Anda di halaman 1dari 37

Teknologi Reproduksi

Ternak

BAB III
TRANSFER EMBRIO (TE)

3.1 Pendahuluan
Selama beberapa puluh tahun program IB telah menjadikan “Genetic Progress”
menyebar relative cepat dengan penggunaan frozen semen (semen beku). Pada
program IB sumbangan genetic (genetic progress) terutama dari pejantan karena
betina hanya menghasilkan satu pedet per tahun.
Dengan berkembangnya teknik transfer embrio, dimana betina dapat
memberikan banyak keturunan sehingga menghasilkan hasil genetik yang cepat
sebagai komplementer terhadap program IB.

Siti Darodjah Rasad, Lab. Reproduksi Ternak Fak. Peternakan III-1


UNPAD
Pada teknik TE diperlukan betina donor yang pada pelaksanaannya akan
mengalmi superovulasi dengan bantuan preparat FSH sehingga
akan mengakibatkan timbulnya berahi. Selanjutnya dilakukan perkawinan dengan
pejantan bermutu melalui program IB. Hasil perkawinan tersebut akan
menghasilkan embrio yang berkualitas 7 hari post IB.

Untuk lebih memperinci teknik TE tersebut dapat diperhatikan Schema di bawah ini :

Betina donor unggul Beberapa betina resipien


- - Penyerentakan berahi - -

Superovulasi

Berahi
IB dengan pejantan
Unggul

Koleksi embrio transfer embrio


(Blastosit)

setelah 2 – 3 bulan istirahat keturunan dengan mutu


kembali untuk TE genetic unggul

Pada proses koleksi embrio, dalam setiap koleksi dilanjutkan dengan identifikasi
embrio dengan tujuan untuk pembekuan embrio (konservasi embrio) atau untuk
segera ditransfer dalam bentuk embrio segar ke resipien.
Betina resipien terlebih dahulu mengalami proses Penyerentakan berahi dengan
betina donor dengan menggunakan hormon Prostaglandin.
Keberhasilan teknik TE ini sangat bergantung kepada :
1. Donor, sebagai produksi embrio transferable
2. Resipien, dengan laju kebuntingan tinggi dan konsisten
3. Prosedur, jadwal, teknik dan peralatan
4. Sumber daya manusia, harus terampil

3.2 Sejarah Transfer Embrio


Sejarah Transfer embrio dimulai pada tahun 1890 dengan dilakukannya teknik
Transfer Embrio pada Kelinci yang dilakukan oleh Heape. Kemudian pada
tahun 1951 Willet dari USA mencoba melakukan TE pada Sapi dengan
memanfaatkan embrio dari Rumah Potong Hewan.
Pada tahun 1960 berhasil dilaksanakan koleksi embrio dan sekaligus transfer
embrio dengan cara teknik abdominal surgery. Selanjutnya tahun 1965 salah
seorang peneliti dari Jepang yaitu Prof. Sugie berhasil melaksanakan teknik By
Pass Method yaitu merupakan teknik non surgery method.
Pada tahun 1970 teknik TE mulai dikomersialkan di USA yang dilanjutkan akhir
tahun 1970 teknik TE dengan non surgery method dengan recovery 6 transfer
diterapkan di lapangan.
Awal tahun 1980 Bilton telah berhasil melakukan freezing embrio, dan pada
tahun 1989 telah lahir lebih dari 10000 Calf (anak sapi) di USA dan pada saat
itu teknik TE dimulai di negara-negara berkembang.
Pada tahun 1984 telah dilaksanakan program TE di Indonesia atas prakarsa
Mentri Koperasi dan Kepala Bulog saat itu yaitu Bustanil Arifin, di peternakan
sapi Cicurug Sukabumi. Saat itu pelaksanaan program TE tersebut dibawah
koordinasi team TE dari USA (Granada Texas) dengan teknik pembedahan
(surgery) pada fossa para lumbal.

3.3 PRODUKSI EMBRYO IN VIVO


3.3.1 Managemen Donor
3.3.1.1 Seleksi Donor
Dalam seleksi donor hal yang perlu diperhatikan adalah :
 Nilai genetik sangat diutamakan yang merupakan kemampuan memindahkan
atau menurunkan nilai atau karakter yang baik
 Harus berdasarkan kepada :
o Superioritas genetik
o Kemampuan reproduksi
o Nilai pasar atau ekonomi dari keturunannya
o Kondisi kesehatan

Adapun seleksi untuk superioritas genetik ditujukan kepada :


 Maternal breeding value
 Yearling breeding value
 Weaning breeding value
 Untuk sapi perah ditunjukkan dengan produksi susu yang tinggi
 Klasifikasi score yaitu berupa konformasi

3.3.1.2 Kesehatan Ternak Donor


Kriteria calon betina donor adalah harus benar-benar sehat, karena apabila
kesehatan menurun akan mempengaruhi proses superovulasi yang akan menurun
juga sebagai akibat kondisi reproduksi yang menurun. Dengan demikian betina
donor mutlak sehat setelah melalui beberapa pengujian sebagai berikut :
1. Test darah
2. Vaksinasi
3. Kondisi reproduksi normal melalui pengujian dengan palpasi rektal

3.3.1.3 Makanan/Pakan Ternak Donor


Terdapat korelasi positif antara kondisi tubuh dengan pakan yang baik (rasional),
karena dengan kondisi pakan yang jelek akan mempengaruhi tingkat fertilitas
sehingga akan menurunkan tingkat fertilitas. Dengan demikian diperlukannya
kondisi tubuh yang optimal yang didukung dengan kondisi pakan yang baik dan
seimbang.

3.3.1.4 Siklus Berahi Donor


Salah satu kunci utama keberhasilan Transfer embrio (TE) adalah deteksi berahi,
dimana siklus berahi harus setepat mungkin. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah lamanya siklus berahi harus normal dan teratur, karena apabila siklus
berahi abnormal akan berpengaruh terhadap proses superovulasi.
Dalam melaksanakan deteksi berahi sebaiknya dilakukan dari 2 siklus berahi
yang berturut-turut dan biasanya dilakukan pada pagi hari (jam 06.00 am) dan
sore hari (jam 06.00 pm).
Dari pelaksanaan deteksi tersebut di atas diharapkan untuk
menghindari abnormalitas siklus berahi misalnya adanya kejadian silent heat.

3.3.2 Managemen Resipien

3.3.2.1 Seleksi Resipien


Resipien yang ideal adalah betina-betina yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Bebas penyakit
2. Fertilitas teruji
3. Kemampuan memelihara anak
4. Tidak ada gejala distokia

Bila ditinjau dari segi bangsa atau breed, tidak merupakan masalah karena
adanya crossbreed memberikan tingkat fertilitas yang lebih baik.

3.3.2.2 Kesehatan ternak Resipien


Calon resipien harus melaksanakan beberapa pengujian terhadap hal-hal berikut:
1. Kesehatan
2. Status reproduksi
3. Diterapkannya sistem karantina
4. Dilakukan pemeriksaan routine setiap hari terhadap gejala penyakit,
kenaikan suhu tubuh dengan hati-hati, karena akan mempengaruhi
fertilitas yang pada akhirnya akan menyebabkan abortus.

3.3.3 Managemen Resipien dan Donor

3.3.3.1 Deteksi Berahi


Penyerentakan berahi dilaksanakan antara donor dan resipien dengan tepat
sehingga akan menunjang akan keberhasilan program TE.
Selain itu visual observasi merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan,
yakni melalui
a. Deteksi estrus pasca IB (Inseminasi Buatan) pada pagi dan sore hari
selama 30 menit
b. Teknik TE yang harus dilaksanakan tepat waktu dengan timbulnya gejala
berahi yang akan menghasilkan grade berahi sinkronisasi
Intensitas pengamatan sebaiknya dilakukan satu hari sebelum dan sesudah
berahi, dan setiap hari dilakukan 5 kali pengamatan yaitu pada jam 06.00; 10.00;
14.00;
18.00 dan jam 22.00.
Pelaksanaan deteksi berahi dilakukan dengan hati-hati dan tepat, karena
keserentakan berahi antara resipien dan donor sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan TE.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa laju keberhasilan akan lebih baik
apabila resipien berahi dalam 1 (satu) hari donor.
Bagan berikut menunjukkan program TE yang dilaksanakan antara resipien dan
donor.

Hari
0 1 2 3 4 5
Donor FSH FSH FSH FSH IB KOLEKSI EMBRIO
PG
FSH FSH FSH FSH IB
PG

Resipien PG PG -1 0 +1 TRANSFER EMBRIO

Gambar di bawah menunjukkan cara deteksi berahi pada Kambing dan Sapi
dengan menggunakan pejantan atau dengan menggunakan pewarna chain ball
marker
Gambar 12.Deteksi berahi pada Kambing dan Sapi

3.3.3.2 Penyerentakan Berahi


Pada program TE, berahi sinkronisasi dilakukan dengan menggunakan PGF2
(Prostaglandin). Namun dalam penggunaannya terutama pada resipien sebelum
dilakukan treatment PGF2 ini harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
secara pelpasi rektal untuk memastikan adanya Korpus luteum (Corpus luteum).
Hal ini disebabkan daya guna preparat hormon PGF2 ini adalah melisiskan
Korpus luteum. Dengan demikian bila resipien dengan korpus luteum positif
maka dapat dilakukan penyuntikan PGF2, dan diharapkan berahi akan timbul
48
– 96 jam post injeksi. Akan tetapi masih dimungkin bila treatment tersebut
dilakukan tanpa dilakukan pemeriksaan palpasi rectal, dengan catatan dilakukan
2 kali penyuntikan PGF2 dengan program penyuntikan sebagai berikut :

hari 0 11

PGF2, PGF2,

Berahi Berahi
(Mid-cycle of estrus) (5 days of estrus)
Pemberian PGF2, pada resipien sebaiknya satu hari lebih cepat dari pada donor, hal
tersebut disebabkan pada donor berahi akan timbul 36 – 60 jam setelah penyuntikan
PGF2, sedangkan pada resipien berahi timbul 48 – 96 jam setelah penyuntikan
PGF2,.

3.3.3.3 Superovulasi pada Donor


Pada sapi potong, superovulasi dilakukan 9 hari post berahi (9 – 14 hari post
berahi) dengan melakukan penyuntikan preparat hormon FSH sebagai berikut :
Hari ke 9 : Pagi 5 mg FSH i.m.
Sore 5 mg FSH i.m.
Hari ke 10: Pagi 4 mg FSH i.m.
Palpasi rectal, bila korpus luteum positif suntik dengan 15 mg PGF2,
secara i.m.
Sore 4 mg FSH i.m.
Hari ke 11: Pagi 3 mg FSH i.m.
15 mg PGF2, i.m.
Sore 3 mg FSH i.m.
Hari ke 12 : Pagi 2 mg FSH i.m.
Sore 2 mg FSH i.m.
Hari ke 13: Berahi pada donor dan resipien

Selanjutnya dilakukan IB pada donor pada 12 – 24 jam setelah standing heat,


dengan interval 2 kali IB yaitu IB pertama 12 jam post berahi dan IB ke dua 24
jam post berahi.
Pelaksanaan superovulasi pada sapi perah secara prosedural adalah sama dengan
pada sapi potong, hanya dosis FSH yang berbeda yaitu :

FSH I dengan dosis pagi dan sore sebanyak 6 – 6


mg II dengan dosis 5 – 5 mg
III dengan dosis 4 – 4 mg
IV dengan dosis 3 – 3 mg
3.3.3.4 Inseminasi Buatan (IB)
Inseminasi Buatan umumnya dilakukan pada donor 12 – 24 jam pasca standing
heat karena dari hasil penelitian dihasilkan laju fertilitas yang cukup tinggi.
Adapun pelaksanaan IB dilakukan 2 kali sebagai berikut :

0 12 24
standing heat IB ke 1 IB ke 2
dosis semen dosis semen 2 x
1 x atau 2 x

Yang perlu diperhatikan adalah biasanya efek atau pengaruh superovulasi


tersebut memberikan kepekaan yang tinggi sehingga faktor kebersihan (hygiene)
harus diperhatikan dalam artian prosedur dilakukan dengan aseptik.

3.3.3.5 Koleksi Embrio (Embryo collection/Recovery)


Koleksi embrio dapat dilakukan 2 cara atau metode, yaitu :
1. Tanpa pembedahan (Non surgery/non operatif/Transcervical)
2. Dengan pembedahan (Surgery/operatif ) pada Fossa Para Lumbal (kiri/kanan)

Metode Non surgery lebih popular di Eropa, Jepang, Asia (Indonesia) dan
Brazil, sedangkan metode surgery biasa digunakan di USA.

Tahap Pelaksanaan
Adapun tahap pelaksanaan koleksi embrio terdiri dari :
1. Tahap persiapan hewan donor
2. Tahap persiapan peralatan dan bahan
3. Tahap pelaksanaan koleksi embrio

Tahap persiapan hewan donor


Hewan donor yang dapat digunakan adalah donor pada 7 – 8 hari post berahi dan
persiapan tersebut meliputi :
 Ditempatkan dalam kandang pemaksa
 Rambut pada pangkal ekor yang panjang digunting
o Lakukan pencucian dengan sabun antiseptik
o Lakukan pembilasan dengan alcohol 70%
 Lakukan anestise Epidural dengan menggunakan 2 – 5 ml Lidocain
Chloride 2 %
o Pada ruang antar vertebra yaitu
 tulang sacrum terakhir
 tulang coccygea pertama
 Faeces dikeluarkan dari dalam rectum hingga kosong
 Dalam rectum ada udara, dikeluarkan dengan menggunakan pompa isap
 Vulva dan vagina
o Dicuci bersih dan dikeringkan dengan handuk
o Sterilisasi atau desinfeksi dengan alkohol 70 %

Tahap persiapan alat dan bahan


Alat-alat yang diperlukan adalah :
 Cervical expander, yaitu alat untuk membuka canalis cervicalis
 Mucus remover, yaitu alat untuk membersihkan canalis cervicalis dari
lendir atau mucus
 Foley catheter (two way) berukuran 16 – 20 G (tergantung ukuran
canalis cervicalis) terdiri dari 3 saluran yaitu :
o Saluran – masuk media – flushing
o Saluran – keluar media – hasil flushing
o Saluran – penggembung balon kecil
 Tabung media
 Tabung penampung hasil flushing embrio
 Injeksi spuit :
o Pengisap media hasil flushing
o Penekan/pengisap balon pada foley catheter

Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan terdiri dari :


 Modified Dulbecco’s Phosphat Buffered Saline (M-PBS) dengan komposisi:
- PBS (-) 9,8 g
- Metal salt (NaCl dan Ca Cl2) 1,0 ml (PBS +)
- Glucose/Dextrose 1,0 g
- Sodium Pyruvate 0,036 g
- Penicilline 100.000 IU
- Streptomycin 100 mg
- Bovine Serum Albumin (BSA) 3,0
mg Larutan ini dibuat dalam volume 1 Liter.

Tahap pelaksanaan Koleksi


Embrio Teknik Transcervical
 Pelaksana atau teknisi bekerja dengan tangan kiri di dalam rektum, yang
bertujuan untuk :
1. Estimasi jumlah korpus luteum, folikel dan ukuran ovarium
2. Manipulasi atau menuntun pemasukan alat ke dalam cervix dan uterus
3. Manipulasi pelaksanaan koleksi embrio
 Cervical expander dimasukkan ke dalam vagina hingga ke dalam lumen
cervix. Dianjurkan memakai mucous remover untuk mengeluarkan lendir
yang terdapat banyak di dalam lumen cervix.
 Disesuaikan dengan ukuran lumen cervix, masukkan two way Foley catheter
hingga masuk ke dalam cornua uteri
 Catheter memanipulasi ke dalam uterus (cornua superovulasi terjadi). Balon
terletak 5 cm di bawah bifurcatio uteri.
 Hati-hati jangan sampai melukai pada saat memasukan catheter
 Pegang uterus dalam posisi lurus
 Isi balon catheter dengan udara 10 – 15 x sehingga ketegangan balon cukup
 Ketegangan balon sedemikian rupa sehingga menekan dinding uterus,
sehingga media flushing tidak akan masuk ke dalam corpus uteri
 Hati-hati dalam memanipulasi ketegangan balon karena dapat menyebabkan
ruptura endometrium sehingga terjadi perdarahan. Volume udara balon untuk
Heifer adalah 12 – 16 ml, sedangkan untuk Calves adalah 16 – 20 ml.
 Melalui inlet tube masukkan media flushing (M-PBS) pada suhu 37 C dalam
botol sebanyak 1 Liter.
 Tekan uterus hingga mencapai ukuran seperti dalam keadaan bunting 40 – 60
hari.
 Uterus di masase dan diaduk media yang masuk, melalui pemijitan per rectal
sehingga ova atau fertilized egg terlepas dari endometrium
 Drainage atau pencucian sebanyak 8 – 10 kali sebanyak 400 – 500 ml per
uterus
 Hasil flushing kemudian dilakukan isolasi embrio dengan cara filtrasi
(Emcon, Immuno system)
 Diperoleh 40 – 50 ml flushing (70 µ Filter) dan tetap dalam filter
 Tuangkan ke dalam gelas petri (2 – 3 buah)
 Lakukan isolasi atau pencarian embrio dengan bantuan mikroskop
stereoskopik (invected microscope)

Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan gambar 13 dan 14 berikut


Teknologi Reproduksi Ternak

Gambar 13. Rangkaian proses panen (Flushing) Embrio pada Sapi dengan menggunakan Folley Catheter

Siti Darodjah Rasad, Lab. Reproduksi Ternak Fak. Peternakan UNPAD III-13
Teknologi Reproduksi
Ternak

Gambar 14. Flushing (Panen) Embrio pada Sapi

3.3.3.6. Penanganan Embrio


Embrio hasil koleksi harus melalui beberapa tahapan penanganan yaitu :
 Isolasi embrio atau unfertilized ova (UFO)
 Identifikasi embrio atau unfertilized ova (UFO)
 Manipulasi embrio atau unfertilized ova (UFO)
 Klasifikasi embrio atau unfertilized ova (UFO)

Untuk melaksanakan penanganan embrio hasil koleksi atau flushing tersebut


diperlukan tenaga sumber daya manusia yang terampil dan disarankan setiap
sample dikerjakan oleh dua orang teknisi terutama dalam hal penentuan
identifikasi dan klasifikasi embrio.
Embrio hasil koleksi di tuangkan ke dalam cawan petri (petri dish) yang
berskala pada bagian alasnya sehingga memudahkan dalam pencarian embrio
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan gambar peralatan untuk evaluasi embrio
di bawah ini

Siti Darodjah Rasad, Lab. Reproduksi Ternak Fak. Peternakan III-14


UNPAD
Gambar 15. Cawan Petri berskala

Adapun prosedur pencarian embrio adalah :


1. Emrbio harus berada dalam “fresh storage medium” (M-PBS + 20 % Calf
serum), buang sel-sel runtuhan dari uterus
2. Aspirasi embrio dengan pipet pasteur ( 200 – 250 µm)

3.3.3.7 Evaluasi Embrio


Embrio diklasifikasi dan disimpan dalam “storage medium” pada suhu 15 - 25
C selama tidak lebih dari 5 jam. Selanjutnya dilakukan pemisahan embrio
tersebut menjadi 2 bagian sesuai dengan tujuannya yaitu untuk ditransplantasi
atau ditransfer ke betina resipien atau dilakukan pembekuan embrio (freezing
embryo). Dalam melakukan evaluasi embrio dengan menggunakan mikroskop
dengan pembesaran 100 – 200 kali dengan melihat criteria sebagai berikut :
 Perkembangan sel (Cell stage development)
 Morphologi
 Kualitas embrio
Umumnya sebagian besar embrio terkoleksi pada tahap perkembangan yang
sama, dimana tahap perkembangan embrio tersebut terdiri dari :
 3 hari post berahi : 4 – 8 sel
 4 hari post berahi : 8 – 16 sel
 5/6 hari : Morula
 7 hari : Blastocyst

Selain itu ada cirri-ciri khas pada tahapan morula yang dapat dibedakan yaitu :
 Morula merupakan embrio dengan jumlah sel 32 sel, dengan criri-ciri
blastomer individual dan sulit dibedakan satu dengan lainnya. Kondisi
Blastomer seperti massa dari sel- sel.

 Compact Morula, ditandai dengan :


o Blastomer individual menggumpal (agglutinated) membentuk massa
padat dari sel-sel
o Massa embrio mengisi 60 – 70 % ruangan perivitelline, dimana ruang
perivitelline lebih besar dari tahapan morula

 Blastocyst dini (Early blastocyst) :


o Memiliki ruangan berisi cairan Blastocoele
o Pada tahapan ini memungkinkan membedakan Trophoblast dan Inner
Cell Mass (ICM)
o Ruang perivitelline sempit tetapi ada

 Blastocyst :
o Differensiasi jelas bagian luar Trophoblast
o Inner cell mass mengisi sebagian besar ruang perivitelline
 Expanded Blastocyst
o Diameter keseluruhan meningkat (1,2 – 1,5 kali)
o Zona Pellucida menipis (1/2 kali), dan terkadang collapsed
o Inner cell mass jelas dan kompak
 Hatched Blastocyst
o Merupakan embrio yang telah terlepas dari Zona Pellucida
o Bentuknya spheris dan lebih besar
o Identifikasi pada saat ini lebih sulit
Gambar 16,17 dan 18 menunjukkan tahapan perkembangan Embrio Sapi

Ovarium

1 Sel

Inseminasi

2 Sel (28-32 Jam)

4 Sel (45-50 Jam)

8 Sel (60-70 Jam)


Oviduct

16 Sel (3 – 4 Hari)

Utero Tubal Junktion Morula (5 – 7 Hari)

Blastocyst (7 – 8 Hari)
Corona Uteri

Gambar 16. Tahap Perkembangan embrio di dalam Uterus


Gambar 17. Tahap Perkembangan Embrio
Kompak Morula
(6 Hari)

Morula
(5 Hari)

Blastocyst
(7 Hari)
Blastocyst Dini (7 Hari)

Hatched Blastocyst

Expanded Blastocyst (8 Hari)

Gambar 18. Tahap Perkembangan Embrio

3.3.3.8 Kategori Kualitas Embrio


Kualitas embrio ditentukan dengan parameter :
1. Bentuk
2. Warna
3. Jumlah sel kompak
4. Jumlah sel degenerasi dan terlepas (extruded)
5. Jumlah dan ukuran vesicle
Adapun criteria dari kualitas embrio tersebut adalah sebagai berikut :
 A – Excellent (Istimewa)
Embrio ideal, morphologi sempurna dalam perkembangannya pada setiap
tahapan (normal typical)

 A’ – Good (Bagus)
Terdapat kelainan pada beberapa sel blastomer (extruded), bentuk tidak
seragam, terdapat beberapa vesicle (10 – 20 % tidak seragam dan tidak
beraturan)

 C – Poor (Kurang)
Terdapat sejumlah besar blastomer extruded, degenerasi, ukuran berbeda
dan vesicle banyak. Tampak masih hidup (50 % tidak seragam dan tidak
beraturan)
 D – Non Transferable Embryo
Sel degenerasi total, sel terlalu muda (2 – 32 sel) atau unfertilized ova (UFO)

Gambar-ganbar berikut adalah gambar dari berbagai embrio dalam berbagai


tahap perkembangan embrio :

Gambar 19. Embrio tanpa zona pellucida


Gambar 20. Sel telur tanpa zona Pellucida

Gambar 21. Embrio tahap 16 Sel

Gambar 22. Embrio tahap 4 sel dengan zona Pellucida


Gambar 23. Embrio dengan zona Pellucida tidak normal

Gambar 24. embrio tahap 4 sel dengan zona yang normal

Gambar 25. Sel telur manusia yang telah difertilisaasi


Gambar 26. Gaambar embrio manusia pada hari ke 3 pada Tahap 8 sel

Gambar 27. Blastocyst hari ke 5


Teknologi Reproduksi
Ternak

3.4 PRODUKSI EMBRYO IN VITRO


Teknik produksi embryo secara in Vitro terdiri dari beberapa tahapan yaitu :
1. Koleksi oocyte immature (oocyte yang belum masak) dari donor
2. Maturasi oocyte yang dikoleksi
3. Fertilisasi In Vitro
4. Kultur embryo dibawah kondisi laboratorium (Inkubator CO2)
Teknik ini merupakan satu potensi yang baik untuk pemanfaatan sapi dengan genetik
unggul dalam waktu yang simgkat

3.4.1 Koleksi Oocyte (Recovery of Oocytes)

Oocyte (sel telur) dapat dikoleksi atau diperoleh dengan dua (2) cara yaitu :
1. Koleksi dari induk sapi hidup (donor)
2. Koleksi dari Ovarium yang berasal dari induk sapi yang dipotong di RPH
(pemanfaatan limbah induk sapi dari RPH)

1. Koleksi oocyte dari Induk sapi hidup (donor)

Dari induk donor, sel telur yang belum masak (immature eggs/oocytes) dapat dikoleksi
melalui dua cara pula yaitu :
A. Koleksi oocyte melalui vaginal (Ovum Pick-Up Transvaginal)
B. Koleksi oocyte melalui aspiraasi laparoskopi (laparoscopic aspiration)

A. Koleksi oocyte melalui vaginal (Ovum Pick-Up Transvaginal/Transvaginal OPU)

Transvaginal OPU dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan alat USG, tetapi dengan
bantuan USG merupakan metode yang umum dilakukan. Dengan teknik atau metode
tersebut dapat dihasilkan 4 – 5 sel telur immatur dalam sekali percobaan tanpa adanya
stimulasi atau rangsangan hormonal pada ovarium. Sedangkan dengan stimulasi FSH
pada ovarium telah dapat dihasilkan 8 – 10 sel telur per percobaan.
Metode ini dapat dilakukan dalam 1 atau 2 kali per minggu dan dapat diulang untuk
beberapa minggu dengan resiko yang kecil pada kesehatan dan fertilitas donor. Metode
ini terutama ditujukan atau abaik dilakukan baik pada induk donor yang sangat responsif
terhadap stimulasi hormonal, ataupun yang tidak.

Siti Darodjah Rasad, Lab. Reproduksi Ternak Fak. Peternakan III-24


UNPAD
B. Koleksi oocyte melalui aspiraasi laparoskopi (laparoscopic aspiration)

Dengan metode aspirasi laparoskopi dapat dihasilkan 3 – 9 sel telur/percobaan pada


induk sapi dan sekitar 22 – 32 sel telur/percobaan pada sapi dara. Dengan metode ini,
rataan jumlah sel telur yang diperoleh lebih tinggi.
Kedua teknik tersebut di atas dapat dilakukan untuk koleksi sel telur selama periode
kebuntingan tanpa adanya efek yang yang berkepanjangan pada fertilitas ataupun
kesehatan reproduksi induk donor. Sebagai contoh, pada teknik transvaginal OPU, sel
telur dapat dikoleksi pada masa umur kebuntingan mulai 30 – 120 hari, setiap dua
minggu sekali dengan dihasilkan sekitar 60 buah sel telur selama 3 bulan periode
kebuntingan. Jika diasumsikan diperoleh 30% embryo yang diperoleh layak untuk
ditransfer kelak dan angka kebuntingan 50%, maka dapat dihasilkan 8 – 9 ekor anak sapi
yang berasal dari sel telur yang dikoleksi dari seekor induk bunting. Berarti secara teori,
sangat dimungkinkan untuk menghasilkan lebih dari 10 ekor anak dari induk bunting
selama 13 bulan.

Meode ini dapat juga diterapkan untuk koleksi sel telur dara yang belum puber atau
belum dewasa kelamin (pre puberal), dimana produksi embryo dari ternak donor pre
puberal ini mempunyai potensi untuk mereduksi interval generasi dan meningkatkan
mutu genetik, walaupun kapasitas perkembangan dan pertumbuhan sel telur masih
rendah dibandingkan bila sel telur berasal dari donor yang telah dewasa kelamin. Dengan
demikian masih diperlukannya penelitian lebih lanjut untuk dapat diaplikasikan secara
komersial

2. Koleksi dari Ovarium yang berasal dari induk sapi yang dipotong di RPH
(pemanfaatan limbah induk sapi dari RPH)

Sumber sel telur untuk menghasilkan embryo dalam skala besar dapat diperoleh dari
Ovarium yang berasal dari induk yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH).
Sehingga selain untuk tujuan produksi embryo in vitro, juga sebagai pemanfaatan limbah
dari RPH berupa pemanfaatan ovarium.
Sel telur dapat dikoleksi dari ovarium dengan dua cara yaitu :
1. Aspirasi folikel ovarium
2. Slicing (sayatan) ovarium
Kualitas sel telur yang dihasilkan dengan metode ini, hampir sama dengan sel telur
yang berasal donor hidup, akan tetapi kelemahan dari metode ini adalah potensi
genetik induk tidak dapat diketahui dengan pasti.

3.4.2 Maturasi Oocyte (Oocyte maturation)

Segera setelah koleksi sel telur, sel telur tersebut disimpan pada media maturasi dan
diinkubasi selama 22 – 24 Jam untuk menstimulasi atau meramgsang pemasakan sel telur
dibawah kondisi laboratorium, dalam hal ini inkubasi di dalam inkubator CO 2. Untk
mendapatkan kualitas embryo yang baik, maka dapat juga dilakukan co-cultur dengan sel
somatic. Kuiltur atau inkubasi selm telur umumnya dilakukan dalam satu kelompok 10 –
40 sel telur dalam satu cawan guna mendapatkan perkembangan yang baik.

3.4.3 In Vitro Fertilisaasi (In Vitro Fertilization)

Fertilisasi dilakukan dengan menggunakan semen beku. Pada metode ini, pertama-tama
silakukan pemisahan bahan pengencer dari sperma motil, segera setelah semen beku di
thawing. Cara pemisahan dapat dengan cara :
1. Pencucian langsung
2. Swim-up centrifugasi
3. Percoll gradient centrifugasi

Teknik selanjutnya adalah sperma ditempatkan di dalam mikrodrops yang telah berisi sel
telur kapasitasi dan larutan heparin. Inkubasi sel telur dengan sperma kapasitasi
dilakukan selama 6 – 24 Jam. Umumnya sekitar 30 buah sel telur dan 200.000 sperma
diinkubasi dalam sati mikrodrops untuk mendapatkan hasil fertilisasi yang optimal.

3.4.4 Kultur Embryo

Sel telur yang telah difertilisasi dicuci untuk dibebaskan dari sperma. Selanjutnya dikultur
5 – 7 hari untuk mengikuti perkembangan embryo hingga layak untuk ditransfer.
Fertilisasi dapat dikatakan berhasil dengan adanya pembelahan sel yang secara visual
dapat dilihat setelah 40 – 42 Jam setelah inseminasi.
Terdapat tiga sistem kultur embryo, yaitu :
1. Kultur embryo di dalam oviduct resipien sementara (domba dan kelinci).
Dengan metode ini, angka kebuntingan mencapai 60 – 70 % setelah embryo yang
dihasilkan dibekukan dan ditransfer pada resipien
2. In Vitro kultur zygote (sel telur yang telah difertilisasi) dengan somatik sel (contoh
sel epithel oviduct, sel granulosa) di dalam medium tertentu
3. In vitro kultur zygote dalam medium sederhana sepeti cairan oviduct sintetis tanpa
menggunakan sel somatik

Pada ke tiga sistem di atas, embryo dikultur di dalam mikrodrops dengan dilindungi
dengan mineral oil. Angka kebuntinan untuk ketiga sistem tersebut mencapai 40 – 56 %.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, kultur embryo di dalam mikrodrops atau
dengan sel somatik dapat meningkatkan produksi, daya tahan serta kualitas embryo.
Tabel 2 di bawah menunjukkan keberhasilan produksi in Vitro dengan metode
Transvagianal OPU

Tabel 3. In vitro embryo production following transvaginal OPU.

Duration of
No. of No. of Oocyte Transferable
transport
collections oocytes (avg) cleavage (%) embryos (%)
(h)*
0 177 1771 (10) 1310 (74) 837 (47)
3 to 6 260 1944 (7.5) 1326 (68) 840 (43)
24 34 155 (6.5) 110 (71) 66 (43)
*Time for transporting eggs from farm to laboratory.
Source: Bousquet.1997. Proc. Soc. Theriogenology. pp16-21.
Teknologi Reproduksi Ternak

Bagan Produksi Embrio dan Pelaksanaan Transfer

Produksi embrio in Vivo

Donor ♀
I Penyerentakan berahi superovulasi IB evaluasi konservasi embrio
Embrio embrio

Multiple Follikulo- Multiple


Genesis Ovulasi

Produksi embrio in Vitro

Ovarium Koleksi Oosit Oosit


Oosit Klasifikasi Maturasi
Fertiliasi Koleksi Konservasi
Embrio embrio

Penampungan
Semen/thawing Kapasitasi
Semen beku spermatozoa

II Resipien ♀ sinkronisasi 7 hari pasca berahi Transfer PKB


Berahi embrio

Siti Darodjah Rasad, Lab. Reproduksi Ternak Fak. Peternakan UNPAD III-28
Teknologi Reproduksi
Ternak

3.5 Teknik Transfer Embrio

3.5.1 Teknik transfer embrio pada Sapi dan Kerbau

Teknik transfer embrio (TE) pada Sapi dan Kerbau awalnya melalui proses
laparotomy atau metode surgery (dengan pembedahan)dengan anesthesia umum
atau local. Tetapi sejak tahun 1978, dilakukan metode tanpa pembedahan yakni
transfer embrio melalui transcervical.
Pada metode transcervical tersebut, mula-mula akan dilakukan palpasi rectal pada
resipien untuk mengetahui apakah pada ovarium terdapat Korpus luteum.
Selanjutnya dilakukan anesthesia epidural untuk induced to prevent straining
selama proses transfer berlangsung.

Embrio yang telah disimpan dalam straw (0,25 ml Straw) dalam keadaan steril
dimasukkan kedalam Transfer Gun (Cassou) dan dilindungi dengan plastik
penutup yang steril. Langkah selanjutnya Transfer Gun masuk ke dalam vagina dan
melalui cervix dengan bantuan tangan operator melalui palpasi rektal akan
menuntun Transfer Gun memasuki tanduk uterus bagian ipsilateral dengan Korpus
Luteum. Embrio didesposisikan ke dalam tanduk uterin.

3.5.2 Teknik transfer embrio pada Domba dan Kambing


Pada Domba dan Kambing umumnya transfer embrio dilakukan dengan cara
pembedahan atau laparotomy dibawah anesthesia umum atau local.
Dengan melakukan penyayatan midventral, embrio dapat ditransfer disertai satu
sedikit medium lansgung ke dalam oviduct, dimana ujung dari pipet kapiler yang
mengandung embrio disisipkan melalui infundibulum untuk mendesposisikan
embrio ke dalam ampulla.
Cara lain adalah apabila transfer embrio di arahkan langsung ke uterus, maka
tanduk uterus ditusuk dengan jarum tumpul, selanjutnya pipet kapiler disisipkan ke
dalam lumen uterus. Proses tersebut dapat dilakukan dengan teknik laparoscopy.

Siti Darodjah Rasad, Lab. Reproduksi Ternak Fak. Peternakan III-29


UNPAD
3.6 Penanganan setelah Transfer Embrio
Setelah dilakukan transfer embrio, sebaiknya dilakukan pendugaan atau evaluasi
kebuntingan, dimana angka kebuntingan (Pregnancy rates) tidak dapat dikaitkan
dengan prosentase daya tahan embrio (embryo survival). Angka kebuntingan dan
daya tahan embrio dapat dideteksi pada awal masa kebuntingan.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dibawah kondisi ideal, lebih dari 80 %
embrio survive setelah ditransfer pada resipien yang telah mengalami
Penyerentakan berahi terlebih dahulu. Angka kebuntingan tertinggi pada Sapi,
Domba dan Kambing adalah melalui transfer satu embrio ke dalam masing-masing
tanduk uterus resipien. Sehingga kelahiran kembar sering terjadi.
Lain halnya pada Babi, melalui transfer 6 – 10 embrio pada masing-masing sisi
akan menghasilkan litter size normal, karena hanya sekitar 1,5 embrio yang
ditransfer yang akan menghasilkan keturunan yang sehat saat dilahirkan.
Tahap pelaksanaan transfer embrio dapat dilihat pada gambar berikut.
Teknologi Reproduksi
Ternak

Tahapan pelaksanaan Transfer Embryo pada Sapi

Siti Darodjah Rasad, Lab. Reproduksi Ternak Fak. Peternakan III-31


UNPAD
Teknologi Reproduksi
Ternak

Gambar 28. Tahap pelaksanaan Transfer embrio

Siti Darodjah Rasad, Lab. Reproduksi Ternak Fak. Peternakan III-32


UNPAD
3.7 Pembekuan Embrio
Kelebihan utama dari pembekuan embrio dibandingkan dengan pembekuan sperm atau
oocyt, adalah embrio mengandung komplet genom yang berasal dari pejantan unggul
(semen beku) dan betina unggul, dan embrio dapat ditransfer kepada induk resipien tanpa
diketahui atau diketahui latar belakang genetik atau catatatn genetik dari resipien tersebut
serta tanpa adanya kehawatiran adanya resiko perubahan mutu genetik.
Pembekuan embrio sebaiknya di arahkan untuk ternak-ternak di pusat-pusat pembibitan,
dimana bertujuan penyebaran bibit unggul.
Proses pembekuan di awali oleh peneliti Audrey Smith pada tahun 1952 dalam
penelitiannya mengenai “Efek temperatur rendah terhadap perkembangan ovum
mammalia”, dan selanjutnya menghasilkan beberapa penelitian dengan pembekuan
embrio.
Beberapa penelitian telah berhasil dilakukan terutama tentang cryopreservasi embrio
pada berbagai spesies mammalia dengan berbagai variasi temperatur.

3.7.1 Prinsip dari Cryobiologi


Prinsip dari biofisik telah diaplikasikan pada cryopreservasi dari sel hidup dan jaringan
serta pada embrio. Embrio akan mengalami kerusakan selama proses pembekuan dan
atau pada proses thawing (pencairan kembali) melalui pembentukan kristal-kristal es
intra seluler atau melalui peningkatan konsentrasi cairan intra seluler yang berubah
sehingga terjadi dehidrasi sel selama pembekuan. Ini dapat disebut sebagai Efek Larutan
(Solution Effects).
Pada proses pembekuan cepat (penurunan temperatur cepat) dapat mengurangi kerusakan
akibat efek larutan, tetapi menyebabkan pembetukan krista es yang akan menyebabkan
kerusakan mekanik pada embrio. Dengan demikian tingkat atau angka pembekuan
optimum untuk jaringan sangat tergantung dari toleransi relatif dari kerusakan akibat
pembentukan kristal es dan akibat efek larutan.
Saat suspensi sel dibekukan dibawah 0 C, akan terbentuk kristal es ekstra seluler, akan
mengakibatkan konsentrasi larutan di dalam air. Membran sel akan akan beraksi untuk
menghalangi penyebaran kristal es ke dalam kompartemen intra selular.
Penambahan agen cryoprotektan seperti Glyserol atau dimethyl sulfoxide pada
pembekuan medium memberikan hasil pembekuan dengan temperatur rendah. Hal
tersebut
disebabkan tidak adanya dehidrasi sel dan akibat dari hilangnya efek larutan, sehingga
embrio dapat dibekukan dengan cukup lambat untuk menghindari pembentukan kristal es
yang besar.
Temperatur kritis dengan pembekuan lambat untuk menghasil angka survival optimal
adalah dari – 4 - - 60 C selama pembekuan, dan dari – 70 - - 20 C selama pemanasan
kembali.
Embrio mammalia dapat dibekukan untuk waktu lama di dalam larutan jika sesuai
dengan temperatur pembekuan dan tidak ada lagi kejadian aktivitas biologi. Larutan
Nitrogen pada temperatur – 196 C adalah cocok untuk kondisi tersebut. Embrio Sapi,
Domba dan Tikus dapat tahan pada pencairan kembali yang cepat (rapid thawing) pada
pembekuan lambat dengan proses terminasi pembekuan paa temperatur – 30 dan – 50 C
dan kemudian langsung disimpan ke dalam larutan Nitrogen cair pada temperatur – 196.

3.7.2 Teknik Pembekuan embrio (Cryopreservasi Embryo)


Berbagai variasi teknik pembekuan embrio digunakan untuk cryopreservasi dan thawing
embrio Sapi, Domba, Babi dan Kuda. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan
dalam teknik pembekuan atau cryopreservasi yakni,
 Embrio yang akan dibekukan harus dalam kategori Excellent (Istimewa)
 Embrio berada pada tahap pembelahan yang benar (Cleavage)
 Embrio ditransfer dalam keadaan steril, segar tersimpan dalam media kultur hingga
saat digunakan
 Jika embrio disimpan dalam medium lebih dari 2 Jam sebelum ditransfer, embrio
harus ditransfer ke dalam medium segar setiap 2 jam.
 Embrio diisap ke dalam mikro pipet dengan sedikit volume medium (kurang dari 0,2
ml medium) untuk mencegah kontaminasi.

3.7.3 Kultur dan penyimpanan pada Temperatur 0 dan 37 C


Segera setelah dilakukan panen embrio, embrio disimpan dalam media kultur (culture
medium) pada temperatur 37 C. Perkembangan embrio in vitro sangat lambat
dibandingkan in vivo. Embrio akan berkembang dalam 2 – 3 hari atau lebih.
Embrio dapat disimpan di dalam kultur media untuk beberapa jam antara waktu koleksi
hingga transfer pada temperatur 15 – 25C. Jika embrio dibekukan pada 0 dan 10 C
atau
transfer ke dalam oviduct Kelinci, maka dapat disimpan dan bertahan untuk beberapa
hari dengan sedikit mengalami penurunan daya tahannya. Terkecuali embrio Babi tidak
dapat survive pada pembekuan di bawah – 15 C.
Beberapa medium yang umum digunakan untuk kultur embrio, yakni :
1. Tissue Culture Medium (TCM 199)
2. Dulbecco’s phosphat-buffered saline (PBS)

TCM 199 biasa digunakan untuk koleksi embrio, sedangkan media untuk penyimpanan
mengandung 25 mM HEPES buffer dan 10 – 20 % Calf serum yang telah di filtrasi
dengan menggunakan Millipore-filtered dan di inaktifkan dengan pemanasan selama 30
menit pada temperatur 56 C.

3.7.4 Prosedur pembekuan Embrio (Embrio Cryopreservation)


 Medium yang digunakan adalah modifikasi Dulbecco’s PBS, dengan suplemen
bovine serum albumin (BSA)
 Cryopotectant agen ditambahkan pada setiap step pada temperatur 0 C dan 20 C.
 Embrio dibekukan secara cepat pada 0 C dengan derajat kecepatan pembekuan
1C/menit hingga - 7 C. Pada titik beku dilakukan seeding, yakni pembentukan
kristal es kecil pada medium. Seeding akan meminimalkan fluktuasi temperatur
sebagai akibat panas yang terbentuk.

3.8 Bahan Bacaan


1. Buku Wajib (BW) :

1. Hafez, E.S.E. 2000. Reproduction In Farm Animals. 7th Ed. Lippincott Williams &
Wilkins
2. Toelihere, M. R. 1985. Fsisologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung
3. Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta

2. Buku Anjuran (BA) :


1. Peters, A.R., and Ball, P.J. 2004. Reproduction in Cattle. 3rd ed. Blackwell Science, Inc.
2. Bearden, H.J., J.W. Fuquay and S.T. Willard. 2004. Applied Animal Reproduction.
Sixth Edition. Pearson. Prentice Hall. New Jersey.

3. Rasad, SD. 2004. Teknologi Reproduksi Ternak. Buku Ajar (unpublish)


3.9 Tugas dan Latihan

1. Jelaskan tahapan proses transfer embrio


2. Jelaskan faktor-faktor apa yang penting diperhatikan dalam teknik TE pada sapi ?
3. Jelaskan prinsip pembekuan embrio ?
4. Jelaskan prosedur pembekuan embrio ?

Anda mungkin juga menyukai