Bab 1-7 21 Juni 2019
Bab 1-7 21 Juni 2019
TESIS
AFDHAL
1706091700
DEPOK
2019
i
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar M.Sos
AFDHAL
1706091700
DEPOK
JUNI 2019
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
Nama : Afdhal
NPM : 1706091700
Tanda Tangan :
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang perlukan untuk memperoleh gelar Magister Sosial (M.Sos) pada
program studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : ......................................
Tanggal : .....................................
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sosial Jurusan
Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan Bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Dr. Ricardi S. Adnan, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;
(2) pihak Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang telah banyak membantu dalam
usaha memperoleh data yangsaya perlukan;
(3) orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan
moral; dan
(4) sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Afdhal
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Afdhal
NPM : 1706091700
Program Studi : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya : Tesis
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 25 Juni 2019
Yang menyatakan
( Afdhal )
vi
ABSTRAK
Nama : Afdhal
Program Studi : Sosiologi
Judul : Perlawanan Gerakan Guru Pasca Orde Baru di Indonesia:
Studi Pada Federasi Serikat Guru Indonesia
Pembimbing : Dr. Ricardi S. Adnan, M.Si
Tulisan ini berangkat dari fenomena menjamurnya gerakan guru pasca jatuhnya rezim
Orde Baru. Guru yang tergabung dalam serikat guru memperjuangkan keadilan sosial
yang semestinya didapatkan oleh guru dan masyarakat pendidikan. Studi-studi
sebelumnya melihat gerakan guru sebagai akibat militerisasi, kekangan pemerintah,
kapitalisasi pendidikan, dan kesenjangan kesejahteraan guru. Gerakan guru yang
muncul ini mengakibatkan perubahan dalam aspek politik, ekonomi dan budaya.
Sementara itu, dalam penelitian ini peneliti ingin menunjukkan bahwa perubahan sosial
politik dan kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan yang menjadi pemicu
meningkatnya gerakan guru. Perubahan sosial politik di Indonesia terlihat sejak
munculnya kebebasan berorganisasi dan berpendapat yang semulanya terkekang oleh
otoritas pemerintah Orde Baru. Selain itu, kesenjangan sosial tersebut dilihat dari aspek
kesenjangan kesejahteraan guru, kesenjangan pembangunan infrastuktur pendidikan,
dan kesenjangan dalam proses belajar mengajar. Hal ini menyebabkan gerakan guru
masa Orde Baru mengalami kebuntuan. Namun setelah Orde Baru tumbang dan
kebebasan tersebut diberikan, gerakan guru yang termanifestasi dalam organisasi-
organisasi guru semakin berkembang untuk menyuarakan kesenjangan yang terjadi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan mengombinasikan
beberapa metode pengumpulan data, yakni observasidan awancara mendalam.
Kata kunci:
Gerakan Sosial, Gerakan Serikat Guru, Keadilan Sosial, Orde Baru
vii
ABSTRACT
Name : Afdhal
Study Program : Sosiology
Title : Resistance of the Teacher Movement after the Orde Baru in Indonesia:
Study of the Indonesian Teachers Union Federation
Counsellor : Dr. Ricardi S. Adnan, M.Si
This paper departs from the phenomenon of the proliferation of teacher movements after
the fall of the Orde Baru regime. Teachers who are members of teacher unions fight for
social justice that should be obtained by teachers and the education community.
Previous studies looked at teacher movements as a result of militarization, government
restraints, educational capitalization, and teacher welfare disparities. This emerging
teacher movement resulted in changes in political, economic and cultural aspects.
Meanwhile, in this study the researchers wanted to show that socio-political change and
social inequality in the world of education were the triggers for the increase in the
teacher's movement. The socio-political changes in Indonesia have been seen since the
emergence of freedom of organization and the opinion that was originally constrained
by the Orde Baru government authorities. In addition, the social gap is seen from the
aspect of the gap in teacher welfare, the gap in educational infrastructure development,
and the gap in the teaching and learning process. This caused the movement of the
teacher of the Orde Baru to suffer a deadlock. But after the Orde Baru collapsed and
freedom was given, the teacher movement manifested in teacher organizations grew to
voice the gap. This study uses a qualitative research approach by combining several
methods of data collection, namely observation, and in-depth interviews
Keywords:
Social Movement, Teacher Movement Unions, Social Justice, Orde Baru
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS .............................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................... vi
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................ vi
ABSTRAK ..................................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................ xii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................................ xv
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Permasalahan Penelitian .................................................................................... 4
1.3 Pertanyaan Penelitan .......................................................................................... 9
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 9
1.5 Signifikansi Penelitian ....................................................................................... 9
1.6 Sistematika Penulisan ...................................................................................... 10
BAB II : KERANGKA KONSEPTUAL ....................................................................... 12
1.1 Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 12
2.2 Definisi Konseptual ......................................................................................... 19
2.3 Kerangka Konseptual ....................................................................................... 30
2.4 Gambar Kerangka Penalaran ........................................................................... 32
BAB III : METODE PENELITIAN ............................................................................... 34
3.1 Pendekatan Penelitian ...................................................................................... 34
3.2 Jenis Penelitian ................................................................................................ 35
3.3 Unit Analisis .................................................................................................... 35
3.4 Subjek Penelitian ............................................................................................. 36
3.5 Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data .................................................. 36
3.6 Teknik Pengolahan Data .................................................................................. 37
ix
x
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Penelitian Gerakan Sosial Terdahulu................................. 13
Gambar 2.2 Pemetaan Gerakan Sosial dalam Penelitian ini ......................... 14
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual ......................... ......................... ........... 33
Gambar 4.1 Gedung SD Sarampi ......................... ......................... ............. 62
Gambar 5.1 Kerangka Perjuangan Pergerakan FSGI .................................... 74
Gambar 6.1 Road Map Isu Pendidikan yang Menjadi Sorotan FSGI .......... 98
Gambar 6.2 Posisi Gerakan FSGI dan dalam Isu Pendidikan ...................... 99
Gambar 6.3 Kontestasi dalam ruang politik pendidikan .............................. 111
xi
DAFTAR SINGKATAN
A
AJB : Asuransi Jiwa Bumiputra
APBN : Anggrana Pendapatan dan Belanja Negara
APG : Aliansi Perjuangan Guru
APK : Angka Partisipasi Kasar
ASN : Aparatur Sipil Negara
C
COB : Chineesche Onderwijzer's Bond
COV : Christelijke Onderwijzer's Vereeniging
D
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
F
FAGI : Forum Aspirasi Guru Indonesia
FDGP : Forum Diskusi Guru Pandeglang
FGII : Federasi Guru Independen Indonesia
FHK2I : Forum Honorer K2 Indonesia
Figurmas : Forum Interaksi Guru Banyumas
FMGJ : Forum Musyawarah Guru Jakarta
FSGI : Federasi Serikat Guru Indonesia
G
GEM : Global Education Monitoring
Golkar : Golongan Karya
H
HIK : Hollands Inlands Kweekschool
HKS : Hogere Kweekschool
HKSB : Hogere Kweekschool Bond
Honda : Honor Daerah
I
ICW : Indonesian Corruption Watch
IGHI : Ikatan Guru Honorer Indonesia
IGI : Ikatan Guru Indonesia
IPM : Indeks Pembangunan Manusia
xii
xiii
K
KKN : Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
KOB : Katholieke Onderwijzer's Bond
Kobar GB : Koalisi Barisan Guru Bersatu
Komnas : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
HAM
Korpri : Korps Pegawai Republik Indonesia
Korsel : Korea Selatan
Korut : Korea Utara
KSB : Kweekschool Bond
KSG : Konsorsium Sertifikasi Guru
L
LBH : Lembaga Bantuan Hukum
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
N
NGOs : Non-Government Organizations
NIOG : Nederlands Indische Onderwijzer's Genootschap
NKRI : Negara Kesaruan Republik Indonesia
NU : Nahdlatul Ulama
O
O.L.Mij. : Onderlinge Levensverzekering Maatschappij P.G.H.B.
PGHB
OVO : Onderwijzer's Vak Organisatie
P
Pergunu : Persatuan Guru Nahdlatul Ulama
PGAS : Perserikatan Guru Ambacht School
PGD : Perserikatan Guru Desa
PGHB : Persatuan Guru Hindia Belanda
PGI : Persatuan Guru Indonesia
PGRI : Persatuan Guru Republik Indonesia
PGSI : Persaudaraan Guru Sejahtera Indonesia
PNS : Pegawai Negeri Sipil
PNs : Perkumpulan Normaalschool
PUTERA : Pusat Tenaga Rakyat
PVPN : Persatuan Vaknonden Pegawai Negeri
Universitas Indonesia
xiv
R
RSBI : Rintisan Sekolah Berstandar Internasional
S
SAHDAR : Sentra Advokasi Hak Pendidikan Rakyat
Segel : Serikat Guru Lebak
SEGI : Serikat Guru Indonesia
SG : Sekolah Guru
SGA : Sekolah Guru Atas
SGB : Sekolah Guru Besar
SGM : Sekolah Guru menengah
SGS : Serikat Guru Serang
SGT : Sekolah Guru Tinggi
SGT : Serikat Guru Tangerang
SIGAT : Serikat Guru Kota Tangeramg
SOB : School Opziener's Bond
SR : Sekolah Rendah
U
UKG : Uji Kompetensi Guru
UMR : Upah Minimum Regional
UN : Ujian Nasional
UNDP : United Nation Development Programme
UU : Undang-undang
V
VOB : Vaak Onderwijser's Bond
W
Wasekjen : Wakil Sekretaris Jendral
Universitas Indonesia
xv
DAFTAR ISTILAH
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Berbeda pula dengan gerakan guru pada Negara Dunia Ketiga, agenda yang
diperjuangkannya adalah keadilan sosial yang seharusnya didapatkan oleh guru
(Lemus, 2015; Coomer, Jackson, & Dagli, 2018; Kaur, 2012; Rottmann, 2013).
Misalnya di Uganda, permasalahan pokoknya adalah kesejahteraan dan
profesionalisme guru. Guru dituntut untuk lebih professional sedangkan pada sisi
lain kesejahteraan guru semakin memprihatinkan (Namara & Kasaija, 2016).
Hampir sama dengan permasalahan di Meksiko, komersialisasi pendidikan semakin
menjadi-jadi, pemerintah yang korup, berubahnya struktur dan sistem pendidikan
yang membuat serikat guru semakin gencar dalam gerakan sosial (Lemus, 2015).
Permasalahannya juga hampir sama dengan negara-negara di Asia. Misalnya Korea
Selatan, gerakan serikat guru muncul karena tiga hal utama yakni tekanan ekonomi,
mileter dan warisan gelombang kolonialisme (Synott, 2001; 2002; 2007). Begitu
juga dengan gerakan guru yang ada Taiwan dan Filipina. Gerakan guru ini muncul
atas warisan gelombang kolonialisme, tekanan militer dan krisis demokrasi (Synott,
2002; Hsiao, 2008).
1
2
Senada juga dengan studi Farisi (2013) yang menyatakan bahwa semenjak
runtuhnya Orde Baru, organisasi profesi guru dan kependidikan telah berkembang
pesat. Temuannya bahwa lebih dari 100 organisasi profesi guru dan kependidikan
tumbuh dan berkembang pasca Orde Baru. Arah gerakan organisasi ini pun
beragam, ada yang dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor akademik profesional,
yuridis-formal, serta konteks sosial politik organisasi (Farisi, 2013). Di lain pihak,
tidak dapat dipungkiri juga bahwa PGRI sebagai organisasi profesi guru yang
“tertua” dan “terbesar” di Indonesia juga mempunyai fungsi yang sama dengan
organisasi-organisasi guru yang lahir setelah Orde Baru. Setidaknya, ada dua issu
Universitas Indonesia
3
utama yang diperjuangkan oleh PGRI yakni kesejahteraan guru dan profesionalisme
guru yang tertuang dalam visi dan misi PGRI. Hal ini juga senada dengan
Murwaningsih (2004) bahwa peranan PGRI sebagai peningkatan profesionalisme
dan kesejahteraan guru.
Selain ketidakpuasan terhadap PGRI, konstitusi negara pun tidak ada secara
eksplisit maupun implisit mengatakan bahwa guru harus masuk dalam organisasi
profesi PGRI. Dilain pihak, konstitusi juga tidak menyebutkan bahwa PGRI
merupakan organisasi satu-satunya dan dilegalkan sebagai organisasi guru. Yang
ada hanya dalam UU Guru dan Dosen pada Bab III, Pasal 7 ayat 1 menyatakan
bahwa "Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip”. Kemudian frase tentang prinsip ini dijelaskan
kembali pada butir i bahwa: "(guru harus) memiliki organisasi profesi yang
mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru." Disini, sudah jelas bahwa PGRI bukan satu-satunya
organisasi profesi guru yang dilegalkan sebagai organisasi guru (Salim, 2017).
Universitas Indonesia
4
yang disampaikan Farisi (2013) bahwa peranan dari organisasi guru tetap sama
yakni seputar permasalahan pendidikan, kperesejahteraan guru dan profesionalisme
guru. Namun, dari sekian banyaknya organisasi guru yang muncul, ada satu
organisasi guru yang menarik perhatian peneliti, yakni Federasi Serikat Guru
Indonesia (FSGI). Salah satu alasan peneliti memilih FSGI adalah FSGI merupakan
organisasi guru yang sangat vokal dalam upaya memperjuangkan keadilan bagi guru
dan siswa. Hal ini dibuktikan dengan jejak digital FSGI yang begitu ramai
diperbincangkan dan memperbincangkan keadilan bagi dunia pendidikan. Selain itu,
isu yang dibahas oleh FSGI juga tidak hanya sebatas kesejahteraan guru dan
profesionalisme guru, tetapi lebih luas lagi yakni terkait pendidikan pluralisme,
korupsi di sekolah, dan sebagainya. Namun disini, peneliti akan memfokuskan pada
bagaimana peran FSGI dalam gerakan guru terkait isu kesejahteraan guru dan
profesionalisme guru yang dilihat dari konteks sosial-politik Indonesia pasca Orde
Baru.
Universitas Indonesia
5
yayasan, maka relasinya dengan yayasan, dan nominal balas jasa guru tersebut yang
diberikan oleh yayasan. Ketika status guru sebagai pegawai pemerintah, maka
relasinya dengan pemerintah. Hal yang menjadi persoalan adalah ketika balas jasa
yang diterima guru tidak seimbang dengan apa yang diberikan oleh guru (Rumtini,
2014). Baik itu guru yang berstatus sebagai pegawai yayasan atau status pegawai
pemerintah negara yang mempunyai legitimasi tertinggi seharusnya memperhatikan
terkait kesejahteraan guru. Pada kenyataannya, kesejahteraan guru masih belum
terakomodasi dengan merata. Hal ini terlihat dari banyaknya tuntutan guru untuk
meningkatkan kesejahteraan guru, terutama guru honorer. Misalnya, para guru
honorer yang tergabung dalam Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) menuntut
pemerintah untuk merealisasikan janjinya tentang pengangkatan PNS untuk K2
(Ihsanudin, 2018). Begitupula dengan ribuan guru honorer di Jember yang menuntut
kesejahteraan dan melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPRD Jember
(Mulyono, 2018).
Memang tidak dipungkiri lagi jika gaji dari guru PNS telah dapat dikatakan
“menyejahterakan” guru. Namun, data dari Kemendikbud bahwa pada tahun
2014/2015 jumlah keseluruhan guru yang tercatat adalah 3.717.576 orang yang
tersebar setiap jenjang pendidikan. Dari sekian banyak guru, jumlah guru PNS
1.958.209 orang dan guru Non-PNS sebanyak 1.759.367 orang. Realitasnya,
sebagian besar guru Non-PNS mendapatkan gaji yang tidak menyejahterakan. Di
daerah, gaji guru honorer hanya berkisar 500 ribu/bulan, sedangkan gaji guru PNS
yang di Jakarta bisa mencapai 15 juta (Deni, 2018). Kondisi ini tentu tidak adil
untuk guru honorer, dengan beban kerja yang sama, mengajar dengan metode yang
cenderung sama, dan tugas yang sama, namun balas jasa yang berbeda (Salim,
2017).
diamanahkan pula dalam UU tersebut bahwa untuk menjadi guru yang profesional
setidaknya mencukupi tiga kualifikasi, yakni kualifikasi akademik, kompetensi dan
sertifikasi. Kualifikasi akademik yang dimaksud adalah ijazah dan kualifikasi
pendidikan yang ditempuh oleh guru. Ketika guru tersebut mengajar bidang studi
sosiologi, maka seharusnya kualifikasi akademik yang dimilikinya adalah
pendidikan sosiologi. Namun permasalahannya masih banyak guru yang mengajar
tidak berdasarkan kualifikasi yang diampu (Salim, 2017).
1
Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG) dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 056/P/2007 tentang Pembentukan Konsorsium Sertifikasi Guru. Tugas dari KSG adalah (1)
merumuskan standar proses dan hasil sertifikasi guru, (2) melaksanakan harmonisasi dan sinkronisasi
kebijakan sertifikasi guru (3) mengkoordinasikan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang dilakukan
oleh Tim independen.
Universitas Indonesia
7
Selain itu hasil atau kinerja dari guru yang telah disertifikasi dibandingkan
dengan guru yang tersertifikasi belum terjamin lebih baik. Seperti studi Ningsih
(2015) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kinerja antara guru yang sudah
tersertifikasi dengan guru yang belum tersertifikasi. Lebih lanjut ia menyebutkan
bahwa kinerja guru yang sudah bersertifikat pendidik maupun yang belum
bersertifikat pendidikberada pada kategori baik dengan nilai rata-rata 89,84 dan
88,44. Senada dengan Siswandari & Susilaningsih (2013) yang menyatakan guru
yang telah bersertifikasi belum menunjukkan peningkatakan kualitas pendidikan
yang signifikan di kelas. Kondisi yang seperti ini sejalan dengan inkonsistensinya
model dan pelaksanaan program sertifikasi. Seperti yang diungkapkan oleh Plt
Ketum PGRI bahwa permasalahan dari sertifikasi yakni model dan pelaksanaan
sertifikasi sering berubah-ubah. Selain itu kuotanya yang sangat kecil dengan
kurang dari 50.000 sehingga guru yang belum tersertifikasi harus menunggu.
Disamping itu, permasalahan benturan kebijakan dengan kebijakan pemberian izin
dan tugas belajar (Bona, 2016).
Universitas Indonesia
8
Universitas Indonesia
9
ini diposisikan sebagai kritikan terhadap kajian terdahulu yang melihat gerakan
sosial tidak secara parsial, melainkan memandang secara holistik.
Kemudian Bab kedua berisi tentang kajian pustaka dari penelitian. Bab ini
akan dielaborasi menjadi beberapa subbab antara lain studi sejenis terdahulu, dan
konsep-konsep gerakan sosial sebagai pisau analisis dari penelitian ini.
Universitas Indonesia
11
organisasi tersebut. Selain itu, peneliti juga akan mendeskripsikan proses negosiasi
dalam gerakan guru yang dilakukan oleh aktivis gerakan dengan pemerintah. Dan
Bab terakhir akan ditutup dengan kesimpulan dan saran dari studi ini.
Universitas Indonesia
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
Bab ini akan menjelaskan tentang kerangka pemikiran tulisan ini yang
mencakup tiga hal yakni tinjauan pustaka, definisi konseptual dan kerangka
konseptual. Tinjauan pustaka ini berkaitan dengan paparan singkat tentang studi-
studi terdahulu. Di sini, peneliti akan mengkritisi kajian-kajian terdahulu, dan
memberikan argumentasi atas kelebihan dan kelemahan dari penelitian tersebut. Di
sisi lain, definisi konseptual berkaitan dengan penjelasan singkat tentang konsep
yang dipakai dan memberikan batasan konsep. Terakhir, kerangka konseptual
berkaitan dengan penjelasan konsep-konsep dalam studi ini yang akan digunakan
sebagai pisau analisis untuk membedah gerakan guru di Indonesia, terutama gerakan
yang dilakukan oleh FSGI.
12
13
Gambar 2.1
Peta Penelitian Gerakan Sosial Terdahulu
Studi ini sejalan dengan studi sebelumnya. Akan tetapi, studi sebelumnya
dilihat sebagai studi “yang belum selesai”. Dikatakan demikian karena gerakan
sosial sifatnya sangat dinamis dan tidak akan pernah berhenti pada suatu titik
tertentu. Maka akan terus muncul penggulangan gerakan sosial lainnya, walaupun
bentuk dan tipe gerakannya berbeda. Di Indonesia sendiri, gerakan guru merupakan
bentuk gerakan sosial yang terjadi kembali akibat perubahan sosio-politik pada
gerakan reformasi 1998. Gerakan reformasi ini bertujuan untuk menumbangkan
rezim Orde Baru yang dinilai sangat militeristik, membungkam kehidupan
demokrasi, menajamnya kesenjangan sosial, dan makin mencekamnya kapitalisme.
Permasalahan ini kemudian ditanggapi oleh segenap masyarakat Indonesia yang
peduli terhadap perubahan dengan gerakan reformatif. Gerakan reformatif ini
menghasilkan perubahan sosial sehingga memunculkan suatu permalasahan baru,
terutama dalam dunia pendidikan. Dari permasalahan pendidikan sosial yang
muncul ini pada akhirnya gerakan guru pun merebak. Untuk lebih jelasnya,
perbedaan antara penelitian sebelumnya pada Gambar 2.1 dengan penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini.
Universitas Indonesia
14
Gambar 2.2
Pemetaan Gerakan Sosial dalam Penelitian ini
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
Selain itu, tidak hanya militeristik sebagai salah satu faktor yang mampu
mengkerangkeng kesadaran kolektif, tetapi birokratisasi pendidikan yang mengarah
pada politisasi pendidikan menyebabkan gerakan sosial dalam pendidikan semakin
mandeg. Hal ini terbukti pada masa Orde Baru, ketika pemerintah yang sentralistik
dalam mengelola pendidikan nasional. Segala bentuk otonomisasi dan inovasi
dilakukan dari level atas, sehingga adanya penyeragaman standar, meskipun dengan
pemaksaan. Dari segi keorganisasian guru juga berdifat birokratis dan terpusat pada
satu organisasi guru yang mendukung kepentingan pemerintah. Birokratisasi yang
bersifat sentralistik inilah yang menjadi dasar bahwa gerakan guru semakin mandeg
di Indonesia pada masa Orde Baru. Namun ketika tidak ada lagi birokratisasi,
militerisasi dan represivitas di Indonesia, gerakan masyarakat sipil –terutama
gerakan guru – menjadi lebih berkembang dan bersifat massif.
isu kolektif yang terjadi di Uganda adalah permasalahan gaji, perumahan dan sistem
keadilan sosial. Hal ini senada juga yang disampaikan Kaur (2012) bahwa
ketidakadilan dalam dunia pendidikan dengan sendirinya akan menghadirkan
gerakan guru untuk menuntut tercapainya suatu keadilan sosial. Hal ini terjadi
karena guru dipersiapkan untuk mempengaruhi perubahan nyata menuju pencapaian
visi pendidikan dan masyarakat yang lebih adil.
Studi yang dilakukan oleh Lund (2001) juga menunjukkan hal yang senada,
bahwa faktor kesenjangan kesejahteraan dan keadilan sosial juga dapat
menyebabkan menjamurnya gerakan guru. Penelitian yang dilakukan di Kanada ini
menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam dunia pendidikan akan meningkatkan
potret aktivisme organisasi-organisasi guru. Namun Lund (2001) juga menegaskan
bahwa di Kanada, aktivisme guru terjadi juga tidak hanya karena isu keadilan sosial
semata, tetapi isu ras, kelas, jenis kelamin, dan orientasi seksual juga meningkatkan
gerakan guru. senada pula dengan studi yang dilakukan oleh Weiner (2013) bahwa
keadilan sosial dan politik pendidikan neoliberal yang menjadi dasar dalam
pengembangan gerakan sosial guru ke arah gerakan sosial serikat guru. Weiner
(2013) menunjukkan gerakan guru hanya sebatas pengembangan kolaborasi saling
menghormati antara guru, orang tua dan pemuda di masyarakat miskin. Weiner
(2013) juga menghubungkan konteks tersebut terhadap lanskap politik pendidikan.
Ia menunjukkan bahwa gerakan guru ini akan menyebabkan gerakan serikat guru
menjadi meluas dalam bentuk aksi protes dan sebagainya.
Universitas Indonesia
19
Begitu pula dengan gerakan guru yang salah satu faktor dasar dari
gerakannya adalah keadilan sosial. Misalnya di Uganda, gerakan guru telah terjadi
selama empat dekade dalam memperjuangkan keadilan sosial. Namun ini juga tidak
terlepas dari sejumlah kritik, ketika guru kesejahteraan guru telah hampir tercapat,
prosesionalitas guru masih belum terjamin. Artinya bahwa antara kesejahteraan dan
profesionalitas harus seimbang. Guru tidak hanya cukup untuk menuntut
kesejahteraan terhadap pemerintah, tetapi dilain pihak profesionalitasnya masih
diragukan (Namara & Kasaija, 2016). Hal ini senada dengan Rizali, Sidi & Dharma
(2009) bahwa dalam pendidikan, mutu guru sebagai kunci dalam pendidikan,
ketimbang kurikulumnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa mutu guru ini dapat
ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun
organisasi guru.
konseptual dari gerakan sosial, organisasi profesi guru, dan Aktivisme Guru.
Bagian ini juga membahas definisi konseptual dari argumentasi yang diajukan
dalam penelitian ini yaitu konsep dari perubahan sosial politik, krisis ekonomi dan
kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan.
2
Istilah ini dulunya dikenal dengan guru PNS (Pegawai Negeri Sipil), namun sejak berlakunya UU No 5
Tahun 2014 tetang Aparatur Sipil Negara (ASN), maka istilah ASN didefinisikan sebagai profesi bagi
Universitas Indonesia
21
ASN) dan Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja.
Lebih lanjut Wahono (2016) menjelaskan bahwa tipe guru yang dijelaskan
oleh UU tersebut adalah guru tetap. Tipe pertama, dikatakan sebagai guru tetap
pegawai pemerintah, sedangkan tipe kedua merupakan guru tetap yayasan. Ada
pula macam guru yang tidak tetap yang tidak dijelaskan oleh UU seperti guru bantu
pusat, guru bantu daerah, guru bantu yayasan, dan guru honorer (Wahono, 2006).
Salim (2017) menambahkan bahwa ada tipe guru yang masuk dalam guru tidak
tetap dan guru ini tidak pernah mendapat perhatian pemerintah. guru tersebut
adalah guru mengaji.
Terlepas dari konsep guru dan tipe guru, pada penelitian ini peneliti hanya
memfokuskan pada gerakan guru yang terjadi di Indonesia pada pasca Orde Baru
dengan fokus studinya pada organisasi Forum Serikat Guru Indonesia. Guru
sebagai konseptual yang digunakan di sini adalah tipe guru tetap yang dijelaskan
oleh undang-undang dan guru honorer yang tergabung dalam organisasi FSGI
tersebut.
2.2.2 Konsep tentang Gerakan Sosial
Klandermans & Stekelenburg (2009) membagi dua pendekatan dalam kajian
gerakan sosial, yaitu pendekatan klasik (classical approach) dan pendekatan
kontemporer (contemporary approaches). Pendekatan klasik ini lebih banyak
didiskusikan dalam rumpun studi psikologi sosial, terutama psikologi sosial
Perancis Le Bon rentang tahun 1890-an dengan konsep collective action
(Klandermans, 1997). Di sisi lain, pendekatan kontemporer berkaitan dengan konsep
resource mobilization theory, Political opportunity stucture, and new social
movements (Klandermans & Stekelenburg 2009). Rohlinger & Gentile (2017)
menyebutkan pendekatan kontemporer sebagai pendekatan gerakan sosial dengan
perspektif Amerika Utara. Teori ini berkaitan dengan resource mobilization theory
dan political process theory. Kedua teori ini kemudian dikritik melalui pendekatan
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah. Jadi disini, pegawai pemerintah terbagi dua yakni pegawai pemerintah yang diangkat sebagai
pegawai ASN dan pegawai pemerintah yang diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (PPPK).
Universitas Indonesia
22
budaya (cultural approach) yang menghasilkan teori gerakan sosial baru (new social
movements). Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan tabel di bawah ini.
Tabel 2.1
Teori Tentang Gerakan Sosial
yang sangat krusial bagi aksi kolektif dalam bentuk apapun. Lebih lanjut,
menurutnya ketidakpuasan bukan berarti selalu medorong terjadinya aksi kolektif,
tetapi aksi kolektin ini sebagai cara dan sarana untuk mencapai tujuan. Oleh karena
itu, teori ini dipengaruhi oleh pendekatan Olsonian yang menyatakan bahwa dalam
sudut pandang rasional hanya ada sedikit alasan bagi individu untuk terlibat dalam
aksi kolektif (Jenkins, 1983). Semakin besar kemungkinan perilaku untuk
membuahkan hasil yang spesifik, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk
melakukan perilaku atau aksi sosial tersebut. Tidak mengherankan jika teori ini
menggunakan analisis untung-rugi (Klandermans, 2005).
Lebih lanjut lagi, Klandermans (2005) mengatakan bahwa organisasi
sebagai roda penggerak dalam aksi sosial mempunyai fungsi yang strategis. Fungsi
tersebut antara lain sebagai konstruksi dan rekonstruksi keyakinan kolektif,
mentransformasikan ketidakpuasan ke dalam aksi kolektif, dan mempertahankan
komitmen terhadap gerakan. Gerakan sosial muncul sebagai akibat bersatunya para
aktor gerakan dalam cara yang rasional, mengikuti segala kepentingan mereka, dan
adanya peran sentral organisasi serta para pemimpin yang “profesional” untuk
memobilisasi sumber daya yang ada pada mereka. Dengan kata lain, kekuatan
gerakan ini terletak pada seberapa besarnya sumber daya yang tersedia, baik itu
sumber daya material maupun sumber daya non-material. Sumber daya material
mencakup usaha, uang, keuntungan konkret, dan jasa. Selain itu, sumber daya non-
material mencakup otoritas, pertalian moral, kepercayaan dan persahabatan (Porta
& Diani, 2006), termasuk juga partisipan dana, publikasi media, serta dukungan
opini publik dan elite (Halcli, 2000). Senada dengan (McCharthy & Zald, 1977)
yang menyatakan bahwa gerakan sumber daya ini erat kaitannya dengan keragaman
dan sumber daya; hubungan gerakan sosial dengan media, pihak berwenang, dan
pihak lain; dan interaksi antar organisasi gerakan. Proposisi dikembangkan untuk
menjelaskan aktivitas gerakan sosial di beberapa tingkat inklusivitas – sektor
gerakan sosial, industri gerakan sosial, dan organisasi gerakan sosial.
Hal ini pula yang senada dengan Jenkins (1983) yang menyatakan bahwa
perkembangan masa depan teori ini terletak pada dua arah. Pertama, memperluas
teori pemerintahan untuk berurusan dengan berbagai negara dan rezim, yang di
Universitas Indonesia
24
Universitas Indonesia
25
pengelompokkan elite dan (4) kapasitas negara yang cenderung untuk menindas.
Dengan kata lain, keberhasilan dari gerakan sosial ditentukan oleh struktur peluang
dan hambatan dalam sistem politik yang lebih luas.
Secara sederhana, teori ini memandang lingkungan eksternal sangat
mempengaruhi gerakan sosial. Ketika negara memberikan konfigurasi politik yang
terbuka, maka elemen-elemen gerakan sosial akan memperoleh keleluasaan dalam
mengembangkan dirinya. Artinya gerakan guru mendapatkan ruang artikulasi
dalam struktur politik di suatu negara. Sebaliknya ketika negara tertutup dan
represif terhadap gerakan, maka gerakan sosial akan berjalan lambat. Namun tidak
tertutup kemungkinan kondisi seperti ini akan melahirkan gerakan-gerakan
tersembunyi, kekerasan yang brutal, pemberontakan,dan radikalisme. Kondisi
seperti ini serupa dengan teori yang disampaikan oleh Peter Eisinger pada tahun
1973 yang melihat konteks kerusuhan sosial di kota-kota Amerika Serikat pada
tahun 1960-an. Disana, ketika kota dengan sistem politiknya yang terbuka,
kerusuhan cenderung lebih sedikit dengan struktur politiknya yang tertutup (Meyer,
2004).
Universitas Indonesia
26
Universitas Indonesia
27
Universitas Indonesia
28
Universitas Indonesia
29
Walaupun pada kenyataannya, pada masa Orde Baru PGRI lebih banyak
mendukung kepentingan pemerintah ketimbang kepentingan masyarakat
pendidikan. Hal ini terlihat dari program PGRI seperti melaksanakan “pesanan”
rezim Orde Baru. Setelah Orde Baru ini runtuh, organisasi profesi guru tidak hanya
dimonopoli oleh PGRI. Hingga saat ini, tercatat lebih dari 100 organisasi profesi
guru di Indonesia (Farisi, 2013).
Universitas Indonesia
30
masyarakat, terutama dalam gerakan sosial. Pada masa Orde Baru, gerakan sosial
selalu mendapatkan kekangan dari pemerintah. Kebebasan berorganisasi dibatasi,
pemerintah yang cenderung represif dalam menangani suara sumbang dari
masyarakat. Selain itu, masa ini pemerintah telah menjadi anti kritik sehingga
apapun bentuk gerakan sosial akan tenggelam dengan sendirinya. Namun, pada
tahun 1998 gerakan pemberontakan tidak dapat dibendung lagi, elemen masyarakat
bersatu untuk melakukan aksi protes, krisis global pun terjadi, yang akhirnya rezim
Orde Baru runtuh. Runtuhnya rezim ini diikuti pula oleh berubahnya sistem politik
yang mengarah kepada kebebasan.
2.3.2 Kesenjangan Sosial: Landasan Dasar dalam Munculnya Gerakan
Guru
Pada banyak studi tentang gerakan sosial, kesenjangan sosial merupakan
salah satu aspek utama memunculkan gerakan sosial. Misalnya studi Shah (2004)
yang mengatakan bahwa kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan dalam
pekerjaan yang sama dan kesenjangan hak-hak atas jaminan sosial dan hari pensiun
oleh para pekerja merupakan alasan utama mengapa gerakan sosial muncul. Senada
dengan apa yang disampaikan oleh Bilgrami (2017) bahwa gerakan sosial
kependidikan di India muncul lantaran kesenjangan-kesenjangan dalam dunia
pendidikan terjadi. Disini, Bilgrami (2017) melihat kesenjangan dari aspek historis,
menurutnya ada empat fase pendidikan di India. Keempat tersebut adalah fase veda,
fase budha, fase muslim, dan fase kolonisasi inggris.
Berkaitan dengan makna kesenjangan sosial, bahwa suatu keadaan akan
dikatakan senjang ketika adanya ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat
dan akan menjadikan perbedaan yang sangat mencolok. Begitupun dengan
kesenjangan pendidikan, bahwa kondisi terjadinya ketidakseimbangan pendidikan
yang menjadikan perbedaan semakin mencolok. Vito, Krisnani & Resnawati (2015)
mengatakan ada beberapa aspek yang menyebabkan kesenjangan pendidikan antara
desa dan kota. Menurutnya, kesenjangan terjadi akibat kualitas dan kuantitas tenaga
pengajar yang tidak seimbang, senjangnya pembangunan infrastuktur pendidikan,
dan senjangnya kesejahteraan guru.
Dalam studi Wicaksono, Amir, & Nugroho (2017) dijelaskan bahwa
ketimpangan pendapatan di Indonesia terjadi akibat ketimpangan tingkat
Universitas Indonesia
32
Universitas Indonesia
33
Gambar 2.3
Kerangka Konseptual
Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas tentang metode yang digunakan dalam penelitian.
Peneliti membagi bab ini ke dalam delapan sub-bab yang masing-masing membahas
tentang pendekatan penelitian, jenis penelitian, subjek penelitian, teknik
pengumpulan data, strategi validasi data, limitasi dan delimitasi penelitian serta
proses penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, bab ini pun membantu peneliti
dalam menyusun secara sistematis dan praksis terkait pengumpulan data dan
menjawab pertanyaan penelitian pada studi ini.
34
35
interview) merupakan cara memperoleh data melalui tanya jawab antara peneliti
dengan informan. Peneliti dalam mewawancarai menggunakan instrumen atau
pedoman penelitian. Tujuan menggunakan pedoman tersebut supaya data yang
didapatkan tidak melenceng kemana-mana, sehingga dapat menghemat waktu.
Pengumpulan data melalui wawancara ini diharapkan dapat membantu peneliti
dalam memperoleh, memahami dan menyelami informasi lebih dalam dari sudut
pandang para informan tersebut. Yang menjadi kelebihan dari teknik wawancara
mendalam ini adalah kita sebagai peneliti tidak hanya mendapatkan informasi lisan
saja, tetapi gesture, mimik wajah, dan tekanan nada suara dari informan ini pun
memberikan makna dalam setiap informasi yang diberikannya. Seperti yang telah
disinggung di atas, peneliti akan mewawancarai pengurus organisasi guru, para
pendiri dan pengurus organisasi PGRI. Waktu untuk wawancara akan disesuaikan
dengan jumlah pertanyaan yang diajukan kepada masing-masing informan.
Selain wawancara mendalam, pengamatan kegiatan FSGI melalui rekam
jejak digital di media massa. Pengamatan ini peneliti lakukan dari rekam jejak FSGI
dari tahun 2011 sampai tahun 2018. Selain itu, peneliti menggunakan studi pustaka
dan dokumen lain seperti jurnal ilmiah, kliping koran yang memuat berita tentang
FSGI sebagai sumber data penunjang pada penelitian ini. Aspek yang diamati dalam
kasus gerakan guru ini adalah bentuk-bentuk gerakan yang dilakukan oleh FSGI
sejak berdiri hingga 2018, seperti demonstrasi dan lain sebagainya.
Universitas Indonesia
39
Universitas Indonesia
40
Universitas Indonesia
41
Universitas Indonesia
BAB IV
4.1 Pengantar
Bab ini akan dijelaskan mengenai tiga hal penting. Pertama, menjelaskan
tentang konteks sosial dan politik yang mendorong lahirnya gerakan guru,
khususnya gerakan yang dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Tujuan dari penulisan bab ini adalah untuk memberikan gambaran historis gerakan
guru di Indonesia dalam rangka memahami konteks sosial masa kini. Sejatinya,
konteks masa lampau akan mempengaruhi masa sekarang. Oleh karena itu
pelacakan sejarah akan menguraikan benang-benang gerakan guru yang
menyuguhkan kisah menarik hingga masa kini. Dengan demikian, bagian pertama
ini akan mendiskusikan tentang kesejarahan organisasi guru dan gerakan guru di
Indonesia yang tidak terlepas dari pencerdasan dan pergerakan kemerdekaan.
42
43
dimaksud adalah PGRI. Hingga saat ini, organisasi guru semakin menjamur dan
berkembang.
4.2 Sekilas tentang Organisasi Guru dan Sejarah Gerakan Guru di Indonesia
Sejarah gerakan guru di Indonesia mempunyai akar yang panjang. Gerakan
ini tercatat dari sebelum kolonial Belanda masuk hingga hari ini. Sebelum kolonial
Belanda menjajah Indonesia, koloni Portugis dan Inggris telah lebih dulu menjajah
Indonesia. Penjajahan ini diiringi oleh penyebaran agama kristen oleh misionaris-
misionaris Portugis. Supriadi (2003) mengatakan bahwa orang-orang Portugis
pertama kali mendirikan sekolah di Ambon pada tahun 1536. Pada era ini organisasi
guru dan gerakan guru telah terbentuk. Arah gerakan guru adalah mengemban misi
penyebaran agama katholik Ordo Jesuit dan Dominikas. Oleh karena itu, masa ini
gerakan guru disebut sebagai gerakan Ordo Jesuit dan Dominikan. Pada masa ini
pula pendidikan agama katholik sangat kuat sebagai basis pendidikan. Setelah
Portugis berhasil dikalahkan oleh Inggris, pendidikan guru dan gerakan guru
menjadi tidak terorganisir kembali. Pada masa kolonial Inggris, Thomas Stamford
Raffles sebagai gubernur jendral Hindia Belanda yang memfokuskan penetian
tentang Jawa.
Gerakan guru yang lebih progresif muncul sejak pemerintahan kolonial
Belanda. Hal ini terjadi karena ditopang oleh pembentukan organisasi-organisasi
guru yang memperjuangkan kesejahteraan untuk guru, terutama guru pribumi.
Selain itu, perjuangan yang dilakukannya adalah perjuangan untuk kemerdekaan.
Lain hal dengan gerakan guru masa pemerintahan kolonial Jepang. Pada masa ini
gerakan guru tidak muncul sama sekali. Hal ini karena Jepang tidak mengijinkan
rakyat Indonesia untuk membentuk organisasi politik, atau organisasi profesi,
kecuali organisasi tersebut mendukung pemerintahan kolonial. Akhirnya, pada sama
ini organisasi guru melebur dan menggabungkan dirinya dengan organisasi
bentukan pemerintahan Jepang. Setelah merdeka, pada masa Orde Lama gerakan
guru lebih banyak mendukung upaya mempertahankan kemerdekaan. Pada dekade
berikutnya, organisasi guru menjadi lebih banyak dipolitisasi oleh pemerintah dan
memihak kepentingan pemerintah. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan
menggambarkan dalam road map di bawah ini dan melakuka pendeskripsian pada
sub-bahasan selanjutnya.
Universitas Indonesia
44
Road Map
Sejarah Pergerakan Guru di Indonesia
Massa Kolonial dimulai dari
kedatangan Portugis. Didirikan 1536
sekolah pertama tahun 1536
Berdiri Perserikatan Guru Hindia
dengan misi penyebaran agama
Belnda (PGHB) yang dilatar-
Katolik Ordo Jesuit dan Dominikas.
1911 belakangi oleh kesenjangan upah
antara guru pribumi dengan non-
Kongres pertama PGHB yang pribumi.
menghasilkan asuransi jiwa nasio-
1912
nal pertama bernama O.L. Mij.
PGHB yang memperjuangkan ke- PGBH pecah dengan munculnya
sejahteraan guru berbagai organisasi guru yang
1919
berdasarkan pada latar belakang
PGHB kembali utuh dengan nama pendidikan, pangkat, dan status.
Persatuan Vakbonden Pegawai
1930
Negeri (PVPN) yang terlepas dari
pengaruh politik praktis. PGHB mengubah nama menjadi PGI
(Persatuan Guru Indonesia) karena
1933 diberlakukannya per-aturan baru
Jepang melarang organisasi guru tentang pekerja pegawai negeri.
dan melarang guru ikut campur
dalam urusan politik. Hal ini me-
1943
nyebabkan PGI kurang progresif
dan kemudian ber-gabung dengan Setelah Indonesia merdeka, lahirlah
PUTERA. PGRI (Persatuan Guru Republik
1945 Indonesia) yang mewadahi semua
organisasi guru yang sempat ter-
Awal berdirinya, PGRI berjuang
pecah-pecah.
membela hak-hak guru dan me-
ningkatkan kualitas pendidikan
1946
Indonesia, tidak bergerak dalam
politik praktis, dan bergerak di Arah perjuangan PGRI sedikit
tengah-tengah masyarakat. menyimpang di era Orde Baru. Guru
dijadikan komoditas politik ke-
1965 kuasaan. Petinggi PGRI diisi oleh
Pasca Orde Baru, ruang politik
para pejabat, bukan lagi dari
terbuka lebar bagi gerakan-gerakan
kalangan guru.
alternatif di Indonesia termasuk
1998
gerakan guru dan me-lahirkan
Federasi Guru Independen Indo- Pemerintah menetapkan Undang-
nesia (FGII). Undang No. 14 tahun 2005 tentang
2005 Guru dan Dosen yang mewajibkan
Federasi Serikat Guru Indonesia guru untuk ikut dalam organisasi
(FSGI) lahir sebagai organisasi profesi.
profesi guru dengan visi mewujud-
kan pendidikan yang berkualitas dan 2011
berkeadilan. FSGI aktif dalam
Universitas Indonesia
Ket.: Masa kolonial
mengkritisi pemerintah serta mem- Pasca Kemerdekaan
bela hak-hak guru. .: Pasca Orde Baru
45
Masa kolonial, gaji guru mencapai 40 gulden. Jumlah ini dikatakan luar
biasa karena masa kolonial seorang inlander cukup untuk hidup segobang atau 2.5
sen dalam sehari (Tilaar, 1995). Nagazumi (1989) mengatakan bahwa gaji guru
masa kolonial tidak kurang dari gaji seorang Wedana. Bahkan untuk guru yang
lulusan Kweekschool akan mendapatkan gaji yang besar dengan rentang 50 gulden
hingga 150 gulden dalam satu bulannya. Seorang guru juga berhak mendapatkan
tanda-tanda kehormatan seperti membawa payung, tombak, tikar dan kotak sirih
yang menurut ketentuan pemerintah. Bahkan dengan gaji guru yang seperti itu, guru
dapat menggaji empat orang pembantu untuk membawa lambang kehormatan
tersebut (Nasution, 1987). Walaupun dengan gaji yang besar, profesi guru bukanlah
suatu profesi yang diminati oleh para bangsawan. Guru hanya diminati oleh kelas
priyayi rendah, atau keturunan guru sendiri (Nagazumi, 1989).
Terkait masalah gaji guru pada masa kolonial dapat dikatakan besar, namun
tetap saja adanya perbedaan yang mencolok antara gaji guru pribumi dengan gaji
guru Eropa. Untuk guru sekolah desa, gaji permulaan yang diberikan pemerintah
sebesar 7.5 gulden per bulan, dan menetapkan penghasilan minimal guru 15 gulden
dan maksimal 20 gulden per bulan (Nagazumi, 1989; Depdikbud, 2008). Bagi guru
bantu sekolah kelas dua yang merupakan lulusan Kursus Guru Bantu mendapatkan
gaji sebesar 20-30 gulden per bulan. Lebih tinggi lagu bagu guru lulusan
Normaalschool yang melahirkan guru sekolah kelas dua mendapatkan gaji sekitar
30-45 gulden per bulan. Selanjutnya, guru yang lulusan Kweekschool yang biasanya
Universitas Indonesia
46
ditempatkan sebagai kepala sekolah kelas dua akan menerima gaji sekita 75-150
gulden per bulan. Berbeda pula dengan gaji guru yang lulusan Hogere Kweekshool
(HKS) atau Hollands Inlands Kweekschool (HIK) yang mendapatkan gaji sekita 70-
250 gulden per bulan. Pada kenyataannya, gaji pribumi yang lulusan Kweekshool
dibandingkan dengan gaji Eropa yang lulusan Kweekscool mengalami ketimpangan.
Seorang pribumi akan mendapatkan gaji paling minim atau 75 gulden, sedangkan
guru Eropa akan mendapatkan gaji di atas 100 gulden per bulannya (Gerke, 1987;
Depdikbud, 2008).
3
Dwidjosewojo merupakan seorang guru lulusan Kweekschool Probolinggo tahun 1886. Ia memulai
karirnya sebagai guru bantu Sekolah Dasar di Kota Ngawi. Kemudian tahun 1887 ia diangkat menjadi
guru Kelas Satu di kota Ponorogo. Kemudian pada maret 1891 ia dimutasikan ke Yogyakarta. Ia juga
pernah menjabat sebagai sekretaris pengurus besar Budi Utomo.
Universitas Indonesia
47
status yang berbeda. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi sosial politik yang
semakin mempersulit guru untuk bersatu. Organisasi PGHB terpecah menjadi
Kweekschool Bond (KSB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Perkumpulan
Normaalschool (PNS), School Opziener’s Bond (SOB), Vaak Onderwijszer’s Bond
(VOB), Perserikatan Guru Ambacht School (PGAS), Hogere Kweekschool Bond
(HKSB), Nederlands Indische Onderwijzers Genootschap (NIOG), Christelijke
Onderwijzer’s Vereeniging (COV), Onderwijzer’s Vak Organisatie (OVO),
Katholieke Onderwijzer’s Bond (KOB), dan Chineesche Onderwijzer’s Bond (COB)
(Supeno, 1995). Perpecahan ini pada akhirnya memberikan dampak buruk terhadap
guru dan martabat guru itu sendiri.
Universitas Indonesia
48
Universitas Indonesia
49
Belanda hingga mengubah nama-nama kota yang berbau Belanda menjadi lebih
“Indonesia”. Misalnya pengubahan nama “Batavia” menjadi “Jakarta” (Tilaar,
1998). Kedua, kebijakan yang diterapkan Jepang adalah memobilisasi segala
kekuatan untuk mencapai kemenangan perang Asia Timur Raya. Dampak dari
kebijakan ini terhadap pendidikan adalah sistem pendidikan diarahkan kepada
pendidikan militer yang dipersiapkan untuk membantu Jepang dalam perang.
Dengan kata lain, kebijakan ini mengarahkan pendidikan sebagai alat kepentingan
perang Jepang (Makmur, 1993).
Inti dari pendidikan di masa Jepang dapat dikatakan hampir mirip dengan
pendidikan pada masa Belanda. Jika pada masa Belanda sistem pendidikan yang
diajarkan adalah budaya Barat, sedangkan pada masa Jepang yang diajarkan adalah
budaya Jepang. Bedanya, kolonial Belanda menciptakan kasta dalam pendidikan,
sedangkan Jepang melakukan doktinasi ideologi Hakko Ichiu4. Di sini, setiap pagi
siswa harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang yaitu Kimigayo. Upacara pagi
dengan pengibaran benderan Jepang dan membungkukkan badan arah matahari
terbit sebagai tanda penghormatan terhadap kaisar Jepang. Selain itu, juga diadakan
sumpah setia sebagai upaya pemeliharaan semangat untuk mencapai perang suci
demi kemakmuran Asia Raya (Makmur, 1993).
4
Hakko Ichiu merupakan landasan idiil pendidikan pada zaman pendudukan Jepang dengan mengajak
bangsa Indonesia berkerja sama dengan Jepang dalam rangka “mencapai kemakmuran bersama Asia
Raya”.
Universitas Indonesia
50
Lantas, bagaimana dengan organisasi guru pada masa Jepang jika guru telah
mendapatkan kesejahteraan dan kehormatan secara moral? Apakah yang mereka
perjuangkan? Memang pada kenyataannya pada pemerintahan Jepang gerakan guru
dapat dikatakan kurang progresif. Ada beberapa alasan, pertama, pemerintah
Jepang melarang segala bentuk pergerakan politik di Indonesia. Jika ada,
pergerakan tersebut harus ditujukan pada usaha pemenangan perang Jepang. Kedua,
alasan kesejahteraan sebagai basis perjuangan guru sejak masa kolonial Belanda
Universitas Indonesia
51
telah tercapai pada masa Jepang. Seperti peneliti katakan sebelumya bahwa
kesejahteraan guru, baik secara ekonomi dan moral telah tercapai pada masa
Jepang. Dua hal inilah yang menyebabkan gerakan guru dikatakan kurang progresif
pada masa pendudukan Jepang.
Pemboman atom pada kota Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 agustus
dan 9 agustus 1945 oleh angkatan militer Amerika Serikat adalah penanda
melemahnya Jepang. selain itu, peristiwa ini pun menandakan melemahnya
pemerintahan Jepang di Indonesia yang pada akhirnya Jepang menyerah tanpa
syarat kepada sekutu tanggal 14 Austus 1945. Peristiwa bom atom ini pun
memberikan peluang kepada rakyat Indonesia atas perjuangan kemerdekaan. Hingga
5
PUTERA merupakan organisasi rakyat Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Maret 1943 dengan
dipimpin oleh Soekarno. Tujuannya adalah utnuk membangun dan menghidupkan semangat dan jiwa
bangsa Asia yang telah dihancurkan oleh kolonialisme Belanda. Bagi Jepang sendiri, organisasi ini
bertujuan untuk memusatkan tenaga rakyat supaya mau membantu jepang dalam perang Asia Timur
Raya (Poesponegoro & Notosusanto, 2000).
Universitas Indonesia
52
Semangat kemerdekaan ini pun menjadi modal utama dalam gerakan guru
untuk pendidikan Indonesia. Para guru menyadari bahwa semangat kemerdekaan ini
menjadi dasar dalam memperjuangkan pendidikan Indonesia dan menciptakan
organisasi guru yang benar-benar bertujuan untuk kemaslahatan pendidikan.
Motivasi ini pula yang menjadi embrio organisasi guru sebagai penerus cita-cita
kemerdekaan. Memang pada masa kolonial Jepang segala bentuk organisasi profesi
dilarang, dan diperbolehkan asalkan mendukung Jepang untuk perang. Kondisi
inipun membuat kebuntuan dalam gerakan guru. Namun setelah kemerdekaan
diproklamirkan, pemerintahan Jepang telah angkat kaki dari bumi pertiwi, dan
semangat mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang ingin menguasai
Indonesia kembali, motivasi untuk menghadirkan kembali organisasi guru semakin
besar.
Telah banyak jasa perjuangan PGRI pasca kemerdekaan, tidak hanya sebatas
mendidik dan mencerdaskan bangsa Indonesia, tetapi juga ikut dalam perjuangan
fisik melawan upaya penjajahan kembali dari bangsa Belanda. Peran utama PGRI
Universitas Indonesia
53
Pada awal berdirinya PGRI, tiga hal yang menjadi semangat perjuangannya
adalah mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia, mempertinggi
tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, dan
membela hak-hak guru. Atas dasar inilah kongres kedua PGRI di Surakarta tanggal
21-23 November 1946 menuntut pemerintah untuk membentuk sistem pendidikan
atas dasar kepentingan nasional, gaji guru tidak dihentikan dan adanya Undang-
Undang Pokok Pendidikan dan Undan-Undang Pokok Perburuhan. Kemudian, pada
kongres PGRI yang ketiga di Jawa Timur tanggal 27-29 Februari 1948 yang
berlangsung dengan keadaan darurat. Keputusan penting dalam kongres ini antara
lain: menghapuskan Sekola Guru C (SG C) yang berlangsung 2 tahun, memekarkan
cabang-cabang, membentuk komisariat daerah, dan menerbitkan majalah guru
sebagai pusat komunikasi pimpinan pusat dengan daerah. Pada kongres ketiga ini
pula menegaskan kembali haluan dan perjuangan PGRI dengan mempertahankan
NKRI, meningkatkan pendidikan dan pengajaran Pancasila, tidak bergerak dalam
politik praktis atau tergabung dalam partai politik, dan bergerak di tengah-tengah
masyarakat (Kosasih, 2016).
Universitas Indonesia
54
diketuai bukan berasal dari kalangan guru, tetapi kalangan elit politik atau instansi
pemerintah.
Pasca orde baru, ruang politik terbuka lebar bagi gerakan-gerakan alternatif
di Indonesia, termasuk gerakan guru. Pada kalangan guru, loyalitas tunggal terhadap
PGRI tidak terjadi lagi. Organisasi-organisasi guru bermunculan, seperti Federasi
Guru Independen Indonesia (FGII) yang berlangsung sejak tahun 1998. Di lain
pihak, PGRI sendiripun memperbaiki dan mereposisikan dirinya kembali sebagai
organisasi yang kritis terhadap pemerintah, tetapi tetap menyatakan sebagai partner
kerja pemerintah. Disini, PGRI menunjukkan keseriusannya sebagai partner kerja
pemerintah dengan hasilnya UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005. UU ini dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan. Kualitas pendidikan
ditandai dengan peningkatan kompetensi yang dimiliki oleh guru, sedangkan
kuantitas pendidikan sebagai dasar bertambahnya jumlah peserta didik. Pada
prosesnya ini pula, pasca orde baru dengan munculnya UU Guru dan Dosen yang
menyebabkan gerakan guru semakin masif dan terspesialisasi masing-masing.
Hingga saat ini, telah tercatat lebih dari 100 organisasi guru yang berkembang
setelah reformasi (Farisi, 2013). Tidak terkecuali, organisasi FSGI pun hadir karena
konteks sosial politik yang sama.
Universitas Indonesia
55
Pertemuan tersebut diadakan pada tanggal 21 -23 Januari 2011. Para guru
yang hadir disana dengan idealisme yang sama sepakat untuk mendirikan sebuah
organisasi bernama Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Hadirnya organisasi
guru ini tidak terlepas dari peran Indonesian Corruption Watch (ICW) sebagai
lembaga anti korupsi yang bermarkas di Kalibata. Pada masa itu koordinator dari
ICW adalah Danang Widoyoko dan Ade Irawan sebagai Koordinator Monitoring
Kebijakan Publik. Ade Irawan ini dikenal pula sebagai aktivis Koalisi Pendidikan.
Pada kelanjutannya, ICW memainkan peran yang signifikan dalam gerakan FSGI.
Universitas Indonesia
56
Dalam pertemuan ini juga dihadiri oleh sederet nama aktivis pendidikan lain
seperti Lodewijk F. Paat bersama saudaranya Jimmy Paat, Bambang Wisudo dari
Sekolah Tanpa Batas, dan Arif Faisal dari Lembaga Bantuan Hukum Sahdar
Medan. Selain itu, diundang pula narasumber dari Kementrian Pendidikan, yaitu
Fasli Jajal, aktivis anti Korupsi Teten Masduki, serta pakar pendidikan Winarno
Surachmad.
Berawal dari organisasi lokal yang didirikan para guru, seperti Forum
Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), turut hadir pula serikat guru dari berbagai
daerah, seperti Tangerang, Lebak, Medan, Jawa Barat, Madura, Bima, dan Sulawesi
Selatan. Serikat guru lokal ini kemudian merangkul LBH Jakarta, ICW, dan Koalisi
pendidikan dalam memperjuangkan pendidikan, seperti penuturan dari SS,
Wasekjen FSGI 2019:
Pada tanggal 23 Januari 2011, para guru yang tergabung dari berbagai
organisasi daerah itu memutuskan untuk mendirikan organisasi tingkat nasional
yang kemudian diumumkan melalui konferensi pers di kantor ICW Kalibata
mengenai berdirinya organisasi guru yang diberi nama Federasi Serikat Guru
Indonesia (FSGI).
Universitas Indonesia
57
.......melihat kondisi yang seperti itu kami organisasi guru yang se-Indonesia
ini harus menyuarakan keadilan. Kemudian kualitas dalam pendidikan,
kualitas dalam pendidikan ini sangat luas sekali, mulai dari kualitas
penghasilan, kualitas untuk sarana, kualitas untuk guru, kualitas untuk
anggaran, dan lain sebagainya. Termasuk kualitas pelayanan. Kemudian
keadilan, keadilan dalam pendidikan kan juga luas, maka FSGI pada
dasarnya mempunyai ranah pekerjaan yang sangat luas.... (wawancara
dengan HP, 18 Maret 2019)
Ide tentang keadilan dalam pendidikan ini tidak serta merta lahir dari FSGI,
tetapi melalui proses konsolidasi ide oleh organisasi-organisasi guru daerah.
Adanya kesamaan nasib akan diskrimitasif dan tekanan dari pemerintah daerah
Universitas Indonesia
58
Tidak hanya FMGJ, organisasi guru FDGP sebagai organisasi guru lokal
yang bergerak di wilayah Pandeglang juga merasakan hal yang sama dengan
FMGJ. FGDP dicurigai sebagai organisasi guru yang akan merongrong organisasi
guru yang sudah ada, sehingga FGDP diminta untuk pertobatan. Bahkan organisasi
ini didesak untuk dibubarkan. Hal yang sama pula dirasakan oleh SGT, yakni
ancaman dan teror terhadap anggota. Akhirnya, jumlah anggotanya yang hampir
seribuan orang menjadi berkurang hingga puluhan orang saja. Wildan Candra
selaku ketua SGT menceritakan bahwa pada tahun 2007 anggota SGT sangat
banyak, saat-saat diskusi pun diramaikan oleh anggota, ruangan diskusi pun
menjadi sesak. Namun akibat adanya teror dan lain sebagainya, anggota SGT
menjadi berkurang hingga menyatakan untuk bergabung dengan FSGI.
Hampir senasib pula dengan yang dialami oleh SGI Bima. SGI Bima yang
bergabung sekitar tahun 2013 merasakan hal yang sama. Hal ini sesuai dengan
penuturan EI sebagai ketua dan terlibat dari pendirian SGI Bima bahwa:
Jadi memang pada awalnya SGI Bima ini penuh dengan dinamika, banyak
kelompok-kelompok, Bupati-bupatinya, PGRI sendiri, menolak hadirnya
SGI pada waktu itu, tapi untungnya teman-teman kita ini punya niat yang
baik terhadap pendidikan ini, sesuai dengan visi misi FSGI itu....
(wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).
Universitas Indonesia
59
.....FSGI termasuk organisasi guru yang responsif ya, ada kasus-kasus isu
pendidikan dia langsung buat rilis, dan itu buat wartawan bagus juga, kita ga
perlu sibuk-sibuk juga. Selama rilis itu pas, kita bisa menambahkan isu-isu
pendidikan tentang UN, masalah guru, maslah anak, FSGI kan termasuk
yang aktif ya, kita apresiasi juga terhadap mereka walaupun kadang-kadang
kebanyakan rilisnya, rilis melulu, tapi tidak apa-apa.... (wawancara dengan
UB, 11 April 2019).
cuman saya pribadi, tidak bisa meniru Mba Retno ya, zaman Mba Retno itu
semua isu-isu pendidikan pasti diekspose cepat, kalau saya agak selektif
gitu. Misalnya kekerasan guru kan sering tuh. Gagasan kita kan sudah
pernah muncul, tapi kejadiannya masih berulang. Terakhir Al-azhar yang
dikatai oleh muridnya. Seandainya FSGI yang dulu itu pasti merespon.
Universitas Indonesia
60
Kalau saya justru tidak, karena sudah yang kemarin. Artinya lagi setiap isu
yang sifatnya kontinuistik kami respon. Karena saya khawatir juga nanti
dianggap centil atau apa gitu kan. Karena responnya pasti sama, kan
kekerasan guru bukan sekarang aja.... (wawancara dengan SS, 9 November
2018).
....Anggaplah seperti ini, dia dua orang guru di Jombang, ingin bergabung ke
FSGI ya ga bisa. Kaya PGRI kan tinggal isi formuir kemudin gabung. Ga bisa.
Dia harus menggabungkan diri dia ke serikat guru dulu yang sudah establish
dan berbadan hukum di daerahnya. Misalnya ada serikat guru Jombang ya
gabung dengan serikat guru Jombang, otomatis dia anggota FSGI. Nah, dia
bilang di daerah saya belum ada pak, serikat guru Jombang, ya buatlah, tapi
mereka baru berdua. Buat ADRT segala macam, harus diakui lah kan harus
berbadan hukum dan notaris (wawancara dengan SS, 9 November 2018).
Organisasi guru lokal yang bergabung dengan FSGI memiliki hak otonom
dalam menjalankan organisasi tersebut. Mereka tidak diatur oleh FSGI pusat dalam
pelaksanaan baik sistem organisasi maupun program kerja atau kegiatan-kegiatan
yang dilakukan. Hubungan dengan FSGI pusat hanya dalam bentuk diskusi yang
dilakukan melalui group chatting media sosial dan pertemuan nasional yang
diadakan satu tahun atau dua tahun sekali.
Pertemuan rutinitas itu karena anggota kami karena serikat guru daerah,
mereka serikat daerah itu mengadakan pertemuan masing-masing. Dalam
pertemuan itu dalam mengangkat isu apa dan sebagainya kemudian kami
Universitas Indonesia
61
diskusi grup WA. Tetapi pertemuan rutin secara nasional itu kami lakukan
setiap tahun. (wawancara dengan HP, 18 Maret 2019).
Organisasi guru daerah yang terdaftar sebagai anggota FSGI disebut „SEGI‟
dengan Presidium sebagai pemimpinnya. Terdapat keberagaman fokus yang
terbentuk di dalam setiap segi yang tersebar di daerah-daerah ini. Sebagai contoh
ialah SEGI Medan yang keberadaannya lebih fokus dalam hal melayani keluhan-
keluhan guru setempat dan memberikan advokasi hukum dalam menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan pendidikan, terutama guru. SEGI Medan lebih
banyak bergerak dalam hal advokasi guru di bidang hukum, karena memang di
Medan jaringan dari SEGI Medan lebih banyak pada lembaga-lembaga bantuan
hukum. Sebagaimana disampaikan oleh FT bahwa:
Lain pula yang menjadi fokus dari SGI Bima, yang lebih kerap
memfokuskan gerakannya pada upaya pemerataan pendidikan di wilayah timur,
kualias pendidikan dan kesejahteraan bagi guru di Kabupaten Bima. Salah satu
upaya mereka dalam pemerataan pendidikan adalah mengadvokasi dan menekan
pemerintah untuk memperbaiki sarana dan prasarana SD di Sarampi, Bima.
Dikatakan SD ini seperti kadang hewan, karena fasilitas belajarnya jauh dari layak.
Berikut gambar gedung sekolah yang menjadi objek perjuangan SGI Bima.
Gambar 4.1
Gedung SD Sarampi
Dari kenyataan tersebut, dapat dilihat bahwa adanya otonomi setiap anggota
organisasi FSGI. Pada satu sisi, sistem ini memberikan kebebasan terhadap
organisasi-organisasi keanggotaan FSGI yang berdampak baik terhadap
perkembangan organisasi. Disamping itu dengan sistem federasi ini juga tidak
memberikan strata antar anggota yang memungkinkan munculnya proses egaliter
Universitas Indonesia
63
dalam tubuh organisasi. Namun, sisi lain justru sistem ini memberikan dampak
sebaliknya. Dengan adanya kebebasan dari organisasi pusat, maka organisasi
daerah kurang berkembang karena tidak adanya supervisi dari organisasi pusat. Hal
ini pula dirasakan oleh SEGI Medan bahwa dengan tidak adanya supervisi ini
membuat Segi Medan dalam dua tahun ini kurang progresif. Sebagaimana yang
disampaikan oleh FT bahwa:
Kita kan federasi, jadi persoalan internal organisai di serikat guru masing-
masing itu menjadi domain serikat gurunya masing-masing. Tidak ada
campur tangan langsung FSGI dengan persoalan internal orgnisasi serikat
guru yang ada di daerah-daerah. Organisasi guru daerah itu kan punya
anggaran dasar sendiri, punya program sendiri, dan punya kegiatan sendiri.
Tetapi anggaran dasar organisasinya itu ga bertentangan dengan visi misi
dan juga tidak bertentangan dengan AD/ART FSGI. Jadi memang di situ
kalau saya melihat ada kelemahan, di situ ada titik kelemahan FSGI
(wawancara dengan FT, 20 Maret 2019).
Universitas Indonesia
64
serikat guru yang dibentuk sesuai dengan prosedur hukum akan diakui sebagai
organisasi profesi guru yang sah.
Ide dari awal sudah sama sejak 2010 akhir saya mulai gabung. FMGJ dalam
perkembangannya kiprahnya di media-media sangat dominan, misalnya
terkait dengan UN, terkait dengan sertifikasi guru, bahkan 2013 FSGI paling
getol untuk menolak kurikulum 2013 dan itu jejak digitalnya banyak. Di
situlah orang mulai mengenal FSGI. Artinya memang sudah sedari awal
punya kesamaan ide (wawancara dengan SS, 9 November 2018).
Hal ini pula juga yang menjadi alasan EI untuk bergabung dengan FSGI.
Adanya kesamaan ide bahwa untuk memperjuangkan keadilan dalam pendidikan
memang dibutuhkan organisasi profesi guru yang progresif. Organisasi guru yang
progresif ini tidak SGI ini adalah para anggota yang mempunyai idealisme untuk
mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Bahkan untuk organisasi
sendiripun mereka mengupayakan organisais berdiri pada kaki sendiri dan tidak mau
adanya intervensi dari pihak luar. Berikut penuturan dari EI, bahwa
Universitas Indonesia
65
Jadi memang pada awalnya SGI Bima ini penuh dengan dinamika, banyak
kelompok-kelompok, Bupati-bupatinya, PGRI sendiri, menolak hadirnya
SGI Bima pada waktu itu, tapi untungnya teman-teman kita ini punya niat
yang baik terhadap pendidikan ini, sesuai dengan visi misi FSGI itu. Kami
coba menerjemahkan visi misi FSGI di daerah kami, dan kami berjuang
dengan kaki sendiri (wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).
Kedua, alasan rasional guru untuk bergabung dengan FSGI adalah FSGI
pernah memberikan bantuan advokasi terhadap guru sehingga guru merasa terbantu,
padahal sang guru tersebut bukan bagian anggota FSGI. Setelah guru tersebut
terbantu dalam advokasi FSGI, Ia kemudian dengan kesadaran sendiri bergabung
dengan FSGI. Fenomena ini sering dialami oleh anggota FSGI yang baru
bergabung. Mereka bergabung karena alasan pernah dibantu oleh FSGI dalam
mengadvokasi hak-hak yang seharusnya diterima oleh guru. SS menceritakan salah
satu kasus bergabungnya guru dengan FSGI sebagai berikut:
Orang yang bergabung ke kita yaitu orang-orang yang ada masalah, dibantu,
baru gabung. Itulah warna yang berbeda. Kalau IGI kan merekrut
anggotanya melalui pelatihan-pelatihan, pemberdayaan, kalau PGRI kan
birokrat ya. Itu diferensiasi. Kalau kita mungkin orang bisamengatakan kaya
NGO gitulah, kaya LSM jadinya kan. Sok yang mau gabung, yang ada
masalah lapor, dibantu, ya sudah gitu (wawancara dengan SS, 9 November
2018).
Ketiga, alasan guru untuk bergabung dengan FSGI sebagai bentuk kritisasi
terhadap PGRI dan melaksanakan amanat undang-undang guru dan dosen. Alasan
ini merupakan alasan mayoritas yang dikatakan oleh para anggota organisasi.
Mereka melihat organisasi PGRI tidak ideal sebagai organisasi progresif guru
sehingga adanya keinginan untuk menciptakan organisasi guru yang lebih progresif.
Dari setiap anggota, ada yang pernah bergabung dengan PGRI kemudian keluar
karena merasa PGRI sebagai organisasi politik praktis. Ada diantara anggota yang
belum sempat bergabung dengan PGRI dan lebih dulu bergabung dengan FSGI.
Alasan utama mereka karena PGRI lebih banyak mengakomodasi kepentingan
pemerintah dibanding kepentingan guru. Ada juga yang menjadi alasan keluar dari
Universitas Indonesia
66
keanggotaan PGRI karena ketika mereka menjadi anggota PGRI mereka hanya
sebagai pelengkap. PGRI tidak mengikutsertakan guru dan memberdayakan guru
sebagai partner strategis. Selain itu PGRI lebih banyak kegiatan sereminial,
sehingga bentuk-bentuk kegiatan dirasa kurang progresif. Hal ini sesuai dengan
penuturan HP bahwa;
....kami itu hanya sebagai pelengkap. Ketika kami itu hanya sebagai anggota
dan jumlahnya banyak, tetapi tidak diberdayakan bagaimana organisasi ini
untuk berkembang menjadi partner strategis bagi pemerintah dalam semua
lini pendidikan. Tetapi kebanyakan PGRI itu didalam melakukan kegiatan
lebih banyak seremoninya....... Selain itu ketika banyak anggotanya yang
bermasalah dalam aspek hukum dan sebagainya, perlindungan terhadap guru
tidak nyata. Begitu juga dengan perlindungan terhadap siswa. Semenjak itu
kami menyadari... (wawancara dengan HP, 18 Maret 2019).
4.4 Perubahan Sosial Politik: dari UU Guru & Dosen hingga Gerakan Guru
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa perubahan struktur politik
di Indonesia dari struktur politik yang represif – yang terjadi masa Orde Baru –
menuju struktur politik yang terbuka – masa Reformasi – memberikan peluang
gerakan sosial yang lebih progresif terhadap organisasi-organisasi sosial, termasuk
organisasi guru. Memang tidak dipungkiri bahwa gerakan guru telah terjadi
semenjak sebelum penjajahan Belanda hingga sekarang. Namun, masa Orde Baru
merupakan masa gerakan guru menjadi lebih tumpul. Organisasi guru lebih banyak
bertindak sebagai “humasnya” rezim ketimbang melakukan pembangunan
pendidikan ke arah yang lebih baik.
Alasan ini pula yang mendorong lahirnya organisasi FSGI. Hal ini sesuai dengan
pernyataan SS bahwa
Para pendiri FSGI itu melihat bahwa setelah lahirnya undang-undang guru
dan dosen no. 14 th 2005 UU mengamanahkan guru-guru harus ikut dalam
organisasi profesi dan di situ tidak disebutan apa nama organisasinya. Itu
salah satu yang mendorong aktivis pendidikan melahirkan FSGI agar anarasi
tentang pendidikan itu tidak hanya dimonopoli oleh organisasi profesi guru
(PGRI) seperti pada masa orde baru. Artinya FSGI lahir di dalam suasana
yang demokratis, undang-undang yang demokratis itulah yang melahirkan
FSGI (wawancara dengan SS, 9 November 2018).
Dalam banyak kasus isu tentang pendidikan, FSGI sebagai organisasi guru
lebih banyak melakukan protes terhadap pemerintah. Mereka selalu memberikan
kritik sekaligus menawarkan solusi terhadap permasalahan yang dikritiknya. Dalam
teori POS, kritik maupun protest yang diberikan oleh FSGI terhadap pemerintah
merupakan fungsi dari peluang politik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Eisinger (1971) bahwa protes merupakan tahapan yang paling rendah sebelum
terjadinya gerakan sosial. Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya,
Universitas Indonesia
68
bahwa ada dua mode fungsi peluang politik, yaitu mode linier dan mode curvilinier.
Dalam mode linier, protest ini dikatakan sebagai bentuk dari respon kefrustasian
(frustrated response). Artinya bahwa ketika peluang politik rendah, maka protes
akan tinggi, dan sebaliknya ketika peluang politik tinggi maka protes akan menurun.
Selain sisi lain, dalam mode curvilinier, ketika peluang politik tersebut tinggi maka
protes juga akan tinggi, sedangkan ketika peluang politik rendah maka protes juga
akan rendah. Berdasarkan analisis Eisinger (1971) ini, kita dapat melihat bahwa
mode struktur peluang politik di Indonesia adalah mode curvilinier. Hal ini lantaran
gerakan guru semakin progresif ketika adanya struktur politik di Indonesia
memasuki era reformasi yang memberikan ruang untuk protest, sedangkan gerakan
guru mundur ketika ruang protes tertutup pada pemerintahan Orde Baru.
Lebih lanjut Eisinger (1971) menyatakan bahwa ada empat varabel yang
memungkinkan gerakan sosial tersebut muncul. Pertama, gerakan sosial muncul
ketika akses terhadap lembaga-lembaga politik memiliki hubungan yang terbuka
atau tertutup. Artinya bahwa pola hubungan yang terbuka akan mebuka
kesempatakan bagi munculnya gerakan sosial, sedangkan pola hubungan yang
tertutup akan menciptakan hambatan bagi gerakan sosial. Kedua, gerakan sosial bisa
saja muncul ketika struktur politik sedang transisi. Artinya bahwa gerakan sosial
akan muncul ketika keadaan stuktur politik sedang tidak stabil, sedangkan struktur
politik baru belum terbentuk. Keadaan ini akan memberikan peluan untuk terjadinya
gerakan sosial. Ketiga, adanya konflik besar antar elit politik dan kesempatan ini
digunakan oleh agen gerakan sosial sebagai peluang gerakan sosial. Biasanya, masa
pemilihan umum merupakan masa bertarungnya para elit politik, sehingga agen
gerakan sosial melihat ini sebagai peluang untuk melakukan aksi gerakan sosial.
Keempat, kondisi para elit politik dan agen gerakan sosial bersatu dan berada dalam
sistem untuk melakukan perubahan.
Universitas Indonesia
69
...Dalam skema ini ukurannya bukan hari, kalo seminggu tapi tidak menarik
dan berbobot,yah percuma saja. Banyak laporan terhadap FSGI yang
mengikuti pelatihan, mengikuti sertifikasi yang dulu namanya PLPG. Di
PLPG justru dosen-dosen IKIP itu atau LPTK itu tidak up to date dengan
dokumen pembelajaran. RPP versinya dia dengan RPP versinya guru
berbeda. Bahkan guru punya versi sendiri atau tutor dari PLPG itu nanya ke
sekolah-sekolah tertentu. ..... (wawancara dengan SS, 9 November 2018).
Skema terakhir yaitu evaluatif. Menurutnya, dari semua program itu harus
ada evaluasi. Evaluasi itu artinya dicari apa yang kurang dari program tersebut, dan
didiagnosa apa yang menjadi kelemahan program. Kesemua skema ini menurut SS
harus terintegrasi dalam setiap pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau oleh
organisasi guru sendiri. Jika skema ini tidak teraplikasi, maka permasalahan-
permasalahan profesionalitas guru tetap masih timbul.
Universitas Indonesia
70
4.5 Penutup
Sejarah organisasi guru pada masa kolonial dipicu oleh perbedaan mencolok
antara penghasilan guru pribumi dengan bangsa eropa. Pada masa itu, guru
mempunyai keduudkan yang tinggi dan diberikan upah yang tinngi pula. Akan
tetapi, perbedaan kesenjangan antara pribumi dengan eropa tetap terjadi sehingga
melahirkan organisasi guru, yaitu Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGBH) yang
kemudian berganti nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Organisasi ini
semakin progresif dalam memperjuangkan hak-hak guru yang semakin ditekan oleh
peraturan-peraturan yang diterapkan pemerintah. Setelah itu, pada masa pendudukan
Jepang, organisasi guru tidak lagi progrsif karena kesejahteraan guru telah terpenuhi
secara ekoomi dan moral, serta pemerintahan jepang yang melarang guru ikut
campur dalam hal politik.
Pasca orde baru menimbulkan ruang politik yang terbuka lebar bagi
gerakan-gerakan alternatif di Indonesia, termasuk gerakan guru. Pada kalangan
guru, loyalitas tunggal terhadap PGRI tidak terjadi lagi. Organisasi-organisasi guru
mulai banyak bermunculan. Kemudian, pada tahun 2011 terbentuklah organisasi
Universitas Indonesia
71
guru dengan nama Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). FSGI ini lahir dari
persatuan organisasi-organisasi serikat guru berbagai daerah yang menyatukan visi
dan misi yang sama, yaitu menciptakan pendidikan Indonesia yang berkualitas dan
berkeadilan. FSGI ini aktif dalam mengkritisi dan mengangkat isu-isu terkiat
pendidikan, serta menyuarakan hak-hak pendidikan. Kebanyakan guru pun memilih
untuk bergabung dengan FSGI ketimbang PGRI karena PGRI dinilai sebagai
organisasi guru yang kurang progresif dan kurang berpihak terhadap kepentingan
guru. Dalam banyak kasus isu tentang pendidikan, FSGI sebagai organisasi guru
lebih banyak melakukan protes terhadap pemerintah. Mereka selalu memberikan
kritik sekaligus menawarkan solusi terhadap permasalahan yang dikritiknya. Pola
hubungan yang terbuka antara FSGI dan pemerintah dikatakan McAdam & Snow
(1997) sebagai hubungan yang konstituen, atau melayani satu sama lain. Pemerintah
Indonesia dengan landasan konstitusi yang demoktis melayani FSGI, sedangkan
FSGI melayani pemerintah dengan bentuk kritik dan saran sebagai upaya
menciptakan demokratisasi yang utuh.
Universitas Indonesia
72
BAB V
5.1 Pengantar
Bab sebelumnya peneliti telah mendeskripsikan tentang keorganisasian dari
FSGI. Untuk itu, pada bab ini akan dibahas pula tentang dinamika gerakan FSGI.
Tentang dinamika ini, ada tiga hal penting yang akan dijelaskan yaitu, pertama,
bentuk-bentuk gerakan FSGI. Tujuan penulisan dari sub bab ini adalah untuk
mendeskripsikan tentang bentuk-bentuk gerakan sosial yang telah dilakukan oleh
FSGI. Ada banyak bentuk gerakan sosial yang dilakukan oleh FSGI, namun dalam
tesis ini akan dikelompokkan dalam empat bentuk gerakan sosial.keepat bentuk
tersebut antara lain pelatihan-pelatihan guru sebagai peningkatan profesionalisme,
memperjuangkan keadilan bagi guru melalui jalur hukum, membentuk opini publik
dengan menggunakan media massa sebagai ujung tombak gerakan, dan melakukan
diskusi rutin untuk memobilisasi massa dan ideologis.
yang lebih cepat. Untuk itu, pada sub bagian ini akan dijelaskan tentang bentuk-
bentuk gerakan yang dikukan oleh FSGI mewujudkan pendidikan yang berkualitas
dan berkeadilan.
Ketika kita mengkaji lebih dalam lagi makna tentang pendidikan yang
berkualitas dan berkeadilan, maka kita akan diarahkan pemahamannya tentang
permasalahan pokok pendidikan di Indonesia. Seperti yang telah peneliti jelaskan
pada pembahasan sebelumnya, bahwa permasalahan pokok pendidikan Indonesia
tidak terlepas dari dua hal yaitu rendahnya kualitas pendidikan dan kesenjangan
dalam pendidikan. Salah satu hal yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan
adalah rendahnya kompetensi dan profesionalisme guru. Di pihak lain, keadilan
dalam pendidikan berkaitan dengan pendidikan yang merata serta kesejahteraan
guru. Dalam diskursus awal, memang antara profesionalitas guru dan kesejahteraan
guru merupakan suatu hal yang berbeda. Profesionalitas sangat erat kaitannya
dengan kompetensi dan modal intelektual yang dimiliki oleh sang guru, dengan kata
lain profesionalitas berkaitan dengan individu guru tersebut. Di sisi lain,
kesejahteraan guru mempunyai relasi dengan atasan si guru. Ketika guru berstatus
sebagai guru yayasan, maka relasi kesejahteraannya dengan yayasan. Jika guru
tersebut berstatus sebagai guru pemerintah, maka relasi kesejahteraannya dengan
pemerintah. Yang menjadi persoalan adalah adanya ketimpangan antara
profesionalisme dengan kesejahteraan. Ketika profesionalisme guru dinilai sudah
baik, namun kesejahteraan tidak kunjung membaik. Atau sebaliknya ketika
kesejahteraan membaik, namun profesionalisme guru tidak membaik, ini akan
memunculkan ketidakadilan diantara kalangan guru.
Universitas Indonesia
74
mengajar siswa SLTP cukup dengan lulusan Sekolah Guru Atas (SGA) atau
setingkat dengan lulusan SMA sekarang. Untuk membekali para guru yang
mengajar tersebut, pemerintah memberikan berbagai kursus singkat. Tujuannya
supaya calon guru ini mampu memahami tata cara mengajar di dalam kelas.
Permasalahan tentang kesejahteraan guru pun menjadi masalah klasik dari masa
kemerdekaan. Dengan rendahnya balas jasa terhadap kesejahteraan guru, profesi
guru dianggap sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”.
Gambar 5.1
Universitas Indonesia
75
FSGI juga dapat dikatakan sebagai organisasi yang unik, karena ia dianggap
sebagai organisasi profesi guru yang merangkap seperti LSM. Para guru sering
mencap FSGI seperti LSM karena perjuangannya lebih banyak mengadvokasi dan
mewujudkan keadilan melalui jalur hukum. Hal ini juga tidak ditempis oleh salah
seorang wartawan pendidikan yang mengatakan bahwa FSGI merupakan organisasi
yang sangat kritis terhadap isu pendidikan, serta memperjuangkan keadilan melalui
jalur hukum. Karena alasan inilah FSGI dicap sebagai organisasi seperti LSM. Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh SS bahwa “....Kalau kita mungkin orang bisa
mengatakan kaya NGO gitulah, kaya LSM jadinya kan. Sok yang mau gabung,
yang ada masalah lapor, dibantu, ya sudah gitu.”
Meskipun FSGI dianggap sebagai organisasi yang mirip LSM, tetapi ada
perbedaan antara advokasi yang dilakukan oleh FSGI dengan LSM. Ketika FSGI
yang melakukan advokasi, ia cenderung melakukannya melalui dua jalur, yaitu
jalur meja hijau dan meja coklat. Advokasi melalui meja hijau artinya bantuan
hukum melalui peradilan. Sedangkan melalui meja coklat dilakukan FSGI melalui
media massa. Kedua hal ini berjalan beriringan sampai keadilan benar-benar
didapatkan. Selain itu, yang menjadi perbedaannya adalah FSGI hanya fokus
memperjuangkan keadilan bagi guru dan siswa. Di sini, perasaan empati sesama
guru muncul dalam melakukan advokasi. Berbeda dengan LSM, bahwa antara yang
melakukan advokasi dengan yang diadvokasi berbeda profesi.
Universitas Indonesia
76
yang dikatakan Ford (2009: 205) bahwa gerakan buruh di Indonesia tidak terlepas
dari peran LSM dan aktor intelektual dalam organisasi buruh itu sendiri. Hal ini
hampir mirip dengan gerakan guru, bahwa organisasi guru berjejaring dengan LSM,
media massa dan aktor-aktor intelektual dalam mewujudkan cita-cita pendidikan
yang berkualitas dan berkeadilan.
Makanya terkait guru honorer itu kita ga terlalu pressur gitu, karena guru
honorer itu kan, ya kita harus lihat jujur, ga mungkinlah langsung dingakat
PNS. Karena undang-undang ASN, jadi uniknya FSGI itu dia akan
memperjuangkan tetapi tetap berbasis hukum. Dan akan memperjuangkan
di luar hukum, maksudnya gini, ini kan ada undang-undang yang ngomong,
ASN itu syaratnya 35, ya kan dan ga ada lagi guru diangkat jadi PNS, yang
ada seleksi, berbasis seleksi semuanya, tapi kan tetan-teman guru honorer
ini kan maunya langsung diangkat. Nah itu yang mereka tolak, demo-demo.
Bahwa mereka bergaji 200 ribu, 50 ribu, itu kita suarakan. Itu kan
ketidakadilan sebenarnya. Tetapi perasaan ketidak adilan atau fakta bahwa
mereka didiskriminsi, mengalami penindasan itu, dengan cara hukum juga
mengatasinya gitu lho. Tapi kan mereka bersikukuh untuk jadi PNS tanpa
seleksi. (wawancara dengan SS, 9 November 2018).
terkait gaji guru honor daerah. Akan tetapi, kebutuhan hidup semakin meningkat,
ditambah dengan naiknya inflasi secara nasional menyebabkan gaji guru honor
tersebut jauh dari kata sejahtera.
Kita pernah membuat kajian berapa gaji guru yang layak di kota Medan,
kita memakai format dari peraturan negeri tenaga kerja, jadi kita
menggunakan format itu, waktu itu kita temui kalau di lapangan itu 10 ribu
per jam atau berapa, ya kalau 24 jam berarti 240 ribu sebulan kan gitu.
Umumnya seperti itu. Memang ada juga yang di atas itu. Dari kajian yang
kami lakukan seharusnya guru itu layak mendapat dua kali dari UMR,
karena kalau kita bicara UMR, bukan bermaksud merendahkan buruh, rata-
rata kan mereka tamatan SMA ke bawah, sedangkan guru sudah
terkualifikasi S1, kemudian ada yang sertifikasi atau apa itu kan membuat
ada perbedaan kebutuhan hidup antara guru dengan buruh seharusnya gaji
guru itu tidak hanya sama dengan UMR, atau harus lebih dari UMR.
Temuan kami itu harus dua kali dari itu. (wawancara dengan FT, 20 Maret
2019).
advokasi masalah hukum ini FSGI sering menggandeng LBH Indonesia untuk
menyelesaikan permasalahan hukum. Salah satu contoh kasus yang diselesaikan
dan dimenangkan oleh FSGI adalah kasus pencopotan salah seorang kepala sekolah
oleh Dinas Pendidikan yang tidak berlandaskan hukum apapun. Permasalahan ini
kemudian diselesaikan melalui jalur hukum yang akhirnya dimenangkan oleh FSGI.
Dalam proses advokasinya, FSGI menggunakan meja hijau dan meja coklat. Meja
hijau melalui jalur hukum, sedangkan meja coklat melalui konferensi pers yang
bertujuan untuk menguatkan argumen FSGI secara politis.
Salah satu strategi yang FSGI gunakan agar hasil-hasil diskusi dan hasil
rapat di internal FSGI itu tersosialisasi, kami menggandeng media. FsGI
tidak akan besar tanpa media. Itu yang memang strategi yang kita pakai
selama ini. Jadi kita dekat dengan media. Tujuan dari FSGI harus kita
mainstream kan dengan cara ya melalui media. Jujur kita bergantung sekali
dengan media. Kita menyuarakan itu melalui media tentang kesejahteraan
guru, guru honorer itu googling ada. Tetapi hal-hal teknis yang tidak kami
sampaikan ke media..... (wawancara dengan SS, 9 November 2018).
sisi ia membutuhkan kesejahteraan. Oleh sebab itu, gerakan guru lebih cenderung
diplomatis dan berjejaring. Tidak salah juga ketika FSGI membangun jaringan
dengan berbagai LSM dan menggunakan media massa dalam gerakannya, karena
hal ini dinilai lebih efektif ketimbang melakukan mogok ngajar atau gerakan yang
terkesan “radikal” lainnya.
Kedekatan FSGI dengan media massa juga tidak ditepis oleh UB sebagai
wartawan nasional yang sering mengisi kolom pendidikan. Menurutnya, FSGI
sangat aktif dalam menanggapi isu pendidikan. Bahkan para wartawan tidak sulit
untuk mendapatkan informasi dari mereka. Ketika isu-isu pendidikan sedang
kosong, FSGI menjadi pelopor dalam memunculkan isu-isu tentang pendidikan.
Misalnya terkait permasalahan UN, organisasi profesi guru yang lain belum ada
yang berbicara. Namun FSGI sudah mewarnai isu tentang UN dengan ide-ide
mereka yang kritis.
....Jadi selama ini kami melakukan gerakan bersama dengan jaringan dan
bersama dengan kekuatan media untuk memberikan masukan kepada
pemerintah agar pemerintah ini dalam pelayanan pendidikan, dalam
menciptakan demokrasi pendidikan, dalam menciptakan anggaran
pendidikan, harus berkualitas.... (wawancara dengan HP, 18 Maret
2019).
Universitas Indonesia
82
pada tahun 2016 berkisar 63-70. Padahal angka ini masih di bawah standar yakni
75.
Sementara ini kami baru melakukan pelatihan itu kepada anggota kami.
Karena begitu kami merambah kepada dunia lain, ketika kami melakukan
penawaran itu terhadap daerah lain, dinas itu sudah antipati dulu terhadap
kami, kami-kami ini kritis, mendasar, dan mereka sering merasa berat
dengan gerakan kami. Maka mereka itu sering menutup akses kepada kita
padahal kami itu adalah demokrasi pendidikan, kami itu termasuk magian
dari egaliter pendidikan, sehingga pemberdayaan, sehingga tidak otoriter.
(wawancara dengan HP, 18 Maret 2019).
Selain itu, metode pelatihan yang dilaksanakan oleh FSGI cukup berbeda
dengan metode yang dilakukan oleh pemerintah. Ketika pemerintah memberikan
pelatihan secara umum terhadap guru, maka FSGI mempunyai metode 4B1E
(berkualitas, bermanfaat, berkelanjutan, berbobot, dan evaluatif). Pelatihan ini
dimaksudkan supaya pelatihan FSGI tidak seperti pelatihan pemerintah yang “gitu-
gitu aja”. Bentuk pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah bersifat massal,
temporer, sporadis, tidak ada evaluasi, dan tidak berkelanjutan. Supaya
pelatihannya tidak “gitu-gitu aja” maka metode 4B1E ini diterapkan oleh FSGI
sekaligus menjadi suatu masukan untuk pemerintah.
Universitas Indonesia
83
Selain pelatihan yang berkaitan dengan kompetensi sosial guru, juga ada
pelatihan tentang kompetensi pedagogis guru. Pelatihan ini berbentuk pelatihan
manajemen kelas. Pelatihan ini berbentuk cara-cara melakukan manajemen kelas
yang ideal bagi seorang guru. Ketika kelasnya termanajemen dengan baik, maka
proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar. Dengan lancarnya proses
Universitas Indonesia
85
pembelajaran di kelas, maka transfer ilmu akan lebih mudah. Ilmu yang diberikan
kepada siswa akan diserap dengan maksimal oleh siswa, dan tujuan pendidikan
nasional akan mudah terwujud.
Pelatihan-pelatihan ini tidak hanya dilakukan oleh FSGI pusat semata, tetapi
SGI yang ada di daerah-daerah juga mengadakan pelatihan-pelatihan guna
meningkatkan kompetensi guru, terutama guru yang menjadi bagian dari
keanggotaan FSGI. Kita sebut saja pelatihan menulis yang dilakukan oleh SGI
Bima. Pelatihan tentang menulis ini dilaksanakan oleh SGI Bima untuk anggota
internal semata. Menurutnya, dengan menulis akan lebih mudah menyampaikan ide
dan gagasan ke publik, apalagi gerakannya ditopang oleh media massa. Lebih
lanjut, EI mengatakan bahwa
Saya mengajak teman-teman FSGI ini untuk menulis. Kita belajar bersama-
sama. Kita saling sharing tentang penulisan. Bagi saya menulis itu penting
karena dibaca orang banyak. Artinya pikiran-pikiran kita bukan hanya
secara lisan, bukan gerakan-gerakan lisan. Maka tulisan-tulisan teman-
teman FSGI Bima ini cukup dilihat dan dibaca oleh stakeholder maupun
masyarakat (wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).
Dalam gerakan sosial, kualitas dan kuantitas massa sangat penting untuk
mencapai tujuan. Kualitas massa berkaitan erat dengan seberapa paham dan
seberapa besar makna yang akan diperjuangkannya, sedangkan kuantitas berkaitan
Universitas Indonesia
86
erat dengan seberapa besar jumlah yang ikut dalam gerakan tersebut. Maran (2001:
65) mengatakan bahwa kualitas dan kuantitas massa sangat penting untuk gerakan
sosial, apakah nanti massanya akan memberikan perubahan atau hanya sekedar
untuk penentangan. Hal ini senada dengan Tan Malaka (2000) yang mengatakan
bahwa jumlah massa penting untuk melakukan revolusioner.
Berkaitan dengan kualitas dan kuantitas massa dalam gerakan sosial, hal ini
juga disadari oleh FSGI. Bagi mereka, kualitas dan kuantitas anggota sangat
penting dalam melakukan gerakan sosial. Ada beberapa strategi FSGI untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas anggota. Pertama, keanggotaan FSGI yang
bersifat organisasi dan individu. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa salah
satu syarat untuk bergabung FSGI adalah tergabung dalam organisasi Serikat Guru
yang sudah bergabung dengan FSGI. Jika Serikat Guru di daerah tersebut belum
ada atau belum tergabung, individu tersebut harus membuat organisasi Serikat Guru
di daerah tersebut terlebih dahulu dengat mengikuti prosedur hukum yang berlaku
di Indonesia. Jika sudah ada organisasi Serikat Guru, dan organisasi tersebut telah
bergabung dengan FSGi, calon anggota tersebut bisa langsung bergabung dengan
serikat guru yang ada di daerahnya. Secara otomatis calon anggota tersebut akan
menjadi anggota SGI dan FSGI. Sistem keanggotaan yang seperti ini akan
meningkatkan kuantitas keanggotaan FSGI.
Strategi yang kedua, dengan melakukan diskusi rutin pada setiap SGI.
Setiap SGI di daerah selalu melakukan kajian rutin yang bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman guru tentang isu-isu pendidikan yang sedang
berkembang. Diskusi rutin ini digunakan sebagai ajang tukar pikiran antar anggota.
Diskusi rutin ini juga berlaku bagi FSGI secara nasional. Ketika ada isu pendidikan,
FSGI langsung mengadakan musyawarah nasional melalui media sosial, seperti
grup Whats App dan google drive. Hal ini sebagaimana dikatakan HP bahwa:
Penggunaan grup WA itu, google drive, untuk jarak jauh kami dalam
membuat rilis, memudahkan kami dalam efisiensi waktu tidak
memunginkan kami harus bertemu untuk memutuskan sesuatu. Dunia maya
ini sudah membantu untuk akses ini membuat kami melakukan gerakan
semakin cepat (wawancara dengan HP, 18 Maret 2019).
Universitas Indonesia
87
Selain itu, teori sumber daya ini dipengaruhi oleh pendekatan rasionalisme
Olsonian yang menyatakan bahwa hanya ada sedikit alasan bagi individu untuk
terlibat dalam aksi kolektif. Klandermans (2005) mengatakan bahwa semakin
spesifik alasan seseorang untuk bergabung dengan aksi kolektif tersebut, maka
semakin besar kemungkinan untuk melakukan perilaku kolektif tersebut. Seseorang
yang bergabung dengan organisasi gerakan akan mempertimbangkan untung-rugi
dalam gerakan. Ketika para anggota merasa gerakan ini menguntungkan mereka
secara pribadi, maka mereka akan bergabung. Namun sebaliknya, ketika mereka
merasa tidak diuntungkan, maka mereka tidak ikut dalam gerakan ini. Terkait
dengan keanggotaan FSGI, rasionalisme Olsonian ini nampaknya tidak berlaku bagi
para anggota. Mereka yang tergabung sebagian besar karena alasan idealisme,
bahwa memang dibutuhkan organisasi yang progresif guna mewujudkan
pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Idealisme ini sudah dibentuk dari
mereka mahasiswa. Rata-rata para anggota organisasi ini mempunyai latar belakang
Universitas Indonesia
88
Sumber daya materil erat kaitannya dengan uang dan pendanaan dalam
sebuah organisasi gerakan. Bagi FSGI sendiri, mereka mendapat sumber dana
melalui beberapa cara, yaitu iuran anggota, proposal dari pemerintah, hibah dari
institusi lain, dan lain-lain. Menurut penuturan SS bahwa FSGI juga memungut
uang kas dari para anggota, donasi yang tidak berikat, serta mengajukan proposal
kepada Kementrian untuk kegiatan pelatihan guru. Dengan tegas, ia mengatakan
bahwa segala bentuk dana yang diberikan kepada FSGI oleh institusi lain yang
Universitas Indonesia
89
syaratnya hanya satu, yaitu hibah tersebut tidak berikat. Artinya, kedeannya FSGI
tidak ada intervensi dari lembaga atau institusi lain. Hal ini senada dengan apa yang
disampaikan oleh EI, bahwa SGI Bima tidak mau diintervensi oleh lembaga
pemerintah atau institusi lain. Mereka hanya ini menjadi organisasi yang betul-betul
independen dan berdiri atas kaki sendiri.
Metode pendanaan yang tidak berikat ini juga dilakukan oleh SGI daerah,
misalnya SGI Bima yang mengelola pendanaannya melalui iuran sukarela anggota,
hibah yang tidak berikat. Namun, mereka mengatakan dengan tegas bahwa mereka
akan sangat malu ketika meminta dengan proposal kepada pemerintah. Berikut
penuturan dari EI bahwa:
....SGI Bima ini banyak pribadi, jadi kabupaten Bima berjuang dengan
kakinya sendiri, kami tidak pernah membawa proposal, malu kita bawa-
bawa proposal ke Kabupaten Bima, karena kita tidak mau diintervensi....
Kita memang pendanaan di Bima ini tidak sepeserpun, bahkan kami tidak
meminta iuran dari anggota kami. Walaupun PGRI meminta iuran, kalau
kami di FSGI tidak. Paling saya undang teman-teman rapat, mungkin dari
mana mereka punya uang, mungkin dari penghasilan dan keikhlasan kita
patungan, oke, jadi kita adakan kegitan... (wawancara dengan EI, 18 Maret
2019).
Dari penuturan ini, dapat kita ketahui bahwa SGI Bima tidak mau menerima
bantuan dari institusi manapun jika bantuan tersebut mengikat dan mengintervensi
organisasi. Kemandirian organisasi dan loyalitas para anggota yang membuat
gerakan ini semakin massif. Selain itu, SGI Bima jika ingin bekerja sama dengan
institusi lain, mereka ingin kerjasama dengan bantuan bukan berupa uang, misalnya
buku dan sebagainya. Seperti yang dikatakan EI bahwa mereka bekerja sama
dengan salah satu penerbit untuk pelatihan-pelatihan guru, dan yang didapatkan
oleh gurunya berupa buku. Karena menurutnya, buku jauh lebih besar manfaatnya
ketimbang memberikan uang. Sesuai penuturan EI berikut:
Universitas Indonesia
90
Retno ke Bima 2018 kemarin, jadi saya kerja sama dengan Erlangga,
Alhamdulillah mba Retno datang, sampai kita diundang di kantor walikota,
mba Retno memberikan pelatihan kepada guru-guru. Terus di sekolah-
sekolah. Paling dengan Erlangga aja kita kerja sama, tapi bukan dari bentuk
uang sih. Mereka beli bukunya, guru-guru ini beli bukunya, dari situlah
mereka dapat (wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).
Berbicata tentang sebaran jaringan, kita tidak akan terlepas dari konsep
modal sosial (social capital). Putnam (1995) mengatakan bahwa ada tiga komponen
utama dalam membentuk modal sosial yaitu jaringan, norma dan kepercayaan
(trust). Ketiga hal ini saling mempunyai hubungan timbal balik antara satu sama lain
dan akan menguntukngkan satu sama lain. Dalam membaca tiga komponen ini,
Putnam menjelasakan bahwa jaringan sosial merupakan bagian yang tidak dapat
berdiri sendiri. Norma dan trust inilah yang harus dimiliki oleh para aktor dan
dipertukarkan melalui jaringan sosial dengan organisasi sosial sebagai fasilitatornya.
Dengan tegas Putnam memposisikan trust sebagai komponen yang paling penting,
karena jejaring tidak akan terbentuk jika tidak ada unsur kepercayaan. Lain hal
dengan norma, merupakan komponen yang disepakati bersama oleh para aktor yang
berjejaring.
berjejaring karena ada kesamaan tertentu, dan dalam jaringan tersebut tidak
memiliki aturan yang baku. Misalnya kelompok arisan, jaringan pertemanan, dan
sebagainya.
Konsep Beckert ini sejalan dengan apa yang terjadi dengan jaringan sosial
dalam FSGI. Pertama, komponen institusions. Di atas telah dijelaskan bahwa
institusions berkaitan dengan aturan yang mengikat setiap aktor di dalamnya. Pada
organisasi FSGI, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan
yuridis berdirinya organisasi ini. Artinya bahwa antara FSGI, pemerintah, dan
jaringan non-pemerintah akan terikat oleh aturan ini. Pemerintah tidak akan
mencekal organisasi dan akan bertindak sebagaimana diamanahkan oleh undang-
undang tersebut. Hal ini sesuai dengan penuturan HP, bahwa pemerintah berperan
sebagai partner strategis dari FSGI. Walaupun banyak penentangan-penentangan
yang terjadi, namun kerja sama antara FSGI dan pemerintah masih terlaksana
dengan baik. Hal ini sejalan dengan disampaikan oleh EI bahwa
Universitas Indonesia
92
Universitas Indonesia
93
Terlepas dari ini semua, profesionalisme guru pun mempunyai ukuran ketika
seseorang dikatakan sebagai guru yang profesional. Menurut UU Guru dan Dosen,
seorang guru dikatakan profesional ketika ia mempunyai empat kompetensi dasar
dalam mengajar. Keempat kompetensi tersebut antara lain kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Artinya, secara sosiologis profesionalisme
berkaitan erat dengan modal/capital guru tersebut, terutama modal akademis dari
guru.
Universitas Indonesia
94
Dua permasalahan ini menjadi fokus kajian dan gerakan sosial dari FSGI.
Kendatipun secara akar sosiologis ini merupakan hal yang berbeda, tetapi dalam
pandangan FSGI merupakan satu hal yang sama. Menurutnya, antara
profesionalisme dan kesejahteraan tidak terlepas dari sudut pandang keadilan. Hal
ini sebagaimana yang dijabarkan oleh EI bahwa
.....Sedangkan sertifikasi ini kan tujuannya guru bsa lebih tenang, lebih
sejahtera dalam menjalankan profrsinya, Artinya uang berhubungan dengan
kompetensinya, sertifikasinya ini kan guru lebih bisa meningkatkan diri
untuk profesinya, meningkatkan teknik mengajarnya, strategi belajar
mengajarrnya. Nah ini kan antara profesionalisme kalaupun tingkat
kesejahteraan guru itu tinggi, seharusnya dengan adanya tunjang-tunjangan
sertifikasi ini baik itu tunjangan daerah terencil, maupun tunjangan
sertifikasi guru, mau tidak mau guru harus mampu menaikkan
kompetensinya .....(wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).
5.5 Penutup
Reformasi politik tahun 1998 tekah membuka ruang kebebasan bagi seluruh
rakyat Indonesia untuk menentukan sikap, pandangan, dan tindakannya masing-
masing, termasuk dalam memaknai kembali keadilan dalam pendidikan. FSGI
sebagai organisasi profesi guru pun turut mewarnai makna keadilan dalam
pendidikan. Ada beberapa bentuk gerakan sosial yang diperjuangkan oleh FSGI
untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.
Konsep tentang kualitas dan keadilan dalam pendidikan memang cukup luas.
Dengan luasnya konsep ini, maka gerakan FSGI pun dapat dikatakan luas. Ia tidak
hanya bergerak pada level lokal, tetapi juga bergerak dalam level nasional. FSGI
sangat responsif mengenai isu-isu pendidikan yang berkaitan dengan kualitas dan
keadilan dalam pendidikan. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk gerakan yang
dilakukannya. Seperti yang telah dituliskan di atas, ada beberapa bentuk gerakan
sosial yang dilakukan oleh FSGI antara lain advokasi, media massa, jaringan,
diskusi, dan pelatihan.
gerakannya, tetapi meja coklat pun ia pergunakan. Makna meja coklat disini adalah
penggunaan media massa sebagai bentuk dukungan dan upaya mencapai tujuan.
Dikatakan bahwa bagi FSGI media massa sebagai ujung tombak dalam gerakan,
karena tanpa media massa mereka tidak akan bisa mengekspose “apa yang sedang
diperjuangkan” dan tidak akan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Selain
media massa, FSGI juga memanfaatkan jaringan sosial sebagai partner dalam
gerakan sosial. Jaringan ini bertujuan untuk memperkuat gerakan yang dilakukan
oleh FSGI. Salah satu partner strategis FSGI adalah LBH yang memang konsen
dalam bantuan hukum. Terakhir, bentuk gerakan FSGI tidak hanya menekan
pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, namun bergerak sendiri
untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Caranya adalah dengan
mengadakan pelatihan-pelatihan yang ditujukan untuk guru sehingga kompetensi
guru akan semakin membaik. Bagi mereka, kualitas pendidikan berkaitan erat
dengan kompetensi guru. Ketika kompetensi guru baik, maka kualitas pendidikan
akan membaik.
Universitas Indonesia
BAB VI
6.1 Pengantar
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang bentuk konkrit gerakan sosial
yang dilakukan oleh FSGI, sedangkan pada bab ini akan dijelaskan tentang isu
pendidikan yang berkembang di Indonesia menjadi arah gerakan FSGI dari berdiri
hingga tahun 2018. Pada dasarnya, dinamika politik akan mempengaruhi isu-isu
pendidikan. Hal ini lantaran kebijakan pendidikan yang diambil oleh pemerintah
akan mempengaruhi isu pendidikan dan menjadi landasan bagi organisasi penentang
pemerintah untuk melakukan suatu gerakan sosial.
97
98
Gambar 6.1
Sumber: Analisis peneliti yang diolah dari berbagai sumber berita online (2019)
Dari beragam isu yang diangkat oleh FSGI tersebut, dapat kita petakan
dalam 3 hal, yaitu kritik pada tataran konseptual, kritik pada tataran praktikal, dan
kritik sekaligus aksi sosial dalam hal advokasi guru. Ketiga ranah isu pendidikan ini
menjadi satu kesatuan yang saring berkaitan dan saling beririsan seperti gambar di
bawah ini.
Universitas Indonesia
99
Gambar 6.2
Posisi Gerakan FSGI dan dalam Isu Pendidikan
Kritik pada tataran konseptual ini merupakan pengejawantahan dari visi dan
kerangka berpikirnya aktor dalam FSGI. Konsep-konsep pendidikan yang mengarah
pada pendidikan humanis sebagai landasan ide FSGI. Selain itu kritik pada tataran
praktikal ini merupakan kritik yang dilakukan oleh FSGI terhadap praktik-praktik
pendidikan yang kontemporer. Pada lain pihak, advokasi inilah yang menjadi
gerakan FSGI dalam mewujudkan visinya. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan
mendeskripsikannya di bawah ini.
Universitas Indonesia
100
dikatakan cerdas, namun kondisi ekonomi orang tuanya rendah akan bersekolah di
sekolah yang fasilitasnya tidak memadai. Istilah kapitalisme pendidikan ini lebih
dikenal dengan biaya pendidikan yang mahal dan tidak semua anak mempunyai
kesempatan untuk mengakses pendidikan. Inilah yang menjadi kritikan FSGI
terhadap realitas pendidikan di Indonesia (Indah, 2012).
Selain itu, FSGI pun lebih melakukan sejumlah kritik terhadap kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak terhadap guru dan siswa, salah satunya kebijakan
pendidikan yang tidak mempertimbangkan sumber daya manusia. Pada tahun 2012
kritikan FSGI terhadap pemerintah begitu deras, terutama tentang kebijakan
pendidikan dengan bermulanya isu perubahan kurikulum KTSP menjadi kurikulum
2013. Menurutnya, perubahan kurikulum tidak akan berdampak terhadap kemajuan
bangsa jika sumber daya dan kualitas guru tidak ditingkatkan (Afifah, 2012). Selain
itu kebijakan pemerintah lainnya tentang full day school yang menurut FSGI
kebijakan yang asal. Pasalnya, kebijakan ini dirumuskan oleh pemerintah terkesan
berdasarkan proyek. Selain itu full day school yang dinilai melanggar hak anak
(Suastha, 2016).
dalam hal ini ia memberikan kontribusi yang besar terhadap kebijakan tentang UN
yang dinilai lebih berpihak terhadap siswa.
Kritikan yang seperti ini terus disuarakan oleh FSGI melalui media massa,
hingga tahun 2018 FSGI berkolaborasi dengan lembaga-lembaga lain untuk
menuntut pemerintah dalam mengkaji ulang sistem PPDB tersebut. Namun, FSGI
tidak hanya melemparkan kritiknya saja. Mereka juga memberikan solusi atas
permasalahan tersebut, antara lain: pertama, pemerintah perlu memperbaiki pasal 19
ayat 1-3 dalam Permendikbud nomor 14 tahun 2018 tentang PPDB 2018. Menurut
FSGI, pasal ini mengatur tentang kewajiban sekolah menerima 20 persen siswa
miskin. Namun, aturan ini justru menimbulkan kerancuan dan rawan disalahgunakan.
Kedua, dalam Permendikbud ini perlunya penegasan pada pasal 16 ayat 2 dalam
persoalan migrasi kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) dalam satu Kepala
Universitas Indonesia
103
Keluarga (KK) paling lambat di lakukan 6 bulan sebelum masa pendaftaran PPDB
dibuka. Harus ada penegasan, bahwa kepindahan domisili peserta karena mutasi
dinas orang tuanya atau kerja atau pindah pemukiman. Ketiga, FSGI juga
merekomendasikan agar pemerintah dalam hal ini Kemendikbud bersama Dinas
Pendidikan terkait untuk memetakan kembali aturan zonasi secara cermat hingga
tingkat kelurahan/desa. Serta meningkatkan sarana pendidikan dengan mendirikan
sekolah-sekolah di tiap kecamatan untuk alih jenjang, agar terjadi pemerataan
pendidikan. Keempat, FSGI menghimbau kepada para orangtua dan pengurus
RT/RW agar bersikap dan bertindak jujur untuk mendapatkan/mengeluarkan SKTM.
Menurutnya, kasus meningkatnya pembuatan SKTM oleh oknum orangtua yang
ternyata dari keluarga mampu demi bersekolah di sekolah favorit tertentu sangat
merugikan siswa lain (Yunelia, 2018).
Isu tentang Full Day School juga menjadi kritikan FSGI kedua setelah isu
PPDB pada tahun yang sama terkait kebijakan pendidikan. Kritikan FSGI ini
berkaitan dengan penelluran kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui
Permendikbud Nomor 23 tahun 2017 tentang Lima Hari Sekolah. Kebijakan ini
kemudian menuai kontroversi selama beberapa bulan, yang kemudian diakhiri oleh
Presiden dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Menurut FSGI, walaupun Presiden ikut turun
tangan dalam menyelesaikan kontrovesi ini dengan Perpres, tetapi tidak betul-betul
menyelesaikan permasalahan sampai ke akar-akarnya. FSGI menilai PPK yang
langsung diimplementasikan pada tahun ajaran 2017/2018 juga menimbulkan
kesulitan tersendiri bagi guru dan sejumlah sekolah. Misalnya, hampir di seluruh
SMA unggulan di kota Mataram, NTB tidak bisa bagi rapor pada Sabtu, 16
Desember 2017 lantaran para guru kesulitan menyelesaikan proses penilaian PPK
yang sangat rumit. Hal tersebut disebabkan minimnya sosialisasi dan pelatihan dari
pemerintah terhadap guru, termasuk pengintegrasian PPK dalam Kurikulum 2013.
Dengan demikian, PPK sekedar muncul secara administratif dalam dokumen
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru (Movanita, 2017).
Universitas Indonesia
104
dapat teguran lisan ketika tak masuk selama lima hari berturut-turut. Ketiga,
pemeriksaan kepala sekolah tercopot selama tujuh jam tanpa henti pada 21 April
2015 yang tidak diberi kesempatan membela diri dan tidak didampingi penasihat
hukum. Bahkan ponselnya disita dan tidak diberi makanan selama pemeriksaan.
Menurut FSGI hal ini merupakan langkah yang intimidatif.
Selain kasus pencopotan jabatan kepala sekolah oleh dinas pendidikan, kasus
tentang kekerasan tehadap guru dan siswa juga menjadi fokus advokasi yang
dilakukan oleh FSGI. Sebagai contoh, kasus pemukulan terhadap guru kesenian di
Madura yang dilakukan oleh salah seorang siswanya, sehingga menyebabkan guru
tersebut meninggal dunia. Advokasi yang dilakukan oleh FSGI adalah menekan dan
mendorong pemerintah dan aparatur terkait untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Menurut FSGI, dalam UUGD Nomor 14 Tahun 2005 pasal 39 ayat 1 disebutkan
bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam
pelaksanaan tugas". Maknanya, lanjut FSGI bahwa siapa saja yang terkait dalam
UUGD No 14 Tahun 2005 harus memberikan perlindungan terhadap guru dalam
pelaksanaan tugas. Di sini, FSGI dengan tegas meminta kepada aparatur penegak
hukum untuk melakukan pengusutan apa yang menjadi penyebab kematian guru
Universitas Indonesia
106
Universitas Indonesia
107
ekonomi budaya dan akibatnya terhadap sumber masalah kemiskinan. Fase ini lebih
lanjut akan menghasilkan gerakan-gerakan perjuangan hak-hak dalam pendidikan.
Universitas Indonesia
108
dan bentuknya, dan bagaimanapun alasannya, itu merupakan sesuatu yang tidak
manusiawi dan menafikan harkat martabat kemanusiaan (dehumanisasi).
Maka dari itu, tidak ada pilihan lain. Ikhtiar memanusiakan kembali manusia
merupakan pilihan yang mutlak. Humanisasi merupakan satu-satunya pilihan bagi
kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi
sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan
ontologis di masa mendatang. Ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis,
menurut Freire, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika
kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk
mengubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya.
Universitas Indonesia
109
tahap “praxis” yang sesungguhnya tindakan setiap orang atau kelompok menjadi
bagian langsung dari realitas.
FSGI sebagai organisasi profesi guru yang melakukan gerakan sosial, telah
menempuh ketiga tahap yag dimaksud Freire ini. Tahap pertama, FSGI memaknai
simbol-simbol, tanda-tanda dari setip kebijakan pemerintah mengenai pendidikan
yang dinilai menindas guru dan siswa. Simbol ini bisa melalui buku-buku pelajaran,
kurikulum, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Hal-hal yang tidak sesuai dengan
pandangan FSGI tentang pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan, maka ia
melakukan diskusi-diskusi sebagai penyadaran terhadap para anggotanya. Pada
tahap akhir, setelah para anggota memahami ideologi gerakan FSGI, maka mereka
melakukan aksi kultural dengan cara advokasi, penyebaran melalui media, dan
bentuk-bentuk perlawanan lainnya.
Relasi secara vertikal antara negara dengan guru, dalam ruang kontestasi
politik pendidikan cenderung mengarah pada perbenturan kepentingan dan
negosiasi-negosiasi di dalamnya. Di sini, negara diposisikan sebagai aktor yang
menciptakan kebijakan, sedangkan guru sebagai aktor penentang kebijakan ketika
kebijakan yang diciptakan negara lebih berpihak kepada kepentingan elit politik
dibanding kepentingan guru. Di lain pihak, guru menuntut pemerintah untuk
membentuk kebijakan yang lebih berpihak terhadap guru. Ketika terjadi perbenturan
antara dua kepentingan ini, maka penyelesaian masalahnya lebih banyak mengarah
kepada negosiasi antara kedua aktor ini.
Universitas Indonesia
110
Relasi ini hampir mirip dengan bentuk relasi negara dengan NGO. Negara
memberikan kebijakan-kebijakan terhadap NGO, sedangkan NGO merespon
kebijakan itu dengan bentuk penerimaan atau penolakan. Ketika kebijakan tersebut
sesuai dengan idealisme NGO, mereka dapat menerimanya, bahkan mereka
mendukung kebijakan tersebut. Namun sebaliknya, ketika kebijakan tersebut
bertentangan dengan idealisme NGO, maka NGO berjejaring dengan organisasi
profesi guru, dalam hal ini FSGI, untuk melakukan penentangan. Di Indonesia
selama ini, proses penyelesain ketika adanya pertentangan antara negara dengan
NGO dan organisasi profesi guru, dilakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan-
kesepakatan.
Relasi secara horizontal yang melibatkan relasi antara guru dengan siswa,
mereka membentuk kondisi pembelajaran yang kritis di dalam kelas untuk
menciptakan pembelajaran humanis. Di sini guru melakukan proses transfer nilai
dan norma terhadap siswa bukan dengan cara pendidikan gaya bank. Maksudnya
adalah terjadinya diskursus antara guru dengan siswa dalam ruang-ruang kelas.
Proses pembelajaran yang terjadi bukanlah guru mengajar dan siswa belajar, tetapi
guru dan siswa sama-sama belajar untuk mengetahui dan memahami apa yang
mereka pelajari. Relasinya bukan lagi guru tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa;
guru berpikir, siswa dipikirkan; guru berbicara, siswa mendengarkan; guru
mengatur, siswa diatur; guru memilih, siswa menuruti; gur bertindak, siswa diam;
guru yang memilih, siswa yang menyesuaikan; serta guru sebagai subjek, siswa
sebagai objek.
Universitas Indonesia
111
Gambar 6.3
Kontestasi dalam ruang politik pendidikan
6.5 Kritik Terhadap Teori Gerakan Sumber Daya dan Teori Peluang Politik
Pada dasarnya, teori gerakan sumber daya menekankan pada aspek
rasionalitas dalam gerakan sosial. Pada lain pihak, aspek rasionalitas inilah yang
menjadi kelemahan dari teori ini. Di sini, seolah-olah setiap orang hanya dimotivasi
oleh pertimbangan untung-rugi dan kurang memperhitungkan adanya kesadaran,
cita-cita, kultur, bahkan ideologi yang mendorong keterlibatan mereka. Dalam
pandangan ini, para pelaku gerakan sosial memiliki optimisme akan adanya
perubahan yang lebih baik. Sementara itu, penekanan pada faktor organisasional
sebagai faktor yang sangat mendukung suatu gerakan sosial, justru dilihat sebagai
faktor yang melemahkan. Faktor organisasional pada sisi lain akan mampu
melemahkan gerakan karena organisasi ini cenderung bersifat birokratis dan
mendemobilisasi resistensi anggotanya, serta mengarahkan aktivis-aktivis gerakan
ke dalam mekanisme politik formal. Kondisi organisasional ini juga menjadi
kelemahan dari FSGI sendiri, yaitu sistem federasi yang diusung FSGI. Sistem
federal yang dimaksud di sini adalah aturan yang membebaskan setiap serikat guru
Universitas Indonesia
112
di daerah menentukan arah gerakan mereka secara otonom atau tidak terpusat. Hal
ini menimbulkan miss-control dari FSGI pusat sehingga organisasi daerah tidak
semuanya bergerak aktif dalam melakukan gerakan sosialnya. Selain itu, sistem
federasi ini memberikan syarat untuk Sekjen FSGI harus berdomisili di Jakarta.
Alhasil, kesempatan Sekjen atau pimpinan tertinggi FSGI tertutup untuk anggota-
anggotanya yang berada di luar ibu kota.
Ketiga, peluang politik ini tidak hanya menguntungkan para aktor gerakan
sosial, tetapi juga digunakan oleh lawan untuk melemahkan gerakan. Dengan kata
lain, peluamg-peluamg tersebut bukanlah monopoli gerakan, tetapi bisa juga
dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan kontra gerakan yang kepentingannya berbeda
Universitas Indonesia
113
secara diameteral. Semakin tersedia peluang dan akses pada sistem pengambilan
keputusan, gerakan sosial semakin tergoda untuk mengadopsi strategi yang lebih
moderat sehingga terjerumus ke jalur resmi dan formal. Hal ini tidak tertutup
kemungkinan bagi aktor-aktor gerakan sosial oleh FSGI yang akan tergoda dengan
jabatan-jabatan formal institusional.
6.6 Penutup
Dalam kerangka Freire, pendidikan merupakan sebuah pilot project untuk
melakukan perubahan sosial guna menciptakan masyarakat yang baru. Kerangka ini
kemudian diadopsi oleh FSGI dalam melihat persoalan dan isu-isu pendidikan di
Indonesia. Dalam beberapa tahun sejak berdirinya FSGI, ada banyak isu pendidikan
yang menjadi topik pembahasannya. Isu pendidikan yang menjadi pembahasan
FSGI antara lain rendahnya profesionalisme guru, permasalahan tentang ujian
nasional, permasalahan dalam kebijakan sistem zonasi, pro-kontra kebijakan impor
guru, kontroversi kebijakan full day school, pendidikan yang diskriminatif, dan lain
sebagainya. Dalam membahas isu pendidikan tersebut, FSGI menyikapinya dengan
mengombinasikan tiga cara, yaitu melakukan kritik secara konseptual dan praktikal,
serta menelurkan kritik tersebut dengan kapasitas advokasi. Isu-isu pendidikan
memang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Kedepannya, FSGI dan organisasi
gerakan guru lainnya akan berhadapan dengan berbagai peluang dan tantangan.
Peluang dan tantangan gerakan guru tersebut berada pada tiga level, yaitu
level makro, level meso, dan level mikro. Level makro memiliki relasi tantangan
antara gerakan guru dengan kebijakan pemerintah secara nasional. Ada tiga hal yang
menjadi tantangan gerakan guru pada level makro, yaitu 1) akan dibawa ke mana
kebijakan pendidikan pasca pilpres 2019?; 2) bagaimana kelanjutan kebijakan
program sertifikasi guru; dan 3) pemisahan undang-undang guru dan dosen. Pada
level meso, gerakan guru memiliki relasi dengan para stakeholder lokal yang di
dalamnya ada tokoh-tokoh yang berpengaruh, elit-elit lokal yang berpengaruh, dan
masyarakat setempat. Selanjutnya pada level mikro, relasinya antara guru dengan
siswa, dan guru dengan mindset keguruan itu sendiri.
Selain itu yang menjadi pertanyaan untuk gerakan guru kedepannya adalah
bagaimana konsolidasi gerakan guru ditengah menjamurnya gerakan-gerakan guru
Universitas Indonesia
114
di Indonesia dewasa ini. Apakah ide dan cita-cita yang mereka perjuangkan itu sama
atau bisa jadi berseberangan. Sebagai contoh, cita-cita antara FSGI dengan IGHI
pada dasarnya sama, yaitu sama-sama memperjuangkan keadilan untuk guru.
Namun, cara yang mereka tempuh cenderung berbeda. Jika FSGI lebih banyak
melakukan advokasi dan negosiasi dengan pemerintah, maka IGHI lebih banyak
melakukan aksi massa dengan demonstrasi di depan istana. Selain itu, akankah
menguat gerakan guru seiring dengan berkembangnya isu-isu pendidikan yang baru
dan sejauh mana radikalisasi gerakan guru. Apakah gerakan guru akan mampu
menjadi gerakan buruh yang radikal ketika masa marxisme atau gerakan guru hanya
sebatas gerakan responsif terhadap kebijakan pemerintah.
Universitas Indonesia
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Gerakan guru di Indonesia semakin gencar dan berkembang pesat semenjak
runtuhnya rezim Orde Baru. Pada awalnya, gerakan guru hanya tersentralisasi pada
PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dan semenjak berlakunya UU No 21
tahun 2000 tentang serikat pekerja atau serikat buruh dan UU No 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen maka organisasi-organisasi guru makin banyak
bermunculan. Organisasi guru yang hadir pada level nasional salah satunya adalah
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Di sini, FSGI memanfaatkan peluang
politik yang ada untuk membangun idealismenya dalam mewujudkan visi
mmisinya.
Pokok diskusi dalam penelitian ini adalah isu tentang kualitas pendidikan
dan keadilan sosial dalam pendidikan. Kualitas pendidikan yang dimaksud di sini
ialah profesionalitas guru sebagai permasalahan pendidikan di Indonesia, dan
keadilan sosial dalam pendidikan ialah mengenai terpenuhinya kesejahteraan guru
oleh instansi tempat guru tersebut bekerja. Dua hal ini direspon dan menjadi fokus
dari gerakan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Dalam kerangka teoritis, gerakan sosial yang dilakukan oleh FSGI dapat
dikatakan sebagai gerakan sumber daya (resource mobilization). Asumsi dari
perspektif ini adalah ketidakpuasan bukanlah hal satu-satunya yang menyebabkan
gerakan muncul, tetapi kemampuan agen gerakan sosial dalam memobilisasi
sumber daya yang ada untuk merespon masalah sosial. Kita dapat melihat bahwa
115
116
FSGI sebagai organisasi profesi yang digunakan sebagai sarana dalam mencapai
tujuan.
Pertama, sebagai sumber daya materil erat kaitannya dengan uang dan
pendanaan dalam sebuah organisasi gerakan. Bagi FSGI sendiri, mereka mendapat
sumber dana melalui beberapa cara, yaitu iuran anggota, proposal dari pemerintah,
hibah dari institusi lain, dan lain-lain. Namun ada ketegasan yang menyatakan
bahwa segala bentuk dana yang diberikan kepada FSGI oleh institusi lain tersebut
tidak berikat. Artinya, kedepannya FSGI tidak ada intervensi dari lembaga atau
institusi lain.
Universitas Indonesia
117
7.2 Saran
Setelah melakukan kajian mendalam tentang gerakan sosial yang dilakukan
oleh organisasi guru dalam kontestasi ruang politik pendidikan, untuk itu studi ini
Universitas Indonesia
118
akan memberikan beberapa saran secara praksis terkait dengan kebijakan yang
relasinya tentang profesionalisme dan kesejahteraan guru. Pertama, penyusunan
kebijakan pendidikan, baik itu kurikulum dan kebijakan pendidikan lainnya yang
dilakukan oleh legislatif (DPR) dan kementrian pendidikan melalui Rancangan
Undang-Undang harus semaksimal mungkin melibatkan partisipasi sebagai
stakeholder pendidikan. Optimalisasi ini pada dasarnya sangat penting dalam dua
hal yaitu 1) sebagai kontrol dan partisipasi masyarakat dari akar rumput yang dapat
memberikan pengutan terhadap kebijakan pendidikan; 2) serta adanya kontrol dan
partisipasi dari multi stakeholder berupa wacana tanding terhadap segala bentuk
kebijakan pendidikan yang relasinya terhadap guru dan siswa.
Kedua, sebagaimana fokus utama studi ini tentang gerakan sosial yang
dilakukan oleh FSGI, ada beberapa hal yang menjadi saran untuk FSGI sendiri.
Pertama, sistem organisasi yang terlalu “federal” dengan membebaskan underbow
organisasi (SGI) tanpa adanya supervisi akan membuat gerakan semakin lemah.
Artinya, FSGI sejatinya harus melakukan supervisi terhadap SGI supaya SGI tetap
aktif dalam kegiatannya di daerah. Selama ini, kurangnya supervisi ini
menyebabkan adanya organisasi SGI daerah yang vakum dalam gerakan sosial.
Kedua, sistem “federasi” ini pula yang menyebabkan seorang sekjen harus berasal
dari wilayah DKI Jakarta. Menurut analisis peneliti, aturan ini yang akan membuat
diskriminasi dalam pemilihan sekjen. Jika alasan sekjen harus mengomunikasikan
kritikan FSGI melalui media massa, disamping itu media massa memang berpusat
di Jakarta, maka seharusnya keorganisasian FSGI harus mempunyai juru bicara
organisasi. Namun tidak seharusnya dituliskan di konstitusi organisasi bahwa
seorang sekjen harus berasal dari DKI, walaupun nanti jika yang terpilih dari DKI
Jakarta.
Universitas Indonesia
119
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, D. (1966). The Peyote Religion among the Navaho. Chicago: Aldine.
Achdami, M. (2018, Juli 11). Pemerintan Diminta Kaji Sistem Zonasi PPDB. Dipetik
mei 12, 2019, dari Harnas.co: http://harnas.co/2018/07/11/pemerintan-diminta-
kaji-sistem-zonasi-ppdb
Adnan, R., & Pradiansyah, A. (1999). Gerakan Mahasiswa Untuk Reformasi. Dalam S.
Soemardjan, Kisah Perjuangan Reformasi (hal. 133-196). Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Afandi, A., Rantung, V., & Marashdeh, H. (2017). Determinants of Income Inequality.
Economic Journal of Emerging Markets, 159-171.
Bacevich, & Andrew, J. (2005). The New American Militarism. USA: Oxford
University Press.
Badrun, U. (2006). Radikalisasi gerakan mahasiswa: Kasus HMI MPO. Jakarta: Media
Raushanfekr.
Beritasatu. (2013, Januari 02). Tahun 2012 Penuh Ketidakadilan di Dunia Pendidikan.
Dipetik Mai 05, 2019, dari Beritasatu.com:
https://www.beritasatu.com/nasional/90334/tahun-2012-penuh-ketidakadilan-di-
dunia-pendidikan
Bona, M. (2016, 14 Juli). PGRI: Model Sertifikasi Guru Jangan Berubah-ubah. Dipetik
Maret 10, 2019, dari www.beritasatu.com:
https://www.beritasatu.com/kesra/374517-pgri-model-sertifikasi-guru-jangan-
berubahubah.html
Breuer, F., & Schreier, M. (2007). ssues in Learning About and Teaching Qualitative
Research Methods and Methodology in the Social Sciences. Forum Qualitative
Sosial Research, art 30.
Universitas Indonesia
120
Bryman, A. (2012). Social Research Methods: Fourth Edition. New York, USA:
Oxford University Press.
Conti, N., Morrison, L., & Pantaleo, K. (2013). All the Wiser: Dialogic Space,
Destigmatization, and Teacher-Activist Recruitment. The Prison Journal, 163-
188.
Coomer, M., Jackson, R., & Dagli, C. (2018). Engaging Teachers As Social Justice
Actors. Equity Dispatch, 1-6.
__________,. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among five
approaches. London: Sage publication.
Deny, S. (2018, November 25). Miris, Begini Perbandingan Gaji Guru PNS dan
Honorer. Dipetik Maret 10, 2019, dari www.liputan6.com :
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3735268/miris-begini-perbandingan-gaji-
guru-pns-dan-honorer
Diniz-Pereira, J. (2005). Teacher Education for Social Transformation and its Links to
Progressive Social Movements: The case of the Landless Workers Movement in
Brazil. American Educational Research Association (AERA), 91-123.
Eduardo, C. (1997). New Social Movement Theory and Resource Mobilitation Theory:
The Need for Integration. Dalam M. Kauffman, & H. Alfonso, Community
Power and Grassroot Democracy: The Transformation of Social Life (hal. 180-
202). London: Zed Books.
Eko, A. (2014, Desember 02). FSGI: Banyak Lembaga Pendidikan Guru yang Abal-
abal. Dipetik Mei 10, 2019, dari KBR.id: https://kbr.id/berita/12-
2014/fsgi__banyak_lembaga_pendidikan_guru_yang_abal_abal/34907.html
Universitas Indonesia
121
Escobar, A., & Alvarez, S. (2018). The Making of Social Movements in Latin America:
Identity, Strategy, and Democracy, Second Edition . New York: Routledge.
Eyerman, R., & Jamison, A. (1998). Music And Social Movements: Mobilizing
Traditions In The Twentieth Century. New York: Cambridge University Press.
Faqih, M. (2016). Analisis Gender & Transformasi Sosial, Ed. 16. Yogyakarta: Insist
Press.
Finger, L., & Gindin, J. (2015). From proposal to policy: Social movements and
teachers‟ unions in Latin America. Springer, 365-378.
Ford, M. (2009). Workers and intellectuals: NGOs, trade unions, and the indonesian
labour movements. Singapore: National University of Singapore Press.
Gerke, P. (1987). Pengadaan Personil. Dalam H. Baudet, & I. Brugmans, Politik Etis
dan Revolusi Kemerdekaan (hal. 189-200). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Giddens, A., & Duneier, M. (2000). Introduction to Sociology (3rd edition). New York
and London: Norton Company Inc.
Gurevitch, M., & Curran, J. (2005). Mass Media and Soceity. New York: Bloomsbury.
Hadiz, V. (1997). Workers and the State in New Order Indonesia. London: Routledge.
Universitas Indonesia
122
Hendrian, D. (2017, Desember 27). FSGI: Sistem Zonasi Dalam PPDB 2017 Terlalu
Terburu-buru. Dipetik Mei 12, 2019, dari Portal KPAI:
http://www.kpai.go.id/berita/fsgi-sistem-zonasi-dalam-ppdb-2017-terlalu-
terburu-buru
Hidayat, R. (2011). Dinamika Sosial Gerakan Guru di Indonesia Pasca Orde Baru.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, 355-362.
Hsiao, H.-H. (2008). Asian New Democracies: The Philippines, South Korea and
Taiwan Compared. Taipei, Taiwan: Taiwan Foundation for Democracy.
Ihsanuddin. (2018, November 2). Kompas.com. Dipetik Februari 22, 2019, dari Demo
Guru Honorer, Respons Cuek Jokowi dan Jawaban Istana...:
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/02/10014031/demo-guru-honorer-
respons-cuek-jokowi-dan-jawaban-istana
Indah, M. (2012, Juni 19). Kapitalisme Merusak Pendidikan. Dipetik Mei 05, 2019, dari
DetikNews.com: https://news.detik.com/opini/d-1944825/kapitalisme-merusak-
pendidikan
Jenkins, J. (1983). Resource Mobilization Theory and The Study of Social Movements.
Annual Review of Sociology, 527-553.
Kaur, B. (2012). Equity and social justice in teaching and teacher education. Teaching
and Teacher Education, 485-492.
Universitas Indonesia
123
__________,. (2005). Protest dalam Kajian Psikologi Sosial. (H. Soetjpto, Penerj.)
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Klandermans, P, & Stekelenburg, J. (2009). Social movement theory: Past, present and
prospect. Amsterdam: University Amsterdam.
Klinken, G., & Berenschot, W. (2014). In search of Middle Indonesia: Kelas Menengah
di Kota-Kota Menengah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kriesi, H. (1989). New Social Movements and the New Class in the Netherlands.
American Journal of Sociology 94, 1078-1116.
Lemus, M. (2015 Vol. 42, No. 3/4 (142)). The Mexican Teachers' Movement: Thirty
Years of Struggle for Union Democracy and the Defense of Public Education.
Social Justice, 104-117.
Lipset, S. (1960). Political Man: The Social Bases of Politics. New York: Anchor
Books, Garden City.
Maharani, E. (2016, Jan 07). Dicopot karena Tinggalkan UN, Gugatan Kepsek SMAN 3
Dikabulkan. Dipetik Mei 12, 2019, dari Republika.co:
https://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-
nasional/16/01/07/o0kvxk335-dicopot-karena-tinggalkan-un-gugatan-kepsek-
sman-3-dikabulkan
Universitas Indonesia
124
Matthews, S. (2015). Privilege, Solidarity and Social Justice Struggles in South Africa.
Progresive Journals, 1-19.
McCarthy, J., & Zald, M. (1977). Resource Mobilization and Social Movements: A
Partial Theory. The American Journal of Sociology, 1212-1241.
Mediani, M. (2018, Juli 11). Kisruh Zonasi Sekolah PPDB Buntut Permendikbud
14/2018. Dipetik Mei 12, 2019, dari CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180711083149-20-313178/kisruh-
zonasi-sekolah-ppdb-buntut-permendikbud-14-2018
Meyer, D. (2004). Protest and Political Opportunities. Annual Review Sociology, 125-
145.
Movanita, A. (2017, Desember 27). Pro Kontra Full Day School Diakhiri, Kebijakan
PPK Tuai Masalah Baru. Dipetik Mei 12, 2019, dari kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/27/13410021/pro-kontra-full-day-
school-diakhiri-kebijakan-ppk-tuai-masalah-baru
Mulyono, Y. (2018, November 26). Detik.com. Dipetik Februari 22, 2019, dari Ribuan
Guru Honorer di Jember Tuntut Peningkatan Kesejahteraan:
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4317230/ribuan-guru-honorer-di-
jember-tuntut-peningkatan-
kesejahteraan?_ga=2.25503993.574921958.1550806738-96929557.1550806738
Universitas Indonesia
125
Namara, R., & Kasaija, J. (2016). Teachers‟ Protest Movements and Prospects for
Teachers Improved Welfare in Uganda. Journal of Education and Training
Studies, 149-159.
Ningsih, N. (2015). Studi Komparatif Kinerja Guru Bersertifikat Pendidik dan Yang
Belum Dalam Pengeloaan Pembelajaran di SMPN 3 Singaraja. Jurnal
universitas Pendidikan Ganesha, 1-10.
Picower, B. (2012). Teacher Activism: Enacting a Vision for Social Justice. Equity &
Excellence In Education, 561-574.
Poesponegoro, M., & Notosusanto, N. (2000). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:
Depdikbud.
Riley, K., & Solic, K. (2017). “Change Happens Beyond the Comfort Zone”: Bringing
Undergraduate Teacher-Candidates Into Activist Teacher Communities. Journal
of Teacher Education, 179-192.
Universitas Indonesia
126
Rizali, A., Sidi, I., & Dharma, S. (2009). Dari Guru Konvensional Menuju Guru
Profesional. Jakarta: Grasindo.
Rohman, A., Suyata, & Muhadjir, N. (2014). Dinamika Relasi Politik antara Otonomi
Guru dan Dominasi Kekuasaan. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan
Aplikasi, 101-113.
Rottmann, C. (2013). Social Justice Teacher Activism A Key to Union Vitality. FALL
Journals, 73-81.
Saldana, J. (2010). The Coding Manual for Qualitative Researchers. California: Sage
Publications.
Sani, A. (2018, November 25). FSGI Kecam Politisasi Guru Setiap Pemilu. Dipetik
Mareet 10, 2019, dari www.tempo.co:
https://pemilu.tempo.co/read/1149537/fsgi-kecam-politisasi-guru-setiap-pemilu
Seftiawan, D. (2018, Juli 10). Temukan Empat Kelemahan Sistem Zonasi PPDB, FSGI
Usul Revisi Permendikbud. Dipetik Mei 12, 2019, dari PikiranRakyat.com:
https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2018/07/10/temukan-empat-
kelemahan-sistem-zonasi-ppdb-fsgi-usul-revisi-permendikbud
Setiawan, S. (2018, Februari 02). FSGI Desak Kasus Penganiayaan Guru di Sampang
Diusut Tuntas. Dipetik Mei 12, 2019, dari Republika.co:
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/02/02/p3izuy354-fsgi-
desak-kasus-penganiayaan-guru-di-sampang-diusut-tuntas
Shah, G. (2004). Social Movements in India: A Review of Literature. New Delhi: Sage
Publications.
Sigh, R. (2001). Social Movements, Old and New: A Post-Modernist Critique. New
Delhi: Sage Publication.
Universitas Indonesia
127
Suastha, R. (2016, Agustus 18). Kebijakan 'Full Day School' Berpotensi Langgar Hak
Anak. Dipetik Mei 06, 2019, dari CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160818130217-20-
152187/kebijakan-full-day-school-berpotensi-langgar-hak-anak
Sujito, A. (2002). Gerakan Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasi: Peta Masalah dan
Pemanfaatan Peluang. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 121-138.
Sulisworo, D., Nasir, R., & Maryani, I. (2017). Identification of teachers‟ problems in
Indonesia on facing global community. International Journal of Research
Studies in Education, 81-90.
Synott, J. (2001). Development, Education and the Teachers Union Movement in South
Korea, 1989-1999. Australian Journal of Politics and History, 130-148.
__________,. (2002). Teacher Unions, Social Movements and the Politics of Education
in Asia: South Korea, Taiwan and the Philippines. Ashgate, England:
Routledge.
__________,. (2007). The Korean Teachers and Educational Workers Union: Collective
Rights as the Agency of Social Change. International Electronic Journal for
Leadership in Learning, 13-24.
Tarrow, S. (1998). Power in movement: social movements and contentious politics-- 3rd
ed. New Delhi: Chicago University Press.
Tempo.co. (2015, Mei 17). 7 Alasan Pencopotan Kepsek Retno Listyarti Diskriminatif.
Dipetik Mei 12, 2019, dari Tempo.co: https://metro.tempo.co/read/666832/7-
alasan-pencopotan-kepsek-retno-listyarti-diskriminatif/full&view=ok
Tuijl, P., & Witjes, B. (1997). Partisipasi Rakyat dalam Proses Pembangunan di
Indonesia. Dalam F. Husken, M. Rutten, & J.-P. Dirkse, Indonesia di Bawah
Orde Baru (hal. 227-256). Jakarta: Gramedia Grasindo Utama.
Vito, B., Krisnani, H., & Resnawaty, R. (2015). Kesenjangan Pendidikan Desa dan
Kota. Prosiding Riset dan PKM, 147-300.
Weiner, L. (2013). Social Justice Teacher Activism and Social Movement Unionism:
Tensions, Synergies, and Space. Remie: Multidiciplinary Journal of Educational
Research, 264-295.
Wicaksono, E., Amir, H., & Nugroho, A. (2017). The Sources Of Income Inequality In
Indonesia: A Regression-Based Inequality Decomposition. Japan: Asian
Development Bank Institute .
Wilson, C., & Johnson, L. (2015). Black Educational Activism for Community
Empowerment: International Leadership Perspectives. International Journal of
Multicultural Education, 102-120.
Winarni, L. (2014). Media Massa dan Isu Radikalisme Islam. Jurnal Komunikasi
Massa, 159-166.
Yunelia, I. (2018, Juli 10). FSGI Beri 4 Rekomendasi Evaluasi PPDB 2018. Dipetik
Mei 12, 2019, dari Medcom.id: https://www.medcom.id/pendidikan/news-
pendidikan/dN6Eee0K-fsgi-beri-4-rekomendasi-evaluasi-ppdb-2018
Universitas Indonesia