Sejarah Klasifikasi Dan Strategi Perkembangan Ilmu
Sejarah Klasifikasi Dan Strategi Perkembangan Ilmu
ILMU PENGETAHUAN
Surajiyo
Dosen Tetap Universitas Indraprasta PGRI
Jakarta Email : drssurajiyo@yahoo.co.id
Ilmu pengetahuan tidak muncul secara mendadak, melainkan hadir melalui suatu proses mulai dari
pengetahuan sehari-hari dengan melalui pengujian secara cermat dan pembuktian dengan teliti
diperoleh suatu teori, dan pengujian suatu teori bisa dilakukan dan babak terakhir akan ditemukan
hukum-hukum. Filsafat sebagai manifestasi ilmu pengetahuan telah meletakkan dasar-dasar tradisi
intelektual yang diawali oleh filsuf-filsuf Yunani Kuno di abad ke 6 SM. Dalam perkembangannya
filsafat mengantarkan lahirnya suatu konfigurasi yang menunjukkan bagaimana cabang-cabang
ilmu pengetahuan melepaskan diri dari keterkaitannya dengan filsafat, yang masing-masing secara
mandiri berkembang menurut metodologinya sendiri-sendiri. Tulisan ini membahas tentang
kelahiran dan perkembangan ilmu, klasifikasi serta strategi pengembangan ilmu pengetahuan.
Kata kunci : Filsafat, Sejarah ilmu, klasifikasi ilmu, visi ilmu.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari
usaha-usaha manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun
untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, serta mengembangkan dan
melestarikan hasil yang sudah dicapai oleh manusia sebelumnya. Usaha-usaha tersebut
terakumulasi sedemikian rupa sehingga membentuk tubuh ilmu pengetahuan yang
memiliki strukturnya sendiri. Struktur tubuh ilmu pengetahuan bukan barang jadi, karena
struktur tersebut selalu berubah seiring dengan perubahan manusia baik dalam
mengindentifikasikan dirinya, memahami alam semesta, maupun dalam cara mereka
berpikir.
Ilmu bukan merupakan suatu bangunan abadi, karena ilmu sebenarnya merupakan
sesuatu yang tidak pernah selesai. Kendati ilmu didasarkan pada kerangka obyektif,
rasional, sistematis, logis, dan empiris, dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas
dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Dengan kata lain, kebenaran ilmu bukanlah
kebenaran mutlak. Itulah sebabnya manusia dituntut untuk selalu mencari alternatif-
alternatif pengembangan, baik yang menyangkut aspek metodologis, ontologis, aksiologis,
maupun epistemologisnya. Oleh karena itu setiap pengembangan ilmu yang dilahirkan,
validitas dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Muncul persoalan bagaimana
kelahiran, perkembangan, klasifikasi ilmu, dan strategi pengembangan ilmu itu ?
Aktivitas
Ilmu
Metode Pengetahuan
1
Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan
metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang
sistema- tis.
Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 ciri pokok :
1. Empiris. Pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan
2. Sistematis. Berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
3. Obyektif. Ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan
kesukaan pribadi.
4. Analitis. Pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok-soalnya ke dalam
bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan
peranan dari bagian-bagian itu.
5. Verifikatif. Dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.
Sedangkan Daoed Joesoef (1987) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu
pada tiga hal, yaitu : produk, proses, masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu
pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan.
Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung
kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji dan dibantah oleh seseorang.
Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan
demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana
yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini adalah analisis-
rasional, obyektif, sejauh mungkin ‘impersonal’ dari masalah-masalah yang didasarkan
pada percobaan dan data yang dapat diamati.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak-
tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu
universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang teratur.
Van Melsen (1985) mengemukakan ada delapan ciri yang menadai ilmu, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis
koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode) maupun harus (susunan
logis).
2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab
ilmuwan.
3. Universalitas ilmu pengetahuan.
4. Obyektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh obyek dan tidak didistorsi oleh
prasangka- prasangka subyektif.
5. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang
bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6. Progresivitas artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sungguh, bila
mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi.
7. Kritis, artinya tidak ada teori yang difinitif, setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan
kritis yang memanfaatkan data-data baru.
8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertauan antara teori
dengan praktis.
Dunia 1 Dunia 2
Kenyataan fisis Kenyataan psikis
Dunia dalam diri manusia
Dunia 3
Hipotesa,
Hukum, Teori
(ciptaan manusia)
c. Thomas S. Kuhn.
Thomas S. Kuhn berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat
revolusioner, bukan kumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu
pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan
contoh- contoh prestasi atau praktek ilmiah konkret. Menurut Kuhn cara kerja paradigma
dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut :
Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa
ilmu normal (normal science). Disini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan
mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan
mendalam. Dalam tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang
membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuwan
menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang
dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya itu, ini dinamakan
anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan
antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan
terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai
keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang sama dengan
memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa
memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari
paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Gambaran ketiga tahap tersebut dapat diskematisasikan sebagai berikut :
PARADIGMA
Dalam Masa Normal
Science ANOMALI
PARADIGMA BARU
Revolusi Ilmiah.
d. Jurgen Habermas.
Pandangan Jurgen Habermas tentang klasifikasi ilmu pengetahuan sangat terkait
dengan sifat dan jenis ilmu, pengetahuan yang dihasilkan, akses kepada realitas, dan tujuan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini Ignas Kleden menunjukkan tiga jenis metode
ilmiah berdasarkan sifat dan jenis ilmu seperti terlihat dalam bagan berikut :
Ignas Kleden menunjukkan pandangan Habermas tentang ada tiga kegiatan utama
yang langsung mempengaruhi dan menentukan bentuk tindakan dan bentuk pengetahuan
manusia, yaitu kerja, komunikasi, dan kekuasaan. Kerja dibimbing oleh kepentingan yang
bersifat teknis, interaksi dibimbing oleh kepentingan yang bersifat praktis, sedangkan
kekuasaan dibimbing oleh kepentingan yang bersifat emansipatoris. Ketiga kepentingan ini
mempengaruhi pula proses terbentuknya ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu empiris-
analtis, ilmu historis-hermeneutis, dan ilmu sosial kritis (ekonomi, sosiologi, dan politik).
Saran.
Upaya untuk mendalami sejarah dan strategi perkembangan ilmu adalah lewat
pemberian mata kuliah filsafat ilmu pada semua tingkat pendidikan tinggi baik Diploma,
Sarjana, maupun Magister, sebab mahasiswa adalah calon-calon ilmuwan yang akan
mengembangkan ilmu, supaya dalam perkembangan ilmu tidak terjerumus ke hal-hal yang
tidak diharapkan oleh manusia itu sendiri. Para ilmuwan harus taat asas dan patuh pada
norma-norma keilmuan, dan juga ilmuwan harus dilapisi moral dan akhlak, baik moral
umum yang dianut oleh masyarakat atau bangsanya maupun moral religi yang dianutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1988. Cetakan keenam.
Daoed Joesoef, ‘Pancasila Kebudayaan dann Ilmu Pengetahuan’, dalam Pancasila Sebagai
Orientasi Pengembangan Ilmu, Editor Soeroso Prawirahardjo, dkk., PT
Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 1987.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2000, Edisi Reformasi.
Koento Wibisono Siswomihardjo, ‘Ilmu Pengetahuan Kelahiran dan Perkembangan,
Klasifikasi serta Strategi Pengembangannya’ dalam Filsafat Ilmu Dan
Perkembangannya, Editor M. Thoyibi, Muhammadiyah University Press
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 1994.
Rizal Mustansyir, ‘Sejarah Perkembangan Ilmu’ dalam Filsafat Ilmu, Tim Dosen Filsafat
Ilmu Fak Filsafat UGM, Liberty bekerja sama dengan YP Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta, 1996.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia Suatu Pengantar, Bumi
Aksara, Jakarta, 2008, Cetakan ketiga.
Van Melson, AGM., Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab Kita, PT Gramedia,
Jakarta, 1985, Terjemahan K. Bertens, Judul asli “Wetenschap en
Verantwoondelijkheid”.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yayasan Studi Ilmu Dan Teknologi, Yogyakarta,
1987.