Anda di halaman 1dari 25

10.

Landasan Pendidikan
a. Landasan Filosofis
Filsafat pendidikan mencakup filosofi proses pendidikan dan filosofi disiplin ilmu
pendidikan. Filososfi pendidikan terkait dengan tujuan, bentuk, metode, atau hasil dari
proses pendidikan. Tim Broad Based Education Depdiknas mengemukakan bahwa secara
filosofis pendidikan dapat diartikan sebagai proses pemerolehan pengalaman belajar yang
berguna bagi peserta didik.

Filsafat dan pendidikan memiliki keterkaitan yang erat. Filsafat mengkaji tentang
pandangan manusia dan masyarakat. Sedangkan pendidikan berusaha mewujudkn manusia
dan masyarakat yang dapat berkembang secara optimal.filsafah pendidikan menjawab
berbagai pertanyaan pokok pendidikan.

Tirtahardja & Sulo (2018) mengemukakan filosofi tentang manusia dan alirannya
sangatlah bervariasi. Bahkan juga ada yang bertentangan. Terdapat dua aliran yang
bertentangan yaitu idealism dan naturalism. Aliran naturalism yaitu aliran yang
menganggap benar segala sesuatu yang dapat direrima oleh indra. Sedangkan akiran
idealism yaitu pandangan bahwa kenyataan adalah ide dari gagasan kejiwaan. Dalam aliran
ini yang menganggap benar adalah sesuatu yang bersifat abstrak, hasil refleksi dari ide
sebagai kebenaran bersifat spiritual dan mental.

Selain itu menurut Sutirna & Samsudin (2015) ada aliran lain yang mendukung
landasan filosofi diantaranya aliran filsafat progresifme, esensialisme, prenialisme, dan
konstruktivisme. Penjelasan lebih lengkap terkait keempat aliran tersebut yaitu sebagai
berikut.

1) Aliran Filsafat Progresivisme


Sutirna & Samsudin (2015) mengemukakan bahwa alira progresifime juga
dinamakan instrumentalisme dan eksperimentalisme, dan enviromentalisme. Aliran
ini dinamakan instrumentalisme karena aliran ini beranggapan bahwa intelegensi
manusia merupakan alat untuk mengembangkan hidup, kesejahteraan, dan
kepribadian hidup. Sedangkan eksperimentalisme, untuk menguji kebenaran teori
aliran ini mempraktikan asas eksperimen. Enviromentalisme, aliran ini menganggap
bahwa pembinaan kepribadian dipengaruhi oleh lingkungan hidup.

Dalam pengembangan teori pendidikan, progresivime didasarkan pada prinsip-


prinsip yang telah berlaku. Tirtahardja & Sulo (2018) mengemukakan beberapa prinsip
progressivisme, diantaranya :

a) Untuk dapat berkembang dengan sewajarna, anak harus dibebaskan.


b) Untuk merangsang minat belajar dapat dilakukan dengan pengalaman secara
langsung.
c) Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus dapat menjadi peneliti dan
pembimbing.
d) Sekolah dengan aliran progresif harus memiliki laboratorium untuk melakukan
reformasi pedagogis dan eksperimentasi.
2) Aliran Filsafat Esensialisme
Menurut Tirtahardja & Sulo (2018) aliran esensialisme ini menitikberatkan penerapan
prinsip iealisme dan realism dengan meleburkan prinsip-prinsip keduanya. Idealism
digunakan sebagai tinjauan mata pelajaran sejarah, sedangkan realism digunakan
sebagai tinjauan mata pelajaran sejarah, sedangkan realisme digunakan sebagai
tinjauan mata pelajaran ilmu pengetahuan alam. Sedangkan matematika
mengutamakan idealism namun juga sangat penting bagi filsafat realism. Hal ini
dikarenakan matematika merupakan alat hitung dari segala sesuatu yang bersifat riil,
metri, dan nyata.

Kondisi ideal sebenrnya tidak akan pernah mencapai titik final. Belajar bertujuan
untuk memahami suatu teori,namun belajar tidak akan pernah sampai ujung.
Lembaga pendidikan senantiasa berusaha mempertajam pikiran dan proses
intelektual siswa.

Berbeda dengan idealism, realism mempercayai bahwa dunia apa adanya sesuai
dengan apa yang telah diamati. Realisme merupakan pandangan terkait kebenaran itu
merupakan sesuatu yang dapat dirasakan, diamati, dan kebaikan yang ditemukan
dalam hkum alam.

Realism memandang bahwa realitas dapat dibuktikan dengan observasi, pengalaman,


eksperimen, dan penalaran ilmiah. Beberapa prinsip realism yaitu:

a) Dunia bersifat nyata


b) Kebenaran dan tujuan hidup ditentukan oleh perkembangan kehidupan saat ini
c) Ilmu pengetahuan bersifat nyata
d) Dapat membedakan antara penampakan dan realitas
e) Selain kesadaran.
3) Aliran Filsafat Perenialisme
Bahwa realitas berasal dari kebnaran Tuhan dan ajaranNya. Suatu kebenaran dapat
ditemukan melalui penalran, wahyu dan kebaikan yang ditemukan dalam berpikir
rasional. Dalam aliran ini, praktik pembelajaran seolah dipandu oleh penalaran dan
kehendak Tuhan. Dengan catatan hal ini tidak dibelenggu pleh dogmais yang
berlebihan.

Jika hal ini terbelenggu oleh dogmatis yang berlebihan, maka bisa jadi suatu
kesuksesan dalam belajar dipercayai sebaga sebuah nasib. Jika hal ini terjadi,
kemungkinan peserta didik lebih hanya berdoa tanpa melakukan usaha belajar untuk
mencapai kelulusan. Padaham telah dijelaskan bahwa “Allah tidak akan merubah
nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak mengubah sendiri”. Sehingga untuk mencapai
suatu keberhasilan-kelulusan harus menyeimbangkan keduanya.

4) Aliran Filsafat Konstruktivisme


Aliran konstruktivisme dapat diartikan bahwa dalam proses pembelajaran, peserta
didik belajar dengan menggunakan strateginya sendiri, guru bertugas membimbing
siswa ke tigkat pengetahuan yang lebih tinggi. Konstruktivisme memberikan kebeasan
kepada seseorang yang ingin belajar dengan mencari sendiri kebutuhannya tersebut
dengan bantuan oang lain.

Kontruktivisme ini telah digunakan sebagai landasan dalam kecenderungan yang


muncul dalam proses pembelajaran. Kecenderungankecenderungan tersebut
iantaranya :

a) Siswa perlu aktif dalam proses pembelajaran


b) Siswa perlu mengembangkan kemampuan belajar mandiri
c) Siswa perlu mengembangkan pengetahuan sendiri
d) Dalam belajar perlu adanya pengajar yang bertugas sebagai fasilitator,
mediator, manager.
Pada dasarnya pengetahuan senantiasa memerlukan pengalaman, baik pengalaman
fisik maupun mental. Piaget membedakan pengetahuan menjadi tiga, yaitu
pengetahuan fisis, pengetahuan matematis-logis, dan pengetahuan social. Penjelasan
lebih lengkap mengenai ketiganya berikut ini :

a) Pengetahuan fisis, pengetahuan yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik suatu


obyek
b) Pengetahuan matematis-logis, pengetahuan yang didapat langsung dari
abstraksi suatu obyek
c) Pengetahuan social, pengetahuan yang didapa dari persetujuan antara
kelompok sosial dan budaya
b. Landasan Sosiologis
Landasan sosoiologis merupakan etika dasar pengajaran berasal dari etika kehidupan
masyarakat pada suatu bangsa. Perhatian yang diberikan pada pola hubungan antar
individu maupun kelompok pada masyarakat akan berdampak pada pemahaman dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini guna menciptakan kehidupan masyarakat yang rukun dan
damai. Selain itu, juga dapat menciptakan nilai-nilai social yang berkembang menjadi
norma-norma social yang mengikat kehidupan masyarakat yang harus dipatuhi oleh
anggota masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat, norma dibedakan menjadi tiga
macam yang dianut oleh pengikutnya diantaranya: (1) faham individualism, (2) faham
kolektivisme, dan (3) faham integralistik (Tirtahardja & Sulo, 2018).

Faham individualism merupakan pandangan terkait manusia pada dasarnya memiliki hak
untuk hidup dan berbuat sesuai dengan keinginannya. Akibat dari individualism dapat
memunculkan cara pandang yang lebih mementingkan kepentingan individu daripada
kepentingan masyarakat. Pada masyarakat ini, usaha untuk menempuh pengembangan diri
aka nada saling berkompetisi antara anggota masyarakat yang satu dengan lainnya. Oleh
sebab itu, hal ini akan berpengaruh pada pada yang kuat akan selalu menang, dalam
berkompetisi dan hanya yang kuat yang dapat eksis.

Berhubungan dengan faham yang telah disebutkan diatas yaitu faham kolektivisme. Dimana
faham tersebut yang memberikan kedudukan berlebihan terhadap masyarakat. Sedangkan
secara perseorangan hanya sebagai alat bagi masyarakat. Berbeda dengan faham
integralistik yang memandang bahwa masingmasing anggota masyarakat saling
berhubungan erat satu sama lainnya. Dalam faham interalistik ini manusia tidak
ditempatkan secara individualis, namun dalam konteks strukturnya manusia merupakan
pribadi dan juga relasi.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut faham integralistik yang berasal dari
etika kehidupan bermasyarakat (1) kekeluargaan, kebersamaan, gotong-royong,
musyawarah mufakat, (2) tujuan hidup bermasyarakat yaitu kesejahteraan bersama.

c. Landasan Kultural
Landasan kultural pendidikan merupakan norma dasar pendidikan. Norma pendidikan
berasal dari norma kehidupan berbudaya suatu bangsa. Kebudayaan dapat diartikan
sebagai suatu hasil karya, cipta, karsa manusia. Landasan kultural pendidikan di Indonesia
harus dapat memberikan jawaban atas masalah berikut: (1) semangat kekeluargaan yang
tecantum pada rumusan undang-undang dasar 1945 sebagai landasan pendidikan di
Indonesia, (2) Rule of Low pada masyarakat yang kekeluargaan, kebersamaan dan
berkebudayaan, (3) “etos” masyarakat Indonesia berhubungan dengan alam, waktu, kerja,
dan kezaliman masyarakat Indonesia yang cocok dengan kebiasaan Pancasila; beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, disiplin, kerja keras,
tangguh, bertanggung jawab, berkepribadian, mandiri, cerdas dan terampil, serta sehat fisik
maupun rohani, dan (4) sistem bagaimana masyarakat dapat mengartikan dirinya, sejarah
dan tujuantujuannya. Bagaimana tiap-tiap warga menyaksikan dirinya dalam masyarakat
yang integralistik, bagaimana pertumbuhan metode peningkatan harkat dan martabat
sebagai manusia, apa yang menjadi tujuan penyusunan insan seutuhnya (Anshory & Utami,
2018).

d. Landasan Psikologis
Norma dasar pendidikan yang berasal dari aturan-aturan dasar pada perkembangan peserta
didik. Aturan-aturan dasar perkembangan peserta didik tersebut dimulai dari terbentuknya
konsepsi sampai mati. Dengan pertumbuhan dan perkembangan, manusia selalu
mengalami perubahan. Pertumbuha yang terjadi pada manusia bersifat fisik sekaligus
kejiwaannya. Apabila sepanjang kehidupan individu menjadi proses pertumbuhan secara
terus menerus, maka proses pertumbuhan tersebut akan terjadi secara terarah dan teratur.
Tentu saja pertumbuhan tersebut akan menuju kearah kemajuan. Setiap tahap
pertumbuhan dapat dilihat dari meningkatnya keterampilan dan cara-cara baru yang
dipunya dalam menyelesaikan masalah. Pertumbuhan adalah perubahan tingkah laku
ataupun fungsi kejiwaan manusia dari tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Perubahan-perubahan tersebut tidak jarang terjadi dengan maksud individu dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Anshory & Utami, 2018).

Lingkungan manusia terdiri atas lingkungan fisik dan lingkungan social. Lingkungan fisik
merupakan segala sesuatu non manusia yang ada disekitar didik. Sedangkan lingkungan
social ialah seluruh orang yang ada didalam kehidupan manusia yaitu bergaul dengan anak,
orang yang melakukan kegiatan bersama dengan anak. Tugas pengajaran yang utama yaitu
memberikan pengarahan kepada anak, agar dapat tumbuh secara wajar dan maksimal.
Oleh sebab itu, agar tindakan yang diberikan dalam proses pendidikan dapat dilaksanakan
dengan berhasil dan berdaya guna maka seorang pendidik harus memahami hokum-hukum
dasar perkembangan kejiwaan anak.

1) Sifat dan kepribadian anak yang unik


Peserta didik ialah pribadi yang sedang tumbuh dan berkembang. Apabila kita
mengamati dua peserta didik, maka akan didapat dua individu yang berbeda. Tiap-
tiap peserta didik tentunya memiliki persamaan dan perbedaan khusus yang hanya
dimiliki oleh setiap individu. Yang dimaksud dengan anak memiliki sifat kepribadian
yang unik yaitu anak memiliki sifat yang khas yng tidak dimiliki oleh anak yang lain.
Desmita (2009) menyatakan sifat pribadi manusia yang unik terbentuk berdasarkan
tiga faktor yaitu : (1) keturunan (heredity), (2) lingkungan (environment), (3) diri
(self).

2) Tiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda


Sebagaimana digambarkan diatas, anak memiliki potensi yang berbedabeda dan
bervariasi sejak dilahirkan. Pendidikan memberikan hak kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensinya. Peserta didik dengan usia yang sama akan memiliki
kecerdasan dan kemampuan mental yang berbedabeda. Usia kronologisnya peserta
didik bisa jadi sama, namun usia kecerdasan bisa jadi tidak sama. Jadi dapat
dikatakan bahwa indeks prestasi setiap anak berbeda beda.

3) Tiap tahap pertumbuhan memiliki ciri-ciri tertentu


Setiap tahapan pertumbuhan mempunyai ciri-ciri tertentu. dengan ciriciri tersebut,
dapat digunakan sebagai cara untuk mengatur strategi pendidikan yang harus
diberikan kepada peserta didik sesuai dengan kesiapan peserta didik untuk
menerima, memahami, serta menguasai bahan pendidikan yang telah disesuaikan
dengan kemampuannya.

e. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Landasan ilmiah dan teknologi pendidikan mengandung norma dasar yang berasal dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Norma dasar tesebut mengikat
mewajibkan pelaksanaan pendidikan untuk dapat menerapkan dalam usaha pendidikann.
Norma yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut harus mengandung
ciri-ciri keilmuan yang hakiki, yaitu (1) ontologis, yakni adanya objek penalaran yang
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diamati dan diuji, (2) epistimologis, yakni
adanya cara untuk menelaah objek tersebut dengan metode ilmiah,dan (3) aksiologis yakni
adanya nilai kegunaan bagi kepentingan kesejahteraan lahir dan batin (Anshory & Utami,
2018).

Manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi yang melandasi pendidikan harus mampu (1)
memberikan kesejahteraan lahir dan batin setingi-tingginya, (2) mendorong pemanfaatan
pengembangan sesuai tuntutan zaman. (3) menjamin penggunaannya secara bertanggung
jawab, (4) memberi dukungan nilai agama dan nilai lihur bangsa, (5) mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan (6) meningkatkan produktifitas, efisiensi, dan efektifitas sumber
daya manusia.

11. Asas-Asas Pendidikan


a. Asas Tut Wuri Handayani
Gagasan yang dikenalkan oleh KI Hajar Dewantoro. Beliau merupakan pejuang
kemerdekaan dan disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Tut Wuri Handayani yang
dikenalkan oleh beliau ini mengandung arti pendidikan dengan kewibawaan. Azas tersebut
mengandung arti menyertai anak dari belakang kemudian memberikan pengaruh dari
belakang, tidak menarik anak dari depan, membiarkan anak menemukan jalan sendiri, dan
pendidik baru akan membantu jika anak mengalami permasalahan. Ki Hajar Dewantoro
mengembangkan gagasan tersebut pada masa penjajahan dan perjuangan kemerdekaan.
Pada waktu itu gagasan tersebut diterima sebagai pendidikan nasional Indonesia (Anshory
& Utami, 2018).

Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa azas tut Wuri Handayani memberikan


kesempatan peserta didik untuk melakukan usaha sendiri, dan kemungkinan mengalami
berbuat kesalahan, tanpa ada tindakan (hukuman) dari pendidik. Hal ini tidak menjadikan
masalah, karena menurut Ki hajar Dewantara tiap kesalahan yang dilakukan peserta didik
akan membawa pidananya sendiri, kalau tidak ada pendidik sebagai pemimpin yang
mendorong datangnya hukuman tersebut.

Dengan cemikian setiap kesalahan yang dialami anak itu bersifat mendidik. Menurut azas
Tut Wuri Handayani (1) pendidikan dilaksanakan tidak memakai syarat paksaan, (2)
pendidikan adalah panggulowenthah yang mengandung makna : momong, among,
ngemong, among berarti pendidik dapat mengembangkan hidup kodrat alam peserta didik
dengan tuntutan agar peserta didik mampu mengembangkan hidup secara selamat.
Momong berarti mengamati peserta didik agar dapat bertumbuh menurut kodratnya.
Ngemong mengandung makna bahwa pendidik harus mengikuti usaha yang dilakukan anak
sendiri dan pendidik hanya memberikan bantuan ketika peserta didik memerlukan. (3)
pendidikan membuat ketertiban dan kedamaian (orde en vrede), pendidikan tidak
memanjakan peserta didik, serta (5) pendidikan mampu menghasilkan iklim sebagai berikut
tidak terperintah, memerintah pribadi peserta didik (Ruslam, 2014)..

b. Asas Belajar Sepanjang Hayat


Pada dasarnya pendidikan di Indonesia memiliki tujuan a) meningkatkan kecerdasan, harkat
dan martabat bangsa; b) mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan yang Maha Esa; c) manusia yang berkualitas; d) manusia yang mandiri
sehingga dapat membangun diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya; e) memenuhi
kebutuhan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya; f) bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa. Gambaran mengenai manusia Indonesia tersebut dilandasi
pandangan yang mengangap bahwa manusia sebagai suatu keseluruhan yang utuh.
Manusia Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan
yang lainnya (Anshory & Utami, 2018).

Dalam pengembanganya kepribadian, keseimbangan, dan keterpaduan dapat ditemuka dari


sisi (1) jasmani (badan, indera serta orga tubuh) dan rohani ( pikiran, perasaan, daya cipta,
karya serta nurani); (2) material (sandang, pangan dan papan) dan spiritual (kebahagiaan
dan kesejahteraan batiniah); (3) individual dan sosial; (4) kebahagiaan dunia dan akhirat
cocok dengan masing-masing keyakinannya, dan (5) spesialisasi dan generalisasi. Manusia
senantiasa ingin mempunyai kemampuankemampuan yang lazimnya dimilki oleh orang lain
tetapi juga menghendaki ketrampilan khusus untuk dirinya sendiri.

Manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila untuk mencapai integritas
yang utuh, maka Indonesia menganut azas pendidikan sepanjang hayat. Melalui pndidikan
sepanjang hayat setiap warga Negara Indonesia diharapkan (1) dapat meningkatkan
kualitas diri sendiri dan mandiri selama hidupnya, (2) memperoleh kesempatan
mengenyam layanan lembaga-lembaga pendidikan (formal,informal dan nonformal) yang
ada, (3) memperoleh kesempatan mengikuti program pendidikan sesuai dengan minat,
bakat, dan kemampuan untuk mengembangkan profil manusia Indonesia seutuhnya, dan
(4) memperoleh kesempatan mengembangkan diri melalui proses pendidikan jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan tertentu (Ruslam, 2014).

c. Asas Kemandirian dalam Belajar


Dalam azas ini, peserta didik belajar tanpa bantuan pendidik, namun pendidik tetap
mendampingi dan mengarahkan proses pembelajaran. Azas ini mengacu pada pendekatan
student centered. Siswa aktif dalam menemukan pengetahuannya sendiri. Azas
kemandirian dalam belajar ini erat kaitannya dengan azas tut wuri handayani maupun asaz
belajar sepanjang hayat. Asaz tut wuri handayani berasumsi dari kemampuan peserta didik
untuk mandiri dalam belajar. Namun pendidik tidak lepas tangan, pendidik tetap sebagai
fsilitator jika dibutuhkan. Sedangkan azas sepanjang hayat juga berasumsi peserta didik
untuk mau dan mampu belajar mandiri. Karena jika peserta didim selalu bergantng pada
guru, tidak mungkin dapat belajar sepanjang hayat (Anshory & Utami, 2018).

Pada azas kemandirian dalam belajar menempatkan pendidik dalam peran utama sebagai
fasilitator dan motivator. Peran sebagai fasilitator mengharapkan pendidik untuk dapat
menyediakan dan mengatur sumber belajar yang dapat memudahkan peserta didik.
Sedangkan peran motivator mengharapkan pendidik untuk mengupayakan peserta didik
untuk mau memanfaatkan sumber belajar tersebut (Ruslam, 2014). Implementasi
kemandirian dalam belajar disekolah sebaiknya dimulai dalam kegiatan intrakulikuler.
Selanjutnta dapat dilanjutkan pada kegiatan kolikuler dan ekstrakurikuler. Sedangkan untuk
perguruan tinggi dapat dimulai dengan kegiatan tatap muka yang kemudian dikembangkan
dalam bentuk kegiatan terstruktur dan mandiri atau kegiatan kolikuler dan ekstrakurikuler.

Anda mungkin juga menyukai