Anda di halaman 1dari 6

RESUME INTERNAL AUDIT BAB 4

NAMA : RANIA FRESHTYA DEWI


NIM : 1812311022
KELAS : AKUNTANSI A

GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

A. Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik

 Transparancy
Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan dan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai
Perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam melaksanakan prinsip transparansi adalah pengungkapan informasi oleh
Perusahaan dilakukan dengan:

1. Mematuhi Anggaran Dasar, peraturan perundang- undangan yang berlaku,


Peraturan Perusahaan dan prinsip-prinsip GCG.
2. Menyediakan informasi baik informasi yang wajib, sukarela tetapi menjadi
nilai tambah bagi Perusahaan dan tidak mengurangi kewajiban Perusahaan
untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan kepada Pemegang Saham dan
stakeholders secara akurat dan tepat waktu, serta mudah diakses sesuai
dengan batasan yang ditetapka Perusahaan.

 Accountability
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
organ Perseroan maupun pegawai sehingga pengelolaan perusahaan dapat
dilaksanakan secara efektif. Pada prinsip ini, terdapat 3 (tiga) jenis tingkatan
akuntabilitas dalam setiap aktivitas Perseroan, yang meliputi:

1. Akuntabilitas Individual

Akuntabilitas individual merujuk kepada hubungan akuntabilitas dalam


konteks atasan bawahan. Akuntabilitas berlaku kepada para pihak, baik
yang mempunyai wewenang maupun yang mendapatkan penugasan dari
pemegang wewenang (pelimpahan tugas). Pemegang wewenang
bertanggungjawab untuk memberikan arahan, bimbingan dan sumberdaya
yang diperlukan serta membantu menghilangkan kendala yang dapat
mempengaruhi kinerja. Pelaksana tugas bertanggungjawab terhadap
penyelesaian hasil atau sasaran atas penugasan dan atau pelimpahan
kewenangan yang diperolehnya. Dalam konteks ini kedua belah pihak
mempunyai akuntabilitas masing- masing.

2. Akuntabilitas Unit Kerja/Tim


Akuntabilitas Unit Kerja/Tim merujuk kepada adanya akuntabilitas yang
ditanggung bersama oleh suatu Unit Kerja/Tim atas pencapaian/tidak
tercapainya tugas yang diterima. Dalam hal Unit Kerja/Tim
menyampaikan laporan, maka harus dibedakan antara akuntabilitas
individu dan Unit Kerja/Tim
.
3. Akuntabilitas Korporasi

Akuntabilitas korporasi merujuk kepada akuntabilitas Perusahaan. Setiap


Organ Perusahaan dapat dimintai akuntabilitas masing-masing sesuai tugas
dan tanggungjawabnya dengan mengacu kepada peraturan perundang-
undangan, kebijakan Perusahaan, peraturan-peraturan Perusahaan dan
ketentuan lainnya.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan prinsip Akuntabilitas
adalah:

1. Menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing Insan yang


sejalan dengan visi dan misi Perusahaan termasuk kebijakan yang
mendukung pelaksanaan tugas dan kewajiban sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Melaksanakan tugas dan kewajiban untuk kepentingan Perusahaan baik
secara individu, unit kerja /tim dan korporasi. Mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugas berdasarkan ukuran kinerja yang telah ditetapkan
Perusahaan dengan tepat waktu.

 Responsibility
Pertanggungjawaban adalah kesesuaian pengelolaan Perusahaan terhadap
peraturan perundang- undangan yang berlaku termasuk peraturan dan
kebijakan Perusahaan, dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
Pertanggungjawaban juga diikuti dengan komitmen untuk menjalankan
aktivitas bisnis sesuai dengan standar etika (kode etik). Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan prinsip pertanggungjawaban adalah
menjadikan Perusahaan sebagai good corporate citizen yang antara lain
diwujudkan dengan:

1. Pemenuhan kewajiban terhadap Regulator, International Federation of


Inspection Agencies (IFIA) dan Pemegang Saham secara tepat waktu.
2. Pengelolaan lingkungan sesuai standar yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan; dan,
3. Perlindungan terhadap hak-hak stakeholders secara umum.
4. Kewajiban Perusahaan dalam memperhatikan kepentingan stakeholders
lainnya.

 Fairness
Kewajaran adalah keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian perundang-undangan,
kebijakan Perusahaan, peraturan peraturan Perusahaan dan ketentuan lainnya
serta prinsip prinsip korporasi yang sehat. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam melaksanakan prinsip kewajaran adalah:

1. Memberikan informasi kepada Pemegang Saham sesuai dengan haknya


atau tanpa membedakan jumlah kepemilikan saham.
2. Memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi kepada
stakeholders untuk menyampaikan masukan, pendapat bagi kepentingan
Perusahaan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan Perusahaan.
3. Memberikan reward dan punishment sesuai dengan kebijakan yang
berlaku.

B. Prinsip dan Pengertian GCG


Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip tata kelola perusahaan yang baik,
yang dibangun untuk menciptakan kepercayaan stakeholder terhadap perusahaan.
Prinsip ini diambil dari good governance atau tata kelola pemerintahan yang bersih
dan transparan. 
Prinsip-prinsip GCG meliputi :

 Transparansi
 Akuntabilitas
 Responsibilitas
 Fairness
 Independency
Kemandirian adalah suatu keadaan dimana Perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan atau pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan prinsip kemandirian adalah:

a) Mengambil keputusan secara obyektif berdasarkan data dan informasi


yang dapat dipertanggungjawabkan serta bebas dari kepentingan individu,
kelompok maupun golongan tertentu.
b) Menghormati hak dan tanggung jawab masing-masing Organ Perusahaan
sesuai dengan Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Kemandirian menjadi penting agar masing-masing organ
Perusahaan dapat menjalankan tugas dengan sebaikbaiknya untuk
kepentingan Perusahaan dan dapat dimintai akuntabilitas atas pelaksanaan
tugas masing-masing

C. Pelaksanaan GCG
Dua sektor penting yakni BUMN dan Pasar Modal telah menjadi perhatian
pemerintah. Aspek baru dalam implentasi GCG di lingkungan BUMN adalah
kewajban untuk memiliki statement of corporate intent (SCI). SCI pada dasarnya
adalah komitmen perusahaan terhadap pemegang saham dalam bentuk suatu kontrak
yang menekankan pada strategi dan upaya manajemen dan didukung dengan dewan
komisaris dalam mengelola perusahaan. Terkait dengan SCI, direksi diwajibkan untuk
menanda tangani appointment agreements (AA) yang merupakan komitmen direksi
untuk memenuhi fungsi-fungsi dan kewajiban yang diembannya. Indikator kinerja
direksi terlihat dalam bentuk reward and punishment system dengan meratifikasi
undangundang BUMN.

Pasar modal juga perlu menerapkan prinsip-prinsip GCG untuk perusahaan publik. Ini
ditunjukkan melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta
(BEJ), yang menyatakan bahwa seluruh perusahaan tercatat wajib melaksanakan
GCG. Implementasi GCG dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan
kepentingan investor, terutam para pemegang saham di perusahaan-perusahaan
terbuka.

Di samping itu, implementasi GCG akan mendorong tumbuhnya mekanisme check


and balance di lingkungan manajemen khususnya dalam memberi perhatian kepada
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini terkait
dengan peran pemegang saham pengendali yang berwenang mengangkat komisaris
dan direksi, dan dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. Di samping pelindungan
investor, regulasi mewajibkan sistem yang menjamin transparansi dan akuntabilitas
dalam transaksi bisnis antar perusahaan dalam satu grup yang berpotensi
menimbulkan benturan kepentingan.

D. Budaya, etika korporasi dan penerapan GCG


Jika etika bisnis yang sehat merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh perusahaan,
maka menerapkan suatu prinsip Good Corporate Governance dapat menjadi salah satu
satu alat untuk mencapai etika bisnis yang baik tersebut. Penerapan GCG dan
mengedepan etika dibandingkan dengan kepentingan pemilik memang tidak mudah.
Tapi pasti ada manfaat yang diperoleh oleh perusahaan, dan bukan hanya sesaat tetapi
jangka panjang.
Etika bisnis adalah salah satu yang terpenting dalam upaya penerapan GCG tersebut.
Menerapkan etika bisnis secara konsisten hingga dapat mewujudkan iklim usaha yang
sehat, efisien dan transparan merupakan salah satu sumbangsih besar yang dapat
diberikan oleh dunia usaha untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien,
transparan dan mampu memberikan manfaat yang besar bagi seluruh stakeholder-nya.
Jika etika bisnis yang sehat adalah yang dicapai oleh perusahaan, maka menerapkan
suatu prinsip Good Corporate Governance oleh suatu perusahaan dapat sebagai salah
satu satu alat untuk mencapai etika bisnis yang baik tersebut.

Budaya organisasi yang kuat dapat dipergunakan untuk melancarkan strategi


membantu perusahaan menarik dan mempertahankan para karyawan berbakat yang
langka. Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi, kepercayaan, nilai-nilai dan
persepsi yang dimiliki seluruh keanggotaan kelompok dan suatu organisasi yang
membentuk, memengaruhi sikap dan perilaku kelompok yang bersangkutan,
Hofstede, (2005). Budaya organisasi yang positif akan memacu organisasi ke arah
yang lebih baik. Sebaliknya, budaya organisasi yang negatif akan memberi dampak
yang negatif bagi organisasi. Sehingga budaya organisasi yang baik maka penerapan
Corporate Governance dalam organisasi juga baik. Implementasi corpotare
governance tanpa perubahan budaya perusahaan tidak lebih dari sekedar compliance
(kepatuhan) terhadap regulasi dan asesoris yang tidak berguna. Sebaliknya, upaya
mengubah corpotare culture hampir tidak mungkin berjalan jika corpotare governance
tidak diterapkan dalam corporate system corporasi (FCGI, 2003:210).

E. Assesment GCG
Assessment GCG, berarti penilaian terhadap implementasi GCG. Assessment GCG
ini merupakan suatu hal yang sangat penting ketika mengelola praktik-praktik GCG di
sebuah perusahaan. Penilaian (Assessment), yaitu program untuk mengidentifikasi
pelaksanaan GCG di Perusahaan, melalui pengukuran yang dilaksanakan secara
berkala setiap 2 (dua) tahun. Penilaian ini dapat dilakukan melalui beberapa cara atau
pendekatan, yakni Self Assessment, second party assessment, dan Third-Party
Assessment.
1. Self Assesment : perusahaannya sendiri yang melakukan penilaian atau
penilaian mandiri. Yang diwajibkan pemerintah untuk self asessment hanya
bank. Jadi, bank itu sendiri yang melakukan self assessment. Pemerintah,
dalam hal ini OJK, kemudian membuat kriteria apa saja yang harus dinilai.
Kemudian bank melakukan assessment dengan membuktikan melalui data dan
fakta bahwa perusahaannya telah melakukan assessment.Kemudian hasil
tersebut dilaporkan ke OJK.  Nanti OJK yang akan menentukan atau menilai,
apakah bank tersebut sudah melaksanakan prinsip-prinsip GCG atau masih
kurang, atau bahkan belum.Jadi ada kewajiban bagi pihak bank melapor ke
OJK, dan OJK yang menentukan.
Sementara self assessment  bagi perusahaan BUMN, dapat menggunakan tools
indikator GCG dari Kementerian BUMN. Sedangkan self assessment bagi
perusahaan terbuka atau yang listed di Pasar Modal, bisa menggunakan
kriterian Asean CG Scorecard.
2. Second party assessment ini biasanya dilakukan oleh unit bisnis yang ditunjuk
oleh perusahaan untuk melakukan assessment di perusahaannya sendiri, tapi
bekerjasama dengan misalnya unit risk manajemen atau unit audit. Misalnya
akan mengaudit kantor cabang, maka manajemen akan menitipkan ke tim
audit untuk melakukan assessment di cabang kantor cabang tersebut.
3. Third party assessment ini penilaian atau evaluasi yang dilakukan oleh pihak
independen. Untuk perusahaan terbuka, OJK telah menunjuk langsung
Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD ) Indonesia. Lembaga
ini adalah lembaga satu-satunya yang boleh mengassess. IICD menggunakan
acuan ASEAN CCG Scorecard dalam menilai praktek CG perusahaan terbuka
di Indonesia.

Sedangkan BUMN menunjuk BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan


Pembangunan) untuk melakukan assessment GCG di perusahaan-perusahaan BUMN.

F. Penerapan GCG
Penerapan good corporate governance bisa dilihat sebagai tantangan sebab
membutuhkan semua hal yang harus diperbaiki (legal, ekonomi, politik, budaya, dan
sebagainya) dalam waktu bersamaan, yang bila dikaji dalam konteks kondisi
Indonesia pasca krisis dan waktu yang sangat mendesak tentu menimbulkan beban
berat atau mungkin frustasi karena terlampau berat untuk dilalui. Tetapi bila dilihat
sebagai kesempatan, dimana pada saat ini good corporate governance bukan saja
dirasakan sebagai pressure di Indonesia tetapi juga di semua belahan dunia, maka bila
perusahaan di Indonesia dapat lebih cepat dan tepat bertindak dari pesaingpesaing
mereka (terlepas masih banyaknya kekurangan-kekurangan secara makro) maka
mereka dapat mempertahankan keberadaan dan meningkatkan kinerja serta menjaga
sustainability usaha yang berkualitas di Indonesia.
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan
standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau menyadari
pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan yang
menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG
karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang
menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan.
Tantangan terkini yang dihadapi masih belum dipahaminya secara luas prinsip-prinsip
dan praktek good corporate governance oleh kumunitas bisnis dan publik pada
umumnya (Daniri, 2005). Akhirnya komunitas internasional masih menempatkan
Indonesia pada urutan bawah rating implementasi GCG sebagaimana dilakukan oleh
Standard & Poor, CLSA, Pricewaterhouse Coopers, Moody`s Morgan, and Calper`s.
Kajian Pricewaterhouse Coopers yang dimuat di dalam Report on Institutional
investor Survey (2002) menempatkan Indonesia di urutan paling bawah bersama
China dan India dengan nilai 1,96 untuk transparansi dan keterbukaan.

Terdapat tiga arah agenda penerapan GCG di Indonesia (BP BUMN, 1999) yakni,
menetapkan kebijakan nasional, menyempurnaan kerangka nasional dan membangun
inisiatif sektor swasta. GCG pada bulan Maret 2001. Pedoman tersebut kemudian
disusul dengan penerbitan Pedoman GCG Perbankan Indonesia, Pedoman untuk
komite audit, dan pedoman untuk komisaris independen di tahun 2004. Semua
publikasi ini dipandang perlu untuk memberikan acuan dalam mengimplementasikan
GCG. Pemerintah pun melakukan upaya-upaya khusus bergandengan tangan dengan
komunitas bisnis dalam mensosialisasikan dan mengimplementasikan GCG.

G. Self Assesment dan contoh


Self assessment adalah ketika perusahaannya sendiri yang melakukan penilaian atau
penilaian mandiri. Yang diwajibkan pemerintah untuk self asessment hanya bank.
Jadi, bank itu sendiri yang melakukan self assessment. Pemerintah, dalam hal ini
OJK, kemudian membuat kriteria apa saja yang harus dinilai. Kemudian bank
melakukan assessment dengan membuktikan melalui data dan fakta bahwa
perusahaannya telah melakukan assessment.Kemudian hasil tersebut dilaporkan ke
OJK.  Nanti OJK yang akan menentukan atau menilai, apakah bank tersebut sudah
melaksanakan prinsip-prinsip GCG atau masih kurang, atau bahkan belum.Jadi ada
kewajiban bagi pihak bank melapor ke OJK, dan OJK yang menentukan. Sementara
self assessment  bagi perusahaan BUMN, dapat menggunakan tools indikator GCG
dari Kementerian BUMN. Sedangkan self assessment bagi perusahaan terbuka atau
yang listed di Pasar Modal, bisa menggunakan kriterian Asean CG Scorecard.

Anda mungkin juga menyukai