Anda di halaman 1dari 16

REMAJA PEROKOK DAN KEHIDUPAN SOSIALNYA

Oleh:

Ni Luh Nyoman Kebayantini

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR, 2016

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, karena
berkat rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tulisan dengan judul “Remaja Perokok
dan Kehidupan Sosialnya”, dengan tepat waktu sesuai yang diharapkan.
Dalam tulisan ini secara garis besar penulis menyampaikan beberapa fakta remaja
menjadi seorang pecandu rokok dengan tiga peran agen sosial yaitu, keluarga, sekolah,
dan produsen rokok (iklan). Penulis juga memaparkan bagaimana pribadi seorang remaja
sebagai perokok aktif terhadap lingkungan sosialnya. Selanjutnya penulis menyampaikan
beberapa langkah yang hendaknya pantas diambil oleh semua pihak demi
terselesaikannya permasalahan merokok yang menjerat kaum penerus bangsa ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dari
narasumber dan teman-teman. Diskusi yang melelahkan kadang-kadang disertai tawa dan
ketegangan mewarnai setiap diskusi namun memberi wawasan dan informasi yang
sangat berharga untuk terwujudnya tulisan ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermafaat bagi pembacanya.
Om shanty, shanty, shanty, Om

Denpasar, 24 April 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………..….1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………….…….3
1.3 Metode…………………………………………………………………………….…..3

II PEMBAHASAN
2.1 Peran Sekolah dalam Kehidupan Kelompok Remaja……….……………….………..4
2.2 Peran Keluarga sebagai Pemicu Remaja Merokok …………………………………..6
2.3 Kontribusi Iklan Rokok terhadap Remaja sebagai Perokok….……………….………9
2.4 Pribadi Remaja sebagai Perokok Aktif…..…………………………………..………11

III KESIMPULAN……………………………………………………….……….….….13
DAFTAR PUSTAKA

3
REMAJA PEROKOK DAN KEHIDUPAN SOSIALNYA

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perilaku merokok penduduk di Indonesia sangat menarik berbagai kalangan dan
menjadi perbincangan dan diskusi, baik secara populer maupun akademis ilmiah.
Beragam hal yang melatarbelakangi dan mendorong orang menjadi perokok sehingga
membuat Indonesia menduduki peringkat teratas sebagai negara dengan konsumen rokok
tertinggi di Asia Tenggara (WHO, 2002). Lebih parah dan mengejutkan lagi adalah
bahwa perokok atau konsumen rokok tertinggi adalah remaja yang nantinya sebagai
generasi penerus bangsa, mengapa? Berkenaan dengan hal ini nampaknya terdapat
beberapa agen sosial sebagai pendorong perilaku merokok di kalangan remaja. Manusia
adalah individu sosial atau the social self , artinya manusia sebagai mahluk sosial
terbentuk karena lingkungan tempat ia tumbuh dan berkembang. Berkenaan dengan
perilaku merokok pada remaja sebagai individu social diungkapkan Smeth (Tauda, 2013)
dipengaruhi oleh beberapa agen yaitu, 46% teman sepermainan, 23% keluarga bukan
orang tua, dan 14% orang tua remaja itu sendiri Data tersebut menunjukkan besarnya
peran teman sepermainan dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.
Kesehariannya mereka seringkali menghabiskan waktu bersama dalam jangka waktu
yang cukup lama, baik untuk belajar bersama, bermain, maupun berkegiatan social di
masyarakat. Rutinitas kebersamaan ini secara signifikan mampu memberi pengaruh
antara satu dengan yang lainnya termasuk dalam hal merokok. Artinya, tidak mustahil
sosialisasi merokok didapatkan seorang anak dalam pergaulan dengan teman
sepermainannya.
Menilik lebih jauh terhadap fenomena remaja merokok tidak bisa dilepaskan
begitu saja dari sumbangan atau peran kaum kapitalis. Melalui tayangan iklan rokok
memang tidak menggambarkan secara langsung bagaimana merokok tersebut. Tetapi
secara tersirat menurut Levy mengungkapkan iklan ini akan mengkonstruksi pola pikir
remaja yang cenderung masih dalam kondisi labil. Hal ini dapat ditunjukkan dari
sejumlah tampilan iklan rokok yang selalu dan secara terus menerus mencekoki cara
pandang penikmatnya bahwa orang yang merokok adalah orang yang glamour dan gentle.
Penanaman ideologi ini semacam ini bagi orang yang tahu dan paham akan bahaya

4
merokok tidak dapat diterima bahkan telah menjadi suatu kekhwatiran. Sebaliknya, bagi
sebagain orang yang tidak paham dan pura-pura tidak paham akan bahaya rokok
dianggap sebagai komoditas biasa, nikmat, dan memberi ketenangan. Termasuk remaja,
pada umumnya mereka tidak menyadari hal tersebut karena tidak diimbangi pengetahuan
atau kekritisan dalam menonton ataupun menyimak iklan rokok. Peraturan yang berlaku
untuk produsen rokok dalam menyiarkan tayangannya sepertinya bukan sebuah hambatan
besar bagi mereka untuk mendistribusikan produksinya. Mengingat mereka tidak boleh
mempromosikan secara gamblang terkait produksinya maupun tentang mengonsumsi
rokok, mengakibatkan tim kreatif mereka memutar otak bagaimana cara menyerang pasar
namun tetap dengan mengikuti regulasi yang ada. Penanaman ideology secara halus lewat
tayangan iklan semacam inilah yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan. Secara
berkelanjutan, konstruksi pikiran yang sama dari satu individu akan akan ditiru individu
lainnya dan pada akhirnya menjadi ideologi atau perspektif yang sama dalam
kelompoknya. Sehingga merokok seolah-olah mejadi lifestyle remaja agar merasa
terpandang (Mertono dan Joeswana, 2008).
Pada tahap awal remaja mencoba rokok diawali ketika berkumpul dengan teman
sepermainannya. Menghisap rokok dilakukan secara sembunyi agar tidak tampak dan
ketahuan oleh orang tuanya, gurunya, atau orang yang lebih tua. Dilakukan bersama di
warung ketika mereka jajan, di kantin sekolah, bahkan di rumah (di dalam kamar yang
dikunci). Selanjutnya, mereka merokok secara berkala pada saat-saat tertentu, kemudian
dilakukan secara terus menerus dan pada akhirnya mereka kecanduan. Bagi mereka rokok
sudah menjadi sebuah candu. Sekalipun mereka mengetahui dampak jangka pendek
maupun panjang dari perilaku merokok, remaja seolah tidak peduli, mereka santai saja
dan cenderung menjadikan rokok sebagai bagian dari hidupnya dikarenakan efek candu
yang timbul akibat kandungan tar dalam rokok (Sampoerna, 2015). Remaja sebagai
perokok aktif, hanya menikmati sensasi kenyamanan sesaat yang diberikan ketika mereka
menghisap rokok, namun mengabaikan dampaknya. Selain itu, efek candu dalam tar
dapat saja hanya menjadi sebuah alat bagi remaja membenarkan dirinya tidak dapat
berhenti merokok. Lebih dari itu, rokok sebagai sebuah gaya hidup dan alat menunjukkan
jati diri adalah alasan mengapa remaja tidak mampu berhenti merokok dengan mudah.

5
Menariknya bahasan ini dan mengingat luasnya cakupan bahasan, penulis akan
memfokuskan bahasan mengapa remaja menjadi konsumer rokok tertinggi di Indonesia
serta bagaimana pribadi remaja sebagai perokok aktif tersebut. Untuk menganalisa,
penulis menggunakan perspektif Durkheim mengenai tindakan sosial, simulakra, dan
perspektif sosial lainnya, serta penulis menggunakan berbagai literatur terkait serta fakta
yang tersebar di lapangan sebagai data dalam menyusun tulisan ini.

1.2. Rumusan Masalah


Beranjak dari latar belakang yang dipaparkan di atas, maka masalah dalam tulisan
ini dapat dirumuskan ke dalam dua bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1. Mengapa remaja menjadi konsumer rokok tertinggi di Indonesia?
2. Bagaimana pribadi remaja sebagai perokok aktif?

1.3. Metode
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian sosial kualitatif.
Pemilihan metode penelitian ini, berkaitan dengan tujuan penulis agar dapat menganalisa
secara mendalam terkait dengan bahasan dalam tulisan ini, yaitu Remaja Perokok dan
Kehidupan Sosialnya. Selain itu, penulis menggunakan teknik pengumpulan data studi
pustaka dari berbagai literatur terkait, dan observasi sambil lalu yang dilakukan baik
secara sengaja maupun tidak dimana penulis berada.

II PEMBAHASAN
2.1 Peran Sekolah dalam Kehidupan Kelompok Sosial Remaja
Sekolah adalah institusi pendidikan formal yang memiliki tanggung jawab dalam
mendidik peserta didiknya. Para orang tua mempercayakan pendidikan anak-anaknya di
sekolah, baik pendidikan hard skill maupun soft skill. Hampir sebagian besar waktu
peserta didik dihabiskan di sekolah dengan harapan bahwa mereka akan bertumbuh dan
berkembang menjadi manusia yang sehat, cerdas, unggul, dan berkepribadian yang baik.
Berkenaan dengan itu, sekolah memikul tugas mulia sekaligus berat lebih-lebih di tengah
situasi yang mengusung kebebasan. Pihak sekolah akan berhadapan dengan sejumlah
peserta didik dengan beragam karakter dan keinginan yang harus diapresiasi dan
diakomodir.

6
Sebagai contoh sebuah perkumpulan anak muda di salah satu SMA negeri di Bali.
Anggotanya merupakan siswa dari sekolah tersebut, mereka tidak saja hanya berkumpul,
namun lebih dari itu, mereka telah menjadi layaknya sebuah organisasi yang memiliki
visi dan misi. Walaupun keberadaan mereka tidak diakui oleh sekolah, namun eksistensi
mereka tetap terjaga. Cara represif yang dilakukan oleh sekolah untuk menuntaskan
mereka sekiranya tidak cukup tepat. Pihak sekolah sepertinya melupakan latar belakang
terbentuknya kelompok tersebut. Faktor utamanya adalah ketidaknyamanan mereka
berada di rumah ataupun lingkungan keluarga. Banyak hal yang menyebabkan hal
tersebut terjadi seperti mereka tidak memiliki salah satu orang tua, orang tua sibuk
dengan pekerjaan, crash pemikiran dengan orang tua, dan masih banyak lagi. Mereka
seolah satu nasib dan akhirnya berkumpul dan melakukan aktifitas bersama tanpa adanya
proteksi dari orang tua ataupun pihak yang lebih dewasa dalam hal pemikiran.
Kondisi diatas, kurang lebih menggambarkan bagaimana peran sekolah sebagai
sektor pendidikan yang formal dan kaku. Sekolah, sepertinya tutup mata dan tutup telinga
terhadap hal tersebut. Sekolah hanya memikirkan tugas dan tanggungjawabnya sebatas
mendidik dalam arti menjejali “ilmu pengetahuan keras” dengan melupakan dan
meninggalkan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan soft sklill bagi anak
didiknya. Kurangnya pemahaman sekolah atas kondisi anak mengakibatkan
permasalahan tidak terselesaikan melainkan hanya dihilangkan dengan dominasi yang
dimiliki. Namun dampak dari dominasi tersebut ialah anak atau remaja atau siswa akan
melakukan perlawanan yang bersifat hidden transcript seperti yang diungkapkan oleh
James Scott (Nararya, 2015). Remaja dalam kelompoknya atau kerap disebut geng akan
lebih menunjukkan eksistensi serta kekuatan mereka dengan beragam hal. Semisal
dengan berkumpul atau nongkrong di suatu tempat dalam jangka waktu yang lebih lama,
menjaga solidaritas antar sesama kelompok, merupakan bentuk perlawanan mereka atas
dominasi yang menimpanya. Mereka merasa senasib, sama-sama mencari jalan keluar
dari persoalan yang tengah dihadapi dan akhirnya mereka pun menemukan jalan yang
sama yaitu dengan menghisap rokok. Rokok mampu memberi kenikmatan dan dapat
melupakan masalah yang sedang dihadapi walau hanya sesaat.
Perputaran kasus dengan siklus yang seperti ini, tidak akan pernah menemukan
titik terang karena pihak sekolah seolah salah langkah dalam menangani kasus ini.

7
Perlawanan yang terjadi tentu akan semakin menjadi-jadi dengan kata lain dosisnya
bertambah. Maka dari itu, sangat diperlukan penanganan yang lebih mendekat dari pihak
sekolah, seperti bimbingan konseling khusus bagi anak yang ingin berkonsultasi, atau
mewadahi mereka dan memberikan pengertian ataupun membantu masalah mereka
dengan berkoordinasi dan bekerjasama dengan orang tuanya.

2.2. Peran Keluarga Sebagai Pemicu Remaja Merokok


Sejak lama masalah merokok menculik perhatian publik di Indonesia. Hal ini
menjadi pantas mengingat remaja sebagai penyumbang terbesar perokok aktif di
Indonesia (WHO, 2002). Mengapa demikian, ada berbagai faktor yang memicu para
remaja untuk merokok. Anak pada masa remaja, memiliki kemampuan meniru atau
mengimitasi berbagai tindakan di sekitar lingkungannya, yang mengakibatkan remaja
bertindak atas pengaruh yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Imitasi yang diadopsi
dari lingkungan sekitar akan menjadi pembentuk pribadinya. Seperti halnya Weber
mengatakan bahwa tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain, dalam
hal ini lingkungannya (Upe, 2010). Terkait kasus merokok pada remaja ini, lingkungan
yang dimaksud mencakup lingkungan sosial baik teman sepermainan, teman sekolah,
termasik lingkungan keluarga.
Keluarga diakui Smeth sebagai faktor kedua sebab tindakan merokok pada remaja
(Tauda, 2013). Tetapi sebagai lembaga primer serta agen pembentuk diri anak, keluarga
memiliki peran penting untuk membantu anak menemukan jati diri mereka, seperti
halnya proses sosialisasi primer yang baik akan membentuk kepribadian anak dalam
bertindak. Orang tua menstransfer nilai dan norma dalam proses sosialisasi, baik secara
budaya setempat maupun universal dengan harapan anak akan melakukan suatu tindakan
berlandaskan nilai-nilai baik dan buruk tersebut (Martono dan Joeswana, 2008).
Termasuk dikemudian hari anak diharapkan akan dapat memilih pergaulan yang sesuai
dengan hasil dari proses sosialisasi keluarga yang diterimanya.
Berkaitan dengan pembentukan diri anak, jika proses sosialisasi tidak sempurna
dan orang tua cenderung mendidik anak dengan cara represif, maka tindakan yang
dilakukan anak selanjutnya akan mencerminkan perilaku yang diterimanya. Selain itu,

8
perlu diingat ketika anak menginjak usia remaja, secara tidak langsung fungsi proteksi
keluarga terhadap tindakan anak mulai memudar, dikarenakan pengaruh teman sebaya
atau kelompok. Maka dari itu, hubungan erat antara anak dan orang tua dan komunikasi
yang rutin sangat dibutuhkan oleh anak dalam prosesnya menjadi pribadi yang dewasa.
Smeth mengungkapkan perilaku merokok yang dilakukan oleh remaja karena
pergaulan kelompok atau teman sebaya, menjadi faktor tertinggi, yaitu 46 persen.
(Slideshare, 2013). Secara tersirat hal ini menggambarkan bahwa peran keluarga dalam
proses sosialisasi primer tidak berjalan maksimal. Merokok disini menggambarkan
tindakan “protes” anak terhadap orang tua akan tuntutan yang dibebankan dan stresnya
anak dalam suasana keluarga yang tidak harmonis (Martono dan Joeswana, 2008).
Akhirnya ketidaknyamanan atas berbagai faktor yang ada dalam keluarga mengakibatkan
remaja beralih untuk menghabiskan lebih banyak waktunya bersama kelompok. Hal ini
tentu berkaitan dengan proses sosialisasi yang tidak sempurna dari orang tua kepada
anaknya.
Proses sosialisasi tidak sempura dalam sebuah keluarga juga dapat diditunjukkan
dengan adanya anak-anak yang merokok disebabkan karena orang tua mereka sendiri
merokok. Artinya, anak yang memiliki orang tua merokok cenderung membuat dirinya
menjadi perokok juga karena sejak awal (kecil) telah terjadi proses imitasi. Anak akan
merasa merokok bukanlah hal yang menakutkan, sebaliknya itu merupakan gaya hidup
dan menganggap dirinya menjadi manusia modern. Dalam kasus merokok yang
merupakan sebuah gaya hidup, remaja pengonsumsi rokok akan merasa dirinya sebagai
manusia modern karena definisi modern dalam konteks remaja Indonesia umumnya
modern dalam gaya hidup yang kebarat-baratan termasuk perilaku merokok, bukan
modern dalam hal pemikiran yang maju dan berorientasi kedepan.
Remaja yang menghabiskan lebih banyak waktunya bersama kelompok akan
melakukan proses imitasi pula agar mampu diterima oleh kelompoknya serta merasa
bagian dari mereka, sama halnya dengan yang diungkapkan Bourdieu (Wattimena, 2012).
Selain agar mampu diterima oleh kelompok, remaja ingin mendapatkan ketenangan atas
kondisi keluarga yang tidak harmonis. Kondisi yang tidak harmonis dalam keluarga tentu
juga menghambat keinginan remaja untuk dipandang atau berperan dalam menunjukkan
diri serta kemampuannya. Karena dalam lingkungan keluarga, dirinya selalu merasa

9
tertekan, akhirnya remaja mencari solusi lain yaitu dalam lingkungan pertemanannya.
Inilah yang mengakibatkan remaja mendapatkan ketenangan dan pengakuan atas dirinya
dalam kelompok, merasa didengar, dianggap ada, serta diterima sebagai dirinya sendiri.
Dalam tahap ini, perilaku merokok masuk dan disosialisasikan di dalam kelompok, baik
secara manifest maupun laten oleh kelompoknya. Secara laten, remaja akan meniru apa
yang dilakukan anggota lainnya termasuk meniru merokok agar merasa menjadi bagian
darinya. Mereka akan meniru berawal dari mencoba dan akhirnya kecanduan dengan
rokok. Sebaliknya, banyak kelompok yang bersedia menerima anggota baru jika
anggotanya mau menjadi sama seperti mereka. Di dalam kelompok solidaritas dijunjung
tinggi dan mereka cenderung menganggap bahwa mereka memiliki pola pikir yang sama
termasuk dalam perilaku merokok.
Merokok yang diimitasi oleh remaja dari kelompoknya juga dirasa memberikan
dampak positif. Sensasi nikmat yang dihadirkan rokok memproduksi rasa tenang dan
nyaman bagi perokok (Kompasiana, 2014). Walaupun beribu-ribu zat adiktif yang
terkandung dalam rokok telah diketahui mengganggu kesehatan, merokok tetap dilakukan
sebagai pelarian atas masalah yang dialaminya. Merokok dalam konteks ini juga dapat
dikategorikan sebagai tindak perlawanan remaja kepada kondisi sosialnya di keluarga
secara tidak langsung (Martono dan Joeswana, 2008). Perlawanan secara tersembunyi
dilakukan akibat ketidakpuasan akan tuntutan yang ada dalam keluarga. Remaja yang
merasa tidak diperhatikan dan diberi banyak tuntutan oleh orang tua tidak mampu
melawan secara langsung karena adanya dominasi kekuasaan orang tua dikeluarga dan
kemungkinan adanya hubungan yang represif atas anak. Disini, pengertian dan perhatian
dari orangtua kepada anak cenderung kurang, sehingga memicu anak untuk mencari
perhatian di luar rumah.

2.3. Kontribusi Iklan Rokok terhadap Remaja sebagai Perokok


Menurut Jeremias Jena (Kasiyan, 2009: 149) dinyatakan bahwa iklan dipahami
sebagai aktivitas penyampaian pesan-pesan visual atau oral kepada khalayak dengan
maksud menginformasikan atau mempengaruhi orang untuk membeli barang-barang dan
jasa-jasa yang diproduksi. Sementara itu, Jamison Campbel (Hoed, 2001: 95)
menyatakan bahwa iklan dirancang sebagai penyampaian pesan untuk mempersuasi

10
khalayak sasaran tertentu untuk menerima penawaran produk, jasa, atau gagasan dengan
mengeluarkan biaya untuk ruang dan waktu ke dalam bentuk tertentu.
Iklan dalam media massa cetak atau elektronik di era global bukan wacana yang
langka dalam diskursus perihal kultur ekonomi capital dan budaya massa. Iklan di media
massa menjadi salah satu instrumen paling penting. Keberadaannya tidak lagi sekedar
sebagai elemen pelengkap dalam sistem industrialisasi dan kapitalisme. Dikatakan
demikian karena iklan telah terbukti mampu dan memiliki kekuatan dahsyat untuk
membujuk nafsu dan hasrat konsumen terhadap produk barang ataupun jasa melalui
serangkaian asosiasi ideology citra yang dibangunnya.
Guna mencapai tujuannya (baca: keuntungan) semua pengusaha melalui
produsennya berupaya untuk memroduksi iklan yang mampu menarik perhatian publik.
Tidak terkecuali pengusaha dan atau produsen iklan rokok. Berbagai iklan rokok tampil
dalam ruang mewah dengan menampilkan artis terkenal, gagah, tampan, elegan, dan
berwibawa. Dalam berbagai iklan rokok memang tidak ada secara tersurat kata-kata dan
atau kalimat ajakan untuk menikmati rokok. Dibalik semua itu, sejatinya iklan rokok
telah mampu mengkontruksi pikiran para pembaca dan atau pemirsanya dengan ideology
baru seperti yang diungkapkan Levy bahwa seorang perokok mendapat label bahwa
dirinya gentle dan glamour (Tauda, 2013). Ambil contoh misalnya iklan rokok pada
tayangan televise untuk beberapa jenis rokok Class Mild dan Djarum Coklat. Di dalam
tayangan iklannya produsen rokok memang tidak pernah menampilkan produk mereka
ataupun cara merokok secara gamblang. Hal ini ada keberkaitannya dengan peraturan
pemerintah.
Regulasi ini akhirnya mendorong produsen memutar kemampuan otak untuk
menelorkan idenya dalam mempromosikan produk mereka tanpa harus memperlihatkan
dan atau memperagakan cara mengonsumsi rokok. Ide kreatif ini membuahkan hasil iklan
rokok yang mampu menggiring orang tidak sekedar menikmati rokok tetapi sekaligus
mampu menciptakan ideologi baru, yaitu dengan mengonsumsi rokok dapat membuat
seseorang menjadi terlihat trendi dan kekinian. Seperti contoh iklan rokok seringkali
menunjukkan seorang pria yang kaya dan glamour dengan penampilan seperti pangeran,
pakaian jas ataupun bad boy yang digemari para wanita. Contoh lainnya dapat dilihat dari
slogan iklan Djarum Cokelat “Jangan Marah-Marah, Mari Ramah-Ramah, Djarum

11
Coklat” (Iklan TV, 2015). Secara gampang orang dapat mengartikan bahwa dengan
merokok orang tidak akan marah melainkan menjadi ramah. Atau dapat pula diberi arti
bahwa bilamana seseorang sedang marah ataupun dalam kondisi kacau, maka jika
mengonsumsi rokok akan dapat mngrubah suasana menjadi tenang dalam istilah lain
ramah. Apabila dicermati suasana tenang yang didapat setelah mengonsumsi rokok
berkaitan dengan efek zat adiktif dalam kandungan rokok.
Selain itu doktrin yang bersifat hidden juga terdapat dalam poster ataupun baliho
rokok. Di sana tersirat bahwa seorang perokok adalah seseorang yang mampu memilih
jalannya sendiri, menjadi seorang yang memiliki pemikiran berbeda dari orang pada
umumnya, dan berani melepaskan norma-norma yang ada di masyarakat. Dalam bahasa
berbeda, iklan rokok ingin mengajak dan menggiring orang untuk bisa dan berani
berbeda dari pandangan umum masyarakat. Oleh karena itu, iklan rokok perlu ditanggapi
secara kritis sebab doktrin yang termuat di dalamnya sangat halus dan sulit dipahami
tujuan utamanya.
Berbagai hal diatas akan melekat dan diingat oleh penonton (terutama remaja)
yang hanya taken for granted. Daya kritis sangat diperlukan dalam menyimak iklan, hal
ini untuk menghindari terjadinya pergeseran makna atas rokok, dari rokok yang
berbahaya menjadi menyingkirkan bahaya merokok demi pribadi yang terkesan lebih
modern. Kehadiran iklan dengan penanaman ideologi sedemikian rupa mengakibatkan
remaja pada masa pubertasnya mengabaikan dan menyingkirkan kesehatannya dan lebih
mengutamakan “kemodernan” yang diciptakan iklan. Berbagai dampak atas iklan yang
tampil di televisi dan atau media lainnya mengharuskan orang tua maupun anak agar
lebih kritis memfilter lagi tujuan dari iklan tersebut. Berpikir secara kritis dan tidak
mengonsumsi mentah-mentah informasi termasuk iklan di media sangat dibutuhkan.

2.4. Pribadi Remaja Sebagai Perokok Aktif


Tindakan merokok pada remaja yang telah menjadi kebiasaan bahkan candu,
memang tidak terlepas dari faktor lingkungan pembentuknya. Masalah didalam keluarga,
pengaruh kelompok, dan iklan akhirnya berdampak dan urun membentuk pribadi dan
perilaku remaja. Tuntutan orang tua yang dibebankan untuk anak namun tidak diimbangi

12
oleh kemampuan pribadi anak, akan mengakibatkan anak stress. Selain itu, proses
sosialisasi atau transfer nilai norma yang tidak sempurna juga memicu anak merasa tidak
nyaman dalam lingkungan keluarga di rumahnya dan akhirnya mencari pelarian (Martono
dan Joeswana, 2008). Berbagai faktor tersebut, mendorong anak mencari kenyamanan
diluar lingkup rumah yaitu dengan teman sebaya atau kelompok.
Pribadi anak yang telah sampai pada zona nyaman mereka yaitu teman sebaya
menjadi liku yang rumit jika proteksi keluarga melemah (Martono dan Joeswana, 2008).
Pada kondisi ini, anak yang tumbuh menjadi seorang remaja akan mengenal dunia luar
yang bebas mencari kenyamanan serta ketenangan dengan tingkat yang lebih tinggi lagi.
Akhirnya remaja akan mengikuti kelompok yang telah dipilihnya untuk merokok dengan
dua latar belakang, yaitu pertama agar diterima didalam kelompok dan kedua, adanya
kenikmatan yang ada dalam kandungan rokok. Sensasi nikmat yang tercipta,
mengakibatkan remaja terlupa dari masalah hidupnya. Sekalipun remaja mengetahui
bahwa bahaya rokok bukan hanya bagi kesehatan pribadi mereka namun juga bagi
perokok pasif yang ada disekitarnya.
Kebiasaan merokok dengan cara seperti ini akan menyebabkan anak terjerumus
dalam lubang kebiasaan yaitu, lari dari masalah. Remaja yang telah terbiasa mendapatkan
ketenangan dalam masalahnya secara instan akan terus membutuhkan dosis yang lebih
tinggi dari sebelumnya. Bukan tidak mungkin, remaja pengonsumsi rokok akan terjerat
dalam jaringan narkoba karena membutuhkan dosis penenang yang lebih tinggi lagi. Ini
akan menimbulkan ketidakdewasaan pola pikir remaja jika tidak ada yang mengendalikan
mereka. Di dalam tataran ini diharapkan kepedulian semua pihak terhadap persoalan ini
selalu harus ditumbuhkan sehingga perilaku merokok pada remaja dapat diminimalkan
jika tidak bisa ditiadakan sama sekali.
Sebagai perokok pasif, memang lebih berbahaya dari perokok aktif. Hal ini
dikarenakan kandungan asap sampingan akan terus ada jika rokok tersebut dalam kondisi
terbakar (Sitepoe, 2000). Pada kondisi ini, remaja sebagai perokok aktif memiliki tingkat
kepedulian dan jiwa sosial yang sangat rendah, karena tidak menghiraukan dampak dari
perilaku mereka. Tentu saja sikap ini terbentuk karena faktor sosialisasi dan penanaman
pemahaman yang kurang dari orang tua.

13
Sikap acuh tak acuh remaja perokok aktif kepada perokok pasif juga merupakan
pengaruh dari orang tua yang tidak secara maksimal menjalankan perannya (Martono dan
Joeswana, 2008). Orang tua yang menerapkan cara represif terhadap anaknya akan
menekan anak dalam berpendapat atau menolak keinginan orang tua, yang dianggap tidak
mampu dipenuhi. Tindakan represif dan keras, akan menurun pula pada pola tingkah laku
anak dalam kesehariannya. Selain itu, sikap orang tua yang tidak peduli terhadap anak,
dan sibuk pada urusannya sendiri, menyebabkan anak menadapat perhatian dan
pendidikan yang minim. Pribadi anak harus diisi dengan benar, bukan hanya dilarang dan
diberi hukuman jika melanggar, tetapi memberikan pengertian mengapa hal itu dilarang.
Jika diterapkan secara represif, anak tidak akan mengerti bahwa perilaku merokok
berdampak hebat, terlebih mengorbankan orang lain. Jika cara represif tetap diterapkan,
maka akan terbawa kepada pribadi anak terhadap lingkungannya nanti. Permasalahan ini,
akan menjadikan remaja tumbuh dengan jiwa sosial dan tingkat sensitifitas yang rendah
terhadap lingkungan sekitarnya.

III KESIMPULAN
Masalah merokok pada remaja, pada dasarnya bermula dari sosialisasi primer di
lingkup keluarga yang tidak sempurna. Hubungan keluarga yang tidak harmonis, orang
tua yang terlalu sibuk, dan tuntutan yang dibebankan kepada anak, menjadikan anak tidak
mendapatkan perhatian yang cukup. Hal ini mendorong anak mencari ketenangan dan
kenyamanan diluar lingkup keluarga. Dalam hal ini, merokok sebagai tindakan
perlawanan atau hidden transcript dari anak terhadap tekanan di keluarga. Kelompok
teman sepermainan, akhirnya menjadi zona nyaman remaja tersebut. Pada kondisi ini,
jika remaja memilih kelompok yang cenderung dengan latar belakang yang sama,
perilaku merokok mulai memengaruhi remaja.
Dalam perjalanan dengan kelompok atau gengnya, remaja akan merasa dihargai
dan didengar, menjadikan anak nyaman dengan kondisi ini, terlebih sensasi kenikmatan
yang diciptakan oleh tar rokok. Namun, walaupun remaja mengetahui dampak dari
merokok bagi diri mereka, remaja tidak peduli dengan perokok pasif sekitarnya, sehingga
mengakibatkan jiwa sosial dan sensitifitas remaja sangat rendah terhadap lingkungan.
Selain itu, memudarnya fungsi lembaga pendidikan (baca: sekolah) dalam hal kepedulian

14
terhadap pribadi anak, serta hanya memikirkan eksistensi dari sekolah itu sendiri,
mengakibatkan pihak sekolah mengambil langkah yang tidak tepat dalam mengatasi
permasalahan ini. Menggunakan cara represif dalam menyelesaikan perilaku negatif
siswa di kelompok mereka, hanya akan memperkeruh suasana. Maka dari itu, sangat
diperlukan pemaksimalan fungsi kontrol keluarga dan sekolah bagi pertumbuhan remaja
dalam proses pencarian identitas mereka.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hoed, Benny H. 2007. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Kasiyan. 2008. Manipulasi dn Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta:


Penerbit Ombak.

Martono, L.H, Joewana, S. 2008. Peran Orang Tua dalam Mencegah dan Menanggulangi
Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: Balai Pustaka.

Tauda, Y.A, dkk. 2013. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Remaja Merokok.


http://www.slideshare.net/yhulialfiani/karya-ilmiah-1828368.

Wattimena, R.A.A. 2012. Berpikir Kritis Bersama Pierre Bourdieu.


http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-
pemikiran-pierre-bourdieu/.

Sitepoe, dr. Drh. Mangku. 2000. Kekhususan Rokok Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Kompasiana. 2014. Ini Dia Penyebab Seorang Merokok.


http://www.kompasiana.com/topkoktshirt/ini-dia-penyebab-seseorang-
merokok_54f6e9d5a333118b548b4c39.

Nararya. 2015. Memainkan Jurus Publik Transkrip dan Hidden Transkrip.


http://www.kompasiana.com/nararya1979/2015

Iklan TV Indonesia. 2015. Iklan Djarum Coklat Filter 2015.


https://www.youtube.com/watch/2015.

16

Anda mungkin juga menyukai