Transparancy
Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan dan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai
Perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam melaksanakan prinsip transparansi adalah pengungkapan informasi oleh
Perusahaan dilakukan dengan:
Accountability
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
organ Perseroan maupun pegawai sehingga pengelolaan perusahaan dapat
dilaksanakan secara efektif. Pada prinsip ini, terdapat 3 (tiga) jenis tingkatan
akuntabilitas dalam setiap aktivitas Perseroan, yang meliputi:
1. Akuntabilitas Individual
Responsibility
Pertanggungjawaban adalah kesesuaian pengelolaan Perusahaan terhadap
peraturan perundang- undangan yang berlaku termasuk peraturan dan
kebijakan Perusahaan, dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
Pertanggungjawaban juga diikuti dengan komitmen untuk menjalankan
aktivitas bisnis sesuai dengan standar etika (kode etik). Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan prinsip pertanggungjawaban adalah
menjadikan Perusahaan sebagai good corporate citizen yang antara lain
diwujudkan dengan:
Fairness
Kewajaran adalah keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian perundang-undangan,
kebijakan Perusahaan, peraturan peraturan Perusahaan dan ketentuan lainnya
serta prinsip prinsip korporasi yang sehat. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam melaksanakan prinsip kewajaran adalah:
Transparansi
Akuntabilitas
Responsibilitas
Fairness
Independency
Kemandirian adalah suatu keadaan dimana Perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan atau pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan prinsip kemandirian adalah:
C. Pelaksanaan GCG
Dua sektor penting yakni BUMN dan Pasar Modal telah menjadi perhatian
pemerintah. Aspek baru dalam implentasi GCG di lingkungan BUMN adalah
kewajban untuk memiliki statement of corporate intent (SCI). SCI pada dasarnya
adalah komitmen perusahaan terhadap pemegang saham dalam bentuk suatu kontrak
yang menekankan pada strategi dan upaya manajemen dan didukung dengan dewan
komisaris dalam mengelola perusahaan. Terkait dengan SCI, direksi diwajibkan untuk
menanda tangani appointment agreements (AA) yang merupakan komitmen direksi
untuk memenuhi fungsi-fungsi dan kewajiban yang diembannya. Indikator kinerja
direksi terlihat dalam bentuk reward and punishment system dengan meratifikasi
undangundang BUMN.
Pasar modal juga perlu menerapkan prinsip-prinsip GCG untuk perusahaan publik. Ini
ditunjukkan melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta
(BEJ), yang menyatakan bahwa seluruh perusahaan tercatat wajib melaksanakan
GCG. Implementasi GCG dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan
kepentingan investor, terutam para pemegang saham di perusahaan-perusahaan
terbuka.
E. Assesment GCG
Assessment GCG, berarti penilaian terhadap implementasi GCG. Assessment GCG
ini merupakan suatu hal yang sangat penting ketika mengelola praktik-praktik GCG di
sebuah perusahaan. Penilaian (Assessment), yaitu program untuk mengidentifikasi
pelaksanaan GCG di Perusahaan, melalui pengukuran yang dilaksanakan secara
berkala setiap 2 (dua) tahun. Penilaian ini dapat dilakukan melalui beberapa cara atau
pendekatan, yakni Self Assessment, second party assessment, dan Third-Party
Assessment.
1. Self Assesment : perusahaannya sendiri yang melakukan penilaian atau
penilaian mandiri. Yang diwajibkan pemerintah untuk self asessment hanya
bank. Jadi, bank itu sendiri yang melakukan self assessment. Pemerintah,
dalam hal ini OJK, kemudian membuat kriteria apa saja yang harus dinilai.
Kemudian bank melakukan assessment dengan membuktikan melalui data dan
fakta bahwa perusahaannya telah melakukan assessment.Kemudian hasil
tersebut dilaporkan ke OJK. Nanti OJK yang akan menentukan atau menilai,
apakah bank tersebut sudah melaksanakan prinsip-prinsip GCG atau masih
kurang, atau bahkan belum.Jadi ada kewajiban bagi pihak bank melapor ke
OJK, dan OJK yang menentukan.
Sementara self assessment bagi perusahaan BUMN, dapat menggunakan tools
indikator GCG dari Kementerian BUMN. Sedangkan self assessment bagi
perusahaan terbuka atau yang listed di Pasar Modal, bisa menggunakan
kriterian Asean CG Scorecard.
2. Second party assessment ini biasanya dilakukan oleh unit bisnis yang ditunjuk
oleh perusahaan untuk melakukan assessment di perusahaannya sendiri, tapi
bekerjasama dengan misalnya unit risk manajemen atau unit audit. Misalnya
akan mengaudit kantor cabang, maka manajemen akan menitipkan ke tim
audit untuk melakukan assessment di cabang kantor cabang tersebut.
3. Third party assessment ini penilaian atau evaluasi yang dilakukan oleh pihak
independen. Untuk perusahaan terbuka, OJK telah menunjuk langsung
Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD ) Indonesia. Lembaga
ini adalah lembaga satu-satunya yang boleh mengassess. IICD menggunakan
acuan ASEAN CCG Scorecard dalam menilai praktek CG perusahaan terbuka
di Indonesia.
F. Penerapan GCG
Penerapan good corporate governance bisa dilihat sebagai tantangan sebab
membutuhkan semua hal yang harus diperbaiki (legal, ekonomi, politik, budaya, dan
sebagainya) dalam waktu bersamaan, yang bila dikaji dalam konteks kondisi
Indonesia pasca krisis dan waktu yang sangat mendesak tentu menimbulkan beban
berat atau mungkin frustasi karena terlampau berat untuk dilalui. Tetapi bila dilihat
sebagai kesempatan, dimana pada saat ini good corporate governance bukan saja
dirasakan sebagai pressure di Indonesia tetapi juga di semua belahan dunia, maka bila
perusahaan di Indonesia dapat lebih cepat dan tepat bertindak dari pesaingpesaing
mereka (terlepas masih banyaknya kekurangan-kekurangan secara makro) maka
mereka dapat mempertahankan keberadaan dan meningkatkan kinerja serta menjaga
sustainability usaha yang berkualitas di Indonesia.
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan
standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau menyadari
pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan yang
menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG
karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang
menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan.
Tantangan terkini yang dihadapi masih belum dipahaminya secara luas prinsip-prinsip
dan praktek good corporate governance oleh kumunitas bisnis dan publik pada
umumnya (Daniri, 2005). Akhirnya komunitas internasional masih menempatkan
Indonesia pada urutan bawah rating implementasi GCG sebagaimana dilakukan oleh
Standard & Poor, CLSA, Pricewaterhouse Coopers, Moody`s Morgan, and Calper`s.
Kajian Pricewaterhouse Coopers yang dimuat di dalam Report on Institutional
investor Survey (2002) menempatkan Indonesia di urutan paling bawah bersama
China dan India dengan nilai 1,96 untuk transparansi dan keterbukaan.
Terdapat tiga arah agenda penerapan GCG di Indonesia (BP BUMN, 1999) yakni,
menetapkan kebijakan nasional, menyempurnaan kerangka nasional dan membangun
inisiatif sektor swasta. GCG pada bulan Maret 2001. Pedoman tersebut kemudian
disusul dengan penerbitan Pedoman GCG Perbankan Indonesia, Pedoman untuk
komite audit, dan pedoman untuk komisaris independen di tahun 2004. Semua
publikasi ini dipandang perlu untuk memberikan acuan dalam mengimplementasikan
GCG. Pemerintah pun melakukan upaya-upaya khusus bergandengan tangan dengan
komunitas bisnis dalam mensosialisasikan dan mengimplementasikan GCG.