Anda di halaman 1dari 144

UNIVERSITAS INDONESIA

PERLAWANAN GERAKAN GURU PASCA ORDE BARU DI


INDONESIA: STUDI PADA FEDERASI SERIKAT GURU
INDONESIA

TESIS

AFDHAL
1706091700

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM PASCASARJANA SOSIOLOGI

DEPOK
2019

i
UNIVERSITAS INDONESIA

PERLAWANAN GERAKAN GURU PASCA ORDE BARU DI


INDONESIA: STUDI PADA FEDERASI SERIKAT GURU
INDONESIA

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar M.Sos

AFDHAL
1706091700

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM PASCASARJANA SOSIOLOGI

DEPOK
JUNI 2019

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Afdhal

NPM : 1706091700

Tanda Tangan :

Tanggal : 25 Juni 2019

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Afdhal
NPM : 1706092700
Program Studi : Sosiologi
Judul Tesis : Perlawanan Gerakan Guru Pasca Orde Baru di
Indonesia: Studi Pada Federasi Serikat Guru
Indonesia

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang perlukan untuk memperoleh gelar Magister Sosial (M.Sos) pada
program studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Ricardi S. Adnan, M.Si (__________________)

Penguji Ahli : Drs. Hari Nugroho, M.A (__________________)

Ketua Sidang : Dr. Indera Ratna Irawati P., M.A (__________________)

Sekretaris Sidang : Nanu Sundjono, S.Sos., M.Si (__________________)

Ditetapkan di : ......................................
Tanggal : .....................................

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sosial Jurusan
Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan Bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Dr. Ricardi S. Adnan, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;

(2) pihak Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang telah banyak membantu dalam
usaha memperoleh data yangsaya perlukan;

(3) orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan

moral; dan

(4) sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Depok, 25 Juni 2019

Afdhal

v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:

Nama : Afdhal
NPM : 1706091700
Program Studi : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Perlawanan Gerakan Guru Pasca Orde
Baru di Indonesia: Studi Pada Federasi Serikat Guru Indonesia beserta perangkat yang
ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas
Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (data base), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 25 Juni 2019
Yang menyatakan

( Afdhal )

vi
ABSTRAK
Nama : Afdhal
Program Studi : Sosiologi
Judul : Perlawanan Gerakan Guru Pasca Orde Baru di Indonesia:
Studi Pada Federasi Serikat Guru Indonesia
Pembimbing : Dr. Ricardi S. Adnan, M.Si

Tulisan ini berangkat dari fenomena menjamurnya gerakan guru pasca jatuhnya rezim
Orde Baru. Guru yang tergabung dalam serikat guru memperjuangkan keadilan sosial
yang semestinya didapatkan oleh guru dan masyarakat pendidikan. Studi-studi
sebelumnya melihat gerakan guru sebagai akibat militerisasi, kekangan pemerintah,
kapitalisasi pendidikan, dan kesenjangan kesejahteraan guru. Gerakan guru yang
muncul ini mengakibatkan perubahan dalam aspek politik, ekonomi dan budaya.
Sementara itu, dalam penelitian ini peneliti ingin menunjukkan bahwa perubahan sosial
politik dan kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan yang menjadi pemicu
meningkatnya gerakan guru. Perubahan sosial politik di Indonesia terlihat sejak
munculnya kebebasan berorganisasi dan berpendapat yang semulanya terkekang oleh
otoritas pemerintah Orde Baru. Selain itu, kesenjangan sosial tersebut dilihat dari aspek
kesenjangan kesejahteraan guru, kesenjangan pembangunan infrastuktur pendidikan,
dan kesenjangan dalam proses belajar mengajar. Hal ini menyebabkan gerakan guru
masa Orde Baru mengalami kebuntuan. Namun setelah Orde Baru tumbang dan
kebebasan tersebut diberikan, gerakan guru yang termanifestasi dalam organisasi-
organisasi guru semakin berkembang untuk menyuarakan kesenjangan yang terjadi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan mengombinasikan
beberapa metode pengumpulan data, yakni observasidan awancara mendalam.

Kata kunci:
Gerakan Sosial, Gerakan Serikat Guru, Keadilan Sosial, Orde Baru

vii
ABSTRACT
Name : Afdhal
Study Program : Sosiology
Title : Resistance of the Teacher Movement after the Orde Baru in Indonesia:
Study of the Indonesian Teachers Union Federation
Counsellor : Dr. Ricardi S. Adnan, M.Si

This paper departs from the phenomenon of the proliferation of teacher movements after
the fall of the Orde Baru regime. Teachers who are members of teacher unions fight for
social justice that should be obtained by teachers and the education community.
Previous studies looked at teacher movements as a result of militarization, government
restraints, educational capitalization, and teacher welfare disparities. This emerging
teacher movement resulted in changes in political, economic and cultural aspects.
Meanwhile, in this study the researchers wanted to show that socio-political change and
social inequality in the world of education were the triggers for the increase in the
teacher's movement. The socio-political changes in Indonesia have been seen since the
emergence of freedom of organization and the opinion that was originally constrained
by the Orde Baru government authorities. In addition, the social gap is seen from the
aspect of the gap in teacher welfare, the gap in educational infrastructure development,
and the gap in the teaching and learning process. This caused the movement of the
teacher of the Orde Baru to suffer a deadlock. But after the Orde Baru collapsed and
freedom was given, the teacher movement manifested in teacher organizations grew to
voice the gap. This study uses a qualitative research approach by combining several
methods of data collection, namely observation, and in-depth interviews

Keywords:
Social Movement, Teacher Movement Unions, Social Justice, Orde Baru

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS .............................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................... vi
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................ vi
ABSTRAK ..................................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................ xii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................................ xv
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Permasalahan Penelitian .................................................................................... 4
1.3 Pertanyaan Penelitan .......................................................................................... 9
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 9
1.5 Signifikansi Penelitian ....................................................................................... 9
1.6 Sistematika Penulisan ...................................................................................... 10
BAB II : KERANGKA KONSEPTUAL ....................................................................... 12
1.1 Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 12
2.2 Definisi Konseptual ......................................................................................... 19
2.3 Kerangka Konseptual ....................................................................................... 30
2.4 Gambar Kerangka Penalaran ........................................................................... 32
BAB III : METODE PENELITIAN ............................................................................... 34
3.1 Pendekatan Penelitian ...................................................................................... 34
3.2 Jenis Penelitian ................................................................................................ 35
3.3 Unit Analisis .................................................................................................... 35
3.4 Subjek Penelitian ............................................................................................. 36
3.5 Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data .................................................. 36
3.6 Teknik Pengolahan Data .................................................................................. 37
ix
x

3.7 Strategi Validasi dan Analisis Data ................................................................. 38


3.8 Limitasi dan Delimitasi Penelitian ................................................................... 38
3.9 Proses Penelitian .............................................................................................. 39
BAB IV : EKSISTENSI FSGI DAN SEJARAH GERAKAN GURU DI INDONESIA
........................................................................................................................................ 42
4.1 Pengantar ......................................................................................................... 42
4.2 Sekilas tentang Organisasi Guru dan Sejarah Gerakan Guru di Indonesia ...... 43
4.3 Eksistensi FSGI Sejak Berdiri Hingga Sekarang ............................................. 54
4.4 Perubahan Sosial Politik: dari UU Guru & Dosen hingga Gerakan Guru ....... 66
4.5 Penutup ............................................................................................................ 70
BAB V : GERAKAN SUMBER DAYA: BENTUK GERAKAN PERLAWANAN
FEDERASI SERIKAT GURU INDONESIA ................................................................ 72
5.1 Pengantar ......................................................................................................... 72
5.2 Bentuk-Bentuk Gerakan FSGI ......................................................................... 72
5.3 FSGI Sebagai Gerakan Sumber Daya .............................................................. 87
5.4 FSGI: Diskursus Antara Profesionalisme dan Kepentingan Kesejahteraan .... 93
5.5 Penutup ............................................................................................................ 95
BAB VI : FSGI DALAM KONTESTASI POLITIK PENDIDIKAN DI INDONESIA 97
6.1 Pengantar ......................................................................................................... 97
6.2 FSGI dan Isu Pendidikan di Indonesia (2011-2018)........................................ 97
6.3 FSGI: Gerakan Politik Pendidikan ................................................................ 106
6.4 FSGI dalam Kontestasi Politik Pendidikan ................................................... 109
6.5 Kritik Terhadap Teori Gerakan Sumber Daya dan Teori Peluang Politik ..... 111
6.6 Penutup .......................................................................................................... 113
BAB VII : PENUTUP .................................................................................................. 115
7.1 Kesimpulan .................................................................................................... 115
7.2 Saran .............................................................................................................. 117
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 119

Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Teori Tentang Gerakan Sosial ......................... ......................... 22

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Penelitian Gerakan Sosial Terdahulu................................. 13
Gambar 2.2 Pemetaan Gerakan Sosial dalam Penelitian ini ......................... 14
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual ......................... ......................... ........... 33
Gambar 4.1 Gedung SD Sarampi ......................... ......................... ............. 62
Gambar 5.1 Kerangka Perjuangan Pergerakan FSGI .................................... 74
Gambar 6.1 Road Map Isu Pendidikan yang Menjadi Sorotan FSGI .......... 98
Gambar 6.2 Posisi Gerakan FSGI dan dalam Isu Pendidikan ...................... 99
Gambar 6.3 Kontestasi dalam ruang politik pendidikan .............................. 111

xi
DAFTAR SINGKATAN
A
AJB : Asuransi Jiwa Bumiputra
APBN : Anggrana Pendapatan dan Belanja Negara
APG : Aliansi Perjuangan Guru
APK : Angka Partisipasi Kasar
ASN : Aparatur Sipil Negara

C
COB : Chineesche Onderwijzer's Bond
COV : Christelijke Onderwijzer's Vereeniging

D
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

F
FAGI : Forum Aspirasi Guru Indonesia
FDGP : Forum Diskusi Guru Pandeglang
FGII : Federasi Guru Independen Indonesia
FHK2I : Forum Honorer K2 Indonesia
Figurmas : Forum Interaksi Guru Banyumas
FMGJ : Forum Musyawarah Guru Jakarta
FSGI : Federasi Serikat Guru Indonesia

G
GEM : Global Education Monitoring
Golkar : Golongan Karya

H
HIK : Hollands Inlands Kweekschool
HKS : Hogere Kweekschool
HKSB : Hogere Kweekschool Bond
Honda : Honor Daerah

I
ICW : Indonesian Corruption Watch
IGHI : Ikatan Guru Honorer Indonesia
IGI : Ikatan Guru Indonesia
IPM : Indeks Pembangunan Manusia

xii
xiii

K
KKN : Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
KOB : Katholieke Onderwijzer's Bond
Kobar GB : Koalisi Barisan Guru Bersatu
Komnas : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
HAM
Korpri : Korps Pegawai Republik Indonesia
Korsel : Korea Selatan
Korut : Korea Utara
KSB : Kweekschool Bond
KSG : Konsorsium Sertifikasi Guru

L
LBH : Lembaga Bantuan Hukum
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

N
NGOs : Non-Government Organizations
NIOG : Nederlands Indische Onderwijzer's Genootschap
NKRI : Negara Kesaruan Republik Indonesia
NU : Nahdlatul Ulama

O
O.L.Mij. : Onderlinge Levensverzekering Maatschappij P.G.H.B.
PGHB
OVO : Onderwijzer's Vak Organisatie

P
Pergunu : Persatuan Guru Nahdlatul Ulama
PGAS : Perserikatan Guru Ambacht School
PGD : Perserikatan Guru Desa
PGHB : Persatuan Guru Hindia Belanda
PGI : Persatuan Guru Indonesia
PGRI : Persatuan Guru Republik Indonesia
PGSI : Persaudaraan Guru Sejahtera Indonesia
PNS : Pegawai Negeri Sipil
PNs : Perkumpulan Normaalschool
PUTERA : Pusat Tenaga Rakyat
PVPN : Persatuan Vaknonden Pegawai Negeri

Universitas Indonesia
xiv

R
RSBI : Rintisan Sekolah Berstandar Internasional

S
SAHDAR : Sentra Advokasi Hak Pendidikan Rakyat
Segel : Serikat Guru Lebak
SEGI : Serikat Guru Indonesia
SG : Sekolah Guru
SGA : Sekolah Guru Atas
SGB : Sekolah Guru Besar
SGM : Sekolah Guru menengah
SGS : Serikat Guru Serang
SGT : Sekolah Guru Tinggi
SGT : Serikat Guru Tangerang
SIGAT : Serikat Guru Kota Tangeramg
SOB : School Opziener's Bond
SR : Sekolah Rendah

U
UKG : Uji Kompetensi Guru
UMR : Upah Minimum Regional
UN : Ujian Nasional
UNDP : United Nation Development Programme
UU : Undang-undang

V
VOB : Vaak Onderwijser's Bond

W
Wasekjen : Wakil Sekretaris Jendral

Universitas Indonesia
xv

DAFTAR ISTILAH

Civil society : masyarakat sipil


Experffes : suatu jabaran atau pekerjaan yang menuntut keahlian
Future shock : perubahan cepat; transisi yang tiba-tiba
Google Drive : Sistem penyimpanan data melalui jaringan internet yang
disediakan oleh Google
Gulden : satuan mata uang di masa kolonial Belanda
Hogere Kweekschool : Sekolah guru tingkat atas berbahasa Belanda
Hollands Inlands : Sekolah guru bantu yang ada di semua kabupaten pada
Kweekschool masa Hindia Belanda
in-depth interview : wawancara mendalam
Inlander : bahasa belanda untuk pribumi
Instituer : guru rohaniawan
Kweekschool : salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru
pada zaman Hindia Belanda yang bahasa pengantarnya
bahasa Belanda
Kyoiku Hokakai : Kebaktian para pendidik
non-established actor : ketertutupan negara terhadap masukan dari aktor yang
tidak mapan
Normaalschool : sekolah guru berpengantar bahasa jawa pada zaman
Hindia Belanda
Onderlinge : Asuransi jiwa nasional pertama di masa Hindia Belanda
Levensverzekering
Maatschappij P.G.H.B.
Orde Baru : sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia
road map : instrumen alur kejadian/peristiwa sejarah yang
memetakan dinamika suatu organisasi
Sensei : Julukan kehormatan guru dalam bahasa Jepang
Setara Institute : organisasi penelitian yang berfokus pada menjawab
kebutuhan aktual masyarakat
Skema 4B1E : Pelatihan guru dengan skema berkualitas, bermanfaat,
berkelanjutan, berbobot, dan evaluatif
System-Enhanching : sistem meningkatkan
Teachers Union : organisasi-organisasi yang berkaitan dengan serikat guru
Truth Education : Pendidikan sejati
WhatsApp : Aplikasi chatting secara personal maupun grup

Universitas Indonesia
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini gerakan serikat guru (teachers union) semakin menjamur dalam
konteks global maupun secara nasional. Berbicara masalah gerakan serikat guru
konteks global, di Eropa sendiri terutama Perancis gerakan guru sudah dimulai sejak
abad ke 19. Disini, yang diperjuangkannya adalah eksistensi dan kontestasi identitas
guru, identitas antara guru rohaniawan (Instituteur) dengan guru sekuler. Di lain
pihak, negara berperan sebagai struktur yang memaksakan identitas sekuler dalam
profesionalisme guru Instituteur. Hal inilah yang membuat perlawanan dari para
Instituteur di Prancis pada masa itu (Toloudis, 2008). Di London, Toronto, dan
Detroit, permasalahan rasisme dalam pendidikan masih terus berlangsung, dan
agenda utama dari gerakan guru adalah menghilangkan rasisme di tingkat akar
rumput hingga institusi Negara (Wilson & Johnson, 2015).

Berbeda pula dengan gerakan guru pada Negara Dunia Ketiga, agenda yang
diperjuangkannya adalah keadilan sosial yang seharusnya didapatkan oleh guru
(Lemus, 2015; Coomer, Jackson, & Dagli, 2018; Kaur, 2012; Rottmann, 2013).
Misalnya di Uganda, permasalahan pokoknya adalah kesejahteraan dan
profesionalisme guru. Guru dituntut untuk lebih professional sedangkan pada sisi
lain kesejahteraan guru semakin memprihatinkan (Namara & Kasaija, 2016).
Hampir sama dengan permasalahan di Meksiko, komersialisasi pendidikan semakin
menjadi-jadi, pemerintah yang korup, berubahnya struktur dan sistem pendidikan
yang membuat serikat guru semakin gencar dalam gerakan sosial (Lemus, 2015).
Permasalahannya juga hampir sama dengan negara-negara di Asia. Misalnya Korea
Selatan, gerakan serikat guru muncul karena tiga hal utama yakni tekanan ekonomi,
mileter dan warisan gelombang kolonialisme (Synott, 2001; 2002; 2007). Begitu
juga dengan gerakan guru yang ada Taiwan dan Filipina. Gerakan guru ini muncul
atas warisan gelombang kolonialisme, tekanan militer dan krisis demokrasi (Synott,
2002; Hsiao, 2008).

1
2

Fenomena gerakan guru ini pun merebak ke Nusantara. Di Indonesia sendiri,


gerakan guru semakin gencar dan berkembang pesat semenjak runtuhnya rezim
Orde Baru. Organisasi-organisasi guru semakin banyak bermunculan yang pada
awalnya hanya tersentralisasi pada PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dan
PGRI berperan menjadi actor tunggal dalam gerakan guru dan dinilai sangat
akomodatif untuk rezim saat itu. Semenjak berlakunya UU No 21 tahun 2000
tentang serikat pekerja atau serikat buruh dan UU No 14 tahun 2005 tentang guru
dan dosen maka organisasi-organisasi guru makin banyak bermunculan.
Sebagaimana disampaikan oleh Hidayat (2011) yang menyatakan bahwa banyaknya
organisasi guru hadir pada level nasional maupun level lokal. Organisasi guru yang
hadir pada level nasional seperti Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) atau
Persaudaraan Guru Sejahtera Indonesia (PGSI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), Ikatan
Guru Honorer Indonesia (IGHI) dan sebagainya. Sementara itu pada tingkat lokal
bermunculan beberapa wadah organisasi guru seperti Forum Aspirasi Guru
Independen (FAGI Bandung) Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar GB, Nanggroe
Aceh Darussalam), Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas Purwokerto), dan
Forum Sekolah Termarjinalkan Kota Depok. Begitu pula dengan ormas-ormas
islam yang basisnya kepada pendidikan seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang juga
menghimpun guru-gurunya dalam organisasi Persatuan Guru Nahdlatul Ulama
(Pergunu). Gerakan-gerakan ini umumnya fokus pada advokasi kepentingan dan
kesejahteraan guru. Selain itu juga ada gerakan guru yang berbentuk volunterisme,
misalnya gerakan Indonesia Mengajar, 1000 guru dan semacamnya.

Senada juga dengan studi Farisi (2013) yang menyatakan bahwa semenjak
runtuhnya Orde Baru, organisasi profesi guru dan kependidikan telah berkembang
pesat. Temuannya bahwa lebih dari 100 organisasi profesi guru dan kependidikan
tumbuh dan berkembang pasca Orde Baru. Arah gerakan organisasi ini pun
beragam, ada yang dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor akademik profesional,
yuridis-formal, serta konteks sosial politik organisasi (Farisi, 2013). Di lain pihak,
tidak dapat dipungkiri juga bahwa PGRI sebagai organisasi profesi guru yang
“tertua” dan “terbesar” di Indonesia juga mempunyai fungsi yang sama dengan
organisasi-organisasi guru yang lahir setelah Orde Baru. Setidaknya, ada dua issu

Universitas Indonesia
3

utama yang diperjuangkan oleh PGRI yakni kesejahteraan guru dan profesionalisme
guru yang tertuang dalam visi dan misi PGRI. Hal ini juga senada dengan
Murwaningsih (2004) bahwa peranan PGRI sebagai peningkatan profesionalisme
dan kesejahteraan guru.

Sejatinya peranan PGRI ialah sebagai peningkatan profesionalisme dan


kesejahteraan guru, namun peran tersebut belum maksimal dirasakan oleh para guru.
Ketidakpuasan terhadap PGRI yang dinilai sebagai organisasi profesi yang
cenderung mengutamakan kepentingan pemerintah ketimbang kepentingan guru.
Hal ini ditandai dengan organisasi profesi guru dalam struktur kepengurusannya
banyak diisi oleh pejabat birokrasi pemerintah (Salim, 2017). Hal ini tidak sesuai
dengan amanat UU no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan
bahwa organisasi guru didirikan oleh guru yang bertujuan utnuk mengembangkan
keprofesionalismean mereka. Ketidakpuasan lain juga dialami oleh para anggota
PGRI bahwa program kerjanya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan anggota.
Seolah-olah program kerja dan segala aspirasi dari para anggota sebatas isapan
jempol belaka (Henawanto, 2014).

Selain ketidakpuasan terhadap PGRI, konstitusi negara pun tidak ada secara
eksplisit maupun implisit mengatakan bahwa guru harus masuk dalam organisasi
profesi PGRI. Dilain pihak, konstitusi juga tidak menyebutkan bahwa PGRI
merupakan organisasi satu-satunya dan dilegalkan sebagai organisasi guru. Yang
ada hanya dalam UU Guru dan Dosen pada Bab III, Pasal 7 ayat 1 menyatakan
bahwa "Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip”. Kemudian frase tentang prinsip ini dijelaskan
kembali pada butir i bahwa: "(guru harus) memiliki organisasi profesi yang
mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru." Disini, sudah jelas bahwa PGRI bukan satu-satunya
organisasi profesi guru yang dilegalkan sebagai organisasi guru (Salim, 2017).

Ketika ketidakpuasan terhadap PGRI meningkat, beriringan dengan peluang


pembentukan organisasi profesi guru yang dimungkinan oleh konstitusi, maka
fenomena organisasi guru semakin menjamur pun tidaklah mengherankan. Seperti

Universitas Indonesia
4

yang disampaikan Farisi (2013) bahwa peranan dari organisasi guru tetap sama
yakni seputar permasalahan pendidikan, kperesejahteraan guru dan profesionalisme
guru. Namun, dari sekian banyaknya organisasi guru yang muncul, ada satu
organisasi guru yang menarik perhatian peneliti, yakni Federasi Serikat Guru
Indonesia (FSGI). Salah satu alasan peneliti memilih FSGI adalah FSGI merupakan
organisasi guru yang sangat vokal dalam upaya memperjuangkan keadilan bagi guru
dan siswa. Hal ini dibuktikan dengan jejak digital FSGI yang begitu ramai
diperbincangkan dan memperbincangkan keadilan bagi dunia pendidikan. Selain itu,
isu yang dibahas oleh FSGI juga tidak hanya sebatas kesejahteraan guru dan
profesionalisme guru, tetapi lebih luas lagi yakni terkait pendidikan pluralisme,
korupsi di sekolah, dan sebagainya. Namun disini, peneliti akan memfokuskan pada
bagaimana peran FSGI dalam gerakan guru terkait isu kesejahteraan guru dan
profesionalisme guru yang dilihat dari konteks sosial-politik Indonesia pasca Orde
Baru.

1.2 Permasalahan Penelitian


Penelitian ini berangkat dari permasalahan tentang dinamika gerakan guru
pasca Orde Baru. Pada masa Orde Baru sendiri, peluang gerakan sosial dipersempit
oleh pemerintah. Bahkan pemerintah cenderung represif terhadap gerakan sosial dan
segala kritikan terhadapnya. Rezim yang represif ini akhirnya runtuh akibat gejolak
kondisi internal dan eksternal. Pada internal, masyarakat sudah tidak menaruh
kepercayaan terhadap pemerintah dan menuntut pemerintah untuk mundur. Di sisi
lain, kondisi eksternal dengan krisis global yang semakin membuat pemerintah
terpojok (Devin, 2009). Dengan keruntuhan rezim Orde Baru, harapan-harapan yang
muncul untuk dunia pendidikan adalah kebijakan pendidikan yang inklusif, keadilan
sosial tercapai, dan adanya jaminan kesejahteraan guru oleh negara. Namun pada
kenyataannya, permasalahan pendidikan tersebut masih saja terjadi. Isu
permasalahan pendidikan di Indonesia terkelompok dalam beberapa arus utama,
yakni kesejahteraan guru, kualitas atau profesionalitas guru dan politisasi guru
melalui kebijakan (Sulisworo, Nasir, & Maryani, 2017).

Berbicara terkait kesejahteraan guru, tidak terlepas relasinya dengan balas


jasa dari “yang memberi pekerjaan”. Jika guru tersebut berstatus sebagai guru

Universitas Indonesia
5

yayasan, maka relasinya dengan yayasan, dan nominal balas jasa guru tersebut yang
diberikan oleh yayasan. Ketika status guru sebagai pegawai pemerintah, maka
relasinya dengan pemerintah. Hal yang menjadi persoalan adalah ketika balas jasa
yang diterima guru tidak seimbang dengan apa yang diberikan oleh guru (Rumtini,
2014). Baik itu guru yang berstatus sebagai pegawai yayasan atau status pegawai
pemerintah negara yang mempunyai legitimasi tertinggi seharusnya memperhatikan
terkait kesejahteraan guru. Pada kenyataannya, kesejahteraan guru masih belum
terakomodasi dengan merata. Hal ini terlihat dari banyaknya tuntutan guru untuk
meningkatkan kesejahteraan guru, terutama guru honorer. Misalnya, para guru
honorer yang tergabung dalam Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) menuntut
pemerintah untuk merealisasikan janjinya tentang pengangkatan PNS untuk K2
(Ihsanudin, 2018). Begitupula dengan ribuan guru honorer di Jember yang menuntut
kesejahteraan dan melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPRD Jember
(Mulyono, 2018).

Memang tidak dipungkiri lagi jika gaji dari guru PNS telah dapat dikatakan
“menyejahterakan” guru. Namun, data dari Kemendikbud bahwa pada tahun
2014/2015 jumlah keseluruhan guru yang tercatat adalah 3.717.576 orang yang
tersebar setiap jenjang pendidikan. Dari sekian banyak guru, jumlah guru PNS
1.958.209 orang dan guru Non-PNS sebanyak 1.759.367 orang. Realitasnya,
sebagian besar guru Non-PNS mendapatkan gaji yang tidak menyejahterakan. Di
daerah, gaji guru honorer hanya berkisar 500 ribu/bulan, sedangkan gaji guru PNS
yang di Jakarta bisa mencapai 15 juta (Deni, 2018). Kondisi ini tentu tidak adil
untuk guru honorer, dengan beban kerja yang sama, mengajar dengan metode yang
cenderung sama, dan tugas yang sama, namun balas jasa yang berbeda (Salim,
2017).

Pada lain pihak, dalam meningkatkan profesionalisme guru pemerintah telah


menerapkan standard guru sebagai profesi. Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang
guru dan dosen, dikatakan bahwa guru sebagai pendidik profesional dengan tugas
utamanya adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selain itu,
Universitas Indonesia
6

diamanahkan pula dalam UU tersebut bahwa untuk menjadi guru yang profesional
setidaknya mencukupi tiga kualifikasi, yakni kualifikasi akademik, kompetensi dan
sertifikasi. Kualifikasi akademik yang dimaksud adalah ijazah dan kualifikasi
pendidikan yang ditempuh oleh guru. Ketika guru tersebut mengajar bidang studi
sosiologi, maka seharusnya kualifikasi akademik yang dimilikinya adalah
pendidikan sosiologi. Namun permasalahannya masih banyak guru yang mengajar
tidak berdasarkan kualifikasi yang diampu (Salim, 2017).

Selain itu, kualifikasi kompetensi berkaitan dengan seperangkat


pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai
oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Untuk itu, kompetensi ini
diukur melalui empat hal, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Di Indonesia, standar untuk
mengukur kompetensi ini dengan melakukan Uji Kompetensi Guru (UKG). Namun,
yang menjadi permasalahannya adalah rendahnya rata-rata UKG guru di Indonesia
yang nilainya berkisar 40-43 pada tahun 2015, dan 63-70 pada tahun 2016
(Kemendikbud, 2017). Di lain pihak, pemerintah masih terus berupaya
meningkatkan profesionalisme guru melalui program sertifikasi guru. Namun
program ini cenderung tidak mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap
profesionalitas guru.

Selanjutnya, kualifikasi yang berkaitan dengan kompetensi sertifikasi.


Kualifikasi ini berkaitan dengan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan
kepada guru sebagai tenaga yang profesional (Depdiknas, 2005). Kelanjutan dari
pencapaian kualifikasi ini di Indonesia diupayakan melalui program sertifikasi guru
dengan kebijakan Permendiknas Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sertifikasi Guru
Dalam Jabatan. Dalam Permendiknas ini dijelaskan bahwa tujuan sertifikasi ini
adalah memberikan sertifikat profesionalitas terhadap guru dengan ketentuan
Konsorsium Sertifikasi Guru1, sehingga diharapkan guru menjadi lebih

1
Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG) dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 056/P/2007 tentang Pembentukan Konsorsium Sertifikasi Guru. Tugas dari KSG adalah (1)
merumuskan standar proses dan hasil sertifikasi guru, (2) melaksanakan harmonisasi dan sinkronisasi
kebijakan sertifikasi guru (3) mengkoordinasikan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang dilakukan
oleh Tim independen.

Universitas Indonesia
7

“profesional” dalam mengajar. Namun kenyataannya, implementasi kebijakan


sertifikasi guru pada level propinsi maupun kabupaten terkait tugas terkait tugas,
fungsi, hak, kewajiban dan wewenang guru – guru yang sudah menjalani proses
sertifikasi belum jelas (Rahmayanti, 2015).

Selain itu hasil atau kinerja dari guru yang telah disertifikasi dibandingkan
dengan guru yang tersertifikasi belum terjamin lebih baik. Seperti studi Ningsih
(2015) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kinerja antara guru yang sudah
tersertifikasi dengan guru yang belum tersertifikasi. Lebih lanjut ia menyebutkan
bahwa kinerja guru yang sudah bersertifikat pendidik maupun yang belum
bersertifikat pendidikberada pada kategori baik dengan nilai rata-rata 89,84 dan
88,44. Senada dengan Siswandari & Susilaningsih (2013) yang menyatakan guru
yang telah bersertifikasi belum menunjukkan peningkatakan kualitas pendidikan
yang signifikan di kelas. Kondisi yang seperti ini sejalan dengan inkonsistensinya
model dan pelaksanaan program sertifikasi. Seperti yang diungkapkan oleh Plt
Ketum PGRI bahwa permasalahan dari sertifikasi yakni model dan pelaksanaan
sertifikasi sering berubah-ubah. Selain itu kuotanya yang sangat kecil dengan
kurang dari 50.000 sehingga guru yang belum tersertifikasi harus menunggu.
Disamping itu, permasalahan benturan kebijakan dengan kebijakan pemberian izin
dan tugas belajar (Bona, 2016).

Politisasi guru berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pendidikan terutama


terhadap guru digunakan oleh penguasa untuk mencari keuntungan politik. Hal ini
tidak dapat dipungkiri ketika pasca Orde Baru dan memasuki era kebijakan
desentralisasi (Sulisworo, Nasir, & Maryani, 2017). Hal ini sejalan dengan temuan
penelitian Rohman, dkk (2014) bahwa politisasi guru merupakan upaya guru dalam
membangun otonominya dalam menuju sosok profesional yang dipengaruhi
dinamika politik. Politisasi guru ini lebih banyak dimotori oleh penguasa daerah
dengan “praktek terselubung” untuk “meraih dukungan” dan berujung pada
bargaining politik dan sharing kekuasaan. Proses politisasi ini biasanya dilakukan
dengan dua cara, yakni dengan politik kooptasi atau dengan politik mengambil hati.
Dampaknya politik kooptasi ini adalah menurunkan daya kritis berpikir guru,

Universitas Indonesia
8

sedangakan politik mengambil hati mampu meningkatkan jumlah guru (Rohman,


dkk, 2014).

Di Indonesia sendiri, politisasi guru sudah menjadi agenda para punggawa


politik dalam menarik simpati rakyat, terutama pada masa kampanye. Namun
setelah kampanye, janji dari partai politik seakan isapan jempol belaka (Maulana,
2016). Fenomena politisasi guru ini juga direspon dan dikecam oleh FSGI. Satriwan
Salim selaku Wasekjen FSGI menegaskan bahwa para elite politik jangan lagi
menjadikan guru sebagai objek politik. Jika memang peduli dengan keadaan guru,
perhatian terhadap guru jangan hanya masa pemilu saja, tetapi jauh hari sebelum
atau sesudah pemilu guru tersebut diperhatikan. Dengan tegas, ia mengatakan bahwa
guru harus kritis dan netral terhadap semua perhelatan politik (Sani, 2018).

Dari ketiga isu pendidikan di atas, isu tentang kesejahteraan dan


profesionalitas guru merupakan isu yang paling banyak menyita perhatian orgasisasi
guru termasuk gerakan guru di dalamnya. Harapan dari organisasi guru adalah
kesejahteraan berbanding lurus dengan profesionalisme. Ketika profesionalisme
guru membaik, maka kesejahteraan guru pun seharusnya membaik. Tetapi
kenyataan yang terjadia ialah kesejahteraan berbanding terbalik dengan dengan
profesionalisme. Ketika profesionalismenya meningkat, nyatanya kesejahteraan
guru tidak meningkat. Atau sebaliknya, kesejahteraan meningkat, tetapi
profesionalisme guru tidak meningkat malah cenderung menurun (Salim, 2017).

Dalam penelitian ini, akan di diskusikan tentang negosiasi isu tentang


kesejahteraan dan profesionalitas guru sebagai permasalahan dan alasan gerakan
guru semakin menjamur, dengan kasus gerakan guru yang dilakukan oleh Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI). Dalam penelusuran jejak digital, peneliti melihat
FSGI sebagai organisasi guru paling gencar dalam melalukan gerakan sosial,
terutama terkait kesejahteraan dan profesionalitas guru. Hal ini sesuai dengan
prinsip organisasi ini adalah untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan
berkeadilan. Dengan dasar keadilan inilah, FSGI sering melakukan kritik sosial dan
gerakan sosial dalam bidang pendidikan, khususnya isu kesejahteraan dan
profesionalisme guru.

Universitas Indonesia
9

1.3 Pertanyaan Penelitan


Dari permasalahan di atas, studi ini mempunyai pertanyaan pokok penelitian
tentang “bagaimana peran FSGI dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan
sosial, serta meningkatkan profesionalitas guru di Indonesia pasca Orde Baru?”.
Selain pertanyaan pokok di atas, peneliti mempunyai beberapa pertanyaan turunan
sebagai berikut:

a. Bagaimana proses FSGI dalam memanfaatkan stuktur peluang politik di


Indonesia guna pencapaian tujuan organisasi?

b. Bagaimana bentuk-bentuk gerakan FSGI dalam memperjuangkan


kesejahteraan dan keadilan sosial guru?

c. Bagaimana strategi FSGI dalam memaksimalkan fungsi sumber daya


materil dan non-materil dalam gerakan sosial?

1.4 Tujuan Penelitian


Berdasarkan pengajuan pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menjelaskan tentang peranan gerakan guru dalam memperjuangkan
kesejahteraan dan keadilan sosial, serta meningkatkan profesionalitas guru di
Indonesia pasca Orde Baru. Selain itu, yang akan peneliti lihat adalah peranan
organisasi guru dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan sosial terhadap
guru. Untuk melihat peranan guru, maka peneliti akan mengidentifikasi sebaran
jaringan organisasi guru dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan guru.
Dalam proses ini, yang ingin peneliti deskripsikan adalah kendala-kendala yang
dihadapi oleh organisasi guru. Terakhir, peneliti akan mendeskripsikan tentang
dampak gerakan guru terhadap masyarakat pendidikan dan terhadap keprofesian
guru tersebut.

1.5 Signifikansi Penelitian


Penelitian ini dapat dikatakan signifikan secara teoritis maupun secara
praktis. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan konstribusi terhadap
penajaman pada kajian sosiologi tentang gerakan sosial terutama dalam gerakan
serikat guru. Kajian sebelumnya memandang gerakan guru secara parsial, yang
hanya melihat konteks mikro atau hanya konteks makro semata. Namun penelitian
Universitas Indonesia
10

ini diposisikan sebagai kritikan terhadap kajian terdahulu yang melihat gerakan
sosial tidak secara parsial, melainkan memandang secara holistik.

Secara praksis, penelitian ini dapan menjadi referensi bagi organisasi-


organisasi guru dalam melakukan aksi gerakan sosialnya. Organisasi guru dapat
mempertimbangkan upaya, strategi, dan issu yang diangkat terkait gerakan sosial,
sedangkan bagi pemerintah, analisis dalam penelitian ini bermanfaat sebagai
pertimbangan dalam kebijakan keadilan sosial bagi guru dan masyarakat
pendidikan.

1.6 Sistematika Penulisan


Dalam penelitian ini, laporan hasil penelitiannya ditulis dalam beberapa bab.
Bab pertama berisi tentang permasalahan penelitian. Permasalahan penelitian ini
akan dielaborasi dalam beberapa subbab yakni latar belakang penelitian,
permasalahan penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi
penelitian dan sistematika penelitian.

Kemudian Bab kedua berisi tentang kajian pustaka dari penelitian. Bab ini
akan dielaborasi menjadi beberapa subbab antara lain studi sejenis terdahulu, dan
konsep-konsep gerakan sosial sebagai pisau analisis dari penelitian ini.

Bab ketiga berisi tentang metodologi dalam penelitian. Metodologi ini


mengacu pada upaya sistematis dan praksis yang dilakukan dalam proses penelitian.

Bab keempat akan menganalisis tentang kontekstual FSGI yang dikatikan


dengan perubahan sosial politik di Indonesia. Pada bab ini akan dijelaskan tentang
konteks sosial politik yang mendorong lahirnya gerakan guru. Selain itu akan
dijelaskan tentang organisasi FSGI sebagai kajian dalam penelitian ini. Sejarah
lahirnya FSGI, sistem organisasi, faktor yang mendorong lahirnya FSGI, model
perekrutan dan keanggotaan akan dijelaskan lebih mendalam pada pembahasan ini.

Bab kelima peneliti akan mendeskripsikan tentang bentuk-bentuk gerakan


sosial yang dilakukan oleh FSGI, sumber daya gerakan FSGI dan sebaran jaringan
FSGI dalam memperjuangkan hak-hak guru. Disamping itu, dilihat pula peran
organisasi sebagai wadah gerakan sosial dan model aksi yang dilakukan oleh

Universitas Indonesia
11

organisasi tersebut. Selain itu, peneliti juga akan mendeskripsikan proses negosiasi
dalam gerakan guru yang dilakukan oleh aktivis gerakan dengan pemerintah. Dan
Bab terakhir akan ditutup dengan kesimpulan dan saran dari studi ini.

Universitas Indonesia
BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

Bab ini akan menjelaskan tentang kerangka pemikiran tulisan ini yang
mencakup tiga hal yakni tinjauan pustaka, definisi konseptual dan kerangka
konseptual. Tinjauan pustaka ini berkaitan dengan paparan singkat tentang studi-
studi terdahulu. Di sini, peneliti akan mengkritisi kajian-kajian terdahulu, dan
memberikan argumentasi atas kelebihan dan kelemahan dari penelitian tersebut. Di
sisi lain, definisi konseptual berkaitan dengan penjelasan singkat tentang konsep
yang dipakai dan memberikan batasan konsep. Terakhir, kerangka konseptual
berkaitan dengan penjelasan konsep-konsep dalam studi ini yang akan digunakan
sebagai pisau analisis untuk membedah gerakan guru di Indonesia, terutama gerakan
yang dilakukan oleh FSGI.

1.1 Tinjauan Pustaka


Dari berbagai studi yang dipaparkan sebelumnya, ditemukan bahwa
gerakan sosial sebagai penyebab perubahan sosial. Proses sosial seperti militerisasi
dan kekangan pemerintah, kapitalisasi pendidikan, kesenjangan kesejahteraan guru
dan ketidakadilan sosial sebagai pemicu munculnya gerakan sosial. Dalam hal ini,
bentuk gerakan sosial yang dilakukan lebih mengarah kepada gerakan perubahan
struktural pemerintahan. Proses yang terjadi itu digambarkan dalam Gambar 2.1 di
bawah ini.

12
13

Gambar 2.1
Peta Penelitian Gerakan Sosial Terdahulu

Sumber: Peneliti (2018)

Studi ini sejalan dengan studi sebelumnya. Akan tetapi, studi sebelumnya
dilihat sebagai studi “yang belum selesai”. Dikatakan demikian karena gerakan
sosial sifatnya sangat dinamis dan tidak akan pernah berhenti pada suatu titik
tertentu. Maka akan terus muncul penggulangan gerakan sosial lainnya, walaupun
bentuk dan tipe gerakannya berbeda. Di Indonesia sendiri, gerakan guru merupakan
bentuk gerakan sosial yang terjadi kembali akibat perubahan sosio-politik pada
gerakan reformasi 1998. Gerakan reformasi ini bertujuan untuk menumbangkan
rezim Orde Baru yang dinilai sangat militeristik, membungkam kehidupan
demokrasi, menajamnya kesenjangan sosial, dan makin mencekamnya kapitalisme.
Permasalahan ini kemudian ditanggapi oleh segenap masyarakat Indonesia yang
peduli terhadap perubahan dengan gerakan reformatif. Gerakan reformatif ini
menghasilkan perubahan sosial sehingga memunculkan suatu permalasahan baru,
terutama dalam dunia pendidikan. Dari permasalahan pendidikan sosial yang
muncul ini pada akhirnya gerakan guru pun merebak. Untuk lebih jelasnya,
perbedaan antara penelitian sebelumnya pada Gambar 2.1 dengan penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini.

Universitas Indonesia
14

Gambar 2.2
Pemetaan Gerakan Sosial dalam Penelitian ini

Sumber: Peneliti (2018)

Perubahan sosial politik dari Orde Baru hingga Reformasi merupakan


dampak ketidakpuasan masyarakat akibat militerisasi dan represivitas yang terjadi
pada masa Orde Baru. Masyarakat kemudian mengharapkan tatanan kehidupan yang
bebas dan aman di bawah lingkungan hukum dan sistem ekonomi yang dapat
menjamin kesejahteraan umum. Pada masa Orde Baru ini, korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) merebak ke luar dan masuk ke dalam setiap sendi pemerintahan
yang mengakibatkan krisis ekonomi di Indonesia. Selain itu, KKN juga
menyebabkan kesenjangan sosial semakin tinggi. Pada akhirnya, muncullah gerakan
Reformasi yang ingin menumbangkan rezim Orde Baru dan digantikan dengan
Reformasi yang disebut sebagai menumbangkan rezim “militer” (Adnan &
Pradiansyah, 1999:134).

Setelah perjuangan reformasi tercapai dengan ditandai oleh pengunduran


diri Soeharto sebagai presiden Indonesia, sistem politik Indonesia sudah mulai
terbuka. Peraturan perundang-undangan memberikan kebebasan terhadap
masyarakat sipil untuk mendirikan organisasi-organisasi sosial. Untuk organisasi
guru sendiri, pemerintah bahkan mewajibkan guru untuk membentuk dan bergabung
dengan organisasi profesi guru. Akibat kebijakan ini organisasi-organisasi guru
muncul begitu menjamur dan bergerak dalam ruang dan fokus masing-masing.
Universitas Indonesia
15

2.1.1 Pola Kajian tentang Gerakan Guru

Sependek peneliti melakukan studi literatur, terdapat beberapa pola dalam


kajian gerakan guru. Di sini, ada beberapa hal yang menyebabkan gerakan guru
muncul dan berkembang. Pertama, gerakan guru muncul akibat militerisme dan
represivitas pemerintah. Dalam kajian ini dijelaskan bahwa gerakan sosial muncul
akibat sifat pemerintah yang represif dalam menerapkan kebijakan dan
menggunakan militer sebagai alat hegemoni. Kedua, gerakan guru muncul akibat
kesenjangan kesejahteraan dan keadilan sosial. Pola gerakan sosial seperti ini lebih
banyak di negara-negara dunia ketiga, seperti Uganda dan Indonesia. Untuk lebih
jelasnya, peneliti akan mendeskripsikan secara mendalam pada pembahasan di
bawah ini.

2.1.1.1 Militerisme dan Represivitas Pemerintah

Militerisme merupakan upaya pemerintah dalam menggunakan kekuatan


militer dalam mencapai tujuan dan mengklaim bahwa perkembangan dan
pemeliharaan militernya untuk menjamin keamanan dan pembangunan nasional.
Bacevich & Andrew (2005) menyebutkan bahwa militerisme bukan hanya sekedar
kehadiran lembaga perang, tetapi juga seperangkat nilai yang berakar pada
kekerasan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat sipil. Lebih lanjut,
militerisme dan budaya militerisme memungkinkan negara bertindak dengan bebas
terhadap agenda yang dicanangkannya.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa militerisasi dan represivitas


pemerintah menjadi penyebab gerakan serikat guru muncul. Salah satu studi yang
membahas tentang militerisasi dan kekangan pemerintah sebagai faktor yang
menyebabkan munculnya gerakan serikat guru dilakukan oleh Synott, (2001; 2002;
2002; 2007). Studi tersebut membahas tentang bagaimana serikat guru yang terus
menentang pemerintah dalam perjuangan mewujudkan demokratisasi pendidikan di
Korea Selatan. Kesediaan guru-guru ini terus terlibat dalam isu-isu kontroversial
yang sesuai dengan visinya tentang Pendidikan Sejati (Truth Education) di sekolah-
sekolah Korea. Pendidikan Sejati yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang

Universitas Indonesia
16

bebas, terlepas dari tekanan pemerintah, dan melindungi hak-hak masyarakat


pendidikan.

Synott (2002) juga menjelaskan bahwa gerakan guru di Korea Selatan


memberikan pemahaman kepada siswa melalui orientasi pendidikan menuju
reunifikasi Negara Korut dengan Korsel. Namun, Negara disini menolak sehingga
karir guru menjadi compang-camping. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan guru
antara lain dengan pendekatan damai tanpa konflik, walaupun adanya upaya represif
dari pemerintah dalam mencegah upaya guru dalam reorientasi pendidikan untuk
reunifikasi hubungan Negara Korea Utara dan Korea Selatan.

Di Meksiko, tidak hanya Militerisasi dan represivitas pemerintah yang


memunculkan gerakan sosial. Perubahan kontitusi negara dan sistem ekonomi yang
mengarah pada liberalisasi ekonomi menyebabkan protes yang besar dari organisasi
guru dan organisasi masyarakat lainnya. Lemus (2015) menjelaskan bahwa gerakan
guru muncul di Meksiko terjadi karena tiga hal utama, yakni (1) liberaliasasi
pendidikan dengan mengubah konstitusi yang mengarah pada ekonomi pasar dan
mempercepat privatisasi pendidikan, (2) otoritarianisme dan militerisasi yang
dilakukan oleh pemerintah ketika adanya aksi protes terhadap kebijakan liberalisasi
pendidikan, (3) tindakan lintas batas, munculnya solidaritas dari Koalisasi
Trinasional yang berupaya menentang liberalisasi pendidikan. Solidaritas Koalisi
Trinasional ini diperankan oleh agen-agen gerakan sosial dari negara Meksiko,
Kanada dan Amerika Serikat.

Senada dengan hal tersebut, pemerintah yang bersifat represif pun


menyebabkan munculnya gerakan serikat guru. Guru akan keluar dari tugas
formalnya –mengajar di dalam kelas– dan turun ke ranah politik pendidikan untuk
ikut dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Kasus ini seperti yang terjadi di
Amerika Latin (Brazil, Bolivia, Chile, Venezuela, dan Guatemala), guru-guru yang
tergabung dalam organisasi profesi melakukan gerakan sosial dalam merumuskan
kebijakan pendidikan. Guru ikut bergabung dan menyebarluaskan sistem-
meningkatkan (system-enhancing) dalam konteks gerakan sosial masyarakat yang
arahnya pada demokratisasi pendidikan dan hak adat (Finger & Gindin, 2015).

Universitas Indonesia
17

Akan tetapi, studi-studi yang menjadikan faktor militerism dan represivitas


pemerintah sebagai faktor yang menjadi pijakan dalam gerakan sosial tidak terlepas
dari sejumlah kritik. Misalnya Sujito (2002: 124) mengemukakan bahwa militer
cenderung mendominasi civil society. Artinya, militerisasi sangat ampuh dalam
mengatur masyarakat sehingga gerakan aksi protes dan gerakan sosial tidak muncul
ke permukaan. Lebih lanjut lagi, Sujito (2002) mengumpulkan fakta-fakta sebagai
acuan untuk memperkuat tesisnya. Menurutnya, pada level negara, eksistensi
birokrasi dan partai politik secar eksekutif berada pada bayang-bayang militer,
sedangkan pada masyarakat sipil, intervensi militer berlangsung pada beberapa
lokus penting, yang meliputi organisasi sosial politik dan pendidikan. Hal inilah
yang memperkuat alasan bahwa militerisme dan militerisasi masih terbukti efektif
dalam mengkerangkeng kesadaran masyarakat Indonesia.

Selain itu, tidak hanya militeristik sebagai salah satu faktor yang mampu
mengkerangkeng kesadaran kolektif, tetapi birokratisasi pendidikan yang mengarah
pada politisasi pendidikan menyebabkan gerakan sosial dalam pendidikan semakin
mandeg. Hal ini terbukti pada masa Orde Baru, ketika pemerintah yang sentralistik
dalam mengelola pendidikan nasional. Segala bentuk otonomisasi dan inovasi
dilakukan dari level atas, sehingga adanya penyeragaman standar, meskipun dengan
pemaksaan. Dari segi keorganisasian guru juga berdifat birokratis dan terpusat pada
satu organisasi guru yang mendukung kepentingan pemerintah. Birokratisasi yang
bersifat sentralistik inilah yang menjadi dasar bahwa gerakan guru semakin mandeg
di Indonesia pada masa Orde Baru. Namun ketika tidak ada lagi birokratisasi,
militerisasi dan represivitas di Indonesia, gerakan masyarakat sipil –terutama
gerakan guru – menjadi lebih berkembang dan bersifat massif.

2.1.1.2 Kesenjangan Kesejahteraan dan Keadilan Sosial

Selain faktor militerism dan represivitas pemerintah, faktor kesenjangan


kesejahteraan dan keadilan sosial juga dapat dinilai sebagai faktor lain yang
menyebabkan menjamurnya gerakan guru. Misalnya seperti kasus gerakan guru
yang terjadi di Uganda, bahwa guru melakukan gerakan protes terhadap pemerintah
lantaran guru yang dibayar secara tidak adil. Gaji yang diberikan kepada guru belum
cukup untuk kesejahteraan guru (Namara & Kasaija, 2016). Tiga hal yang menjadi
Universitas Indonesia
18

isu kolektif yang terjadi di Uganda adalah permasalahan gaji, perumahan dan sistem
keadilan sosial. Hal ini senada juga yang disampaikan Kaur (2012) bahwa
ketidakadilan dalam dunia pendidikan dengan sendirinya akan menghadirkan
gerakan guru untuk menuntut tercapainya suatu keadilan sosial. Hal ini terjadi
karena guru dipersiapkan untuk mempengaruhi perubahan nyata menuju pencapaian
visi pendidikan dan masyarakat yang lebih adil.

Studi yang dilakukan oleh Lund (2001) juga menunjukkan hal yang senada,
bahwa faktor kesenjangan kesejahteraan dan keadilan sosial juga dapat
menyebabkan menjamurnya gerakan guru. Penelitian yang dilakukan di Kanada ini
menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam dunia pendidikan akan meningkatkan
potret aktivisme organisasi-organisasi guru. Namun Lund (2001) juga menegaskan
bahwa di Kanada, aktivisme guru terjadi juga tidak hanya karena isu keadilan sosial
semata, tetapi isu ras, kelas, jenis kelamin, dan orientasi seksual juga meningkatkan
gerakan guru. senada pula dengan studi yang dilakukan oleh Weiner (2013) bahwa
keadilan sosial dan politik pendidikan neoliberal yang menjadi dasar dalam
pengembangan gerakan sosial guru ke arah gerakan sosial serikat guru. Weiner
(2013) menunjukkan gerakan guru hanya sebatas pengembangan kolaborasi saling
menghormati antara guru, orang tua dan pemuda di masyarakat miskin. Weiner
(2013) juga menghubungkan konteks tersebut terhadap lanskap politik pendidikan.
Ia menunjukkan bahwa gerakan guru ini akan menyebabkan gerakan serikat guru
menjadi meluas dalam bentuk aksi protes dan sebagainya.

Begitupula dengan apa yang disampaikan oleh Rottman (2013:81) bahwa


ketidakadian sosial yang terjadi di dunia pendidikan dan terhadap guru sendiri akan
meningkatkan representasi guru dan keterlibatan anggota serikat guru dalam
melawan kapitalis, kebijakan neoliberal, demokratisasi prosedural dan mewujudkan
keadilan sosial. Senada pula dengan Picower (2012) yang menunjukkan bahwa
ketidakadilan dalam dunia pendidikan akan mengeksplorasi peran aktivisme guru.
disini, menurutnya ada tiga hal komitmen gerakan guru yakni (1) rekonsiliasi visi
kelompok aktivis guru untuk keadilan sosial, (2) bekerja secara kolektif di dalam
kelas guru sebagai penciptaan ruang pembebasan, (3) bekerja secara kolektif
melawan penindasan terhadap masyarakat pendidikan.

Universitas Indonesia
19

Sejalan dengan Picower, Bourn (2015) menegaskan bahwa guru dalam


melakukan gerakan sosial posisinya adalah sebagai aktor kunci dalam perubahan.
Hal ini karena guru memainkan peran sebagai agen perubahan dalam tiga sektor,
yakni sektor ruangan kelas, sekolah dalam arti yang lebih luas dan masyarakat
secara menyeluruh. Dengan tegas, Ia mengatakan bahwa ketidakadilan dalam dunia
pendidikan menjadikan gerakan guru akan semakin massif di tiga sektor tersebut.

Dalam beberapa kajian gerakan sosial, permasalahan keadilan sosial menjadi


basis sebuah gerakan. Kita sebut saja gerakan buruh yang terjadi di Afrika Selatan
misalnya, yang dituntutnya adalah keadilan sosial (Matthews, 2015). Gerakan buruh
yang terjadi di Brazil dan Filipina yang menekankan keadilan sosial sebagai faktor
dalam muculnya fenomena gerakan sosial (Scipes, 2014). Namun, keadilan sosial
ini bukan satu-satunya faktor dalam munculnya gerakan sosial. Ada faktor lain yang
mendukung terjadinya gerakan sosial di berbagai negara. Seperti yang terjadi di
Afrika Selatan, faktor lainnya adalah permasalahan ras dan warna kulit dalam
bekerja. Walaupun politik aphartheid sudah dihapuskan, namun sisa-sisa psiko-
sosial masih berdampak hingga dewasa ini (Matthews, 2015).

Begitu pula dengan gerakan guru yang salah satu faktor dasar dari
gerakannya adalah keadilan sosial. Misalnya di Uganda, gerakan guru telah terjadi
selama empat dekade dalam memperjuangkan keadilan sosial. Namun ini juga tidak
terlepas dari sejumlah kritik, ketika guru kesejahteraan guru telah hampir tercapat,
prosesionalitas guru masih belum terjamin. Artinya bahwa antara kesejahteraan dan
profesionalitas harus seimbang. Guru tidak hanya cukup untuk menuntut
kesejahteraan terhadap pemerintah, tetapi dilain pihak profesionalitasnya masih
diragukan (Namara & Kasaija, 2016). Hal ini senada dengan Rizali, Sidi & Dharma
(2009) bahwa dalam pendidikan, mutu guru sebagai kunci dalam pendidikan,
ketimbang kurikulumnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa mutu guru ini dapat
ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun
organisasi guru.

2.2 Definisi Konseptual


Bagian ini menjelaskan lebih lanjut mengenai definisi konseptual dari
konsep-konsep yang digunakan peneliti sebagai pisau analisis, seperti definisi
Universitas Indonesia
20

konseptual dari gerakan sosial, organisasi profesi guru, dan Aktivisme Guru.
Bagian ini juga membahas definisi konseptual dari argumentasi yang diajukan
dalam penelitian ini yaitu konsep dari perubahan sosial politik, krisis ekonomi dan
kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan.

2.2.1 Konsep tentang Guru


Konsep tentang guru telah banyak didefinisikan oleh para ahli, seperti yang
disampaikan oleh Zombwe (2013) bahwa guru adalah orang yang mengajar atau
yang memfasilitasi proses pembelajaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa guru
merupakan profesi yang satu-satunya mampu memberikan pengetahuan dan
membentuk anak-anak muda ke ruang lingkup pengetahuan yang lebih luas.
Konsepsi ini hampir senada dengan konsep guru yang disampaikan oleh Ki Hajar
Dewantara bahwa guru sejatinya diguguh dan ditiru. Lebih lanjut, filosofi tentang
guru yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah ing ngarso sung tulodo,
ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Artinya, ketika di depan, guru
memberikan contoh tauladan yang baik kepada siswanya, ketika di tengah guru
membangkitkan semangat siswa, dan ketika di belakang guru memberikan
dorongan untuk siswanya menjadi lebih maju (Istiningsih, 2018).
Sejalan dengan hal ini, secara konstitusional, konsep guru juga didefinisikan
dalam UU No. 14 tahun 2005 pasal 1 bahwa guru merupakan pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam pasal 2
dijelaskan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada
jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan formal. Untuk itu, tugas dari seorang guru menurut undang-undang
adalah meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Di Indonesia, secara hukum dalam UU Guru dan Dosen Pasal 15
pemerintah hanya menetapkan dua tipe guru, yakni guru yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah2 (Guru

2
Istilah ini dulunya dikenal dengan guru PNS (Pegawai Negeri Sipil), namun sejak berlakunya UU No 5
Tahun 2014 tetang Aparatur Sipil Negara (ASN), maka istilah ASN didefinisikan sebagai profesi bagi
Universitas Indonesia
21

ASN) dan Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja.
Lebih lanjut Wahono (2016) menjelaskan bahwa tipe guru yang dijelaskan
oleh UU tersebut adalah guru tetap. Tipe pertama, dikatakan sebagai guru tetap
pegawai pemerintah, sedangkan tipe kedua merupakan guru tetap yayasan. Ada
pula macam guru yang tidak tetap yang tidak dijelaskan oleh UU seperti guru bantu
pusat, guru bantu daerah, guru bantu yayasan, dan guru honorer (Wahono, 2006).
Salim (2017) menambahkan bahwa ada tipe guru yang masuk dalam guru tidak
tetap dan guru ini tidak pernah mendapat perhatian pemerintah. guru tersebut
adalah guru mengaji.
Terlepas dari konsep guru dan tipe guru, pada penelitian ini peneliti hanya
memfokuskan pada gerakan guru yang terjadi di Indonesia pada pasca Orde Baru
dengan fokus studinya pada organisasi Forum Serikat Guru Indonesia. Guru
sebagai konseptual yang digunakan di sini adalah tipe guru tetap yang dijelaskan
oleh undang-undang dan guru honorer yang tergabung dalam organisasi FSGI
tersebut.
2.2.2 Konsep tentang Gerakan Sosial
Klandermans & Stekelenburg (2009) membagi dua pendekatan dalam kajian
gerakan sosial, yaitu pendekatan klasik (classical approach) dan pendekatan
kontemporer (contemporary approaches). Pendekatan klasik ini lebih banyak
didiskusikan dalam rumpun studi psikologi sosial, terutama psikologi sosial
Perancis Le Bon rentang tahun 1890-an dengan konsep collective action
(Klandermans, 1997). Di sisi lain, pendekatan kontemporer berkaitan dengan konsep
resource mobilization theory, Political opportunity stucture, and new social
movements (Klandermans & Stekelenburg 2009). Rohlinger & Gentile (2017)
menyebutkan pendekatan kontemporer sebagai pendekatan gerakan sosial dengan
perspektif Amerika Utara. Teori ini berkaitan dengan resource mobilization theory
dan political process theory. Kedua teori ini kemudian dikritik melalui pendekatan

pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah. Jadi disini, pegawai pemerintah terbagi dua yakni pegawai pemerintah yang diangkat sebagai
pegawai ASN dan pegawai pemerintah yang diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (PPPK).

Universitas Indonesia
22

budaya (cultural approach) yang menghasilkan teori gerakan sosial baru (new social
movements). Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan tabel di bawah ini.

Tabel 2.1
Teori Tentang Gerakan Sosial

2.2.2.1 Teori Gerakan Sumber Daya


Asumsi utama dari teori ini adalah masalah dan ketegangan sosial sebagai
suatu yang melekat dalam masyarakat. Oleh karena itu, gerakan sosial tergantung
pada kekuatan dan kemampuan dalam memobilisasi sumber daya yang ada untuk
merespon masalah sosial (Porta & Diani, 2006). Jenkins (1983) menyebutkan
bahwa teori ini merupakan model pembentukan gerakan sosial yang banyak faktor
lebih maju, menekankan sumber daya, peluang politik, disamping hipotesis
ketidakpuasan terhadap teori tindakan kolektif. Oleh karena itu, teori ini hadir
sebagai kritik terhadap teori perilaku kolektif yang memposisikan gerakan sosial
sebagai tindakan yang irrasional. Sebaliknya, menurut teori gerakan sumber daya
ini gerakan sosial justru sebagai tindakan yang rasional.
McCharty dan Zald (1977) mengatakan bahwa teori gerakan sumber daya
ini memposisikan organisasi-organisasi gerakan memberikan struktur mobilisasi
Universitas Indonesia
23

yang sangat krusial bagi aksi kolektif dalam bentuk apapun. Lebih lanjut,
menurutnya ketidakpuasan bukan berarti selalu medorong terjadinya aksi kolektif,
tetapi aksi kolektin ini sebagai cara dan sarana untuk mencapai tujuan. Oleh karena
itu, teori ini dipengaruhi oleh pendekatan Olsonian yang menyatakan bahwa dalam
sudut pandang rasional hanya ada sedikit alasan bagi individu untuk terlibat dalam
aksi kolektif (Jenkins, 1983). Semakin besar kemungkinan perilaku untuk
membuahkan hasil yang spesifik, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk
melakukan perilaku atau aksi sosial tersebut. Tidak mengherankan jika teori ini
menggunakan analisis untung-rugi (Klandermans, 2005).
Lebih lanjut lagi, Klandermans (2005) mengatakan bahwa organisasi
sebagai roda penggerak dalam aksi sosial mempunyai fungsi yang strategis. Fungsi
tersebut antara lain sebagai konstruksi dan rekonstruksi keyakinan kolektif,
mentransformasikan ketidakpuasan ke dalam aksi kolektif, dan mempertahankan
komitmen terhadap gerakan. Gerakan sosial muncul sebagai akibat bersatunya para
aktor gerakan dalam cara yang rasional, mengikuti segala kepentingan mereka, dan
adanya peran sentral organisasi serta para pemimpin yang “profesional” untuk
memobilisasi sumber daya yang ada pada mereka. Dengan kata lain, kekuatan
gerakan ini terletak pada seberapa besarnya sumber daya yang tersedia, baik itu
sumber daya material maupun sumber daya non-material. Sumber daya material
mencakup usaha, uang, keuntungan konkret, dan jasa. Selain itu, sumber daya non-
material mencakup otoritas, pertalian moral, kepercayaan dan persahabatan (Porta
& Diani, 2006), termasuk juga partisipan dana, publikasi media, serta dukungan
opini publik dan elite (Halcli, 2000). Senada dengan (McCharthy & Zald, 1977)
yang menyatakan bahwa gerakan sumber daya ini erat kaitannya dengan keragaman
dan sumber daya; hubungan gerakan sosial dengan media, pihak berwenang, dan
pihak lain; dan interaksi antar organisasi gerakan. Proposisi dikembangkan untuk
menjelaskan aktivitas gerakan sosial di beberapa tingkat inklusivitas – sektor
gerakan sosial, industri gerakan sosial, dan organisasi gerakan sosial.
Hal ini pula yang senada dengan Jenkins (1983) yang menyatakan bahwa
perkembangan masa depan teori ini terletak pada dua arah. Pertama, memperluas
teori pemerintahan untuk berurusan dengan berbagai negara dan rezim, yang di

Universitas Indonesia
24

dalamnya termasuk pengembangan neo-korporatisme. Kedua, memutakhirkan teori


psikologi sosial ke arah yang lebih canggih dengan teori mobilisasi sumber daya.

2.2.2.2 Teori Struktur Peluang Politik


Teori struktur peluang politik hampir mirip dengan teori gerakan sumber
daya, yakni sama-sama mengedepankan aspek rasionalitasnya. Namun,
perbedaannya adalah teori ini tidak lagi terfokus pada kehidupan internal organisasi
gerakan, tetapi memberikan perhatian yang lebih sistematis terhadap lingkungan
politik dan institusi tempat gerakan tersebut berlangsung (Porta & Diani, 2006).
Fokus utama dari teori ini adalah relasi antara pelaku institusi politik dan para aktor
gerakan sosial. Maju dan mundurnya suatu gerakan sosial terletak pada peluang dan
hambatan dalam sistem politik tertentu (Porta & Diani, 2006). Senada dengan
Kitschelt (1986: 59) yang mengemukakan bahwa struktur peluang politik ini
berfungsi sebagai filter antara mobilisasi gerakan oleh aktor gerakan sosial, pilihan
strategi dan kapasitasnya dalam mengubah lingkungan sosial. Dimensi yang
penting dalam teori ini adalah keterbukaan atau ketertutupan negara terhadap
masukan dari aktor yang tidak mapan (non-established actor) dan kuat atau
lemahnya kapasitas aktor politik atau negara dalam mengimplementasikan secara
efektif kebijakan yang diputuskan (Kitschelt, 1986).
Dengan tegas, Kitschelt (1986: 66) mengatakan bahwa hipotesis dari teori
ini tergantung pada keterbukaan atau ketertutupan negara/struktur di sisi input, serta
kuat atau lemahnya negara/struktur dari sisi output. Ketika negara yang menghadapi
gerakan sosial dengan terbuka dan lemah, maka ia akan mengundang gerakan
untuk bekerja melalui berbagai titik akses yang disediakan oleh lembaga-lembaga
yang mapan. Artinya negara menciptakan sendiri organisasi-organisasi gerakan
sosial sebagai autocritik, dan gerakannya cenderung lebih tertib. Namun jika
sistemnya tertutup dan kuat, maka gerakan cenderung mengadopsi strategi
konfrontatif dan peluang kerusuhan bisa saja terjadi (Kitschelt, 1986).
Senada dengan Tarrow (1998) yang mengatakan bahwa dimensi penting
dalam peluang politik adalah (1) tingkat keterbukaan atau ketertutupan sistem
politik yang terinstitusionalisasi, (2) stabilitas dan instabilitas elite politik yang luas,
yang secara tipikal menyiapkan sebuah pemerintahan, (3) ada atau tidaknya

Universitas Indonesia
25

pengelompokkan elite dan (4) kapasitas negara yang cenderung untuk menindas.
Dengan kata lain, keberhasilan dari gerakan sosial ditentukan oleh struktur peluang
dan hambatan dalam sistem politik yang lebih luas.
Secara sederhana, teori ini memandang lingkungan eksternal sangat
mempengaruhi gerakan sosial. Ketika negara memberikan konfigurasi politik yang
terbuka, maka elemen-elemen gerakan sosial akan memperoleh keleluasaan dalam
mengembangkan dirinya. Artinya gerakan guru mendapatkan ruang artikulasi
dalam struktur politik di suatu negara. Sebaliknya ketika negara tertutup dan
represif terhadap gerakan, maka gerakan sosial akan berjalan lambat. Namun tidak
tertutup kemungkinan kondisi seperti ini akan melahirkan gerakan-gerakan
tersembunyi, kekerasan yang brutal, pemberontakan,dan radikalisme. Kondisi
seperti ini serupa dengan teori yang disampaikan oleh Peter Eisinger pada tahun
1973 yang melihat konteks kerusuhan sosial di kota-kota Amerika Serikat pada
tahun 1960-an. Disana, ketika kota dengan sistem politiknya yang terbuka,
kerusuhan cenderung lebih sedikit dengan struktur politiknya yang tertutup (Meyer,
2004).

2.2.3 Tipologi Gerakan Sosial


Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa gerakan sosial ini bersifat
dinamis. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa gerakan sosial muncul dalam
segala bentuk dan ukuran. Sztompka (2004) menjelaskan tipologi gerakan sosial. Ia
mengelompokkan ada enam tipe gerakan sosial, yaitu gerakan sosial menurut
bidang perubahan; gerakan sosial menurut kualitas perubahan yang diinginkan;
gerakan sosial menurut target perubahan; gerakan sosial mengenai arah perubahan
yang diinginkan; gerakan sosial yang mengacu pada “logika tindakan mereka”; dan
gerakan sosial yang ditinjau dari epos sejarah. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan
menguraikan tipologi gerakan sosial menurut Sztompka (2004).
Pertama, gerakan sosial menurut bidang perubahan yang diinginkan. Pada
tipologi ini, Sztompka (2004) menguraikan ada lima bentuk gerakan sosial yakni
gerakan reformasi; gerakan radikal; gerakan revolusioner; gerakan orientasi nilai
dan gerakan orientasi norma. Gerakan reformasi merupakan gerakan yang hanya
mengubah aspek tertentu tanpa mengubah struktur institusinya. Berbeda dengan

Universitas Indonesia
26

gerakan radikal, yang menginginkan perubahan yang lebih mendalam dan


menyentuh landasan organisasi sosial. Pada tataran ini, perubahan yang disebabkan
oleh gerakan ini akan menjadi besar dan transformasi masyarakatnya tidak hanya
“di dalam” masyarakat semata. Adapun gerakan revolusioner ialah gerakan yang
menginginkan perubahan dalam semua aspek inti struktur sosial (politik, ekonomi
dan kultural) dan ditujukan untuk mencapai transformasi total masyarakat ke arah
“masyarakat alternatif”. Kemudian, Sztompka (2004) mengutip Neil Smelser yang
menjelaskan tentang gerakan sosial berorientasi norma dan nilai. Dikatakan gerakan
sosial berorientasi norma ketika gerakan tersebut bertujuan untuk menata ulang
norma, sedangakan gerakan sosial yang berorientasi nilai ketika gerakan tersebut
bertujuan untuk menata ulang nilai.
Kedua, gerakan sosial menurut kualitas perubahan yang diinginkan. Disini,
Sztompka (2004) membagi dua bentuk gerakan, yaitu gerakan progresif dan
gerakan konservatif. Dikatakan sebagai gerakan progresif jika orientasi gerakan ini
ialah ke masa depan. Gerakan ini menurut Sztompka (2004) ingin membentuk
masyarakat ke dalam suatu pola yang belum pernah ditemukan sebelumnya di mana
gerakan ini yang menekankan pada inovasi dan mengenalkan institusi baru, hukum
baru, bentuk kehidupan baru, dan keyakinan baru. Dikatakan sebagai gerakan
konservatif apabila gerakan ini berorientasi pada masa lalu. Gerakan ini berupaya
untuk memperbaiki institusi, hukum, cara hidup, dan keyakinan dengan tradisi yang
telah dibuang pada masa lalu.
Ketiga, gerakan sosial yang mengacu pada target perubahan yang
diinginkan. Di sini Sztompka (2004) membaginya menjadi dua target, yaitu
perubahan struktural dan individual. Gerakan perubahan struktural ini ada dua
bentuk, yaitu gerakan sosial politik dan gerakan sosio-kultural. Gerakan sosial
politik berupaya mengubah stratifikasi politik, ekonomi, dan kelas. Selanjutnya,
sosio-kultural ditujukan pada aspek kehidupan sosial berupa keyakinan, nilai,
norma, simbol, dan pola hidup sehari-hari. Kemudian, gerakan yang menargetkan
perubahan individu yang arahnya pada gerakan suci/mistik dan gerakan sekuler.
Keempat, gerakan sosial yang mengacu pada arah perubahan yang
diinginkan. Sztompka (2004) membaginya menjadi dua arah, yaitu positif dan
negatif. Gerakan dikatakan mengarah pada positif ketika hasil dari gerakan tersebut

Universitas Indonesia
27

menciptakan perubahan yang diinginkan oleh masyarakat sehingga tatanan


kehidupan bermasyarakat dinilai menjadi lebih baik. Sedangkan perubahan yang
dampak sampingannya tidak sesuai dengan harapan masyarakat dikatakan sebagai
gerakan ke arah negatif.
Kelima, gerakan sosial yang mengacu pada “logika tindakan” mereka.
Sztompka (2004) membaginya menjadi dua, yaitu logika instrumental dan logika
expressive. Logika instrumental adalah gerakan yang menggunakan kekuatan
politik untuk mencapai perubahan yang diinginkan oleh kelompok sosial,
sedangkan logika expressive atau logika pernyataan perasaan ialah gerakan yang
berjuang untuk mengaskan identitas dan mendapatkan pengakuan bagi nilai-nilai
mereka atau pandangan hidup mereka. Misalnya, gerakan feminisme dan gerakan
hak-hak sipil.
Keenam, gerakan sosial ditinjau dari epos sejarah. Di sini Sztompka (2004)
membagi gerakan ini menjadi dua, yaitu gerakan sosial lama dan gerakan sosial
baru. Gerakan sosial lama merupakan gerakan yang lebih memusatkan perhatiannya
pada kepentingan ekonomi dan determinisme ekonomi. Misalnya, gerakan buruh
dan gerakan petani. Di pihak lain, gerakan sosial baru merupakan gerakan
modernitas fase terakhir dan terjadi di tengah-tengah masyarakat kapitalis yang
paling maju. Ciri khas dari gerakan ini yaitu: (1) memusatkan perhatian pada
masalah kultural yang berkaitan dengan persoalan otonomi individual; (2)
keanggotaannya tidak dikaitkan dengan kelas khusus, tetapi lebih sering
berpotongan dengan pembagian kelas tradisional; (3) metode komunikasi dalam
kelompok gerkan sosial baru mengarah pada desentralisasi.

2.2.4 Konsep tentang Organisasi Profesi Guru


Secara bahasa, organisasi profesi guru terdiri dari tiga suku kata yakni
organisasi, profesi dan guru. Organisasi diartikan sebagai karakteristik yan
menentukan asosiasi-asosiasi yang stabil dan terlibat dalam kegiatan bersama yang
diarahkan dalam pencapaian tujuan tertentu, dan mereka sengaja dilembagakan
(Bittner, 2005). Di sisi lain, profesi mempunyai arti suatu jabatan atau pekerjaan
yang menuntut keahlian (experffes) dari para anggotanya, yang keahlian tersebut
diperoleh melalui profesionalisasi yang dilakukan sebelum menjalani profesi

Universitas Indonesia
28

(latihan pra-jabaran) maupun setelah menjalani profesi (Evetts, 2014). Selanjutnya,


guru diartikan sebagai orang yang memilipi pengetahuan dan keterampilan dalam
mengajar, dan ia mampu mengedukasi siswa melalui kemampuan yang dimilikinya.
Kuhn (1970) mengatakan bahwa organisasi profesional menjadi unsur pokok
karena mempunyai kaitan yang signifikan bagi kemunculan, perkembangan, dan
kesinambungan dengan profesi serta bagi terjadinya revolusi struktural dalam suatu
disiplin ilmu. Parson (1968: 17) menambahkan bahwa organisasi profesional ini
memiliki relevansi dengan masyarakat ilmiah (to the relevant scholarly public).
Selain itu, organisasi profesional juga memiliki status, posisi dan pernghargaan
sosial di masyarakat pada tempat “posisi elit” diantara lapisan masyarakat lainnya.
Hal tersebut lantaran fungsi-fungsi sosial dari organisasi profesional. Ia memiliki
otonomi profesional melalui sumbangsih pemikiran dan pertimbangan profesional
terhadap beragam isu, dilema, masalah yang dihadapi pemangku profesi, masyarakat
dan pemerintah (HEBRG, 2011).
Organisasi profesional secara konseptual mempunyai tiga fungsi utama,
yakni sebagai profesional (professional), regulasi (regulatory) dan advokasi
(advocacy) (HEBRG 2011; Harvey, 2004). Ketiga fungsi ini harus dimiliki oleh
setiap organisasi profesional dan pengimplikasiannya pun dilakukan dengan dua
cara. Pertama, dilakukan dengan independen oleh organisasi profesional, dan kedua
dilakukan oleh institusi, badan atau organisasi lain yang memiliki keterkaitan
dengan organisasi tersebut. Selain itu, tugas dari organisasi profesional juga harus
mempertimbangkan dan menyeimbangkan antara kepentingan publik dengan
kepentingan profesional (Farisi, 2013).
Organisasi profesional guru mempunyai sejarah yang panjang di Indonesia,
karena masih mempunyai akar kesejarahan dengan masa penjajahan Belanda.
Pertama kali organisasi guru dibentuk pada tahun 1912 dengan nama Persatuan
Guru Hindia Belanda (PGHB). Seiring berkembang gerakan revolusioner untuk
kemerdekaan, Organisasi profesi guru berubah nama menjadi Persatuan Guru
Indonesia (PGI) pada tahun 1932. Dan pada kongres guru yang dilaksanakan pada
tanggal 23-25 november 1945 di Surakarta, PGI berubah nama menjadi Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) (Kosasih, 2016). Dari kemerdekaan hingga Orde
Baru, PGRI satu-satunya organisasi profesi guru yang mewadahi aspirasi guru.

Universitas Indonesia
29

Walaupun pada kenyataannya, pada masa Orde Baru PGRI lebih banyak
mendukung kepentingan pemerintah ketimbang kepentingan masyarakat
pendidikan. Hal ini terlihat dari program PGRI seperti melaksanakan “pesanan”
rezim Orde Baru. Setelah Orde Baru ini runtuh, organisasi profesi guru tidak hanya
dimonopoli oleh PGRI. Hingga saat ini, tercatat lebih dari 100 organisasi profesi
guru di Indonesia (Farisi, 2013).

2.2.5 Konsep tentang Kesenjangan dalam Dunia Pendidikan


Berbicara tentang kesenjangan pendidikan, Suryadi (2000) mengelompokkan
tiga aspek pokok dalam menilai kesenjangan pendidikan. Ketiga aspek tesebut
adalah pemerataan dan akses pendidikan pada semua jalur, jenjang dan jenis
pendidikan, kurikulum dalam proses pendidikan, serta penjurusan dan program studi
dalam pendidikan nasional. Pemerataan pendidikan ini berkaitan erat dengan
pembangunan pendidikan antara desa dan kota yang seimbang, pemerataan
pembangunan infrastruktur pendidikan, dan pelayanan pendidikan yang berkualitas
seimbang antara desa dan kota. Disamping itu, kebijakan pendekatan penerapan
kurikulum yang tidak hanya bersifat top-down, tetapi kebijakan kurikulum yang
bottom-up juga menjadi perhatian penting dalam menciptakan pendidikan yang
setara.
Kebijakan nasional dalam sektor pendidikan seperti tertuang dalam Renstra
Kemendikbud 2015-2019 menguraikan beragam isu tentang permasalahan dan
kesenjangan pembangunan dalam pendidikan. Ada beberapa poin dalam
permasalahan pembangunan pendidikan antara lain; 1) peran pelaku pembangunan
belum optimal, 2) peran pelaku budaya belum signifikan dalam melestarikan
kebudayaan, 3) belum semua penduduk dapat memperoleh layakan dan akses
pendidikan yang layak, dan 4) pelaksanaan wajib belajar pendidikan 12 tahun yang
kualitasnya belum maksimal.
Lebih lanjut diuraikan dalam Renstra Kemendikbud 2015-2019 tersebut,
permasalahan dalam kesenjangan pendidikan mencakup ketidakmerataan
pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan dasar pada tahun 2012-2013
dari sisi wilayah maupun sisi tingkat ekonomi. Selain itu, tidak semua penduduk
dapat memperoleh akses pendidikan menengah yang berkualitas. Hal ini terjadi

Universitas Indonesia
30

karena banyaknya kecamatan yang belum memiliki SMA/MA/SMK, sehingga


tingkat putus sekolah menjadi naik. Demikiam pula dengan adanya perbedaan
kemampuan ekonomi dan keterbatasan fisik untuk melanjutkan sekolah .

2.3 Kerangka Konseptual


Bagian ini menjelaskan mengenai argumentasi penelitian yang dijabarkan
dalam bentuk uraian teoritis. Bagian ini dibagi dalam beberapa sub judul yang
masing-masing membahas tentang perubahan sosial politik, krisis ekonomi dan
kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan akan meningkatkan gerakan guru.
2.3.1 Perubahan Sosial-Politik Sebagai Dasar Aktivisme Guru
Dalam kajian sosiologi, perubahan sosial dalam masyarakat dapat diringkas
menjadi tiga poit utama, yakni perubahan ekonomi, perubahan politik dan
perubahan budaya (Leat, 2005). Misalnya kajian Marx yang membahas tentang
perubahan organisasi sosial masyarakat akibat perubahan ekonomi yang khususnya
mengarah pada kapitalisme. Selain itu juga ada perubahan politik yang memainkan
peran sangat besar dalam kehidupan sosial dan perubahan masyarakat industri.
Disamping itu perubahan budaya juga memainkan peran penting dalam perubahan
sosial. Misalnya sekularisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan memiliki
pengaruh besar pada cara kita berpikir, sikap terhadap legitimasi dan otoritas, dan
dengan demikian juga mempengaruhi struktur sosial, sistem dan nilai-nilai (Giddens
& Duneier, 2000).
Berkaitan dengan perubahan sosial politik, Goodwin (2009) mengatakan
bahwa perubahan sosial-politik dikatakan sebagai perubahan yang besar dan relatif
cepat. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa akan membuat kekacauan di masyarakat
dan menyebabkan sebagian besar masyarakat akan sulit dalam menyesuaikan diri
dengan keadaan yang baru karena perubahan yang cepat ini bisa sangat
menegangkan (Goodwin, 2009). Senada juga dengan Toffler (1970) yang
mengistilahkan perubahan cepat dengan “future shock”, bahwa selama transisi yang
tiba-tiba seperti itu akan menyebabkan aspek penting dalam masyarakat juga ikut
berubah.
Konsep peubahan yang cepat ini akan relevan ketika dikaitkan dengan
perubahan sosial politik di Indonesia dari masa Orde Baru ke masa reformasi.
Perubahan sosial-politik ini menyebabkan berubahnya aspek-aspek sosial dalam
Universitas Indonesia
31

masyarakat, terutama dalam gerakan sosial. Pada masa Orde Baru, gerakan sosial
selalu mendapatkan kekangan dari pemerintah. Kebebasan berorganisasi dibatasi,
pemerintah yang cenderung represif dalam menangani suara sumbang dari
masyarakat. Selain itu, masa ini pemerintah telah menjadi anti kritik sehingga
apapun bentuk gerakan sosial akan tenggelam dengan sendirinya. Namun, pada
tahun 1998 gerakan pemberontakan tidak dapat dibendung lagi, elemen masyarakat
bersatu untuk melakukan aksi protes, krisis global pun terjadi, yang akhirnya rezim
Orde Baru runtuh. Runtuhnya rezim ini diikuti pula oleh berubahnya sistem politik
yang mengarah kepada kebebasan.
2.3.2 Kesenjangan Sosial: Landasan Dasar dalam Munculnya Gerakan
Guru
Pada banyak studi tentang gerakan sosial, kesenjangan sosial merupakan
salah satu aspek utama memunculkan gerakan sosial. Misalnya studi Shah (2004)
yang mengatakan bahwa kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan dalam
pekerjaan yang sama dan kesenjangan hak-hak atas jaminan sosial dan hari pensiun
oleh para pekerja merupakan alasan utama mengapa gerakan sosial muncul. Senada
dengan apa yang disampaikan oleh Bilgrami (2017) bahwa gerakan sosial
kependidikan di India muncul lantaran kesenjangan-kesenjangan dalam dunia
pendidikan terjadi. Disini, Bilgrami (2017) melihat kesenjangan dari aspek historis,
menurutnya ada empat fase pendidikan di India. Keempat tersebut adalah fase veda,
fase budha, fase muslim, dan fase kolonisasi inggris.
Berkaitan dengan makna kesenjangan sosial, bahwa suatu keadaan akan
dikatakan senjang ketika adanya ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat
dan akan menjadikan perbedaan yang sangat mencolok. Begitupun dengan
kesenjangan pendidikan, bahwa kondisi terjadinya ketidakseimbangan pendidikan
yang menjadikan perbedaan semakin mencolok. Vito, Krisnani & Resnawati (2015)
mengatakan ada beberapa aspek yang menyebabkan kesenjangan pendidikan antara
desa dan kota. Menurutnya, kesenjangan terjadi akibat kualitas dan kuantitas tenaga
pengajar yang tidak seimbang, senjangnya pembangunan infrastuktur pendidikan,
dan senjangnya kesejahteraan guru.
Dalam studi Wicaksono, Amir, & Nugroho (2017) dijelaskan bahwa
ketimpangan pendapatan di Indonesia terjadi akibat ketimpangan tingkat

Universitas Indonesia
32

pendidikan, kekayaan dan sektor ketenagakerjaan. Menurutnya, hal ini


menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi akses yang
tidak setara terhadap pendidikan merupakan suatu hal yang penting untuk
mengurangi ketimpangan pendapatan di masa depan. Hal ini senada dengan Afandi,
Rantung, & Marashdeh (2017) yang mengatakan bahwa perubahan struktural, dan
kondisi sosial mempengaruhi ketimpangan sosial. Lebih lanjut ia menjelaskan
bahwa kebijakan untuk menurunkan kemiskinan bisa bersifat tidak netral terhadap
ketimpangan, melainkan tidak mampu membiarkan ketimpangan untuk tidak naik.
Selain itu, kenaikan angka partisipasi kuliah juga menaikkan ketimpangan (Afandi,
Rantung, & Marashdeh, 2017).

2.4 Gambar Kerangka Penalaran


Pada dasarnya, yang dicita-citakan dalam gerakan guru ini adalah
terwujudnya suatu keadilan sosial dalam masyarakat pendidikan. Namun, pada
kenyataaan di Indonesia, ketidakadilan dalam masyarakat pendidikan masih terjadi.
Semua elemen masyarakat merasakan hal ketidakadilan, terutama oleh guru sebagai
ujung tombak dalam sistem pendidikan. Guru-guru yang sadar akan ketidakadilan
tersebut, kemudian membentuk organisasi dengan tujuan memperjuangkan
terwujudnya keadilan sosial.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa di Indonesia sendiri,
gerakan guru berkembang pesat setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Pada masa ini,
organisasi guru dikekang oleh pemerintah dan hanya ada satu organisasi tunggal
guru yakni PGRI. Organisasi ini pada masa Orde Baru juga dinilai lebih banyak
memihak kepada kepentingan rezim ketimbang kepentingan masyarakat pendidikan.
Dengan kata lain, organisasi ini telah dipolitisasi rezim. Orde Baru runtuh dan
kebebasan berserikat dijamin oleh pemerintah, para guru kemudian membentuk
organisasi keguruan dengan tujuan mengadvokasi dalam mencapai kesejahteraan
sosial. Sejalan dengan hal ini, orgnisasi guru makin menjamur jumlahnya. Menurut
analisis peneliti, ada tiga faktor yang menyebabkan hal ini terjadi yakni perubahan
sosial politik, krisis ekonomi dan kesenjangan sosial. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kerangka konseptual di bawah ini.

Universitas Indonesia
33

Gambar 2.3
Kerangka Konseptual

Sumber: Peneliti (2019)

Universitas Indonesia
BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas tentang metode yang digunakan dalam penelitian.
Peneliti membagi bab ini ke dalam delapan sub-bab yang masing-masing membahas
tentang pendekatan penelitian, jenis penelitian, subjek penelitian, teknik
pengumpulan data, strategi validasi data, limitasi dan delimitasi penelitian serta
proses penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, bab ini pun membantu peneliti
dalam menyusun secara sistematis dan praksis terkait pengumpulan data dan
menjawab pertanyaan penelitian pada studi ini.

3.1 Pendekatan Penelitian


Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
sebagai metode dalam penelitian. Menurut Breuer & Schreier (2007), ada dua
sudut pandang dalam penelitian kualitatif ini, yakni dari sudut pandang pragmatis
dan sudung pandang paradigmatik. Dari sudut pandang pragmatis, metode
penelitian kualitatif dianggap sebagai strategi atau teknik penelitian dengan
langkah-langkah khusus yang harus dilakukan. Dari sudut pandang paradigmatik,
metode yang dikonseptualisasikan sebagai “a craft to be practiced together by a
master and an apprentice”. Senada dengan Bryman (2006) yang menyatakan
bahwa penelitian kualitatif lebih mengedepankan interpretasi dan pemaknaan
ketimbang pengumpulan data berupa data angka. Dengan kata lain, penelitian
qualitatif ini berangkat dari konstrukti ontologis dan bersifat induktif. Peshkin
(1993) jug menyebutkan bahwa tujuan dari pendekatan penelitian adalah
“description, interpretation, verification dan evaluation”.
Berdasarkan hal tersebut, studi ini berupaya mendeskripsikan tentang
fenomena menjamurnya aktivisme guru pasca jatuhnya Orde Baru di Indonesia
dengan kasus organisasi guru Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Kemudian
studi ini juga akan menggali lebih dalam faktor yang melatarbelakangi semakin
berkembangnya gerakan guru. Hal ini pun senada dengan asumsi peneliti bahwa
penelitian ini bersifat induktif, karena penelitian ini berupaya mengabtraksikan dan
menemukan pola-pola umum dari data-data khusus.

34
35

3.2 Jenis Penelitian


Dalam studi ilmu sosial, terdapat lima jenis penelitian kualitatif yakni
experimental, cross-sectional, longitudinal, case study, dan comparative (Bryman,
2012; 2006; Peshkin, 1993). Dari kelima jenis penelitian tersebut, studi ini termasuk
dalam case study research karena terfokus pada pengumpulan data dengan hanya
menggunakan satu atau dua unit analisis pada kasus-kasus tertentu dengan tujuan
peneliti lebih mudah memahami dan mendalami kasus yang ditelitinya (Bryman,
2012; 2006). Dengan alasan tersebut, peneliti menganggap bahwa fenomena
menjamurnya gerakan guru di Indonesia merupakan suatu kasus yang khas dan
tidak dapat digeneralisasikan dengan gerakan-gerakan guru pada unit analisis
lainnya. Secara khusus studi ini melihat kasus menjamurnya gerakan guru di
Indonesia dengan studi kasus pada organisasi Federasi Serikat Guru Indonesia
(FSGI).

3.3 Unit Analisis


Unit analisis ini berkaitan dengan pada level mana data yang ingin
dikumpulkan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Bryman (2012) bahwa
unit analsis merupakan fokus penelitian yang akan diteliti oleh peneliti. Fokus
penelitian ini dapat berupa individu, kelompok, benda, bahkan lokasi yang dinilai
signifikan dengan penelitian. Berdasarkan penjelasan Briman (2012) di atas, maka
fokus studi pada gerakan guru yang diaktualkan oleh organisasi Federasi Serikat
Guru Indonesia (FSGI). Alasan utama peneliti dalam memilih organisasi ini adalah
pertama, FSGI merupakan salah satu organisasi guru independen yang sangat aktif
dalam melakukan gerakan sosial pada dunia pendidikan. Kedua, jaringan guru dan
anggota dari FSGI ini telah tersebar ke seluruh pelosok Indonesia. Ketiga,
argumentasi-argumentasi dari FSGI menjadi arus utama media massa terkait
masalah pendidikan di Indonesia. Unit analisis inipun sesuai dengan pertanyaan
penelitian yang diajukan dalam penelitian ini yakni “bagaimana dinamika gerakan
guru, kesejahteraan dan kesenjangan dalam dunia pendidikan dan profesionalitas
guru di Indonesia pasca Orde Baru?”. Dalam hal ini, FSGI sebagai unit analsis yang
diharapkan mampu membuktikan argumentasi peneliti bahwa perubahan sosial
politik, dan kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan akan meningkatkan gerakan
guru.
Universitas Indonesia
36

3.4 Subjek Penelitian


Dalam penelitian kualitatif, individu atau kelompok orang yang mempunyai
pengetahuan tertentu tentang kasus yang diteliti disebut sebagai informan atau
narasumber. Informan ini merupakan kunci penting dari cara memperoleh data, ia
menjadi sumber dalam mempermudah peneliti memperoleh akses informasi yang
mungkin tidak terbuka untuk umum (Mohajan, 2018). Informan ini dipilih
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yang oleh Cresswell (2002)
disebut dengan cara purposive. Untuk itu, dalam penelitian ini yang dijadikan
informannya adalah pengurus organisasi FSGI yang terdiri dari Sekretaris Jendral,
Wakil Sekretaris Jendral, Ketua SGI Bima yang mewakili gerakan FSGI dari Timur,
Ketua SGI Medan yang mewakili gerakan FSGI dari Sumatera, dan Ketua SGI
Tangerang. Selain itu peneliti melakukan wawancara dengan jurnalis pendidikan,
pengurus PGRI pusat, dan Kemendikbud.
Subjek penelitian yang dipilih adalah para pengurus FSGI, hal ini
diasumsikan bahwa para pengurus tersebut merupakan aktor-aktor yang sering
terlibat dan berkecimpung dalam gerakan guru. Dalam penelitian ini, pengurus FSGI
yang dipilih berasal dari Bima dan SGI Medan karena kedua SGI ini merupakan
SGI daerah dari FSGI yang paling aktif dalam forum diskusi dan kegiatan FSGI.
Pemilihan lokasi penelitian ini yaitu wilayah FSGI Pusat yang berada di DKI
Jakarta.
Pada dasarnya, informan pada penelitian terdiri dari dua macam, yakni
informan kunci/informan utama dan informan tambahan/informan pendukung.
Peneliti mewawancarai informan kunci yang terdiri dari Sekretaris Jendral FSGI,
Waseksekjen FSGI, dan ketua SGI daerah. Selain itu, informan pendukungnya
terdiri dari pengurus organisasi PGRI, perwakilan Kemdikbud, dan jurnalis yang
fokus terhadap isu-isu pendidikan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data


Dalam penelitian kualitatif, terdapat berbagai cara dan teknik untuk
memperoleh data penelitian. Cresswell (2002) menyebutkan seperti wawancara
mendalam, observasi, studi literatur, maupun studi visual atau objek gambar lainnya.
Untuk itu, pada studi ini peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data
seperti wawancara mendalam, dan observasi. Wawancara mendalam (in-depth
Universitas Indonesia
37

interview) merupakan cara memperoleh data melalui tanya jawab antara peneliti
dengan informan. Peneliti dalam mewawancarai menggunakan instrumen atau
pedoman penelitian. Tujuan menggunakan pedoman tersebut supaya data yang
didapatkan tidak melenceng kemana-mana, sehingga dapat menghemat waktu.
Pengumpulan data melalui wawancara ini diharapkan dapat membantu peneliti
dalam memperoleh, memahami dan menyelami informasi lebih dalam dari sudut
pandang para informan tersebut. Yang menjadi kelebihan dari teknik wawancara
mendalam ini adalah kita sebagai peneliti tidak hanya mendapatkan informasi lisan
saja, tetapi gesture, mimik wajah, dan tekanan nada suara dari informan ini pun
memberikan makna dalam setiap informasi yang diberikannya. Seperti yang telah
disinggung di atas, peneliti akan mewawancarai pengurus organisasi guru, para
pendiri dan pengurus organisasi PGRI. Waktu untuk wawancara akan disesuaikan
dengan jumlah pertanyaan yang diajukan kepada masing-masing informan.
Selain wawancara mendalam, pengamatan kegiatan FSGI melalui rekam
jejak digital di media massa. Pengamatan ini peneliti lakukan dari rekam jejak FSGI
dari tahun 2011 sampai tahun 2018. Selain itu, peneliti menggunakan studi pustaka
dan dokumen lain seperti jurnal ilmiah, kliping koran yang memuat berita tentang
FSGI sebagai sumber data penunjang pada penelitian ini. Aspek yang diamati dalam
kasus gerakan guru ini adalah bentuk-bentuk gerakan yang dilakukan oleh FSGI
sejak berdiri hingga 2018, seperti demonstrasi dan lain sebagainya.

3.6 Teknik Pengolahan Data


Dalam mengolah data, Creswell (2002) menyebutkan ada beberapa tahap
yang dapat dilakukan oleh peneliti. Pertama, transkrip hasil wawancara. Pada
transkrip ini yang hal yang penting dilakukan adalah menuliskan informasi secara
yang didapatkan secara lisan menjadi tulisan. Hal ini dilakukan supaya lebih mudah
dalam melakukan interpretasi data. Selain itu, peneliti juga dapat menggunakan
catatan lapangan (field notes) sebagai pelengkap dari data hasil transkrip. Kedua,
membaca data dari hasil yang ditranskrip secara keseluruhan dan memilah-milih
data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Ketiga, tahap yang akan peneliti
lakukan adalah pengkodean (coding) dan pengkategorisasian terhadap data-data
yang dinilai sesuai dengan penelitian. Coding ini terbagi tiga, yakni open coding,
axial coding dan selective coding. Open coding merupakan kategorisasi atas
Universitas Indonesia
38

informasi yang diperoleh, axial coding merupakan menempatkan informasi yang


diperoleh menjadi suatu model teoritis, dan selective coding merupakan proses
merangkai menjadi sebuah cerita dari hubungan antar kategori tadi (Creswell, 2002;
Saldana, 2010). Setelah peneliti selesai melakukan pengkodingan, maka terakhir
yang akan peneliti lakukan adalah menganalisisnya dan kembali pada pertanyaan
penelitian dan argumentasi penelitian yang telah diajukan sebelumnya. Kemudian
peneliti menarik kesimpulan dan saran dari penelitian yang dilakukan.

3.7 Strategi Validasi dan Analisis Data


Mengacu pada Bryman (2012), validitas data dilakukan melalui dua tahap
yakni internal validity dan external validity. Internal validity dipahami sebagai
proses melakukan validitas data dengan cara menyesuaikan data yang diperoleh
peneliti dengan teori atau argumentasi yang diajukan oleh peneliti. Di pihak lain,
external validity merupakan proses generalisasi data dengan kondisi sosial tertentu.
Berdasarkan pengertian validitas data tersebut, internal validity dalam studi ini
dilakukan dengan cara menyesuaikan antara data di lapangan dengan argumentasi
yang telah peneliti bangun dari awal yaitu bagaimana perubahan sosial politik, krisis
ekonomi dan kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan akan meningkatkan
gerakan guru. Pada intinya, internal validity ini merupakan upaya pencocokan data
di lapangan yang peneliti temukan dengan studi sejenis sebelumnya yang memiliki
keterkaitan dengan argumentasi peneliti sedangkan external validity peneliti
lakukan dengan memvalidasi atas jawaban yang diberikan informan kunci kepada
peneliti melalui wawancara mendalam dengan organisasi PGRI dan pemerintah atau
kerabat para pengurus organisasi guru. External validity inilah yang dikatakan
dengan triangulasi data.

3.8 Limitasi dan Delimitasi Penelitian


Studi ini tentu mempunyai keterbatasan dan pembatasan. Selain itu
persoalan-persoalan lain juga akan ditemukan dalam penelitian yang nantinya
menjadi faktor penghambat penelitian. Persoalan ini yang dikatakan dengan limitasi,
sedangkan delimitasi ini diartikan dengan pembatasan cakupan studi. Dalam studi
ini, hambatan penelitian yang sudah peneliti rasakan adalah kesulitan dalam
membagi waktu dengan kesibukan keseharian peneliti yang berprofesi sebagai guru

Universitas Indonesia
39

honorer. Selain itu, kesulitan dalam menyesuaikan waktu wawancara dengan


informan karena masalah kecocokan waktu. Hal ini menjadi salah satu kendala di
lapangan lantaran para informan tersebar di Indonesia. Ada informan yang berlokasi
di Medan, ada pula informan yang berlokasi di Nusa Tenggara Barat. Delimitasi
dalam penelitian ini juga terfokus pada gerakan guru yang dilakukan oleh organisasi
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Dalam hal ini, peneliti akan lebih
menspesifikasikan lagi tentang gerakan guru yang dilakukan oleh FSGI rentang
tahun 2011 sampai 2018. Alasaannya adalah pada tahun 2011 merupakan tahun
berdirinya FSGI, namun peneliti membatasi hingga tahun 2018 karena pada tahun
2018 para pengurus diasumsikan telah menyelesaikan program kerja tahunan. Untuk
itu, kejelasan dari program kerja FSGI akan terlihat kedepannya.

3.9 Proses Penelitian


Dalam penelitian ini, peneliti fokus pada kasus fenomena gerakan guru di
Indonesia dengan kasus Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Subjek penelitian
pada studi ini adalah organisasi-organisasi guru, dan yang menjadi informan
kuncinya adalah para pengurus dari organisasi guru ini. Untuk dapat mencapai akses
ke informan, peneliti berupaya mencari akses pada jaringan-jaringan guru, teman
sesama profesi, dan senior-senior dari organisasi yang pernah peneliti geluti.
Penelitian ini dilaksanakan sejak Juni 2018 hingga Juni 2019. Pada bulan
Juni –November 2018 peneliti melakukan pencarian data-data sekunder tentang
gerakan sosial dan gerakan guru. Pada rentang bulan ini, peneliti mencari gate
keeper untuk mencari data primer pada organisasi guru, terutama organisasi
Federasi Serikat Guru Indonesia. Pada tanggal 9 November 2018, peneliti menemui
SS sebagai Wakil Sekretaris Jendral FSGI (Wasekjen FSGI) untuk melakukan
pengenalan dengan organisasi tersebut, dan membangun keyakinan apakah
ogranisasi FSGI termasuk dalam kriteria kasus gerakan sosial. Pada pertemuan ini,
peneliti menggali informasi tetang FSGI dan berdiskusi tentang gerakan yang
dilakukan oleh FSGI selama lebih kurang 2 jam. Hal ini peneliti lakukan sebagai
tahap awal atau tahap orientasi penelitian. Pada dasarnya, memang tahap ini sebagai
proses penggalian, pemetaan, dan penggalian informasi yang sangat banyak, tetapi
belum terstruktur dan terpola dengan rapi. Selain itu pertemuan ini merupakan

Universitas Indonesia
40

upaya membangun rapport/pendekatan dengan FSGI supaya data-data yang


diperoleh lebih banyak dan lebih mendetail.
Setelah melakukan pendekatan tersebut, peneliti melakukan pencarian data-
data sekunder tentang gerakan sosial sekaligus pembuatan proposal penelitian. Pada
tahap ini, peneliti telah memfokuskan kajiannya, dan analisisnya pun lebih terarah.
Kemudian, pada bulan Maret 2019 peneliti menghubungi kembali Sekjen FSGI
untuk melakukan diskusi dan wawancara mendalam. Disini, data yang peneliti
dapatkan tentang bentuk-bentuk gerakan sosial yang dilakukan oleh FSGI. Selain
itu, wasekjen sebagai gatekeeper yang mengarahkan peneliti untuk menggali
informasi kepada HP sebagai Sekretaris Jendral FSGI, RS sebagai Dewan Pengawas
FSGI, FT sebagai Ketua SGI Medan, FH sebagai mantan ketua SGI Bima, dan EI
sebagai ketua SGI Bima. Kemudian, pada tanggal 18 Maret 2019 Peneliti
melakukan wawancara mendalam dengan HP sebagai Sekjen FSGI. Data yang
peneliti dapatkan dari narasumber ini adalah tentang sejarah berdirinya FSGI dan
bentuk-bentuk gerakan sosial yang dilakukan oleh FSGI. Selain itu, peneliti juga
melakukan wawancara mendalam dengan EI pada tanggal yang sama melalui
telepon. Hal ini dilakukan lantaran EI berada di Kabupaten Bima, NTB, sedangkan
peneliti berada di DKI Jakarta. Data yang peneliti dapatkan dengan EI adalah
tentang permasalahan pendidikan yang menjadi fokus gerakan sosial oleh SGI
Bima.
Selanjutnya, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan RS pada
tanggal 26 Maret 2019, data yang peneliti dapatkan tentang proses hadirnya FSGI.
Wawancara dengan RS ini sekaligus peneliti melakukan validasi data secara internal
dari FSGI sendiri. Dengan pertanyaan yang sama, peneliti melihat kecocokan dan
kevalidan jawaban antar informan.
Wawancara selanjutnya peneliti lakukan dengan PGRI, dengan
mewawancarai salah satu anggota PGRI yang berasal dari divisi humas PGRI.
Disini, data yang peneliti dapatkan adalah tentang gerakan sosial yang dilakukan
oleh PGRI dan bagaimana tanggapan PGRI ketika organisasi lain mengkritisi PGRI.
Selain itu, peneliti juga menggali informasi tentang sejauh mana PGRI mengetahui
organisasi FSGI tersebut.

Universitas Indonesia
41

Pada april 2019 peneliti melakukan wawancara mendalam dengan biro


Humas Kemendikbud, dengan data yang didapatkan adalah tentang organisasi-
organisasi guru di Indonesia, dan sejauh mana peran Kemendikbud dalam
mengakomodir organisasi guru di Indonesia. Di hari yang sama, peneliti melakukan
wawancara mendalam dengan jurnalis yang fokus terhadap pendidikan. Dari jurnalis
ini data yang peneliti dapatkan adalah tentang organisasi guru dan FSGI. Selain itu
bagaimana peran jurnalis yang terlibat dalam jaringan gerakan sosial yang dilakukan
FSGI.
Setelah melakukan wawancara mendalam dengan berbagai narasumber,
peneliti merasa bahwa data yang didapatkan telah cukup dan dianggap telah tidak
ada lagi keragaman data yang peneliti dapatkan. Untuk itu, peneliti melakukan
pengolahan data di akhir april. Pada bulan Mei hingga Juni 2019 peneliti melakukan
penyusunan laporan penelitian dan melakukan segala bentuk revisi.

Universitas Indonesia
BAB IV

EKSISTENSI FSGI DAN SEJARAH GERAKAN GURU DI INDONESIA

4.1 Pengantar
Bab ini akan dijelaskan mengenai tiga hal penting. Pertama, menjelaskan
tentang konteks sosial dan politik yang mendorong lahirnya gerakan guru,
khususnya gerakan yang dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Tujuan dari penulisan bab ini adalah untuk memberikan gambaran historis gerakan
guru di Indonesia dalam rangka memahami konteks sosial masa kini. Sejatinya,
konteks masa lampau akan mempengaruhi masa sekarang. Oleh karena itu
pelacakan sejarah akan menguraikan benang-benang gerakan guru yang
menyuguhkan kisah menarik hingga masa kini. Dengan demikian, bagian pertama
ini akan mendiskusikan tentang kesejarahan organisasi guru dan gerakan guru di
Indonesia yang tidak terlepas dari pencerdasan dan pergerakan kemerdekaan.

Bagian kedua akan dijelaskan tentang kontekstual FSGI mulai dari


berdirinya hingga bentuk dan sistem organisasi itu sendiri. Di sini, peneliti
memposisikan bahwa FSGI sebagai aktor gerakan sosial yang mempunyai andil
besar dalam gerakan pendidikan di Indonesia seperti yang disinggung sebelumnya.
Bentuk dan dinamika gerakan sosial yang dilakukan oleh FSGi tidak tertepas dari
ideologi dan sistem organisasi tersebut. Untuk itu, dalam bagian kedua ini peneliti
berupaya menjelaskan tentang sistem osejarah berdirinya FSGI, sistem organisasi,
dan konteks sosial seperti apa yang mendorong lahirnya FSGI.

Pada bagian ketiga peneliti akan menganalisis secara teoritis tentang


keterkaitan antara perubahan sosial politik hingga menjamurnya organisasi guru dan
gerakan guru – yang salah satunya adalah FSGI – dengan perspektif struktur
peluang politik (political opportunity structure). Menurut analsisis peneliti,
keberadaan organisasi guru ini tidak terlepas dari peran negara yang memberikan
ruang politik dan kebebasan untuk berorganisasi. Negara telah mengamanatkan
dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Dalam pasal 41 UU No 14
tahun 2005 dikatakan bahwa guru wajib untuk ikut dalam organisasi profesi.
Namun, negara tidak memberikan pernyataan bahwa organisasi guru yang

42
43

dimaksud adalah PGRI. Hingga saat ini, organisasi guru semakin menjamur dan
berkembang.

4.2 Sekilas tentang Organisasi Guru dan Sejarah Gerakan Guru di Indonesia
Sejarah gerakan guru di Indonesia mempunyai akar yang panjang. Gerakan
ini tercatat dari sebelum kolonial Belanda masuk hingga hari ini. Sebelum kolonial
Belanda menjajah Indonesia, koloni Portugis dan Inggris telah lebih dulu menjajah
Indonesia. Penjajahan ini diiringi oleh penyebaran agama kristen oleh misionaris-
misionaris Portugis. Supriadi (2003) mengatakan bahwa orang-orang Portugis
pertama kali mendirikan sekolah di Ambon pada tahun 1536. Pada era ini organisasi
guru dan gerakan guru telah terbentuk. Arah gerakan guru adalah mengemban misi
penyebaran agama katholik Ordo Jesuit dan Dominikas. Oleh karena itu, masa ini
gerakan guru disebut sebagai gerakan Ordo Jesuit dan Dominikan. Pada masa ini
pula pendidikan agama katholik sangat kuat sebagai basis pendidikan. Setelah
Portugis berhasil dikalahkan oleh Inggris, pendidikan guru dan gerakan guru
menjadi tidak terorganisir kembali. Pada masa kolonial Inggris, Thomas Stamford
Raffles sebagai gubernur jendral Hindia Belanda yang memfokuskan penetian
tentang Jawa.
Gerakan guru yang lebih progresif muncul sejak pemerintahan kolonial
Belanda. Hal ini terjadi karena ditopang oleh pembentukan organisasi-organisasi
guru yang memperjuangkan kesejahteraan untuk guru, terutama guru pribumi.
Selain itu, perjuangan yang dilakukannya adalah perjuangan untuk kemerdekaan.
Lain hal dengan gerakan guru masa pemerintahan kolonial Jepang. Pada masa ini
gerakan guru tidak muncul sama sekali. Hal ini karena Jepang tidak mengijinkan
rakyat Indonesia untuk membentuk organisasi politik, atau organisasi profesi,
kecuali organisasi tersebut mendukung pemerintahan kolonial. Akhirnya, pada sama
ini organisasi guru melebur dan menggabungkan dirinya dengan organisasi
bentukan pemerintahan Jepang. Setelah merdeka, pada masa Orde Lama gerakan
guru lebih banyak mendukung upaya mempertahankan kemerdekaan. Pada dekade
berikutnya, organisasi guru menjadi lebih banyak dipolitisasi oleh pemerintah dan
memihak kepentingan pemerintah. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan
menggambarkan dalam road map di bawah ini dan melakuka pendeskripsian pada
sub-bahasan selanjutnya.
Universitas Indonesia
44
Road Map
Sejarah Pergerakan Guru di Indonesia
Massa Kolonial dimulai dari
kedatangan Portugis. Didirikan 1536
sekolah pertama tahun 1536
Berdiri Perserikatan Guru Hindia
dengan misi penyebaran agama
Belnda (PGHB) yang dilatar-
Katolik Ordo Jesuit dan Dominikas.
1911 belakangi oleh kesenjangan upah
antara guru pribumi dengan non-
Kongres pertama PGHB yang pribumi.
menghasilkan asuransi jiwa nasio-
1912
nal pertama bernama O.L. Mij.
PGHB yang memperjuangkan ke- PGBH pecah dengan munculnya
sejahteraan guru berbagai organisasi guru yang
1919
berdasarkan pada latar belakang
PGHB kembali utuh dengan nama pendidikan, pangkat, dan status.
Persatuan Vakbonden Pegawai
1930
Negeri (PVPN) yang terlepas dari
pengaruh politik praktis. PGHB mengubah nama menjadi PGI
(Persatuan Guru Indonesia) karena
1933 diberlakukannya per-aturan baru
Jepang melarang organisasi guru tentang pekerja pegawai negeri.
dan melarang guru ikut campur
dalam urusan politik. Hal ini me-
1943
nyebabkan PGI kurang progresif
dan kemudian ber-gabung dengan Setelah Indonesia merdeka, lahirlah
PUTERA. PGRI (Persatuan Guru Republik
1945 Indonesia) yang mewadahi semua
organisasi guru yang sempat ter-
Awal berdirinya, PGRI berjuang
pecah-pecah.
membela hak-hak guru dan me-
ningkatkan kualitas pendidikan
1946
Indonesia, tidak bergerak dalam
politik praktis, dan bergerak di Arah perjuangan PGRI sedikit
tengah-tengah masyarakat. menyimpang di era Orde Baru. Guru
dijadikan komoditas politik ke-
1965 kuasaan. Petinggi PGRI diisi oleh
Pasca Orde Baru, ruang politik
para pejabat, bukan lagi dari
terbuka lebar bagi gerakan-gerakan
kalangan guru.
alternatif di Indonesia termasuk
1998
gerakan guru dan me-lahirkan
Federasi Guru Independen Indo- Pemerintah menetapkan Undang-
nesia (FGII). Undang No. 14 tahun 2005 tentang
2005 Guru dan Dosen yang mewajibkan
Federasi Serikat Guru Indonesia guru untuk ikut dalam organisasi
(FSGI) lahir sebagai organisasi profesi.
profesi guru dengan visi mewujud-
kan pendidikan yang berkualitas dan 2011
berkeadilan. FSGI aktif dalam
Universitas Indonesia
Ket.: Masa kolonial
mengkritisi pemerintah serta mem- Pasca Kemerdekaan
bela hak-hak guru. .: Pasca Orde Baru
45

4.2.1 Organisasi Guru dan Gerakan Guru Masa Kolonial Belanda

Dalam budaya Indonesia, makna guru mempunyai kedudukan yang tinggi


sekaligus di hormati. Bahkan, dalam tradisi masyarakat Jawa dikatakan bahwa guru
pada dasarnya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding raja dan orang
tua. Sebagai mana petuah masyarakat jawa tentang guru bahwa “guru, ratu, wong
tuo karo”. Artinya bahwa patuhilah pertama-tama gurumu, rajamu dan orang tuamu.
Penghargaan terhadap guru yang tinggi ini juga terjadi pada masa kolonial yang
memposisikan guru sebagai panutan dalam masyarakat. Seorang guru akan
dipanggil dengan sebutan ndoro guru dengan status ekonomi yang cukup tinggi.

Masa kolonial, gaji guru mencapai 40 gulden. Jumlah ini dikatakan luar
biasa karena masa kolonial seorang inlander cukup untuk hidup segobang atau 2.5
sen dalam sehari (Tilaar, 1995). Nagazumi (1989) mengatakan bahwa gaji guru
masa kolonial tidak kurang dari gaji seorang Wedana. Bahkan untuk guru yang
lulusan Kweekschool akan mendapatkan gaji yang besar dengan rentang 50 gulden
hingga 150 gulden dalam satu bulannya. Seorang guru juga berhak mendapatkan
tanda-tanda kehormatan seperti membawa payung, tombak, tikar dan kotak sirih
yang menurut ketentuan pemerintah. Bahkan dengan gaji guru yang seperti itu, guru
dapat menggaji empat orang pembantu untuk membawa lambang kehormatan
tersebut (Nasution, 1987). Walaupun dengan gaji yang besar, profesi guru bukanlah
suatu profesi yang diminati oleh para bangsawan. Guru hanya diminati oleh kelas
priyayi rendah, atau keturunan guru sendiri (Nagazumi, 1989).

Terkait masalah gaji guru pada masa kolonial dapat dikatakan besar, namun
tetap saja adanya perbedaan yang mencolok antara gaji guru pribumi dengan gaji
guru Eropa. Untuk guru sekolah desa, gaji permulaan yang diberikan pemerintah
sebesar 7.5 gulden per bulan, dan menetapkan penghasilan minimal guru 15 gulden
dan maksimal 20 gulden per bulan (Nagazumi, 1989; Depdikbud, 2008). Bagi guru
bantu sekolah kelas dua yang merupakan lulusan Kursus Guru Bantu mendapatkan
gaji sebesar 20-30 gulden per bulan. Lebih tinggi lagu bagu guru lulusan
Normaalschool yang melahirkan guru sekolah kelas dua mendapatkan gaji sekitar
30-45 gulden per bulan. Selanjutnya, guru yang lulusan Kweekschool yang biasanya
Universitas Indonesia
46

ditempatkan sebagai kepala sekolah kelas dua akan menerima gaji sekita 75-150
gulden per bulan. Berbeda pula dengan gaji guru yang lulusan Hogere Kweekshool
(HKS) atau Hollands Inlands Kweekschool (HIK) yang mendapatkan gaji sekita 70-
250 gulden per bulan. Pada kenyataannya, gaji pribumi yang lulusan Kweekshool
dibandingkan dengan gaji Eropa yang lulusan Kweekscool mengalami ketimpangan.
Seorang pribumi akan mendapatkan gaji paling minim atau 75 gulden, sedangkan
guru Eropa akan mendapatkan gaji di atas 100 gulden per bulannya (Gerke, 1987;
Depdikbud, 2008).

Adanya perbedaan gaji inilah yang mendorong bumiputera untuk mendirikan


organisasi guru yang bertujuan untuk memperjuangkan nasib dan hak-hak guru.
Dwidjosewojo3 adalah salah satu aktor penggerak yang mendirikan Perserikatan
Guru Hindia Belanda (PGHB) pada akhir tahun 1911 (Sutamto, 1992). PGHB ini
beranggotakan guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan penilik sekolah yang
mendapatkan badan hukum dari Pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Desember
1911. Pada kongres pertama di Magelang tanggal 12 Februari 1912 dibentuklah
kepengurusan besar PGHB dengan ketua umum Mas Karto Hadi Soebroto dan
Sekretaris Umum adalah Mas Ngabehi Dwidjosewojo (Sutamto, 1992). Pada
kongres inilah Dwidjosewojo menyampaikan ide tentang perusahaan asuransi jiwa
nasional sebagai upaya membantu menyejahterakan guru. Idenya diterima oleh para
audien, dan terbentuklah asuransi jiwa nasional pertama dengan nama Onderlinge
Levensverzekering Maatschappij P.G.H.B., disingkat O.L. Mij. PGHB yang
kemudian hari menjadi Asuransi Jiwa Bumipoetra (AJB Bumipoetra) 1912.
Perusahaan asuransi jiwa inilah yang kemudian membantu guru dan para anggota
PGHB dalam memperjuangkan nasibnya, walaupun berbeda latar belakang pangkat
atau pendidikan.

Dalam perjalanannya, pada tahun 1919 PGHB pecah dengan bermunculan


organisasi-organisasi guru berdasarkan latar belakang pendidikan, pangkat dan

3
Dwidjosewojo merupakan seorang guru lulusan Kweekschool Probolinggo tahun 1886. Ia memulai
karirnya sebagai guru bantu Sekolah Dasar di Kota Ngawi. Kemudian tahun 1887 ia diangkat menjadi
guru Kelas Satu di kota Ponorogo. Kemudian pada maret 1891 ia dimutasikan ke Yogyakarta. Ia juga
pernah menjabat sebagai sekretaris pengurus besar Budi Utomo.

Universitas Indonesia
47

status yang berbeda. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi sosial politik yang
semakin mempersulit guru untuk bersatu. Organisasi PGHB terpecah menjadi
Kweekschool Bond (KSB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Perkumpulan
Normaalschool (PNS), School Opziener’s Bond (SOB), Vaak Onderwijszer’s Bond
(VOB), Perserikatan Guru Ambacht School (PGAS), Hogere Kweekschool Bond
(HKSB), Nederlands Indische Onderwijzers Genootschap (NIOG), Christelijke
Onderwijzer’s Vereeniging (COV), Onderwijzer’s Vak Organisatie (OVO),
Katholieke Onderwijzer’s Bond (KOB), dan Chineesche Onderwijzer’s Bond (COB)
(Supeno, 1995). Perpecahan ini pada akhirnya memberikan dampak buruk terhadap
guru dan martabat guru itu sendiri.

Tidak berhenti sampai disini, PGHB pada tahun 1930-an kemudian


menggabungkan dirinya dengan Persatuan Vakbonden Pegawan Negeri (PVPN)
sebagai usaha untuk terus memperjuangkan nasib para guru yang masih menjadi
anggotanya. PVPN merupakan organisasi pegawai negeri yang terlepas dari
pengaruh politik praktis dan partai-partai politik. Ia pun tidak mempunyai tujuan
politik. Namun dengan bergabungnya PGHB dengan PVPN menjadikan organisais
ini lebih progresif. Hal ini terlihat dari gerakan organisasi ini pada Desember 1931
yang mengadakan rapat bersama Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatera, Kaum
Betawi, dan Jong Celebes untuk memprotes rancangan pemerintah yang hendak
mengadakan penghematan besar-besaran di lapangan pengajaran. Dampak dari
kebijakan ini akan berakibat pada guru, bisa jadi guru kehilangan pekerjaan, ataupun
menghambat kemajuan rakyat (Pringgodigdo, 1984).

Pada tahun 1933 diberlakukan peraturan baru tentang sarekat pekerja


pegawai negeri yang menyababkan PGHB mengubah nama menjadi Persatuan Guru
Indonesia (PGI). Pada kongres PGI yang ke-23 di Surabaya tanggal 2-6 Januari
1934, PGI membicarakan tentang kedudukan para guru yang berhubungan dengan
krisis dan penghematan gaji pegawai negeri. Namun sikap PGI dalam menentang
pemerintah yang dinilai kurang memperhatikan nasib guru guru bantu, yang
akhirnya PGB (Persatuan Guru Bantu) mengundurkan diri dari PGI pada juli 1934.
Menurut PGB, sikap PGI kurang memperhatikan dan memperjuangkan nasib guru

Universitas Indonesia
48

bantu terkait dengan peratuan pemerintah kolonial yang sangat menjatuhkan


kedudukan dan gaji guru bantu (Pringgodigdo, 1984).

Dalam kongres berikutnya, kongres PGI ke 25 menentang pemerintah dalam


memindahkan urusan pembelajaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Hal
ini ditentang karena dikhawatirkan berakibat pada mundurnya kualitas pembelajaran
dan pengajaran. Selanjutnya, ongres PGI ke 26 menghasilkan perumusan wajib
belajar. Selanjutnya kongres PGI ke 27 di Malang menghasilkan tuntutan kepada
pemerintah untuk perbaikan gaji guru. Selain itu juga melakukan tuntutan untuk
pendidikan dan pengajaran diserahkan kepada pemerintah daerah dengan syarat
keuangan daerah harus diperbaiki terlebih dahulu. Disini, terlihat bahwa organisasi
guru pada masa pemerintah kolonial Belanda yang lebih kooperatif terhadap
pemerintah.

4.2.2 Organisasi Guru dan Gerakan Guru Masa Kolonial Jepang

Setelah masa pendudukan Belanda di Indonesia, sejarah gerakan guru


memasuki babak baru yakni masa penjajahan Jepang. Jepang masuk ke Indonesia
tidak terlepas dari beberapa kejadian. Pertama, Jepang telah berhasil
menghancurkan pengkalan Angkatan Laut Amerika Serika di Hawaii tanggal 7
Desember 1941. Kedua, negeri-negeri induk kolonial (Inggris, Perancis, dan
Belanda) sedang menghadapi peperangan di Eropa melawan Jerman. Ketiga,
Jepang yang mampu menarik simpati rakyat dengan gerakan 3A. Bahkan tentara
Jepang disambut dengan suka cita karena jepang dianggap sebagai “saudara tua”
yang akan membebaskan bangsa Asia dari penjajahan negara Barat. Dengan alasan
ini semua, Jepang secara resmi menguasai dan menduduki Indonesia sejak tanggal
8 Maret 1942 ketika Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati.
Kejadian inilah yang membawa Indonesia babak penjajahan Jepang, dan gerakan
guru pun mengalami babak baru juga.

Setelah Jepang mulai berkuasa, terdapat dua kebijakan penting yang


mengubah sistem pendidikan di Indonesia dan berdampak pada gerakan guru.
Pertama, Jepang ingin menghapuskan segala bentuk pengaruh dari Barat. Ia ingin
mensterilkan Indonesia dari pengaruh-pengaruh Barat, mulai dari melarang bahasa

Universitas Indonesia
49

Belanda hingga mengubah nama-nama kota yang berbau Belanda menjadi lebih
“Indonesia”. Misalnya pengubahan nama “Batavia” menjadi “Jakarta” (Tilaar,
1998). Kedua, kebijakan yang diterapkan Jepang adalah memobilisasi segala
kekuatan untuk mencapai kemenangan perang Asia Timur Raya. Dampak dari
kebijakan ini terhadap pendidikan adalah sistem pendidikan diarahkan kepada
pendidikan militer yang dipersiapkan untuk membantu Jepang dalam perang.
Dengan kata lain, kebijakan ini mengarahkan pendidikan sebagai alat kepentingan
perang Jepang (Makmur, 1993).

Inti dari pendidikan di masa Jepang dapat dikatakan hampir mirip dengan
pendidikan pada masa Belanda. Jika pada masa Belanda sistem pendidikan yang
diajarkan adalah budaya Barat, sedangkan pada masa Jepang yang diajarkan adalah
budaya Jepang. Bedanya, kolonial Belanda menciptakan kasta dalam pendidikan,
sedangkan Jepang melakukan doktinasi ideologi Hakko Ichiu4. Di sini, setiap pagi
siswa harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang yaitu Kimigayo. Upacara pagi
dengan pengibaran benderan Jepang dan membungkukkan badan arah matahari
terbit sebagai tanda penghormatan terhadap kaisar Jepang. Selain itu, juga diadakan
sumpah setia sebagai upaya pemeliharaan semangat untuk mencapai perang suci
demi kemakmuran Asia Raya (Makmur, 1993).

Dalam rangka memperlancar indoktrinasi Hakko Ichiu tersebut, maka


pemerintah Jepang pelatihan-pelatihan terhadap guru di Jakarta. Prosesnya, setiap
daerah harus mengirimkan beberapa orang guru untuk dilatih selama tiga bulan.
Setelah selesai mengadakan pelatihan, maka guru tersebut harus melatih guru-guru
yang ada di daerah tempat mereka mengajar. Ada beberapa poin yang diajarkan
dalam pelatihan guru tersebut antara lain, (1) dokrtinasi ideologi Hakko Ichiu, (2)
latihan militer, (3) bahasa, sejarah dan kebudayaan jepang, (4) Ilmu bumi yang
ditinjau dari segi geo politik, (5) olahraga, lagu-lagu dan nyanyian Jepang
(Mestoko, 1990).

4
Hakko Ichiu merupakan landasan idiil pendidikan pada zaman pendudukan Jepang dengan mengajak
bangsa Indonesia berkerja sama dengan Jepang dalam rangka “mencapai kemakmuran bersama Asia
Raya”.

Universitas Indonesia
50

Pada masa pendudukan Jepang, seolah-olah pendidikan formal berkembang


pesat. Pemerintah Jepang pun menerapkan kebijakan pendidikan dengan
pendidikan untuk kebutuhan perang, perubahan sistem pendidikan yang merakyat,
dan perubahan kurikulum yang mengarah pada budaya Jepang. Dengan adanya
perubahan-perubahan sistem pendidikan masa Jepang, maka berdampak terhadap
penurunan jumlah guru, sekolah dan siswa. Hal ini akibat pemerintah kolonial
Belanda tidak mempersiapkan guru bumiputera untuk sekolah menengah, apalagi
sekolah menengah atas. Selain itu, kesulitan yang terjadi adalah mengenai buku-
buku pembelajaran. Buku pembelajaran yang berbahasa Belanda telah dilarang oleh
pemerintah Jepang, sedangkan buku yang diberikan pemerintah Jepang adalah buku
berbahasa Jepang. Pada sisi lain, pada guru mempunyai keterbatasan dalam
penggunaan bahasa Jepang, apalagi bahasa Jepang yang ilmiah (Makmur, 1990).

Untuk menyiasati kelemahan ini, pemerintah Jepang membentuk sekolah


guru sebagai persiapan guru untuk mengajar. Adapun sekolah guru yang dibentuk
pemerintah Jepang antara lain: Sekolah Guru (SG) 2 tahun, Sekolah Guru
Menengah (SGM) 4 tahun, dan Sekolah Guru Tinggi (SGT) 6 tahun. Untuk para
guru yang telah tamat Sekolah Guru (SG) dan mengajar di sekolah dengan
ketentuan pemerintah Jepang, akan diberikan gaji sebesar Rp. 16 – Rp. 38 per bulan
(Makmur, 1990). Dengan gaji sebesar ini sudah dapat dikatakan sejahtera bagi guru
yang mengajar di sekolah rakyat. Bagi Jepang sendiri, makna guru sangat penting
dalam penjajahannya. Mereka memposisikan guru sebagai orang yang sangat
dihormati. Sang guru mendapat kehormatan dengan julukan Sensei. Maka tidak
heran jika kedudukan guru masa Jepang lebih terpandang secara jabatan ketimbang
moral (Tilaar, 1998).

Lantas, bagaimana dengan organisasi guru pada masa Jepang jika guru telah
mendapatkan kesejahteraan dan kehormatan secara moral? Apakah yang mereka
perjuangkan? Memang pada kenyataannya pada pemerintahan Jepang gerakan guru
dapat dikatakan kurang progresif. Ada beberapa alasan, pertama, pemerintah
Jepang melarang segala bentuk pergerakan politik di Indonesia. Jika ada,
pergerakan tersebut harus ditujukan pada usaha pemenangan perang Jepang. Kedua,
alasan kesejahteraan sebagai basis perjuangan guru sejak masa kolonial Belanda

Universitas Indonesia
51

telah tercapai pada masa Jepang. Seperti peneliti katakan sebelumya bahwa
kesejahteraan guru, baik secara ekonomi dan moral telah tercapai pada masa
Jepang. Dua hal inilah yang menyebabkan gerakan guru dikatakan kurang progresif
pada masa pendudukan Jepang.

Meskipun gerakan guru kurang progresif, PGI yang terbentuk sejah


pemerintahan kolonial Belanda menyatakan siap bergabung dengan organisasi
bentukan Jepang. PGI dengan anggota 15.000 orang bergabung dalam organisasi
PUTERA5 (Pusat Tenaga Rakyat). Pada akhirnya Jepang menyadari bahwa Putera
lebih banyak bermanfaat untuk rakyat Indonesia ketimbang pemerintahan Jepang.
Untuk menyiasati ini, pemerintah Jepang kemudian mendirikan organisasi Jawa
Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Organisasi ini beranggotakan bangsa
Indonesia dan bangsa Jepang yang minimal usia 14 tahun, pegawai negeri, atau
anggota organisasi profesi. Sebagai organisasi sentral, organisasi guru tergabung
dalam wadah Kyoiku Hokokai (Kebaktian Para Pendidik). Tujuan Jepang
mendirikan organisasi ini tidak lain adalah membantu Jepang dalam memenangkan
perang Asia Timur Raya. Dengan kata lain, gerakan guru dan organisasi guru pada
masa pemerintahan Jepang tidak progresif karena adanya pelarangan organisasi
politik oleh Jepang, dan segala bentuk organisasi politik yang dibentuk Jepang
dikerahkan untuk kepentingan perang bagi Jepang.

4.2.3 Organisasi Guru dan Gerakan Guru Masa Pasca-Kemerdekaan

Pemboman atom pada kota Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 agustus
dan 9 agustus 1945 oleh angkatan militer Amerika Serikat adalah penanda
melemahnya Jepang. selain itu, peristiwa ini pun menandakan melemahnya
pemerintahan Jepang di Indonesia yang pada akhirnya Jepang menyerah tanpa
syarat kepada sekutu tanggal 14 Austus 1945. Peristiwa bom atom ini pun
memberikan peluang kepada rakyat Indonesia atas perjuangan kemerdekaan. Hingga

5
PUTERA merupakan organisasi rakyat Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Maret 1943 dengan
dipimpin oleh Soekarno. Tujuannya adalah utnuk membangun dan menghidupkan semangat dan jiwa
bangsa Asia yang telah dihancurkan oleh kolonialisme Belanda. Bagi Jepang sendiri, organisasi ini
bertujuan untuk memusatkan tenaga rakyat supaya mau membantu jepang dalam perang Asia Timur
Raya (Poesponegoro & Notosusanto, 2000).

Universitas Indonesia
52

pada puncaknya, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan tanggal 17 agustus 1945.


Meskipun proklamir kemerdekaan telah diucapkan, tidak serta merta kemerdekaan
berjalan mulus. Pihak Sekutu masih menginginkan untuk kembali menjajah
Indonesia. Oleh sebab itu, perjuangan rakyat berlanjut pada perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Semangat kemerdekaan ini pun menjadi modal utama dalam gerakan guru
untuk pendidikan Indonesia. Para guru menyadari bahwa semangat kemerdekaan ini
menjadi dasar dalam memperjuangkan pendidikan Indonesia dan menciptakan
organisasi guru yang benar-benar bertujuan untuk kemaslahatan pendidikan.
Motivasi ini pula yang menjadi embrio organisasi guru sebagai penerus cita-cita
kemerdekaan. Memang pada masa kolonial Jepang segala bentuk organisasi profesi
dilarang, dan diperbolehkan asalkan mendukung Jepang untuk perang. Kondisi
inipun membuat kebuntuan dalam gerakan guru. Namun setelah kemerdekaan
diproklamirkan, pemerintahan Jepang telah angkat kaki dari bumi pertiwi, dan
semangat mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang ingin menguasai
Indonesia kembali, motivasi untuk menghadirkan kembali organisasi guru semakin
besar.

Tepatnya 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan, dengan semangat dan


cita-cita yang sama dari para guru, maka diadakan kongres guru di di Surakarta pada
tanggal 24-25 November 1945. Kongres yang dipimpin oleh para tokoh pendidik,
seperti Amin Singgih, Rh. Koesnan, dan kawan-kawan melahirkan Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI). Walaupun pada masa pemerintahan Belanda organisasi
guru sempat terpecah-pecah berdasarkan tingkatan mengajar, dan pada masa
pendudukan Jepang organisasi guru mengalami kemandulan, maka pada masa ini
semua organisasi guru bersatu untuk melebur dalam wadah PGRI. Mereka sepakat
untuk menciptakan pendidikan Indonesia menjadi lebih baik sebagaimana yang
diamanatkan oleh Undang-Undang dan memperkuat berdirinya Republik Indonesia
(Hadiatmadja, 2000).

Telah banyak jasa perjuangan PGRI pasca kemerdekaan, tidak hanya sebatas
mendidik dan mencerdaskan bangsa Indonesia, tetapi juga ikut dalam perjuangan
fisik melawan upaya penjajahan kembali dari bangsa Belanda. Peran utama PGRI
Universitas Indonesia
53

dalam mempelopori perubahan sistem pendidikan kolonial menuju sistem


pendidikan nasional. Hadiatmadja (2000) mengatakan bahwa PGRI merupakan
organisasi profesi guru yang lahir dan dilahirkan atas misi dan hikmah proklamasi
kemerdekaan 17 agustus 1945.

Pada awal berdirinya PGRI, tiga hal yang menjadi semangat perjuangannya
adalah mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia, mempertinggi
tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, dan
membela hak-hak guru. Atas dasar inilah kongres kedua PGRI di Surakarta tanggal
21-23 November 1946 menuntut pemerintah untuk membentuk sistem pendidikan
atas dasar kepentingan nasional, gaji guru tidak dihentikan dan adanya Undang-
Undang Pokok Pendidikan dan Undan-Undang Pokok Perburuhan. Kemudian, pada
kongres PGRI yang ketiga di Jawa Timur tanggal 27-29 Februari 1948 yang
berlangsung dengan keadaan darurat. Keputusan penting dalam kongres ini antara
lain: menghapuskan Sekola Guru C (SG C) yang berlangsung 2 tahun, memekarkan
cabang-cabang, membentuk komisariat daerah, dan menerbitkan majalah guru
sebagai pusat komunikasi pimpinan pusat dengan daerah. Pada kongres ketiga ini
pula menegaskan kembali haluan dan perjuangan PGRI dengan mempertahankan
NKRI, meningkatkan pendidikan dan pengajaran Pancasila, tidak bergerak dalam
politik praktis atau tergabung dalam partai politik, dan bergerak di tengah-tengah
masyarakat (Kosasih, 2016).

Arah lanjutan perjuangan PGRI sedikit menyimpang ketika memasuki era


pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini guru dijadikan sebagai komoditas politik
kekuasaan. Guru yang masuk dalam anggota Korps Pegawai Republik Indonesia
(Korpri), diminta dan digiring untuk menjadi juru kampanye partai Golkar. Guru
yang bagus dalam komunikasi politik, pintar berbicara, mampu menggaet suara,
maka akan menjadi juru kampanye dan nantinya akan mendapatkan posisi sebagai
anggota DPR atau DPRD. Pada masa ini dikatakan bahwa semua organisasi profesi
bersandar pada kekuasaan supaya eksistensinya diakui dan mendapatkan legitimasi.
Namun kenyataanya adalah oknum ini hanya mendapatkan legitimasi semu, artinya
organisasi pengurus bukan berasal dari internal mereka sendiri. Misalnya PGRI ini

Universitas Indonesia
54

diketuai bukan berasal dari kalangan guru, tetapi kalangan elit politik atau instansi
pemerintah.

Pasca orde baru, ruang politik terbuka lebar bagi gerakan-gerakan alternatif
di Indonesia, termasuk gerakan guru. Pada kalangan guru, loyalitas tunggal terhadap
PGRI tidak terjadi lagi. Organisasi-organisasi guru bermunculan, seperti Federasi
Guru Independen Indonesia (FGII) yang berlangsung sejak tahun 1998. Di lain
pihak, PGRI sendiripun memperbaiki dan mereposisikan dirinya kembali sebagai
organisasi yang kritis terhadap pemerintah, tetapi tetap menyatakan sebagai partner
kerja pemerintah. Disini, PGRI menunjukkan keseriusannya sebagai partner kerja
pemerintah dengan hasilnya UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005. UU ini dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan. Kualitas pendidikan
ditandai dengan peningkatan kompetensi yang dimiliki oleh guru, sedangkan
kuantitas pendidikan sebagai dasar bertambahnya jumlah peserta didik. Pada
prosesnya ini pula, pasca orde baru dengan munculnya UU Guru dan Dosen yang
menyebabkan gerakan guru semakin masif dan terspesialisasi masing-masing.
Hingga saat ini, telah tercatat lebih dari 100 organisasi guru yang berkembang
setelah reformasi (Farisi, 2013). Tidak terkecuali, organisasi FSGI pun hadir karena
konteks sosial politik yang sama.

4.3 Eksistensi FSGI Sejak Berdiri Hingga Sekarang


Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merupakan organisasi guru yang
didirikan pada tanggal 23 Januari 2011. Organisasi guru ini mempunyai tujuan
untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Dengan visinya
yang cenderung kritis ini, maka tidak mengherankan apabila FSGI sangat kritis
terhadap permasalahan pendidikan, terutama terkait profesionalisme dan keadilan
dalam pendidikan. Hampir setiap isu dan masalah pendidikan menjadi bahan
kritikan dari FSGI. Sebelum berbicara lebih jauh lagi, peneliti akan menjelaskan
tentang sejarah berdirinya FSGI, sistem organisasi FSGI yang berbentuk federal dan
sepak terjangnya dalam mengkritisasi permasalasalahan pendidikan di Indonesia.

Universitas Indonesia
55

4.3.1 Sejarah Berdirinya FSGI

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa FSGI merupakan


organisasi guru level nasional yang didirikan pada tanggal 23 januari 2011.
Pendirian organisasi ini bermula dari pertemuan organisasi-organisasi guru daerah
di Hotel Bumi Wiyata Depok. Organisasi guru yang hadir dalam pertemuan ini
adalah Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), Serikat Guru Indonesia Medan
(SeGI Medan), Serikat Guru Tangerang (SGT), Serikat Guru Kota Tangerang
(SIGAT), Serikat Guru Serang (Sigat), Serikat Guru Serang (SGS), Serikat Guru
Lebak (Segel), Forum Diskusi Guru Pandeglang (FDGP), Serikat Jawa Barat,
Serikat Guru Madura, Serikat Guru Bima, Serikat Guru Sulawesi Selatan dan
Aliansi Perjuangan Guru Purwakarta (APG). Dari banyaknya organsasi guru daerah
yang hadir, kemudian mereka sepakat untuk membuat sebuah organisasi guru yang
anggotanya adalah organisasi-organisasi guru tingkat daerah. Hal ini sesuai dengan
penuturan HP selaku sekretaris jendral FSGI 2016-2021 bahwa

Setelah kami menyampaikan seperti itu, organisasi-organisasi guru daerah,


kemudian bersama ICW ikut membantu untuk mendirikan serikat guru ini.
Kemudian serikat guru tangerang, serikat guru lebak, serikat guru medan, serikat
guru kota medan, serikat jawa barat, serikat guru madura, serikat guru bima,
serikat guru sulawesi selatan. Kemudian serikat-serikat guru itulah yang
kemudian berhimpun di bawah federasi serikat guru yang kami beri nama
Federasi Serikat Guru Indonesia. Artinya bahwa Federasi Serikat Guru
Indonesia ini adalah kumpulan dari serikat-serikat guru (wawancara dengan HP,
18 Maret 2019).

Pertemuan tersebut diadakan pada tanggal 21 -23 Januari 2011. Para guru
yang hadir disana dengan idealisme yang sama sepakat untuk mendirikan sebuah
organisasi bernama Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Hadirnya organisasi
guru ini tidak terlepas dari peran Indonesian Corruption Watch (ICW) sebagai
lembaga anti korupsi yang bermarkas di Kalibata. Pada masa itu koordinator dari
ICW adalah Danang Widoyoko dan Ade Irawan sebagai Koordinator Monitoring
Kebijakan Publik. Ade Irawan ini dikenal pula sebagai aktivis Koalisi Pendidikan.
Pada kelanjutannya, ICW memainkan peran yang signifikan dalam gerakan FSGI.
Universitas Indonesia
56

Pertama, ICW membantu FSGI dalam hal kesekretariatan. Dalam awal-awal


berdirinya, ICW mengizinkan FSGI untuk memakai salah satu ruang kantor ICW
sebagai sekretriat FSGI. Selain itu, kantor ICW sering dijadikan tempat konferensi
pers dan diskusi FSGI dalam melakukan kritik sosialnya. Di masa itu pula ICW
turut mendampingi FSGI dalam gerakan sosial, terutama dalam memberikan
pendampingan pelatihan untuk pengeloaan dana sekolah yang tidak sarat korupsi.

Dalam pertemuan ini juga dihadiri oleh sederet nama aktivis pendidikan lain
seperti Lodewijk F. Paat bersama saudaranya Jimmy Paat, Bambang Wisudo dari
Sekolah Tanpa Batas, dan Arif Faisal dari Lembaga Bantuan Hukum Sahdar
Medan. Selain itu, diundang pula narasumber dari Kementrian Pendidikan, yaitu
Fasli Jajal, aktivis anti Korupsi Teten Masduki, serta pakar pendidikan Winarno
Surachmad.

Berawal dari organisasi lokal yang didirikan para guru, seperti Forum
Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), turut hadir pula serikat guru dari berbagai
daerah, seperti Tangerang, Lebak, Medan, Jawa Barat, Madura, Bima, dan Sulawesi
Selatan. Serikat guru lokal ini kemudian merangkul LBH Jakarta, ICW, dan Koalisi
pendidikan dalam memperjuangkan pendidikan, seperti penuturan dari SS,
Wasekjen FSGI 2019:

FSGI itu kan perkumpulan serikat-serikat guru di Indonesia, salah satunya


FMGJ (Forum Musyawarah Guru Jakarta) Ketuanya Mba Retno, sebelum
FSGI ada, saya jadi wakil sekertaris ketika itu. Hanya beberapa bulan, saya lalu
fokus S2. FMGJ itu bersama serikat guru lain bersama aktivis/pengamat
pendidikan mereka berinisiasi mendirikan FSGI. (wawancara dengan SS, 9
November 2018).

Pada tanggal 23 Januari 2011, para guru yang tergabung dari berbagai
organisasi daerah itu memutuskan untuk mendirikan organisasi tingkat nasional
yang kemudian diumumkan melalui konferensi pers di kantor ICW Kalibata
mengenai berdirinya organisasi guru yang diberi nama Federasi Serikat Guru
Indonesia (FSGI).

Universitas Indonesia
57

Organisasi-organisasi guru daerah yang hadir dalam rapat pembentukan


FSGI karena mempunyai ide dan visi yang sama. Mereka mempunyai visi untuk
mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Bagi mereka, makna
pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan ini. Kualitas pendidikan dengan
ditopang oleh profesionalisme guru, kualitas sarana dan prasarana, kualitas
pelayanan pendidikan, dan kualitas penganggaran. Begitu pula dengan keadilan
dalam pendidikan, tidak ada diskriminasi dalam pendidikan, pembangunan
pendidikan yang merata, adil dalam masalah kesejahteraan guru, dan adil terhadap
siswa. Ketika kualitas dan keadilan dalam pendidikan itu tercapai, maka apa yang
dicita-citakan dalam oleh pendidikan Indonesia akan terwujud. HP menyampaikan
bahwa:

.......melihat kondisi yang seperti itu kami organisasi guru yang se-Indonesia
ini harus menyuarakan keadilan. Kemudian kualitas dalam pendidikan,
kualitas dalam pendidikan ini sangat luas sekali, mulai dari kualitas
penghasilan, kualitas untuk sarana, kualitas untuk guru, kualitas untuk
anggaran, dan lain sebagainya. Termasuk kualitas pelayanan. Kemudian
keadilan, keadilan dalam pendidikan kan juga luas, maka FSGI pada
dasarnya mempunyai ranah pekerjaan yang sangat luas.... (wawancara
dengan HP, 18 Maret 2019)

Senada dengan yang disampaikan oleh SS bahwa memang kualitas dan


keadilan pendidikan menjadi landasan filosofis dalam gerakan FSGI. Ia
menegaskan bahwa dalam forum-forum diskusi yang dilakukan oleh FSGI selalu
didengungkan visi untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan
berkeadilan. Menurut pandangan FSGI bahwa semua orang berhak mendapatkan
pendidikan yang layak, misalnya dengang menolak RSBI karena hanya untuk orang
kaya, atau mengkritisi UN yang hanya memotret pendidikan secara parsial dan
membebankan hak-hak siswa dan guru. Yang pada intinya, landasan berpijak dalam
gerakan FSGI adalah keadilan dalam pendidikan.

Ide tentang keadilan dalam pendidikan ini tidak serta merta lahir dari FSGI,
tetapi melalui proses konsolidasi ide oleh organisasi-organisasi guru daerah.
Adanya kesamaan nasib akan diskrimitasif dan tekanan dari pemerintah daerah
Universitas Indonesia
58

yang mendorong organisasi-organisasi daerah untuk bersatu untuk menyuarakan


keadilan dalam pendidikan. Misalnya organisasi FMGJ yang sejak tahun 2010 telah
mengkritisi dan menentang kebijakan dinas pendidikan yang diskriminatif terhadap
Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) Guru. FMGJ kemudian menggandeng LBH
Jakarta, ICW dan Koalisi Pendidikan dalam upaya mengadvokasi dalam
mengkritisi SK Gubernur tentang TKD. Ternyata perjuangan ini tidak berjalan
dengan mulus, hingga para guru mendapatkan teror, tekanan, ancaman, dan lain
sebagainya. HP menuturkan bahwa dalam perjuangan tersebut para guru yang
tergabung dalam FMGJ mendapatkan teror melalui pesan singkat, sampai pada
pemanggilan ke Dinas Pendidikan dan diancam untuk tidak direkomendasikan
kenaikan pangkat, atau diancam akan dibuang ke Kepulauan Seribu.

Tidak hanya FMGJ, organisasi guru FDGP sebagai organisasi guru lokal
yang bergerak di wilayah Pandeglang juga merasakan hal yang sama dengan
FMGJ. FGDP dicurigai sebagai organisasi guru yang akan merongrong organisasi
guru yang sudah ada, sehingga FGDP diminta untuk pertobatan. Bahkan organisasi
ini didesak untuk dibubarkan. Hal yang sama pula dirasakan oleh SGT, yakni
ancaman dan teror terhadap anggota. Akhirnya, jumlah anggotanya yang hampir
seribuan orang menjadi berkurang hingga puluhan orang saja. Wildan Candra
selaku ketua SGT menceritakan bahwa pada tahun 2007 anggota SGT sangat
banyak, saat-saat diskusi pun diramaikan oleh anggota, ruangan diskusi pun
menjadi sesak. Namun akibat adanya teror dan lain sebagainya, anggota SGT
menjadi berkurang hingga menyatakan untuk bergabung dengan FSGI.

Hampir senasib pula dengan yang dialami oleh SGI Bima. SGI Bima yang
bergabung sekitar tahun 2013 merasakan hal yang sama. Hal ini sesuai dengan
penuturan EI sebagai ketua dan terlibat dari pendirian SGI Bima bahwa:

Jadi memang pada awalnya SGI Bima ini penuh dengan dinamika, banyak
kelompok-kelompok, Bupati-bupatinya, PGRI sendiri, menolak hadirnya
SGI pada waktu itu, tapi untungnya teman-teman kita ini punya niat yang
baik terhadap pendidikan ini, sesuai dengan visi misi FSGI itu....
(wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).

Universitas Indonesia
59

Terkait dengan kritisnya FSGI terhadap permasalahan pendidikan, hal ini


juga disampaikan oleh wartawan yang fokus terhadap pendidikan yang biasa
dipanggil Pak Haji UB. Menurutnya, FSGI merupakan organisasi yang paling
proaktif dalam menanggapi isu-isu pendidikan. Ketika ada sedikit masalah
ketidakadilan dalam pendidikan, maka FSGI langsung bersuara. UB mengatakan
bahwa:

.....FSGI termasuk organisasi guru yang responsif ya, ada kasus-kasus isu
pendidikan dia langsung buat rilis, dan itu buat wartawan bagus juga, kita ga
perlu sibuk-sibuk juga. Selama rilis itu pas, kita bisa menambahkan isu-isu
pendidikan tentang UN, masalah guru, maslah anak, FSGI kan termasuk
yang aktif ya, kita apresiasi juga terhadap mereka walaupun kadang-kadang
kebanyakan rilisnya, rilis melulu, tapi tidak apa-apa.... (wawancara dengan
UB, 11 April 2019).

Walaupun FSGI dinilai sangat responsif terkait isu pendidikan, tetapi


mereka punya cara sendiri dalam merespon. Mereka tetap memfilter apa yang
direspon. Ketika sudah ada isu yang telah direspon, mereka tidak ingin merespon
itu untuk kedua kalinya. Misalnya pada bulan Januari terjadi kekerasan guru di
sekolah. Untuk pertama kali tentu isu ini direspon oleh FSGI dan mereka langsung
bersikap tegas dan mengadvokasi untuk persoalan ini. Namun ketika hal yang
serupa terjadi lagi misalnya di bulan Mei atau Juni, dengan rentang waktu yang
tidak tertalu lama, maka mereka tidak akan merespon seperti respon yang pertama.
Mereka akan berhati-hati jika nanti dikatakan “centil” atau “mencari panggung”.
Padahal menurutnya, mereka telah mempunyai panggung sejak lama. Namun tetap,
mereka akan memperjuangkan keadilan dalam pendidikan, walaupun selektif dalam
hal respon terhadap isu pendidikan, terutama isu pendidikan yang kontinuistik. Hal
ini sesuai dengan penuturan SS bahwa:

cuman saya pribadi, tidak bisa meniru Mba Retno ya, zaman Mba Retno itu
semua isu-isu pendidikan pasti diekspose cepat, kalau saya agak selektif
gitu. Misalnya kekerasan guru kan sering tuh. Gagasan kita kan sudah
pernah muncul, tapi kejadiannya masih berulang. Terakhir Al-azhar yang
dikatai oleh muridnya. Seandainya FSGI yang dulu itu pasti merespon.
Universitas Indonesia
60

Kalau saya justru tidak, karena sudah yang kemarin. Artinya lagi setiap isu
yang sifatnya kontinuistik kami respon. Karena saya khawatir juga nanti
dianggap centil atau apa gitu kan. Karena responnya pasti sama, kan
kekerasan guru bukan sekarang aja.... (wawancara dengan SS, 9 November
2018).

4.3.2 Sistem Organisasi FSGI

Penggunaan kata Federasi dalam FSGI dimaksudkan untuk menunjukkan


bahwa organisasi ini tergabung dari beberapa organisasi lokal yang mempunyai
otonomi sendiri. Keanggotaan Federasi ini bersifat serikat, artinya bukan secara
individu atau perorangan, tetapi anggotanya berasal dari serikat-serikat guru yang
ada di berbagai daerah. Individu yang ingin bergabung dengan FSGI, harus
bergabung atau membuat organisasi serikat guru tingkat lokal yang berbadan
hukum terlebih dahulu. Hal ini dijabarkan oleh SS berikut ini:

....Anggaplah seperti ini, dia dua orang guru di Jombang, ingin bergabung ke
FSGI ya ga bisa. Kaya PGRI kan tinggal isi formuir kemudin gabung. Ga bisa.
Dia harus menggabungkan diri dia ke serikat guru dulu yang sudah establish
dan berbadan hukum di daerahnya. Misalnya ada serikat guru Jombang ya
gabung dengan serikat guru Jombang, otomatis dia anggota FSGI. Nah, dia
bilang di daerah saya belum ada pak, serikat guru Jombang, ya buatlah, tapi
mereka baru berdua. Buat ADRT segala macam, harus diakui lah kan harus
berbadan hukum dan notaris (wawancara dengan SS, 9 November 2018).

Organisasi guru lokal yang bergabung dengan FSGI memiliki hak otonom
dalam menjalankan organisasi tersebut. Mereka tidak diatur oleh FSGI pusat dalam
pelaksanaan baik sistem organisasi maupun program kerja atau kegiatan-kegiatan
yang dilakukan. Hubungan dengan FSGI pusat hanya dalam bentuk diskusi yang
dilakukan melalui group chatting media sosial dan pertemuan nasional yang
diadakan satu tahun atau dua tahun sekali.

Pertemuan rutinitas itu karena anggota kami karena serikat guru daerah,
mereka serikat daerah itu mengadakan pertemuan masing-masing. Dalam
pertemuan itu dalam mengangkat isu apa dan sebagainya kemudian kami
Universitas Indonesia
61

diskusi grup WA. Tetapi pertemuan rutin secara nasional itu kami lakukan
setiap tahun. (wawancara dengan HP, 18 Maret 2019).

Organisasi guru daerah yang terdaftar sebagai anggota FSGI disebut „SEGI‟
dengan Presidium sebagai pemimpinnya. Terdapat keberagaman fokus yang
terbentuk di dalam setiap segi yang tersebar di daerah-daerah ini. Sebagai contoh
ialah SEGI Medan yang keberadaannya lebih fokus dalam hal melayani keluhan-
keluhan guru setempat dan memberikan advokasi hukum dalam menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan pendidikan, terutama guru. SEGI Medan lebih
banyak bergerak dalam hal advokasi guru di bidang hukum, karena memang di
Medan jaringan dari SEGI Medan lebih banyak pada lembaga-lembaga bantuan
hukum. Sebagaimana disampaikan oleh FT bahwa:

.....Yang pasti persoalan kesejahteraan, kompetensi guru, perlindungan


terhadap guru, tapi memang kita lebih fokusnya ke perseoalan perlindungan
guru.Tapi tidak terlepas dari yang dua tadi, kesejahteraan dan kompetensi
guru....... Yang paling dominan sebetulnya perlindungan hukumnya. Kita
ada namanya Pusbakum (Pusat Bantuan Hukum) SEGI Medan...
(wawancara dengan FT, 20 Maret 2019).

Memberikan bantuan dan perlindungan hukum merupakan fokus utama dari


gerakan SGI Medan. Hal ini berkaitan dengan latar belakang organisasi yang
mendirikan Segi Medan. Menurut penuturan Fahriza Tanjung bahwa Segi Medan
diinisiasikan tahun 2008 oleh LSM SAHDAR (Sentra Advokasi Hak Pendidikan
Rakyat). Karena LSM ini aktivitasnya mengarah pada pendidikan dan advokasi
terhadap siswa dan guru yang tidak mendapatkan keadilan dalam pendidikan, maka
muncul inisiatif untuk mendirikan organisasi guru yang khusus bergerak atas nama
guru. Menurutnya, jika LSM yang bergerak dengan mengatasnamakan guru, maka
konotasinya dirasakan negatif. Namun ketika guru yang bergerak untuk
kepentingan guru dan pendidikan Indonesia secara luas, maka konotasinya tidak
akan negatif. Disamping itu undang-undang memberikan peluang bagi guru untuk
membuat organisasi guru. Dari latar inilah muncul SEGI Medan dan kemudian
bergabung dengan FSGI di tahun pertama, bahkan terlibat dalam membentuk
organisasi FSGI seperti yang dibicarakan sebelumnya.
Universitas Indonesia
62

Lain pula yang menjadi fokus dari SGI Bima, yang lebih kerap
memfokuskan gerakannya pada upaya pemerataan pendidikan di wilayah timur,
kualias pendidikan dan kesejahteraan bagi guru di Kabupaten Bima. Salah satu
upaya mereka dalam pemerataan pendidikan adalah mengadvokasi dan menekan
pemerintah untuk memperbaiki sarana dan prasarana SD di Sarampi, Bima.
Dikatakan SD ini seperti kadang hewan, karena fasilitas belajarnya jauh dari layak.
Berikut gambar gedung sekolah yang menjadi objek perjuangan SGI Bima.

Gambar 4.1
Gedung SD Sarampi

Kondisi ruangan kelas bagunan


sekolah
Tampak depan bagunan sekolah

Siswa sedang bermain saat istirahat sekolah


Siswa sedang upacara bendera
Sumber Foto: EI, 2019

Dari kenyataan tersebut, dapat dilihat bahwa adanya otonomi setiap anggota
organisasi FSGI. Pada satu sisi, sistem ini memberikan kebebasan terhadap
organisasi-organisasi keanggotaan FSGI yang berdampak baik terhadap
perkembangan organisasi. Disamping itu dengan sistem federasi ini juga tidak
memberikan strata antar anggota yang memungkinkan munculnya proses egaliter

Universitas Indonesia
63

dalam tubuh organisasi. Namun, sisi lain justru sistem ini memberikan dampak
sebaliknya. Dengan adanya kebebasan dari organisasi pusat, maka organisasi
daerah kurang berkembang karena tidak adanya supervisi dari organisasi pusat. Hal
ini pula dirasakan oleh SEGI Medan bahwa dengan tidak adanya supervisi ini
membuat Segi Medan dalam dua tahun ini kurang progresif. Sebagaimana yang
disampaikan oleh FT bahwa:

Kita kan federasi, jadi persoalan internal organisai di serikat guru masing-
masing itu menjadi domain serikat gurunya masing-masing. Tidak ada
campur tangan langsung FSGI dengan persoalan internal orgnisasi serikat
guru yang ada di daerah-daerah. Organisasi guru daerah itu kan punya
anggaran dasar sendiri, punya program sendiri, dan punya kegiatan sendiri.
Tetapi anggaran dasar organisasinya itu ga bertentangan dengan visi misi
dan juga tidak bertentangan dengan AD/ART FSGI. Jadi memang di situ
kalau saya melihat ada kelemahan, di situ ada titik kelemahan FSGI
(wawancara dengan FT, 20 Maret 2019).

Kelemahan dan autokritik untuk organisasi sendiri juga disampaikan oleh


SS. Menurutnya, lemahnya FSGI ini karena yang harus menjadi Sekjen adalah
anggota yang ada di Jakarta, karena menurutnya Jakarta adalah ujung tombak dari
gerakan. Oleh sebab itu Sekjen harus berada di Jakarta dan menetap di Jakarta
untuk mengomunikasikan kritik atau tanggapan FSGI terhadap masalah dan isu
pendidikan. Sistem seperti ini juga diatur dalam anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga (AD/ART FSGI).

4.3.3 Kritik Terhadap PGRI dan Alasan Anggota Bergabung Dengan


FSGI

Seperti yang dijabarkan sebelumnya, bahwa PGRI dinilai sebagai organisasi


guru yang kurang progresif dan kurang berpihak terhadap kepentingan guru. Selain
itu adanya undang-undang guru dan dosen yang menyatakan bahwa guru wajib
untuk membentuk organisasi, dan di lain pihak tidak dinyatakan pula bahwa PGRI
merupakan satu-satunya organisasi profesi yang diakui oleh konstitusi. Pada
kenyataannya, kontitusi telah memberikan kebebasan untuk guru berserikat dan

Universitas Indonesia
64

serikat guru yang dibentuk sesuai dengan prosedur hukum akan diakui sebagai
organisasi profesi guru yang sah.

Dalil dari konstitusi ini kemudian berdampak pada berkembangnya


organisasi profesi guru. Dengan banyaknya organisasi guru yang muncul, semakin
banyak punya pilihan seorang guru untuk memilih organisasi guru sebagai tempat
guru berorganisasi dan memperjuangkan yang dicita-citakannya. Begitu pula dengan
pilihan rasional ketika para guru ingin bergabung dengan FSGI. Ada beberapa
alasan rasional seorang guru bergabung dengan FSGI, sebagai berikut: 1) Adanya
kenyamanan dan kesamaan ide, 2) Pernah dibantu oleh FSGI dalam
memperjuangkan hak-hak personal guru, 3) upaya kritisasi terhadap PGRI dan
menegaskan PGRI bukan satu-satunya organisasi guru. Untuk lebih jelasnya,
peneliti akan menjabarkan satu-persatu.

Pertama, pilihan rasional ketika anggota bergabung dengan FSGI adalah


adanya kenyamanan dan kesamaan ide. Menurut penuturasn dari SS bahwa
alasannya bergabung dengan FSGI adalah adanya kenyamanan dan kesamaan ide.
Kesamaan ide perjuangan yang membentuk kenyamanan dalam berorganisasi. Lebih
lanjut, dikatakan bahwa:

Ide dari awal sudah sama sejak 2010 akhir saya mulai gabung. FMGJ dalam
perkembangannya kiprahnya di media-media sangat dominan, misalnya
terkait dengan UN, terkait dengan sertifikasi guru, bahkan 2013 FSGI paling
getol untuk menolak kurikulum 2013 dan itu jejak digitalnya banyak. Di
situlah orang mulai mengenal FSGI. Artinya memang sudah sedari awal
punya kesamaan ide (wawancara dengan SS, 9 November 2018).

Hal ini pula juga yang menjadi alasan EI untuk bergabung dengan FSGI.
Adanya kesamaan ide bahwa untuk memperjuangkan keadilan dalam pendidikan
memang dibutuhkan organisasi profesi guru yang progresif. Organisasi guru yang
progresif ini tidak SGI ini adalah para anggota yang mempunyai idealisme untuk
mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Bahkan untuk organisasi
sendiripun mereka mengupayakan organisais berdiri pada kaki sendiri dan tidak mau
adanya intervensi dari pihak luar. Berikut penuturan dari EI, bahwa

Universitas Indonesia
65

Jadi memang pada awalnya SGI Bima ini penuh dengan dinamika, banyak
kelompok-kelompok, Bupati-bupatinya, PGRI sendiri, menolak hadirnya
SGI Bima pada waktu itu, tapi untungnya teman-teman kita ini punya niat
yang baik terhadap pendidikan ini, sesuai dengan visi misi FSGI itu. Kami
coba menerjemahkan visi misi FSGI di daerah kami, dan kami berjuang
dengan kaki sendiri (wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).

Kedua, alasan rasional guru untuk bergabung dengan FSGI adalah FSGI
pernah memberikan bantuan advokasi terhadap guru sehingga guru merasa terbantu,
padahal sang guru tersebut bukan bagian anggota FSGI. Setelah guru tersebut
terbantu dalam advokasi FSGI, Ia kemudian dengan kesadaran sendiri bergabung
dengan FSGI. Fenomena ini sering dialami oleh anggota FSGI yang baru
bergabung. Mereka bergabung karena alasan pernah dibantu oleh FSGI dalam
mengadvokasi hak-hak yang seharusnya diterima oleh guru. SS menceritakan salah
satu kasus bergabungnya guru dengan FSGI sebagai berikut:

Orang yang bergabung ke kita yaitu orang-orang yang ada masalah, dibantu,
baru gabung. Itulah warna yang berbeda. Kalau IGI kan merekrut
anggotanya melalui pelatihan-pelatihan, pemberdayaan, kalau PGRI kan
birokrat ya. Itu diferensiasi. Kalau kita mungkin orang bisamengatakan kaya
NGO gitulah, kaya LSM jadinya kan. Sok yang mau gabung, yang ada
masalah lapor, dibantu, ya sudah gitu (wawancara dengan SS, 9 November
2018).

Ketiga, alasan guru untuk bergabung dengan FSGI sebagai bentuk kritisasi
terhadap PGRI dan melaksanakan amanat undang-undang guru dan dosen. Alasan
ini merupakan alasan mayoritas yang dikatakan oleh para anggota organisasi.
Mereka melihat organisasi PGRI tidak ideal sebagai organisasi progresif guru
sehingga adanya keinginan untuk menciptakan organisasi guru yang lebih progresif.
Dari setiap anggota, ada yang pernah bergabung dengan PGRI kemudian keluar
karena merasa PGRI sebagai organisasi politik praktis. Ada diantara anggota yang
belum sempat bergabung dengan PGRI dan lebih dulu bergabung dengan FSGI.
Alasan utama mereka karena PGRI lebih banyak mengakomodasi kepentingan
pemerintah dibanding kepentingan guru. Ada juga yang menjadi alasan keluar dari
Universitas Indonesia
66

keanggotaan PGRI karena ketika mereka menjadi anggota PGRI mereka hanya
sebagai pelengkap. PGRI tidak mengikutsertakan guru dan memberdayakan guru
sebagai partner strategis. Selain itu PGRI lebih banyak kegiatan sereminial,
sehingga bentuk-bentuk kegiatan dirasa kurang progresif. Hal ini sesuai dengan
penuturan HP bahwa;

....kami itu hanya sebagai pelengkap. Ketika kami itu hanya sebagai anggota
dan jumlahnya banyak, tetapi tidak diberdayakan bagaimana organisasi ini
untuk berkembang menjadi partner strategis bagi pemerintah dalam semua
lini pendidikan. Tetapi kebanyakan PGRI itu didalam melakukan kegiatan
lebih banyak seremoninya....... Selain itu ketika banyak anggotanya yang
bermasalah dalam aspek hukum dan sebagainya, perlindungan terhadap guru
tidak nyata. Begitu juga dengan perlindungan terhadap siswa. Semenjak itu
kami menyadari... (wawancara dengan HP, 18 Maret 2019).

4.4 Perubahan Sosial Politik: dari UU Guru & Dosen hingga Gerakan Guru
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa perubahan struktur politik
di Indonesia dari struktur politik yang represif – yang terjadi masa Orde Baru –
menuju struktur politik yang terbuka – masa Reformasi – memberikan peluang
gerakan sosial yang lebih progresif terhadap organisasi-organisasi sosial, termasuk
organisasi guru. Memang tidak dipungkiri bahwa gerakan guru telah terjadi
semenjak sebelum penjajahan Belanda hingga sekarang. Namun, masa Orde Baru
merupakan masa gerakan guru menjadi lebih tumpul. Organisasi guru lebih banyak
bertindak sebagai “humasnya” rezim ketimbang melakukan pembangunan
pendidikan ke arah yang lebih baik.

Gerakan Reformasi 1998 yang dilakukan oleh berbagai pihak merupakan


awal dari keterbukaan sistem politik di Indonesia. Gerakan Reformasi menjadikan
struktur politik Indonesia menjadi lebih “demokrasi” ketimbang masa Orde Baru.
Gerakan Reformasi ini kemudian diiringi dengan perubahan bentuk perundang-
undangan menjadi lebih terbuka terhadap gerakan sosial, terutama terhadap gerakan
guru. Seperti yang telah disinggung sebelumya, UU No 14 tahun 2005 tentang guru
dan dosen merupakan bentuk keterbukaan peluang politik di Indonesia. UU ini pula
yang menjadi landasan bagi organisasi-organisasi guru yang lahir pasca Orde Baru.
Universitas Indonesia
67

Alasan ini pula yang mendorong lahirnya organisasi FSGI. Hal ini sesuai dengan
pernyataan SS bahwa

Para pendiri FSGI itu melihat bahwa setelah lahirnya undang-undang guru
dan dosen no. 14 th 2005 UU mengamanahkan guru-guru harus ikut dalam
organisasi profesi dan di situ tidak disebutan apa nama organisasinya. Itu
salah satu yang mendorong aktivis pendidikan melahirkan FSGI agar anarasi
tentang pendidikan itu tidak hanya dimonopoli oleh organisasi profesi guru
(PGRI) seperti pada masa orde baru. Artinya FSGI lahir di dalam suasana
yang demokratis, undang-undang yang demokratis itulah yang melahirkan
FSGI (wawancara dengan SS, 9 November 2018).

Keterkaitan perubahan sosial politik di Indonesia dari sistem politik yang


tertutup menjadi sistem politik yang terbuka sehingga memunculkan banyak
organisasi progresif ini dapat dilihat dengan political opportunity structure (POS)
atau struktur peluang politik (Eisinger, 1971). Dalam teori ini, gerakan sosial terjadi
ketika adanyanya peluang dalam struktur politik. Lebih lanjut disebutkan Eisinger
(1971) bahwa ada empat hal yang mendasari POS ini yaitu 1) The nature of the chief
executive, 2) The mode of aldermanic election, 3) The distribution of social skill and
status, dan 4) The degree of social disintegration. Poin satu (1) dan dua (2) pada
mekanisme tersebut berkaitan dengan struktur, sedangkan poin (3) dan poin (4)
berkaitan dengan agen. Keempat poin ini pada dasarnya membicarakan bagaimana
keterkaitan antara struktur dan agen. Pemerintah yang mempunyai kekuasaan di
suatu negara diposisikan sebagai struktur dan organisasi gerakan sosial dapat
dikatakan sebagai agen. Dengan kata lain, dalam tulisan ini pererintah dikatakan
sebagai struktur, sedangkan FSGI sebagai agen gerakan sosial.

Dalam banyak kasus isu tentang pendidikan, FSGI sebagai organisasi guru
lebih banyak melakukan protes terhadap pemerintah. Mereka selalu memberikan
kritik sekaligus menawarkan solusi terhadap permasalahan yang dikritiknya. Dalam
teori POS, kritik maupun protest yang diberikan oleh FSGI terhadap pemerintah
merupakan fungsi dari peluang politik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Eisinger (1971) bahwa protes merupakan tahapan yang paling rendah sebelum
terjadinya gerakan sosial. Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya,
Universitas Indonesia
68

bahwa ada dua mode fungsi peluang politik, yaitu mode linier dan mode curvilinier.
Dalam mode linier, protest ini dikatakan sebagai bentuk dari respon kefrustasian
(frustrated response). Artinya bahwa ketika peluang politik rendah, maka protes
akan tinggi, dan sebaliknya ketika peluang politik tinggi maka protes akan menurun.
Selain sisi lain, dalam mode curvilinier, ketika peluang politik tersebut tinggi maka
protes juga akan tinggi, sedangkan ketika peluang politik rendah maka protes juga
akan rendah. Berdasarkan analisis Eisinger (1971) ini, kita dapat melihat bahwa
mode struktur peluang politik di Indonesia adalah mode curvilinier. Hal ini lantaran
gerakan guru semakin progresif ketika adanya struktur politik di Indonesia
memasuki era reformasi yang memberikan ruang untuk protest, sedangkan gerakan
guru mundur ketika ruang protes tertutup pada pemerintahan Orde Baru.

Lebih lanjut Eisinger (1971) menyatakan bahwa ada empat varabel yang
memungkinkan gerakan sosial tersebut muncul. Pertama, gerakan sosial muncul
ketika akses terhadap lembaga-lembaga politik memiliki hubungan yang terbuka
atau tertutup. Artinya bahwa pola hubungan yang terbuka akan mebuka
kesempatakan bagi munculnya gerakan sosial, sedangkan pola hubungan yang
tertutup akan menciptakan hambatan bagi gerakan sosial. Kedua, gerakan sosial bisa
saja muncul ketika struktur politik sedang transisi. Artinya bahwa gerakan sosial
akan muncul ketika keadaan stuktur politik sedang tidak stabil, sedangkan struktur
politik baru belum terbentuk. Keadaan ini akan memberikan peluan untuk terjadinya
gerakan sosial. Ketiga, adanya konflik besar antar elit politik dan kesempatan ini
digunakan oleh agen gerakan sosial sebagai peluang gerakan sosial. Biasanya, masa
pemilihan umum merupakan masa bertarungnya para elit politik, sehingga agen
gerakan sosial melihat ini sebagai peluang untuk melakukan aksi gerakan sosial.
Keempat, kondisi para elit politik dan agen gerakan sosial bersatu dan berada dalam
sistem untuk melakukan perubahan.

Mengacu pada variabel yang menyebabkan gerakan sosial Eisinger tersebut,


pola hubungan yang terbuka antara FSGI dengan pemerintah yang membuat gerakan
FSGI semakin lancar. Pemerintah membuka pintu kritikan terhadapnya dengan
sistem politik yang demokratis, dan peluang ini digunakan sebaik-baiknya oleh
FSGI. Salah satu contoh adanya keterbukaan pemerintah terhadap kritikan FSGI

Universitas Indonesia
69

sebagaimana disampaikan oleh SS terkait permasalah peningkatakan kompetensi


guru. FSGI mengkritik tentang pola pelatihan yang diberikan oleh pemerintah untuk
peningkatakan kompetensi guru. Menurut FSGI pola tersebut tidak berdampak
signifikan terhadap peningkatan kompetensi guru. Untuk itu FSGI memberikan
kritik sekaligus solusi atas kritikannya tersebut. Solusi atas kritikan tersebut dengan
mengadakan program pelatihan guru dengan skema pelatihan 4B1E atau skema
pelatihan berkualitas, bermanfaat, berkelanjutan, berbobot, dan evaluatif. Ia
menerangkan bahwa skema pelatihan 4B1E artinya upaya pelatihan guru yang
diadakan oleh pemerintah berguna bagi profesionalitas guru.

Skema pertama, pelatihan yang berkualitas artinya pelatihan yang diberikan


oleh pemerintah memberikan makna terhadap guru, sehingga guru yang datang ke
pelatihan-pelatihan tersebut merasa tidak sia-sia. Skema kedua, bermanfaat.
Bermanfaat artinya sesuai dengan kebutuhan guru. Jangan sampai ketika guru sudah
mengerti yang misalnya mengerti terkait hal-hal yang pedagogis, tetapi justru
pelatihannya terkait hal-hal pedagogis. Skema ketiga, berkelanjutan, artinya
berkelanjutan itu pelatihan ini tidak hanya berhenti, 3 hari atau seminggu, sehabis
itu sudah. Habis itu lupa lagi. Tetapi tidak dilanjutkan per-periodik. Skema
keeampat yaitu berbobot. SS menjelaskan tentang skema ini bahwa

...Dalam skema ini ukurannya bukan hari, kalo seminggu tapi tidak menarik
dan berbobot,yah percuma saja. Banyak laporan terhadap FSGI yang
mengikuti pelatihan, mengikuti sertifikasi yang dulu namanya PLPG. Di
PLPG justru dosen-dosen IKIP itu atau LPTK itu tidak up to date dengan
dokumen pembelajaran. RPP versinya dia dengan RPP versinya guru
berbeda. Bahkan guru punya versi sendiri atau tutor dari PLPG itu nanya ke
sekolah-sekolah tertentu. ..... (wawancara dengan SS, 9 November 2018).

Skema terakhir yaitu evaluatif. Menurutnya, dari semua program itu harus
ada evaluasi. Evaluasi itu artinya dicari apa yang kurang dari program tersebut, dan
didiagnosa apa yang menjadi kelemahan program. Kesemua skema ini menurut SS
harus terintegrasi dalam setiap pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau oleh
organisasi guru sendiri. Jika skema ini tidak teraplikasi, maka permasalahan-
permasalahan profesionalitas guru tetap masih timbul.
Universitas Indonesia
70

Pola hubungan yang terbuka antara FSGI dan pemerintah dikatakan


McAdam & Snow (1997) sebagai hubungan yang konstituen, atau melayani satu
sama lain. Pemerintah Indonesia dengan landasan konstitusi yang demoktis
melayani FSGI, sedangkan FSGI melayani pemerintah dengan bentuk kritik dan
saran sebagai upaya menciptakan demokratisasi yang utuh. Di sini, dengan adanya
pola hubungan yang terbuka antara agen dengan struktur politik, maka kapasitas dan
kecenderungan negara untuk melakukan tindakan represif akan semakin berkurang.

4.5 Penutup
Sejarah organisasi guru pada masa kolonial dipicu oleh perbedaan mencolok
antara penghasilan guru pribumi dengan bangsa eropa. Pada masa itu, guru
mempunyai keduudkan yang tinggi dan diberikan upah yang tinngi pula. Akan
tetapi, perbedaan kesenjangan antara pribumi dengan eropa tetap terjadi sehingga
melahirkan organisasi guru, yaitu Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGBH) yang
kemudian berganti nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Organisasi ini
semakin progresif dalam memperjuangkan hak-hak guru yang semakin ditekan oleh
peraturan-peraturan yang diterapkan pemerintah. Setelah itu, pada masa pendudukan
Jepang, organisasi guru tidak lagi progrsif karena kesejahteraan guru telah terpenuhi
secara ekoomi dan moral, serta pemerintahan jepang yang melarang guru ikut
campur dalam hal politik.

Setelah merdeka, lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang


masih ada hingga sekarang. Pada awal berdirinya PGRI, tiga hal yang menjadi
semangat perjuangannya adalah mempertahankan dan menyempurnakan Republik
Indonesia, mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-
dasar kerakyatan, dan membela hak-hak guru. Namun, saat memasuki Orde Baru,
PGRI digunakan sebagai komoditas politik kekuasaan sehingga menyimpang dari
tujuan awal berdirinya. Hal ini menyebabkan PGRI diisi oleh para elit politik dan
instansi pemerintah.

Pasca orde baru menimbulkan ruang politik yang terbuka lebar bagi
gerakan-gerakan alternatif di Indonesia, termasuk gerakan guru. Pada kalangan
guru, loyalitas tunggal terhadap PGRI tidak terjadi lagi. Organisasi-organisasi guru
mulai banyak bermunculan. Kemudian, pada tahun 2011 terbentuklah organisasi
Universitas Indonesia
71

guru dengan nama Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). FSGI ini lahir dari
persatuan organisasi-organisasi serikat guru berbagai daerah yang menyatukan visi
dan misi yang sama, yaitu menciptakan pendidikan Indonesia yang berkualitas dan
berkeadilan. FSGI ini aktif dalam mengkritisi dan mengangkat isu-isu terkiat
pendidikan, serta menyuarakan hak-hak pendidikan. Kebanyakan guru pun memilih
untuk bergabung dengan FSGI ketimbang PGRI karena PGRI dinilai sebagai
organisasi guru yang kurang progresif dan kurang berpihak terhadap kepentingan
guru. Dalam banyak kasus isu tentang pendidikan, FSGI sebagai organisasi guru
lebih banyak melakukan protes terhadap pemerintah. Mereka selalu memberikan
kritik sekaligus menawarkan solusi terhadap permasalahan yang dikritiknya. Pola
hubungan yang terbuka antara FSGI dan pemerintah dikatakan McAdam & Snow
(1997) sebagai hubungan yang konstituen, atau melayani satu sama lain. Pemerintah
Indonesia dengan landasan konstitusi yang demoktis melayani FSGI, sedangkan
FSGI melayani pemerintah dengan bentuk kritik dan saran sebagai upaya
menciptakan demokratisasi yang utuh.

Universitas Indonesia
72

BAB V

GERAKAN SUMBER DAYA: BENTUK GERAKAN PERLAWANAN


FEDERASI SERIKAT GURU INDONESIA

5.1 Pengantar
Bab sebelumnya peneliti telah mendeskripsikan tentang keorganisasian dari
FSGI. Untuk itu, pada bab ini akan dibahas pula tentang dinamika gerakan FSGI.
Tentang dinamika ini, ada tiga hal penting yang akan dijelaskan yaitu, pertama,
bentuk-bentuk gerakan FSGI. Tujuan penulisan dari sub bab ini adalah untuk
mendeskripsikan tentang bentuk-bentuk gerakan sosial yang telah dilakukan oleh
FSGI. Ada banyak bentuk gerakan sosial yang dilakukan oleh FSGI, namun dalam
tesis ini akan dikelompokkan dalam empat bentuk gerakan sosial.keepat bentuk
tersebut antara lain pelatihan-pelatihan guru sebagai peningkatan profesionalisme,
memperjuangkan keadilan bagi guru melalui jalur hukum, membentuk opini publik
dengan menggunakan media massa sebagai ujung tombak gerakan, dan melakukan
diskusi rutin untuk memobilisasi massa dan ideologis.

Pada bagian kedua akan dijelaskan strategi FSGI dalam memanfaatkan


segala bentuk sumber daya yang nantinya menjadi gerakan sumber daya (resource
mobilization). Pada bagian ini akan dijelaskan tentang sumber daya material dan
sumber daya non-material yang digunakan oleh FSGI dalam gerakannya. Sumber
daya material mencakup sumber dana badi FSGI pusat dan SGI daerah,bagaimana
cara mereka mengelola dan memanfaatkan secara maksimal. Kemudian, sumber
daya non-material berkaitan dengan jaringan gerakan FSGI. Pada bagian yang
ketiga akan dijelaskan tentang bentuk konkret gerakan FSGI adalah gerakan politik
pendidikan. Disini, peneliti akan menjelaskan alasan mengapa FSGI dikatakan
sebagai gerakan politik pendidikan.

5.2 Bentuk-Bentuk Gerakan FSGI


Pada dasarnya gerakan FSGI ini berpijak pada dua hal yaitu mewujudkan
pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Landasan gerakan ini kemudian
mereka terjemahkan dalam bentuk gerakan sosial yang tujuannya adalah untuk
menekan pemerintah dalam menciptakan kondisi pendidikan yang berkualitas dan
berkeadilan. FSGI memanfaatkan sumber daya yang mampu melakukan perubahan
Universitas Indonesia
73

yang lebih cepat. Untuk itu, pada sub bagian ini akan dijelaskan tentang bentuk-
bentuk gerakan yang dikukan oleh FSGI mewujudkan pendidikan yang berkualitas
dan berkeadilan.

Ketika kita mengkaji lebih dalam lagi makna tentang pendidikan yang
berkualitas dan berkeadilan, maka kita akan diarahkan pemahamannya tentang
permasalahan pokok pendidikan di Indonesia. Seperti yang telah peneliti jelaskan
pada pembahasan sebelumnya, bahwa permasalahan pokok pendidikan Indonesia
tidak terlepas dari dua hal yaitu rendahnya kualitas pendidikan dan kesenjangan
dalam pendidikan. Salah satu hal yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan
adalah rendahnya kompetensi dan profesionalisme guru. Di pihak lain, keadilan
dalam pendidikan berkaitan dengan pendidikan yang merata serta kesejahteraan
guru. Dalam diskursus awal, memang antara profesionalitas guru dan kesejahteraan
guru merupakan suatu hal yang berbeda. Profesionalitas sangat erat kaitannya
dengan kompetensi dan modal intelektual yang dimiliki oleh sang guru, dengan kata
lain profesionalitas berkaitan dengan individu guru tersebut. Di sisi lain,
kesejahteraan guru mempunyai relasi dengan atasan si guru. Ketika guru berstatus
sebagai guru yayasan, maka relasi kesejahteraannya dengan yayasan. Jika guru
tersebut berstatus sebagai guru pemerintah, maka relasi kesejahteraannya dengan
pemerintah. Yang menjadi persoalan adalah adanya ketimpangan antara
profesionalisme dengan kesejahteraan. Ketika profesionalisme guru dinilai sudah
baik, namun kesejahteraan tidak kunjung membaik. Atau sebaliknya ketika
kesejahteraan membaik, namun profesionalisme guru tidak membaik, ini akan
memunculkan ketidakadilan diantara kalangan guru.

Kedua persoalan tersebut tidak kalah seriusnya dengan persoalan


profesionalisme dan kesejahteraan guru sama-sama kurang. Ini persoalan yang amat
serius dihadapi oleh bangsa sejak masa kemerdekaan. Darmaningtyas (2015)
menyebutkan bahwa persoalan pendidikan Indonesia dari kemerdekaan adalah
rendahnya kompetensi dan kesejahteraan guru. Dari segi kompetensi guru masa
awal kemerdekaan bisa dikatakan sangat minim. Bagaimana tidak, untuk siswa
sekolah rendah (SR) atau setingkat dengan SD hanya dididik oleh guru yang
tamatan Sekolah Guru Besar (SGB) atau setingkat dengan SLTP sekarang. Untuk

Universitas Indonesia
74

mengajar siswa SLTP cukup dengan lulusan Sekolah Guru Atas (SGA) atau
setingkat dengan lulusan SMA sekarang. Untuk membekali para guru yang
mengajar tersebut, pemerintah memberikan berbagai kursus singkat. Tujuannya
supaya calon guru ini mampu memahami tata cara mengajar di dalam kelas.
Permasalahan tentang kesejahteraan guru pun menjadi masalah klasik dari masa
kemerdekaan. Dengan rendahnya balas jasa terhadap kesejahteraan guru, profesi
guru dianggap sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”.

Permasalahan tersebut kemudian ditanggapi oleh FSGI dan dijadikan sebagai


visi dalam gerakan. Mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan
sebagai nafas juang mereka. Visi ini kemudian diaplikasikan dalam berbagai bentuk
gerakan yang peneliti rangkum sebagai berikut: pertama, FSGI melakukan
pelatihan-pelatihan terhadap guru untuk meningkatkan kompensi guru. Kedua, FSGI
melakukan advokasi melalui jalur hukum untuk memperjuangkan keadilan dalam
pendidikan. Ketiga, FSGI menggunakan media massa sebagai ujung tombak
gerakan. Media massa digunakan alat framing ide dan isu-isu tentang pendidikan.
keempat, diskusi sebagai menyatukan ide dan memobilisasi massa.

Gambar 5.1

Kerangka Perjuangan Pergerakan FSGI

Sumber: Peneliti (2019)

Universitas Indonesia
75

Untuk lebih jelasnya, peneliti akan menjelaskan satu-persatu tentang gerakan


sosial yang dilakukan oleh FSGI.

5.2.1 Advokasi Melaui Jalur Hukum

FSGI juga dapat dikatakan sebagai organisasi yang unik, karena ia dianggap
sebagai organisasi profesi guru yang merangkap seperti LSM. Para guru sering
mencap FSGI seperti LSM karena perjuangannya lebih banyak mengadvokasi dan
mewujudkan keadilan melalui jalur hukum. Hal ini juga tidak ditempis oleh salah
seorang wartawan pendidikan yang mengatakan bahwa FSGI merupakan organisasi
yang sangat kritis terhadap isu pendidikan, serta memperjuangkan keadilan melalui
jalur hukum. Karena alasan inilah FSGI dicap sebagai organisasi seperti LSM. Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh SS bahwa “....Kalau kita mungkin orang bisa
mengatakan kaya NGO gitulah, kaya LSM jadinya kan. Sok yang mau gabung,
yang ada masalah lapor, dibantu, ya sudah gitu.”

Meskipun FSGI dianggap sebagai organisasi yang mirip LSM, tetapi ada
perbedaan antara advokasi yang dilakukan oleh FSGI dengan LSM. Ketika FSGI
yang melakukan advokasi, ia cenderung melakukannya melalui dua jalur, yaitu
jalur meja hijau dan meja coklat. Advokasi melalui meja hijau artinya bantuan
hukum melalui peradilan. Sedangkan melalui meja coklat dilakukan FSGI melalui
media massa. Kedua hal ini berjalan beriringan sampai keadilan benar-benar
didapatkan. Selain itu, yang menjadi perbedaannya adalah FSGI hanya fokus
memperjuangkan keadilan bagi guru dan siswa. Di sini, perasaan empati sesama
guru muncul dalam melakukan advokasi. Berbeda dengan LSM, bahwa antara yang
melakukan advokasi dengan yang diadvokasi berbeda profesi.

Kendatipun demikian, FSGI tidak bergerak sendiri dalam melakukan


advokasi. Ia tetap membutuhkan LSM lain dalam melakukan advokasi. Hal ini
dilakukan FSGI karena keterbatasan pengetahuan dalam bidang hukum. Oleh sebab
itu, mereka berjejaring dengan organisasi-organisasi LSM yang membidani
masalah hukum. Hal ini hampir mirip dengan konteks gerakan sosial yang
dilakukan oleh organisasi buruh di Indonesia, bahwa organisasi buruh melakukan
gerakan sosial dengan berjejaring LSM untuk mencapai tujuannya. Sebagaimana

Universitas Indonesia
76

yang dikatakan Ford (2009: 205) bahwa gerakan buruh di Indonesia tidak terlepas
dari peran LSM dan aktor intelektual dalam organisasi buruh itu sendiri. Hal ini
hampir mirip dengan gerakan guru, bahwa organisasi guru berjejaring dengan LSM,
media massa dan aktor-aktor intelektual dalam mewujudkan cita-cita pendidikan
yang berkualitas dan berkeadilan.

Walaupun FSGI memperjuangkan dan mengadvokasi keadilan untuk guru


melalui jalur hukum, tetapi mereka tetap rasional dalam menilai suatu
permasalahan. Misalnya terkait permasalahan guru honorer yang ingin langsung
diangkat menjadi PNS. Menurut FSGI, keinginan guru honorer tentu bertentangan
dengan undang-undang ASN. Meskipun demikian, FSGI tetap menyuarakan
keadilan untuk guru honorer yang pada kenyataan gaji guru honorer berkisar 200
ribuan. Berikut penuturan dari SS bahwa:

Makanya terkait guru honorer itu kita ga terlalu pressur gitu, karena guru
honorer itu kan, ya kita harus lihat jujur, ga mungkinlah langsung dingakat
PNS. Karena undang-undang ASN, jadi uniknya FSGI itu dia akan
memperjuangkan tetapi tetap berbasis hukum. Dan akan memperjuangkan
di luar hukum, maksudnya gini, ini kan ada undang-undang yang ngomong,
ASN itu syaratnya 35, ya kan dan ga ada lagi guru diangkat jadi PNS, yang
ada seleksi, berbasis seleksi semuanya, tapi kan tetan-teman guru honorer
ini kan maunya langsung diangkat. Nah itu yang mereka tolak, demo-demo.
Bahwa mereka bergaji 200 ribu, 50 ribu, itu kita suarakan. Itu kan
ketidakadilan sebenarnya. Tetapi perasaan ketidak adilan atau fakta bahwa
mereka didiskriminsi, mengalami penindasan itu, dengan cara hukum juga
mengatasinya gitu lho. Tapi kan mereka bersikukuh untuk jadi PNS tanpa
seleksi. (wawancara dengan SS, 9 November 2018).

Perjuangan tentang kesejahteraan guru juga tidak hanaya terpusat di FSGI,


tetapi juga merebak ke SGI daerah-daerah. Misalnya SGI Bima yang mengadvokasi
kesejahteraan guru honorer daerah (HonDa). Menurut SGI Bima, guru honorer
daerah berdasarkan surat keputusan bupati Bima yang menyatakan gaji guru honor
daerah adalah 300 ribu rupiah. Surat keputusan tersebut berlaku dari tahun 2005
hingga sekaang. Artinya, dari tahun 2005 sampai tahun 2019 belum ada perubahan
Universitas Indonesia
77

terkait gaji guru honor daerah. Akan tetapi, kebutuhan hidup semakin meningkat,
ditambah dengan naiknya inflasi secara nasional menyebabkan gaji guru honor
tersebut jauh dari kata sejahtera.

Hampir senada juga dengan perjuangan SGI Medan dalam memperjuangkan


kesejahteraan guru honorer. SGI Medan melakukan advokasi kepada pemerintah
melalui lembaga bantuan hukum Medan. Tidak sampai di sini, SGI Medan
kemudian membuat kajian tentang besaran ideal gaji guru honorer. Berlandaskan
format peraturan tenaga kerja, SGI Medan menemui fakta di lapangan bahwa gaji
guru honorer dibayar 10 ribu perjam. Jika si guru ini jadwal mengajarnya hanya 24
jam, maka total gajinya hanya berkisar 240 ribu sebulan. Dari temuan ini, SGI
Medan melakukan kajian untuk menuntut pemerintah terkait kesejahteraan guru.
Merurutnya, gaji guru dapat dikatakan layak ketika guru mendapatkan gaji minimal
dua kali lipat dari UMR. Rasionalnya adalah UMR diperuntukkan untuk buruh
yang tamatan SMA ke bawah, sedangkan guru kualifikasinya sudah Sarjana.
Kemudian beban kerja guru jauh lebih besar dibanding buruh. Berikut penuturan
dari FT bahwa

Kita pernah membuat kajian berapa gaji guru yang layak di kota Medan,
kita memakai format dari peraturan negeri tenaga kerja, jadi kita
menggunakan format itu, waktu itu kita temui kalau di lapangan itu 10 ribu
per jam atau berapa, ya kalau 24 jam berarti 240 ribu sebulan kan gitu.
Umumnya seperti itu. Memang ada juga yang di atas itu. Dari kajian yang
kami lakukan seharusnya guru itu layak mendapat dua kali dari UMR,
karena kalau kita bicara UMR, bukan bermaksud merendahkan buruh, rata-
rata kan mereka tamatan SMA ke bawah, sedangkan guru sudah
terkualifikasi S1, kemudian ada yang sertifikasi atau apa itu kan membuat
ada perbedaan kebutuhan hidup antara guru dengan buruh seharusnya gaji
guru itu tidak hanya sama dengan UMR, atau harus lebih dari UMR.
Temuan kami itu harus dua kali dari itu. (wawancara dengan FT, 20 Maret
2019).

Selain memperjuangkan kesejahteraan guru melalui jalur hukum, FSGI juga


melakukan advokasi terhadap guru-guru yang tersangkut masalah hukum. Dalam
Universitas Indonesia
78

advokasi masalah hukum ini FSGI sering menggandeng LBH Indonesia untuk
menyelesaikan permasalahan hukum. Salah satu contoh kasus yang diselesaikan
dan dimenangkan oleh FSGI adalah kasus pencopotan salah seorang kepala sekolah
oleh Dinas Pendidikan yang tidak berlandaskan hukum apapun. Permasalahan ini
kemudian diselesaikan melalui jalur hukum yang akhirnya dimenangkan oleh FSGI.
Dalam proses advokasinya, FSGI menggunakan meja hijau dan meja coklat. Meja
hijau melalui jalur hukum, sedangkan meja coklat melalui konferensi pers yang
bertujuan untuk menguatkan argumen FSGI secara politis.

Tidak hanya FSGI pusat yang memperjuankan keadilan melalui jalur


hukum, tetapi juga SGI daerah-daerah pun melakukan hal yang sama. Sebut saja
SGI Medan yang mengadvokasi guru yang tersangkut masalah hukum. Bahkan FT
sebagai ketua menegaskan jika fokus utama gerakan SGI Medan adalah
mengadvokasi guru yang tersangkut masalah hukum. SGI Medan akan memberikan
perlindungan dan bantuan hukum kepada guru. Bantuan ini dilakukan dengan
bekerja sama dengan LSM SAHDAR (Sentra Advokasi Hak Pendidikan Rakyat).
Lebih lanjut, FT mengatakan bahwa:

..... Kegiatannya sama, karena dia mengarah ke pendidikan, awalnya Sahdar


ini melakuka advokasilah terhadap hak anak yang tidak memperoleh
pendidikan, dibela melalui advokasi, misalnya persoalan guru juga......
(wawancara dengan FT, 20 Maret 2019).

5.2.2 Media Massa Sebagai Ujung Tombak Gerakan FSGI

Media massa dalam gerakan sosial mempunyai peran penting dalam


gerakan sosial yang salah satunya adalah sebagai alat propaganda. Media massa
dikatakan sangat efektif dalam propaganda ide maupun gerakan. Lebih jauh lagi,
media massa memiliki kekuatan dan memberikan pengaruh persuasif yang masif
kepada publik. Hal ini senada dengan Curran & Gurevich (2005) yang menyatakan
bahwa media massa terbukti berpengaruh sebagai brainwash selama perang dunia
berlangsung dan menjadi mesin efektif bagi penyebaran ideologi fasisme di Eropa
selama masa perang. Di Indonesia sendiri, pada masa Soeharto media massa
Universitas Indonesia
79

digunakan sebagai alat propaganda pemerintah. Ia dikendalikan oleh pemerintah


untuk pencitraan pembangunan pemerintah yang gemilang. Faktanya, media massa
masa itu tidak bersifat independen, netral dan objektif terhadap suatu berita
(Winarni, 2014).

FSGI sebagai sebagai organisasi guru sangat menyadari betul akan


fungsinya media massa. Bagi mereka, pemberitaan pers sangat efektif dalam
menyampaikan ide dan gagasan. Bahkan FSGI menyadari bahwa tanpa media
massa mereka tidak akan besar. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa mereka
sangat tergantung dengan media massa. Apapun issu tentang pendidikan, mereka
akan selalu menghubungi atau dihubungi oleh media massa. Mereka begitu dekat
dengan media massa. Dan media massa merupakan alat untuk menyosialisasikan
hasil diskusi dan rapat internal FSGI. Hal ini sesuai dengan pernyataan SS bahwa:

Salah satu strategi yang FSGI gunakan agar hasil-hasil diskusi dan hasil
rapat di internal FSGI itu tersosialisasi, kami menggandeng media. FsGI
tidak akan besar tanpa media. Itu yang memang strategi yang kita pakai
selama ini. Jadi kita dekat dengan media. Tujuan dari FSGI harus kita
mainstream kan dengan cara ya melalui media. Jujur kita bergantung sekali
dengan media. Kita menyuarakan itu melalui media tentang kesejahteraan
guru, guru honorer itu googling ada. Tetapi hal-hal teknis yang tidak kami
sampaikan ke media..... (wawancara dengan SS, 9 November 2018).

Di sini terlihat bahwa FSGI menggunakan media massa sebagai “ujung


tombak” gerakannya. Hal ini bisa dikatakan karena FSGI tidak mempunyai internal
resources dalam gerakan, sehingga bargaining position-nya tidak terlalu kuat
dalam mempengaruhi kebijakan pendidikan. Hal ini dapat kita bandingkan dengan
gerakan buruh, bahwa buruh mempunyai kekuatan massa yang mampu menekan
stakeholder dalam mempengaruhi kebijakan. Organisasi buruh yang cukup radikal
terkadang menggunakan mogok kerja atau bahkan tindakan anarkis dalam
demonstrasi. Bahkan setiah tanggal 1 Mei yang diperingati sebagai hari buruh
digunakan sebagai ajang demonstrasi para buruh. Hal ini sangat berbeda dengan
kondisi guru. Guru akan mengalami kondisi dilematis ketika ia melakukan mogok
ngajar, pada satu sisi ia merasa ada tanggung jawab sosial terhadap siswa dan satu
Universitas Indonesia
80

sisi ia membutuhkan kesejahteraan. Oleh sebab itu, gerakan guru lebih cenderung
diplomatis dan berjejaring. Tidak salah juga ketika FSGI membangun jaringan
dengan berbagai LSM dan menggunakan media massa dalam gerakannya, karena
hal ini dinilai lebih efektif ketimbang melakukan mogok ngajar atau gerakan yang
terkesan “radikal” lainnya.

Sejak awal berdirinya FSGI, mereka telah menggunakan media massa


sebagai ujung tombak gerakannya. Oleh sebab itu, salah satu syarat untuk menjadi
Sekjen FSGI adalah guru harus tinggal dan menetap di Jakarta. Artinya, yang boleh
menjadi Sekjen FSGI adalah anggota yang berasal dari Jakarta. Tujuannya supaya
sekjen tersebut bisa dekat dengan media nasional yang mampu menjangkau publik
luas secara nasional. Hal ini sesuai dengan pernyataan HP yang mengatakan bahwa
sifat organisasi FSGI yang kolegial ini mendorong syarat sekjen harus dari Jakarta.
Karena fungsi sekjen sebagai komunikator dari hasil musyawarah nasional FSGI.

Kedekatan FSGI dengan media massa juga tidak ditepis oleh UB sebagai
wartawan nasional yang sering mengisi kolom pendidikan. Menurutnya, FSGI
sangat aktif dalam menanggapi isu pendidikan. Bahkan para wartawan tidak sulit
untuk mendapatkan informasi dari mereka. Ketika isu-isu pendidikan sedang
kosong, FSGI menjadi pelopor dalam memunculkan isu-isu tentang pendidikan.
Misalnya terkait permasalahan UN, organisasi profesi guru yang lain belum ada
yang berbicara. Namun FSGI sudah mewarnai isu tentang UN dengan ide-ide
mereka yang kritis.

Menggandeng media massa dalam gerakan tidak hanya dilakukan oleh


FSGI pusat saja, tetapi SGI yang ada di daerah-daerah juga menggunakan media
massa sebagai ujung tombak gerakan. Misalnya sebut saja SGI Bima, yang
menggunakan media massa sebagai ujung tombak gerakan. SGI Bima sejak awal
bergabungnya dengan FSGI menggunakan media massa untuk mengumumkan ke
publik bahwa SGI Bima bergabung dengan FSGI. EI mengatakan bahwa corak
gerakan SGI Bima dengan FSGI sama-sama menggunakan media massa untuk
menyuarakan gerakan sosial yang mereka lakukan. Bagi mereka, media massa
menopang segala bentuk gerakannya, dan merekam semua ide beserta gagasannya
untuk disampaikan ke publik. Lebih lanjut, HP mengatakan bahwa:
Universitas Indonesia
81

....Jadi selama ini kami melakukan gerakan bersama dengan jaringan dan
bersama dengan kekuatan media untuk memberikan masukan kepada
pemerintah agar pemerintah ini dalam pelayanan pendidikan, dalam
menciptakan demokrasi pendidikan, dalam menciptakan anggaran
pendidikan, harus berkualitas.... (wawancara dengan HP, 18 Maret
2019).

5.2.3 Pelatihan-Pelatihan Guru Sebagai Peningkatan Profesionalisme

Kemajuan bangsa dan kualitas pendidikan sangat erat kaitaannya dengan


guru. Hal ini karena guru merupakan ujung tombak dalam pendidikan. Walaupun
kurikulumnya canggih, mentrinya sering bergonta ganti, anggaran pendidikannya
besar, namun jika kompetensi gurunya yang rendah akan tetap rendah kualitas
pendidikan tersebut. Fakta tentang rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia
bukan suatu isapan jempol belaka. Berdasarkan indeks pembangunan manusia
(IPM) dari United Nations Development Programme (UNDP) 2016, Indonesia
hanya meraih angka 0,689 dan berada di peringkat ke-113 dari 188 negara. Nilai
tersebut serupa dengan laporan dari Global Education Monitoring (GEM) Report
2016 yang menempatkan pendidikan Indonesia berada pada urutan 10 dari 14
negara berkembang. Hal ini terjadi lantaran komponen gurunya yang berada pada
peringkat 14 dari 14 negara berkembang. Hingga saat ini, permasalahan tersebut
terjadi lantaran permasalahan kompetensi guru.

Pada lain pihak, pemerintah telah berupaya meningkatkan anggaran


pendidikan menjadi 20% di tahun 2016 atau sekitar 444 triliun dari total APBN.
Dengan anggaran yang sebesar ini, diharapkan kualitas pendidikan semakin baik.
Namun faktanya anggaran yang besar tersebut digunakan untuk membayar gaji dan
tunjangan guru PNS. Maka tidak mengherankan jika rata-rata penghasilan guru
PNS menjadi lebih meningkat. Pada dasarnya naiknya kesejahteraan guru bukanlah
suatu masalah, namun ketika kesejahteraan yang meningkat dengan tidak diiringi
oleh meningkatnya kulitas kompetensi guru akan menjadi masalah. Faktanya,
kualitas pendidikan di Indonesia jauh dari kata “memadai”. Hal ini lantaran hasil
UKG guru dengan rata-rata nasional pada tahun 2015 berkisar 40-43, sedangkan

Universitas Indonesia
82

pada tahun 2016 berkisar 63-70. Padahal angka ini masih di bawah standar yakni
75.

Permasalahan komptensi dan profesionalitas guru ini pun menjadi fokus


gerakan dari FSGI. FSGI sering mengadakan pelatihan-pelatihan untuk
meningkatkan kompetensi anggotanya. Alasan FSGI untuk tidak memberikan
pelatihan terhadap guru pada umumnya karena FSGI telah dicap sebagai organisasi
yang kerap menentang pemerintah. Mereka para guru takut jika bergabugn dengan
FSGI akan mendapatkan tekanan dari pemerintah atau sebagainya. Pada sisi lain,
pelatihan-pelatihan ini kerap mendapatkan antipati dari dinas pendidikan dan
mereka merasa berat dengan gerakan yang dilakukan oleh FSGI. Hal ini
sebagaimana disampaikan oleh HP bahwa:

Sementara ini kami baru melakukan pelatihan itu kepada anggota kami.
Karena begitu kami merambah kepada dunia lain, ketika kami melakukan
penawaran itu terhadap daerah lain, dinas itu sudah antipati dulu terhadap
kami, kami-kami ini kritis, mendasar, dan mereka sering merasa berat
dengan gerakan kami. Maka mereka itu sering menutup akses kepada kita
padahal kami itu adalah demokrasi pendidikan, kami itu termasuk magian
dari egaliter pendidikan, sehingga pemberdayaan, sehingga tidak otoriter.
(wawancara dengan HP, 18 Maret 2019).

Selain itu, metode pelatihan yang dilaksanakan oleh FSGI cukup berbeda
dengan metode yang dilakukan oleh pemerintah. Ketika pemerintah memberikan
pelatihan secara umum terhadap guru, maka FSGI mempunyai metode 4B1E
(berkualitas, bermanfaat, berkelanjutan, berbobot, dan evaluatif). Pelatihan ini
dimaksudkan supaya pelatihan FSGI tidak seperti pelatihan pemerintah yang “gitu-
gitu aja”. Bentuk pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah bersifat massal,
temporer, sporadis, tidak ada evaluasi, dan tidak berkelanjutan. Supaya
pelatihannya tidak “gitu-gitu aja” maka metode 4B1E ini diterapkan oleh FSGI
sekaligus menjadi suatu masukan untuk pemerintah.

Pelatihan yang berkualitas maksudnya adalah isi dari pelatihan tersebut


memberikan makna terhadap para guru. Saat datang ke pelatihan, guru

Universitas Indonesia
83

mendapatkan apa yang mereka inginkan dan meningkatkan bagian kompetensi


yang dirasa kurang. Selain itu pelatihan yang bermanfaat, artinya pelatihan tersebut
sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh guru. Jangan sampai ketika guru sudah
paham dengan materi-materi pedagogis, namun pelatihan yang diberikan adalah
pelatihan pedagogis. Akan tetapi, yang dibutuhkan oleh guru adalah pelatihan
tentang kompetensi profesionalnya. Metode pelatihan yang diberikan oleh FSGI
selanjutnya adalah pelatihan yang berkelanjutan, maksudnya adalah pelatihan yang
diberikan tidak hanya berhenti 3 hari atau seminggu, tetapi pelatihan ini dilakukan
berkelanjutan dan ber-periodik. Memang yang menjadi permasalahan untuk ini
adalah anggaran pelatihannya. Namun tidak salah juga ketika pelatihan ini
menggunakan anggaran pendidikan yang 20% ini lebih banyak diarahkan untuk
pelatihan-pelatihan terhadap guru. Metode pelatihan yang dilakukan oleh FSGI
adalah pelatihan yang berbobot. Ukuran bobot latihan tersebut bukan pada lamanya
pelatihan, tetapi seberapa bermaknanya pelatihan tersebut terhadap guru. Ketika
guru datang ke pelatihan, guru menyadari bahwa pelatihan tersebut merupakan
yang ia butuhkan.

Ada beberapa bentuk pelatihan yang telah dilaksanakan oleh FSGI.


Pertama, pelatihan tentang pengelolaan keberagaman di sekolah. Bentuk pelatihan
ini diarahkan kepada kompetensi sosial yang dimiliki oleh guru. Untuk
mengadakan pelatihan ini, FSGI bekerja sama dengan SETARA INSTITUTE dan
Komnas HAM demi memberikan kebermanfaatan dan kebermaknaan pelatihan
tersebut terhadap guru. Hal ini sesuai dengan penjelasan SS bahwa

Pelatihan terhadap anggota, kita pernah beberapa kali melakukan pelatihan.


Kita tidak fokus konsep-konsep pedagogis. Misalnya bagaimana guru
mengelola keberagaman, misalnya FSGI dulu bekerja sama dengan
SETARA INSTITUTE, atau Komnas HAM itu pernah. Yang melakukan
pelatihan-pelatihan untuk guru, terutama untuk anggotanya (wawancara
dengan SS, 9 November 2018).

Kedua, ada juga pelatihan tentang transparansi keuangan di sekolah dan


transparansi dana pendidikan. Pelatihan ini difokuskan pada bagaimana pendidikan
anti korupsi bisa berjalan baik di lingkungan sekolah. Korupsi telah menjadi musuh
Universitas Indonesia
84

berbahaya bagi bangsa, bahkan kementrian pendidikan merupakan kementrian yang


cukup banyak melakukan korupsi (Kompas.com, 2019). Oleh sebab itu, untuk
mengadakan pelatihan ini FSGI bekerja sama dengan ICW untuk melakukan
pelatihan tentang transparansi keuangan dan dana pendidikan di sekolah. Ketiga,
pelatihan tentang pencegahan radikalisasi di sekolah. Kegiatan pelatihan ini lebih
difokuskan ke darah-daerah yang menjadi satuan deradikalisasi. Ada beberapa
daerah yang menjadi satuan deradikalisasi seperti DKI Jakarta, Kalimantan, dan
NTB. Wilayah ini merupakan wilayah yang menjadi jejak-jejak teroris, sehingga
deradikalisasi melalui pendidikan sangat penting untuk dilakukan. Pelatihan ini
dilakukan oleh FSGI dengan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT). Subjek yang dituju dalam pelatihan ini adalah kepala sekolah,
karena dalam banyak temuan guru banyak yang terlibat untuk mendukung
radikalisasi. Keterlibatan tersebut biasanya melalui kegiatan-kegiatan
ekstrakulikuler dan sebagainya. Menurut HP, tidak hanay guru dan siswa yang
mereka berikan pelatihan, tetapi kepala sekolah yang mempunyai fungsi
meminimalisir deradikalisasi di sekolah. Lebih lanjut, HP mengatakan bahwa

...... Kami mengumpulkan kepala sekolah dalam rangka antisipasi di setiap


sekolahnya tumbuh radikalisasi. Karena banyak di sekolah-sekolah itu
ternyata banyak gurunya yang mendukung radikalisasi, melalui kegiatan
Islam misalnya dalam bentuk ekskul. Ternyata ada pembina ekskul yang
ekstrim kemudian memberikan gagasan itu kepada siswanya sehingga di
situlah tertanam. Maka ketika ditanam di situ, banyak sekali keterlibatan
anak SMA dalam bom bunuh diri. Ketika kepala sekolah itu kami
kumpulkan, kami ajak, untuk pelatihan deradikalisasi itu, fungsinya untuk
deradikalisasi, mengeliminir radikal itu dari basis-basis sekolah.....
(wawancara dengan HP, 18 Maret 2019).

Selain pelatihan yang berkaitan dengan kompetensi sosial guru, juga ada
pelatihan tentang kompetensi pedagogis guru. Pelatihan ini berbentuk pelatihan
manajemen kelas. Pelatihan ini berbentuk cara-cara melakukan manajemen kelas
yang ideal bagi seorang guru. Ketika kelasnya termanajemen dengan baik, maka
proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar. Dengan lancarnya proses

Universitas Indonesia
85

pembelajaran di kelas, maka transfer ilmu akan lebih mudah. Ilmu yang diberikan
kepada siswa akan diserap dengan maksimal oleh siswa, dan tujuan pendidikan
nasional akan mudah terwujud.

Pelatihan-pelatihan ini tidak hanya dilakukan oleh FSGI pusat semata, tetapi
SGI yang ada di daerah-daerah juga mengadakan pelatihan-pelatihan guna
meningkatkan kompetensi guru, terutama guru yang menjadi bagian dari
keanggotaan FSGI. Kita sebut saja pelatihan menulis yang dilakukan oleh SGI
Bima. Pelatihan tentang menulis ini dilaksanakan oleh SGI Bima untuk anggota
internal semata. Menurutnya, dengan menulis akan lebih mudah menyampaikan ide
dan gagasan ke publik, apalagi gerakannya ditopang oleh media massa. Lebih
lanjut, EI mengatakan bahwa

Saya mengajak teman-teman FSGI ini untuk menulis. Kita belajar bersama-
sama. Kita saling sharing tentang penulisan. Bagi saya menulis itu penting
karena dibaca orang banyak. Artinya pikiran-pikiran kita bukan hanya
secara lisan, bukan gerakan-gerakan lisan. Maka tulisan-tulisan teman-
teman FSGI Bima ini cukup dilihat dan dibaca oleh stakeholder maupun
masyarakat (wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).

Pelatihan yang hampir serupa juga dilaksanakan oleh SGI Medan.


Pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh organisasi ini untuk menunjang
kompetensi sosial dan kompetensi pedagogis guru. Pelatihan yang telah mereka
laksanakan antara lain pelatihan penerapan kurikulum 2013 di sekolah, pelatihan
menulis ilmiah dan pelatihan dalam penyusunan anggaran dana pendidikan yang
bekerja sama dengan ICW. Namun SGI Medan dalam gerakannya lebih banyak
mengarah pada advokasi guru dalam masalah hukum. Menurut penuturan FT,
dalam dua tahun terakhir SGI Medan kurang aktif dalam melakukan kegiatan
pelatihan, namun untuk kegiatan advokasi masih berjalan.

5.2.4 Diskusi Sebagai Upaya Mobilisasi Massa

Dalam gerakan sosial, kualitas dan kuantitas massa sangat penting untuk
mencapai tujuan. Kualitas massa berkaitan erat dengan seberapa paham dan
seberapa besar makna yang akan diperjuangkannya, sedangkan kuantitas berkaitan
Universitas Indonesia
86

erat dengan seberapa besar jumlah yang ikut dalam gerakan tersebut. Maran (2001:
65) mengatakan bahwa kualitas dan kuantitas massa sangat penting untuk gerakan
sosial, apakah nanti massanya akan memberikan perubahan atau hanya sekedar
untuk penentangan. Hal ini senada dengan Tan Malaka (2000) yang mengatakan
bahwa jumlah massa penting untuk melakukan revolusioner.

Berkaitan dengan kualitas dan kuantitas massa dalam gerakan sosial, hal ini
juga disadari oleh FSGI. Bagi mereka, kualitas dan kuantitas anggota sangat
penting dalam melakukan gerakan sosial. Ada beberapa strategi FSGI untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas anggota. Pertama, keanggotaan FSGI yang
bersifat organisasi dan individu. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa salah
satu syarat untuk bergabung FSGI adalah tergabung dalam organisasi Serikat Guru
yang sudah bergabung dengan FSGI. Jika Serikat Guru di daerah tersebut belum
ada atau belum tergabung, individu tersebut harus membuat organisasi Serikat Guru
di daerah tersebut terlebih dahulu dengat mengikuti prosedur hukum yang berlaku
di Indonesia. Jika sudah ada organisasi Serikat Guru, dan organisasi tersebut telah
bergabung dengan FSGi, calon anggota tersebut bisa langsung bergabung dengan
serikat guru yang ada di daerahnya. Secara otomatis calon anggota tersebut akan
menjadi anggota SGI dan FSGI. Sistem keanggotaan yang seperti ini akan
meningkatkan kuantitas keanggotaan FSGI.

Strategi yang kedua, dengan melakukan diskusi rutin pada setiap SGI.
Setiap SGI di daerah selalu melakukan kajian rutin yang bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman guru tentang isu-isu pendidikan yang sedang
berkembang. Diskusi rutin ini digunakan sebagai ajang tukar pikiran antar anggota.
Diskusi rutin ini juga berlaku bagi FSGI secara nasional. Ketika ada isu pendidikan,
FSGI langsung mengadakan musyawarah nasional melalui media sosial, seperti
grup Whats App dan google drive. Hal ini sebagaimana dikatakan HP bahwa:

Penggunaan grup WA itu, google drive, untuk jarak jauh kami dalam
membuat rilis, memudahkan kami dalam efisiensi waktu tidak
memunginkan kami harus bertemu untuk memutuskan sesuatu. Dunia maya
ini sudah membantu untuk akses ini membuat kami melakukan gerakan
semakin cepat (wawancara dengan HP, 18 Maret 2019).
Universitas Indonesia
87

5.3 FSGI Sebagai Gerakan Sumber Daya


Dalam kerangka teoritis, gerakan sosial yang dilakukan oleh FSGI dapat
dikatakan sebagai gerakan sumber daya (Resource Mobilization). Asumsi dari
perspektif ini adalah ketidakpuasan bukanlah hal satu-satunya yang menyebabkan
gerakan muncul, tetapi kemampuan agen gerakan sosial dalam memobilisasi sumber
daya yang ada untuk merespon masalah sosial. Hal ini senada dengan McCharty &
Zald (1977) yang mengatakan bahwa organisasi gerakan sosial memberikan
struktur mobilisasi yang sangat krusial bagi aksi kolektif dalam bentuk apapun.
Artinya, bukan ketidakpuasan yang menjadi faktor utama gerakan sosial muncul,
tetapi pengorganisasian untuk menciptakan sumber daya dan struktur mobilisasi
sebagai bentuk aksi kolektif. Dengan kata lain, aksi kolektif ini sebagai cara atau
sarana mencapai tujuan. Ketika asumsi dari teori gerakan sumber daya ini dikaitkan
dengan FSGI, maka kita dapat melihat bahwa FSGI sebagai organisasi profesi
digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Tentunya tujuan dari FSGI adalah
untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Dalam
mewujudkan tujuan ini, mereka mempunyai beragam bentuk cara untuk mencapai
tujuan ini yang telah peneliti tulis pada subbab sebelumnya.

Selain itu, teori sumber daya ini dipengaruhi oleh pendekatan rasionalisme
Olsonian yang menyatakan bahwa hanya ada sedikit alasan bagi individu untuk
terlibat dalam aksi kolektif. Klandermans (2005) mengatakan bahwa semakin
spesifik alasan seseorang untuk bergabung dengan aksi kolektif tersebut, maka
semakin besar kemungkinan untuk melakukan perilaku kolektif tersebut. Seseorang
yang bergabung dengan organisasi gerakan akan mempertimbangkan untung-rugi
dalam gerakan. Ketika para anggota merasa gerakan ini menguntungkan mereka
secara pribadi, maka mereka akan bergabung. Namun sebaliknya, ketika mereka
merasa tidak diuntungkan, maka mereka tidak ikut dalam gerakan ini. Terkait
dengan keanggotaan FSGI, rasionalisme Olsonian ini nampaknya tidak berlaku bagi
para anggota. Mereka yang tergabung sebagian besar karena alasan idealisme,
bahwa memang dibutuhkan organisasi yang progresif guna mewujudkan
pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Idealisme ini sudah dibentuk dari
mereka mahasiswa. Rata-rata para anggota organisasi ini mempunyai latar belakang

Universitas Indonesia
88

keanggotaan organisasi mahasiswa yang mempunyai idealisme. Hal ini sesuai


dengan disampaikan oleh EI bahwa:

....Teman-teman ini juga kan punya idealisme, dengan modal proposal


mendatangi pemerintah, saya lihat teman-teman di FSGI ini masih memiliki
idealisme-idealisme itu sejak mereka mahasiswa sampai hari ini. Idealisme
yang ada pada zamannya mereka itu masih terawat dengan baik di FSGI ini
saya lihat..... (wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).

Dengan adanya kesamaan idealisme ini, maka para anggota FSGI


menggunakan organisasi sebagai kotnsruksi dan rekonstruksi keyakinan-keyakinan
kolektif, mentransformasikan ketidakpuasan dan isu-isu tentang pendidikan dalam
bentuk aksi kolektif, dan mempertahankan komitmen terhadap gerakan. Menurut
Klandermans (2005), gerakan sosial dalam sudut pandang gerakan sumber daya
akan muncul sebagaikonsekuensi dari bersatunya para aktor dalam cara yang
rasional, mengikuti segala kepentingan mereka, dan adanya peran sentral organisasi
untuk memobilisasi sumber daya yang ada pada mereka. Lebih lanjut menurut
Klandermans (2005), sumber daya terbagai menjadi dua yaitu sumber daya materil
dan non-materil. Sumber daya materil mencakup usaha, uang, keuntungan konkret,
dan jasa. Selain itu, sumber daya non-materil yang mencakup otoritas, pertalian
moral, jaringan, kepercayaan, dan persahabatan. Dalam sumber daya non-materil ini
termasuk juga seberapa besarnya partisipan atau anggota, publikasi media, serta
dukungan opini publik dan elite. Untuk lebih jelasnya, peneliti mendeskripsikan
kekuatan sumber daya dalam gerakan ini pada pembahasan berikut.

5.3.1 Donasi FSGI Sebagai Sumber Daya Materil

Sumber daya materil erat kaitannya dengan uang dan pendanaan dalam
sebuah organisasi gerakan. Bagi FSGI sendiri, mereka mendapat sumber dana
melalui beberapa cara, yaitu iuran anggota, proposal dari pemerintah, hibah dari
institusi lain, dan lain-lain. Menurut penuturan SS bahwa FSGI juga memungut
uang kas dari para anggota, donasi yang tidak berikat, serta mengajukan proposal
kepada Kementrian untuk kegiatan pelatihan guru. Dengan tegas, ia mengatakan
bahwa segala bentuk dana yang diberikan kepada FSGI oleh institusi lain yang

Universitas Indonesia
89

syaratnya hanya satu, yaitu hibah tersebut tidak berikat. Artinya, kedeannya FSGI
tidak ada intervensi dari lembaga atau institusi lain. Hal ini senada dengan apa yang
disampaikan oleh EI, bahwa SGI Bima tidak mau diintervensi oleh lembaga
pemerintah atau institusi lain. Mereka hanya ini menjadi organisasi yang betul-betul
independen dan berdiri atas kaki sendiri.

Metode pendanaan yang tidak berikat ini juga dilakukan oleh SGI daerah,
misalnya SGI Bima yang mengelola pendanaannya melalui iuran sukarela anggota,
hibah yang tidak berikat. Namun, mereka mengatakan dengan tegas bahwa mereka
akan sangat malu ketika meminta dengan proposal kepada pemerintah. Berikut
penuturan dari EI bahwa:

....SGI Bima ini banyak pribadi, jadi kabupaten Bima berjuang dengan
kakinya sendiri, kami tidak pernah membawa proposal, malu kita bawa-
bawa proposal ke Kabupaten Bima, karena kita tidak mau diintervensi....
Kita memang pendanaan di Bima ini tidak sepeserpun, bahkan kami tidak
meminta iuran dari anggota kami. Walaupun PGRI meminta iuran, kalau
kami di FSGI tidak. Paling saya undang teman-teman rapat, mungkin dari
mana mereka punya uang, mungkin dari penghasilan dan keikhlasan kita
patungan, oke, jadi kita adakan kegitan... (wawancara dengan EI, 18 Maret
2019).

Dari penuturan ini, dapat kita ketahui bahwa SGI Bima tidak mau menerima
bantuan dari institusi manapun jika bantuan tersebut mengikat dan mengintervensi
organisasi. Kemandirian organisasi dan loyalitas para anggota yang membuat
gerakan ini semakin massif. Selain itu, SGI Bima jika ingin bekerja sama dengan
institusi lain, mereka ingin kerjasama dengan bantuan bukan berupa uang, misalnya
buku dan sebagainya. Seperti yang dikatakan EI bahwa mereka bekerja sama
dengan salah satu penerbit untuk pelatihan-pelatihan guru, dan yang didapatkan
oleh gurunya berupa buku. Karena menurutnya, buku jauh lebih besar manfaatnya
ketimbang memberikan uang. Sesuai penuturan EI berikut:

...Kalaupun bantuan yang datang kemarin, karena mba Retno Penerbit


Erlangga, oleh mba Retno diminta kerja sama dengan Erlangga, saat mba

Universitas Indonesia
90

Retno ke Bima 2018 kemarin, jadi saya kerja sama dengan Erlangga,
Alhamdulillah mba Retno datang, sampai kita diundang di kantor walikota,
mba Retno memberikan pelatihan kepada guru-guru. Terus di sekolah-
sekolah. Paling dengan Erlangga aja kita kerja sama, tapi bukan dari bentuk
uang sih. Mereka beli bukunya, guru-guru ini beli bukunya, dari situlah
mereka dapat (wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).

5.3.2 Sebaran Jaringan FSGI Sebagai Sumber Daya Non-Materil

Berbicata tentang sebaran jaringan, kita tidak akan terlepas dari konsep
modal sosial (social capital). Putnam (1995) mengatakan bahwa ada tiga komponen
utama dalam membentuk modal sosial yaitu jaringan, norma dan kepercayaan
(trust). Ketiga hal ini saling mempunyai hubungan timbal balik antara satu sama lain
dan akan menguntukngkan satu sama lain. Dalam membaca tiga komponen ini,
Putnam menjelasakan bahwa jaringan sosial merupakan bagian yang tidak dapat
berdiri sendiri. Norma dan trust inilah yang harus dimiliki oleh para aktor dan
dipertukarkan melalui jaringan sosial dengan organisasi sosial sebagai fasilitatornya.
Dengan tegas Putnam memposisikan trust sebagai komponen yang paling penting,
karena jejaring tidak akan terbentuk jika tidak ada unsur kepercayaan. Lain hal
dengan norma, merupakan komponen yang disepakati bersama oleh para aktor yang
berjejaring.

Lebih lanjut Putnam (2001) menjelaskan kelekatan hubungan dalam modal


sosial terbagi dua, yaitu modal sosial padat dan modal sosial cair. Dikatakan
hubungan modal sosial padat ketika hubungan sosial antar aktor terjadi terus
menerus dalam berbagai aktivitas sehari-harinya. Sementara itu, dikatakan modal
sosial tipis ketika hubungan yang terjadi sifatnya sementara dan tidak ada
keberlanjutan setelah itu. Kemudian Putnam (2001) menjelaskan bahwa bentuk
jaringan sosial terbagi dua yaitu jaringan sosial yang formal dan jaringan sosial
informal. Jaringan sosial formal merupakan jaringan sosial yang terbentuk ketika
seseorang mendaftarkan dirinya pada suatu organisasi yang terstruktur dan
mempunyai aturan-aturan yang bersifat formal di dalamnya. Contoh jaringan sosial
yang formal adalah serikat buruh, serikat guru, organisasi masyarakat, dan
sebagainya. Lain hal dengan jaringan sosial yang bersifat informal, mereka
Universitas Indonesia
91

berjejaring karena ada kesamaan tertentu, dan dalam jaringan tersebut tidak
memiliki aturan yang baku. Misalnya kelompok arisan, jaringan pertemanan, dan
sebagainya.

Berbeda dengan Putnam, Bekert (2009) menjelaskan bahwa ada tiga


komponen yang saling berinterelasi untuk menciptakan perubahan dalam sebuah
arena (fields). Ketiga komponen tersebut adalah institusi, jaringan sosial dan
cognitive frame. Dalam kerangka ini, institusi diartikan sebagai aturan, norma, dan
nilai yang mengikat setiap aktor dalam arena. Lain pula dengan jaringan sosial yang
diartikan sebagai pasar termpat terjadi transaksi antar aktor. Di pasar inilah terdapat
sumber daya, kekuasaan, pengaruh, dan bukan dominasi dari satu aktor. Kemudian
cognitive frame diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh aktor dalam
melakukan suatu yang ingin mereka capai dalam arena tersebut. Cognitive frame ini
dapat berupa orientasi pada nilai yang ingin diperjuangkan, bisa itu berupa nilai
ekonomi, nilai budaya dan sebagainya.

Konsep Beckert ini sejalan dengan apa yang terjadi dengan jaringan sosial
dalam FSGI. Pertama, komponen institusions. Di atas telah dijelaskan bahwa
institusions berkaitan dengan aturan yang mengikat setiap aktor di dalamnya. Pada
organisasi FSGI, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan
yuridis berdirinya organisasi ini. Artinya bahwa antara FSGI, pemerintah, dan
jaringan non-pemerintah akan terikat oleh aturan ini. Pemerintah tidak akan
mencekal organisasi dan akan bertindak sebagaimana diamanahkan oleh undang-
undang tersebut. Hal ini sesuai dengan penuturan HP, bahwa pemerintah berperan
sebagai partner strategis dari FSGI. Walaupun banyak penentangan-penentangan
yang terjadi, namun kerja sama antara FSGI dan pemerintah masih terlaksana
dengan baik. Hal ini sejalan dengan disampaikan oleh EI bahwa

Oh iya, menyangkut upaya advokasi kami kepada pemerintah Kabupaten


Bima, kami mem-pressure lebih banyak melalui tulisan-tulisan, baik berupa
artikel atau opini, tanggapan-tanggapan melalui press rilis, dan audiensi
dengan pihak stakeholder atau pemerintah. Upaya yang kami lakukan ini
sangat cepat direspon (wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).

Universitas Indonesia
92

Kompenen selanjutnya adalah jaringan sosial, yang didalamnya terdapat


sumber daya, kekuasaan, pengaruh, bahkan dominasi dari suatu aktor. Pada FSGI
ini, sebaran jaringannya mencakup pada NGO, pemerintah, dan masyarakat sipil
penggiat pendidikan humanis. Ada banyak NGO yang bekerja sama dengan FSGI,
antara lain ICW, SETARA Institute, LBH Jakarta, media-media massa dan lain-lain.
Sebaran jaringan ke pemerintah mencakup Komnas HAM, Dinas Pendidikan, dan
kementrian pendidikan. Kemudian dari masyarakat sipil dan penggiat pendidikan,
sebut saja Lodewijk F. Paat, Jimmy Paat, Bambang Wisudo dari Sekolah Tanpa
Batas, dan Arif Faisal dari Lembaga Bantuan Hukum Sahdar Medan. Jaringan-
jaringan yang dimiliki oleh FSGI mempunyai kontribusi yang berbeda-beda pula.
Media massa berkontribusi lebih banyak pada pemberitaan ide-de dan gagasan yang
dimiliki oleh FSGI. Selain itu ICW dan Setara Institute berkontribusi lebih banyak
pada pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh FSGI. FSGI berkerja sama dengan
LSM tersebut guna meningkatkan kompetensi sosial yang dimiliki guru. Di lain
pihak, LBH berkontribusi dalam proses advokasi-advokasi guru dalam perjuangan
dari sudut pandang hukum. Lain pula jaringannya dengan lembaga pemerintah,
Komnas HAsM misalnya. Dengan Komnas HAM ini kerjasama lebih banyak pada
pendukungan program pemerintah, dan program tersebut sejalan dengan FSGI.
Salah satu contoh kerja sama yang dilakukan adalah pelatihan tentang anti
kekerasan dalam lingkungan sekolah, pelatihan deradikalisasi di lingkungan
sekolah, dan sebagainya. Lain pula kontribusi jaringan FSGI yang bersifat
indivudual. Kontibusi jaringan yang bersifat individual ini lebih banyak pada
kegitan diskusi sebagai proses dialektika antar anggota.

Selain komponen institusion dan jaringan sosial, komponen cognitive frame


juga mempunyai peran bagi FSGI. Menurut peneliti, bagi FSGI komponen inilah
yang mempunyai peran besar dalam menciptakan jaringan sosial. Seperti yang
dikatakan Beckert (2010), cognitive frame berkaitan dengan orientasi nilai yang
diperjuangkan. Pada FSGI, orientasi nilai yang mereka perjuangkan mengarah pada
orientasi sosial-budaya. Artinya, mereka memperjuangkan pendidikan yang
berkualitas dan berkeadilan.

Universitas Indonesia
93

5.4 FSGI: Diskursus Antara Profesionalisme dan Kepentingan Kesejahteraan


Pada pembahasan sebelumnya, peneliti telah menjelaskan tentang visi dari
FSGI yaitu mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Jika ditarik
dalam pembahasan ini, maka ada dua hal penting yang kita ambil di sini. Pertama,
kualitas pendidikan tidak terlepas dari profesionalisme guru dalam mengajar.
Kedua, pendidikan yang berkeadilan tidak terlepas pula pada kepentingan
kesejahteraan guru yang berelasi pada institusi atau individu yang “menggaji” guru
tempatnya mengajar. Jika guru tersebut berstatus sebagai pegawai pemerintah, maka
relasi kesejahteraannya tersebut dengan pemerintah, atau jika guru tersebut berstatus
sebagai guru yayasan, maka relasinya dengan pemilik yayasan.

Dalam konteks sosiologis, antara profesionalisme dan kepentingan


kesejahteraan memiliki akar yang berbeda. Kita akan membahasnya satu persatu.
Petama, akar dari profesionalisme yang terdiri dari kata profesi dan isme. Profesi ini
berasal dari bahasa latin yaitu profecus yang artinya pengakuan. Sedangkan isme
artinya paham-paham. Jadi, secara bahasa kita dapat mengartikan profesionalisme
merupakan paham-paham tentang pengakuan peranan seseorang. Dalam
masyarakat, ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan pengakuan, karena untuk
melakukan pekerjaan ini membutuhkan kriteria tertentu. Misalnya pekerjaan dokter,
guru, jurnalistik, polisi dan sebagainya. Fungsinya pengakuan ini supaya tidak
terjadi kesalahan atau penipuan dalam pekerjaan ini. Kita sering mendengar istilah
dokter gadungan, polisi gadungan, atau bahkan guru gadungan. Istilah ini
disematkan supaya adanya pengakuan dari masyarakat atau komunitas profesi
tersebut.

Terlepas dari ini semua, profesionalisme guru pun mempunyai ukuran ketika
seseorang dikatakan sebagai guru yang profesional. Menurut UU Guru dan Dosen,
seorang guru dikatakan profesional ketika ia mempunyai empat kompetensi dasar
dalam mengajar. Keempat kompetensi tersebut antara lain kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Artinya, secara sosiologis profesionalisme
berkaitan erat dengan modal/capital guru tersebut, terutama modal akademis dari
guru.

Universitas Indonesia
94

Kedua, berbeda halnya dengan kepentingan kesejahteraan. Kepentingan


kesejahteraan ini memiliki relasi antar individu. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, relasinya dengan atasan guru yang bersangkutan. Kesejahteraan di sini
dapat diartikan bahwa balas jasa yang diberikan oleh atasan yang berbentuk gaji
sudah mampu mencukupi kebutuhan hidup si guru tersebut. Memang pada dasarnya
kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda, namun disini pemerintah dengan
bijaknya memberlakukan sistem upah minimum regional (UMR), dengan maksud
upah tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar seseorang. Permasalahan ini akan
muncul ketika upah atau gaji yang diberikan terhadap guru tidak mencukupi
kebutuhan hidup sang guru tersebut. kenyataan ini lebih banyak dialami oleh guru
yang statusnya masih sebagai guru honorer, terutama guru honorer sekolah swasta
kelas menengah ke bawah atau honorer sekolah negeri yang lokasi sekolahnya
berada di daerah.

Dua permasalahan ini menjadi fokus kajian dan gerakan sosial dari FSGI.
Kendatipun secara akar sosiologis ini merupakan hal yang berbeda, tetapi dalam
pandangan FSGI merupakan satu hal yang sama. Menurutnya, antara
profesionalisme dan kesejahteraan tidak terlepas dari sudut pandang keadilan. Hal
ini sebagaimana yang dijabarkan oleh EI bahwa

.....Sedangkan sertifikasi ini kan tujuannya guru bsa lebih tenang, lebih
sejahtera dalam menjalankan profrsinya, Artinya uang berhubungan dengan
kompetensinya, sertifikasinya ini kan guru lebih bisa meningkatkan diri
untuk profesinya, meningkatkan teknik mengajarnya, strategi belajar
mengajarrnya. Nah ini kan antara profesionalisme kalaupun tingkat
kesejahteraan guru itu tinggi, seharusnya dengan adanya tunjang-tunjangan
sertifikasi ini baik itu tunjangan daerah terencil, maupun tunjangan
sertifikasi guru, mau tidak mau guru harus mampu menaikkan
kompetensinya .....(wawancara dengan EI, 18 Maret 2019).

Dari penuturan EI tersebut, pada FSGI pun sendiri berkembang diskursus


persoalan antara profesionalisme dan kesejahteraan. Profesionalisme yang minim
terjadi akibat dua hal, pertama, dari individu guru yang tidak mau untuk meng-
upgrade kemampuannya. Guru enggan menambah ilmunya dengan mengikuti
Universitas Indonesia
95

pelatihan-pelatihan sehingga kompetensi guru lebih meningkat. Kedua, sebaliknya,


bukan guru yang enggan untuk ikut pelatihan peningkatan kompetensi, tetapi
pelatihan yang diberikan oleh pemerintah yang tidak merata bagi setiap guru, atau
pelatihan yang diberikan oleh pemerintah tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan
oleh guru. Kenyataan ini akan menjadi lebih bermasalah lagi ketika gaji yang
didapatkan oleh guru tidak sesuai dengan tingkat kompetensi yang dimilikinya.
Katakanlah kompetensi guru baik, tetapi gajinya tidak menyejahterakan, atau
sebaliknya, kompetensi guru tidak baik, tetapi gajinya menyejahterakan. Hal ini
sama-sama tidak berkeadilan dalam sudut pandang FSGI. Namun, ada permasalahan
yang lebih tidak berkeadilan lagi yaitu ketika kompetensi guru yang tidak baik dan
gaji yang diterima tidak menyejahterakan. Ini merupakan persoalan pelik yang
dihadapi oleh sekolah-sekolah di daerah, salah satunya di Bima.

5.5 Penutup
Reformasi politik tahun 1998 tekah membuka ruang kebebasan bagi seluruh
rakyat Indonesia untuk menentukan sikap, pandangan, dan tindakannya masing-
masing, termasuk dalam memaknai kembali keadilan dalam pendidikan. FSGI
sebagai organisasi profesi guru pun turut mewarnai makna keadilan dalam
pendidikan. Ada beberapa bentuk gerakan sosial yang diperjuangkan oleh FSGI
untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.

Konsep tentang kualitas dan keadilan dalam pendidikan memang cukup luas.
Dengan luasnya konsep ini, maka gerakan FSGI pun dapat dikatakan luas. Ia tidak
hanya bergerak pada level lokal, tetapi juga bergerak dalam level nasional. FSGI
sangat responsif mengenai isu-isu pendidikan yang berkaitan dengan kualitas dan
keadilan dalam pendidikan. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk gerakan yang
dilakukannya. Seperti yang telah dituliskan di atas, ada beberapa bentuk gerakan
sosial yang dilakukan oleh FSGI antara lain advokasi, media massa, jaringan,
diskusi, dan pelatihan.

Dalam mengadvokasi, tidak hanya advokasi kepentingan guru saja yang


diperjuangkan. Tetapi kepentingan untuk mencapai keadilan dalam pendidikan pun
disuarakan, misalnya keadilan untuk siswa, atau sistem pendidikan itu sendiri.
Selain itu, dalam gerakan sosial FSGI tidak hanya memanfaatkan meja hijau dalam
Universitas Indonesia
96

gerakannya, tetapi meja coklat pun ia pergunakan. Makna meja coklat disini adalah
penggunaan media massa sebagai bentuk dukungan dan upaya mencapai tujuan.
Dikatakan bahwa bagi FSGI media massa sebagai ujung tombak dalam gerakan,
karena tanpa media massa mereka tidak akan bisa mengekspose “apa yang sedang
diperjuangkan” dan tidak akan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Selain
media massa, FSGI juga memanfaatkan jaringan sosial sebagai partner dalam
gerakan sosial. Jaringan ini bertujuan untuk memperkuat gerakan yang dilakukan
oleh FSGI. Salah satu partner strategis FSGI adalah LBH yang memang konsen
dalam bantuan hukum. Terakhir, bentuk gerakan FSGI tidak hanya menekan
pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, namun bergerak sendiri
untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Caranya adalah dengan
mengadakan pelatihan-pelatihan yang ditujukan untuk guru sehingga kompetensi
guru akan semakin membaik. Bagi mereka, kualitas pendidikan berkaitan erat
dengan kompetensi guru. Ketika kompetensi guru baik, maka kualitas pendidikan
akan membaik.

Universitas Indonesia
BAB VI

FSGI DALAM KONTESTASI POLITIK PENDIDIKAN DI INDONESIA

6.1 Pengantar
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang bentuk konkrit gerakan sosial
yang dilakukan oleh FSGI, sedangkan pada bab ini akan dijelaskan tentang isu
pendidikan yang berkembang di Indonesia menjadi arah gerakan FSGI dari berdiri
hingga tahun 2018. Pada dasarnya, dinamika politik akan mempengaruhi isu-isu
pendidikan. Hal ini lantaran kebijakan pendidikan yang diambil oleh pemerintah
akan mempengaruhi isu pendidikan dan menjadi landasan bagi organisasi penentang
pemerintah untuk melakukan suatu gerakan sosial.

Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang gerakan FSGI ini


merupakan gerakan poliltik pendidikan. Di sini akan dibahas tentang dialektika
proses FSGI menentang atau mendukung kebijakan pemerintah. Ketika kebijakan
tersebut berpihak terhadap guru, sejauhmana keterlibatan FSGI dalam mengawal
kebijakan tersebut. Sebaliknya, ketika kebijakan tersebut tidak berpihak terhadap
kepentingan pendidikan, sejauhmana penentangan yang dilakukan oleh FSGI. Relasi
antara FSGI dan pemerintah ini akan dibahas dari sudut pandang politik pendidikan,
karena sejatinya politik pendidikan berbicara tentang produksi dan reproduksi
kebijakan pendidikan. Bab ini lebih banyak membicarakan tentang refleksi peneliti
terhadap isu pendidikan di Indonesia.

6.2 FSGI dan Isu Pendidikan di Indonesia (2011-2018)


Sejak berdirinya FSGI di tahun 2011 sampai 2018, ada banyak isu
pendidikan yang terjadi di Indonesia dan menjadi sorotan dari FSGI. Berikut ini
adalah isu pendidikan rentang tahun tersebut yang menjadi sorotan FSGI antara lain;
ujian nasional, sistem zonasi PPDB, kekerasan di sekolah, kebijakan impor guru,
kebijakan fullday school, kebijakan kurikulum 2013, rendahnya kualitas pendidikan
dan buku pelajaran, permasalahan sertifikasi guru, payung hukum wajib belajar 12
tahun belum ada, angka putus sekolah tahun 2016 makin tinggi, ketidakadilan di
sekolah, distribusi KIP yang tidak tepat sasaran, pungutan liar di sekolah,
ketidaksesuai antara kurikulum dengan dunia kerja, LPTK yang abal-abal, tindakan

97
98

kesewenangan birokrat, permasalah UKG, dan lain-lain. Untuk lebih rincinya,


perhatikan roadmap gerakan FSGI di bawah ini:

Gambar 6.1

Road Map Isu Pendidikan yang Menjadi Sorotan FSGI

Sumber: Analisis peneliti yang diolah dari berbagai sumber berita online (2019)

Dari beragam isu yang diangkat oleh FSGI tersebut, dapat kita petakan
dalam 3 hal, yaitu kritik pada tataran konseptual, kritik pada tataran praktikal, dan
kritik sekaligus aksi sosial dalam hal advokasi guru. Ketiga ranah isu pendidikan ini
menjadi satu kesatuan yang saring berkaitan dan saling beririsan seperti gambar di
bawah ini.

Universitas Indonesia
99

Gambar 6.2
Posisi Gerakan FSGI dan dalam Isu Pendidikan

Sumber: Peneliti (2019)

Kritik pada tataran konseptual ini merupakan pengejawantahan dari visi dan
kerangka berpikirnya aktor dalam FSGI. Konsep-konsep pendidikan yang mengarah
pada pendidikan humanis sebagai landasan ide FSGI. Selain itu kritik pada tataran
praktikal ini merupakan kritik yang dilakukan oleh FSGI terhadap praktik-praktik
pendidikan yang kontemporer. Pada lain pihak, advokasi inilah yang menjadi
gerakan FSGI dalam mewujudkan visinya. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan
mendeskripsikannya di bawah ini.

6.2.1 FSGI: Kritik Pada Tataran Konseptual

Kritik pada tataran konseptual maksudnya adalah kritikan yang diberikan


oleh FSGI isu pendidikan yang mengarah pada konsep-konsep abstrak. Artinya
bahwa kerangka berpikir FSGI sebagai sebuah organisasi dan agen gerakan sosial
mengarah pada pendidikan humanis yang sejalan dengan visinya. Kritikan-kritikan
dalam tataran konseptual ini antara lain ketidakadilan dalam pendidikan, tujuan

Universitas Indonesia
100

pendidikan yang dangkal, kapitalisme dalam pendidikan, inkonsistensi kebijakan,


dan diskriminasi dalam pendidikan.

Gagasan tentang keadilan sosial dalam pendidikan memang relevan dengan


kondisi pendidikan di Indonesia, terutama melihat relasi secara vertika ketika
pemerintah yang melakukan penindasan terhadap sekolah, sebaliknya dalam relasi
horizontal ketika sekolah melakukan penindasan terhadap siswa. Dalam gagasannya
ini, FSGI melihat permasalahan dalam konteks vertikal dan horizontal. Pada konteks
vertikal, FSGI mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
terhadap guru dan siswa. Sedangkan dala konsteks horizontal FSGI melakukan kritik
dan advokasi terhadap kekerasan yang dilakukan di sekolah, baik itu kekerasan yang
dilakukan oleh siswa ataupun kekerasan yang dilakukan oleh guru. Gagasan keadilan
sosial dalam pendidikan ini menjadi dasar gerakan dan kritik setiap isu pendidikan
yang digencarkan oleh FSGI. FSGI menegaskan bahwa ketidakadilan terjadi di dunia
pendidikan yang menyababkan kekerasan akan muncul (Beritasatu, 2012).

Selain gagasan tentang keadilan sosial dalam pendidikan, FSGI memberikan


kritik terhadap dangkalnya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan merupakan hal
yang penting dalam pembangunan pendidikan sendiri. Ketika tujuan pendidikan
jelas, terkonsep, dan visioner, maka permasalahan-permasalahan pendidikan akan
lebih minim ditemukan. Namun sebaliknya, dalam pandangan FSGI tujuan
pendidikan di Indonesia masih sangat buram. Kritikan ini dilayangkan pada tahun
2012 sebagai bentuk penolakan terhadap kurikulum 2013. Menurutnya, kurikulum
2013 belum siap dan belum matang, dan hanya mengarah pada projek saja
(Damanik, 2012).

Gagasan tentang kapitalisme dalam pendidikan menjadi salah satu kritikan


FSGI terhadap realitas pendidikan di Indonesia. Kapitalisme pendidikan itu sendiri
mengarah pada kelas sosial dalam sekolah yang berdasarkan tingkat ekonomi dan
aksesibilitas anak untuk mengenyam pendidikan. Ada istilah RSBI, sekolah
internasional,sekolah nasional, sekolah favorit, bimbingan belajar, dan sebagainya
merupakan bagian dari kapitalisme pendidikan. Di sini, siswa yang mampu untuk
bersekolah di sekolah internasional adalah siswa yang orang tuanya berasal dari kelas
atas dan mampu membayar uang sekolah yang mahal. Sebaliknya, siswa yang dapat
Universitas Indonesia
101

dikatakan cerdas, namun kondisi ekonomi orang tuanya rendah akan bersekolah di
sekolah yang fasilitasnya tidak memadai. Istilah kapitalisme pendidikan ini lebih
dikenal dengan biaya pendidikan yang mahal dan tidak semua anak mempunyai
kesempatan untuk mengakses pendidikan. Inilah yang menjadi kritikan FSGI
terhadap realitas pendidikan di Indonesia (Indah, 2012).

Selain itu, FSGI pun lebih melakukan sejumlah kritik terhadap kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak terhadap guru dan siswa, salah satunya kebijakan
pendidikan yang tidak mempertimbangkan sumber daya manusia. Pada tahun 2012
kritikan FSGI terhadap pemerintah begitu deras, terutama tentang kebijakan
pendidikan dengan bermulanya isu perubahan kurikulum KTSP menjadi kurikulum
2013. Menurutnya, perubahan kurikulum tidak akan berdampak terhadap kemajuan
bangsa jika sumber daya dan kualitas guru tidak ditingkatkan (Afifah, 2012). Selain
itu kebijakan pemerintah lainnya tentang full day school yang menurut FSGI
kebijakan yang asal. Pasalnya, kebijakan ini dirumuskan oleh pemerintah terkesan
berdasarkan proyek. Selain itu full day school yang dinilai melanggar hak anak
(Suastha, 2016).

6.2.2 FSGI: Kritik Pada Tataran Praktikal

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa FSGI tidak hanya


mengkritik sistem pendidikan dengan konsep-konsep yang abstrak, tetapi juga
melakukan kritik terhadap praktik pendidikan di Indonesia. Tidak dipungkiri, banyak
isu-isu pendidikan yang dikritik oleh FSGI dari praktik pendidikan di Indonesia.
Misalnya, praktik terhadap penyelenggaraan UN yang menimbulkan beragam
permasalahan pendidikan. Mulai dari kebocoran soal UN, kecurangan-kecurangan
yang dilakukan oleh guru dan siswa terkait UN, siswa yang bunuh diri karena stress
menghadapi UN, bunuh diri karena UN dan lain sebagainya. Kemudian
permasalahan UN ini diselesaikan dengan cara lebih negosiatif oleh pemerintah
dengan agen gerakan sosial, bermula porsi kelulusan 60% ditentukan UN dan 40%
ditentukan oleh sekolah hingga lembaga sekolah mempunyai wewenang 100% untuk
kelulusan siswanya. Disamping itu, hasil negosiasi tersebut menjadikan nilai UN
sebagai pemetaan terhadap kemampuan siswa. Di sini, peneliti ingin menegaskan
bahwa memang tidak hanya FSGI yang melakukan kritik terhadap pemerintah, tetapi
Universitas Indonesia
102

dalam hal ini ia memberikan kontribusi yang besar terhadap kebijakan tentang UN
yang dinilai lebih berpihak terhadap siswa.

Selain kritik terhadap permasalahan UN, FSGI juga melakukan kritik


terhadap isu kualitas guru yang rendah karena universitas yang abal-abal. Dalam
dialog FSGI dengan Eko (2014) disebutkan bahwa ada sekitar 300 LPTK di
Indonesia, 200 diantaranya LPTK yang abal-abal. LPTK yang abal-abal maksudnya
adalah LPTK yang tidak memperhatikan kualitas pengajaran, tetapi hanya merekrut
mahasiswanya untuk kepentingan pendapatan kampus. Alhasil, lulusan guru menjadi
banyak, tetapi tidak mempunyai kompeten dalam mengajar dan pembelajaran (Eko,
2014). FSGI kemudian mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas permasalahan
LPTK yang abal-abal tersebut.

Disamping isu tentang LPTK yang abal-abal, FSGI juga mengkritik


kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Permendikbud No. 14 tahun 2018 tentang
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sebelumnya diatur dalam
Permendikbud No. 17 tahun 2017. Kritik FSGI tentang PPDB ini bermula dari tahun
2017 yang menilai pemerintah terlalu terburu-buru dalam menerapkan sistem zonasi
di sekolah, sehingga banyak persoalan yang ditimbulkannya. Persoalan yang
ditimbulkannya antara lain masalah pendataan yang lemah, persiapan yang tidak
matang, sosialisasi permendikbud yang terburu-buru, lemahnya pengawasan terhadap
Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), dan lemahnya koordinasi lintas dinas
(Hendrian, 2017).

Kritikan yang seperti ini terus disuarakan oleh FSGI melalui media massa,
hingga tahun 2018 FSGI berkolaborasi dengan lembaga-lembaga lain untuk
menuntut pemerintah dalam mengkaji ulang sistem PPDB tersebut. Namun, FSGI
tidak hanya melemparkan kritiknya saja. Mereka juga memberikan solusi atas
permasalahan tersebut, antara lain: pertama, pemerintah perlu memperbaiki pasal 19
ayat 1-3 dalam Permendikbud nomor 14 tahun 2018 tentang PPDB 2018. Menurut
FSGI, pasal ini mengatur tentang kewajiban sekolah menerima 20 persen siswa
miskin. Namun, aturan ini justru menimbulkan kerancuan dan rawan disalahgunakan.
Kedua, dalam Permendikbud ini perlunya penegasan pada pasal 16 ayat 2 dalam
persoalan migrasi kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) dalam satu Kepala
Universitas Indonesia
103

Keluarga (KK) paling lambat di lakukan 6 bulan sebelum masa pendaftaran PPDB
dibuka. Harus ada penegasan, bahwa kepindahan domisili peserta karena mutasi
dinas orang tuanya atau kerja atau pindah pemukiman. Ketiga, FSGI juga
merekomendasikan agar pemerintah dalam hal ini Kemendikbud bersama Dinas
Pendidikan terkait untuk memetakan kembali aturan zonasi secara cermat hingga
tingkat kelurahan/desa. Serta meningkatkan sarana pendidikan dengan mendirikan
sekolah-sekolah di tiap kecamatan untuk alih jenjang, agar terjadi pemerataan
pendidikan. Keempat, FSGI menghimbau kepada para orangtua dan pengurus
RT/RW agar bersikap dan bertindak jujur untuk mendapatkan/mengeluarkan SKTM.
Menurutnya, kasus meningkatnya pembuatan SKTM oleh oknum orangtua yang
ternyata dari keluarga mampu demi bersekolah di sekolah favorit tertentu sangat
merugikan siswa lain (Yunelia, 2018).

Isu tentang Full Day School juga menjadi kritikan FSGI kedua setelah isu
PPDB pada tahun yang sama terkait kebijakan pendidikan. Kritikan FSGI ini
berkaitan dengan penelluran kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui
Permendikbud Nomor 23 tahun 2017 tentang Lima Hari Sekolah. Kebijakan ini
kemudian menuai kontroversi selama beberapa bulan, yang kemudian diakhiri oleh
Presiden dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Menurut FSGI, walaupun Presiden ikut turun
tangan dalam menyelesaikan kontrovesi ini dengan Perpres, tetapi tidak betul-betul
menyelesaikan permasalahan sampai ke akar-akarnya. FSGI menilai PPK yang
langsung diimplementasikan pada tahun ajaran 2017/2018 juga menimbulkan
kesulitan tersendiri bagi guru dan sejumlah sekolah. Misalnya, hampir di seluruh
SMA unggulan di kota Mataram, NTB tidak bisa bagi rapor pada Sabtu, 16
Desember 2017 lantaran para guru kesulitan menyelesaikan proses penilaian PPK
yang sangat rumit. Hal tersebut disebabkan minimnya sosialisasi dan pelatihan dari
pemerintah terhadap guru, termasuk pengintegrasian PPK dalam Kurikulum 2013.
Dengan demikian, PPK sekedar muncul secara administratif dalam dokumen
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru (Movanita, 2017).

Universitas Indonesia
104

6.2.3 FSGI: Kapasitas Advokasi

Kapasitas advokasi yang dilakukan oleh FSGI di sini maksudnya adalah


kemampuan FSGI dalam memperjuangkan hak-hak guru dan siswa untuk
mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. FSGI disini akan selalu
mereproduksi bentuk-bentuk perlawanan terhadap kebijakan dan praktik pendidikan
yang dianggap merugikan siswa dan guru. Bentuk perlawanan biasanya melalui dua
cara, yaitu melalui meja coklat dan meja hijau seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Dalam rentang tahun 2011-2018, ada beberapa isu yang menjadi advokasi FSGI
dalam bidang hukum, antara lain pencopotan jabatan kepala sekolah oleh
pemerintah tanpa landasan hukum yang kuat, kekerasan terhadap guru dan siswa di
sekolah, perubahan kode mata pelajaran dalam kurikulum 2013 yang banyak
merugikan guru dalam hal tunjangan sertifikasi, dan tindakan kesewenangan
birokrat terahdap guru.

Kasus pencopotan jabatan kepala sekolah oleh Dinas Pendidikan DKI


Jakarta pada Mei 2015 silam mendapatkan perhatian dari FSGI. Kasus ini bermula
ketika salah seorang kepala sekolah SMAN 3 Jakarta kedapatan meninggalkan
tugasnya sebagai kepala sekolah saat pelaksaan ujian nasional. Kepala sekolah
tersebut menghadiri acara diskusi pagi di salah satu stasiun televisi swasta terkait
Ujian Nasional. Karena kasus ini, kepala sekolah tersebut dianggap lalai dalam
melaksanakan tugasnya sehingga jabatan kepala sekolahnya dicopot. Namun di
pihak lain, FSGI menyayangkan tindakan pemerintah yang mencopot jabatan kepala
sekolah tersebut.

Ada tujuh alasan yang dikemukakan oleh FSGI terkait permasalahan


pencopotan jabatan kepala sekolah dan permasalahan tersebut sudah sampai di
lembaga peradilan. Ketujuh alasannya tersebut antara lain: pertama, surat keputusan
yang mengatur pemberhentian dan pemindahan kepala sekolah tersebut tidak
menyebutkan pokok pembahasan tentang sekolah tujuan kepala sekolah tercopot
setelah diberhentikan sebagai kepala sekolah. Surat tersebut hanya membahas
pencabutan mandat dan revisi tunjangan. Kedua, pemberhentian kepala sekolah
karena alasan meninggalkan sekolah selama sejam dianggap berlebihan. Sebab,
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 menyebutkan pegawai negeri hanya
Universitas Indonesia
105

dapat teguran lisan ketika tak masuk selama lima hari berturut-turut. Ketiga,
pemeriksaan kepala sekolah tercopot selama tujuh jam tanpa henti pada 21 April
2015 yang tidak diberi kesempatan membela diri dan tidak didampingi penasihat
hukum. Bahkan ponselnya disita dan tidak diberi makanan selama pemeriksaan.
Menurut FSGI hal ini merupakan langkah yang intimidatif.

Keempat, Dinas Pendidikan menurut FSGI juga tendensius dalam


menentukan derajat kesalahan Retno dengan hanya berlandaskan ketidakhadirannya
saat hari kedua ujian nasional. Idealnya, ada bukti lain yang dipakai seperti kartu
kehadiran dan keterangan saksi untuk menentukan apakah Retno meninggalkan
kewajibannya sebagai kepala sekolah. Kelima, dinas pendidikan tidak proporsional
dan transparan. Keenam, surat pemberhentian baru diberikan setelah setelah 3 hari
pelantikan kepala sekolah baru. Hal ini jelas melanggar aturan karena seharusnya
kepala sekolah tercopot menerima surat tersebut minimal tujuh hari sebelum
pelantikan pejabat baru. Terakhir, anggapan dinas bahwa kepala sekolah tercopot
lebih mementingkan organisasi guru ketimbang tugasnya sebagai kepala sekolah
yang tidak berdasar (tempo.co, 2015). Ketujuh alasan ini menjadi tuntutan FSGI
dalam memperjuangkan advokasinya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),
hingga akhirnya kasus ini dimenangkan oleh FSGI (Maharani, 2016).

Selain kasus pencopotan jabatan kepala sekolah oleh dinas pendidikan, kasus
tentang kekerasan tehadap guru dan siswa juga menjadi fokus advokasi yang
dilakukan oleh FSGI. Sebagai contoh, kasus pemukulan terhadap guru kesenian di
Madura yang dilakukan oleh salah seorang siswanya, sehingga menyebabkan guru
tersebut meninggal dunia. Advokasi yang dilakukan oleh FSGI adalah menekan dan
mendorong pemerintah dan aparatur terkait untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Menurut FSGI, dalam UUGD Nomor 14 Tahun 2005 pasal 39 ayat 1 disebutkan
bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam
pelaksanaan tugas". Maknanya, lanjut FSGI bahwa siapa saja yang terkait dalam
UUGD No 14 Tahun 2005 harus memberikan perlindungan terhadap guru dalam
pelaksanaan tugas. Di sini, FSGI dengan tegas meminta kepada aparatur penegak
hukum untuk melakukan pengusutan apa yang menjadi penyebab kematian guru

Universitas Indonesia
106

tersebut. Jika kematiannya karena pemukukan oleh siswa sebagai penyebab


kematian guru, maka hukum harus di tegakkan. Siswa yang melakukan
penganiayaan tersebut, wajib diproses secara hukum sesuai UU No 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Sebab, kejadian tersebut sudah
diluar batas kewajaran (Setiawan, 2018).

6.3 FSGI: Gerakan Politik Pendidikan


Konsep tentang politik pendidikan tidak terlepas dari pengaruh Paulo Freire.
Menurutnya, politik pendidikan berkaitan dengan pendidikan yang membebaskan.
Artinya, pendidikan membebaskan manusia dari ketertindasan dan kemiskinan.
Pembebasan bermakna transformasi atau perubahan atas sistem realitas yang saling
terkait dan kompleks, serta reformasi beberapa individu untuk mereduksi
konsekuensi negatif dari perilakunya (Freire, 2007). Lebih lanjut, Freire mengatakan
bahwa langkah awal dari pendidikan pembebasan adalah proses penyadaran
dilakukan secara inheren dalam keseluruhan proses pendidikan. Karena substansi
pemikiran pendidikan Freire terletak pada pandangannya tentang manusia dan
proses pendidikan humanis (Freire, 2007). Oleh sebab itu, idealnya pendidikan
dalam pandangan Freire adalah pendidikan yang menghasilkan siswa kritis,
mempunyai kualitas berpikir, kualitas pribadi, kualitas sosial, kualitas kemandirian
dan kualitas kemasyarakatan.

Dalam kerangka pemikiran pendidikan pembebasan Freire, ia


mendeskripsikan Conscientientizaco (kesadaran) sebagai proses pendidikan yang
humanis (Smith, 2001). Ia kemudian membagi perkembangan kesadaran ini menjadi
tida fase, yaitu kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Kesadaran
magis merupakan kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara
satu faktor dengan faktor yang lainnya. Misalnya kesadaran masyarakat yang tidak
mampu menghubungkan kondisi kemiskinan mereka dengan sistem politik dan
kebudayaan. Kesadaran naif merupakan kondisi kesadaran masyarakat sudah
mampu melihat akar penyebab masalah masyarakat. Namun masyarakat hanya
memilih diam dengan kesadarannya tersebut. Lain halnya dengan fase kesadaran
kritis, dimana masyarakat telah sadar bahwa struktur dan sistem sosial, politik,

Universitas Indonesia
107

ekonomi budaya dan akibatnya terhadap sumber masalah kemiskinan. Fase ini lebih
lanjut akan menghasilkan gerakan-gerakan perjuangan hak-hak dalam pendidikan.

Dalam konteks FSGI, mereka mempunyai ideologi pendidikan humanis yang


digagas oleh Freire. Hal ini berdasarkan penuturan SS bahwa:

FSGI berlandaskan ideologi pendidikan kritis yang digagas oleh Paulo


Freire. Pendidikan progresif, dan keadilan dalam pendidikan. Yang selalu
disampaikan di forum-forum salah satu visi misi FSGi itu keadilan bagi
semua, bahwa semua orang mendapat hak untuk memperoleh pendidikan
yang layak, misalnya menolak RSBI karena hanya untuk orang kaya, atau
UN itu hanya memotret pendidikan secara parsial dan membeban hak-hak
anak-anak peserta didik dan guru, intinya landasan berpijak kita adalah
keadilan dalam pendidikan itu. Keadilan dalam pendidikan menjadi dasar
perjuangan FSGI dan ideal pendidikannya adalah pendidikan yang adil untuk
semua masyarakat Indonesia (wawancara dengan SS, 9 November 2018).

Pernyataan Satriwan tersebut didukung oleh EI bahwa ideologi dari FSGI


merupakan pendidikan kritis, dan yang diperjuangkan adalah keadilan dalam
pendidikan. Lebih lanjut menurutnya, hingga saat ini mereka masih sering
mengadakan diskusi tentang pemikiran Freire yang nantinya akan diaplikasikan
dalam gerakan FSGI. Salah sau pemikiran Freire yang selalu ia terapkan adalah ia
memposisikan siswa sebagai manusia yang merdeka. Ia tidak membuat siswa
tersebut terkungkung, tetapi ia mendorong siswa tersebut untuk berbuat kreatif.

Filsafat Freire pada dasarnya bertolak dari kehidupan nyata. Menurut


pandangannya, sebagian besar manusia mengalami penderitaan yang besar
sedangkan sebagiannya lagi menikmati jerih payah orang-orang yang menderita
dengan cara-cara yang tidak adil. Dengan tegas Freire mengatakan, kelompok yang
menikmati jerih payag tersebut justru bagian minoritas umat manusia. Dilihat dari
segi jumlah saja, keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang
dan tidak adil. Persoalan inilah yang disebut oleh Freire sebagai situasi penindasan.
Filsafat Freire ini menjadi inspirasi bagi FSGI dalam menyuarakan bentuk-bentuk
ketidakadilan terhadapguru dan siswa. Bagi mereka, penindasan apapun namanya

Universitas Indonesia
108

dan bentuknya, dan bagaimanapun alasannya, itu merupakan sesuatu yang tidak
manusiawi dan menafikan harkat martabat kemanusiaan (dehumanisasi).

Dalam ide dehumanisasi Freire, menurutnya dehumanisasi itu bersifat ganda,


dalam artian dehumanisasi terjadi atas mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri
minoritas kaum penindas. Dengan tegas, Freire mengatakan keduanya telah
menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi
karena hak mereka dinistakan dan mereka dibuat tidak berdaya dalam “kebudayaan
bisu”. Di lain pihak, minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah
mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan
penindasan bagi sesamanya.

Maka dari itu, tidak ada pilihan lain. Ikhtiar memanusiakan kembali manusia
merupakan pilihan yang mutlak. Humanisasi merupakan satu-satunya pilihan bagi
kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi
sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan
ontologis di masa mendatang. Ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis,
menurut Freire, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika
kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk
mengubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya.

Dalam pandangan Freire tentang politik pendidikan, fitrah manusia sejati


adalah menjadi subjek, bukan sebagai objek. Panggilan manusia sejati adalah
menjadi pelaku yang sadar yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang
menindas. Dalam konsep pedagogisnya ini, Freire mengatakan bahwa penyadaran
merupakan inti proses pendidikan. Pada pelaksanaannya, konsep pendidikan melek
huruf fungsional Freire ini terdiri dari tiga tahap utama, yaitu tahap kodifikasi dan
dekodifikasi, tahap diskusi kultural, dan tahap aksi kultural. Tahap kodifikasi dan
dekodifikasi merupakan tahap pendidikan melek huruf dasar dalam konteks konkrit
dan konteks teoritis. Tahap diskusi kultural merupakan tahap lanjutan dalam satuan
kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis dengan menggunakan
kata-kata kunci (generative words). Dengan kata lain, tahap diskusi kutural ini
merupakan tahap problem solving melalui diskusi. Tahap aksi kultural merupakan

Universitas Indonesia
109

tahap “praxis” yang sesungguhnya tindakan setiap orang atau kelompok menjadi
bagian langsung dari realitas.

FSGI sebagai organisasi profesi guru yang melakukan gerakan sosial, telah
menempuh ketiga tahap yag dimaksud Freire ini. Tahap pertama, FSGI memaknai
simbol-simbol, tanda-tanda dari setip kebijakan pemerintah mengenai pendidikan
yang dinilai menindas guru dan siswa. Simbol ini bisa melalui buku-buku pelajaran,
kurikulum, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Hal-hal yang tidak sesuai dengan
pandangan FSGI tentang pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan, maka ia
melakukan diskusi-diskusi sebagai penyadaran terhadap para anggotanya. Pada
tahap akhir, setelah para anggota memahami ideologi gerakan FSGI, maka mereka
melakukan aksi kultural dengan cara advokasi, penyebaran melalui media, dan
bentuk-bentuk perlawanan lainnya.

6.4 FSGI dalam Kontestasi Politik Pendidikan


Politik pendidikan yang dimaksud di sini merupakan proses produksi dan
reproduksi kebijakan-kebijakan pendidikan. Dalam ruang kontestasi politik
pendidikan, ada banyak aktor yang memainkan peran, yaitu negara, NGO, FSGI,
serta siswa. Relasi keempat aktor ini saling beradu dalam mementingkan
kepentingan masing-masing. Secara konseptual, relasi keempat aktor ini terbagai
dua, yaitu relasi secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal adalah relasi antara
negara dengan aktor lainnya, dan secara horizontal adalah relasi antara NGO dengan
guru, serta guru dengan siswa.

Relasi secara vertikal antara negara dengan guru, dalam ruang kontestasi
politik pendidikan cenderung mengarah pada perbenturan kepentingan dan
negosiasi-negosiasi di dalamnya. Di sini, negara diposisikan sebagai aktor yang
menciptakan kebijakan, sedangkan guru sebagai aktor penentang kebijakan ketika
kebijakan yang diciptakan negara lebih berpihak kepada kepentingan elit politik
dibanding kepentingan guru. Di lain pihak, guru menuntut pemerintah untuk
membentuk kebijakan yang lebih berpihak terhadap guru. Ketika terjadi perbenturan
antara dua kepentingan ini, maka penyelesaian masalahnya lebih banyak mengarah
kepada negosiasi antara kedua aktor ini.

Universitas Indonesia
110

Relasi ini hampir mirip dengan bentuk relasi negara dengan NGO. Negara
memberikan kebijakan-kebijakan terhadap NGO, sedangkan NGO merespon
kebijakan itu dengan bentuk penerimaan atau penolakan. Ketika kebijakan tersebut
sesuai dengan idealisme NGO, mereka dapat menerimanya, bahkan mereka
mendukung kebijakan tersebut. Namun sebaliknya, ketika kebijakan tersebut
bertentangan dengan idealisme NGO, maka NGO berjejaring dengan organisasi
profesi guru, dalam hal ini FSGI, untuk melakukan penentangan. Di Indonesia
selama ini, proses penyelesain ketika adanya pertentangan antara negara dengan
NGO dan organisasi profesi guru, dilakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan-
kesepakatan.

Relasi secara horizontal yang melibatkan relasi antara guru dengan siswa,
mereka membentuk kondisi pembelajaran yang kritis di dalam kelas untuk
menciptakan pembelajaran humanis. Di sini guru melakukan proses transfer nilai
dan norma terhadap siswa bukan dengan cara pendidikan gaya bank. Maksudnya
adalah terjadinya diskursus antara guru dengan siswa dalam ruang-ruang kelas.
Proses pembelajaran yang terjadi bukanlah guru mengajar dan siswa belajar, tetapi
guru dan siswa sama-sama belajar untuk mengetahui dan memahami apa yang
mereka pelajari. Relasinya bukan lagi guru tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa;
guru berpikir, siswa dipikirkan; guru berbicara, siswa mendengarkan; guru
mengatur, siswa diatur; guru memilih, siswa menuruti; gur bertindak, siswa diam;
guru yang memilih, siswa yang menyesuaikan; serta guru sebagai subjek, siswa
sebagai objek.

Untuk lebih jelasnya, relasi dalam kontestasi tergambar dalam gambar


berikut ini:

Universitas Indonesia
111

Gambar 6.3
Kontestasi dalam ruang politik pendidikan

Sumber: Peneliti (2019)

6.5 Kritik Terhadap Teori Gerakan Sumber Daya dan Teori Peluang Politik
Pada dasarnya, teori gerakan sumber daya menekankan pada aspek
rasionalitas dalam gerakan sosial. Pada lain pihak, aspek rasionalitas inilah yang
menjadi kelemahan dari teori ini. Di sini, seolah-olah setiap orang hanya dimotivasi
oleh pertimbangan untung-rugi dan kurang memperhitungkan adanya kesadaran,
cita-cita, kultur, bahkan ideologi yang mendorong keterlibatan mereka. Dalam
pandangan ini, para pelaku gerakan sosial memiliki optimisme akan adanya
perubahan yang lebih baik. Sementara itu, penekanan pada faktor organisasional
sebagai faktor yang sangat mendukung suatu gerakan sosial, justru dilihat sebagai
faktor yang melemahkan. Faktor organisasional pada sisi lain akan mampu
melemahkan gerakan karena organisasi ini cenderung bersifat birokratis dan
mendemobilisasi resistensi anggotanya, serta mengarahkan aktivis-aktivis gerakan
ke dalam mekanisme politik formal. Kondisi organisasional ini juga menjadi
kelemahan dari FSGI sendiri, yaitu sistem federasi yang diusung FSGI. Sistem
federal yang dimaksud di sini adalah aturan yang membebaskan setiap serikat guru

Universitas Indonesia
112

di daerah menentukan arah gerakan mereka secara otonom atau tidak terpusat. Hal
ini menimbulkan miss-control dari FSGI pusat sehingga organisasi daerah tidak
semuanya bergerak aktif dalam melakukan gerakan sosialnya. Selain itu, sistem
federasi ini memberikan syarat untuk Sekjen FSGI harus berdomisili di Jakarta.
Alhasil, kesempatan Sekjen atau pimpinan tertinggi FSGI tertutup untuk anggota-
anggotanya yang berada di luar ibu kota.

Adapun teori struktur peluang politik memangdang lingkungan eksternas


sangat mempengaruhi gerakan sosial. Pada negara yang menganut sistem
demokrasi dan konfigurasi politik demokratis yang terbuka, kesempatan gerakan
sosial akan terbuka lebar dan memperoleh keleluasaan dalam mengembangkan
dirinya. Sebaliknya, ketika konfigurasi politik suatu negara yang tertutup, gerakan
sosial akan berjalan lambat dalam sistem politik tersebut walaupun ketertutupan ini
tidak jarang menstimulasi lahirnya gerakan-gerakan tersembunyi atau gerakan
bawah tanah, kekerasan yang brutal, pemberontakan, dan radikalisme. Ada
beberapa variabel yang menjadi kelemahan dari teori ini. Pertama, meminjajam dari
istilah Gamson dan Meyer (1996:275) bahwa struktur peluang politik ini berada
dalam bahaya. Artinya, teori ini bisa dipergunakan pada kasus yang sangat spesifik
mengingat setiap gerakan sosial berada dalam konteks sosial, politik, dan budaya
yang khas.

Kedua, teori struktur peluang politik bersifat eksternal dan cenderung


menjadi “teman yang tak setia” (fickle friends) bagi gerakan sosial. Hal ini lantaran
gerakan sosial sebagai variabel terikat bagi lingkungan sosial politik. Pada intinya,
ketika struktur politik terbuka di suatu negara, maka gerakan sosial akan berjalan
mulus. Sebaliknya, ketika struktur peluang politik tertutup, maka gerakan politik
akan cenderung menghambat. Kedua kondisi ini pernah terjadi di Indonesia.
Struktur peluang politik yang tertutup terjadi di masa Orde Baru, dan struktur
peluang politik terbuka terjadi ketika memasuki masa Reformasi sekarang ini.

Ketiga, peluang politik ini tidak hanya menguntungkan para aktor gerakan
sosial, tetapi juga digunakan oleh lawan untuk melemahkan gerakan. Dengan kata
lain, peluamg-peluamg tersebut bukanlah monopoli gerakan, tetapi bisa juga
dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan kontra gerakan yang kepentingannya berbeda
Universitas Indonesia
113

secara diameteral. Semakin tersedia peluang dan akses pada sistem pengambilan
keputusan, gerakan sosial semakin tergoda untuk mengadopsi strategi yang lebih
moderat sehingga terjerumus ke jalur resmi dan formal. Hal ini tidak tertutup
kemungkinan bagi aktor-aktor gerakan sosial oleh FSGI yang akan tergoda dengan
jabatan-jabatan formal institusional.

6.6 Penutup
Dalam kerangka Freire, pendidikan merupakan sebuah pilot project untuk
melakukan perubahan sosial guna menciptakan masyarakat yang baru. Kerangka ini
kemudian diadopsi oleh FSGI dalam melihat persoalan dan isu-isu pendidikan di
Indonesia. Dalam beberapa tahun sejak berdirinya FSGI, ada banyak isu pendidikan
yang menjadi topik pembahasannya. Isu pendidikan yang menjadi pembahasan
FSGI antara lain rendahnya profesionalisme guru, permasalahan tentang ujian
nasional, permasalahan dalam kebijakan sistem zonasi, pro-kontra kebijakan impor
guru, kontroversi kebijakan full day school, pendidikan yang diskriminatif, dan lain
sebagainya. Dalam membahas isu pendidikan tersebut, FSGI menyikapinya dengan
mengombinasikan tiga cara, yaitu melakukan kritik secara konseptual dan praktikal,
serta menelurkan kritik tersebut dengan kapasitas advokasi. Isu-isu pendidikan
memang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Kedepannya, FSGI dan organisasi
gerakan guru lainnya akan berhadapan dengan berbagai peluang dan tantangan.

Peluang dan tantangan gerakan guru tersebut berada pada tiga level, yaitu
level makro, level meso, dan level mikro. Level makro memiliki relasi tantangan
antara gerakan guru dengan kebijakan pemerintah secara nasional. Ada tiga hal yang
menjadi tantangan gerakan guru pada level makro, yaitu 1) akan dibawa ke mana
kebijakan pendidikan pasca pilpres 2019?; 2) bagaimana kelanjutan kebijakan
program sertifikasi guru; dan 3) pemisahan undang-undang guru dan dosen. Pada
level meso, gerakan guru memiliki relasi dengan para stakeholder lokal yang di
dalamnya ada tokoh-tokoh yang berpengaruh, elit-elit lokal yang berpengaruh, dan
masyarakat setempat. Selanjutnya pada level mikro, relasinya antara guru dengan
siswa, dan guru dengan mindset keguruan itu sendiri.

Selain itu yang menjadi pertanyaan untuk gerakan guru kedepannya adalah
bagaimana konsolidasi gerakan guru ditengah menjamurnya gerakan-gerakan guru
Universitas Indonesia
114

di Indonesia dewasa ini. Apakah ide dan cita-cita yang mereka perjuangkan itu sama
atau bisa jadi berseberangan. Sebagai contoh, cita-cita antara FSGI dengan IGHI
pada dasarnya sama, yaitu sama-sama memperjuangkan keadilan untuk guru.
Namun, cara yang mereka tempuh cenderung berbeda. Jika FSGI lebih banyak
melakukan advokasi dan negosiasi dengan pemerintah, maka IGHI lebih banyak
melakukan aksi massa dengan demonstrasi di depan istana. Selain itu, akankah
menguat gerakan guru seiring dengan berkembangnya isu-isu pendidikan yang baru
dan sejauh mana radikalisasi gerakan guru. Apakah gerakan guru akan mampu
menjadi gerakan buruh yang radikal ketika masa marxisme atau gerakan guru hanya
sebatas gerakan responsif terhadap kebijakan pemerintah.

Universitas Indonesia
BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Gerakan guru di Indonesia semakin gencar dan berkembang pesat semenjak
runtuhnya rezim Orde Baru. Pada awalnya, gerakan guru hanya tersentralisasi pada
PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dan semenjak berlakunya UU No 21
tahun 2000 tentang serikat pekerja atau serikat buruh dan UU No 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen maka organisasi-organisasi guru makin banyak
bermunculan. Organisasi guru yang hadir pada level nasional salah satunya adalah
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Di sini, FSGI memanfaatkan peluang
politik yang ada untuk membangun idealismenya dalam mewujudkan visi
mmisinya.

FSGI merupakan organisasi guru yang sangat vokal dalam upaya


memperjuangkan keadilan bagi guru dan siswa. Hal ini dibuktikan dengan jejak
digital FSGI yang begitu ramai diperbincangkan dan memperbincangkan keadilan
bagi dunia pendidikan. Selain itu, isu yang dibahas oleh FSGI juga tidak hanya
sebatas kesejahteraan guru dan profesionalisme guru, tetapi lebih luas lagi yakni
terkait pendidikan pluralisme, korupsi di sekolah, dan sebagainya.

Pokok diskusi dalam penelitian ini adalah isu tentang kualitas pendidikan
dan keadilan sosial dalam pendidikan. Kualitas pendidikan yang dimaksud di sini
ialah profesionalitas guru sebagai permasalahan pendidikan di Indonesia, dan
keadilan sosial dalam pendidikan ialah mengenai terpenuhinya kesejahteraan guru
oleh instansi tempat guru tersebut bekerja. Dua hal ini direspon dan menjadi fokus
dari gerakan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).

Dalam kerangka teoritis, gerakan sosial yang dilakukan oleh FSGI dapat
dikatakan sebagai gerakan sumber daya (resource mobilization). Asumsi dari
perspektif ini adalah ketidakpuasan bukanlah hal satu-satunya yang menyebabkan
gerakan muncul, tetapi kemampuan agen gerakan sosial dalam memobilisasi
sumber daya yang ada untuk merespon masalah sosial. Kita dapat melihat bahwa

115
116

FSGI sebagai organisasi profesi yang digunakan sebagai sarana dalam mencapai
tujuan.

Didasari oleh kesamaan idealism, para anggota FSGI menggunakan


organisasi sebagai konstruksi dan rekonstruksi keyakinan-keyakinan kolektif,
mentransformasikan ketidakpuasan dan isu-isu tentang pendidikan dalam bentuk
aksi kolektif, dan mempertahankan komitmen terhadap gerakan. Gerakan sosial
dalam sudut pandang gerakan sumber daya akan muncul sebagai konsekuensi dari
bersatunya para aktor dalam cara yang rasional, mengikuti segala kepentingan
mereka, dan adanya peran sentral organisasi untuk memobilisasi sumber daya yang
ada pada mereka. Sumber daya dalam teori gerakan sumber daya ini terbagi
menjadi dua yaitu sumber daya materil dan non-materil.

Pertama, sebagai sumber daya materil erat kaitannya dengan uang dan
pendanaan dalam sebuah organisasi gerakan. Bagi FSGI sendiri, mereka mendapat
sumber dana melalui beberapa cara, yaitu iuran anggota, proposal dari pemerintah,
hibah dari institusi lain, dan lain-lain. Namun ada ketegasan yang menyatakan
bahwa segala bentuk dana yang diberikan kepada FSGI oleh institusi lain tersebut
tidak berikat. Artinya, kedepannya FSGI tidak ada intervensi dari lembaga atau
institusi lain.

Kedua, sebagai sumber daya non-materil yang berkaitan dengan jaringan


sosial atau modal sosial (social capital). Komponen yang saling berinterelasi untuk
menciptakan perubahan dalam sebuah arena (fields) dalam kerangka konsep modal
sosial adalah institusi, jaringan sosial, dan cognitive frame. Dalam kerangka ini,
institusi diartikan sebagai aturan, norma, dan nilai yang mengikat setiap aktor
dalam arena. Lain pula dengan jaringan sosial yang diartikan sebagai pasar termpat
terjadi transaksi antar aktor. Di pasar inilah terdapat sumber daya, kekuasaan,
pengaruh, dan bukan dominasi dari satu aktor. Kemudian cognitive frame diartikan
sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh aktor dalam melakukan suatu yang ingin
mereka capai dalam arena tersebut. Cognitive frame ini dapat berupa orientasi pada
nilai yang ingin diperjuangkan, bisa itu berupa nilai ekonomi, nilai budaya, dan
sebagainya.

Universitas Indonesia
117

Komponen institusions di sini berkaitan dengan aturan yang mengikat setiap


aktor di dalamnya. Pada organisasi FSGI, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen sebagai landasan yuridis berdirinya organisasi ini. Artinya bahwa antara
FSGI, pemerintah, dan jaringan non-pemerintah akan terikat oleh aturan ini.
Pemerintah tidak akan mencekal organisasi dan akan bertindak sebagaimana
diamanahkan oleh undang-undang tersebut. Artinya, pemerintah berperan sebagai
partner strategis dari FSGI.

Kompenen selanjutnya adalah jaringan sosial, yang didalamnya terdapat


sumber daya, kekuasaan, pengaruh, bahkan dominasi dari suatu aktor. Pada FSGI
ini, sebaran jaringannya mencakup pada NGO, pemerintah, dan masyarakat sipil
penggiat pendidikan humanis. Ada banyak NGO yang bekerja sama dengan FSGI,
antara lain ICW, SETARA Institute, LBH Jakarta, media-media massa dan lain-
lain. Sebaran jaringan ke pemerintah mencakup Komnas HAM, Dinas Pendidikan,
dan kementrian pendidikan, masyarakat sipil, dan penggiat pendidikan. Jaringan-
jaringan yang dimiliki oleh FSGI mempunyai kontribusi yang berbeda-beda pula.
Media massa berkontribusi lebih banyak pada pemberitaan ide-de dan gagasan yang
dimiliki oleh FSGI. Selain itu ICW dan Setara Institute berkontribusi lebih banyak
pada pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh FSGI. FSGI berkerja sama dengan
LSM tersebut guna meningkatkan kompetensi sosial yang dimiliki guru. Di lain
pihak, LBH berkontribusi dalam proses advokasi-advokasi guru dalam perjuangan
dari sudut pandang hukum. Lain pula jaringannya dengan lembaga pemerintah.

Selain komponen institusi dan jaringan sosial, komponen cognitive frame


juga mempunyai peran bagi FSGI. Menurut peneliti, bagi FSGI komponen inilah
yang mempunyai peran besar dalam menciptakan jaringan sosial. Cognitive frame
berkaitan dengan orientasi nilai yang diperjuangkan. Pada FSGI, orientasi nilai
yang mereka perjuangkan mengarah pada orientasi sosial-budaya. Artinya, mereka
memperjuangkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.

7.2 Saran
Setelah melakukan kajian mendalam tentang gerakan sosial yang dilakukan
oleh organisasi guru dalam kontestasi ruang politik pendidikan, untuk itu studi ini

Universitas Indonesia
118

akan memberikan beberapa saran secara praksis terkait dengan kebijakan yang
relasinya tentang profesionalisme dan kesejahteraan guru. Pertama, penyusunan
kebijakan pendidikan, baik itu kurikulum dan kebijakan pendidikan lainnya yang
dilakukan oleh legislatif (DPR) dan kementrian pendidikan melalui Rancangan
Undang-Undang harus semaksimal mungkin melibatkan partisipasi sebagai
stakeholder pendidikan. Optimalisasi ini pada dasarnya sangat penting dalam dua
hal yaitu 1) sebagai kontrol dan partisipasi masyarakat dari akar rumput yang dapat
memberikan pengutan terhadap kebijakan pendidikan; 2) serta adanya kontrol dan
partisipasi dari multi stakeholder berupa wacana tanding terhadap segala bentuk
kebijakan pendidikan yang relasinya terhadap guru dan siswa.

Kedua, sebagaimana fokus utama studi ini tentang gerakan sosial yang
dilakukan oleh FSGI, ada beberapa hal yang menjadi saran untuk FSGI sendiri.
Pertama, sistem organisasi yang terlalu “federal” dengan membebaskan underbow
organisasi (SGI) tanpa adanya supervisi akan membuat gerakan semakin lemah.
Artinya, FSGI sejatinya harus melakukan supervisi terhadap SGI supaya SGI tetap
aktif dalam kegiatannya di daerah. Selama ini, kurangnya supervisi ini
menyebabkan adanya organisasi SGI daerah yang vakum dalam gerakan sosial.
Kedua, sistem “federasi” ini pula yang menyebabkan seorang sekjen harus berasal
dari wilayah DKI Jakarta. Menurut analisis peneliti, aturan ini yang akan membuat
diskriminasi dalam pemilihan sekjen. Jika alasan sekjen harus mengomunikasikan
kritikan FSGI melalui media massa, disamping itu media massa memang berpusat
di Jakarta, maka seharusnya keorganisasian FSGI harus mempunyai juru bicara
organisasi. Namun tidak seharusnya dituliskan di konstitusi organisasi bahwa
seorang sekjen harus berasal dari DKI, walaupun nanti jika yang terpilih dari DKI
Jakarta.

Universitas Indonesia
119

DAFTAR PUSTAKA
Aberle, D. (1966). The Peyote Religion among the Navaho. Chicago: Aldine.

Achdami, M. (2018, Juli 11). Pemerintan Diminta Kaji Sistem Zonasi PPDB. Dipetik
mei 12, 2019, dari Harnas.co: http://harnas.co/2018/07/11/pemerintan-diminta-
kaji-sistem-zonasi-ppdb

Adnan, R., & Pradiansyah, A. (1999). Gerakan Mahasiswa Untuk Reformasi. Dalam S.
Soemardjan, Kisah Perjuangan Reformasi (hal. 133-196). Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Afandi, A., Rantung, V., & Marashdeh, H. (2017). Determinants of Income Inequality.
Economic Journal of Emerging Markets, 159-171.

Bacevich, & Andrew, J. (2005). The New American Militarism. USA: Oxford
University Press.

Badrun, U. (2006). Radikalisasi gerakan mahasiswa: Kasus HMI MPO. Jakarta: Media
Raushanfekr.

Beckert, J. (2009). How Do Fields Change? The interrelation of institutions, networks,


and cognition in the dynamics of market. Organization Studies , 605-627.

Beritasatu. (2013, Januari 02). Tahun 2012 Penuh Ketidakadilan di Dunia Pendidikan.
Dipetik Mai 05, 2019, dari Beritasatu.com:
https://www.beritasatu.com/nasional/90334/tahun-2012-penuh-ketidakadilan-di-
dunia-pendidikan

Bilgrami, T. (2017). Evolution of Educational Movements in India: Through Historical


Perspectives. Educational Quest: An Int. J. of Education and Applied Social
Science, 709-713.

Bittner, E. (2005). The Concept of Organization. Social Research, 239–255.

Bona, M. (2016, 14 Juli). PGRI: Model Sertifikasi Guru Jangan Berubah-ubah. Dipetik
Maret 10, 2019, dari www.beritasatu.com:
https://www.beritasatu.com/kesra/374517-pgri-model-sertifikasi-guru-jangan-
berubahubah.html

Bourn, D. (2015). Teachers as agents of social change. International Journal of


Development Education and Global Learning, 63-77.

Breuer, F., & Schreier, M. (2007). ssues in Learning About and Teaching Qualitative
Research Methods and Methodology in the Social Sciences. Forum Qualitative
Sosial Research, art 30.

Universitas Indonesia
120

Bryman, A. (2006). Integrating quantitative and qualitative research: how is it done?


Qualitative Research, 97-113.

Bryman, A. (2012). Social Research Methods: Fourth Edition. New York, USA:
Oxford University Press.

Conti, N., Morrison, L., & Pantaleo, K. (2013). All the Wiser: Dialogic Space,
Destigmatization, and Teacher-Activist Recruitment. The Prison Journal, 163-
188.

Coomer, M., Jackson, R., & Dagli, C. (2018). Engaging Teachers As Social Justice
Actors. Equity Dispatch, 1-6.

Creswell, J. (2002). Research Design: Qualitative, quantitative, and mixed method


approach; Second edition. London: Sage Publication.

__________,. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among five
approaches. London: Sage publication.

Damanik, C. (2012, Desember 28). Dari Dangkalnya Pendidikan sampai Manajemen


Guru yang Gelap. Dipetik Mai 05, 2019, dari Kompas.com:
https://edukasi.kompas.com/read/2012/12/28/21345171/dari.dangkalnya.pendidi
kan.sampai.manajemen.guru.yang.gelap

DeDios-Corona, S. R. (2014). Ayotzinapa es México. En Análisis Plural, 85-98.

Deny, S. (2018, November 25). Miris, Begini Perbandingan Gaji Guru PNS dan
Honorer. Dipetik Maret 10, 2019, dari www.liputan6.com :
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3735268/miris-begini-perbandingan-gaji-
guru-pns-dan-honorer

Devlin, M. (2009). Against The Odds: Attempting Reform In Suharto‟s Indonesia,


1967-1998. Innovations for Successful Societies, 1-12.

Diniz-Pereira, J. (2005). Teacher Education for Social Transformation and its Links to
Progressive Social Movements: The case of the Landless Workers Movement in
Brazil. American Educational Research Association (AERA), 91-123.

Eduardo, C. (1997). New Social Movement Theory and Resource Mobilitation Theory:
The Need for Integration. Dalam M. Kauffman, & H. Alfonso, Community
Power and Grassroot Democracy: The Transformation of Social Life (hal. 180-
202). London: Zed Books.

Eko, A. (2014, Desember 02). FSGI: Banyak Lembaga Pendidikan Guru yang Abal-
abal. Dipetik Mei 10, 2019, dari KBR.id: https://kbr.id/berita/12-
2014/fsgi__banyak_lembaga_pendidikan_guru_yang_abal_abal/34907.html

Universitas Indonesia
121

Escobar, A., & Alvarez, S. (2018). The Making of Social Movements in Latin America:
Identity, Strategy, and Democracy, Second Edition . New York: Routledge.

Evetts, J. (2014). The Concept of Professionalism: Professional Work, Professional


Practice and Learning. Dalam S. Billett, C. Harteis, & H. Gruber, International
Handbook of Research in Professional and Practice-based Learning (hal. 29-
56). New York: Springer Science.

Eyerman, R., & Jamison, A. (1998). Music And Social Movements: Mobilizing
Traditions In The Twentieth Century. New York: Cambridge University Press.

Faqih, M. (2016). Analisis Gender & Transformasi Sosial, Ed. 16. Yogyakarta: Insist
Press.

Farisi, M. (2013). Dinamika Organisasi Profesional Kependidikan Di Indonesia. journal


unnes, 36-45.

Finger, L., & Gindin, J. (2015). From proposal to policy: Social movements and
teachers‟ unions in Latin America. Springer, 365-378.

Ford, M. (2009). Workers and intellectuals: NGOs, trade unions, and the indonesian
labour movements. Singapore: National University of Singapore Press.

Gerke, P. (1987). Pengadaan Personil. Dalam H. Baudet, & I. Brugmans, Politik Etis
dan Revolusi Kemerdekaan (hal. 189-200). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Giddens, A., & Duneier, M. (2000). Introduction to Sociology (3rd edition). New York
and London: Norton Company Inc.

Goodwin, R. (2009). Changing Relations: Achieving Intimacy in a Time of Social


Transition. Cambridge & New York: Cambridge University Press.

Gurevitch, M., & Curran, J. (2005). Mass Media and Soceity. New York: Bloomsbury.

Hadiz, V. (1997). Workers and the State in New Order Indonesia. London: Routledge.

Halcli, A. (2000). Social Movements. Dalam G. Browning, Understanding


Contemporary Society: Theories of The Present (hal. 50-72). New Delhi: Sage
Publication.

Hargreaves, A. (2000). Four Ages of Professionalism and Professional Learning.


Teachers and Teaching: History and Practice, 151-182.

Harvey, L. (2004). The Power Of Accreditation: Views Of Academics. Journal of


Higher Education Policy and Management, 207-223.

Universitas Indonesia
122

Heberle, R. (1951). Social Movements: An Introduction to Political Sociology. New


York: Appleton- Century-Crofts.

HEBRG. (2011). Professional, Statutory And Regulatory Bodies: An Exploration Of


Their Engagement With Higher Education. London: Universities UK.

Henawanto, A. (2014). Persepsi Guru terhadap Persatuan Guru Republik Indonesia


dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. Jurnal Kebijakan dan
Pengembangan Pendidikan, 1-6.

Hendrian, D. (2017, Desember 27). FSGI: Sistem Zonasi Dalam PPDB 2017 Terlalu
Terburu-buru. Dipetik Mei 12, 2019, dari Portal KPAI:
http://www.kpai.go.id/berita/fsgi-sistem-zonasi-dalam-ppdb-2017-terlalu-
terburu-buru

Hidayat, R. (2011). Dinamika Sosial Gerakan Guru di Indonesia Pasca Orde Baru.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, 355-362.

Hoffer, E. (2010). The True Believer. New York: Harper Perennial.

Hsiao, H.-H. (2008). Asian New Democracies: The Philippines, South Korea and
Taiwan Compared. Taipei, Taiwan: Taiwan Foundation for Democracy.

Ihsanuddin. (2018, November 2). Kompas.com. Dipetik Februari 22, 2019, dari Demo
Guru Honorer, Respons Cuek Jokowi dan Jawaban Istana...:
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/02/10014031/demo-guru-honorer-
respons-cuek-jokowi-dan-jawaban-istana

Indah, M. (2012, Juni 19). Kapitalisme Merusak Pendidikan. Dipetik Mei 05, 2019, dari
DetikNews.com: https://news.detik.com/opini/d-1944825/kapitalisme-merusak-
pendidikan

Istiningsih. (2018). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dalam Kehidupan Nyata.


Jakarta: Suluh Media Publisher.

Jenkins, J. (1983). Resource Mobilization Theory and The Study of Social Movements.
Annual Review of Sociology, 527-553.

Kaur, B. (2012). Equity and social justice in teaching and teacher education. Teaching
and Teacher Education, 485-492.

Keniston, K. (1968). Young Radicals. New York: Harcourt, Brace, Jovanovich.

Kitschelt, H. (1986). Political opportunity structures and political protest: anti-nuclear


movements in four democracies. British Journal of Political Science, 57-85.

Universitas Indonesia
123

Klandermans, B. (1997). The Social Psychology of Protest. Oxford: Blackwell


Publishers.

__________,. (2005). Protest dalam Kajian Psikologi Sosial. (H. Soetjpto, Penerj.)
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Klandermans, P, & Stekelenburg, J. (2009). Social movement theory: Past, present and
prospect. Amsterdam: University Amsterdam.

Klinken, G., & Berenschot, W. (2014). In search of Middle Indonesia: Kelas Menengah
di Kota-Kota Menengah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kosasih, A. (2016). Perjuangan Organisasi Guru Di Masa Revolusi Sejarah PGRI Di


Awal Pendiriannya . SOSIO-E-KONS, 91-103.

Kriesi, H. (1989). New Social Movements and the New Class in the Netherlands.
American Journal of Sociology 94, 1078-1116.

Kuhn, T. (1970). The Structure Of Scientific Revolutions, Seconds Edition. Chicago:


The University of Chicago Press.

Leat, D. (2005). Theories of Social Change. Bartelsman Stiffung, 1-16.

Lemus, M. (2015 Vol. 42, No. 3/4 (142)). The Mexican Teachers' Movement: Thirty
Years of Struggle for Union Democracy and the Defense of Public Education.
Social Justice, 104-117.

Lipset, S. (1960). Political Man: The Social Bases of Politics. New York: Anchor
Books, Garden City.

Lund, D. (2001). Social Justice Pedagogy And Teacher-Student Activism: A


Collaborative Study Of School-Based Projects . Columbia: A Thesis The
University Of British Columbia.

Maharani, E. (2016, Jan 07). Dicopot karena Tinggalkan UN, Gugatan Kepsek SMAN 3
Dikabulkan. Dipetik Mei 12, 2019, dari Republika.co:
https://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-
nasional/16/01/07/o0kvxk335-dicopot-karena-tinggalkan-un-gugatan-kepsek-
sman-3-dikabulkan

Makmur, D. (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman penjajahan. Jakarta:


Depdikbud.

Malaka, T. (2000). Aksi Massa. Jakarta: Teplok Press.

Maran, R. (2001). Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta.

Universitas Indonesia
124

Maslow, A. (1968). Toward A Psychology Of Being. New York: Van Nostrand


Reinhold .

Matthews, S. (2015). Privilege, Solidarity and Social Justice Struggles in South Africa.
Progresive Journals, 1-19.

Maulana, C. (2016, Agustus 18). Politisasi Pendidikan Harus Dihentikan. Dipetik


Maret 10, 2019, dari www.tribunnews.com:
http://www.tribunnews.com/tribunners/2016/08/18/politisasi-pendidikan-harus-
dihentikan

McCarthy, J., & Zald, M. (1977). Resource Mobilization and Social Movements: A
Partial Theory. The American Journal of Sociology, 1212-1241.

Mediani, M. (2018, Juli 11). Kisruh Zonasi Sekolah PPDB Buntut Permendikbud
14/2018. Dipetik Mei 12, 2019, dari CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180711083149-20-313178/kisruh-
zonasi-sekolah-ppdb-buntut-permendikbud-14-2018

Mestoko, S. (1990). Pendidikan di Indonesia, Dari Jaman ke Jaman. Jakarta:


Depdikbud.

Meyer, D. (2004). Protest and Political Opportunities. Annual Review Sociology, 125-
145.

Mohajan, H. (2018). Qualitative Research Methodology in Social Sciences and Related


Subjects. Journal of Economic Development, Environment and People, 23-48.

Movanita, A. (2017, Desember 27). Pro Kontra Full Day School Diakhiri, Kebijakan
PPK Tuai Masalah Baru. Dipetik Mei 12, 2019, dari kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/27/13410021/pro-kontra-full-day-
school-diakhiri-kebijakan-ppk-tuai-masalah-baru

Mulyono, Y. (2018, November 26). Detik.com. Dipetik Februari 22, 2019, dari Ribuan
Guru Honorer di Jember Tuntut Peningkatan Kesejahteraan:
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4317230/ribuan-guru-honorer-di-
jember-tuntut-peningkatan-
kesejahteraan?_ga=2.25503993.574921958.1550806738-96929557.1550806738

Murwaningsih, T. (2004). Peranan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam


Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru. Jurnal Ilmiah Guru COPE, 9-17.

Nagazumi, A. (1989). Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918.


Jakarta: Grafiti.

Universitas Indonesia
125

Namara, R., & Kasaija, J. (2016). Teachers‟ Protest Movements and Prospects for
Teachers Improved Welfare in Uganda. Journal of Education and Training
Studies, 149-159.

Nasution, S. (1987). Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Jemmars.

Ningsih, N. (2015). Studi Komparatif Kinerja Guru Bersertifikat Pendidik dan Yang
Belum Dalam Pengeloaan Pembelajaran di SMPN 3 Singaraja. Jurnal
universitas Pendidikan Ganesha, 1-10.

Noer, D. (1990). Mohammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.

Parson, T. (1968). Intellectual Specialization and Compartementalization. Dalam T.


Buford, Toward A Philosophy Of Education (hal. 16-39). New York: Holt,
Reinhart and Winston, Inc.

Peshkin, A. (1993). The Goodness Of Qualitative Research. Educational Researcher,


23-29.

Pichardo, N. (1997). New Social Movements: A Critical Review. Annual Review


Sosiology, 411-430.

Picower, B. (2012). Teacher Activism: Enacting a Vision for Social Justice. Equity &
Excellence In Education, 561-574.

Poesponegoro, M., & Notosusanto, N. (2000). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:
Depdikbud.

Porta, D., & Diani, M. (2006). Social movements : an introduction . Australia:


Blackwell Publishing Ltd.

Pringgodigdo, A. (1984). Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Putnam, R. (2000). Bowling alone: America‟s Declining Social Capital. Dalam L.


Crothers, & C. Lockhart, Culture and Politics (hal. 223-234). New York:
Palgrave Macmillan.

__________,. (2001). Social capital: Measurement and consequences. Canadian journal


of policy research, 41-51.

Rahmayanti, E. (2015). Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru Sekolah Dasar. Jom


FISIP, 1-15.

Riley, K., & Solic, K. (2017). “Change Happens Beyond the Comfort Zone”: Bringing
Undergraduate Teacher-Candidates Into Activist Teacher Communities. Journal
of Teacher Education, 179-192.

Universitas Indonesia
126

Rizali, A., Sidi, I., & Dharma, S. (2009). Dari Guru Konvensional Menuju Guru
Profesional. Jakarta: Grasindo.

Rohman, A., Suyata, & Muhadjir, N. (2014). Dinamika Relasi Politik antara Otonomi
Guru dan Dominasi Kekuasaan. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan
Aplikasi, 101-113.

Rottmann, C. (2013). Social Justice Teacher Activism A Key to Union Vitality. FALL
Journals, 73-81.

Rumtini. (2014). Impact Evaluation of the Teacher Living Standard Inprovement on


Input Quality Enrollment. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 211-222.

Saldana, J. (2010). The Coding Manual for Qualitative Researchers. California: Sage
Publications.

Sani, A. (2018, November 25). FSGI Kecam Politisasi Guru Setiap Pemilu. Dipetik
Mareet 10, 2019, dari www.tempo.co:
https://pemilu.tempo.co/read/1149537/fsgi-kecam-politisasi-guru-setiap-pemilu

Scipes, K. (2014). Social Movement Unionism or Social Justice Unionism?


Disentangling Theoretical Confusion within the Global Labor Movement. Class,
Race and Corporate Power, Article 9.

Seftiawan, D. (2018, Juli 10). Temukan Empat Kelemahan Sistem Zonasi PPDB, FSGI
Usul Revisi Permendikbud. Dipetik Mei 12, 2019, dari PikiranRakyat.com:
https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2018/07/10/temukan-empat-
kelemahan-sistem-zonasi-ppdb-fsgi-usul-revisi-permendikbud

Setiawan, S. (2018, Februari 02). FSGI Desak Kasus Penganiayaan Guru di Sampang
Diusut Tuntas. Dipetik Mei 12, 2019, dari Republika.co:
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/02/02/p3izuy354-fsgi-
desak-kasus-penganiayaan-guru-di-sampang-diusut-tuntas

Shah, G. (2004). Social Movements in India: A Review of Literature. New Delhi: Sage
Publications.

Sigh, R. (2001). Social Movements, Old and New: A Post-Modernist Critique. New
Delhi: Sage Publication.

Siswandari, & Susilaningsih. (2013). Dampak Sertifikasi Guru terhadap Peningkatakan


Kualitas Pembelajaran Peserta Didik. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 487-
498.

Smith, W. (2001). Conscientientizaco: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. (A. Prihantoro,


Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Universitas Indonesia
127

Suastha, R. (2016, Agustus 18). Kebijakan 'Full Day School' Berpotensi Langgar Hak
Anak. Dipetik Mei 06, 2019, dari CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160818130217-20-
152187/kebijakan-full-day-school-berpotensi-langgar-hak-anak

Sujito, A. (2002). Gerakan Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasi: Peta Masalah dan
Pemanfaatan Peluang. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 121-138.

Sulisworo, D., Nasir, R., & Maryani, I. (2017). Identification of teachers‟ problems in
Indonesia on facing global community. International Journal of Research
Studies in Education, 81-90.

Sutamto, D. (1992). Dwidjosewojo 1867-1943 Tokoh Pergerakan Nasional Pendiri


Bumiputera 1912. Jakarta: Bumiputera.

Synott, J. (2001). Development, Education and the Teachers Union Movement in South
Korea, 1989-1999. Australian Journal of Politics and History, 130-148.

__________,. (2002). Teacher Unions, Social Movements and the Politics of Education
in Asia: South Korea, Taiwan and the Philippines. Ashgate, England:
Routledge.

__________,. (2002). The Teachers' Movement Struggle for a Peace Model of


Reunification Education in South KOrea. Social Alternatives, 42-48.

__________,. (2007). The Korean Teachers and Educational Workers Union: Collective
Rights as the Agency of Social Change. International Electronic Journal for
Leadership in Learning, 13-24.

Tarrow, S. (1998). Power in movement: social movements and contentious politics-- 3rd
ed. New Delhi: Chicago University Press.

Tempo.co. (2015, Mei 17). 7 Alasan Pencopotan Kepsek Retno Listyarti Diskriminatif.
Dipetik Mei 12, 2019, dari Tempo.co: https://metro.tempo.co/read/666832/7-
alasan-pencopotan-kepsek-retno-listyarti-diskriminatif/full&view=ok

Tilaar, H. (1995). 50 Tahun Pembangungan Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu


Analisis Kebijakan. Jakarta: Grasindo.

Toloudis, N. (2008). Instituteur Identities: Explaining the Nineteenth Century French


Teachers' Movement. Social Movement Studies, 61-76.

Touraine, A. (1985). An Introduction to the Study of Social Movements. Social


Research, 749-787.

Triwibowo, D. (2002). Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi.


Jakarta: LP3ES.
Universitas Indonesia
128

Tuijl, P., & Witjes, B. (1997). Partisipasi Rakyat dalam Proses Pembangunan di
Indonesia. Dalam F. Husken, M. Rutten, & J.-P. Dirkse, Indonesia di Bawah
Orde Baru (hal. 227-256). Jakarta: Gramedia Grasindo Utama.

Vito, B., Krisnani, H., & Resnawaty, R. (2015). Kesenjangan Pendidikan Desa dan
Kota. Prosiding Riset dan PKM, 147-300.

Weiner, L. (2013). Social Justice Teacher Activism and Social Movement Unionism:
Tensions, Synergies, and Space. Remie: Multidiciplinary Journal of Educational
Research, 264-295.

Wicaksono, E., Amir, H., & Nugroho, A. (2017). The Sources Of Income Inequality In
Indonesia: A Regression-Based Inequality Decomposition. Japan: Asian
Development Bank Institute .

Wilson, C., & Johnson, L. (2015). Black Educational Activism for Community
Empowerment: International Leadership Perspectives. International Journal of
Multicultural Education, 102-120.

Winarni, L. (2014). Media Massa dan Isu Radikalisme Islam. Jurnal Komunikasi
Massa, 159-166.

Yunelia, I. (2018, Juli 10). FSGI Beri 4 Rekomendasi Evaluasi PPDB 2018. Dipetik
Mei 12, 2019, dari Medcom.id: https://www.medcom.id/pendidikan/news-
pendidikan/dN6Eee0K-fsgi-beri-4-rekomendasi-evaluasi-ppdb-2018

Zombwe, G. (2009). Who is a Teacher? Quality Teachers for Quality Education.


Tanzania: Hakielimu.

__________,. (2013). Who Is a Teacher?: A Quality Teacher for Quality Education.


Tanzania: University of Dar es Salaam.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai