Anda di halaman 1dari 58

Pharmaceutical Care

pada Pasien Pneumonia


Mahirsyah Wellyan TWH
Pokok Pembahasan
• Proses asuhan kefarmasian pada pasien
pneumonia
• Pemantauan Terapi Obat (PTO) antibiotika
pada pasien pneumonia
• Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
antibiotika pada pasien pneumonia
• Drug related problem pada pneumonia
Manfaat Pharmaceutical Care
pada Pneumonia
• Meningkatkan kepatuhan terhadap pedoman
klinis pneumonia*

* van den Bergh, et al., 2020. A pharmacist-led prospective antibiotic stewardship intervention improves compliance to
community-acquired pneumonia guidelines in 39 public and private hospitals across South Africa. International Journal
of Antimicrobial Agents, 56(6), p.106189.
Manfaat Pharmaceutical Care
pada Pneumonia
• Meningkatkan de eskalasi antibiotika tanpa
merugikan pasien*

*Bianchini, M.L., Mercuro, N.J., Kenney, R.M., Peters, M.A., Samuel, L.P., Swiderek, J. and Davis, S.L., 2019. Improving care for
critically ill patients with community-acquired pneumonia. American journal of health-system pharmacy, 76(12), pp.861-868.
Manfaat Pharmaceutical Care
pada Pneumonia
• Menurunkan re-admisi pasien risiko tinggi
yang didiagnosis pneumonia*

* Lisenby, K.M., Carroll, D.N. and Pinner, N.A., 2015. Evaluation of a pharmacist-specific intervention on
30-day readmission rates for high-risk patients with pneumonia. Hospital pharmacy, 50(8), pp.700-709.
Alur Pelayanan Farmasi Klinik
Mulai Kunjungan ke Ruang Perawatan

Monitoring Terapi Monitoring Efek Samping Obat Monitoring Administrasi

Rekomendasi Terapi Visite Pasien Tindak Lanjut Manajerial

Dokumentasi Data Pelaporan Selesai


Pemantauan Terapi Obat (PTO)
• Proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan
rasional bagi pasien.
• Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan
obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi,
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
rekomendasi perubahan atau alternatif terapi.
• PTO harus dilakukan secara berkesinambungan
dan dievaluasi secara teratur pada periode
tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan
terapi dapat diketahui.
Alur Proses PTO
1. Seleksi Pasien
2. Pengumpulan Data Pasien
3. Identifikasi Masalah Terkait Obat
4. Rekomendasi Terapi
5. Rencana Pemantauan
6. Tindak Lanjut
7. Dokumentasi
SOAP
• SOAP merupakan singkatan dari Subjektif,
Objektif, Asesmen, dan Plan. Metode ini
merupakan salah satu jenis metode dokumentasi
yang dilakukan oleh apoteker farmasi klinik.
• SOAP awalnya dikembangkan berdasarkan
problem-oriented medical record (POMR) yang
pertamakali dibuat hanya untuk dokter, namun
kini metode SOAP bersama dengan metode
dokumentasi lainnya digunakan oleh tenaga
kesehatan lainnya termasuk apoteker.
Data
Subyektif Obyektif
▪ Bersumber dari ▪ Hasil observasi, pengukuran
yang dilakukan oleh PPA
pasien/keluarga ▪ Contoh: TTV, Hasil Lab,
▪ Tidak bisa bacaan X-Ray,CT-
dikonfirmasi Scan,USG,dll
kebenarannya ▪ Terkait obat, problem medik
yang akan mempengaruhi
▪ Dapat berupa obat (misal:CH,CKD)
keluhan ttg obat ▪ Data Farmakokinetik:
▪ Riwayat t1/2,ikatan protein
obat/penyakit/alergi
Assessment
• Hasil asesmen yang ditulis adalah berupa DRP.
• Proses asesmen/analisis hingga menghasilkan DRP
tidak perlu dinyatakan dalam rekam medik.
• Bahasa penulisan DRP sebaiknya tidak bersifat kaku
tetapi lebih menerangkan problem terkait obat yang
akan kita sampaikan, sehingga bisa dinyatakan dalam
bentuk kalimat.
• Bahasa penulisan DRP tidak harus mengikuti kategori
DRP yang tercantum dalam berbagai literatur.
• Bahasa penulisan DRP harus non-judgmental
• Hindari kata : salah, tidak tepat, error, tidak sesuai,
atau kalimat lainnya yang menghakimi.
Plan
▪ Rekomendasi Terapi obat untuk setiap DRP
lengkap dengan dosisnya
▪ Rencana Monitoring Terapi Obat (MTO)
▪ Rencana Konseling
▪ Dalam menyampaikan rekomendasi sebaiknya
tidak menggunakan kalimat perintah tetapi
berupa saran. Misalnya:
▪ Disarankan .................
▪ Monitoring:................
 Merekomendasikan Intervensi Terkait
DRP
› Buatlah perkiraan mengapa resep ini ditulis.
Apakah nampak seperti sebuah kekeliruan
ataukah dikehendaki demikian oleh dokter
penulis resepnya?
› Apakah ada informasi tambahan yang
diperlukan untuk menilai situasi tersebut?
› Identifikasikan alternatif terapi untuk
memberikan rekomendasi terbaik
 Merekomendasikan Intervensi Terkait
DRP
› Perhatikan kepada siapa rekomendasi akan
disampaikan, misal:
 Profesi: dokter, perawat,dll.
 Kepribadian orang yang bersangkutan
 Perbedaan gaya komunikasi
› Pilih waktu yang paling tepat
› Apakah model penyampaian rekomendasi
yang paling sesuai? Tertulis, verbal ataukah
elektronik?
 Menyampaikan pesannya: harus jelas,
lengkap, padat, profesional, dan terstruktur
› Perkenalan
› Jelaskan masalahnya, dukung dengan data
pasien
› Berikan solusi atas permasalahan
› Hindari kalimat “tidak sesuai dengan”, “tidak
tepat”
› Bersikap profesional, jangan gugup atau
canggung
 Penutup, ucapan terimakasih atas waktu
yang diberikan
PTO Antibiotika
pada Pasien Pneumonia
• Antibiotika merupakan obat yang paling sering
digunakan pada kasus pneumonia, sehingga
fokus PTO Pneumonia adalah pada penggunaan
antibiotika.
• Waspada terhadap beberapa antibiotika yang
dapat memperburuk masalah medis pasien,
misalnya penggunaan Siprofloksasin pada
pasien dengan gangguan ginjal berat, atau
penggunaan antibiotika pada pasien dg riwayat
alergi antibiotika.
PTO Antibiotika
pada Pasien Pneumonia
• Identifikasi ESO potensial antibiotika yang
dapat memperpanjang LOS pasien.
• Waspada interaksi obat.
CONTOH KASUS

• Tn. R (45 tahun) menjalani rawat inap di sebuah RS. Tidak ada
riwayat sakit sebelumnya. Setelah dilakukan pemeriksaan,
dokter menyimpulkan adanya community acquired pneumonia
(CAP). Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 78 x per menit, RR
20 x per menit, Temperatur 38.9 ⁰C. Hasil pemeriksaan lab
menunjukkan nilai lekosit 13.000 103/µl, laju endap darah 16
mm/jam, SGPT 32 U/L, SGPT 30 U/L, kreatinin serum 3 mg/dL,
Natrium 140 mmol/L, HDL kolesterol 40 mg/dL. Obat yg
diberikan Amoksisilin 1 g tiap 8 jam, Parasetamol 500 mg tiap 8
jam, dan infus RL 15 tetes per menit. Ketika visite, apoteker
menemukan keluhan mual pada pasien, serta diare.
SOAP

• S: mual, muntah.
• O: Temperatur 38.9 ⁰C, lekosit 13.000 103/µl, laju endap darah
16 mm/jam, SGPT 32 U/L, SGPT 30 U/L, kreatinin serum 3
mg/dL. CrCl 22,73 mL/menit.
• A: Dosis Amoksisilin utk gangguan ginjal berat (CrCl 10-30 mL
/ menit): 250-500 mg setiap 12 jam, curiga mual/muntah akibat
Amoksisilin dg skor Naranjo 6.
• P: rekomendasi untuk menyesuaikan dosis Amoksisilin, monitor
mual/muntah pasien.
Efek Samping Obat (ESO)
• Respon terhadap suatu obat yang merugikan
dan tidak diinginkan, yang terjadi pada dosis
yang biasanya digunakan pada manusia untuk
pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit
atau untuk modifikasi fungsi fisiologis (BPOM
RI, 2012)
Jenis Efek Samping
• Tipe A
– Efek samping yang sudah terdeteksi saat uji klinik,
berkaitan dengan dosis (dose-related) dan timbul
berkaitan dengan efek farmakologi (khasiat) dari
obat
– Berkaitan dengan dosis (dose-related) dan timbul
berkaitan dengan efek farmakologi (khasiat) dari
obat tersebut.
– Efek samping tidak berat
Jenis Efek Samping
• Tipe B
– Jenis efek samping yang berupa alergi obat
– Umumnya berbahaya dan mengancam jiwa
– Pemberian obat dikontraindikasikan pada pasien yang
mengalami alergi ini.
• Tipe C
– Efek samping yang sulit dideteksi (karena tidak terjadi
seketika)
– Timbul akibat pemakaian obat dalam jangka panjang
Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
• Program pemantauan keamanan obat yang
dilakukan secara kolaboratif untuk
mendukung upaya penjaminan keamanan
obat yang diberikan kepada pasien.
• Semua efek samping obat harus diketahui oleh
Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP)
Algoritma Naranjo
Algoritma Naranjo
• Isilah pada poin 1-10 sesuai kondisi ESO.
• Jumlahkan skor menjadi skor total di akhir kolom.
• Nilai skor total akan menyatakan kemungkinan
ESO
– Skor Naranjo 0 : doubtful (meragukan)
– Skor Naranjo 1-4 : possible (mungkin terjadi efek
samping)
– Skor Naranjo 5-8 : probable (mungkin sekali
terjadi efek samping)
– Skor Naranjo ≥ 9 : definite (pasti terjadi efek
samping)
Cara Melaporkan ESO
• Laporan ESO diperoleh dari pasien atau tenaga
kesehatan (dokter/perawat)
• Laporan diteruskan ke BPOM melalui surat
menggunakan formulir kuning
• Secara offline (formulir kuning) atau online (website
http://e-meso.pom.go.id)
Formulir
Kuning
Pelaporan
ESO
Melaporkan ESO Secara Online
MESO pada Pneumonia
• Amoksisilin, dosis 1 g PO setiap 8 jam
• Azitromisin, dosis 500 mg PO tunggal, kemudian 250 mg PO sehari selama
4 hari.
• Klaritromisin, 250 mg PO setiap 12 jam selama 7-14 hari
• Doksisiklin, 100 mg PO tiap 12 jam
• Moksifloksasin, 400 mg PO / IV setiap hari selama 7-14 hari
• Ampisilin sulbaktam, 1,5 g (1 g ampisilin + 0,5 g sulbaktam) sampai 3 g (2 g
ampisilin + 1 g sulbaktam) IV setiap 6 jam selama 5 hari atau lebih
• Levofloksasin, 500 mg PO / IV 1 x / hr selama 7-14 hari atau 750 mg PO /
IV 1 x / hr selama 5 hari
• Seftriakson, 1 g IV tiap 24 jam
• Vankomisin, 15 mg/kg IV tiap 12 jam
• Tigesiklin, 100 mg IV loading dose, kemudian 50 mg IV tiap 12 jam selama
7-14 hari
Amoksisilin
• Turunan ampisilin dan memiliki kesamaan
spektrum antibakteri (organisme gram positif
dan gram negatif tertentu)
• Aksi bakterisidal serupa dengan penisilin
• Bekerja pada bakteri yang rentan selama
tahap multiplikasi dengan menghambat
biosintesis mukopeptida dinding sel.
Amoksisilin
• Dosis: 1 g PO setiap 8 jam
• Penyesuaian dosis:
– Gangguan ginjal ringan hingga sedang (CrCl ≥30 mL /
menit): Tidak perlu penyesuaian dosis
– Gangguan ginjal berat (CrCl 10-30 mL / menit): 250-
500 mg setiap 12 jam, tergantung tingkat keparahan
infeksi; jangan melebihi dosis 875 mg
– Gangguan ginjal berat (CrCl <10 mL / menit) atau
pasien yang menjalani hemodialisis: 250-500 mg
setiap 24 jam, tergantung pada tingkat keparahan
infeksi.
Amoksisilin
• Potensi ESO: diare, sakit kepala, anemia, mual, muntah,
kulit kemerahan, peningkatan nilai tes fungsi hati.
• Waspada: jangan diberikan pada pasien dengan riwayat
alergi penisilin.
• Penggunaan pada kehamilan: Data yang tersedia dari
studi epidemiologi yang diterbitkan dan laporan kasus
farmakovigilans selama beberapa dekade dengan
penggunaan amoksisilin belum menetapkan risiko
terkait obat dari cacat lahir dan keguguran, atau hasil
ibu atau janin yang merugikan.
Azitromisin
• Mengikat subunit ribosom 50S dari
mikroorganisme yang rentan dan memblokir
disosiasi peptidil tRNA dari ribosom,
menyebabkan sintesis protein yang
bergantung pada RNA terhenti; tidak
mempengaruhi sintesis asam nukleat.
• Dosis 500 mg PO tunggal, kemudian 250 mg
PO sehari selama 4 hari
Azitromisin
• Gunakan hanya untuk mengobati infeksi yang
terbukti atau diduga kuat disebabkan oleh
bakteri yang rentan untuk mengurangi
perkembangan bakteri yang resistan terhadap
obat dan menjaga efektivitas azitromisin.
• Potensi ESO: diare, mual, sakit perut,
peningkatan parameter laboratorium
(SGOT/SGPT, kreatinin, bilirubin).
Azitromisin
• Sebaiknya tidak digunakan pada pasien dg
riwayat penyakit kuning kolestatik / disfungsi
hati yang berhubungan dengan penggunaan
azitromisin sebelumnya.
• Penggunaan pada kehamilan: data yang
tersedia tentang penggunaan pada wanita
hamil belum mengidentifikasi risiko terkait
obat untuk cacat lahir mayor, keguguran, atau
hasil ibu atau janin yang merugikan
Klaritromisin
• Antibiotik makrolida semisintetik yang mengikat secara
reversibel ke situs P subunit ribosom 50S dari organisme
yang rentan dan dapat menghambat sintesis protein yang
bergantung pada RNA dengan merangsang disosiasi peptidil
t-RNA dari ribosom, sehingga menghambat pertumbuhan
bakteri.
• Diindikasikan untuk pengobatan infeksi ringan hingga
sedang yang disebabkan oleh isolat rentan yang disebabkan
oleh Haemophilus influenzae, Haemophilus parainfluenzae,
Moraxella catarrhalis, Mycoplasma pneumoniae,
Streptococcus pneumoniae, atau Chlamydophila
pneumoniae
• Dosis: 250 mg PO setiap 12 jam selama 7-14 hari
Klaritromisin
• Penyesuaian dosis:
– CrCl 30-60 mL / menit: Tidak perlu penyesuaian dosis.
– CrCl <30 mL / menit: Kurangi dosis klaritromisin
hingga 50%
• Potensi ESO: rasa tidak nyaman di perut,
perubahan rasa di lidah, diare, mual.
• Penggunaan pada kehamilan: obat tidak
dianjurkan untuk digunakan pada wanita hamil
kecuali dalam keadaan klinis di mana tidak ada
terapi alternatif yang sesuai
Klaritromisin
• Perhatian, hati-hati bila digunakan pada pasien
ini:
– Riwayat penyakit kuning kolestatik atau disfungsi hati
yang berhubungan dengan penggunaan klaritromisin
sebelumnya
– Pemberian bersama kolkisin pada pasien dengan
gangguan ginjal atau hati
– Pemberian bersamaan dengan HMG-CoA reductase
inhibitors (statin) yang dimetabolisme secara ekstensif
oleh CYP3A4 (lovastatin, simvastatin), karena
peningkatan risiko miopati, termasuk rhabdomyolysis.
Doksisiklin
• Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan
bakteri dengan mengikat subunit ribosom 30S
dan 50S dari bakteri yang rentan; dapat
memblokir disosiasi peptidil t-RNA dari ribosom,
menyebabkan sintesis protein yang bergantung
pada RNA terhenti.
• Diindikasikan untuk infeksi saluran pernapasan
yang disebabkan oleh: Haemophilus influenzae,
Klebsiella spesies, Streptococcus pneumoniae
• Dosis: 100 mg PO tiap 12 jam
Doksisiklin
• Potensi ESO: diare, anoreksia, anafilaksis,
perubahan warna gigi.
• Penggunaan tetrasiklin selama perkembangan
gigi (paruh terakhir kehamilan hingga usia 8
tahun) dapat menyebabkan perubahan warna
permanen pada gigi; gunakan doksisiklin pada
pasien anak-anak berusia 8 tahun atau kurang
hanya jika manfaat potensial diharapkan lebih
besar daripada risiko dalam kondisi yang parah
atau mengancam jiwa.
Moksifloksasin
• Menghambat subunit DNA gyrase,
mengakibatkan penghambatan replikasi dan
transkripsi DNA bakteri.
• Dosis: 400 mg PO / IV setiap hari selama 7-14
hari
• Potensi ESO: diare, mual, penurunan kadar
glukosa darah.
Moksifloksasin
• Fluorokuinolon telah dikaitkan dengan efek
samping serius yang melumpuhkan dan
berpotensi ireversibel, antara lain: tendinitis
dan ruptur tendon, neuropati perifer, dan efek
SSP.
• Penggunaan pada kehamilan: tidak ada data
manusia yang tersedia yang menetapkan risiko
terkait obat.
Ampisilin sulbaktam
• Kombinasi obat penghambat beta-laktamase
dengan ampisilin; mengganggu sintesis
dinding sel bakteri selama replikasi aktif,
menyebabkan aktivitas bakterisidal terhadap
organisme yang rentan; alternatif untuk
amoksisilin bila tidak dapat minum obat
secara oral.
• Potensi ESO: nyeri pada lokasi suntikan, diare,
kulit kemerahan.
Ampisilin sulbaktam
• Dosis: 1,5 g (1 g ampisilin + 0,5 g sulbaktam)
hingga 3 g (2 g ampisilin + 1 g sulbaktam) IV
setiap 6 jam selama 5 hari atau lebih.
• Penyesuaian dosis:
– CrCl 5-14 mL / menit / 1,73 m²: 1,5 g (1 g ampisilin +
0,5 g sulbaktam) hingga 3 g (2 g ampisilin + 1 g
sulbaktam) IV setiap 24 jam
– CrCl 15-29 mL / menit / 1,73 m²: 3 g (2 g ampisilin + 1
g sulbaktam) IV setiap 12 jam
– CrCl ≥ 30 mL / menit / 1,73 m²: Tidak perlu
penyesuaian dosis
Levofloksasin
• Menghambat aktivitas gyrase DNA, yang pada
gilirannya mendorong kerusakan untaian DNA.
• Monoterapi yang baik dengan cakupan yang
lebih luas terhadap Pseudomonas spp, serta
aktivitas yang sangat baik melawan
pneumokokus.
• Dosis: 500 mg PO / IV 1 x / hr selama 7-14 hari
atau 750 mg PO / IV 1 x / hr selama 5 hari.
• Dosis disesuaikan dengan nilai CrCl.
Levofloksasin
• Potensi ESO: diare, sakit kepala, mual.
• Fluoroquinolon oral dan suntik dikaitkan
dengan efek samping pada tendon, otot,
persendian, saraf, dan sistem saraf pusat.
• Penggunaan pada kehamilan: levofloxacin
belum terbukti meningkatkan risiko cacat lahir
mayor, keguguran atau hasil ibu atau janin
yang merugikan.
Seftriakson
• Sefalosporin generasi ketiga dengan aktivitas
gram negatif spektrum luas; sangat stabil dengan
adanya beta-laktamase (penisilinase dan
sefalosporinase) dari bakteri gram negatif dan
gram positif; memberikan efek antimikroba
dengan mengganggu sintesis peptidoglikan
(komponen struktural utama dinding sel bakteri.
• Dosis: 1 g IV tiap 24 jam
• Potensi ESO: diare, anafilaksis
Vankomisin
• Menghambat biosintesis dinding sel;
memblokir polimerisasi glikopeptida dengan
mengikat secara erat ke bagian D-alanyl-D-
alanine dari prekursor dinding sel.
• Dosis: 15 mg/kg IV tiap 12 jam
• Potensi ESO: mual, nyeri perut, hipokalemia,
ototoksisitas, acute kidney injury (AKI).
Tigesiklin
• Antibiotik glycylcycline yang secara struktural
mirip dengan antibiotik tetrasiklin; menghambat
translasi protein bakteri dengan mengikat subunit
ribosom 30S, dan memblokir masuknya molekul
amino-asil tRNA di situs ribosom A.
• Dosis: 100 mg IV loading dose, kemudian 50 mg
IV tiap 12 jam selama 7-14 hari.
• Pada pasien dg kelainan fungsi hati berat, dosis
pemeliharaan 25 mg IV setiap 12 jam (setelah
awal 100 mg)
Tigesiklin
• Potensi ESO: mual, muntah, diare, pankreatitis
akut, anafilaksis.
• Gunakan dg hati-hati pada pasien penderita
gangguan fungsi hati yang berat.
• Penggunaan pada kehamilan: menyebabkan
perubahan warna permanen pada gigi sulung
dan penghambatan pertumbuhan tulang yang
reversibel saat diberikan selama trimester
kedua dan ketiga kehamilan
Drug-related Problem pada
Pneumonia
• Drug-related problem (DRP) adalah peristiwa
atau keadaan yang melibatkan terapi obat
atau berpotensi mengganggu hasil kesehatan
yang diinginkan.
Jenis DRP
• Terapi obat yang tidak perlu
• Reaksi obat yang merugikan
• Salah obat
• Dosis terlalu rendah
• Kepatuhan
• Dosis terlalu tinggi
• Terapi obat tambahan
 Hasil yang diperoleh dari 28 pasien di
sebuah RS menunjukkan kejadian DRP
kategori obat tidak tepat 1 kejadian
(1,7%), kombinasi obat tidak tepat 35
kejadian (58,3%), dosis obat terlalu
rendah 18 kejadian (30%), dan dosis obat
terlalu rendah 6 kejadian (10%)*

*Astiti, P. M. A., Mukaddas, A., & Illah, S. A. (2017). Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Pediatri Pneumonia Komunitas
di Instalasi Rawat Inap RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah: Identification of Drug Related Problems In Pediatric Patients With
Community Acquired Pneumonia at Madani Hospital Central Sulawesi. Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy) (e-
Journal), 3(1), 57 - 63. https://doi.org/10.22487/j24428744.2017.v3.i1.8140
DRP pada Kasus Pneumonia
 Pada sebuah penelitian di RS di Jakarta, kasus
yang terbanyak terjadi yaitu efek obat tidak
optimal sebanyak 20 kasus (80%), dosis kurang
sejumlah 2 kasus (8%), frekuensi pemberian kurang
sejumlah 15 kasus (60%), dosis berlebih sebanyak
3 kasus (12%)*

* Istita, D.G., Laksmitawati, D.R. and Niken, M., 2020. Evaluasi penggunaan obat dan identifikasi drug related
problem (DRP) pada pasien pneumonia di ruang rawat inap rumah sakit umum pusat Fatmawati Jakarta (periode
Desember 2014–Februari 2015). Holistik Jurnal Kesehatan, 14(1), pp.129-139.
Peran Apoteker
pada Tatalaksana Pneumonia
• Bekerjasama dalam tim PPA (Profesional
Pemberi Asuhan) untuk menjamin efektivitas
terapi berdasarkan kebutuhan pasien, antara
lain:
– Pertimbangan biaya
– Penyakit penyerta
– Interaksi obat
– Potensi ESO
Peran Apoteker
pada Tatalaksana Pneumonia
• Pemantauan terapi obat pneumonia
• Konseling pasien
– Outcome terapi yang optimal
– Kepatuhan pasien meningkat
– Pasien bebas dari rasa cemas terkait obat
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai