programme’s targets.
• Promoting climate resilience in food, water and energy: Recognizing the
importance of fulfilling the needs of a growing young population for food, water and
energy, Indonesia will improve its management of natural resources to enhance
climate resilience by protecting and restoring key terrestrial, coastal and marine
ecosystems.

Indonesia’s commitment to a low carbon future outlines enhanced actions and puts in
place the necessary enabling environment for the 2015-2019 period that will lay the
foundation for more ambitious goals beyond 2020. This would provide opportunities
for building coherent actions at the national level, with particular emphasis on
research, resource mobilization through partnerships, and international cooperation.
The Indonesian Environmental Protection and Management Law of 2009 secures the
legal framework to support 2015-2019 strategies and actions, which would serve as
enabling conditions for long-term policy of 2020 and beyond. However, to achieve

5
long-term policy goals, a comprehensive legal harmonization of all relevant matters
related to climate change is seen as critical to meet the daunting challenges of climate
change mitigation and adaptation.

National Development Planning Agency reported that for the period of 2007 to 2014
Indonesia had spent a total of about USD 17.48 billion for climate change adaptation,
mitigation and supporting activities. Indonesia will continue to provide funding for the
implementation of climate change actions and plans, including allocating a total of
USD 55.01 billion for the period of 2015 to 2019. Indonesia will continue to set aside
significant national funding for the implementation of mitigation and adaptation actions
for the period of 2020-2030.

In line with the Paris Agreement, Indonesia respects, promotes and considers its
obligation on human rights, the right to health, the right of adat communities (Indonesia:
Masyarakat Hukum Adat and internationally known as indigenous people), local
communities, migrants, children, persons with different abilities, and people in vulnerable
situations, and the right to development, as well as gender equality, empowerment of
women and intergenerational equity. Engagement of non-party stakeholders, including
local government, private sectors, civil societies will continuously be enhanced.

5. PLANNING PROCESS

The Government of Indonesia has demonstrated its strong commitment to institutional


development by establishing the Directorate General of Climate Change, under the
Ministry of Environment and Forestry. Established by Presidential Regulation No. 16
of 2015, the Directorate General serves as the National Focal Point for the United
Nations Framework Convention on Climate Change to effectively facilitate ongoing
relevant programmes and processes being implemented by variety of government
sectors and stakeholders. Since climate change has local to national and international
dimensions, coordination and synergy will continuously be enhanced between the
Ministry of Environment and Forestry and National Development Planning Agency
(BAPPENAS) and Ministry of Finance in the context of climate change, national
development and finance, and with Ministry of Foreign Affairs in the context of climate
change and international negotiation.

In the preparation of the NDC, the GOI has conducted consultations with various
stakeholders representing Ministries and other government institutions, academia,
scientists, private sector, and civil society organizations; these consultations have
included workshops and consultations organized at both the national and provincial
levels, as well as bilateral meetings with key sectors.

The preparation of the NDC has taken into account the Post-2015 Sustainable
Development Goals (SDGs) particularly on taking urgent action to combat climate

6
change and its impacts, promoting food security and sustainable agriculture, achieving
gender equality, ensuring the availability and sustainable management of water,
access to affordable, reliable, and renewable energy for all, sustained, inclusive and
sustainable economic growth, resilient infrastructure, sustainable consumption and
production patterns, conservation and sustainable use of the oceans, seas and marine
resources, and protecting, restoring and promoting sustainable use of terrestrial
ecosystems, sustainably managing forests, combating desertification, and halting and
reversing land degradation and biodiversity loss.

6. INFORMATION TO FACILITATE CLARITY, TRANSPARENCY AND


UNDERSTANDING

Reduction Level

(a) Unconditional Reduction Indonesia has voluntarily committed to reduce


unconditionally 26% of its greenhouse gases against
the business as usual scenario by the year 2020.

The above commitment is a necessary prerequisite


for embarking on a more ambitious commitment to
further reductions by 2030 by outlining an emission
reduction plan using an evidence-based and inclusive
approach. The commitment will be implemented
through effective land use and spatial planning,
sustainable forest management which include
social forestry programme, restoring functions of
degraded ecosystems including wetland ecosystems,
improved agriculture and fisheries’ productivity,
energy conservation and the promotion of clean and
renewable energy sources, and improved waste
management.

Indonesia has committed to reduce unconditionally


29% of its greenhouse gasses emissions against
the business as usual scenario by the year of 2030.
The BAU scenario is projected approximately 2.869
GtCO2e in 2030 which is up-dated from the BAU
scenario on the INDC due to current condition on
energy policy development in particular in coal fired
power plant.

7
(b) Conditional Reduction Indonesia could increase its contribution up to 41%
reduction of emissions by 2030, subject to availability
of international support for finance, technology
transfer and development and capacity building.

Type Emission reduction relative to Business As Usual


(BAU) baseline.

Coverage Nationwide with a landscape and ecosystem


management approaches in both adaptation and
mitigation efforts by building and strengthening sub-
national jurisdictional capacity.

Scope Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide


(N2O)

Baseline BAU scenarios of emission projection started in


2010.

Fair and Ambitious Indonesia GDP growth rate has slowed down
between 2010-2015, from 6.2-6.5% per annum to
only 4.0% (first quarter 2015). Indonesia’s population
has increased at an average rate of 1.49% during the
period of 2000-2010, posing challenges for Indonesia
in fulfilling energy demand, ensuring food security, and
fulfilling livelihood needs. At the same time, poverty
alleviation remains a challenge for Indonesia, with
10.96% of the population living in poverty in 2014,
and the unemployment rate at 5.9%.

Despite challenges which common to other developing


countries, Indonesia is committed to transition its
current development pathway towards low carbon and
climate resilience in a phased-approach. The pathway
towards de-carbonization of the economy will be fully
integrated into Indonesia’s National Medium-Term
Development Plan for the period 2020-2024.

Indonesia also considers to work on finding the


peaking time of national GHGs emissions necessary to
meet the national sustainable development objectives
while contributing to the global efforts to fight against
the dangerous impacts of climate change.

8
Key Assumption on Mitigation

Metric Applied Global Warming Potential (GWP) on a 100 year


timescale in accordance with the IPCC’s 4th
Assessment Report.

Methodology for Estimating Model for estimating emission:


Emissions

Dashboard AFOLU for land-based sector;


ExSS (Extended Snap Shot) using GAMS (General
Algebraic Modeling System) and CGE (Dynamic
CGE) for energy sector;
Mitigation Action Road Map for Cement Industry
(Ministry of Industry) for IPPU sector;
First Order Decay-FOD (IPCC-2006) and existing
regulation for waste sector

Baseline, Assumption BAU Baseline Scenario and Mitigation Scenario


Used for Projection and BAU Scenario: emission scenario when the
Policy Scenario 2020-2030 development path does not consider the
mitigation policies.
Counter Measure 1 Scenario (CM1): emission
scenario with mitigation scenario and considers
sectoral development target.
Counter Measure 2 Scenario (CM2) or conditional
scenario: emission scenario with more ambitious
mitigation scenario and considers sectoral
development target when international support is
available.

Coverage of Emission With the baseline and assumption used for projection
Reduction and policy scenario 2020-2030, the projected BAU
and emission reduction for both unconditional (CM1)
and conditional (CM2) reduction are as in the Table 1
with more elaborated assumptions for each sector
can be seen in the Annex.

9
Table 1. Projected BAU and emission reduction from each sector category

GHG GHG Emission Reduction Annual


GHG Emission Level 2030
Emission Average Average
Level Growth Growth
No Sector (MTon CO2e) (MTon CO2e) % of Total BaU
2010* BAU 2000-
MTon (2010- 2012*
BaU CM1 CM2 CM1 CM2 CM1 CM2 2030)
CO2e
1 Energy* 453.2 1,669 1,355 1,271 314 398 11% 14% 6.7% 4.50%
2 Waste 88 296 285 270 11 26 0.38% 1% 6.3% 4.00%
3 IPPU 36 69.6 66.85 66.35 2.75 3.25 0.10% 0.11% 3.4% 0.10%
4 Agriculture 110.5 119.66 110.39 115.86 9 4 0.32% 0.13% 0.4% 1.30%
5 Forestry** 647 714 217 64 497 650 17.2% 23% 0.5% 2.70%
TOTAL 1,334 2,869 2,034 1,787 834 1,081 29% 38% 3.9% 3.20%
* Including fugitive **Including peat fire
Notes: CM1= Counter Measure 1 (unconditional mitigation scenario)
CM2= Counter Measure 2 (conditional mitigation scenario)

7. TRANSPARENCY FRAMEWORK

As part of the implementation of Article 13 of the Paris Agreement, Indonesia applies


an Integrated National Transparency framework, through: (a) National Registry System
(NRS) for mitigation, adaptation and means of implementation both from national and
international sources; (b) National GHGs Inventory System (SIGN-SMART); (c) MRV
system for mitigation including REDD+, and (d) Safeguards Information System for
REDD+ (SIS-REDD+); and (e) Information Systems on vulnerability (SIDIK) and joint
adaptation and mitigation at the Village level (PROKLIM).

Indonesia commits to periodically communicate its greenhouse gases emissions


from various sectors, including the status of emission reduction efforts and results
to the Secretariat of UNFCCC. Indonesia is currently preparing the Third National
Communication Report (TNC), to be submitted by 2017. Indonesia will also meet
its obligation to prepare the Biennial Update Report (BUR). The first BUR has been
submitted in early 2016.

8. INTERNATIONAL SUPPORTS

International support from developed country parties on finance, technology


development and transfer, and capacity building is required to increase ambition in
reducing GHGs emission, including in the preparation of NDC implementation (pre
2020) in all sector categories and the implementation of REDD+ under Article 5 of the
Paris Agreement.

Article 5 of the Paris Agreement sends clear political signal on the recognition of the
roles of forest and REDD+. Existing COP decisions has provided sufficient guidance to
implement and support REDD+ implementation. Furthermore, considering significant

10
progress of REDD+ readiness and transition at the national and sub national level in
the country, Indonesia’s REDD+ should be ready for result-based payment. As policy
approaches and positive incentives, REDD+ should be able to support the achievement
of Indonesia’s emission reduction target in forestry sector.

Furthermore, Indonesia welcome bilateral, regional and international cooperation in


the NDC implementation as recognized under Article 6 of the Paris Agreement, that
facilitate and expedite technology development and transfer, payment for performance,
technical cooperation, and access to financial resources to support Indonesia’s climate
mitigation and adaptation efforts towards a climate resilient future

9. INDONESIA LOW CARBON AND CLIMATE RESILIENCE STRATEGY

Introduction

The Government of Indonesia considers climate mitigation and adaptation efforts as


an integrated concept that is essential for building resilience in safeguarding food,
water and energy resources. Indonesia also views its development pathway towards
low carbon and climate resilience is consistent with its commitment to contribute to
the global effort for achieving Sustainable Development Goals (SDGs). These global
agendas will be contextualized given Indonesia’s unique archipelagic geography, and
its position within the global ocean conveyor belt (thermohaline circulation) and its
extensive tropical rainforests, with their high biodiversity and high carbon stock value.
Indonesia is also a nascent yet stable democracy and the fourth most populous country
in the world, with the largest generation of young people and the most working-age
people in its history.

Indonesia’s Vulnerability to Climate Change

As an archipelagic country with extensive low-lying and small island areas, Indonesia
is highly vulnerable to the adverse impacts of climate change. Indonesia has already
experienced extreme climate events such as floods and drought, and is anticipating
long-term impacts from sea level rise. As the Indonesian population grows, climate
change-induced natural disasters will affect a greater number of people and their
assets, making it difficult for them to escape poverty.

Climate change is believed to increase the risk for hydro-meteorological disasters,


which make up to 80% of disaster occurrences in Indonesia. The poorest and most
marginalized populations tend to live in high-risk areas that are prone to flooding,
landslides, sea level rise, and water shortages during drought.

11
As the country with the second longest coastline in the world, Indonesia faces a high
risk of coastal inundation and sea level rise that may affect up to 42 million people living
in low laying coastal zones. Most of these areas have experienced rapid urbanization,
reaching 50% in 2010.

The vulnerability of Indonesia’s coastal zone is also affected by the rate of deforestation
and forest degradation. The loss of forest ecosystems leads to the loss of critical
environmental services, provision of water catchment areas, prevention of erosion
and floods.

In order for Indonesia to reduce its vulnerability to climate change, it must strengthen
its climate resilience by integrating its adaptation and mitigation efforts in development
planning and implementation.

Enabling conditions for climate resilience

Indonesia’s pathway toward low carbon and climate resilience must be developed by
building a strong foundation based on the following enabling conditions:

• Certainty in spatial planning and land use


• Land tenure security
• Food security
• Water security
• Renewable energy

Economic resilience

Climate change presents significant risks for Indonesia’s natural resources that will in
turn affect the production and distribution of food, water and energy. As the population
grows, there will be increasing pressures on Indonesia’s already limited resources. As
a response, Indonesia plans to transform to low carbon economy and build resilience
into its food, water and energy systems through the following enhanced actions:

• Sustainable agriculture and plantations


• Integrated watershed management
• Reduction of deforestation and forest degradation
• Land conservation
• Utilization of degraded land for renewable energy
• Improved energy efficiency and consumption patterns

Social and Livelihood Resilience

Climate change impacts the day-to-day lives of all Indonesians, but most severely
Indonesia’s most vulnerable populations. Climate change-induced natural disasters
will impact a greater number of people living below the poverty line, preventing asset

12
accumulation. Rising food, water and energy prices, which often follow drought,
floods, and other disasters, will drive the poor further into poverty. Socio-economic
disparity will potentially contribute to political instability in regions most affected by
climate change. To prevent further disparity, Indonesia plans to build social resilience
through the following actions:

• Enhancement of adaptive capacity by developing early warning systems, broad-


based public awareness campaigns, and public health programmes;
• Development of community capacity and participation in local planning processes,
to secure access to key natural resources;
• Ramping up disaster preparedness programmes for natural disaster risk
reduction;
• Identification of highly vulnerable areas in local spatial and land use planning
efforts.
• Improvement of human settlements, provision of basic services, and climate
resilient infrastructure development.
• Conflict prevention and resolution.

Ecosystem and Landscape Resilience

As an archipelagic country with high biodiversity, Indonesia’s highly diverse ecosystems


and landscapes provide various environmental services such as watershed protection,
carbon sequestration and conservation, and disaster risk reduction. In order to build
climate resilience, Indonesia must protect and sustain these environmental services
by taking an integrated, landscape-based approach in managing its terrestrial, coastal
and marine ecosystems. The following are enhanced actions to support ecosystem
and landscape resilience:

• Ecosystem conservation and restoration


• Social forestry
• Coastal zone protection
• Integrated watershed management
• Climate resilient cities.

10. REVIEW AND ADJUSTMENT

The NDC reflects the most recent data and information, analysis, and scenario for
possible future, by the Government of Indonesia. As a developing country, Indonesia
will likely experience dynamic changes due to national and global economic changes.
In this regards, the NDC will be reviewed and adjusted, as necessary, taking into
account national circumstances, capacity and capability, and the provision under the
Paris Agreement.

13
Annex
First Nationally Determined Contribution (NDC)
Republic of Indonesia
Assumptions used for projected BAU and emission reduction
(unconditional/CM1 and conditional/ CM2 reduction) for all sector
categories (Energy, Waste, IPPU, Agriculture, and Forestry)
S E C T O R : E N E R G Y
Mitigation Scenario 1 Mitigation Scenario 2
BAU
(CM 1) (CM 2)
1. Efficiency in final energy In-efficiency in final
consumption. energy consumption.
75% 100%
2. Implementation of clean coal
technology in power plant. 0%

3. Renewable energy in electricity 19.6% (Committed 7.4 GW Electricity production of


production. Coal power plant
based on RUPTL) 132.74 TWh*
4. Implementation of biofuel in
transportation sector 0% 90% 100%
(Mandatory B30).
5. Additional gas distribution lines. 0% 100% 100%
6. Additional compressed-natural
0% 100% 100%
gas fuel station (SPBG).

* 132.74 TWh is equivalent with 21.65 GW

SEC TOR : FOLU


A. Deforestation rate
- Deforestation rate under BAU scenario for 2013-2020 is in line with the FREL for REDD+, which
is about 0.920 Mha/year, and consist of planned and unplanned deforestation. The rate for
planned deforestation was calculated under existing development scenario.
- For both CM1 and CM2 scenarios, it is assumed that the rate of unplanned deforestation is low
and the total of planned and unplanned deforestation would not exceed 0.450 Mha.
- Rate of deforestation for BAU 2021-2030 assumed to be 0.820 Mha/year, with scenario of CM1
and CM2 comes into 0.325 Mha, respectively.

BAU CM1 CM2 Note


Total (000 ha) 2013-’20: 920 2013-’20: 450 2013-’20: 450 It is assumed
2020-’30: 820 2020-’30: 325 2020-’30: 325 that unplanned
2030-’50: result 2030-’50: 2030-’50: deforestation
from model result from result from would not occur
model model post 2030.
1. Unplanned 2013-’20: 500 2013-’20: 175 2013-’20: 175 Meaning the rate
Deforestation 2020-’30: 409 2020-’30: 92 2021-’30: 66 of deforestation
2030-’50: 0 2030-’50: 0 2030-’50: 0 completely comes
from planned
2. Planned 2011-’50: result 2011-’50: 2011-’50:
deforestation
Deforestation from model result from result from
(model)
(from the model) model model
B. Assumption for wood production:
1. Some literatures recorded that the rate of wood extraction from sustainable
natural forest ranges from 20 to 35 m3ha. This work take an assumption of
50 m3/ha for wood extraction in 2010 (the difference between literature and
assumption taken is from illegal logging. Illegal logging was assumed zero
in 2050, and rate of wood extraction would reach 30m3 (rate of sustainable
extraction).

14
2. Target for wood production from natural forest under CM1 and CM2 scenarios
follow National Forestry Planning (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional/
RKTN) (MoF, 2011), while the BAU is higher, using data from the Association
for Indonesian Forest Concessionaire (APHI).
3. The rate for establishing forest estate (plantation) under BAU follows the
historical data, with the percentage of feasible areas for planting is about 63%
(Assumption from APHI, 2007)
4. It is assumed that all forests cleared would leave zero waste, and all woods
from these areas would be useable.
5. Utilization of wood from oil palm and rubber trees at the end of its cycle is at
medium rate or about a half of total.

C. Assumption for growth rate:


1. Growth rate of plants in ton C/ha/year for natural forest was calculated based
on the growth in m3/ha/year with conversion factor of:
a. Biomass Expansion Factor (BEF): 1.4 (Ruhiyat, 1990)
b. Wood density for natural forest: 0.7 t/m3
2. The rate of Industrial Plantation (HTI) in ton C/ha/year was calculated based
on data of measurable wood production volume in m3/ha, with BAU, CM1 and
CM 2 in 2010 about 120 and has been increased respectively to 140, 160 and
200 m3/ha in 2050 with the role of technology intervention. The escalation is in
every 10 year and correction factors:
a. BEF: 1.4 (IPCC Default)
b. Wood density for HTI: 0.4 t/m3
3. 6 years rotation.

D. CM2 calculation used a very ambitious target (38%), and some adjustment to the
above assumption (CM1) are as follows:
1. Peat restoration achieves 90% survival rate and the area of peat restoration
reaches 2 Mha by 2030
2. Land rehabilitation achieves 90% survival rate and almost all unproductive
lands have to be rehabilitated (about 12 Mha in total), so that up to 2030 the
rate of plantation would be 800 thousand ha/year (the baseline under historical
data is about 270 thousand ha).

S E C T O R : A G R I C U LT U R E
BAU CM1 CM2
1. The use of low- No mitigation In total, the use of land for In total, the use of land for
emission actions. low emission crops is up to low emission crops is up to
crops. 926,000 hectares in 2030*. 908,000 hectares in 2030*.
2. Implementation No mitigation Implementation of water Implementation of water
of water-efficient actions. efficiency is up to 820,000 efficiency is up to 820,000
concept in water hectares in 2030*. hectares in 2030*.
management.
3. Manure No mitigation Up to 0.06% of the total Up to 0.06% of the total
management for actions. cattle in 2030**. cattle in 2030**.
biogas.
4. Feed supplement No mitigation Up to 2.5% of the cattle Up to 2.5% of the cattle
for cattle. actions. population in 2030**. population in 2030**.
Note: * the use of best available technology will increase cattle productivity and lead to the decrease of land
use change to agricultural purposes.

** increase of cattle population and current biogas operationalization (with the assumption that
government’s subsidy will continue taking into consideration its high cost of investment).

15
A. The index for paddy increases from 2.11 into 2.5 (for Java island) and from 1.7 up
to 2.0 (for outside of Java island). It is assumed that all paddy fields out of Java
island has already completed with irrigation system like in Java island, and all
irrigation system in Java island is working optimally (existing condition: only 60-
70% of irrigation system in Java are working optimally).
B. Assumption used for crop index: for seasonal crop, the cropping Intensity or crop
index is a ratio between the area of harvesting and the area of crop planted. So
that the IP is 2 when the areas were planted twice a year. For annual crop, the crop
index refers to crop fraction that harvestable (under productive ages).
C. Assumption used for population/GDP and livestock: all projection scenarios for
GDP employ the same livestock population. Target settled for self-supporting meat
is difficult to reach, and even the needs for meat would not be easily attainable.
The livestock population growth follows historical data, which is lower than the rate
of the meat demands.

S E C T O R : WA S T E

S U B - S E C TO R : S O L I D WA S T E
BAU CM1 CM2
1. Enhancement of LFG recovery from 2010 No mitigation LFG recovery reduces CH4 LFG recovery reduces CH4
to 2030. actions. from 0.65% to 10%. from 0.65% to 10%.
2. Enhancement of the percentage of
waste utilization by composting and 3R No mitigation
22% in 2020, 30% in 2030*. 22% in 2020, 30% in 2030*.
(paper). actions.

3. Enhancement of the percent-age of


PLTSa/RDF (Refuse Derived Fuel) - Up to 3% in 2020 and - Up to 3% in 2020 and
implementation, compare to total waste. increase up to 5% in increase up to 5% in
No mitigation 2030**. 2030**.
actions. - PLTSa implementation in 7 - PLTSa implementation in
Note: PLTSa = Pembangkit Listrik Tenaga cities. 12 cities (additional)***.
Sampah

Notes: * refer to national target on solid waste management 2015-2025.


** considered government plan in developing PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) in 7 cities
and current trend on waste utilization by RDF in industries.
*** considered size of the cities, their mitigation potentials in RDF implementation, and population
growth rate.

S U B - S E C TO R : D O M E S T I C L I Q U I D WA S T E
BAU CM1 CM2

- sludge recovery in septic tank/latrine - sludge recovery in septic tank/latrine


management. management.
- LFG recovery communal septic tank and - LFG recovery communal septic tank
biodigester management. and biodigester management.
Management No - Operationalization of aerobic septic tank. - Operationalization of aerobic septic
of domestic mitigation tank.
liquid waste. actions. Note: A quantitative target to be defined
by the Min. of Public Work and the Min. of Note: A quantitative target to be defined
Health. by the Min. of Public Work and the Min. of
Health.

16
S U B - S E C TO R : I N D U S T R I A L L I Q U I D WA S T E
BAU CM1 CM2

Pulp and paper industry implement the waste Pulp and paper industry implement
water treatment sludge management, and the waste water treatment sludge
utilization of methane. management and utilization of methane.

Waste water treatment (palm oil mill effluent or Waste water treatment (palm oil mill
Management No POME) in palm oil industry: implement methane
of industrial mitigation effluent or POME) in palm oil industry:
capture & utilization. implement methane capture & utilization.
liquid waste. actions.
Note: A quantitative target to be defined by the
Min. of Industry and the Min. of Environment and Note: A quantitative target to be defined
Forestry. by the Min. of Industry and the Min. of
Environment and Forestry.

S E C T O R : I P P U
BAU CM1 CM2

Cement industry implements “clinker to Cement industry implements “clinker to


cement ratio” (blended cement) from cement ratio” (blended cement) from
80% in 2010 to 75% in 2030. 80% in 2010 to 75% in 2030.

Enhancing efficiency by feedstock utilization Enhancing efficiency by feedstock


and CO2 recovery in Primary Reformer utilization and CO2 recovery in Primary
in petrochemical industry (in particular Reformer in petrochemical industry
ammonia production).
(in particular ammonia production).
Industrial
processing Other actions: Other actions:
and product No mitigation - Steel industry implements: CO2 - Steel industry implements: CO2
use in major actions. recovery, improvement process in recovery, improvement process in
large scale smelter and scrap utilization. smelter and scrap utilization.
industries.
- Remains of claim PFCs from CDM- - Remains of claim PFCs from CDM-
activities (aluminum smelter). activities (aluminum smelter).

Note: Note:
A quantitative target to be defined by the A quantitative target to be defined by the
Min. of Industry. Min. of Industry.

REFFERENCES

ENERGY SECTOR
o National Energy Policy (KEN) 2014,
o Electricity Supply Business Plan (RUPTL) 2016-2025,
o National Energy Plan (RUEN) 2016.

AFOLU SECTOR
o RKTN (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030/National Forestry
Plan 2011-2030),
o Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 100 Tahun NKRI/Indonesian Oil Palm
Industry toward 100 year (GAPKI),

17
o The Roadmap of Indonesia’s Forest Business Association (APHI) 2050,
o Strategic Plan for Plantation/estate crops (including scenario for livestock),
o Introduction Study on RPJMN 2015-2019 (BAPPENAS, 2013).

WASTE SECTOR
o Act No. 18 year 2008 regarding Solid Waste Management,
o Government Regulation No. 81 year 2012 regarding Management of Domestic
Solid Waste.

-- o 0 o --

18
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM
GEDUNG MANGGALA WANABAKTI BLOK VII LT. 12
JL. JEND. GATOT SUBROTO - JAKARTA PUSAT 10270
TELP. 021 - 5730144, FAX. 021 - 5720194
WWW.DITJENPPI.MENLHK.GO.ID
Email: setditjenppi@gmail.com atausetditjenppi@menlhk.go.id

Anda mungkin juga menyukai