Tawa Gadis Padang Sampah
Ahmad Tohari
(Kompas, 21 Agustus 2016)
Korep, Carmi, dan Sopir Dalim adalah tiga di antara banyak manusia yang
sering datang ke padang pembuangan sampah di pinggir kota. Dalim tentu
manusia dewasa, sopir truk sampah berwarna kuning dengan dua awak.
Dia pegawai negeri, suka lepaspakai kacamatanya yang berbingkai tebal.
Carmi sebenarnya masih terlalu muda untuk disebut gadis. Korep anak
lakilaki yang punya noda bekas luka di atas matanya. Keduanya pemulung
paling belia di antara warga padang sampah.
Ketika Korep dan Carmi memasuki padang sampah bau busuk belum
begitu terasa. Sinar matahari masih terhambat pepohonan di sisi timur
sehingga padang sampah belum terpangpang. Nati menjelang tengah hari
padang sampah akan terjerang dan bau busuk akan menguap memenuhi
udara. Sopir Dalim sering mengingatkan Carmi dan Korep, jangan suka
berlamalama berada di tengah padang. “Sudah banyak pemulung
meninggal karena sakit, paruparunya membusuk,” katanya. Entahlah,
Sopir Dalim merasa perlu mengingatkan Carmi dan Korep. Dia sendiri tidak
tahu mengapa hatinya dekat dengan kedua anak itu; barangkali karena
Korep dan Carmi adalah dua pemulung paling bocah di padang sampah.
Belasan pemulung sudah berdiri berkerumun di sisi selatan. Mereka sedang
menunggu truk sampah datang. Ada pemulung perempuan memasang
puntung rokok di mulutnya. Lalu bergerak ke sanakemari meminta api.
Ada tangan terjulur ke arah mulutnya. Api menyala dan asap segera
mengepul. Tetapi perempuan itu kemudian berteriak. Rupanya tangan
lelaki pemegang korek api kemudian mencolek pipinya. Dia kejar si lelaki
dan balas mencubit punggungnya. Mereka bergelut. Mendadak muncul
tontonan yang meriah. Korep dan Carmi ikut bersoraksorak. Ada luapan
sukacita dan teriakanteriakan yang riuh. Begitu riuh sehingga burung
burung gereja yang sedang cari makan di tanah serentak terbang ke udara.
Seekor anjing yang merasa terusik segera menghilang di balik mesin
pengeruk sampah yang telah lama rusak, menjadi sampah juga.
Truk yang dibawa Sopir Dalim masuk. Dan dalam satu detik suasana
berubah. Kerumunan para pemulung buyar. Mereka berlari di belakang
sampai truk berhenti. Pada detik sampah tercurah terjadilah suasana yang
sangat ribut. Belasan pemulung termasuk Korep dan Carmi berubah
layaknya sekandang ayam kelaparan yang ditebari pakan; berebut, saling
desak, saling mendahului, saling dorong. Mereka berebut mengais sampah
mencari apa saja selain popok, kain pembalut atau bangkai tikus.
Korep mendapat dua mangga separuh busuk. Carmi ceritanya lain. Mata
Carmi terpana ketika ada barang jatuh dari bak truk menimpa kepalanya.
Itu satu sepatu sebelah kanan yang bagus ukuran tanggung. Carmi segera
mengambil sepatu itu. O, dia sering bermimpi memakai sepatu seperti itu.
Dalam mimpinya Carmi melihat betisnya amat bersih dan berisi, dan makin
indah karena bersepatu. Carmi sungguhsungguh berdebar. Dia makin
keras mengaiskais tumpukan sampah dengan tangan untuk menemukan
sepatu yang kiri. Keringat membasahi kening dan pipinya, tetapi Carmi
gagal. Maka dia menegakkan punggung dan melihat sekeliling; barangkali
sepatu yang satunya ada di sana. Atau ditemukan oleh pemulung lain.
Gagal juga. Maka Carmi berhenti lalu meninggalkan timbunan sampah. Dia
bahkan membuang kembali tiga gelas plastik bekas air kemasan yang
sudah didapatnya.
Di tepi padang sampah dia coba memasang sepatu itu pada kaki kanan.
Hatinya kembali berdebar karena sepatu itu terasa begitu nyaman di
kakinya. Dilepas dan dibersihkan dengan remasan kertas koran. Setelah
agak bersih dipasang lagi. Carmi berdiri, berputar dan mengangkatangkat
kaki kanan agar dapat memandang dengan seksama bagaimana sepatu itu
menghiasi kakinya. Sungguh, dia berharap besok atau kapan sepatu yang
kiri akan sampai juga ke padang sampah ini. Siapa tahu. Ya, siapa tahu.
Bukankah benda apa saja bisa sampai ke sini?
“Kita makan mangga saja. Ayo.” Ajak Carmi sambil memasukkan sepatu
yang hanya sebelah itu ke kantung plastik kuning. Korep nyengir, tetapi ia
merasa ajakan Carmi menarik juga. Maka Korep dan Carmi bergerak ke sisi
timur. Di sana ada pohon ketapang yang rindang. Korep mengeluarkan
pisau kecil pemberian Sopir Dalim. Satu mangga ada di tangan kiri. Dengan
sekali gerak tersayatlah mangga itu tepat pada batas yang busuk. Carmi
menatap permukaan sayatan yang berwarna kuning segar. Liur Carmi
terbit, tetapi kemudian bergidik karena ada dua belatung muncul di
permukaan sayatan. Korep tertawa, lalu membuat sayatan lagi, lebih ke
dalam. Kali ini bagian mangga yang busuk benarbenar hilang. “Siapa
bilang mangga separuh busuk tidak enak dimakan, iya kan?” Kata Korep
sambil menyodorkan satu iris daging mangga tanpa busuk kepada Carmi.
“Iya, kan?” Carmi hanya tertawa. Korep menatap deretan gigi Carmi yang
memang enak dilihat.
Tetapi gagasan Sopir Dalim yang cemerlang itu tidak usah dilaksanakan.
Beberapa hari setelah penemuan sepatu kanan oleh Carmi, Sopir Dalim
digoda oleh kedua pembantunya. Saat itu dia tengah mengemudikan truk di
jalan raya. Tibatiba di depan matanya, di luar kaca ruang kemudi ada
sepatu kiri yang bergerak turun naik. Pasti sepatu itu diikat dengan tali
panjang dan ujungnya dipegangi oleh pembantunya di bak truk. Dengan
sertamerta Sopir Dalim menginjak pedal rem. Bunyi derit ban menggasak
permukaan aspal. Di atas bak truk kedua pembantu terhuyung dan rubuh
ke depan.
“Kamu temukan di mana?”
“Ya di bak sampah depan rumah di Jalan Anu, nomer berapa, lupa.”
“Cukup. Di mana sepatu kiri ini kamu temukan bukan hal yang penting.”
Sopir Dalim berhenti bicara karena mau melepas kacamata dan
memakainya lagi. Kini dia memijitmijit dahi, terkesan sedang berpikir
keras. Perilaku Sopir Dalim membuat dua pembantunya bertanyatanya.
Mikir tentang apa lagi? Bukankah hanya tinggal satu hal: menyerahkan
sepatu kiri ini kepada Carmi?
“Nanti kamu yang menyerahkan sepatu ini kepada Carmi.” Ini perintah
Sopir Dalim kepada pembantu yang bercelana pendek. Yang ditunjuk
mengangkat muka karena agak terkejut.
“Sebaiknya Pak Dalim saja.”
“Ya betul, sebaiknya Pak Dalim saja,” kata pembantu yang bercelana
panjang. Dia mendukung temannya. Sopir Dalim mendesah lalu melepas
kacamata. Sebelum memakainya lagi dia berbicara dengan suara tertekan.
“Ah, kalian tidak tahu. Masalahnya, aku tidak sampai hati melihat Carmi
pada detik dia menerima sepatu ini. Carmi mungkin akan melonjaklonjak,
tertawatawa, atau bahkan menjeritjerit karena begitu girang. Barangkali
matanya akan berbinarbinar atau sebaliknya, berlinanglinang. Ah, hanya
karena sebuah sepatu bekas yang diambil dari tempat sampah hati Carmi
akan berbungabunga. Aku tidak akan tega menyaksikannya. Itu akan
terasa amat pahit di hati. Kalian bisa tega?”
Tanpa menunggu jawaban Sopir Dalim memutuskan lain. Sepatu kiri itu
akan ditaruh di bawah pohon ketapang di sisi timur. Carmi dan Korep biasa
berteduh di sana pada waktu tengah hari. Semua setuju, maka Sopir Dalim
melompat ke ruang kemudi dengan sepatu kiri itu di tangannya. Kedua
pembantu naik ke atas bak dan truk pun bergerak menuju padang sampah.
Saat matahari tepat di atas padang sampah semua pemulung menepi ke
empat sisi. Mereka akan menata hasil pemulungan, memasukkan ke dalam
karung atau mengikatnya dengan tali plastik. Carmi juga menepi. Dia
mendapatkan belasan gelas plastik bekas kemasan air minum, disusun rapi
sehingga mudah dibawa. Di tangan kiri masih ada kantung plastik kuning
berisi sepatu kanan. Beriringan dengan Korep yang membawa seraup
mangga separuh busuk, Carmi bergerak ke sisi timur menuju kerindangan
pohon ketapang.
Ketika udara di padang sampah amat panas, tanpa angin, bau busuk
mengembang ke manamana, burung gereja berdatangan, juga anjing
anjing; siapakah yang kemudian mendengar Carmi tertawa keras diikuti
teriakan hore berkalikali? Tawa keras itu terasa sebagai pelampiasan rasa
gembira berlebihan sehingga terdengar memilukan hati?
(https://lakonhidup.com/2016/08/21/tawagadispadangsampah)