Strategi Implementasi NDC
Strategi Implementasi NDC
IMPLEMENTASI NDC
( N AT I O N A L LY D E T E R M I N E D C O N T R I B U T I O N )
i
ii
STRATEGI IMPLEMENTASI NDC
(NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION)
Oktober 2017
iii
Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution)
Penyusun :
1. Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc
2. Ir. Emma Rachmawaty, M.Sc
3. Yulia Suryanti, S.Si., M.Sc
4. Hany Setyawan, S.Hut., M.Si
5. M. Farid, S.Hut., M.Si
6. Nur Iskandar, SP
Editor :
Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc
Design Sampul :
Aida Novita
ISBN :
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (2017). Buku Strategi Implementasi NDC
(Nationally Determined Contribution), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Diterbitkan oleh :
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Gedung Manggala Wanabakti Blok VII Lantai 12
Jakarta, 10270 Indonesia
Telp/Fax +62-21-572 0194
iv
I. PENGANTAR
Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang diadopsi pada COP-21 tahun 2015
merupakan persetujuan internasional berdimensi sangat luas yang entry into force
kurang dari satu tahun setelah diadopsinya persetujuan tersebut, jauh lebih cepat dari
yang diperkirakan oleh banyak negara pihak (Parties) yang mengadopsi persetujuan
dimaksud.
Strategi implementasi NDC ini dimaksudkan sebagai pemandu langkah sinergi setiap
komponen bangsa mulai dari Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Akademisi,
Sektor Bisnis, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Masyarakat Umum untuk
mencapai komitment nasional dalam menurunkan emisi GRK dan mencapai tujuan
pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim seperti yang tertuang dalam
dokumen NDC. Kementerian LHK sebagai National Focal Point Perubahan Iklim di
Indonesia, akan melakukan segala upaya dalam upaya bersama meraih keberhasilan
implementasi NDC ini.
Melalui Strategi Implementasi NDC ini diharapkan sinergi antar sektor dapat diperkuat
guna memenuhi komitmen nasional kepada dunia internasional yang sejalan dengan
tujuan dan cita-cita nasional.
v
vi
DAFTAR ISI
Halaman
V. PENDANAAN . ........................................................................................... 20
vii
viii
I. LATAR BELAKANG
Presiden Joko Widodo pada Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change/UNFCCC) yang ke 21 di Paris tahun 2015 menyatakan
komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 29% di bawah
Business As Usual (BAU) pada tahun 2030 dan sampai dengan 41 % dengan bantuan
internasional.
1
dan saat ini mendorong setiap Negara untuk serius dalam menajalankan program-
program nasionalnya.
Sebagai tindak lanjut pernyataan komitmen Presiden Joko Widodo pada COP-21
adalah diratifikasinya Paris Agreement melalui UU No. 16 Tahun 2016. Pada saat
yang hampir bersamaan, Indonesia menyampaikan dokumen Nationally Determined
Contribution (NDC) ke Sekretariat UNFCCC, yang merupakan penjabaran lebih lanjut
dan menggantikan dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC)
yang disampaikan Indonesia sebelum COP-21 Paris. Sebagai bagian dari komitmen
pre-2020, Indonesia telah membuat upaya penurunan emisi GRK secara sukarela
sejak tahun dengan menuangkan target penurunan emisi GRK sebesar 26% dari BaU
di tahun 2020, dan sampai dengan 41% apabila terdapat dukungan internasional.
Pembelajaran dari implementasi komitmen tersebut menjadi salah satu pertimbangan
dalam menentukan target sampai dengan tahun 2030.
Dengan telah diratifikasinya Paris Agreement dan dengan rintisan yang telah cukup
panjang dilakukan di Indonesia termasuk kesepakatan antar sektor tentang target
kuantitatif masing-masing dalam NDC (yang merupakan gambaran garis besar transisi
Indonesia menuju pembangunan masa depan yang rendah emisi dan berketahanan
iklim), maka untuk mengimplementasikannya diperlukan dukungan serta komitmen
seluruh pihak. Dukungan dan komitmen tersebut secara konsisten dan kontinyu
memerlukan tindak lanjut untuk menjaga sumber daya alam dan lingkungan Indonesia
menjadi lebih baik dan berkontribusi dalam mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih
dari 2oC dan menuju 1.5oC dibandingkan dengan era pra-industrialisasi.
Dokumen NDC merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen ratifikasi
Perjanjian Paris, yang disusun berdasarkan prinsip common but differentiated
responsibilities and respective capabilities. Penyampaian NDC kepada UNFCCC
Secretariat merupakan salah satu implementasi Perjanjian Paris terutama merujuk
pada Keputusan 1/CP.21 paragraf 22. Prinsip clarity-transparency-understanding
(CTU) merupakan core principles dan isu strategis yang akan terus dirujuk dalam
mengelaborasi First NDC Indonesia ke dalam rencana implementasinya di setiap
kategori sektor.
2
CTU sangat penting untuk mengukur penurunan emisi GRK oleh setiap negara
sehingga dapat dilakukan perbandingan dan agregasi upaya global penurunan
emisi GRK. Implementasi CTU dalam NDC akan didasarkan pada pengalaman dan
kemampuan Indonesia di dalam penurunan emisi GRK di semua sektor yang dapat
diverifikasi melalui proses MRV. Oleh karena itu, penjabaran NDC ke dalam aksi-
aksi mitigasi oleh seluruh Kementerian/Lembaga serta non-party stakeholders, dapat
merujuk kepada proses MRV yang sudah dikembangkan sejak tahun 2013.
3
II. PARIS AGREEMENT DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN
PARIS AGREEMENT TO THE UNITED NATIONS
FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE
Persetujuan Paris yang bersifat mengikat secara hukum dan diterapkan semua
negara (legally binding and applicable to all) dengan prinsip tanggung jawab
bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common
but differentiated responsibilities and respective capabilities), memberikan tanggung
jawab kepada negara-negara maju untuk menyediakan dana, peningkatan kapasitas,
dan alih teknologi kepada negara berkembang. Disamping itu, Persetujuan Paris
mengamanatkan peningkatan kerja sama bilateral dan multilateral yang lebih efektif
dan efisien untuk melaksanakan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan
dukungan pendanaan, alih teknologi, peningkatan kapasitas yang didukung dengan
mekanime transparansi serta tata kelola yang berkelanjutan.
b. Komitmen Para Pihak untuk mencapai titik puncak emisi gas rumah kaca
secepat mungkin dan melakukan upaya penurunan emisi secara cepat melalui
aksi mitigasi (Pasal 4).
4
d. Pengembangan kerja sama sukarela antarnegara dalam rangka meningkatkan
ambisi penurunan emisi termasuk melalui mekanisme pasar dan nonpasar
(Pasal 6).
i. Peningkatan aksi kerja sama seluruh negara dalam hal pengembangan dan
alih teknologi (Pasal 10).
Dalam rangka mencapai tujuan Persetujuan Paris, kontribusi nasional terhadap upaya
global yang dituangkan dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC),
semua negara pihak melaksanakan dan mengkomunikasikan upaya ambisiusnya dan
5
menunjukkan kemajuan dari waktu ke waktu, yang terkait dengan Kontribusi yang
Ditetapkan Secara Nasional (mitigasi, adaptasi), dan dukungan pendanaan, teknologi
dan pengembangan kapasitas bagi negara berkembang oleh negara maju.
Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) Indonesia mencakup aspek mitigasi
dan adaptasi. Sejalan dengan ketentuan Persetujuan Paris, NDC Indonesia perlu
direview secara berkala dan dilakukan penyesuaian sesuai keperluan. Pada periode
pertama, target NDC Indonesia adalah mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya
sendiri dan sampai dengan 41% jika ada dukungan internasional dari kondisi tanpa ada
aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor
kehutanan, energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian.
Komitmen NDC Indonesia untuk periode selanjutnya ditetapkan berdasarkan kajian
kinerja dan harus menunjukkan peningkatan dari periode sebelumnya.
Paris Agreement telah memasuki masa efektif berlaku (entry into force) pada tanggal 4
November 2016, yaitu hari ke-30 setelah lebih dari 55 negara yang merepresentasikan
55% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global menyampaikan instrumen ratifikasi
kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pengesahan Persetujuan Paris ini didorong juga oleh amanat Pasal 28 A UUD
1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya”. Artinya Pemerintah bersama-sama dengan negara-negara
dunia lainnya untuk mempertahankan daya dukung global agar segenap manusia
dapat hidup dalam level kehidupan yang layak. Dan dalam Pasal 28 H UUD 1945
butir (1) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ratifikasi ini merupakan salah satu
upaya Pemerintah dalam memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang berkualitas.
Perubahan iklim memiliki dimensi nasional dan global yang keduanya terakomodir
dalam NAWACITA. Untuk dimensi global, salah satu butir NAWACITA tentang
peningkatan peran global mengamanatkan untuk meningkatkan kerjasama
internasional dalam mengatasi masalah-masalah global yang mengancam umat
manusia termasuk perubahan iklim. Untuk konteks nasional sejumlah butir NAWACITA
mengamanatkan aksi yang mengandung manfaat mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim, misal tentang penguatn sektor kehutanan, serta membangun tata ruang dan
lingkungan yang berkelanjutan.
6
Dengan mengesahkan Persetujuan Paris dan menjalankan seluruh komitmen dan
pengaturan yang terkait didalamnya, Indonesia akan mendapatkan manfaat antara
lain:
3. Menjadi para pihak yang dapat berperan serta (memiliki hak suara)
dalam pengambilan keputusan terkait Persetujuan Paris, termasuk dalam
pengembangan modalitas, prosedur dan pedoman pelaksanaan Persetujuan
Paris.
7
III. KOMITMEN DALAM NDC
Komitmen dalam Nawa Cita menjadi salah satu dasar bagi penyusunan dokumen
the First NDC Indonesia, yang menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan
yang rendah emisi dan berketahanan iklim. Mengacu pada kesiapan Indonesia dalam
menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dengan kemampuan sendiri,
NDC disusun untuk meningkatkan aksi dan kondisi yang mendukung pencapaian
tujuan yang lebih ambisius setelah tahun 2020 yang akan berkontribusi dalam upaya
untuk mencegah kenaikan temperatur global di bawah 2oC dan mengejar upaya
membatasi kenaikan temperatur global 1.5oC dibandingkan masa pra-industri.
Dalam upaya tersebut, sesuai dengan kewajiban/komitmen negara, dalam NDC telah
direncanakan aksi-aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai aksi yang
terintegrasi untuk membangun ketahanan dalam menjaga sumber daya pangan, air,
dan energi. Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
(mitigasi) pada tahun 2030 sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan sampai
dengan 41% bila dengan dukungan internasional, dibandingkan dengan tanpa aksi
mitigasi atau business as usual (BAU).
Dalam NDC dijelaskan tentang lima kategori sektor dan proporsi kontribusinya dalam
upaya penurunan emisi GRK 29 % dari BAU 2030, yakni: kehutanan (17.2%), energi
(11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%). Sedangkan untuk
adaptasi, komitmen Indonesia meliputi peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan
sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem dan lansekap selain
juga pengkondisian untuk ketahanan iklim. Untuk melihat target penurunan emisi per
kategori sektor dapat dilihat pada Tabel 1 dan Bagan 1.
8
Table 1. Proyeksi BAU dan reduksi emisi GRK dari setiap kategori sektor
Tingkat Rerata
Tingkat Emisi GRK 2030 Penurunan Emisi GRK Pertum- Rerata
Emisi
GRK buhan Pertum-
No Sektor (MTon CO2e) (MTon CO2e) % of Total BaU Tahunan buhan
2010
BAU 2000-
MTon (2010- 2012*
BaU CM1 CM2 CM1 CM2 CM1 CM2
CO2e 2030)
1 Energi* 453.2 1,669 1,355 1,271 314 398 11% 14% 6.7% 4.50%
2 Limbah 88 296 285 270 11 26 0.38% 1% 6.3% 4.00%
3 IPPU 36 69.6 66.85 66.35 2.75 3.25 0.10% 0.11% 3.4% 0.10%
4 Pertanian 110.5 119.66 110.39 115.86 9 4 0.32% 0.13% 0.4% 1.30%
5 Kehutanan** 647 714 217 64 497 650 17.2% 23% 0.5% 2.70%
TOTAL 1,334 2,869 2,034 1,787 834 1,081 29% 38% 3.9% 3.20%
* Termasuk fugitive **Termasuk kebakaran gambut
Notes: CM1= Counter Measure 1 (kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi-unconditional)
CM2= Counter Measure 2 (kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi-conditional)
Bagan 1. Proyeksi BAU dan Reduksi Emisi GRK dari Setiap Kategori Sektor
1669
1800 19% dari BAU-energi 70% dari BAU-kehutanan
11% dari BAU Total 17.2% dari BAU Total
1600
1400
1200
714 497
1000 650
314
800
398
600 296
2.75
11 3.25 119.66
400 69.6
9
4
200
0 Energy Waste IPPU Agriculture Foresty
(penurunan emisi (ER) dalam juta ton CO2e; CM1 = 29%; CM2 = 38%)
9
Dukungan baik berupa intervensi soft technology maupun hard technology merupakan
aspek yang harus dipenuhi dan dapat dilakukan melalui pemberdayaan dan
peningkatan kapasitas, memperbaiki layanan dasar kesehatan dan pendidikan,
inovasi teknologi rendah emisi, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan
yang sejalan dengan prinsip berkelanjutan dan tata kelola yang baik.
10
IV. PROGRAM IMPLEMENTASI NDC
III. ENABLING ENVIRONMENT • Peraturan-perundangan dan kebijakan terkait (UU No. 16/2016 ttg Ratifikasi Paris
Agreement, PP.46/2016 ttg KLHS, dll)
VI. PENYUSUNAN KEBIJAKAN, • Penyelarasan NDC dengan perencanaan pembangunan di 5 kategori sekor mitigasi
RENCANA DAN PROGRAM (KRP) dan adaptasi sektoral dan wilayah > untuk menjamin penganggaran (APBN-APBD)
INTERVENSI dan mobilisasi sumberdaya baik dari dalam negeri maupun internasional
VII. PENYUSUNAN PEDOMAN • Pedoman untuk Pusat dan daerah (perencanaan, pelaksanaan, MRV dan review
IMPLEMENTASI NDC NDC);
11
Tabel 2. Detail Sembilan Program Implementasi NDC
12
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan
13
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan
14
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan
15
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan
16
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan
17
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan
Meningkatkan secara
cepat program kesiap-
siagaan menghadapi
bencana dalam rangka
pengurangan risiko
bencana
Identifikasi wilayah rentan
perubahan iklim dalam
perencanaan dan tata
guna lahan
Peningkatan permukiman
masyarakat, penyediaan
kebutuhan dasar dan
Pembangunan prasarana
tahan iklim
Pencegahan dan resolusi
konflik
• Ketangguhan ekosistem dan
lanskap
Peningkatan kapasitas
adaptasi dengan
membangun sistem
peringatan dini (bencana
terkait iklim), kampanye
kesadaran publik secara
luas dan program
kesehatan masyarakat
Pengembangan kapasitas
dan partisipasi masyarakat
di dalam proses
perencanaan lokal, untuk
mengamankan akses
kepada sumber daya
alam utama (key natural
resources)
Meningkatkan secara
cepat program kesiap-
siagaan menghadapi
bencana dalam rangka
pengurangan risiko
bencana
Identifikasi wilayah rentan
perubahan iklim dalam
perencanaan dan tata
guna lahan
Peningkatan permukiman
masyarakat, penyediaan
kebutuhan dasar dan
Pembangunan prasarana
tahan iklim
Pencegahan dan resolusi
konflik
18
No. Program Kegiatan Para Pihak Waktu Keterangan
19
V. PENDANAAN
Target penurunan emisi gas rumah kaca yang telah ditetapkan melalui NDC, yaitu
unconditional sebesar 29% dan target conditional sampai dengan 41% dibandingkan
skenario bussines as usual (BAU) tahun 2030 memerlukan pendanaan yang
memadai dan dapat diperkirakan jumlah serta opsi-opsi pendanaannya untuk dapat
mencapai target penurunan emisi GRK dan dalam waktu yang sama mencapai target
pembangunan. Isu pendanaan yang memadai, dapat diprediksi dan berkelanjutan
(adequate, predictable, sustainable) sudah dibahas dan disepakati sejak COP ke-
13 di Bali tahun 2007 melalui Decision 1/CP 13 para 1e(i) bahwa perlu “Improved
access to adequate, predictable and sustainable financial resources and financial
and technical support, and the provision of new and additional resources, including
official and concessional funding for developing country Parties”. Selanjutnya Paris
Agreement menyatakan “Recognizes the importance of adequate and predictable
financial resources, including for results-based payments, as appropriate, for the
implementation of policy approaches and positive incentives for reducing emissions
from deforestation and forest degradation, and the role of conservation, sustainable
management of forests and enhancement of forest carbon stocks”. Dalam hal ini,
sudah cukup jelas tentang kebutuhan dukungan pendanaan dari negara maju
untuk negara berkembang, selain sumber dana yang disiapkan sendiri oleh negara
berkembang.
20
Sementara pembentukan kelembagaan pendanaan lingkungan hidup dibentuk melalui
Peraturan Presiden tentang Pendanaan Lingkungan Hidup.
Lembaga pendanaan lingkungan hidup tersebut mengelola dua jenis dana utama,
yaitu:
2) Dana amanah/bantuan konservasi, yaitu dana yang berasal dari sumber hibah
dan donasi untuk kepentingan konservasi sumberdaya alam dan pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
21
Badan Layanan Umum (BLU) sebagai Pengelola Dana Lingkungan
Mengingat untuk mencapai target pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca
sebagaimana ditetapkan dalam NDC diperlukan peran dan kontribusi berbagai pihak
dalam melaksanakan program dan kegiatanya, maka pendanaan NDC tidak hanya
dapat menggunakan pendanaan dengan mekanisme APBN/APBD sebagaimana
dijalankan oleh K/L dan Pemerintah Daerah. BPDLH yang mengelola dana dari
berbagai sumber diharapkan dapat menjadi pendukung dalam pendanaan NDC yang
dilakukan baik oleh Pemerintah (nasional dan sub-nasional) maupun non-Pemerintah
(swasta dan civil societies).
22
VI. PENUTUP
Implementasi NDC dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) tahap. Tahap pertama adalah
penyiapan prakondisi yang harus bisa diselesaikan sebelum tahun 2020. Tahap ini
terdiri dari: pengembangan ownership dan komitmen; pengembangan kapasitas;
enabling environment; penyusunan kerangka kerja dan jaringan komunikasi; kebijakan
satu data GRK; penyusunan kebijakan, rencana dan program (KRP) intervensi; dan
penyusunan pedoman implementasi NDC, termasuk review kesiapan memasuki
periode komitmen 2020 - 2030. Tahap kedua adalah implementasi pada periode
komitmen pertama mulai tahun 2020 – 2030. Tahap ketiga adalah pemantauan dan
review NDC selama periode komitmen, yang mencakup capaian target baik dari sisi
pengurangan emisi dan peningkatan kapasitas adaptasi serta peningkatan resiliensi
termasuk pelaporan internasional (yang dikoordinasikan KLHK) serta capaian target
pembangunan (yang dikoordinasikan oleh BAPPENAS). Dengan demikian, ketiga
tahap ini bukan berarti subsekuen antara satu tahap ke tahap berikutnya namun
dilaksanakan secara simultan. Pemantauan dan evaluasi (MRV untuk pengurangan
emisi) sudah mulai dilaksanakan pada tahap penyiapan prakondisi untuk memberbaiki
dan penyesuaian dengan situasi serta sumberdaya yang ada.
Penyusunan Strategi Implementasi NDC ini diarahkan sebagai pemandu arah gerak
sinergi bagi segenap komponen bangsa untuk melaksanakan komitmet internasional
yang sejalan dengan cita-cita dan tujuan nasional. Semoga langkah dan upaya
segenap komponen bangsa ini mendapat bimbingan dan kemudahan dari Tuhan Yang
Maha Kuasa.
23
24
FIRST NATIONALLY DETERMINED
CONTRIBUTION
REPUBLIC OF INDONESIA
November 2016
FIRST NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION
REPUBLIC OF INDONESIA
1. KONTEKS NASIONAL
Indonesia merupakan negara yang sedang bertumbuh dengan demokrasi yang stabil
dan populasi keempat terbanyak di dunia. Walaupun pertumbuhan ekonomi masih
terus meningkat selama dekade terakhir, sekitar 11% populasi Indonesia masih berada
di bawah garis kemiskinan. Untuk mengentaskan kemiskinan, Pemerintah Indonesia
memproyeksikan pembangunan ekonomi setidaknya mencapai 5% per tahun untuk
menurunkan laju kemiskinan di bawah 4% di tahun 2025 sebagaimana dimandatkan
dalam Undang-Undang, antara lain “bahwa setiap orang berhak memperoleh hidup
yang layak dan sehat”. Mengingat dampak perubahan iklim mulai dirasakan, Indonesia
masih terus mencari keseimbangan pembangunan di masa kini dan masa datang
serta prioritas pengentasan kemiskinan.
Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia mencanangkan target penurunan emisi GRK
sebesar 26% di tahun 2020, dan sampai dengan 41% apabila terdapat dukungan
internasional, dibandingkan terhadap skenario business as usual di tahun 2020.
Pemerintahan Indoesia saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo,
telah menentukan 9 (sembilan) aksi prioritas pembangunan nasional yang dituangkan
melalui Nawa Cita. Nawa Cita melingkupi antara lain melindungi segenap bangsa
dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara
kesatuan, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas
rakyat dan daya saing di pasar internasional. Misi Nawa Cita tersebut sejalan dengan
komitmen nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim,
dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai satu prioritas yang terintegrasi
dan lintas-sektoral dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Mengingat posisi penting Indonesia secara geografis dalam global ocean conveyor
belt (thermohaline circulation), negara kepulauan terbesar dan hutan hujan tropisnya
yang kaya akan keanekaragaman hayati, tingginya cadangan nilai karbon dan sumber
daya energi dan mineral, Indonesia dikenal akan perannya dalam upaya menghadapi
perubahan iklim. Namun, Indonesia juga rentan terhadap bencana alam yang akan
diperparah dengan terjadinya perubahan iklim, terutama di daerah dataran rendah di
seluruh nusantara. Oleh karena itu Indonesia memandang bahwa upaya komprehensif
1
adaptasi dan mitigasi berbasis lahan dan laut merupakan sebuah pertimbangan
strategis yang kritis dalam mencapai ketahanan iklim terkait pangan, air dan energi.
2. MITIGASI
Menurut dokumen Second National Communication tahun 2010, emisi gas rumah
kaca (GRK) Indonesia diperkirakan sebesar 1,8 GtCO2e di tahun 2005. Angka ini
menunjukkan peningkatan sebesar 0,4 GtCO2e dibandingkan tahun 2000. Sumber
emisi paling besar (63%) berasal dari kegiatan alih guna lahan serta kebakaran hutan
dan lahan gambut, sedangkan konsumsi bahan bakar minyak menyumbangkan emisi
GRK sebesar 19% dari total emisi. Berdasarkan dokumen First Biennial Update
Report (BUR) yang telah disampaikan kepada UNFCCC pada bulan Januari 2016,
emisi GRK nasional adalah sebesar 1,453 GtCO2e di tahun 2012, yang menunjukkan
peningkatan sebesar 0,452 GtCO2e dari tahun 2000. Sektor utama yang berkontribusi
mengeluarkan emisi adalah sektor LUCF termasuk kebakaran gambut (47,8%) dan
sektor energi (34,9%)
Sejak Indonesia mencanangkan penurunan emisi GRK secara sukarela sebesar 26%
dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% apabila ada dukungan internasional,
dibandingkan dengan skenario business as usual 2020, Indonesia telah mengeluarkan
rangkaian perangkat hukum dan kebijakan, termasuk Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi GRK sebagaimana dituangkan dalam PERPRES No. 61/2011 dan
inventarisasi GRK melalui PERPRES No. 71/2011.
2
Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mengurangi emisi dari
sektor berbasis lahan dengan mengambil kebijakan moratorium penebangan hutan
primer dan pelarangan konversi dari hutan yang tersisa dengan kegiatan pengurangan
deforestasi dan degradasi hutan, restorasi fungsi-fungsi ekosistem, serta pengelolaan
hutan berkelanjutan yang termasuk perhutanan sosial melalui partisipasi aktif sektor
swasta, usaha kecil dan menengah, organisasi masyarakat sipil, masyarakat lokal
dan kelompok masyarakat yang paling rentan, terutama Masyarakat Hukum Adat,
dan perempuan - baik dalam tahap perencanaan maupun implementasi. Pendekatan
dengan skala lanseap dan pengelolaan berbasis ekosistem dengan peranan
pemerintah daerah, merupakan hal penting dalam menjamin manfaat yang lebih besar
dan berkelanjutan dari inisiatif-inisiatif tersebut.
REDD+ akan menjadi komponen penting dari target NDC Indonesia di sektor berbasis
lahan. Forest Reference Emission Level (FREL) untuk REDD+ telah disampaikan
kepada Sekretariat UNFCCC pada bulan Desember 2015, yang mencakup deforestasi
dan degradasi hutan serta dekomposisi gambut. FREL ditetapkan sebesar 0,568
GtCO2e/tahun untuk pool karbon Above Ground Biomass, dengan menggunakan
periode referensi 1990-2012 dan akan digunakan sebagai rujukan terhadap emisi
aktual dari 2013 hingga 2020. Angka ini digunakan sebagai benchmark untuk
mengevaluasi kinerja REDD+ selama periode implementasi (hingga 2020). Indonesia
akan melakukan adjustment (penyesuaian) manakala diperlukan.
Di sektor energi, Indonesia telah menentukan kebijakan bauran energi. Selain itu
juga telah ditetapkan kebijakan nasional mengenai pengembangan sumber energi
bersih. Secara kolektif, kebijakan ini akan menempatkan Indonesia ke arah jalur
dekarbonisasi. Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional menetapkan ambisi untuk melakukan transformasi, di tahun 2025 dan 2050,
bauran penyediaan energi utama sebagai berikut:
a) energi baru terbarukan setidaknya sebesar 23% di tahun 2025 dan setidaknya
sebesar 31% di tahun 2050;
b) minyak harus lebih kecil dari 25% di tahun 2025 dan lebih kecil dari 20% di tahun
2050;
c) batubara paling sedikit 30% di tahun 2025 dan paling sedikit 25% di tahun 2050;
dan
d) gas setidaknya paling sedikit 22% di tahun 2025 dan paling sedikit 24% di tahun
2050.
3
yang komprehensif dan koheren, penguatan institusi, peningkatan mekanisme
keuangan dan pendanaan, inovasi teknologi, dan pendekatan sosial-budaya.
3. ADAPTASI
Perubahan iklim menimbulkan risiko signifikan terhadap sumber daya alam di Indonesia
yang akan mempengaruhi produksi dan distribusi pangan, air dan energi. Oleh karena
itu, Pemerintah Indonesia memandang upaya mitgasi dan adaptasi perubahan iklim
sebagai konsep terintegrasi yang penting dalam membangun ketahanan sumber daya
pangan, air dan energi. Pemerintah telah melakukan upaya signifikan dalam menyusun
dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang
menyediakan kerangka untuk berbagai inisiatif adaptasi yang telah diarusutamakan
ke dalam perencanaan pembangunan nasional.
Kebijakan dan aksi pra-2020 akan mendukung kelancaran transisi menuju pelaksanaan
NDC di bawah kerangka Persetujuan Paris paska-2020. Kebijakan dan aksi dimaksud,
yang akan menjadi landasan kuat bagi pelaksanaan aksi adaptasi sejak tahun 2020,
adalah:
1) Pra-kondisi:
• Pengembangan sistem informasi data kerentanan iklim nasional, yang akan
dibangun berbasis sistem yang telah ada yaitu SIDIK (Sistem Informasi Data
dan Informasi Kerentanan), yang terbuka bagi publik melalui situs http://
ditjenppi.menlhk. go.id.
• Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.33/2016
tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim, yang dapat
dipergunakan oleh pemerintah daerah dalam memformulasikan rencana aksi
adaptasi daerah.
• Peningkatan pelaksanaan RAN-API yang telah ditetapkan pada tahun 2014.
4
pertanian dan alih guna lahan yang berkelanjutan. Peraturan ini memandu
para pemangku kepentingan dalam upaya konservasi lahan dan peningkatan
produktivitas menuju pertanian berkelanjutan.
• Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
akan mengarah pada peningkatan daya dukung daerah aliran sungai (DAS).
Peraturan tersebut menyediakan panduan untuk mengidentifikasi DAS yang
harus dilindungi, direstorasi, dan direhabilitasi.
• Pengelolaan hutan berbasis masyarakat akan meningkatkan pendapatan dan
saat bersamaan akan menurunkan tekanan yang mengarah pada deforestasi
dan degradasi hutan primer.
• Peningkatan peran ProKLim (upaya bersama adaptasi dan mitgasi perubahan
iklim) sebagai suatu pendekatan bottom up dalam program ketahanan iklim
di tingkat lokal. Melalui peningkatan peran ProKLim juga akan dimungkinkan
untuk menghitung kontribusinya (terhadap pencapaian penurunan emisi GRK
baik pada periode pra-2020 maupun pasca-2020.
4. PENDEKATAN STRATEGIS
5
Komitmen Indonesia terhadap masa depan yang rendah karbon memetakan
kerangka peningkatan aksi dan dukungan yang diperlukan untuk periode 2015-2019
yang akan menjadi landasan untuk tujuan lebih ambisius setelah tahun 2020. Hal ini
dapat membuka peluang untuk membangun aksi koheren di tingkat nasional, dengan
menekankan pada pengembangan riset, mobilisasi sumber daya melalui kemitraan,
dan kerjasama internasional. Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup tahun 2009 sebenarnya telah menyediakan kerangka hukum untuk
mendukung strategi dan aksi periode 2015-2019, yang dapat dijadikan dasar sebagai
kondisi yang memungkinkan untuk implementasi kebijakan jangka panjang tahun
2020 dan seterusnya. Walaupun demikian, untuk mencapai tujuan kebijakan jangka
panjang, harmonisasi aspek legal yang komprehensif terhadap semua hal terkait
perubahan iklim dinilai sebagai titik kritis untuk menghadapi tantangan mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim.
5. PROSES PERENCANAAN
6
serta Kementerian Keuangan dalam konteks perubahan iklim, pembangunan nasional
dan anggaran, dan dengan Kementerian Luar Negeri dalam konteks perubahan iklim
dan negosiasi internasional.
7
ekosistem lahan basah, meningkatkan produktivitas
pertanian dan perikanan, konservasi energi dan
mendorong sumber energi yang bersih dan terbarukan
serta peningkatan kualitas pengelolaan limbah.
8
10,96% dari populasi hidup dalam kemiskinan pada
tahun 2014, dan tingkat pengangguran sebesar
5,9%.
Pengukuran yang digunakan Global Warming Potential (GWP) skala 100 tahun
berdasarkan Assessment Report 4 IPCC
Baseline dan asumsi yang BAU Baseline Scenario and Mitigation Scenario
digunakan untuk proyeksi Skenario BAU: skenario emisi ketika
dan Skenario Kebijakan pembangunan tidak mempertimbangkan
tahun 2020-2030 kebijakan mitigasi perubahan iklim.
9
Counter Measure 1 Scenario (CM1): skenario
emisi dengan skenario mitigasi dan
mempertimbangkan target pembangunan
sektoral.
Counter Measure 2 Scenario (CM2) atau
skenario conditional: skenario emisi dengan
skenario emisi yang lebih ambisius dan
mempertimbangkan target pembangunan
sektoral, jika dukungan internasional tersedia.
Lingkup penurunan emisi Dengan baseline dan asumsi yang digunakan untuk
proyeksi kebijakan tahun 2020-2030, BAU dan
penurunan emisii yang diproyeksikan baik untuk
penurunan emisi GRK secara unconditional (CM1)
dan conditional (CM2) ditunjukkan pada Tabel 1
dengan elaborasi dari asumsi untuk setiap sektor
seperti tercantum pada Annex.
Table 1. Proyeksi BAU dan reduksi emisi GRK dari setiap kategori sektor
Tingkat Rerata
Tingkat Emisi GRK 2030 Penurunan Emisi GRK Pertum- Rerata
Emisi
GRK buhan Pertum-
No Sektor (MTon CO2e) (MTon CO2e) % of Total BaU Tahunan buhan
2010
BAU 2000-
MTon (2010- 2012*
BaU CM1 CM2 CM1 CM2 CM1 CM2
CO2e 2030)
1 Energi* 453.2 1,669 1,355 1,271 314 398 11% 14% 6.7% 4.50%
2 Limbah 88 296 285 270 11 26 0.38% 1% 6.3% 4.00%
3 IPPU 36 69.6 66.85 66.35 2.75 3.25 0.10% 0.11% 3.4% 0.10%
4 Pertanian 110.5 119.66 110.39 115.86 9 4 0.32% 0.13% 0.4% 1.30%
5 Kehutanan** 647 714 217 64 497 650 17.2% 23% 0.5% 2.70%
TOTAL 1,334 2,869 2,034 1,787 834 1,081 29% 38% 3.9% 3.20%
* Termasuk fugitive **Termasuk kebakaran gambut
Notes: CM1= Counter Measure 1 (kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi-unconditional)
CM2= Counter Measure 2 (kondisi skenario dengan persyaratan mitigasi-conditional)
7. KERANGKA TRANSPARANSI
10
Indonesia berkomitmen untuk mengkomunikasikan secara periodik laporan emisi gas
rumah kaca dari berbagai sektor, termasuk status dari aksi penurunan emisi GRK
dan capaiannya kepada Sekretariat UNFCCC. Indonesia saat ini sedang menyusun
Laporan Komunikasi Nasional Ketiga (Third National Communication atau TNC) untuk
disampaikan pada tahun 2017. Indonesia juga tetap akan memenuhi kewajibannya
dalam menyusun Biennial Update Report (BUR). BUR Pertama Indonesia disampaikan
pada awal tahun 2016.
8. DUKUNGAN INTERNASIONAL
Untuk meningkatkan ambisi dalam penurunan Emisi gas rumah kaca, termasuk
persiapan pelaksanaan NDC (pra-2020) pada semua kategori sektor dan pelaksanaan
REDD+ pada Pasal 5 Persetujuan Paris diperlukan dukungan internasional dari
negara maju dalam bentuk pendanaan, pengembangan dan transfer teknologi, dan
peningkatan kapasitas.
Pasal 5 dari Persetujuan Paris memberikan sinyal politis yang jelas mengenai
pengakuan terhadap peranan hutan dan REDD+. Keputusan COP telah memberikan
arahan yang cukup untuk mengimplementasikan dan mendukung pelaksanaan
REDD+. Selain itu, mempertimbangkan kemajuan persiapan dan transisi REDD+ di
tingkat national dan sub nasional, REDD+ Indonesia telah siap untuk pembayaran/
insentif berbasis hasil (result-based payment). Sebagai pendekatan kebijakan dan
insentif positif, REDD+ harus mampu untuk mendukung capaian target penurunan
emisi gas rumah kaca untuk sektor kehutanan.
Pendahuluan
11
Agenda global tersebut sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan
dan posisinya dalam bentang lautan global (sirkulasi thermohaline) dan hutan hujan
tropis yang luas dengan keanekaragaman hayati dan nilai cadangan karbon yang
tinggi. Indonesia merupakan negara yang sedang membangun, dengan kehidupan
demokrasi yang stabil dan dengan jumlah penduduk terpadat keempat sedunia dan
dengan proporsi terbesar adalah generasi muda dan yang paling produktif.
Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah pesisir dan kepulauan kecil yang
ekstensif, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia telah
mengalami kejadian iklim ekstrim seperti banjir dan kekeringan, serta dampak jangka
panjang dari kenaikan muka air laut. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk,
bencana alam yang dipengaruhi oleh perubahan iklim menimbulkan dampak yang
lebih luas terhadap masyarakat dan aset yang dimiliki, sehingga mereka mengalami
kesulitan untuk keluar dari garis kemiskinan.
Sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia
menghadapi risiko tinggi kejadian banjir di pesisir dan kenaikan muka air laut yang
akan berdampak pada 42 juta penduduk yang tinggal di pesisir. Sebagian besar
daerah tersebut merupakan daerah urbanisasi sangat pesat, yang mencapai 50%
pada tahun 2010.
Kerentanan pada wilayah pesisir juga diakibatkan oleh tingkat deforestasi dan
degradasi hutan. Hilangnya ekosistem hutan menimbulkan hilangnya jasa lingkungan
yang utama, daerah tangkapan air, pencegahan erosi dan banjir.
Arah pembangunan Indonesia menuju rendah karbon dan berketahanan iklim harus
dikembangkan dengan membangun dasar yang kuat melalui dukungan kondisi
sebagai berikut:
• Kepastian dalam perencanaan dan tata guna lahan
• Ketahanan tenurial
12
• Ketahanan pangan
• Ketahanan air
• Energi terbarukan
Ketahanan Ekonomi
Perubahan iklim menimbulkan risiko yang sangat signifikan bagi sumberdaya alam
yang akan mengakibatkan gangguan terhadap produksi dan distribusi pangan, air
dan energi. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan semakin meningkatkan tekanan
terhadap sumberdaya yang sudah terbatas. Untuk merespon hal ini, Indonesia
merencanakan untuk bertransformasi menuju ekonomi rendah karbon dan membangun
ketahanan pangan, air dan energi melalui peningkatan aksi berikut:
• Pertanian dan perkebunan berkelanjutan
• Pengelolaan daerah aliran sungai terintegrasi
• Penurunan deforestasi dan degradasi hutan
• Konservasi lahan
• Pemanfaatan lahan terdegradasi untuk energi terbarukan
• Perbaikan efisiensi energi dan pola konsumsi
13
Ketahanan Ekosistem dan Lanskap
NDC mencerminkan kondisi terakhir dalam hal data dan informasi, analisis, dan skenario
ke depan oleh Pemerintah Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia akan
mengalami perubahan dinamis karena adanya perubahan perekonomian di tingkat
nasional dan global. Dalam hal ini, NDC akan dikaji-ulang dan disesuaikan, sesuai
kebutuhan, dengan mempertimbangkan kondisi, kapasitas dan kemampuan nasional
serta ketentuan di dalam Persetujuan Paris.
Lampiran
Nationally Determined Contribution (NDC) Pertama
Republik Indonesia
Asumsi yang Dipergunakan dalam Proyeksi BAU dan Reduksi Emisi GRK
(reduksi unconditional / CM1 dan conditional / CM2) untuk seluruh
kategori Sektor (Energi, Limbah, IPPU, Pertanian dan Kehutanan)
S E K T O R : E N E R G I
Skenario Mitigasi 1 Skenario Mitigasi 2
BAU
(CM 1) (CM 2)
1. Efisiensi konsumsi energi final Konsumsi energi final
tidak efisien
2. Penerapan teknologi CCT (clean 75% 100%
coal technology) di pembangkit 0%
listrik
3. Penggunaan energi baru 19.6%
Pembangkit Listrik Produksi Listrik
terbarukan pada pembangkit (Committed 7,4 GW
menggunakan batubara 132,74 TWh*
listrik berdasarkan RUPTL)*
4. Penggunaan bahan bakar nabati-
BBN (Mandatory B30) di sektor 0% 90% 100%
transportasi
5. Penambahan jaringan gas 0% 100% 100%
(Jargas)
6. Penambahan Stasiun pengisian
0% 100% 100%
Bahan Bakar Gas (SPBG)
14
SEKTOR :FOLU
A. Laju deforestasi
- Laju deforestasi untuk BAU 2013-2020 mengikuti baseline FREL-REDD yaitu 0,920 juta ha/
tahun, yang terdiri dari deforestasi tidak terencana dan deforestasi terencana. Laju deforestasi
terencana dihitung terlebih dahulu oleh model sesuai dengan skenario pembangunan.
- Untuk skenario CM1 dan CM2, laju deforestasi tidak terencana diasumsikan lebih rendah seh-
ingga total deforestasi (terencana dan tidak terencana) adalah sebesar 0,450 juta ha
- Laju deforestasi BAU 2021-2030 diasumsikan menurun menjadi 0,820 juta ha/tahun dan untuk
CM1 dan CM2 menjadi 0,325 juta ha
15
CM1 dan CM 2 masing-masing tahun 2010: 120 dan tahun 2050 sudah
meningkat jadi 140, 160 dan 200 m3/ha dengan adanya intervensi teknologi.
Kenaikan terjadi setiap interval 10 tahun. Untuk konversi diperlukan data:
a. BEF: 1,4 (IPCC Default)
b. Wood density untuk HTI: 0,4 t/m3
3. Rotasi: 6 tahun.
D. Hasil hitungan CM2 dibuat dengan target yang sangat ambisius (capaian 38%),
dengan perubahan asumsi dari hitungan sebelumnya ialah:
1. Restorasi gambut mencapai tingkat keberhasilan 90% dan luas yang direstorasi
sampai 2030 mencapai 2 juta Ha,
2. Rehabilitasi lahan juga mencapai tingkat keberhasilan 90% dan hampir semua
lahan tidak produktif direhabilitasi (hampir 12 juta ha), sehingga per tahun
hingga 2030 laju penanaman sekitar 800 ribu ha/tahun (baseline hanya sekitar
270 ribu ha).
S E K T O R : P E R T A N I A N
BAU CM1 CM2
1. Penggunaan Tidak ada aksi Penggunaan varietas Penggunaan varietas
varietas rendah mitigasi. rendah emisi pada lahan rendah emisi pada lahan
emisi di lahan sawah diasumsikan sawah diasumsikan
sawah mencapai total 926 ribu ha mencapai 908 ribu ha di
di 2030*. 2030*.
2. Penerapan sistem Tidak ada aksi Penerapan sistem Penerapan sistem
pengairan sawah mitigasi. pengairan sawah lebih pengairan sawah lebih
lebih hemat air. hemat air mencapai 820 hemat air mencapai 803
ribu ha di 2030*. ribu ha di 2030*.
3. Pemanfaatan Tidak ada aksi Pemanfaatan limbah Pemanfaatan limbah ternak
limbah ternak mitigasi. ternak untuk biogas untuk biogas mencapai
untuk biogas. mencapai 0,06% dari 0,06% dari populasi ternak
populasi ternak pada tahun pada tahun 2030**.
2030**.
4. Perbaikan Tidak ada aksi Penggunaan suplemen Penggunaan suplemen
suplemen pakan. mitigasi. untuk pakan mencapai untuk pakan mencapai
2,5% dari populasi ternak 2,5% dari populasi ternak
pada tahun 2030**. pada tahun 2030**.
Catatan: * penggunaan teknologi terbaik yang telah tersedia akan meningkatkan produktivitas ternak dan
menurunkan penggunaan lahan untuk tujuan peternakan.
** peningkatan populasi ternak dan operasionalisasi biogas (dengan asumsi subsidi pemerintah
akan terus berlanjut dengan perimbangan tingginya biaya investasi).
A. Indeks penanaman padi dinaikkan dari 2,11 menjadi 2,50 (lokasi Pulau Jawa)
dan dari 1,70 menjadi 2,00 (luar Pulau Jawa). Berarti diasumsikan semua sawah
di luar Jawa sudah memiliki jaringan irigasi seperti di Jawa, dan semua jaringan
irigasi yang ada di Pulau Jawa berfungsi optimal (kondisi saat ini di Pulau Jawa:
yang beroperasi baik hanya 60-70%).
B. Asumsi Index Penanaman: untuk tanaman semusim, Cropping Intensity atau Indek
Penanaman merupakan rasio antara luas panen dengan luas lahan pertanaman.
Sehingga jika IP=2 artinya penanaman pada lahan yang sama dilakukan 2 kali
dalam setahun. Untuk tanaman tahunan, Indek Penanaman menunjukkan fraksi
tanaman yang sudah menghasilkan (umur produktif).
16
C. Assumsi Populasi/GDP dan Ternak: Untuk semua skenario proyeksi untuk GDP,
populasi ternak sama. Target yang ditetapkan untuk swasembada daging sulit
dicapai, prakiraan ahli pemenuhan kebutuhan daging relatif sulit. Pertumbuhan
populasi ternak mengikuti data historis, lebih rendah dari tingkat pertumbuhan
permintaan terhadap daging.
S E K T O R : L I M B A H
S U B - S E K T O R : L I M B A H PA D AT
BAU CM1 CM2
1. Peningkatan penerapan LFG recovery LFG recovery mereduksi LFG recovery mereduksi
dari 2010 ke 2030 dalam pengelolaan Tidak ada aksi
CH4 dari 0,65% di tahun 2010 CH4 dari 0,65% di tahun 2010
TPA. mitigasi.
menjadi 10% di 2030. menjadi 10% di 2030.
2. Peningkatan persentase pemanfaatan
sampah melalui pengomposan dan 3R Tidak ada aksi 22% di tahun 2020, 30% 22% di tahun 2020, 30%
(kertas). mitigasi. di tahun 2030*. di tahun 2030*.
Pengelolaan Tidak Industri pengolahan sawit melakukan kegiatan Industri pengolahan sawit melakukan
limbah cair ada aksi methane capture & utilization pada IPAL dari kegiatan methane capture & utilization
industri. mitigasi. limbah cair pabrik kelapa sawit atau palm oil mill pada IPAL dari limbah cair pabrik kelapa
effluent (POME). sawit atau palm oil mill effluent (POME).
Catatan: target kuantitatif akan ditentukan oleh Catatan: target kuantitatif akan ditentukan
Kementerian Perindustrian dan Kementerian oleh Kementerian Perindustrian dan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
17
SEKTOR:IPPU
BAU CM1 CM2
Catatan: Target kuantitatif akan ditetapkan Catatan: Target kuantitatif akan ditetapkan
oleh Kementerian Perindustrian. oleh Kementerian Perindustrian.
REFERENSI
SEKTOR ENERGI
o Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014,
o Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025,
o Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2016.
SEKTOR AFOLU
o Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030 (RKTN),
o Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 100 Tahun NKRI (GAPKI),
o Peta Jalan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) 2050,
o Rencana Strategis Perkebunan (termasuk skenario peternakan),
o Studi Pendahuluan RPJMN 2015-2019 (BAPPENAS, 2013).
SEKTOR LIMBAH
o Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
o Peraturan Pemerintah No. 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
-- o 0 o --
18
FIRST NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION
REPUBLIC OF INDONESIA
1. NATIONAL CONTEXT
Indonesia is a nascent yet stable democracy and the fourth most populous country
in the world. Despite continuous, multi-decade economic growth, approximately 11%
of Indonesia’s population is living below the poverty line. To lift people out of poverty,
the Government of Indonesia (GOI) is promoting economic development projected to
average at least 5% per year in order to reduce the poverty rate to below 4% by 2025,
as mandated by the Indonesian Constitution, inter alia, that “every person shall have the
right to enjoy a good and healthy environment.” As climate change becomes a reality,
Indonesia continues to seek a balance between its current and future development
and poverty reduction priorities.
In 2010 the Government of Indonesia pledged to reduce emissions by 26% (41% with
international support) against the business as usual scenario by 2020. The current
administration, under President Joko Widodo, has determined priority actions within
the national Nawa Cita (Nine Priority Agendas) framework, which includes protecting
Indonesia’s citizens, encouraging rural and regional development, improving the
quality of life, and improving productivity and global competitiveness. These core
missions are consistent with the national commitment towards a low carbon and
climate change-resilient development path, in which climate change adaptation and
mitigation constitute an integrated and cross-cutting priority of the National Medium-
Term Development Plan. The following priorities for enhanced actions in 2015-2019
will be fully integrated into Indonesia’s National Medium-Term Development Plan in
2020.
Given its pivotal geographic position in the global ocean conveyor belt (thermohaline
circulation), the largest archipelagic country and its extensive tropical rainforests with
high biodiversity, high carbon stock values and energy and mineral resources, Indonesia
is recognized its role to play in combatting global climate change. Nevertheless,
Indonesia is vulnerable to natural disaster that will likely be exacerbated by climate
change, especially in low-lying areas throughout the archipelago. Therefore Indonesia
views comprehensive land and ocean-based climate change adaptation and mitigation
efforts as a critical strategic consideration in achieving climate resilience in food, water
and energy.
1
Indonesia’s Nationally Determined Contribution (NDC) outlines the country’s transition
to a low carbon and climate resilience future. The NDC describes the enhanced actions
and the necessary enabling environment during the 2015-2019 period that will lay
the foundation for more ambitious goals beyond 2020, contributing to the concerted
effort to prevent 20C increase in global average temperature and to pursue efforts
to limit the temperature increase to 1.5oC above pre-industrial levels. For 2020 and
beyond, Indonesia envisions achieving archipelagic climate resilience as a result of
comprehensive adaptation and mitigation programmes and disaster risk reduction
strategies. Indonesia has set ambitious goals for sustainability related to production
and consumption of food, water, and energy. These goals will be achieved by
supporting empowerment and capacity building, improved provision of basic services
in health and education, technological innovation, and sustainable natural resource
management, in compliance with principles of good governance.
2. MITIGATION
Since Indonesia voluntarily pledged to reduce emissions by 26% on its own efforts,
and up to 41% with international support, against the business as usual scenario by
2020, Indonesia has promulgated relevant legal and policy instruments, including
the national action plan on GHG emissions reduction as stipulated in Presidential
Regulation (PERPRES) No. 61/2011 and GHG inventory through Presidential
Regulation (PERPRES) No. 71/2011.
Indonesia has taken significant steps to reduce emissions in land use sector
by instituting a moratorium on the clearing of primary forests and by prohibiting
conversion of its remaining forests by reducing deforestation and forest degradation,
restoring ecosystem functions, as well as sustainable forest management which
2
include social forestry through active participation of the private sector, small and
medium enterprises, civil society organizations, local communities and the most
vulnerable groups, especially adat communities (Indonesia: Masyarakat Hukum Adat,
internationally known as Indigenous People), and women – in both the planning and
implementation stages. A landscape-scale and ecosystem management approach,
emphasizing the role of sub-national jurisdictions, is seen as critical to ensure greater
and more enduring benefits from these initiatives.
REDD+ will be an important component of the NDC target from land use sector.
Forest Reference Emission Level (FREL) for REDD+ was submitted to the UNFCCC
Secretariat in December 2015, covering deforestation and forest degradation and peat
decomposition. The FREL was set at 0.568 GtCO2e yr-1 (AGB), using reference period
of 1990 – 2012 and will be used as the benchmark against actual emission starting
from 2013 to 2020. These figures should be used as benchmark for evaluating REDD+
performance during the implementation period (up to 2020). Indonesia will adjust the
FREL for post-2020 or earlier when necessary.
In energy sector, Indonesia has embarked on a mixed energy use policy. Indonesia
has also established the development of clean energy sources as a national policy
directive. Collectively, these policies will eventually put Indonesia on the path to de-
carbonization. Government Regulation No. 79/2014 on National Energy Policy, set
out the ambition to transform, by 2025 and 2050, the primary energy supply mix with
shares as follows:
a) new and renewable energy at least 23% in 2025 and at least 31% in 2050;
b) oil should be less than 25% in 2025 and less than 20% in 2050;
c) coal should be minimum 30% in 2025 and minimum 25% in 2050; and
d) gas should be minimum 22% in 2025 and minimum 24% in 2050.
For the waste management sector, the GOI is committed to develop a comprehensive
strategy to improve policy and institutional capacity at the local level, enhance
management capacity of urban waste water, reduce landfill waste by promoting the
“Reduce, Reuse, Recycle” approach, and the utilization of waste and garbage into
energy production. The GOI is committed to further reduce emissions from the waste
management sector by 2020 and beyond, through comprehensive and coherent policy
development, institutional strengthening, improved financial and funding mechanisms,
technology innovation, and social-cultural approaches.
3. ADAPTATION
Climate change presents significant risks for Indonesia’s natural resources that will, in
turn, impact the production and distribution of food, water, and energy. Therefore, the
3
GOI considers climate mitigation and adaptation efforts as an integrated concept that
is essential for building resilience in safeguarding food, water and energy resources.
The GOI has made significant efforts towards developing and implementing a National
Action Plan on Climate Change Adaptation (RAN-API) which provides a framework
for adaptation initiatives that has been mainstreamed into the National Development
Plan.
The GOI will implement enhanced actions to study and map regional vulnerabilities
as the basis of adaptation information system, and to strengthen institutional capacity
and promulgation of climate change sensitive policies and regulations by 2020. The
medium-term goal of Indonesia’s climate change adaptation strategy is to reduce risks
on all development sectors (agriculture, water, energy security, forestry, maritime and
fisheries, health, public service, infrastructure, and urban system) by 2030 through
local capacity strengthening, improved knowledge management, convergent policy
on climate change adaptation and disaster risks reduction, and application of adaptive
technology.
Pre 2020 policies’ and actions will facilitate smooth transition towards implementation
of nationally determined contribution under the Paris Agreement post 2020. The
following pre 2020 policies and actions will lay a strong foundation for adaptation
actions from 2020 onwards:
1) Pre-condition:
• Development of nationwide climate vulnerability index data Information
System, built on the existing system known as SIDIK (Vulnerability Index Data
Information System) which allows public access to the information in the system
website (http://ditjenppi.menlhk. go.id)
• Ministerial Regulation No. P.33/2016 on Guideline for development of National
Adaptation Plan (NAP). The regulation allows sub national government to
formulate their own Sub National Adaptation Plan (Sub NAP)
• Enhance existing National Action Plan on Climate Change Adaptation that has
been formulated in 2014.
4
• Enhance role of PROKLIM (joint adaptation and mitigation/JAM) as a bottom
up approach in climate resilience programme at the village level. Furthermore,
the enhanced PROKLIM will enable to account for its contribution to the
achievement of emission reduction both pre and post 2020.
4. STRATEGIC APPROACH
Indonesia’s commitment to a low carbon future outlines enhanced actions and puts in
place the necessary enabling environment for the 2015-2019 period that will lay the
foundation for more ambitious goals beyond 2020. This would provide opportunities
for building coherent actions at the national level, with particular emphasis on
research, resource mobilization through partnerships, and international cooperation.
The Indonesian Environmental Protection and Management Law of 2009 secures the
legal framework to support 2015-2019 strategies and actions, which would serve as
enabling conditions for long-term policy of 2020 and beyond. However, to achieve
5
long-term policy goals, a comprehensive legal harmonization of all relevant matters
related to climate change is seen as critical to meet the daunting challenges of climate
change mitigation and adaptation.
National Development Planning Agency reported that for the period of 2007 to 2014
Indonesia had spent a total of about USD 17.48 billion for climate change adaptation,
mitigation and supporting activities. Indonesia will continue to provide funding for the
implementation of climate change actions and plans, including allocating a total of
USD 55.01 billion for the period of 2015 to 2019. Indonesia will continue to set aside
significant national funding for the implementation of mitigation and adaptation actions
for the period of 2020-2030.
In line with the Paris Agreement, Indonesia respects, promotes and considers its
obligation on human rights, the right to health, the right of adat communities (Indonesia:
Masyarakat Hukum Adat and internationally known as indigenous people), local
communities, migrants, children, persons with different abilities, and people in vulnerable
situations, and the right to development, as well as gender equality, empowerment of
women and intergenerational equity. Engagement of non-party stakeholders, including
local government, private sectors, civil societies will continuously be enhanced.
5. PLANNING PROCESS
In the preparation of the NDC, the GOI has conducted consultations with various
stakeholders representing Ministries and other government institutions, academia,
scientists, private sector, and civil society organizations; these consultations have
included workshops and consultations organized at both the national and provincial
levels, as well as bilateral meetings with key sectors.
The preparation of the NDC has taken into account the Post-2015 Sustainable
Development Goals (SDGs) particularly on taking urgent action to combat climate
6
change and its impacts, promoting food security and sustainable agriculture, achieving
gender equality, ensuring the availability and sustainable management of water,
access to affordable, reliable, and renewable energy for all, sustained, inclusive and
sustainable economic growth, resilient infrastructure, sustainable consumption and
production patterns, conservation and sustainable use of the oceans, seas and marine
resources, and protecting, restoring and promoting sustainable use of terrestrial
ecosystems, sustainably managing forests, combating desertification, and halting and
reversing land degradation and biodiversity loss.
Reduction Level
7
(b) Conditional Reduction Indonesia could increase its contribution up to 41%
reduction of emissions by 2030, subject to availability
of international support for finance, technology
transfer and development and capacity building.
Fair and Ambitious Indonesia GDP growth rate has slowed down
between 2010-2015, from 6.2-6.5% per annum to
only 4.0% (first quarter 2015). Indonesia’s population
has increased at an average rate of 1.49% during the
period of 2000-2010, posing challenges for Indonesia
in fulfilling energy demand, ensuring food security, and
fulfilling livelihood needs. At the same time, poverty
alleviation remains a challenge for Indonesia, with
10.96% of the population living in poverty in 2014,
and the unemployment rate at 5.9%.
8
Key Assumption on Mitigation
Coverage of Emission With the baseline and assumption used for projection
Reduction and policy scenario 2020-2030, the projected BAU
and emission reduction for both unconditional (CM1)
and conditional (CM2) reduction are as in the Table 1
with more elaborated assumptions for each sector
can be seen in the Annex.
9
Table 1. Projected BAU and emission reduction from each sector category
7. TRANSPARENCY FRAMEWORK
8. INTERNATIONAL SUPPORTS
Article 5 of the Paris Agreement sends clear political signal on the recognition of the
roles of forest and REDD+. Existing COP decisions has provided sufficient guidance to
implement and support REDD+ implementation. Furthermore, considering significant
10
progress of REDD+ readiness and transition at the national and sub national level in
the country, Indonesia’s REDD+ should be ready for result-based payment. As policy
approaches and positive incentives, REDD+ should be able to support the achievement
of Indonesia’s emission reduction target in forestry sector.
Introduction
As an archipelagic country with extensive low-lying and small island areas, Indonesia
is highly vulnerable to the adverse impacts of climate change. Indonesia has already
experienced extreme climate events such as floods and drought, and is anticipating
long-term impacts from sea level rise. As the Indonesian population grows, climate
change-induced natural disasters will affect a greater number of people and their
assets, making it difficult for them to escape poverty.
11
As the country with the second longest coastline in the world, Indonesia faces a high
risk of coastal inundation and sea level rise that may affect up to 42 million people living
in low laying coastal zones. Most of these areas have experienced rapid urbanization,
reaching 50% in 2010.
The vulnerability of Indonesia’s coastal zone is also affected by the rate of deforestation
and forest degradation. The loss of forest ecosystems leads to the loss of critical
environmental services, provision of water catchment areas, prevention of erosion
and floods.
In order for Indonesia to reduce its vulnerability to climate change, it must strengthen
its climate resilience by integrating its adaptation and mitigation efforts in development
planning and implementation.
Indonesia’s pathway toward low carbon and climate resilience must be developed by
building a strong foundation based on the following enabling conditions:
Economic resilience
Climate change presents significant risks for Indonesia’s natural resources that will in
turn affect the production and distribution of food, water and energy. As the population
grows, there will be increasing pressures on Indonesia’s already limited resources. As
a response, Indonesia plans to transform to low carbon economy and build resilience
into its food, water and energy systems through the following enhanced actions:
Climate change impacts the day-to-day lives of all Indonesians, but most severely
Indonesia’s most vulnerable populations. Climate change-induced natural disasters
will impact a greater number of people living below the poverty line, preventing asset
12
accumulation. Rising food, water and energy prices, which often follow drought,
floods, and other disasters, will drive the poor further into poverty. Socio-economic
disparity will potentially contribute to political instability in regions most affected by
climate change. To prevent further disparity, Indonesia plans to build social resilience
through the following actions:
The NDC reflects the most recent data and information, analysis, and scenario for
possible future, by the Government of Indonesia. As a developing country, Indonesia
will likely experience dynamic changes due to national and global economic changes.
In this regards, the NDC will be reviewed and adjusted, as necessary, taking into
account national circumstances, capacity and capability, and the provision under the
Paris Agreement.
13
Annex
First Nationally Determined Contribution (NDC)
Republic of Indonesia
Assumptions used for projected BAU and emission reduction
(unconditional/CM1 and conditional/ CM2 reduction) for all sector
categories (Energy, Waste, IPPU, Agriculture, and Forestry)
S E C T O R : E N E R G Y
Mitigation Scenario 1 Mitigation Scenario 2
BAU
(CM 1) (CM 2)
1. Efficiency in final energy In-efficiency in final
consumption. energy consumption.
75% 100%
2. Implementation of clean coal
technology in power plant. 0%
14
2. Target for wood production from natural forest under CM1 and CM2 scenarios
follow National Forestry Planning (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional/
RKTN) (MoF, 2011), while the BAU is higher, using data from the Association
for Indonesian Forest Concessionaire (APHI).
3. The rate for establishing forest estate (plantation) under BAU follows the
historical data, with the percentage of feasible areas for planting is about 63%
(Assumption from APHI, 2007)
4. It is assumed that all forests cleared would leave zero waste, and all woods
from these areas would be useable.
5. Utilization of wood from oil palm and rubber trees at the end of its cycle is at
medium rate or about a half of total.
D. CM2 calculation used a very ambitious target (38%), and some adjustment to the
above assumption (CM1) are as follows:
1. Peat restoration achieves 90% survival rate and the area of peat restoration
reaches 2 Mha by 2030
2. Land rehabilitation achieves 90% survival rate and almost all unproductive
lands have to be rehabilitated (about 12 Mha in total), so that up to 2030 the
rate of plantation would be 800 thousand ha/year (the baseline under historical
data is about 270 thousand ha).
S E C T O R : A G R I C U LT U R E
BAU CM1 CM2
1. The use of low- No mitigation In total, the use of land for In total, the use of land for
emission actions. low emission crops is up to low emission crops is up to
crops. 926,000 hectares in 2030*. 908,000 hectares in 2030*.
2. Implementation No mitigation Implementation of water Implementation of water
of water-efficient actions. efficiency is up to 820,000 efficiency is up to 820,000
concept in water hectares in 2030*. hectares in 2030*.
management.
3. Manure No mitigation Up to 0.06% of the total Up to 0.06% of the total
management for actions. cattle in 2030**. cattle in 2030**.
biogas.
4. Feed supplement No mitigation Up to 2.5% of the cattle Up to 2.5% of the cattle
for cattle. actions. population in 2030**. population in 2030**.
Note: * the use of best available technology will increase cattle productivity and lead to the decrease of land
use change to agricultural purposes.
** increase of cattle population and current biogas operationalization (with the assumption that
government’s subsidy will continue taking into consideration its high cost of investment).
15
A. The index for paddy increases from 2.11 into 2.5 (for Java island) and from 1.7 up
to 2.0 (for outside of Java island). It is assumed that all paddy fields out of Java
island has already completed with irrigation system like in Java island, and all
irrigation system in Java island is working optimally (existing condition: only 60-
70% of irrigation system in Java are working optimally).
B. Assumption used for crop index: for seasonal crop, the cropping Intensity or crop
index is a ratio between the area of harvesting and the area of crop planted. So
that the IP is 2 when the areas were planted twice a year. For annual crop, the crop
index refers to crop fraction that harvestable (under productive ages).
C. Assumption used for population/GDP and livestock: all projection scenarios for
GDP employ the same livestock population. Target settled for self-supporting meat
is difficult to reach, and even the needs for meat would not be easily attainable.
The livestock population growth follows historical data, which is lower than the rate
of the meat demands.
S E C T O R : WA S T E
S U B - S E C TO R : S O L I D WA S T E
BAU CM1 CM2
1. Enhancement of LFG recovery from 2010 No mitigation LFG recovery reduces CH4 LFG recovery reduces CH4
to 2030. actions. from 0.65% to 10%. from 0.65% to 10%.
2. Enhancement of the percentage of
waste utilization by composting and 3R No mitigation
22% in 2020, 30% in 2030*. 22% in 2020, 30% in 2030*.
(paper). actions.
S U B - S E C TO R : D O M E S T I C L I Q U I D WA S T E
BAU CM1 CM2
16
S U B - S E C TO R : I N D U S T R I A L L I Q U I D WA S T E
BAU CM1 CM2
Pulp and paper industry implement the waste Pulp and paper industry implement
water treatment sludge management, and the waste water treatment sludge
utilization of methane. management and utilization of methane.
Waste water treatment (palm oil mill effluent or Waste water treatment (palm oil mill
Management No POME) in palm oil industry: implement methane
of industrial mitigation effluent or POME) in palm oil industry:
capture & utilization. implement methane capture & utilization.
liquid waste. actions.
Note: A quantitative target to be defined by the
Min. of Industry and the Min. of Environment and Note: A quantitative target to be defined
Forestry. by the Min. of Industry and the Min. of
Environment and Forestry.
S E C T O R : I P P U
BAU CM1 CM2
Note: Note:
A quantitative target to be defined by the A quantitative target to be defined by the
Min. of Industry. Min. of Industry.
REFFERENCES
ENERGY SECTOR
o National Energy Policy (KEN) 2014,
o Electricity Supply Business Plan (RUPTL) 2016-2025,
o National Energy Plan (RUEN) 2016.
AFOLU SECTOR
o RKTN (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030/National Forestry
Plan 2011-2030),
o Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 100 Tahun NKRI/Indonesian Oil Palm
Industry toward 100 year (GAPKI),
17
o The Roadmap of Indonesia’s Forest Business Association (APHI) 2050,
o Strategic Plan for Plantation/estate crops (including scenario for livestock),
o Introduction Study on RPJMN 2015-2019 (BAPPENAS, 2013).
WASTE SECTOR
o Act No. 18 year 2008 regarding Solid Waste Management,
o Government Regulation No. 81 year 2012 regarding Management of Domestic
Solid Waste.
-- o 0 o --
18
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM
GEDUNG MANGGALA WANABAKTI BLOK VII LT. 12
JL. JEND. GATOT SUBROTO - JAKARTA PUSAT 10270
TELP. 021 - 5730144, FAX. 021 - 5720194
WWW.DITJENPPI.MENLHK.GO.ID
Email: setditjenppi@gmail.com atausetditjenppi@menlhk.go.id