Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Visum Et Repertum

1. Pengertian Visum Et Repertum

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran

Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa

Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata

bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya

penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan,

disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa

yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi

visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.1

Visum et repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik.

Mengenai disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya dikenal dengan Ilmu Kedokteran

Kehakiman, R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran

Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan

pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara

pidana maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu

Kedokteran Kehakiman adalahmembantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman

1
H.M.Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, (Malang: Fakultas Kedokteran UNIBRAW
Malang, 2001), 1

13
dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan

ilmu pengetahuan kedokteran.2

Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat

terjadi tindak pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka

atau meninggal) dan pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini akan diterangkan

dan diberikan hasilnya secara tertulis dalam bentuk surat yang dikenal dengan

istilah visum et repertum.3

Dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun

1983 pada pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran

kehakiman disebut sebagaiVisum et Repertum. Pendapat seorang dokter yang

dituangkan dalam sebuah Visum et Repertum sangat diperlukan oleh seorang

hakim dalam membuat sebuah keputusan dalam sebuah persidangan.Hal ini

mengingat, seorang hakim sebagai pemutus perkara pada sebuah

persidangan,tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan

kedokteran forensik ini.Dalam hal ini, hasil pemeriksaan dan laporan tertulis ini

akan digunakan sebagai petunjuk sebagaimana yang dimaksud pada pasal 184

KUHAP tentang alat bukti.4 Artinya, hasil Visum et Repertum ini bukan saja

sebagai petunjuk dalam hal membuat terang suatu perkara pidana namun juga

mendukung proses penuntutan dan pengadilan.

Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya KUHAP

tidak diberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian visum et

2
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi kedua
(Bandung: Tarsito 1983), 10
3
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik
Kedokteran, (jakarta: Djambatan, 2000), 26
4
KUHAP pasal 184

14
repertum. Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan pengertian

mengenai visum et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350. Disebutkan

dalam ketentuan Staatsblad tersebut bahwa : “Visum et Repertum adalah laporan

tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang

berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan

ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu

menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaikbaiknya.5

2. Jenis Visum et Repertum

Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang

diperuntukkan untuk kepentingan peradilan, Visum et Repertum di golongkan

menurut objek yang diperiksa sebagai berikut:6

a. Visum et repertum untuk orang hidup, jenis ini dibedakan lagi dalam:

1) Visum et repertum biasa. Visum et repertum ini diberikan kepada pihak

peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan

lebih lanjut.

2) Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan

apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat

membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan

visum et repertum lanjutan.

3) Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan

perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter

lain, atau meninggal dunia


5
H.M.Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, (Malang: Fakultas Kedokteran UNIBRAW
Malang, 2001), 1
6
Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 1992), 26

15
b. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah). Pada pembuatan visum et

repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan

permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan

bedah mayat (outopsi)

c. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat

setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP

d. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter

selesai melaksanakan penggalian jenazah.

e. Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat

pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit

jiwa.

f. Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti

yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya

darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.

Dalam penulisan skripsi ini, visum et repertum yang dimaksud adalah

visum et repertum untuk orang hidup, khususnya yang dibuat oleh dokter

berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban tindak pidana pencabulan.

3. Bentuk Umum Visum Et Repertum

Agar didapat keseragaman mengenai bentuk pokok visum et repertum,

maka ditetapkan ketentuan mengenai susunan visum et repertum sebagai berikut:7

1) Pada sudut kiri atas dituliskan “PRO YUSTISIA”, artinya bahwa isi visum

et repertum hanya untuk kepentingan peradilan;

7
Ibid

16
2) Di tengah atas dituliskan Jenis visum et repertum serta nomor visum et

repertum tersebut;

3) Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang berisikan :

a. Identitas peminta visum et repertum;

b. Identitas surat permintaan visum et repertum;

c. Saat penerimaan surat permintaan visum et repertum;

d. Identitas dokter pembuat visum et repertum;

e. Identitas korban/barang bukti yang dimintakan visum et repertum;

f. Keterangan kejadian di dalam surat permintaan visum et repertum.

4) Bagian Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa

yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti;

5) Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter atas analisa yang

dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti;

6) Bagian Penutup, merupakan pernyataan dari dokter bahwa visum et

repertum ini dibuat atas sumpah dan janji pada waktu menerima jabatan;

7) Di sebelah kanan bawah diberikan Nama dan Tanda Tangan serta Cap

dinas dokter pemeriksa.

Dari bagian visum et repertum sebagaimana tersebut diatas, keterangan

yang merupakan pengganti barang bukti yaitu pada Bagian Pemberitaan.

Sedangkan pada Bagian Kesimpulan dapat dikatakan merupakan pendapat

subyektif dari dokter pemeriksa.8

8
Wordpress,dewi37lovelight, Peranan Visum Et Repertum Dalam Penyidikan Di
Indonesia Beserta Hambatan Yang Ditimbulkan,dewi37lovelight.wordpress.com, Diakses Pada 22
Februari 2016

17
4. Peranan Visum Et Repertum Dalam Proses Penanganan Delik Pidana

Menurut H.M. Soedjatmiko, sebagai suatu keterangan tertulis yang berisi

hasil pemeriksaan seorang dokter ahli terhadap barang bukti yang ada dalam suatu

perkara pidana, maka visum et repertum mempunyai peran sebagai berikut:9

a. Sebagai alat bukti yang sah

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP pasal 184 ayat (1) jo pasal

187 huruf c.

b. Bukti penahanan Tersangka

Didalam suatu perkara yang mengaharuskan penyidik melakukan penahanan

tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus mempunyai bukti-

bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut. Salah satu bukti

adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terhadap korban.

Visum Et Repertum yang dibuat oleh dokter dapat dipakai oleh penyidik

sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah penahanan

tersangka.

c. Sebagai bahan pertimbangan hakim

Meskipun bagian kesimpulan Visum Et Repertum tidak mengikat hakim,

namun apa yang diuraikan di dalam bagian pemberitaan sebuah Visum Et

Repertum adalah merupakan bukti materiil dari sebuah akibat tindak pidana,

disamping itu bagian pemberitaan ini adalah dapat dianggap sebagai

pengganti barang bukti yang telah dilihat dan ditemukan oleh dokter.

9
H.M.Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik,7

18
Dengan demikian dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi hakim

yang sedang menyidangkan perkara tersebut.10

Berkaitan dengan di atas bahwa pemeriksaan perkara pidana adalah

mencari kebenaran materiil, maka setiap masalah yang berhubungan dengan

perkara pidana tersebut harus dapat terungkap secara jelas. Demikian halnya

dengan visum et repertum yang dibuat oleh dokter spesialis forensik atau atau

dokter ahli lainnya, dapat memperjelas alat bukti yang ada bahwa tindak pidana

benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sehubungan

dengan hakekat pemeriksaan perkara pidana adalah mencari kebenaran materiil

maka kemungkinan menghadapkan Dokter untuk membuat visum et repertum

adalah suatu hal yang wajar demi kepentingan pemeriksaan dan pembuktian.

Mengenai dasar hukum peranan visum et repertum dalam fungsinya

membantu aparat penegak hukum menangani suatu perkara pidana, hal ini

berdasarkan ketentuan dalam KUHAP yang memberi kemungkinan

dipergunakannya bantuan tenaga ahli untuk lebih memperjelas dan mempermudah

pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana.

Ketentuan dalam KUHAP yang memberi dasar hukum bahwa pada tahap

penyidikan penyidik dapat meminta keterangan ahli, dimana hal ini meliputi pula

keterangan ahli yang diberikan oleh dokter pada visum et repertum yang

dibuatnya atas pemeriksaan barang bukti, adalah sebagai berikut :

10
Ibid

19
a) Pasal 7 KUHAP mengenai tindakan yang menjadi wewenang Penyidik,

khususnya dalam hal mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

pemeriksaan perkara.

b) Pasal 120 KUHAP. Pada ayat (1) pasal ini disebutkan : “Dalam hal

penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau

orang yang memiliki keahlian khusus.”

c) Pasal 133 KUHAP dimana pada ayat (1) dinyatakan: “Dalam hal

penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik

luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang

merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan

keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli

lainnya”.

Ayat (2) Pasal 133 KUHAP menyebutkan : “Permintaan keterangan

ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,

yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka

atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.”

Sedangkan mengenai dasar hukum tindakan dokter dalam memberikan

bantuan keahliannya pada pemeriksaan perkara pidana, hal ini tercantum dalam

Pasal 179 KUHAP dimana pada ayat (1) disebutkan : “Setiap orang yang diminta

pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya

wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.” Bantuan dokter untuk proses

peradilan dapat diberikan secara lisan (berdasar Pasal 186 KUHAP), dapat juga

secara tertulis (berdasar pasal 187 KUHAP). Bantuan dokter untuk proses

20
peradilan baik secara lisan ataupun tertulis semuanya termasuk dalam pasal 184

KUHAP tentang alat bukti yang sah.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP diatas, maka baik

tindakan dokter dalam membantu proses peradilan (dimana dalam hal ini tindakan

membuat visum et repertum untuk kepentingan penanganan perkara pidana)

maupun tindakan penyidik dalam meminta bantuan tersebut, keduanya

mempunyai dasar hukum dalam pelaksanaannya.

B. Pembuktian Dalam Tindak Pidana

1. Pengertian Pembuktian Dalam Tindak Pidana

Kata ”pembuktian” berasal dari kata ”bukti” artinya ”sesuatu yang

menyatakan kebenaran suatu peristiwa”, kemudian mendapat awalan ”pem” dan

akhiran ”an”, maka pembuktian artinya ”proses perbuatan, cara membukti-kan

sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa”, demikian pula pengertian

membuktikan yang mendapat awalan ”mem” dan akhiran ”an”, artinya

memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti”.11

Pembuktian merupakan bagian penting dalam pencarian kebenaran

materiil dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Sistem Eropa Kontinental

yang dianut oleh Indonesia menggunakan keyakinan hakim untuk menilai alat

bukti dengan keyakinannya sendiri. Hakim dalam pembuktian ini harus

memperhatikan kepentingan masyarakat dan terdakwa. Kepentingan masyarakat

berarti orang yang telah melakukan tindak pidana harus mendapatkan sanksi demi

tercapainya keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas dalam masyarakat. Sedangkan

11
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Departemen P & K, Balai Pustaka,
Jakarta, 1990, hlm. 133.

21
kepentingan terdakwa berarti bahwa ia harus diperlakukan dengan adil sesuai

dengan asas Presumption of Innocence. Sehingga hukuman yang diterima oleh

terdakwa seimbang dengan kesalahannya.

Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna

kata membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo12 disebut

dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang

memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran

peristiwa yang diajukan. Lain halnya dengan definisi membuktikan yang

diungkapkan oleh Subekti. Subekti13 menyatakan bahwa membuktikan adalah

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan

dalam suatu persengketaan.

Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan dapat

dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang

sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak,

sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan

siapa yang salah. Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan

usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat

diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.14 Pembuktian mengandung

arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang

bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.15

12
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm. 35.
13
Subekti., 2001, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramitha, hlm. 1
14
Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm. 11.
15
Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hlm.
133

22
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan

boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.16

Hukum pembuktian merupakan sebagian dart hukum acara pidana yang

mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut

dalam pembuktian,syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta

kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian

pidana.17

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan

mengenai pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat peran pembuktian

dalam Pasal 183 bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.

2. Teori-Teori Sistem Pembuktian

Secara Teoretis terdapat 4 (empat) teori mengenai sistem pembuktian

yaitu:

a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata

(Conviction In Time)

16
M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 273
17
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung:
Mandar Maju, hlm. 10

23
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya

terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada

penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya

terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada

keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan

pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau

hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya

meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka

terdakwa dapat dinyatakan bersalah, akibatnya dalam memutuskan

perkara hakim menjadi subyektif sekali.

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak

memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan

perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini

terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan

berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas

yang aneh.18

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas

Alasan yang Logis (Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga

mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya

alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim

disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis,

18
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Ghana Indonesia,
hlm. 241

24
diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu

didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun

alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa

menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Hal

yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim

tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.

Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convitionin

raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan

itu sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang

dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan

keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut

dengan sistem pembuktian bebas.19

c. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif

Wettwlijks theode).

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem

pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran

bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya

alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai

membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat

mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan

hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan

terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan

19
Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung : Citra
Aditya, hlm. 56

25
perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut

undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.

Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara

pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang, maka

terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana.

Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha

membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya

sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti

yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa

dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan

kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip

hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah

kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan

dalam hukum acara perdata. Positief wettelijkbewijs theori system di

benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana

yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai

objek pemeriksaan belaka dalam hal ini hakim hanya merupakan alat

perlengkapan saja.20

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif

(negative wettelijk).

Berdasarkan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana

apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-

20
D. Simons. Dalam Darwin Prinst, 1998, Op.Cit. hlm. 65

26
undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari

adanya alat-alat bukti itu. Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan

sebagai berikut : "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah serta memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya".21

Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan

bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang

negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian,

apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang

ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka

baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan

terdakwa.

Teori pembuktian menurut undang-undang negatif tersebut dapat disebut

dengan negative wettelijk istilah ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-undang

sedangkan negatif, artinya bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup

bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan

hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.22

Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief di

tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim

21
Ibid
22
M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 319

27
juga terikat pada ketentuan undang-undang. Dalam sistem menurut undang-

undang secara terbatas atau disebut juga dengansistem undang-undang secara

negatif sebagai intinya yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan

sebagai berikut :23

a) Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika

memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;

b) Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal

membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan

cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula

keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang

dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang

ditentukan dalam undang-undang, sehingga dalam pembuktian benar-benar

mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah

putusan atau penerapan hukum yang digunakan.24

Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila

sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada,

ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu

sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan

suatu perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi

dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang


23
Ibid
24
Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , Jakarta: Elsam. hlm. 3.

28
terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dan merupakan kebenaran

yang hakiki.

3. Prinsip Pembuktian Perkara Pidana

Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu :25

a) Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang

berbunyi: Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke feiten. Secara garis besar

fakta notoke dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau

peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya

demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal

dari perak. Yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal

17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia;

2. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu

mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.

Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran

tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk;

b) Kewajiban seorang saksi

Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal

159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: Orang yang menjadi saksi

25
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Bandung: Mandar Maju, hlm. 20.

29
setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan

keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana

berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula

dengan ahli;

c) Satu saksi bukan saksi (unus testis nulus testis)

Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang

menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya.

Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak

berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan

Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: "Dalam acara pemeriksaan cepat,

keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah".

d) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum

membuktikan kesalahan terdakwa.

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip "pembuktian

terbalik" yang tidak dikenai oleh hukum acara pidana yang berlaku di

Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: keterangan

terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus

disertai dengan alat bukti lain.

30
e) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri.

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang

menentukan bahwa: "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan

terhadap dirinya sendiri". Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di

sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang

berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa

yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan

sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap

dirinya sendiri. Dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang,

masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti

yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat

dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.

C. Tindak Pidana Pencabulan

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang

hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-

undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa

pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

Sedangkan tindak pidana menurut Simons (Kansil, 2001: 106) adalah

perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan mana dilakukan

oleh seseorang yang di pertanggungjawabkan, dapat disyaratkan kepada si

pembuatnya atau pelaku. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang

31
mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang

dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum

pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-

peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana

haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk

dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan

masyarakat.26.

Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah tindak pidana atau

perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan istilah:

a. Strafbaar feit adalah peristiwa pidana;

b. Strafbare handlung diterjemahkan dengan perbuatan pidana, yang

digunakan oleh para sarjana hukum pidana jerman; dan

c. Criminal act diterjemahkan dalam istilah Perbuatan Kriminal.

Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga

kata, yaitu straf, baar dan feit. Yang masing-masing memiliki arti:27

a. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum;

b. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh;

c. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau

perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict

yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).

26
Ilyas, Amir, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana sabagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta &
PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hlm: 18
27
Ibid

32
Delik adalah suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang (pidana).28 Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah

“suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-

undangan.”29 Sementara Jonkers merumuskan bahwa Strafbaarfeit sebagai

peristiwa pidana yang diartikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan

hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan

yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.30 Simons

merumuskan Strafbaarfeit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu

tindakan yang dapat dihukum.31

S.R. Sianturi memberikan rumusan, tindak pidana adalah sebagai suatu

tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau

diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan

hukum, serta dengan kesalahan di lakukan oleh seseorang (yang

bertanggungjawab).32

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedahkan setidak-tidaknya dari dua

sudut pandang, yaitu sudut teoritis; dan sudut Undang-Undang. Teoritis artinya

berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya.

28
Ilyas, Amir, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana sabagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta &
PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hlm: 19
29
Ibid
30
Ibid:20
31
Ibid
32
Ibid:22

33
Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana

itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan

perundang-undangan yang ada.

a. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi

Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah melihat

bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan

dari batasan tindak pidana oleh teoritisi yang telah dibicarakan di muka,

yaitu: Moelijatno, R.Tresna, Vos, Jonkers, dan Schravendijk.33 Menurut

Moeljatno (Adami Chazawi, 2002: 79), unsur tindak pidana adalah

perbuatan, yang dilarang (oleh aturan hukum) dan ancaman pidana (bagi

yang melanggar larangan).

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum.

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada

pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman

(diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu

dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana

merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

Apakah in concreto orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana

ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.34

Dari rumusan R. Tresna di muka, tindak pidana tersebut dari unsur-

unsur, yaitu:35 perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia); yang

33
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hlm:79
34
Ibid
35
Ibid:80

34
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan diadakan

tindakan penghukuman.

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman,

terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu

selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan

Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak

selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi pidana (Adami Chazawi, 2002:

80). Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang

bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun

dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif)

yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana (Adami

Chazawi, 2002: 80).

Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos (Adami Chazawi, 2002:

80), dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah: kelakuan manusia;

diancam dengan pidana dan dalam peraturan perundang-undangan.

Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut

paham dualism tersebut, tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana

itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-

undang, dan diancam pidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur

yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si

pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai

perbuatannya.36 Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pendapat penganut

36
Ibid:81

35
paham monism, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua

rumusan saja yang di muka telah dikemukakan, yaitu Jonkers dan

Schravendijk.

Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat

dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah: perbuatan (yang); melawan

hukum (yang berhubungan dengan); kesalahan (yang dilakukan oleh orang

yang dapat); dan dipertanggungjawabkan. Sementara itu Schravendijk

dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci

terdapat unsur-unsur sebagai berikut: kelakuan (orang yang); bertentangan

dengan keinsyafan hukum; diancam dengan hukuman; dilakukan oleh

orang (yang dapat); dan dipersalahkan/kesalahan.37

Walaupun rincian dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda,

namun pada unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang

mengenai diri orangnya.

b. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana

tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat

pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap

rumusan, yaitu mengenai tingkah laki/perbuatan walaupun ada

perkecualian seperti Pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan

melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak

dicantunkan; sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur kemampuan

37
Ibid

36
bertanggung jawab. Di samping itu, banyak mencantumkan unsur-unsur

lain baik sekitar/mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara

khusus untuk rumusan tertentu.38

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu,

dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:

1. Unsur tingkah laku;

2. Unsur melawan hukum;

3. Unsur kesalahan;

4. Unsur akibat konstitutif;

5. Unsur keadaan yang menyertai;

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

9. Unsur objek hukum tindak pidana;

10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;

11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 unsur itu, di antaranya dua unsur, yaitu kesalahan dan

melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya

berupa unsur objektif. Unsur melawan hukum adakalanya bersifat objektif,

misalnya melawan hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian.39

terletak bahwa dalam mengambil itu di luar persetujuan atau kehendak

pemilik (melawan hukum objektif). Atau pada Pasal 251 KUHP pada

38
Ibid
39
Pasal 362 KUHP

37
kalimat “menggunakan cap asli secara melawan hukum” adalah berupa

melawan hukum objektif. Akan tetapi, ada juga melawan hukum subjektif

misalnya melawan hukum dalam penipuan (oplicbting, Pasal 378),

pemerasan (afpersing, Pasal 368), pengancaman (afdreiging, Pasal 369) di

mana disebutkan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum.40 Begitu juga unsur melawan hukum pada

perbuatan memiliki dalam penggelapan (Pasal 372) yang bersifat subjektif,

artinya terdapat kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada

dalam kekuasaannya itu merupakan celaan masyarakat.41

Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan

hukum objektif atau subjektif bergantung dari bunyi redaksi rumusan

tindak pidana yang bersangkutan. Unsur yang bersifat objektif adalah

semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia/si pembuat, yakni

semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-

keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan objektif tindak

pidana. Sementara itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsur

yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.42

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Dalam membahas hukum pidana, nantinya akan ditemukan

beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

40
Pasal 251 KUHP
41
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hlm:82
42
Ibid:83

38
Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yakni sebagai

berikut:43

a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam

Buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Alasan pembedaan

antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan

dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada

pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa

pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi

dengan ancaman pidana penjara.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formal dan

tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti

larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu.

Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak

memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat

penyelesaian tindak pidana, malainkan semata-mata pada perbuatannya.

c. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja

(dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpa). Tindak pidana

sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan

kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak tidak

sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.

43
Ilyas, Amir, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana sabagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta &
PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hlm: 28-34

39
d. Berdasarkan macam-macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak

pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak

pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi. Tindak pidana

aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif,

perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya

disyarakatkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.

Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini

terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun

secara materil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam

KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak pidana pasif ada dua macam

yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni.

Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara

formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur

perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana

pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa

tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat

aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi

dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu

benar-benar timbul.

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan

antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu

lama atau berlangsung lama/berlangsung terus. Tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya

40
dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan

aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama,

yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung

terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini

dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang

terlarang.

f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan

tindak pidana khusus.Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana

yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku

II dan III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana

yang terdapat diluar kodifikasi KUHP.

g. Dilihat dari sudut subjektif, dapat dibedakan antara tindak pidana

communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan

tindak pidana propria (tindak pidana yang harus dapat dilakukan oleh

orang yang berkualitas tertentu). Pada umumnya tindak pidana itu

dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang

bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang

demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut yang

khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja,

misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda (pada

kejahatan pelayaran), dan sebagainya.

41
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntut, maka

dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan. Tindak

pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk

dilakukannya penuntutan terhadap perbuatannya, tidak disyaratkan adanya

pengaduan diri yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak

pidana yang dapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu

adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban

atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal

tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang

yang berhak.

i. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat

dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang

diperberat dan tindak pidana yang diperingan. Dilihat dari berat ringannya,

ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi:

1. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga

disebut dengan bentuk standar;

2. Dalam bentuk yang diperberat; dan

3. Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya

semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada rumusan

yang diperberat dan/atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-

unsur bentuk pokok itu, melaikan sekedar menyebut kualifikasi bentuk

pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau

42
meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya

atau faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap

bentuk yang deperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau

lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.

j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana

tidak terbatas macamnya, sangat tergantung pada kepentingan hukum yang

dilindungi dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sistematika

pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP didasarkan pada

kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum

yang dilindungi ini maka disebutkan misalnya dalam Buku II KUHP.

Untuk melindungi kepentingan hukum terdapat keamanan Negara,

dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I KUHP),

untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi

penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII

KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan

pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII KUHP),

Penggelapan (Bab XXIV KUHP), Pemerasan dan Pengancaman (Bab

XXIII KUHP) dan seterusnya.

k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan

antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai. Tindak pidana

tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga

untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku

cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana

43
dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang

dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai

dan dapat dipidananya pelaku, disyarakatkan dilakukan secara berulang.

4. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan dan Jenisnya

Pengertian perbuatan cabul (ontuchtige handelingen) adalah segala macam

wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada

orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian

tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. KUHP menjelaskan

perbuatan cabul sebagai berikut:

“Segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan


yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya:
Cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada,
dsb. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian cabul”.44

Lebih tegas Adami Chazawi mengemukakam perbuatan cabul sebagai “

segala macam wujud perbuatan baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun

pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian

tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya: mengelus-elus

atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut

seorang perempuan dan sebagainya”.45

Adapun beberapa jenis istilah tentang pencabulan yaitu sebagai berikut :

a. Exhibitionism : Yaitu sengaja memamerkan alat kelamin kepada orang

lain;

44
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hlm:80
45
Ibid

44
b. Voyeurism : Yaitu mencium seseorang dengan bernafsu.

c. Fondling : Yaitu mengelus/meraba alat kelamin seseorang.

d. Fellatio : Yaitu memaksa seseorang untuk melakukan kontak mulut.

KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana

kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud dari pada

pencabulan itu sendiri dan terkesan mencampuradukkan pengertiannya dengan

perkosaan ataupun persetubuhan, sedangkan dalam konsep KUHP yang baru

ditambahkan kata “persetubuhan” disamping pencabulan, sehingga pencabulan

dan persetubuhan dibedakan.

Menurut R. Soesilo,46, yang dimaksud dengan “persetubuhan” ialah

peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan

untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam

anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan

Arriest Hoge Raad 5 Februari 1912 (W, 9292). Dalam pengertian persetubuhan di

atas disimpulkan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan suatu persetubuhan jika

alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan sampai

mengeluarkan air mani yang dapat mengakibatkan kehamilan.

Persetubuhan adalah persetuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki

dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Tidak perlu

bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan. Pengertian

“bersetubuh” pada saat ini diartikan bahwa penis telah penestrasi ke vagina.47

46
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,. Bogor,
hlm:209
47
Leden Marpaung. 2008. Asas-Teori-Paktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hlm:53

45
Berdasarkan uraian diatas bahwa pengertian bersetubuh berdasarkan

dengan yang diungkapkan oleh R.Soesilo karena disini tidak disyaratkan terjadi

pengeluaran air mani dari penis laki-laki yang dapat menyebabkan kehamilan.

Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara pencabulan dan persetubuhan

yaitu jika seseorang melakukan persetubuhan itu sudah termasuk perbuatan cabul

sedangkan ketika seseorang melakukan perbuatan cabul, belum dikategorikan

telah melakukan persetubuhan karena suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai

suatu persetubuhan jika disyaratkan masuknya penis ke dalam vagina perempuan

kemudian laki-laki mengeluarkan air mani yang biasanya menyebabkan terjadinya

kehamilan sehingga jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka bukan

dikategorikan sebagai suatu persetubuhan melainkan perbuatan cabul. Selain itu

perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan.48

5. Unsur-unsur Perbuatan Tindak Pidana Pencabulan

Untuk mengetahui unsur-unsur dari perbuatan cabul, penulis akan

menjabarkan unsur-unsur dari pasal-pasal yang menyangkut dengan perbuatan

cabul. Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 KUHP

sebagai berikut:49

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman


kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, diamcam karena melakukan perbuatan yang
menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama
Sembilan tahun.”

48
Ibid:70
49
Pasal 289 KUHP

46
Apabila rumusan Pasal 289 KUHP tersebut dirinci, akan terlihat unsur-

unsurnya sebagai berikut:50

1. Perbuatannya: Perbuatan cabul dan memaksa caranya dengan kekerasan

atau dengan ancaman kekerasan;

2. Objeknya: Seseoarang untuk melakukan atau membiarkan melakukan.

Adami Chazawi memberikan pengertian perbuatan memaksa sebagai

perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain

yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima

kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.51

Adapun yang dimaksud dengan kekerasan diutarakan oleh R.Soesilo

sebagai “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara

tidak sah”.52 Sementara M.H.Tirtaamidjaja memberikan pengertian kekerasan

sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat.

Berdasarkan beberapa pendapat dari pakar di atas dapat disimpulkan bahwa

kekerasan merupakan setiap perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan

menggunakan kekutan badan yang besar dimana kekuatan itu mengakibatkan

orang lain tidak berdaya.53

Mengenai ancaman kekerasan, Adami Chazawi mengutarakan bahwa yang

dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah ancaman kekerasan fisik yang

ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan

fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik

50
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hlm:78
51
Ibid:63
52
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,.
Bogor, hlm:98
53
Leden Marpaung. 2008. Asas-Teori-Paktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hlm:52

47
yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin

segala dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuat

hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku.54

Perbuatan cabul terhadap anak diatur pada Pasal 290 KUHP, Pasal 292

KUHP, Pasal 293 KUHP, Pasal 294 ayat (1) KUHP, dan Pasal 295 KUHP serta

Pasal 82 Undag-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terkait

dengan pokok masalah yang dibahas dalam skripsi khususnya untuk jenis kelamin

yang sama. Pasal 292 KUHP menentukan :

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang


belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau
patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun”.

Adapun unsur-unsur dari pasal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Unsur-unsur Subjektif : yang ia ketahui atau sepantasnya harus dapat ia

duga;

2. Unsur-unsur Objektif:

a. Seorang dewasa;

b. Melakukan tindak melanggar kesusilaan;

c. Seorang anak belum dewasa dari jenis kelamin yang sama;

d. Kebelumdewasaan;

Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang dikenal

sebagai “homoseks” dan “lesbian”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, dimuat

arti “homoseksual” dan “lesbian” Dalam keadaan tertarik terhadap orang dari

54
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hlm:65

48
jenis kelamin yang sama (homoseksual), sedangkan “Lesbian” adalah wanita yang

cinta birahi kepada sesama jenisnya (wanita homosesks)”.55

Pada umumnya, pengertian sehari-hari, homoseks dimaksudkan bagi pria,

sedang lesbian dimaksudkan untuk wanita. Kurang jelas kenapa terjadi hal ini

karena sebenarnya dari “homoseksual” adalah perhubungan kelamin antara jenis

kelamin yang sama. Bagi orang yang di bawah umur, perlu dilindungi dari orang

dewasa yang homoseksual/ lesbian, karena sangat berbahaya bagi

perkembangannya, itulah mengapa diciptakan pasal ini untuk melindungi orang

dewasa terutama anak.56

Selanjutnya, Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman


kekerasan, memaksa, melakukan, tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (Tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.
60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah)”.

Apapun unsur-unsur dari pasal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Unsur Objektif :

a. Perbuatannya memaksa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau

membujuk;

b. Objeknya seseorang yang melakukan atau membiarkan melakukan;

c. Perbuatan cabul;
55
Theo Lamintang, 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan. Terhadap Harta Kekayaan, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm:153
56
Leden Marpaung. 2008. Asas-Teori-Paktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hlm:67

49
2. Unsur Subjektif yaitu Sengaja.

Beberapa unsur-unsur dari Pasal 82 ini memiliki kesamaan dengan

unsur-unsur perbuatan cabul pada Pasal 289 KUHP yang telah

diuraikan diatas, hanya saja perbedaannya pada Pasal 82 ini terdapat

beberapa perbuatan yang tidak dirumuskan dalam Pasal 289 KUHP,

yaitu : tipu muslihat, serangkaian kebohongan, dan membujuk.

Mengenai perbuatan memaksa, perbuatan cabul, kekerasan dan

ancaman kekerasan telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya.

Selanjutnya akan diuraikan mengenai tipu muslihat, serangkaian

kebohongan dan membujuk. R.Soesilo mengartikan tipu muslihat sama dengan

akal cerdik yaitu “Suatu tipu yang demikian liciknya sehingga seorang berpikir

normal dapat tertipu”.57 Hal yang hampir sama diutarakan oleh Adami Chazawi

tentang pengertian membujuk yaitu menarik kehendak orang yang bersifat

mengiming-iming.58

Kemudian menurut R.Seosilo, “Membujuk” adalah “Melakukan pengaruh

dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang lain itu menurutinya berbuat

sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan

berbuat demikian”.59

57
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,. Bogor,
hlm:261
58
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hlm:86
59
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,. Bogor,
hlm:261

50
D. Tinjauan Pustaka Tentang Anak

1. Pengertian Anak

Pengertian anak memiliki banyak pengertian menurut beberapa undang-

undang yang berlaku antara lain:

a. Menurut UU No.25 tahun 1997 ttg ketenagakerjaan

Pasal 1 angka 20“ anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur

kurang dari 15 tahun”;

b. Menurut UU RI No.21 tahun 2007 ttg pemberantasan tindak pidana

perdagangan orangPasal 1 angka 5“Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan”;

c. Menurut UU No.44 thn 2008 ttg PornografiPasal 1 angka 4

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun“;

d. Menurut UU No. 3 TAHUN 1997 Tentang Pengadilan Anak

Pasal 1 angka 1“ Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”

e. Menurut UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan AnakPasal 1

angka 1“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan;”

f. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan AnakPasal 1

angka 2“ Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”;

51
g. Konvensi Hak-hak AnakAnak adalah setiap manusia yang berusia di

bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut

ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal;

h. UU No.39 thn 1999 ttg HAMPasal 1 angka 5 “ Anak adalah setiap

manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan

belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal

tersebut adalah demi kepentingannya”;

i. Menurut Agama Islam: “Anak adalah manusia yang belum mencapai akil

baliq ( dewasa ), laki – laki disebut dewasa ditandai dengan mimpi basah,

sedangkan perempuan ditandai dengan masturbasi, jika tanda – tanda

tersebut sudah nampak berapapun usianya maka ia tidak bisa lagi

dikatagorikan sebagai anak – anak yang bebas dari pembebanan

kewajiban”;

j. Pasal 45 KUHP “ anak yang belum dewasa apabila seseorang tersebut

belum berumur 16 tahun”;

k. Pasal 330 ayat (1) KUHperdata“ Seorang belum dapat dikatakan dewasa

jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali seseorang

tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun.”

Dan para ahli juga memiliki beberapa definisi tentang anak, antara lain:

a. Menurut John Locke :“ anak merupakan pribadi yang masih bersih dan

peka terhadap rangsangan – rangsangan yang berasal dari lingkungan”;

b. Menurut Agustinus “ anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak

mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan

52
ketertiban yang di sebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan

pengertian terhadap realita kehidupan, anak – anak lebih mudah belajar

dengan contoh–contoh yang diterimanya dari aturan–aturan yang bersifat

memaksa.”

Serta diatur juga dalam Undang-Undang RI No.11 tahun 2002 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 1 butir 2-5 yang berbunyi:60

a. Anak yang berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik

dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang

menjadi saksi tindak pidana;

b. Anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut anak

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana;

c. Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebur

Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun

yang mengalamu penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi

yang disebabkan oleh tindak pidana;

2. Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak

Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di siding suatu perkara pidana yang di dengar, dilihat, dan/atau,

dialaminya sendiri.

60
Undang-Undang RI No.11 tahun 2002 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 1 butir 2-5

53

Anda mungkin juga menyukai