Anda di halaman 1dari 49

PROPOSAL

PERBANDINGAN EFEK SHOCK WAVE THERAPY DENGAN HOLD


RELAX TERHADAP PERUBAHAN NYERI DAN PENINGKATAN
RANGE OF MOTION PADA PASIEN OSTEOARTHRITIS

OLEH :

Andi Irham

P062201023

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2021

i
PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN SHOCK WAVE THERAPY YANG DI


KOMBINASIKAN DENGAN HOLD RELAX TERHADAP PERUBAHAN
NYERI DAN PENINGKATAN RANGE OF MOTION PADA PASIEN
OSTEOARTHRITIS

Disusun dan diajukan oleh :

Andi Irham

P062201023

Menyetujui
Komisi Penasehat,

Prof.Dr.dr.Wardihan Dr. Djohan Aras, S.Ft.Physio.,M.Kes


Ketua Anggota

Mengetahui
Ketua Program Studi
Ilmu Biomedik

Dr. dr. Ika Yustisia, M.Sc

ii
LEMBAR PENGESAHAN

SEMINAR USULAN PENELITIAN

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Shock Wave Therapy Yang Di


Kombinasikan Dengan Hold Relax Terhadap Perubahan
Nyeri Dan Peningkatan Range Of Motion Pada Pasien
Osteoarthritis.

Nama : Andi Irham

NIM : P062201023

Program Studi : Ilmu Biomedik

Konsentrasi : Fisiologi

DISETUJUI
PEMBIMBING,
KETUA SEKRETARIS

Prof.Dr.dr.Wardihan Dr. H. Djohan Aras, S.Ft.Physio.,M.Kes

Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik

Dr. dr. Ika Yustisia, M.Sc

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah ESWT yang telah

melimpahkan segala rahmat, hidayah dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Pengaruh Pemberian Shock Wave

Therapy Yang Di Kombinasikan Dengan Hold Relax Terhadap Perubahan

Nyeri Dan Peningkatan Range Of Motion Pada Pasien Osteoarthritis “

Disamping memiliki kesempatan untuk belajar dan memperoleh ilmu, tak

jua luput dari berbagai kendala yang penulis rasakan, yang hanya berkat bantuan

dari berbagai pihak, maka tesis ini dapat selesai pada waktunya. Oleh karenanya,

dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan ucapan terima kasih

dan penghargaan yang tulus dan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA selaku Rektor Universitas Hasanuddin

atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan

Program Magister di Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

2. Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di

Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

iv
Prof. Dr. dr. H.Budu,Sp.M,Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran yang

menerima penulis sebagai bagian dari mahasiswa dilingkungan Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

3. Dr. dr. Ika Yustisia, M.SC selaku Ketua Program Studi Biomedik, yang telah

memberikan arahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis selama

mengikuti pendidikan Program Magister di Pascasarjana Universitas

Hasanuddin.

4. dr. M. Aryadi Arsyad, M.BiomedSc, PhD selaku Ketua Konsentrasi Fisiologi

Program Studi Biomedik Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

5. Dr. dr.H. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes selaku pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, kesempatan berkonsultasi serta arahan-arahan yang

sangat berguna selama penyusunan hingga penyelesaian proposal ini.

6. Dr. H. Djohan Aras, S.Ft, Physio, M.Kes selaku Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, kesempatan berkonsultasi serta arahan-arahan yang

sangat berguna selama penyusunan hingga penyelesaian proposal ini.

7. Seluruh dosen beserta staf Program Studi Biomedik Konsentrasi Fisiologi

Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

8. Seluruh staf dan pegawai RSKD Dadi Makassar.

9. Rekan-rekan Mahasiswa Biomedik Konsentrasi Fisiologi angkatan 2021 yang

telah banyak memberikan bantuan dan dukungannya yang namanya tidak

dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan banyak terima kasih .

Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan kemampuan, pemahaman dan

pengalaman dalam penulisan proposal ini, oleh karena itu saran dan kritik

v
yang membangun sangat penulis harapkan sehingga tulisan ini dapat lebih

baik dan bermanfaat.

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i

PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN.........................................................ii


LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
DAFTAR ISI..........................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
2.1. Tinjauan Umum Tentang Osteoarthritis.......................................................7
2.2. Tinjauan Tentang Shockwave Therapy.......................................................12
2.3. Tinjauan Tentang Hold Relax.................................................................18
2.4. Tinjauan tentang Nyeri................................................................................24
2.5. Tinjauan tentang Range of Motion..............................................................27
2.5.1. Defenisi Range of Motion (ROM)...........................................................27
2.5.2. Alat ukur Range of Motion.......................................................................28
2.6. Kerangka Teori...........................................................................................28
2.7. Kerangka Konsep........................................................................................29
2.8. Identifikasi Variabel Penelitian...................................................................29
2.9. Definisi Operasional Variabel.....................................................................30
2.10. Hipotesis....................................................................................................30
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................32
3.1 Desain Penelitian..........................................................................................32
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................32
3.3 Populasi........................................................................................................33
3.4 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel.......................................................33
3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi..........................................................33

vii
3.6 Alat dan Bahan.............................................................................................34
3.7 Izin Penelitian dan Kelaikan Etik.................................................................34
3.8 Teknik Pengumpulan Data...........................................................................35
3.9 Prosedur Kerja..............................................................................................35
3.10 Alur Penelitian...........................................................................................37
3.11 Analisis Data..............................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Upaya manusia di bidang kesehatan pada era pembangunan telah

membawa perubahan konsep pelayanan kesehatan. Konsep pelayanan

kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik individu

maupun masyarakat dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu kesehatan

secara profesional dan proporsional, karena masalah kesehatan bersifat

kompleks dan dinamis. Hal tersebut dapat kita lihat pada saat ini seperti

masalah pergeseran pola penyakit dari penyakit menular ke pola penyakit

tidak menular termasuk penyakit degeneratif, dalam pelayanannya

memerlukan kolaborasi antar disiplin untuk menunjang upaya patient safety

(Efendi & Makhfudli, 2010)

Osteoarthritis menurut American College of Rheumatology adalah

kumpulan kondisi heterogen yang yang dialami oleh sendi. Osteoarthritis

merupakan penyakit degenerative dan progresif yang mengenai 2/3 orang

yang berumur lebih dari 65 tahun, dengan prevalensi 60,5% pada pria dan

70,5% pada wanita. Seiring meningkatnya angka harapan hidup,masalah

osteoarthritis sering kali banya dialami oleh seseorang dengan umur yang

lebih tua. Karena sifatnya yang kronik progresif, osteoarthritis berdampak

sosio ekonomik yang besar di Negara maju dan di Negara berkembang (AS.,

2015)

1
OA, sering disebut sebagai penyakit sendi degeneratif, adalah penyakit

paling umum yang mempengaruhi sendi yang menahan beban. Kerusakan

tulang rawan artikular biasanya lebih terlihat di medial daripada aspek lateral

lutut. Sepertiga dari individu yang lebih tua dari usia 65 memiliki bukti

radiografi OA. Nyeri, kelemahan otot, kelemahan sendi medial, dan

keterbatasan gerakan sendi mempengaruhi fungsi dan menyebabkan

kecacatan. Deformitas seperti genu varum biasanya berkembang di lutut.

Ketidakstabilan lutut (sensasi lutut tertekuk atau bergeser) juga sering

dilaporkan oleh individu dengan OA lutut dan secara signifikan berkontribusi

pada gangguan fungsi fisik (Kisner et al., 2017).

Setiap sendi dapat mengalami OA, tetapi yang paling sering adalah

sendi lutut (Dillon et al., 2006). Problem utama dalam penatalaksanaan nyeri

pada OA adalah oleh karena belum jelasnya patomekanisme terjadinya OA,

sehingga sampai saat ini penatalaksanaan nyeri pada OA masih belum

mencapai hasil yang memuaskan (Arendt-Nielsen & Hoeck, 2011).

Perubahan patofisiologi berupa nyeri, kekakuan sendi dan kelemahan

otot yang menimbulkan gangguan fungsi sendi pada OA ialah karena adanya

proses degenerasi tulang rawan pada ujung persendian yang menyebabkan

gerakan sendi tidak stabil berupa intra-articular stiffness yang akan

menimbulkan reaksi, seperti penurunan limfosit yang ditemukan dalam serum

petanda kerusakan kartilago dan sinovisitis yang menimbulkan nyeri gerak

dan kekakuan sendi. Dari proses tersebut di atas memicu kelemahan otot yang

2
pada akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi sendi lutut pada OA (Ishijima

et al., 2011)

Faktor resiko, patofisiologi dan gambaran klinik OA telah banyak

diperbincangkan. Berbagai macam cara telah dilakukan untuk menghambat

progresivitas OA yang menimbulkan nyeri, kekakuan sendi dan gangguan

fungsi otot sendi agar aktivitas kehidupan sehari-hari penderita OA tidak

berkurang. Namun demikian, hingga saat ini hal tersebut belum memberikan

hasil terapi yang maksimal.OA terus menjadi penyebab utama morbiditas dan

biaya perawatan kesehatan di AS dan di seluruh dunia. Mungkin ada fenotipe

klinis OA yang berbeda yang mencerminkan mekanisme penyakit yang

heterogen. Berbagai faktor risiko tingkat orang dan tingkat sendi telah

dikaitkan dengan perkembangan dan perkembangan penyakit. Sementara

banyak dari faktor risiko ini sulit diubah, beberapa mungkin lebih dapat

menerima intervensi medis dan perilaku(Vina & Kent Kwoh, 2018)

 Fisioterapi merupakan bagian dari disiplin ilmu kesehatan yang

bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan ditujukan kepada individu

atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak

dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan

penanganan secara manual (Exercise therapy, antara lain Hold Relax),

peralatan listrik (fisik, elektris, dan mekanis) serta komunikasi terapeutik.

Mdalitas yang bisa digunakan dalam kasus osteoarthritis adalah shock wave

therapy yang di kombinasikan dengan hold relax,friction dan interferential

theraphy

3
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas maka peneliti merumuskan

rumusan masalah sebagai berikut:

Apakah ada perbedaan efek shock wave therapy dengan hold relax

terhadap perubahan nyeri dan peningkatan range of motion pada pasien

osteoarthritis?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat


dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut.Apakah ada perbedaan
efek ESWT dan hold relax terhadap perubahan nyeri dan peningkatan
range of motion pada pasien osteoarthritis

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Diketahui adanya perubahan efek antara sebelum dan setelah


diberikan hold relax terhadap perubahan nyeri dan
peningkatan range of motion pada pasien osteoarthritis.
1.3.2.2 Diketahui adanya perubahan efek antara sebelum dan setelah
diberikan shock wave therapy terhadap perubahan nyeri dan
peningkatan range of motion pada pasien osteoarthritis
1.3.2.3 Diketahuinya interfensi yang lebih efektif terhadap

perubahan terhadap perubahan nyeri dan peningkatan range

of motion pada pasien osteoarthritis.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Pengembangan Keilmuan

4
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan

penelitian lebih lanjut dan kepada yang berminat untuk

mengembangkan penelitian ini dalam lingkup yang sama.

1.4.2 Manfaat Aplikatif

1.4.2.1 Dapat menjadi pola kombinasi terapi elektro dan terapi

latihan yang efektif dalam mengurangi nyeri dan

meningkatkan range of motion pada pasien osteoarthritis.

1.4.2.2 Menambah rujukan dalam penerapan praktis dibidang

pelayanan fisioterapi, khususnya dalam dalam mengurangi

nyeri dan meningkatkan range of motion pada pasien

osteoarthritis.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tentang Osteoarthritis

2.1.1 Definisi Osteoarthritis

Osteoarthritis adalah suatu gangguan pada persendian yang ditandai

dengan adanya peradangan diserati nyeri dan gangguan pada komposisi sendi

dan seringkali terjadi pada orang yang berusia lanjut yang meyebabkan

ketidak mampuan dalam beraktifitas sehari-hari, Osteoartritis yang kronis

akan menyebabkanTerjadinya proses pelemahan dan disintegrasi yang terjadi

pada kartilago yang baru (Anisa Ika Pratiwi, 2015)

OA, sering disebut sebagai penyakit sendi degeneratif, adalah penyakit

paling umum yang mempengaruhi sendi yang menahan beban. Kerusakan

tulang rawan artikular biasanya lebih terlihat di medial daripada aspek lateral

lutut. Sepertiga dari individu yang lebih tua dari usia 65 memiliki bukti

radiografi OA Nyeri, kelemahan otot, kelemahan sendi medial, dan

keterbatasan gerakan sendi mempengaruhi fungsi dan menyebabkan

kecacatan. Deformitas seperti genu varum biasanya berkembang di lutut.

Ketidakstabilan lutut (sensasi lutut tertekuk atau bergeser) juga sering

dilaporkan oleh individu dengan OA lutut dan secara signifikan berkontribusi

pada gangguan fungsi fisik (Kisner et al., 2017). .

2.1.2. faktor penyebab Osteoarthritis

Sebelumnya OA dianggap sebagai konsekuensi normal dari


penuaan dan konsekuensi mekanis dari "keausan," sehingga mengarah
pada istilah penyakit sendi degeneratif . Namun, sekarang disadari bahwa

6
OA dihasilkan dari multifaktorial, interaksi kompleks faktor konstitusional
dan mekanik, termasuk integritas sendi, kecenderungan genetik,
peradangan lokal, kekuatan mekanik, dan proses seluler dan
biokimia(Perry et al., 2015)

2.1.3. Klasifikasi Osteoarthritis

Menurut Kellgren dan Lawrence dalam pemeriksaan radiologi


diklasifikasikan sebagai berikut (Kohn, M. D., Sassoon, A. A., & Fernando,
2016)

a. Grade 0: normal, tidak tapak adanya tanda-tanda Osteoarthritis


pada radiologi.
b. Grade 1: Ragu-ragu tanpa osteofit
c. Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar
sendi
d. Grade 3: Sedang, terdaat ruang antar sendi yang cukup besar.
e. Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi
yang lebar dengan sclerosis pada tulang subchondral

2.1.4. Etiologi Osteoarthritis

Sebelumnya OA dianggap sebagai konsekuensi normal dari penuaan

dan konsekuensi mekanis dari "keausan," sehingga mengarah pada

istilah penyakit sendi degeneratif . Namun, sekarang disadari bahwa OA

dihasilkan dari multifaktorial, interaksi kompleks faktor konstitusional dan

mekanik, termasuk integritas sendi, kecenderungan genetik, peradangan

lokal, kekuatan mekanik, dan proses seluler dan biokimia(Perry et al., 2015)

a. Usia

7
Prevalensi dan derajat beratnya adalah pararel dengan bertambah

usia setengah dari lansia diatas usia 65 tahun secara radiologist terkena

osteoarthritis lutut .secara epidemiolik gender laki-laki dan wanita pada

usia 45-55 tahun terkena osteoarthritis sama jumlahnya. Pada usia

diatas 55 tahun wanita lebih banyak terkena osteoarthritis. Bertambah

usia fungsi dari kartilago akan berkurang elastisitasnya ,ini akan

menyebabkan gangguan fungsi dan gerak tubuh. Fungsi utama dari

kartilago adalah sebagai bantalan dimana tulang bertemu dan bergerak.

b. Obesitas

Kelebihan berat badan (kegemukan) akan menyebabkan

pembebanan yang berlebihan pada sendi yang banyak menumpu berat

badan . Dalam hal ini sendi lutut, pembebanan tersebut merusak

kartilago dimana apabila kerusakan lebih cepat daripada

kemampuannya untuk memperbaiki diri sendiri, maka akan terjadi

penipisan tulang rawan dan akan kehilangan pelumas sehingga kedua

tulang akan bersentuhan. Gesekan terus menerus bias menimbulkan

peradangan jaringan sekitarnya dan akan menimbulkan rasa sakit.

c. Jenis Kelamin

Gender laki-laki dengan perempuan pada usia 45-55 mempunyai

resiko yang sama untuk terjadi osteoarthritis lutut, tetapi pada usia 55

tahun keatas wanita lebih berisiko karena berhubungan dengan

menophose. Pada periode ini hormone estrogen sudah tidak berfungsi

lagi, sementara salah satu fungsi dari hormon estrogen adalah

8
mempertahankan massa tulang. Bentuk tubuh perempuan juga

mempengaruhi osteoarthritis lutut, dimana dengan beranjaknya usia

lemak tubuh menumpuk di bagian pinggul dan perut, secara anatomis

akan memberikan beban yang berlebih di bagian lutut.

d. Aktivitas fisik

Adanya stess yang berkepanjangan pada lutut seperti pada

olahragawan dan pekerjaan yang telalu banyak menumpu pada lutut

seperti membawa beban atau berdiri yang terus menerus, mempunyai

resiko lebih besar terkena osteoarthritis lutut.

e. Riwayat trauma langsung maupun tidak langsung dan immobilisasi

yang lama.

f. Penyakit sendi yang lain

Arthritis karena infeksi sendi akut maupun kronis seperti pada

TBC sendi. Infeksi tersebut akan menimbulkan reaksi peradangan dan

mengeluarkan zat algogen yang merupakan iritan radang oleh jaringan

yang rusak.

2.1.3. Diagnosis Osteoarthritis

Untuk mengetahui diagnosa, bisa diketahui dari riwayat penyakit

pemeriksaan klinis, dan foto rongsen jika diperlukan. Analisa darah

diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya sepsis atau peradangan akibat

artritis. (Lespasio et al., 2017)

Kriteria oasteoartritis meliputi : (1) nyeri sendi lutut beberapa hari

sampai beberapa bulan, (2) adanya krepitasi, (3) kaku sendi lutut pada

9
pagi hari kurang dari 30 menit, (4) umur penderita lebih dari 38

tahun,adanya pembesaran tulang, (6) hasil laboratorium menunjukan

leukosit PNM lebih dari 2000/mm³, (7) pada hasil rongsen ditemukan

osteofit. Dikatakan pasien menderita osteoartritis bila memenuhi criteria

1 & 7, atau 1,2,3, dan 6.

2.1.4. Patofisiologi Osteoarthritis

Osteoartritis merupakan suatu kegagalan sendi yang disebabkan oleh ke

tidak seimbangan fisiologi dan mengakibatkan kerusakan sendi. Osteoartritis

lutut ditandai dengan penurunan kadar proteoglikan yang nyata dari matriks

rawan sendi, perubahan ukuran dan agregasi proteoglikan, kerusakan struktur

jaringan kolagen dalam matriks dan peningkatan sintesis dan degradasi

molekul-molekul matriks. Sifat mekanis rawan sendi berubah sehingga

terbentuknya kista. Enzim-enzim penghancur yang berperan pada kerusakan

rawan sendi diduga berasal dari kondrosit. Proteoglikan rawan sendi bebas

yang terlepas dari rawan sendi yang rusak dapat merangsang timbulnya

peradangan synovial (Pradeep Kumar Sacitharan, 2019) Pada kondisi

osteoartritis lutut terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:

a. Degradasi rawan sendi

Peristiwa degradasi rawan sendi akibat dari ketidak seimbangan

antara regenerasi dengan degradasi rawan sendi yang melalui beberapa

tahap yaitu fibrilasi, pelunakan, perpecahan dan pengelupasan lapisan

rawan sendi. Proses ini dapat berlangsung cepat atau lambat. Akhirnya

permukaan sendi menjadi botak tanpa rawan sendi.

10
b. Pembentukan osteofit

Bersamaan timbulnya degradasi rawan sendi, timbul reparasi

berupa pembentukan osteofit di tulang subkondral.

c. Skelerosis subkondral

Terjadi pemadatan (sklerosis) tulang yang berada tepat di bawah

lapisan kartilago yang mulai rusak.

d. Sinovitis

Sinovitis adalah peradangan pada synovial yang terjadi akibat

proses sekunder degenerasi dan fragmentasi. Ini disebabkan matriks

kartilago sendi yang putus dari kondrosit menyimpan proteoglikan yang

bersifat imunologenik dan mengaktifkan leukosit. Sinovial berpengaruh

pada peningkatan cairan rawan sendi, sehingga cairan sendi yang

mengandung bermacam-macam enzim akan tertekan kedalam celah-

celah rawan sendi dan menimbulkan kantung yang disebut kista

subkondral yang mempercepat terjadinya kerusakan pada kartilago

sendi.

2.2. Tinjauan Tentang Shockwave Therapy

2.2.1. Pengertian ESWT

Shockwave Therapy (ESWT) adalah prosedur non-invasif di mana

gelombang akustik berdenyut tunggal, atau sonik, dihasilkan di luar tubuh,

dan difokuskan pada lokasi tertentu di dalam tubuh sebagai modalitas

terapeutik (Ioppolo et al., 2014).

2.2.2. Type ESWT

11
Ada berbagai jenis ESWT: ESWT terfokus, ESWT tidak fokus atau

radial, serta ESWT de-fokus. ESWT ekstrakorporeal awalnya menggunakan

ESWT terfokus (van der Worp et al., 2011). ESWT terfokus disebut terfokus

karena medan tekanan dihasilkan yang menyatu dalam fokus yang dapat

disesuaikan pada kedalaman tertentu dalam jaringan tubuh di mana tekanan

maksimal tercapai (van der Worp et al., 2013).

ESWT terfokus dihasilkan oleh perangkat elektro-hidraulik,

elektromagnetik, dan piezoelektrik. Energi akustik terkonsentrasi di titik

jaringan target yang terdefinisi dengan baik, dengan volume fokus yang

bervariasi, kedalaman penetrasi, tingkat Kepadatan Fluks Energi (EFD) dan

energi total yang diberikan (Romeo et al., 2014). Penggunaan ESWT

terfokus, terutama ketika tingkat energi tinggi digunakan, memerlukan

identifikasi yang akurat dari area yang akan dirawat. Hal ini memungkinkan

efek terapeutik yang paling menguntungkan, dan menghindari kerusakan

jaringan di sekitarnya. Untuk tujuan ini, panduan radiografi atau ultrasound

diperlukan. Dalam pengobatan cedera jaringan lunak yang mudah ditemukan,

umpan balik pasien biasanya cukup untuk melokalisasi area tersebut (Romeo

et al., 2014).

ESWT tidak fokus atau radial adalah bentuk ESWT ekstrakorporeal.

Ini mengacu pada medan tekanan divergen yang memiliki efek lebih dangkal

pada jaringan daripada ESWT terfokus yang mencapai energi maksimal

dalam fokus yang terletak lebih dalam ke jaringan (van der Worp et al.,

12
2013). ESWT radial atau gelombang tekanan dihasilkan oleh generator

pneumatik, yang sifat fisiknya berbeda secara signifikan dari ESWT terfokus.

Tekanan linier, nilai energi rendah, kecepatan propagasi yang relatif

rendah dan, yang terpenting, durasi waktu naik yang singkat, membedakan

gelombang radial dari ESWT terfokus. Dalam generator ESWT radial, udara

terkompresi menyerang peluru yang terkandung dalam silinder. Di bagian

atas silinder ini adalah aplikator yang bersentuhan dengan kulit selama

perawatan. Energi yang dihasilkan oleh gelombang tekanan paling tinggi di

permukaan kulit, menyimpang dan melemah saat menembus lebih dalam

(Romeo et al., 2014).

ESWT de-fokus dihasilkan oleh perangkat elektromagnetik dan

elektro-hidraulik yang mengubah gelombang akustik menjadi gelombang

planar atau menjadi gelombang de-fokus (fokus lembut), yang

mempertahankan karakteristik fisik yang sama, tetapi mengirimkan energi ke

area permukaan yang lebih besar. Kedalaman penetrasi jelas akan lebih

rendah dan oleh karena itu, penggunaan terapeutik terbatas pada lesi

superfisial seperti ulkus kulit (Romeo et al., 2014).

2.2.3. Efek Biologis ESWT

Mekanisme di mana sinyal akustik diubah menjadi reaksi biologis tidak

sepenuhnya dipahami. Mekanisme potensial termasuk neovaskularisasi awal

dengan angiogenesis yang tahan lama dan fungsional. Selanjutnya,

perekrutan sel punca mesenkim, proliferasi dan diferensiasi sel yang

distimulasi, dan efek antiinflamasi dan antimikroba serta penekanan nosisepsi

13
dianggap sebagai faktor penting dari respons biologis terhadap gelombang

kejut terapeutik (Hayashi et al., 2012).

Transmisi gelombang kejut atau gelombang tekanan menyebabkan efek

pada jaringan. Transformasi energi fisik menjadi respons biologis mirip

dengan proses kaskade. Pertama lampiran kerangka sel diaktifkan, yang

mengarah pada pelepasan mRNA dari inti sel. Ini diikuti oleh aktivasi organ

sel seperti mitokondria dan retikulum endoplasma dan vesikel sel, yang

melepaskan protein spesifik dari proses penyembuhan. Kelompok penelitian

Wang menunjukkan beberapa mekanisme kerja yang sesuai dengan gagasan

transduksi-mekano ini, seperti yang disebut kaskade oleh pengguna ESWT

2.2.3.1. Regenerasi Jaringan

ESWT ekstrakorporeal menginduksi regenerasi jaringan dan

memfasilitasi penyembuhan tendon setelah trauma, serta secara signifikan

meningkatkan neovaskularisasi dan pengurangan pembentukan adhesi (Orhan

et al., 2014). Gelombang kejut secara mikroskopis menyebabkan respons

biologis interstisial dan ekstraseluler serta regenerasi jaringan (Notarnicola et

al., 2012). Ada kemungkinan untuk berhipotesis bahwa mekanotransduksi

adalah dasar dari respon biologis terhadap impuls gelombang kejut.

Mekanotransduksi adalah mekanisme di mana sel reaktif mengenali dan

merespons rangsangan mekanis, mengubah gaya fisik menjadi sinyal

biokimia. Mekanotransduksi merangsang protein pengikat matriks

ekstraseluler dan nukleus melalui sitoskeleton yang menghasilkan respons

yang mengarah ke regenerasi jaringan. Studi ilmu dasar histologis, biokimia,

14
dan imunologi terkini telah sangat memajukan pemahaman tentang

bagaimana gelombang kejut mempengaruhi regenerasi jaringan. Efek ini

termasuk peningkatan neovaskularitas, pelepasan faktor pertumbuhan yang

dipercepat, penghambatan saraf selektif, perekrutan sel induk osteogenik, dan

penghambatan molekul yang berperan dalam peradangan (Ioppolo et al.,

2014).

2.2.3.2. Pengeluaran growth hormon

Sebuah studi oleh Notarnicola dan Moretti (Notarnicola et al., 2012),

telah menunjukkan bahwa ESWT dapat meningkatkan jumlah neovessel pada

sambungan tendon-tulang normal, melalui pelepasan faktor pertumbuhan dan

beberapa zat aktif lainnya. Bukti pertama bahwa shockwave ekstrakorporeal

mendorong perbaikan tendinitis bertepatan dengan peningkatan TGFb1 dan

IGF-I. Faktor pertumbuhan ini telah ditemukan untuk mengatur biosintesis

matriks ekstraseluler oleh tenosit. Telah diusulkan bahwa peningkatan respon

mitogenik dan anabolik jaringan tendon dapat bertanggung jawab atas

keberhasilan klinis pengobatan gelombang kejut dalam menyelesaikan

patologi tendon. Tenosit dapat merespons rangsangan mekanis dengan

meningkatkan ekspresi gen TGF-b1. Temuan ini tampaknya mengindikasikan

bahwa jaringan tendon dapat mengubah stimulasi shockwave menjadi sinyal

biokimia melalui pelepasan faktor pertumbuhan untuk perbaikan tendonitis.

2.2.3.3. Penurunan Nyeri

Tendon yang sehat relatif avaskular. Neovaskularisasi dan neonatus

yang menyertainya telah dihipotesiskan menjadi sumber nyeri pada

15
tendinopati kronis (Tol et al., 2012). Gelombang kejut meningkatkan

neovaskularisasi yang merangsang pembentukan neonatus yang dapat

menjelaskan alasan peningkatan nyeri awal dengan terapi gelombang kejut.

Ketika nyeri pengobatan awal mereda ada analgesia sekunder. Pereda nyeri

dengan gelombang kejut ekstrakorporeal dapat bekerja dengan analgesia

hiperstimulasi; stimulasi berlebihan pada area yang dirawat akan

menyebabkan penurunan transmisi sinyal ke batang otak (van der Worp et al.,

2013).

2.2.3.4. Penghancuran Calsifikasi

Telah diusulkan bahwa efek terapeutik gelombang kejut pada tendinopati

kalsifikasi adalah bahwa peningkatan tekanan dalam fokus terapeutik

menyebabkan efek fragmentasi dan kavitasi di dalam kalsifikasi amorf dan

menyebabkan disorganisasi dan disintegrasi endapan (Mouzopoulos et al.,

2017).

2.2.3.5. Bone Remodelling

Efek gelombang kejut pada jaringan tulang diperkirakan terjadi terutama

pada antarmuka antara tulang kortikal dan kanselus. Diperkirakan bahwa

aliran akustik menyebabkan kavitasi dan meningkatkan permeabilitas sel

yang memungkinkan peningkatan vaskularisasi dan regenerasi tulang. Lebih

khusus lagi, peningkatan sel stroma tampaknya memungkinkan terjadinya

osteogenesis. Selain itu, peningkatan sel osteoprogenitor ditambah dengan

peningkatan lokal dalam faktor pertumbuhan, neovaskularisasi dan sintesis

protein menunjukkan bahwa gelombang kejut dapat meningkatkan

16
lingkungan jaringan agar penyembuhan terjadi (Thigpen, 2011). Percobaan

pada hewan menunjukkan penyembuhan patah tulang terstimulasi, dan

penyelidikan histologis mengkonfirmasi pengaruh gelombang kejut pada

aktivasi osteoblas dengan terkait peningkatan kepadatan tulang (Mittermayr

et al., 2012).

2.3. Tinjauan Tentang Hold Relax

2.3.1 Pengertian Hold Relax

Menurut (Hindle et al., 2012) Hold Relax merupakan salah satu

bagian dari teknik PNF(Proprioceptive,Neuromuscular, dan Facilitation).

PNF terdiri dari kata Proprioceptive, Neuromuscular, dan Facilitation.

Proprioceptive adalah reseptor sensorik yang memberikan informasi

tentang gerakan dan posisi tubuh, Neuromuscular adalah melibatkan saraf

dan otot, sedangkan Facilitation adalah membuat menjadi lebih mudah.

Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) merupakan konsep

pengobatan yang memiliki prinsip dasar tertentu yaitu:

a. PNF (Proprioceptive Neuromuscular Facilitation)merupakan suatu

pendekatan yang terintegrasi ; setiap pengobatan diarahkan total tubuh

manusia, bukan pada problem spesifik atau problem segmen tubuh

b. Pendekatan dari pengobatan ini adalah selalu positif, memperkuat

kembali dan menggunakannya sehingga pasien dapat melakukan,

dengan level fisik dan psikologis yang ada.

c. Tujuan utama dari seluruh pengobatan adalah membantu pasien

mencapai level fungsi yang paling tinggi.

17
Sedangkan prinsip dasar untuk Facilitation adalah :

1) Tahanan ; bertujuan untuk menuntun kontraksi otot dan kontrol

motorik, untuk meningkatkan strength (kekuatan), serta menuntun

motor learning.

2) Irradiation dan reinforcement ; menggunakan penyebaran respon

untuk stimulasi.

3) Manual contact ; bertujuan untuk meningkatkan power dan

mengarahkan gerakan dengan pegangan dan tekanan.

4) Posisi tubuh dan mekanik tubuh ; sebagai pengarah/penuntun dan

kontrol gerakan atau stabilitas.

5) Verbal (perintah) ; menggunakan kata-kata dan volume vokal yang

tepat untuk mengarahkan pasien.

6) Penglihatan ; menggunakan penglihatan untuk mengarahkan

gerakan dan meningkatkan gaya otot.

7) Traksi atau aproksimasi ; pemanjangan atau kompresi pada anggota

gerak dan trunk untuk memfasilitasi gerakan dan stabilitas.

8) Stretch ; menggunakan pemanjangan otot dan stretch refleks untuk

memfasilitasi kontraksi dan menurunkan kelelahan otot.

9) Timing ; mempermudah terjadinya normal timing dan

meningkatkan kontraksi otot melalui “timing for emphasis”.

10) Pola gerak ; gerakan massal yang sinergis, komponen-komponen

gerakan normal yang fungsional.

18
Hold Relax merupakan suatu teknik atau metode yang menggunakan

kontraksi isometrik yang optimal dan kelompok otot antagonis yang

memendek, dilanjutkan relaksasi otot tersebut (prinsip reciproke

inhibition) sehingga pemberian tahanan pada kelompok otot yang

mengalami ketegangan. Pada saat fisioterapis mengaplikasikan tahanan

terhadap kontraksi pasien maka diharapkan terjadi kontraksi isometrik

pada otot yang tegang(Mada, 2013)

Berdasrkan penelitian Leksonowati et al., (2016) dengan

menggunakan Hold relax pada keterbatasan sendi bahu akibat frozen

shoulder yang diterpakan 3kali seminggu memberikan dampak signifikan

terhadap peningkatan ROM, hal ini dikarenakan teknik holdreileks

memiliki mekanisme aktif inhibisi yang bermanfaat dalam peningkatan

jarak gerak sendi dan kekuatan otot. Peningkatan jarak gerak sendi

(ROM) dicapai melalui efek autogenic inhibisi dimana otot yang tegang

karena nyeri akan menjadi rileks sehingga mudah dilakukan mobilisasi

sendi atau pemanjangan otot. Peningkatan kekuatan otot dapat dicapai

melalui efek kontraksi isometrik yang diaplikasikan sebelum dilakukan

mobilisasi sendi atau pemanjangan otot.

2.3.2 Autogenik Inhibisi

Ketika suatu otot berkontraksi sangat kuat, terutama jika ketegangan

menjadi berlebihan maka secara tiba–tiba kontraksi menjadi terhenti dan

otot relaksasi. Relaksasi ini menjadi respon terhadap ketegangan yang

sangat kuat, yang disebut dengan inverse stretch refleks atau autogenik

19
inhibisi dan menyesuaikan dengan hukum kedua Sherrington yaitu jika

otot mendapat stimulasi untuk berkontraksi maka otot antagonis menerima

impuls untuk relaksasi.Reseptor yang penting dalam inverse stretch refleks

adalah golgi tendon organ yang terdiri atas kumpulan anyaman dari ujung–

ujung saraf yang menonjol diantara fasikula tendon. Serabut–serabut dari

golgi tendon organ meliputi serabut saraf group 1b bermyeline yang

merupakan serabut saraf sensorik penghantar cepat yang berakhir pada

medulla spinalis pada neuron–neuron inhibitor (interneuron inhibitor) yang

kemudian berakhir langsung dengan neuron motorik. Serabut saraf

tersebut juga mangadakan hubungan fasilitasi/eksitasi dengan neuron

motorik yang mempersarafi otot antagonis.(Adler, Susan and Dominiek,

2014)

Dengan demikian, kontraksi otot yang kuat akan merangsang golgi

tendon organ dari otot yang sama dan impuls tersebut berjalan ke medula

spinalis pada interneuron inhibitor yang kemudian menghasilkan respon

inhibisi yang dikirim kembali ke otot yang bersangkutan melalui serabut

saraf motorik sehingga kontraksi tersebut akan diikuti dengan relaksasi

dari otot yang bersangkutan.(Adler, Susan and Dominiek, 2014)

2.3.3 Tujuan Hold Relax

a. Perbaikan rileksasi pada otot antagonis atau otot yang spasme/tightness

b. Perbaikan mobilisasi

c. Penurunan nyeri

d. Peningkatan jarak gerak sendi

20
2.3.4 Indikasi dan Kontra Indikasi Hold Relax

a. Indikasi Hold Relax

1) Nyeri

2) Keterbatasan ROM

3) Kelemahan otot

b. Kontraindikasi Hold Relax

1) Pasien yang tidak mampu melakukan isometrik kontraksi

2) Pasien yang mengalami gangguan kesadaran

2.3.5 Efek Hold Relax Terhadap Peningkatan ROM

Hold Relax dapat meningkatkan jarak gerak sendi melalui

pencapaian relaksasi pada otot yang spasme atau tightness. Pada teknik ini

terjadi perangsangan melalui kontraksi maksimal dari kelompok otot yang

tegang sehingga diharapkan terjadi kontraksi sejumlah motor unit secara

maksimum dan simultan (secara bersamaan). Setelah mencapai kontraksi

yang maksimal, maka pada saat yang sama pasien diminta untuk relaks.

Hal ini merupakan teknik aktif inhibisi yang dapat menghasilkan

penurunan ketegangan otot. Keuntungan dari teknik aktif inhibisi adalah

pemanjangan otot lebih nyaman pada saat dilakukan stretching atau saat

dilakukan mobilisasi sendi. Teknik aktif inhibisi merupakan teknik dimana

pasien dapat relaks secara refleks sebelum dilakukan mobilisasi sendi atau

selama aplikasi stretching. Melalui teknik Hold Relax akan terjadi

penurunan ketegangan otot disekitar sendi, sehingga akan lebih mudah

21
dilakukan mobilisasi sendi untuk meningkatkan jarak gerak sendi lutut

(Kisner et al., 2017).

22
2.4. Tinjauan tentang Nyeri

Menurut Internasional For The Study Of Pain, nyeri adalah pengalaman

sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan

jaringan atau berpotensi terjadinya kerusakan atau menggambarkan adanya

kerusakan jaringan. Nyeri juga akan merupakan pertanda adanya gangguan

pada jaringan tubuh. (Sari et al., 2018).

Kebanyakan nyeri akan segera sembuh ketika stimulus nyeri telah

dihilangkan dan tubuh kembali sehat, tapi kadang-kadang nyeri terus

berlanjut walaupun stimulasi nyeri telah dihilangkan dan tubuh tampak sudah

sehat, dan kadang-kadang nyeri muncul tanpa adanya stimulus, kerusakan,

atau penyakit yang terdeteksi,Nyeri yang merupakan tanda dan gejala

osteoartritis lutut timbul karena adanya kemampuan sistem saraf untuk

mengubah berbagai stimulasi mekanik, kimia, termal dan elektris menjadi

potensial aksi yang dijalarkan ke sistem saraf pusat. Nyeri merupakan respon

normal tubuh terhadap kerusakan jaringan.(Bahrudin, 2018)

Keluhan nyeri osteoartritis lutut yang lain berasal dari menebalnya

ligamen, kapsul, kartilago, fibrotik tunika fibrosa, sinovitis,kelemahan otot,

peningkatan vena karena kista di subchondral bone dan bentukan osteofit

baru maupun deformitas sendi. Kesemuanya itu akan meningkatkan tekanan

pada sensoris nerve ending sehingga ujung saraf teriritasi. Dari beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit osteoartritis lutut

minimal tiga faktor yang berpengaruh diantaranya faktor usia, faktor mekanik

dan faktor metabolik (Rahayu et al., 2013).

23
Nyeri pada osteoartritis dibagi beberapa tingkatan yang dapat

dimodulasi: melalui modulasi receptor, modulasi tingkat spinal, tingkat supra

spinal dan tingkat sentral. Reseptor yang menerima stimulus yang bersifat

nociseptiv, terletak pada kulit, tendon, otot, ligamen, kapsul sendi dan tunika

fibrosa. Tranduksi pada nyeri osteoartritis lutut adalah terstimulasinya

reseptor nyeri pada struktur periosteum, kapsul sendi, ligamen dan tendon

yang secara klinis tranduksi nyeri lutut sangat dominan didaeraah mediodistal

sendi lutut atau region pas anserinus yang merupakan pertemuan insersio

otot-otot sartorius, grasilis dan adductor longus. Persarafan sendi lutut dan

struktur jaringan yang membungkus persendian tersebut adalah secara

fisiologis sama, yaitu dari segmen lumbal 3-4. Dengan kata lain aktifasi

nosiseptor pada osteoartritis lutut akan menunjukkan gejala spasme otot

disekitar sendi lutut.(Putra, 2017)

Transmisi nyeri bersumber pada jaringan sekitar sendi lutut akan

diteruskan keserabut saraf pembawa nyeri (afferen tipe A-delta dan tipe C

atau tipe III b dan tipe IV). Selanjutnya menuju ke tanduk belakang, sehingga

sel sensoris pada tanduk belakang akan teraktivasi dan meningkat

sensitivitasnya. Tanduk belakang yang menerima informasi nosiseptif dari

sendi lutut juga merupakan region yang menerima input dari kulit, otot, faset

sendi pada segmen yang sama dengan persarafan somatik (osteoartritis lutut

mendapat inervasi somatik dari segmen lumbal 3 dan 4). Dari proses

transmisi maka secara klinis memungkinkan bahwa nyeri lutut dapat dirujuk

24
ke regio lumbal atau sering disebut dengan istilah pseudoradikuler (Bahrudin,

2018)

2.5. Tinjauan tentang Range of Motion

2.5.1. Defenisi Range of Motion (ROM)

ROM adalah teknik dasar yang digunakan untuk pemeriksaan gerakan

dan untuk memulai gerakan ke dalam program intervensi terapeutik. Gerakan

yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas fungsional dapat dilihat,

dalam bentuk yang paling sederhana, sebagai otot atau kekuatan eksternal

yang menggerakkan tulang dalam berbagai pola atau rentang gerakan. Ketika

seseorang bergerak, kendali rumit atas aktivitas otot yang menyebabkan atau

mengontrol gerakan tersebut berasal dari sistem saraf pusat. Tulang bergerak

satu sama lain pada sendi. Struktur persendian, serta integritas dan kelenturan

jaringan lunak yang melewati persendian, mempengaruhi jumlah gerakan

yang dapat terjadi antara dua tulang. Gerakan penuh yang dimungkinkan

disebut ROM (Kisner et al., 2017).

2.5.2. Alat ukur Range of Motion

Pengukuran ROM bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

keterbatasan untuk sendi lutut. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan

menggunakan goniometer dan dapat diukur pada gerak aktif maupun pasif,

dan mengacu pada kriteria ISOM normal dimana LGS sendi dextra (aktif) S

= 0°-0°-90° (pasif) = S = 0°-0°-120°, knee sinistra (aktif) S=0°-0°-90°,

(pasif) S = 0°-0°-120°. Pada pengukuran LGS sendi knee dextra dan knee

25
sinistra ini dilakukan secara aktif dan pasif. Gerakan pasif dilakukan setelah

gerakan aktif.

2.6. Hubungan antara shock wave theraphy dengan hold relax terhadap
perubahan nyeri dan peningkatan ROM pada Osteo artritis

Metode pengobatan terkini dengan menggunakan ekstrakorporeal

shock wave theraphy ( EESWT) terhadap kondisi Osteoartritis,dengan

memakai gelombang akustik transien dorongan tunggal yang diinduksi oleh

generator pneumatik, elektrohidraulik, elektromagnetik, ataupun

piezoelektrik yang berpusat pada zona yang butuh perawatan mampu

mengurangi nyeri dan perbaikan pada jaringan dan tulanhg rawan articular

serta tulang subklondral pada lutut yang mengalami Osteoartritis (Ji et al.,

2016) hal yang berbeda diugkapkan oleh Zhong et al., (2019) meyatakan

bahwa Pengobatan 4 minggu dengan menggunakan EESWT dosis rendah

lebih unggul daripada plasebo untuk meredakan nyeri dan perbaikan

fungsional pada pasien dengan osteoarthritis lutut ringan sampai sedang

akan tetapi memiliki beberapa efek negatif pada tulang rawan artikular.

penelitian yang dilakukan oleh(Kang et al., 2018) menyimpulkan

bahwa EESWT adalah merupakan modalitas yang efektif dan pengobatan

non-invasif pada pasien dengan keluhan Osteoartritis hal ini dibuktikan

dengan penurunan nilai nyeri dengam menggunakan vas dari skala nilai 8,5

dan setelah diberikan EESWT sedlama dua minggu terjadi perubahan nilai

VAS menjadi 2,0 sehingga dengan berkurangnya nyeri akan mampu

menambah luas gerak pada persendian.

26
Hold Relax merupakan metode latihan dengan kontraksi otot secara

optimal dengan gerakan isometric yang dilanjutkan dengan rileksasi dari

golongan otot tersebut ( prinsip reciprocal inhibition dengan mengulur serta

menaikkan LGS knee Joint pada arah bertentangan dengan otot itu). Tujuan

dari hold relax merileksasikan pola antagonis, memperbaiki aktivasi,

mengurangi rasa nyeri, serta meningkatkan Lingkup gerak sendi (Yulianto,

2013)

Tehnik latihan dengan menggunakan hold relax merupakan konsep

dari Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) yang bertujuan

untuk streng dan endurance muscle, serta memfasilitasi stabilitas, mobilitas,

control dari neuromuscular dan koordinasi gerakan serta sebagai dasar

untuk perubahan fungsi. Efek yang terjadi seperti timbulnya autogenic

inhibition dan reciprocal innervations saat hold relax diberikan, kontraksi

antagonis yang terjadi menyebabkan otot lebih mudah diulur sehingga

mencegah kekakuan otot akibat respon perlindungan terhadap jaringan otot

yang sakit (Kisner et al., 2017).

ESWT dan Hold Relax memberikan efek terhadap penurunan nyeri

dan peningkatan lingkup gerak pada sendi yang mengalami gangguan

seperti Osteoartritis dengan mekanisme fisiologis dari kedua latihan

tersebut hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakuakan oleh

Leksonowati et al., (2016) pada pasien dengan gangguan OA pada bahu

yang nilai awalanya dari 143,7200 ± 11,310 sebelum perlakuan menjadi

27
154,500 ± 8,320 sesudah perlakuan dengan selisih rata-rata sebesar 10,80 ±

3,150 .

28
2.6. Kerangka Teori

Osteoartritis interfensi fisioterapi

Penyebab OA EESWT Holdrileks


Usia
Obesitas
Jenis kelamin Sinyal akustik menjadi reaksi biologis Autogenik Inhibisi
Aktivitas fisik
Jika otot agonis terfasilitasi maka otot antagonis akan rileksasi
Riwayat trauma langsung

Patofisiologi OA
Degradasi
sang golgi tendon organ impuls berjalan rawanspinalis
ke medula sendi pada interneuron inhibitor
Regenerasi jaringan respon inhibisi yang dikirim kembali ke otot yang bersangkutan
menghasilkan
Pembentukan osteofit
Sclerosis subkondral
Sinovitis Pengeluaran growth
hormon

Penghancuran
Nyeri dan keterbatasn klasifikasi
ROM

Bone remodeling

Penurunan nyeri

Peningkatan ROM dan penurunan nyeri

VAS

ROM geniometer

29
2.7. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini digambarkan secara singkat pada

gambar berikut:

Variabel Independent Variabel Antara variabel dependent

EESWT Metabolic reaction Perubahan nyeri


Hold Rilex Fisiologi Nyeri Range Of motion

Variabel perancu

1. Obat medika mentosa

2.8. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel, yaitu variabel

bebas, variabel antara, dan variabel terikat, yang secara rinci diuraikan sebagai

berikut:

a. Variabel bebas meliputi ESWT & Hold Relax

b. Variabel terikat adalah nyeri dan range of motion.

2.9. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian

ini diuraikan pada tabel.

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur


Variabel Bebas
ESWT adalah suatu prosedur / Frekuensi: 3x/Minggu

30
tindakan tindakan terapi Intensitas: 3 set. 8 rep/
dengan menggunakan kegiatan
gelombang kejut dengan Time: 5 menit
frekuensi latihan 3 kali Type: ESWT
seminggu.
Hold Relax merupakan teknik Frekuensi: 3x/Minggu
penguluran yang diawali Intensitas: 3 set. 8 rep/
dengan kontraksi isometrik kegiatan
otot antagonis dengan Time: 10-15 menit
frekuensi latihan 3 kali Type: isometric exercise
seminggu.
Variabel Terikat
Nyeri Nyeri adalah perasaan sakit Visual Analogue Scale
atau tidak enak yang (VAS)
dirasakan oleh penderita
osteoarthritis
Range Of Range of motion adalah Goniometer
Motion lingkup gerak sendi lutut
penderita osteoarthritis,
baik secara aktif maupun
pasif

2.10. Hipotesis

Berdasarkan kajian teoritis dan rumusan masalah, maka hipotesis

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Terdapat perbedaan efek shock wave therapy dan hold relax

terhadap peningkatan range of motion pada pasien osteoarthritis..

31
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain


randomized pretest-post test two group. Desain kelompok sampel penelitian
dapat dilihat pada 3.1.

Desain penelitian ini menggunakan pretest – postest two group design

O1 X1 O1’

O2 X2 O2’
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian

Gambar 3. 1 Desain Kelompok Sampel Penelitian

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan november sampai bulan

desember 2021, yang diawali dengan pengumpulan sampel hingga

pemeriksaan variabel pasca intervensi.

3.2.2 Tempat Penelitian

Pengumpulan sampel dilakukan di Rumah Sakit Khusus Provinsi

Sulawesi Selatan Dadi (Stroke Center) Makassar.

3.3 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien osteoarthritis yang dirawat

di Rumah Sakit Khusus Provinsi Sulawesi Selatan Dadi (Stroke Center)

Makassar.

32
3.4 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel penelitian diperoleh dari populasi penelitian dengan ketentuan

memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah ditetapkan oleh

peneliti. Populasi dalam penelitian ini tidak mendapat peluang yang sama

untuk dijadikan sampel, tetapi populasi tersebut dipilih menjadi sampel

penelitian jika memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini.

3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

Kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti

digambarkan dalam Tabel 3.1:

Tabel 3.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Kriteria Drop Out


Penderita sedang Participant dianggap
menjalani pengobatan tidak mengikuti
Pasien didiagnosis oleh
alternative selain tindakan prosedur tidak
dokter mengalami OA lutut
fisioterapi yang telah bersedia untuk
ditentukan melanjutkan
Penderita selain
mengalami OA lutut juga
Merasakan nyeri, dan
mengalami penyakit
mengalami keterbatasan
arthritis lain seperti RA
ROM knee joint
atau OA pada sendi yang
lain.
Penderita kooperatif dan
bersedia ikut dalam
penelitian ini dengan
menandatangani informed
consent.

3.6 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Shockwave Therapy

b. Skala VAS untuk mengukur nyeri

33
c. Goniometer untuk mengukur range of motion

d. Alat tulis untuk dokumentasi

3.7 Izin Penelitian dan Kelaikan Etik

3.7.1 Izin Penelitian

Izin penelitian diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran pada

Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Setelah

memperoleh izin, maka penelitian ini dilaksanakan dengan memenuhi

persyaratan etik yang telah ditetapkan.

3.7.2 Kelaikan Etik

Demi menghormati hak asasi subjek, maka dalam pelaksanaan

penelitian ini semua subjek penelitian diberi penjelasan tentang maksud,

tujuan dan kegunaan penelitian. Setelah mendapat penjelasan dan disetujui,

subjek penelitian diminta menandatangani surat persetujuan peserta

penelitian.Dalam mengambil data sampel, peneliti memiliki beberapa aturan

mengenai masalah etika penelitian yang peneliti ikuti, antara lain:

3.7.2.1 Informed Consent (Lembaran Persetujuan)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang diteliti

yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel yang bersedia menjadi responden

menandatangani lembar persetujuan dan sampel yang menolak tidak

dipaksa dan tetap menghormati haknya.

3.7.2.2 Confidentiality ( kerahasiaan )

34
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin

oleh peneliti dan hanya sekelompok data yang dilaporkan dalam hasil

penelitian.

3.8 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dua kali yaitu sebelum pemberian intervensi

(pre-test) dan dua hari setelah intervensi berakhir (post-test).

3.9 Prosedur Kerja

3.9.1 Persiapan

Setelah dikeluarkannya ijin penelitian oleh komisi etik fakultas

kedokteran, dilakukan studi pendahuluan pada populasi penelitian (melalui

observasi data pada lokasi pengambilan sampel) yang dilanjutkan dengan

skrining untuk pengambilan sampel dari populasi penelitian.

3.9.2 Pengelompokan Sampel

Setelah diperoleh sampel penelitian berdasarkan hasil skrining

dengan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan

oleh peneliti, dilakukan pengelompokkan secara acak ke dalam dua

kelompok (kelompok intervensi dan kontrol). Setelah itu, dilakukan

pengumpulan data karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis

kelamin, lamanya menderita osteoarthritis, serta sisi tubuh yang terkena

osteoarthritis.

3.9.3 Protokol Intervensi

35
Pada kelompok intervensi I diberikan ESWT dan Kelompok intervensi

II ddiberikan Hold relax, Kedua Kelompok masing-masing mendapatkan

terapi 3 kali dalam seminggu selama 4 minggu.

3.10 Alur Penelitian

Alur penelitian ini digambarkan secara singkat pada Gambar 3. 2.


Studi Pendahuluan Populasi Penelitian

Evaluasi Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Penentuan Sampel Penelitian

Pengelompokan Secara Acak

Kelompok intervensi Kelompok Intervensi


Pengukuran Pre-test Pengukuran Pre-test

Shock Wave Hold Relax


dhyatermi

Pengukuran Post-Test

(nyeri, dan range of motion)

Pengolahan dan Analisis Data

Gambar 3. 2. Alur Penelitian

36
3.11 Analisis Data

Sebelum dilakukan uji parametrik, dilakukan uji normalitas data dan uji

homogenitas. Untuk menganalisa pengaruh ESWT dan Hold Relax terhadap

perubahan variabel antara dan variabel terikat, dilakukan uji Mann Whitney.

Statistik deskriptif disajikan dalam bentuk rerata ± standar deviasi, sedangkan

data kategorik disajikan dalam bentuk frekuensi dan persentase. Analisis statistic

dilakukan dengan menggunakan software SPSS Windows Version 27.0.

37
DAFTAR PUSTAKA

Adler, Susan and Dominiek, B. (2014). PNF in Practice 4th. Berlin : Springer.
Anisa Ika Pratiwi. (2015). DIAGNOSIS AND TREATMENT OSTEOARTHRITIS.
Arendt-Nielsen, L., & Hoeck, H. C. (2011). Peripheral and central sensitisation in
osteoarthritis: implications for treatment. European Musculoskeletal Review,
6(3), 158–161.
AS., S. (2015). Pengaruh Berat Badan Terhadap Gaya Gesek Dan Timbulnya
Osteoarthritis Pada Orang Di Atas 45 Tahun Di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. Skripsi.Manado: Bagian Fisika Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado; 2012.
Auersperg, V., & Trieb, K. (2020). Extracorporeal shock wave therapy: an update.
EFORT Open Reviews, 5(10), 584–592. https://doi.org/10.1302/2058-
5241.5.190067
Bahrudin, M. (2018). Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika, 13(1), 7.
https://doi.org/10.22219/sm.v13i1.5449
Dillon, C. F., Rasch, E. K., Gu, Q., & Hirsch, R. (2006). Prevalence of knee
osteoarthritis in the United States: arthritis data from the Third National
Health and Nutrition Examination Survey 1991-94. The Journal of
Rheumatology, 33(11), 2271–2279.
Efendi, F., & Makhfudli. (2010). Keperawatan Kesehatan Komunitas. Salemba
Medika, September 2015. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.1178.5366
Hayashi, D., Kawakami, K., Ito, K., Ishii, K., Tanno, H., Imai, Y., Kanno, E.,
Maruyama, R., Shimokawa, H., & Tachi, M. (2012). Low‐energy
extracorporeal shock wave therapy enhances skin wound healing in diabetic
mice: A critical role of endothelial nitric oxide synthase. Wound Repair and
Regeneration, 20(6), 887–895.
Hindle, K., Whitcomb, T., Briggs, W., & Hong, J. (2012). Proprioceptive
neuromuscular facilitation (PNF): Its mechanisms and effects on range of
motion and muscular function. Journal of Human Kinetics, 31(1), 105–113.
https://doi.org/10.2478/v10078-012-0011-y
Ioppolo, F., Rompe, J. D., Furia, J. P., & Cacchio, A. (2014). Clinical application
of shock wave therapy (SWT) in musculoskeletal disorders. Eur J Phys
Rehabil Med, 50(2), 217–230.
Ishijima, M., Watari, T., Naito, K., Kaneko, H., Futami, I., Yoshimura-Ishida, K.,
Tomonaga, A., Yamaguchi, H., Yamamoto, T., & Nagaoka, I. (2011).
Relationships between biomarkers of cartilage, bone, synovial metabolism
and knee pain provide insights into the origins of pain in early knee

38
osteoarthritis. Arthritis Research & Therapy, 13(1), R22.
Ji, Q., Wang, P., & He, C. (2016). Extracorporeal shockwave therapy as a novel
and potential treatment for degenerative cartilage and bone disease:
Osteoarthritis. A qualitative analysis of the literature. Progress in Biophysics
and Molecular Biology, 121(3), 255–265.
https://doi.org/10.1016/j.pbiomolbio.2016.07.001
Kang, S., Gao, F., Han, J., Mao, T., Sun, W., Wang, B., Guo, W., Cheng, L., & Li,
Z. (2018). Extracorporeal shock wave treatment can normalize painful bone
marrow edema in knee osteoarthritis. Medicine (United States), 97(5), 1–6.
https://doi.org/10.1097/MD.0000000000009796
Kisner, C., Colby, L. A., & Borstad, J. (2017). Therapeutic exercise: foundations
and techniques. Fa Davis.
Kohn, M. D., Sassoon, A. A., & Fernando, N. D. (2016). Classifications in Brief:
Kellgren-Lawrence Classification of Osteoarthritis. Clinical orthopaedics
and related research, 474(8), 1886–1893. https://doi.org/10.1007/s11999-
016-4732-4.
Leksonowati, S. S., Fisioterapi, J., Kesehatan, P., & Makassar, K. (2016).
Pengaruh Teknik Hold Relax terhadap Penambahan Jarak Gerak Abduksi
Sendi Bahu pada Frozen Shoulder di Ratulangi Medical Centre Makassar
THE INFLUENCE OF HOLD RELAX TECHNIQUE TO THE DISTANCE
ADDITION OF. 103–108.
Lespasio, M. J., Piuzzi, N. S., Husni, M. E., Muschler, G. F., Guarino, A., &
Mont, M. A. (2017). Knee Osteoarthritis: A Primer. The Permanente
Journal, 21, 1–7. https://doi.org/10.7812/TPP/16-183
Mada, U. G. (2013). Perbedaan pengaruh pemberian. 1–18.
Mittermayr, R., Antonic, V., Hartinger, J., Kaufmann, H., Redl, H., Téot, L.,
Stojadinovic, A., & Schaden, W. (2012). Extracorporeal shock wave therapy
(ESWT) for wound healing: technology, mechanisms, and clinical efficacy.
Wound Repair and Regeneration, 20(4), 456–465.
Mouzopoulos, G., Stamatakos, M., Mouzopoulos, D., & Tzurbakis, M. (2017).
Extracorporeal shock wave treatment for shoulder calcific tendonitis: a
systematic review. Skeletal Radiology, 36(9), 803–811.
Notarnicola, A., Tamma, R., Moretti, L., Fiore, A., Vicenti, G., Zallone, A., &
Moretti, B. (2012). Effects of radial shock waves therapy on osteoblasts
activities. Musculoskeletal Surgery, 96(3), 183–189.
Orhan, Z., Ozturan, K., Guven, A., & Cam, K. (2014). The effect of
extracorporeal shock waves on a rat model of injury to tendo Achillis: a
histological and biomechanical study. The Journal of Bone and Joint

39
Surgery. British Volume, 86(4), 613–618.
Perry, R. J., Samuel, V. T., Petersen, K. F., Shulman, G. I., Haven, N., & Haven,
N. (2015). Osteoarthritis Year in Review 2015: Mechanics Nathan.
510(7503), 84–91. https://doi.org/10.1016/j.joca.2015.08.018.Osteoarthritis
Pradeep Kumar Sacitharan. (2019). Ageing and Osteoarthritis.
Putra, K. A. H. (2017). Fisiologi Nyeri. Anesthesiology, 105(4), 864–864.
Rahayu, W., Kuntono, H. B., & Santoso, T. B. (2013). Pengaruh penulis
Pemberian mampu Strain Counterstrain Dan Kinesio Taping Terhadap
Penurunan Nyeri Dan Peningkatkan Fungsional Aktivitas Pada Pasien
Nyeri punggung Bawah Myogenik”. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Romeo, P., Lavanga, V., Pagani, D., & Sansone, V. (2014). Extracorporeal shock
wave therapy in musculoskeletal disorders: a review. Medical Principles and
Practice, 23(1), 7–13.
Sari, D. P., St, S., Rufaida, Z., Bd, S. K., Sc, M., Wardini, S., Lestari, P., St, S., &
Kes, M. (2018). Nyeri persalinan. Stikes Majapahit Mojokerto, 1–117.
Thigpen, C. (2011). Extracorporeal shock wave treatment for shoulder calcific
tendonitis: a systematic review. Extracorporeal Shockwave Therapy.”
Fourth Edition.
Tol, J. L., Spiezia, F., & Maffulli, N. (2012). Neovascularization in Achilles
tendinopathy: have we been chasing a red herring? Springer.
van der Worp, H., van den Akker-Scheek, I., Van Schie, H., & Zwerver, J. (2013).
ESWT for tendinopathy: technology and clinical implications. Knee Surgery,
Sports Traumatology, Arthroscopy, 21(6), 1451–1458.
van der Worp, H., Zwerver, J., van den Akker-Scheek, I., & Diercks, R. L. (2011).
The TOPSHOCK study: Effectiveness of radial shockwave therapy
compared to focused shockwave therapy for treating patellar tendinopathy-
design of a randomised controlled trial. BMC Musculoskeletal Disorders,
12(1), 229.
Vina, E. R., & Kent Kwoh, C. (2018). Epidemiology of Osteoarthritis: Literature
Update Ernest. Physiology & Behavior, 30(2), 160–167.
https://doi.org/10.1097/BOR.0000000000000479.Epidemiology
Yulianto, D. (2013). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Osteoarthritis Lutut
Dextra Di Rsud Sukoharjo. Journal of Chemical Information and Modeling,
53(9), 1689–1699.
Zhong, Z., Liu, B., Liu, G., Chen, J., Li, Y., Chen, J., Liu, X., & Hu, Y. (2019). A
Randomized Controlled Trial on the Effects of Low-Dose Extracorporeal
Shockwave Therapy in Patients With Knee Osteoarthritis. Archives of

40
Physical Medicine and Rehabilitation, 100(9), 1695–1702.
https://doi.org/10.1016/j.apmr.2019.04.020

41

Anda mungkin juga menyukai