Anda di halaman 1dari 13

PLURALISME HUKUM (ADAT DAN ISLAM) DI INDONESIA

Murdan
Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
Email: murdenzzz@ymail.com

Abstrak

Pluralism hukum di Indonesia sangat berbeda dengan bebrapa pluralism hukum dibelahan
dunia Islam lainnya. Pluralism hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan
masyarakat Indonesia yang sangat plural dan beragam. Isu pluralism hukum di Indonesia
selalu hangat diperbincangkan, baik di era kolonialisme maupun pada era kemerdekaan. Era
kolonialisme corak pluralisme hukum di Indonesia lebih didominasi oleh peran hukum Adat
dan hukum Agama, namun pada era kemerdekaan Pluralisme hukum di Indonesia lebih
dipicu oleh peran Agama dan Negara lebih khusus pada Undang-Undang perkawinan.
Hukum Adat pada era kemerdekaan tidak begitu mendapatkan legalitas positifistik dari
Negara, namun berbanding terbalik dengan hukum Agama yang menjadi sentral dalam
perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Menariknya, meskipun hukum adat tidak
mendapatkan legalitas dari Negara, namun tetap hidup atau dipraktikkan secara terus-
menerus oleh masyarakat Adat di Indonesia.

Kata Kunci: pluralisme hukum, hukum Islam, hukum adat, perkawinan

Abstract

Legal pluralism in Indonesia is very different from some models of legal pluralism in other
parts of the Islamic world. Legal pluralism in Indonesia is strongly influenced by the culture
of Indonesian people which is very plural and diverse. The issue of legal pluralism in
Indonesia is always warm discussed, both in the colonial era and the era of independence. In
the era of colonialism, the patterns of legal pluralism in Indonesia is more dominated by the
roles Customary law and religious law, but in the era of independence of legal pluralism in
Indonesia is more triggered by the role of religion and the State more specifically on the Law
of marriage. Customary law in the era of independence is not so getting positifistic legality
from the State. In conrast, religious law became central to the law of marriage in Indonesia.
Interestingly, even though customary law is not getting the legality of the State, it is still alive
or practiced continuously by indigenous communities in Indonesia.

Keywords: legal pluralism, Islamic law, Adat law, marriage

Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam 48


Vol. 1, No. 1, Juni 2016
E-ISSN: 2502-6593
Murdan 49

Pendahuluan Nusantara terhadap penyebaran6


Jauh hari sebelum berbagai macam kebudayaan asing di kepulauan Nusantara.
hukum yang masuk di kepulauan Nusantara, Sikap keterbukaan masyarakat Nusantara
masyarakat Adat yang hidup dibutiran dalam meresapai penyebaran kebudayaan
kepuluan Nusantara dipercaya sudah asing ini berimplikasi terhadap perubahan-
memiliki norma hukum yang berasal dari prubahan kebudayaan7 masyarakat pribumi
chthonic (Hukum Adat).1 Keterbukaan
masyarakat pribumi terhadap masyarakat 6
Penyebaran kebudyaan juga sering disebut
luar (asing), membuka pintu akulturasi dengan difusi kebudayaan, difusi kebudyaan
kebudayaan antara budaya lokal dengan merupakan penyebaran suatu kebudayaan yang
budaya asing. Masuknya peradaban asing, dilakukan oleh para misionaris kepada kebudayaan
yang lain, dengan tujuan adalah untuk memberikan
seperti Asia dan Eropa ke Nusantara,
pengaruh yang signifikan terhadap suatu kebudayaan
memicu keberagaman norma hukum yang masyarkat tujuannya. Menurut Abdul Manan, ada
hidup ditengah-tengah masyarakat beberapa aspek yang membuat suatu hukum
Indonesia. Peradaban India mengalami perubahan jika dilihat dari segi social
memperkenalkan atau menyebarkan ajaran budaya, diantaranya: starifikasi social, pengaruh
budaya luar, kejenuhan terhadap sistem yang mapan,
Buddha dan Hindu2 kepada masyarakat
dan menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap
Nusantara, peradaban Arab hukum. Lebih jelas, lihat Abdul Manan, Aspek-Aspek
memperkenalkan ajaran Islam dan sistem Pengubah Hukum, cet. Ke-4 (Jakarta: Putra Grafika,
hukumnya3 kepada masyarakat Nusantara, 2013), 78-94.
7
dan peradaban Eropa memperkenalkan Perubahan kebudayaan juga sering disebut
dengan Evolusi kebudayaan. dimana evolusionisme
sistem hukum civil law4 kepada masyarakat
sendiri merupakan suatu cara pandang yang
Nusantara melalui misi kolonnialismenya.5 menekankan perubahan lambat-laun menjadi lebih
Keragaman hukum di Indonesia baik atau lebih maju dari sederhana menuju hal yang
khususnya hukum keluarga, tidak bisa lebih kompleks. Sebagai kebalikan dari evolusi
dilepas dari sikap keterbukaan masyarakat adalah revolusi yang berarti perubahan secara cepat.
Ahmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer
“Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma”, ed.
1
Chthonic berasal dari terma Yunani khthon Perta (Jakarta: Kencana, 2005), 99. Dalam
atau khthononos yang berarti bumi. Baca, Ratno Cambridge Advanced learners dictionary, Evolution
Lukito, Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: didefinisikan sebagai a gradual process of change
Teras, 2008), 3. and development the evolution of language. Sebagai
2
Edi Sedryawati, Budaya Indonesia “Kajian contoh dari teori evolusi kebudayaan dalam konteks
Arkeologi, Seni, dan Sejarah” (Jakarta: Raja keluarga, seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman
Grafindo, 2007), 316-317. bernama JJ. Bakhofen dalam tulisanna Das
3
M. Abdul Karim, Islam Nusantara Mutterrech, mengatakan bahwa evolusi keluarga
(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), 14. pada bangsa Yunani, Romawi, Afrika, Indian, dan
4
Hukum sipil adalah system hukum dimana Asia mengalami 4 (empat) tahap evolusi,
sebagian atau keseluruhan Corpus Juris Civilis diantaranya: Pertama, Promiskuitas, masyarakat
Justinian di masa lalu atau saat ini diposisikan semacam ini adalah bentuk masyarakat paling
sebagai hukum di suatu daerah atau, paling tidak, pertama dan paling sederhana sebelum mengenal
dijadikan kekuatan yang mengarah secara persuasif. berbagai macam perkembangan dan perubahan
Lebih jelas, lihat Ratno Lukito, Tradisi Hukum dalam masyarakat. Tahap ini manusia hidup
Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2008), 170. Pada berkelompok layaknya hewan, berhubungan seks
dasarnya Secara garis besar, sistem hukum di dunia dengan bebebas, dan melahirkan keturunan tanpa
dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, sistem ikatan kekeluargaan. Kedua, Matriarchate, pada
hukum Civil Law dan Common Law. Civil Law tahap ini manusia sudah mulai menyadari bahwa ada
dianut oleh negara-negara kawasan Eropa hubungan biologis antara seorang ibu dengan
Kontinental atau Eropa daratan, dan Common Law di anaknya, namun seorang anak belum bisa mengenal
anut oleh suku-suku Anglia yang sebagaian besar bapak biologisnya, sehingga keluarga inti terdiri dari
masyarakat Inggris sehingga disebut sistem Anglo- seorang ibu dengan seorang anak. Ketiga,
Saxon. Lebih jelas lihat, Peter Mahmud Marzuki, Masyarakat Patriarchate, pada tahap ini para pria
Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana, 2008), tidak puas menikah dengan wanita di dalam
223. marganya (Endogami), kemudian mengambil wanita
5
Edi Sedryawati, Budaya Indonesia: Kajian di luar marganya untuk dijadikan istri (Exogami),
Arkeologi, Seni, dan Sejarah”, 316-317. dan setelah istrinya melahirkan anak, maka secara
50 Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016

itu sendiri, yang di dalam kebudayaan itu mandang dengan lensa fungsional (hukum
terdapat beberapa norma hukum. Adat dan hukum Islam saling
Penerimaan kebudayaan asing ini kemudian bergantungan).
yang secara oromatis akan mendorong
hidupnya norma lokal dan norma asing di 1. Hukum Adat Versus Hukum Islam
masyarakat Nusantara. Dipraktikkannya (Pendekatan Konflik)
lebih dari satu hukum oleh masyarakat Hangatnya posisi Hukum Adat dan
Indonesia (hukum Adat, Agama, dan Barat) Hukum Islam pada masyarakat Nusantara
inilah yang oleh para ahli hukum disebut menghasilkan perdebatan yang cukup
sebagai Pluralisme Hukum.8 menghibur dunia akademis di tanah air.
Tidak sekedar itu yang bisa dirasakan,
Pluralisme Hukum di Indonesia: Antara namun yang paling penting adalah mampu
Hukum Adat dan Hukum Islam membuka diskusi-diskusi yang
Pluralisme hukum di Indonesia berkelanjutan bagi generasi-generasi bangsa
mulai disadari sejak masa pemerintahan ini. Ratno mengatakan kajian mengenai
Hindia Belanda. Fakta masyarakat pribumi hukum adat dimulai sejak pemerintahan
yang mempraktikkan beragam hukum, VOC (1602-1800) yang diawali oleh
menuntut pemerintahan Hindia Belanda Marooned (1754-1836), Reffles (1781-
untuk memberlakukan hukum yang sama 1826), Crawford (1783-1868), dan
bagi semua masyarkat Pribumi. Isu Muntinghe (1773-1827).9 Seiring dengan
mengenai kebijakan pemerintahan Hindia semakain derasnya isu-isu modernisasi
Belanda untuk memberlakukan satu hukum hukum yang semakin kencang dihebuskan
yang tepat bagi masyarakat pribumi, oleh pemerintahan Hindia Belanda,
mendorong beberapa Ahli untuk mencari mendorong munculnya berbagai diskusi dan
formulasi hukum yang tepat bagi spekulasi para ahli hukum mengenai
masyarakat Pribumi. Dari sinilah muncul “hukum apa yang tepat untuk diberlakukan
berbagai diskusi mengenai hukum Adat dan bagi masyarakat pribumi”, diskusi para ahli
Islam, baik diskusi verbal maupun bentuk ini dipercaya berkisar pada dominasi antara
tulisan. Diskusi para ahli ini dipercaya hukum Adat dan hukum Islam. Diskusi
berporos pada pertanyaan mengenai apakah pertama diawali dengan teori Receptie in
Hukum Adat atau Hukum Islam yang harus Complexu yang diperkenalkan oleh
diberlakukan bagi masyarakat Pribumi. Lodewijk Willem Christian Van den Berg
Dalam diskusi ini muncul berbagai pendapat (1845-1927), Ia seorang ahli hukum Islam
para ahli hukum, baik ahli hukum Belanda yang pernah tinggal di Indonesia pada tahun
maupun Indonesia, diantara mereka ada 1870-1887, Teori ini menyatakan bahwa
yang memotret dengan kaca mata konflik bagi orang Islam berlaku sepenuhnya
(hukum Adat dan hukum Islam terus hukum Islam, walaupun dalam
bertarung), dan tidak sedikit juga yang pelaksanaannya terdapat penyimpangan-
penyimpangan. Ungkapan Van den Berg ini
otomatis anak-anak yang dilahirkan dari para istri di didasari oleh pernyatakaan yang
luar marga akan tinggal bersama dengan bapak mengatakan hukum Islam telah berlaku pada
biologisnya. Keempat, Parental, pada tahap ini
masyarakat asli Indonesia sejak 1883 yang
manusia sudah menyadari bahwa anak biologis yang
dilahirkan dari hasil perkawinan kedua mempelai diperkuat dengan adanya Regeering
pria dan wanita (baik perkawinan secara exogami Reglement, dan Compendium freijer tahun
maupun endogamy). Sehingga, dikarenakan seorang 1706 tentang hukum perkawinan dan
anak sudah mengenal ayah dan ibunya, maka secara
otomatis anak itu akan tinggal bersama dengan kedua
orang tuanya. Koentjaraningrat, Sejarah Teori
Antropologi I (Jakarta: UI Press, 2010), 38-39.
8 9
Hendra Nurtjahjo, Legal Standing Kesatuan Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam
Masyarakat Hukum Adat (Jakarta: Salemba dan Adat di Indonesia (Yogyakarta: Manyar Media,
Humanika, 2010), 15 2003), 72.
Murdan 51

kewarisan Islam.10 Teori ini menghendaki Receptie.13 Munculnya teori Receptie yang
bahwa bagi masyarakat pribumi yang diperkenalkan oleh Christian Snouck
beragama Islam diberlakukan hukum Islam. Hurgronje (1857-1936),14 kemudian
Teori ini ditawarkan oleh Van den dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven
Berg berdasarkan pengamatan personalnya dan Ter Haar di atas, bertujuan untuk
terhadap masyarakat di beberapa kerajaan mengkritisi atas teori Receptie in
Islam Nusantara, dan hasil pengamatannya Complexsu-nya Van den Berg. Snouck
bahwa seluruh hukum Islam sudah ditermia Hurgronje sendiri dikenal sebagai penasihat
secara menyeluruh oleh umat Islam. pemerintah Hindia Belanda tentang soal-
Sehingga, teori ini mengatakan hukum islam soal Islam dan anak negeri tahun 1898. Ia
berlaku seutuhnya bagi umat islam, karena pernah belajar ke Makkah sehingga berganti
hukum adat sudah menyesuaikan diri namanya menjadi Abdul Ghaffur (1884-
dengan hukum Islam.11 Sehingga, teori ini 1885), Keahliannya dalam hukum Islam dan
menghendaki bahwa bagi orang Islam hukum adat terepleksi dalam karyanya De
berlaku sepenuhnya hukum Islam, walaupun Atjehers dan De Gojoand. Inti dari teori
dalam pelaksanaannya terdapat Snouck ini bahwa bagi masyarakat pribumi
penyimpangan-penyimpangan, hal ini pada dasarnya berlaku hukum adat, dan
dikarenakan hukum Islam telah berlaku hukum Islam akan berlaku apabila norma-
pada masyarakat asli Indonesia sejak 1883 norma hukum Islam telah diterima atau
yang diperkuat dengan adanya Regeering diserap oleh masyarakat hukum adat.
Reglement, dan hukum perkawinan dan Setelah kemerdekaan Indonesia,
kewarisan Islam dalam Compendium freijer teori Receptie-nya Snouck ini ditelaah
tahun 1706.12 kembali kebenarannya oleh Hazairin.
Pendapat dari Van den Berg di atas Hazairin menyimpulkan bahwa tidak benar
mengenai dominasi hukum Islam dari pada Hukum Islam itu bergantung kepada hukum
hukum adat, ternyata mendapatkan keritikan Adat, karena hukum Islam itu adalah
dari seorang sarjana asal Belanda yang mandiri. Sehubungan dengan ini, Hazairin
bernama C. Snouck Hurgronje (1857-1936). memperkenalkan teori Receptie Exit, teori
Ketika Hurgronje menetap dan mengamati ini bertujuan untuk membantah teori
prilaku masyarakat Nusantara, ternyata Receptie Snouck di atas. Menurut Hazairin,
bukan hukum Islam yang lebih dominan, Hukum Islam adalah hukum yang mandiri
namun hukum adatlah yang lebih dominan dan lepas dari pengaruh hukum lainnya.
dari hukum Islam. Sehingga Hurgronje Berdasarkan pandangannya, Hazairin
berkesimpulan bahwa hukum Islam bisa memiliki kesamaan pandangan dengan Van
diberlakukan jika sudah diterima oleh den Berg yang menginginkan hukum Islam
masyarakat hukum adat, pendapatnya ini diberlakukan sepenuhnya bagi masyakar
kemudian dia jadikan sebagai teori, dan Islam (pribumi). Beberapa tahun kemudian,
teori ini dia namakan sebagai teori teori Hazairin ini dikembangkan oleh
muridnya yang bernama Sayuti Thalib, dan
10
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum
13
Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum
2011), 28. Baca juga, A. Rosyadi dan Rais Ahmad., Kewarisan, 76-86.
14
ed. Formalisasi Syari’at Islam dalam perspektif Tata Untuk lebih jelas mengenai latar belakang
Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), kehidupan Snouck Hurgronje serta politiknya di
73-74. Indonesia, khususnya di Acah, bisa dibaca dalam
11
Lebih jelas baca, Adil, Simboer Tjahaya karya G. Drewes, Snouck Hurgronje and The Study
(ttp: Kementrian Agama RI, 2011), 72-76. of Islam, dalam Bijdragen tot de Taal, Vol. 113
12
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum (1957), No. 1, Leiden. 1-15. Bisa jug dibaca tulisan
Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, Yunani Hasan, Politik Christian Snouck Hurgronje
2011), 28. Baca juga, A. Rosyadi dan Rais Ahmad, Terhadap Perjuangan Rakyat Aceh, dalam Jurnal
Formalisasi Syari’at Islam dalam perspektif Tata Pendidikan dan Kajian Sejarah, Vol. 3 No. 4 Agustus
Hukum Indonesia, 73-74. (2013).
52 Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016

menghasilkan teori Receptie a Contrario. kebudayaan harus memiliki syarat-syarat


Teori ini mengklaim bahwa teori Receptie fungsional yang berfungsi untuk menjaga
yang diperkenalkan oleh Snouck merupakan eksistensinya, atau dalam bahasa
atau sebagai teori Iblis. Inti dari teori Sayuti Malinowski adalah kebutuhan biologis
adalah bagi orang Islam berlaku hukum individual.18
Islam; hukum Islam berlaku sesuai dengan Dalam konteks kajian Adat dan
cita hukum, cita moral dan batin umat Islam; Islam, salah satu tulisan yang menggunakan
dan hukum Adat berlaku jika sesuai dengan teori fungsional ini dalam melihiat
hukum Islam.15 dialektika antara Islam dan budaya lokal
adalah Noel James Coulson. Dalam
2. Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum tulisannya berjudul Muslim Custom and
Islam (Pendekatan Fungsional) Case Law, Coulson berpendapat bahwa
Pada dasarnya teori fungsional Islam dan budaya local berkolaborasi dalam
budaya ini muncul dari metode penelitian memutuskan kasus hukum di beberapa
yang menitik beratkan focus kajiannya kawasan yang mayoritas Penduduknya
terhadap proses-proses kebudayaan, dimana adalah Muslim. Kolaborasi ini dicontohkan
sifat ketergantungan antara satu unsur oleh Coulson seperti beberapa masyarakat
dengan unsul yang lain saling yang mayoritas anggotanya adalah
mempengaruhi dalam suatu budaya.16 beragama Islam, diantaranya adalah
Kemudian aktifitas akademis ini diperkuat Masyarakat Muslim Marocco, India,
oleh Malinowki dalam kajiannya terhadap Tunisia, masyarakat Kabylie di Algeria,
proses kebudayaan dalam masyarakat masyarakat Youruba di Nigeria, Yaman, dan
Trobriand. Ketika masyarakat Trobriand masyarakat Jawa.19 Di Indonesia, ada
melakukan aktifitas ritual tertentu, dimana beberapa pakar hukum Islam dan hukum
secara fungsinal adalah untuk mengurangi Adat mengkaji ulang mengenai desas-desus
kecemasan mereka terhadap hal-hal yang antara Hukum Adat dan Islam. Namun,
tidak dipahami dalam menjalani kajian belakangan ini lebih condong melihat
kehidupannya.17 Sehingga, analisis kedua budaya hukum itu dari sisi
fungsional membangun asumsi yang kompromitas atau harmonitas antara ketiga
bertumpu pada analogi organism, dalam arti sistem hukum itu. Misalnya, Taufik
bahwa memahami system budaya sebagai Abdullah melihat bahwa masyarakat
organisme yang mana bagian-bagiannya Minangkabau mempraktikkan hukum Adat
tidak saja sebatas saling berhubungan antara dan hukum Islam secara bersamaan
satu sama lain, namun saling memelihara, sehingga lebih membahasakannya sebagai
menjaga stabilitas, dan melestarikan intraksionis antara hukum Adat dan hukum
kehidupan unsur-unsur atau organism yang Islam atau dua menara hukum (mimbar
ada dalam kebudyaan itu. Dalam hukum).20 John R. Bowen melihat bahwa
melestarikan stabilitas sistemnya, masyarakat Gayo yang ada di Aceh
mempraktikkan ketiga hukum itu secara
15
G. Drewes, Snouck Hurgronje and The bersamaan dengan basis pluralisme hukum,
Study of Islam. namun yang menarik dari tulisannya adalah
16
Beberapa Fungsionalis berpandangan
bahwa mereka telah menciptakan suatu teori yang
18
menjelaskan tentang diskursus mengenai “mengapa David Kaplan dan Albert A. Manners, The
unsur-unsur itu berhubungan secara tertentu, dan Theory of Cultur: Teori Budaya, 77-78.
19
mengapa terjadi pola budaya tertentu atau setidak- Untuk lebih jelas, baca Noel James
tidaknya mengapa pola itu bertahan”. Lebih jelas Coulson, Muslim Custom and Case Law, dalam Die
baca, David Kaplan dan Albert A. Manners, The Welt des Islam, New Series, Vol. 6, Issue ½ (1959),
Theory of Cultur: Teori Budaya, terj. Landung 13-24. 15-23.
20
Simatupang, cet. Ke-4 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Taufik Abdullah, Adat and Islam
2012), 77. Examination of Conflict in Minangkabau, dalam
17
David Kaplan dan Albert A. Manners, The Southeast Asia Program Publications at Cornell
Theory of Cultur: Teori Budaya. University, Vol: No.2 Oct., 1966, 1-12.
Murdan 53

Negara hurus berangkat dari wilayah sangat signifikan dalam perdebatan


regional Indonesia, kemudian diberlakukan manusia, masyarakat yang selalu
dalam kancah Negara. Sehingga, Bowen menjunjung tinggi toleransi dan selalu
lebih membahasakan sebagai pilar-pilar menerima perbedaan, setia terhadap kondisi
hukum yang di dalamnya terdapat hukum politik, dan bangsanya selalu menjaga
Adat, Islam, dan Negara.21 Ratno Lukito kelangsungan hidup bemasyarakat yang
melihat secara umum masyarakat Muslim pluralistik tinggi.24
Indonesia mempraktikkan ketiga hukum itu Bowen sempat kebingungan melihat
secara bergumulan, sehingga dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia
pembuatan hukum, Negara harus mampu yang begitu pluralistic dan sangat sulit untuk
mengkanter hukum adat dan hukum Islam.22 dibayangkan bagaimana beragamnya
Beberapa tahun setelah kemerdekaan budaya hukum yang dipraktikkan oleh
Indonesia, Hasby melalui konsep Fiqih masyarakat Indoesaia, baik dari segi agama,
Indonesia-nya telah berusaha untuk politik, maupun kesenian yang selalu saling
melibatkan hukum Adat sebagai bagian menerima dengan yang lainnya. Dalam
dalam mengambil istinbat dalam hukum perjalanan politik Indonesia terutama ketika
Islam yang berbasis masyarakat Muslim masa pemerintahan colonial Belanda, Adat
Indonesia, sehingga dalam pembuatan dikategorikan sebagai budaya hukum dalam
hukum Negara, Negara harus kehidupan masyarakat untuk menyelesaikan
mengakomudir kedua hukum itu.23 atau mencari jalan keluar terhadap perkara-
Wujud kajian fungsional John R. perkara tradisional atau tingkah laku sehari-
Bowen ini diungkapkan dalam tulisannya hari yang dianggap melanggar ketentuan
yang berjudul Islam, Law and Equality in kelompok, dan dipergunakan berkisar pada
Indonesia An Anthropology of public permsalahan mengenai substansi hukum.
reasoning. Bowen melihat masyarakat Sedangkan hal yang menarik dari budaya
Indonesia sebagai masyarakat yang sangat hukum ini adalah terkonternya hukum adat
pluralistic yang selalu hidup bersama-sama tersebut oleh Hukum Islam atau Hukum
meskipun beragam budaya, suku, dan Negara, yang kemudian pada akhir-akhir ini
agama. Ada beberapa ciri has masyarakat kata-kata local dianggap tidak pas untuk
Indonesia menurut Bowen diantaranya dikategorikan sebagai nasional, namun lebih
adalah bangsanya yang memiliki berbagai bersifat masyarakat adat yang meliputi
macam perbedaan, mempunyai kekuatan orang-orang yang tinggal dikawasan norma-
dalam beragama, bersuku, berbudaya yang norma adat tertentu.25
Pluralisme masyarakat Indonesia
yang dibuktikan melalui jiwa kepedulian
21
John Bowen, Islam, law and equality in terhadap kebudayaannya yang selalu
Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning
menjaga keseragaman dalam bermasyarakat,
(Inggris: Cambridje University Press, 2006), 30.
22
Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam setiap kelompok sangat bertanggung jawab
dan Adat di Indonesia (Yogyakarta: Manyar Media, dalam menjaga kesetabilan kelompoknya,
2003). Baca juga, Ratno Lukito, Islamic Law And dan bagi masyarakat laki-laki dan
Adat Encounter “The Experience of Indonesia” perempuan akan berkolaborasi dalam satu
(Jakarta: Logos, 2001).
23 kelompok apabila mereka sudah melakukan
Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam
dan Adat di Indonesia, 135-136. Baca juga, pernikahan. Semua kalangan selalu
Nuruzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi Ash mengindahkan budaya-budaya yang ada
Shiddieqy Dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Islam baik yang datang dari kalangan Islam,
di Indonesia, dalam Perpustakaan Digital UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 51 dan 59. Dapat juga dibaca
24
pada tulisan Euis Nurlaelawati, Modernization John Bowen, Islam, law and equality in
Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning, 3-
and Legal Practice in the Indonesia Religious Courts 5.
25
(Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), John Bowen, Islam, law and equality in
76-78. Indonesia, 12-13.
54 Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Kristen, maupun individu-individu yang dipergunakan sebagai tempat


mengatas namakan dirinya modernis. berlangsungkan aktifitas duniawi dan
Mereka memiliki daya yang tajam untuk dijadikan juga tempat musyawarah serta
mempraktikkan dan melestarikan kearifan tempat pengurusan keadministrasian social
budaya local yang ada. Sehingga dengan bagi masyarakat. Dalam realitas masyarakat
realita inilah Bowen mengatakan bahwa Minangkabau, balai adat ini
Indonesia datang untuk memberikan saran merefresentasikan atau menyimbolkan
kepada semua kalangan untuk memahami bahwa prinsip-prinsip adat terintegrasi
kembali budaya-budaya masyarakat Islam dengan ajaran-ajaran agama atau hukum
secara komprehensif, Islam tidak cukup agama. Bentuk mengenai kesatuan adat dan
hanya dibaca sebatas pada masyarakat Arab, agama dalam pandangan masyarakat
Persia, dan Turki, namun Islam harus dibaca Minangkabau ini bisa dilihat pada beberapa
juga melaui Indonesia yang penduduknya ajaran yang diresapi oleh masyarakat
mayoritas Islam dan masyarakatnya setempat, misalnya: adat dilandasi agama,
pemeluk terbesar Islam.26 dan agama dilandasi adat (adaik besandi
Jika Bowen lebih suka untuk sjarak, sjarak basandi adaik), ungkapan lain
menunjukkan persatuan dan ada hubungan yakni agama yang mengkonsepsikan dan
yang harmonis antara hukum adat dan adat yang mempraktikkan (agamo mangato,
hukum Islam, maka Taufik Abdullah lebih adat mamakai). Ungkapan ini menunjukkan
suka menunjukkan segi kerancauan makna bahwa adat dan agama pada masyarakat
hukum adat masyarakat Minangkabau, Minangkabau sudah menjadi satu kesatuan
meskipun mayarakat memandang hukum yang tidak bisa dicerai beraikan. Hubungan
adat dengan hukum Islam terjadi perbauran timbal balik antara hukum adat dan hukum
satu-sama lain. Masyarakat Minangkabau islam di Minangkabau inilah yang
memandang hukum adat dengan dua disimpulkan sebagai hubungan
dimensi, yakni: pertama, adat diartikan intraksionisme.28
sebatas pada kebiasaan-kebiasaan local; Ratno mengatakan, Sehubungan
kedua, adat diartikan sebagai keseluruhan dengan harmonisasi ini Hasbi sempat
struktur dalam system kemasyarakatan atau membangun argumentasi melalui wacana
semua system nilai yang dijadikan sumber besarnya yakni “Fiqih Indonesia”, Inti dari
etika dan norma local. Walaupun ada juga wacana besarnya ini adalah merevormasi
masyarakat yang menggabungkan kedua fiqih syafi’i yang bercorak Hijazi atau Misri
makana itu.27 dan berkarakter masyarakat Mesir menjadi
Posisi Adat dan Islam pada fiqih Indonesia yang bercorak ke-
masyarakat Minangkabau adalah menempati Indonesiaan dan berkarakter masyarakat
tempat yang sangat penting, sehingga kedua Indonesia itu sendiri. Tentu saja revormasi
budaya hukum ini dipandang oleh hukum Hasbi harus berdasarkan penggalian
masyarakat setempat sebagai suatu konsep dan pengembangan dari empat mazhab
yang terintegrasi satu sama lain. Dalam adat terkemuka (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
masyarakat Minangkabau dikenal beberapa dan Hambali). Sedangkan Hazairin dalam
tempat aktifitas social, diantaranya adalah wacana besarnya yakni “Mazhab Nasional
masajik (masjid) yang difungsikan sebagai Indonesia”, berkeinginan membangun
tempat untuk melakukan aktifitas pribadatan mazhab nasional berdasarkan pembaharuan
bagi masyarakat Minangkabau, balai dari mazhab Syafi’i berdasarkan kondisi
local masyarakat Indonesia. Ratno Lukito
26
menyimpulkan, baik Hasbi maupun
John Bowen, Islam, law and equality in
Hazairin sepakat bahwa adat istiadat
Indonesia, 19.
27
Taufik Abdullah, Adat and Islam masyarakat Indonesia harus menjadi
Examination of Conflict in Minangkabau, dalam
28
Southeast Asia Program Publications at Cornell Taufik Abdullah, Adat and Islam
University, Vol: No.2 Oct., 1966, 1. Examination of Conflict in Minangkabau, 12-15.
Murdan 55

pertimbangan dalam pembuatan Hukum sahabat yang disetujui dan tidak ditegur oleh
Islam Indonesia, kedua ide ini membuka Rasulullah S.A.W. maka hal itu disahkan.
jalan baru bagi bersatu padunya antara nilai- Sehingga, melalui praktek ini sangat relevan
nilai yang berasal dari adat istiadat dengan apa yang diungkapkan oleh M.B. Hooker,
hukum Islam untuk menciptakan atmosper seorang guru besar di Australian National
harmoni dalam satu entitas hukum.29 University, Canberra, Australia, mengatakan
Dalam rangka mengupayakan untuk bahwa hukum itu bukanlah sekedar yang
mengharmonisasikan antara hukum adat eksis di dalam teks, tetapi juga termasuk
dengan hukum Islam atau Negara, fakta-fakta hukum yang secara terus
dibutuhkan kedewasaan para penafsir dan menerus atau tekun dipraktekkan oleh
pihak-pihak yang berwnang. Seperti yang masyarakat.31 Melihat argumentasi di atas,
ditegaskan oleh. Ratno bahwa, selama ini ini mengajarkan kepada kita bagaimana
para sarja selalu memandang hukum adat pentingnya teks hukum untuk
dengan hukum islam dengan pendekatan dikolaborasikan dengan budaya hukum yang
konflik, sehingga ini berimplikasi terhadap dipraktikkan yang berasal dari adat istiadat
hasil dari sudut pandang yang mereka lokal untuk mencapai target yang maksimal
gunakan. Tidak benar bahwa Hukum Islam dalam mempraktekkan budaya hukum baru
“cuek” atau tidak mau tahu tentang hukum yang dibawa oleh teks.
adat, dalam kenyataannya bahwa Islam Islam dan budaya masyarakat
selalu melestarikan adat-adat dan budaya- Nusantara merupakan satu kesatuan yang
budaya sebelumnya yang dipandang baik. sulit untuk dipisahkan, meskipun dalam
Misalnya budaya khitanan (sunatan) yang proses akulturasi kebudayaan yang sangat
hingga saat ini masih dirasakan oleh umat kompleks pada masyarakat Nusantara.
Islam, penting untuk diketahui bahwa tradisi Tidak sekedar budaya islam yang
sunatan ini bukanlah diperkenalkan pertama berakulturasi dengan masyarakat Nusantara,
kali oleh Nabi Muhammad S.A.W. Namun, namun terdapat juga beberapa kebudayaan-
budaya ini diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim kebudayaan lain, seperti China, India, Arab,
yang kemudian diwariskan kepada umat- dan Barat. Namun, dari semua kebudayaan-
umat Nabi Muhammad S.A.W. Tentu bukan kebudayaan yang ada, sepertinya hanya
perkara ini saja yang merupakan budaya budya Islam yang diterima secara utuh oleh
lama yang dipertahankan oleh Nabi masyarakat Nusantara. Dalam proses
Muhammad S.A.W. tetapi masih banyak akulturasinya, islam masuk ke Nusantara
budaya-budaya lain yang bisa dianalisa secara alami tanpa paksaan yang diawali
sendiri oleh pembaca yang budiman.30 melalui perdagangan, hal ini disebabkan
Jika dikaji secara komprehensif karena Indonesia merupakan lintas atau jalur
kolaborasi antara sumber Hukum Islam dan perdagangan di kawasan Asia. Islam telah
adat istiadat setempat, sungguh akan berkontribusi besar dalam pembinaan moral
menghasilkan kebudyaan yang lebih bangsa Indonesia baik dalam bentuk
sempurna. Beberapa abad yang lalu, teologis, antropologis, maupun kosmologis.
Rasulullah SAW telah membuktikan hal ini Bentuk teologis Islam telah membentuk
melalui hadist taqriry, secara singkat teori masyarakat Indonesia yang berketuhanan,
ini menjelaskan bahwa segala perbuatan hal ini tertuang pada sila pertama
kenegaraan bangsa Indonesia. Dalam
29
Taufik Abdullah, Adat and Islam antropologisnya, Islam berhasil
Examination of Conflict in Minangkabau, 12-15. mencerdaskan masyarakat Indonesia dalam
Sebagai tambahan, baca Yudian Wahyudi, Ushul
Fikih Versus Hermeneutika “Membaca Islam dari
31
Kanada dan Amerika, cet. Ke-8 (Yogyakarta: Law does not exist just in texts. It is the
Nawesea Press, 2014), 27-44. facts of life in this society which must determine what
30
Lebih jelas baca, Ratno Lukito, the law really is and in what it really consists. Ratno
Pergumulan Hukum Adat Dan Islam Di Indonesia, Lukito, Pergumulan Hukum Adat Dan Islam Di
19-30. Indonesia, 15.
56 Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016

bercocok tanam dan sebagainya. Dalam kematian. Molukse Huwelijken Reglement


kosmologis, Islam menanamkan tingkat yang diberlakukan kepada masyarakat
kepedulian bangsa Indonesia terhadap flora Manado, Ternate, dan Ambon. Pada tahun
dan fauna yang ada. 32 1937 diberlakukan S. 1933 No. 74 kepada
masyarakat lingkup Jawa dan Madura
Pluralisme Hukum Keluarga Pada Masa setelah mengalami berbagai perubahan.
Kolonialisme Pada dasarnya semua Reglement ini
Pada masa pemerintahan Hindia mengatur tentang perkawinan masyarakat
Belanda, ada beberapa kebijakan hukum yang beragama Kristen, baik tentang syarat
yang dikeluarkan untuk menyelesaikan perkawinan, pendaftaran perkawinan,
permasalahan keperdataan, tidak terkecuali hingga perlangsungan perkawinan. setelah
bagi hukum keluarga. Sebagai contoh, berlakunya S. 1898 No. 158 mengenai
permasalahan warisan, berdasarkan pasal perkawinan campuran, maka secara
131 jo. Ayat 161 Indische Staatsregeling otomatis peraturan sebelumnya sudah tidak
pembagian warisan diatur berdasarkan diberlakukan lagi. Namun yang menarik dari
pengelompokan-pengelompokan golongan. semua ini, seperti yang ditulis oleh Soetojo,
diantaranya: Pertama, orang-orang Belanda. pada dasarnya semua peraturan di atas
Kedua, orang-orang Eropa yang lain. mengatur tentang hukum formilnya, namun
Ketiga, orang-orang Jepang, dan orang- sama sekali tidak mengatur tentang hukum
orang lain yang tidak termasuk dalam materilnya, semua yang berbau materil
kelompok yang pertama dan kedua, yang semua dikembalikan kepada hukum adat
tunduk kepada hukum yang mempunyai masing-masing daerah.34 Berdasarkan pasal
asas-asas hukum keluarga yang sama. 161 I.S. penduduk Hindia Belanda dibagi
Keempat, orang-orang yang lahir di menjadi beberapa golongan, diantaranya:
Indonesia (masyarakat pribumi) yang sah, Penduduk Golongan Europa, Penduduk
ataupun diakui secara sah dan keturunan Golongan Bumi Putra, dan terakhir adalah
lebih lanjut dari orang-orang yang termasuk Kelompok Golongan Timur Asing.35 Ini
golongan kedua dan ketiga. Kemudian pada diperjelas lagi dengan beragamnya jenis
pasal 131 jo. Ayat 161 Indische pengadilan yang diadakan oleh
Staatsregeling ditegaskan bahwa hukum pemerintahan Hindia Belanda, ada
waris yang diatur dalam KUHPerdata pengadilan khusus bagai masyarakat Eropa
berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang disebut sebagai European Courts,
yang dipersamakan dengan orang-orang pengadilan Adat khusus masyarakat Pribumi
Eropa itu. Lebih lanjut Staatblad No. 129 yang disebut Native Courts, dan pengadilan
menegaskan bahwa hukum waris perdata Umum khusus masyarakat Campuran yang
berlaku bagi golongan Timur Asing dan mengurus tentang administrasi keagamaan.36
Tionghoa.33 Pada penjelasan di atas, sangat terlihat
Selain aturan di atas, ada beberapa begitu beragam hukum yang diberlakukan
aturan lain yang digunakan oleh belanda oleh pemerintahan Hindia Belanda bagi
dalam mengatur permasalahan kekeluargaan masyarakat yang mendiami kepuluan
dan keperdataan, diantaranya adalah Nusantara.
Staatsblad 1840 nomor 2 mengatur tentang
pendaftaran kelahiran, perkawinan, dan 34
Lebih jelas, lihat R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Undang-
Undang Perkawinan di Indonesia, cet. Ke-5
32
M. Abdul Karim, Islam Nusantara (Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair,
(Yogyakarta: Pustaka Book Pablisher, 2007), 147- 2012), 13.
35
174. R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme
33
Untuk lebih jelas, lihat Surini Ahlan Sjarif Dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,
dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata 14.
36
Barat: Pewarisan menurut Undang-Undang cet. Ke- B. Tear Haar, Adat Law in Indonesia
3 (Jakarta: Kencana, 2010), 3-4. (Jakarta: Bhratara, 1962), 15-21.
Murdan 57

Pluralism Hukum Keluarga Pada Masa mengimplementasikan legal substantif dari


Kemerdekaan Undang-Undang perkawinan Itu. Implikasi
Setelah bertahun-tahun masyarakat dari ini, maka terjadilah rangkap hukum
Indonesia membenahi sistem ketata perkawinan yang dipraktikkan oleh
negaraannya, bangsa Indonesia kemudian masyarakat Indonesia, diantaranya: Hukum
berhasil melakukan transformasi hukum Adat,39 Hukum Islam,40 dan Hukum
keluarga dari sistem hukum bercorak civil Negara,41 meskipun beberapa kalangan
law yang diwarisi oleh kolonialisme berasumsi bahwa UUP No. 1 tahun 1974
Belanda, menuju sistem kodifikasi dan merupakan hasil kodifikasi dan unifikasi
unifikasi hukum37 melalui mekanisme check mazhab-mazhab fikih di Indonesia, namun
and balances.38 Sejak inilah kemudian ini semua sangat sulit diterima oleh
muncul pekerjaan rumah terbesar Negara, beberapa kalangan masyarakat Islam di
yakni menciptakan undang-undang yang Indonesia. Tindakan masyarakat ini
berpihak kepada masyarakatnya. Sehingga, kemudian yang memacu terjadinya
Pada tahun 1974, Negara berhasil pluralisme hukum gaya baru di Indonesia
melegalkan Undang-Undang No. 1 (satu) yang berbasis relalifisme kelompok dalam
tentang Perkawinan meskipun sedikit mempraktikkan hukum positif di Indonesia,
mengandung kepentingan beberapa
kalangan. Setelah Undang-Undang 39
Hukum Adat adalah hukum non statutair
perkawinan ini dilegalkan oleh Negara, yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan
ternyata ada beberapa kelompok masyarakat sebagian Hukum Islam. Hukum Adat itupun
melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-
yang tidak setuju dan belum siap untuk
keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam
lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hukum
37
Kodifikasi hukum adalah penyatuan Adat berturut-turut pada kebiasaan nasional. Hukum
sejumlah peraturan, perundang-undangan dan Adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia
ketentuan-ketentuan dalam sebuah buku hukum atau menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari
buku, perundang-undangan. Atau pengumpulan rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, Hukum Adat
ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kitab terus menerus dalam keadaan tumbuh dan
secara sistematik dan teratur. Sedangkan Unifikasi berkembang seperti hidup itu sendiri. Untuk lebih
hukum merupakan penyatuan berbagai hukum jelas, lihat Ade Maman Suherman, Pengantar
menjadi suatu kesatuan hukum secara sistematis yang Perbandingan Sistem Hukum (Jakarta: PT
berlaku bagi seluruh warga Negara di suatu RajaGrafindo Persada, 2012), 244.
40
kelompok sosial atau Negara. Narwab dab Jimmy, Hukum Islam juga sering disebut hukum
Dalam Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete syara’, merupakan titah Allah tentang perbuatan
Edition (Surabaya: Reality Publisher, 2009), 368 dan manusia mukallaf atau dengan arti apa-apa yang
622. dikehendaki oleh Allah sebagai Pencipta manusia
38
Check and balances bertujuan untuk untuk diperbuat atau tidak diperbuat oleh manusia
mengatur, membatasi, dan mengontrol kesewenangan yang telah dikenai hukum, karena segala tingkah
para pejabat sebagai penyelenggara Negara atau perbuatan manusia itu mengikuti apa yang
perorangan yang sedang menduduki jabatan lembaga dikehendaki oleh Allah. Dengan demikian hukum
Negara. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan syara itu adalah hukum Allah berkenaan dengan
Konstirusionalisme Indonesia, cet. Ke-2 (Jakarta: perbuatan manusia. Untuk lebih jelas, baca, Amir
Sinar Grafika, 2011), 61. Dalam UUD 1945, pasal Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
20, ayat 1-5 mengatur, bahwa DPR memegang (Jakarta: Kencana, 2011), 3.
41
kekuasaan membentuk Undang-Undang, setiap Hukum Negara yang dimaksud dalam
rancangan UU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk tulisan ini adalah peraturan perundang-undang yang
mendapat persetujuan bersama, jika rancangan UU telah disahkan oleh Negara berdasarkan mekanisme
itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan legalistic perundang-undangan di Indonesia.
UU itu tidak boleh diajukan lagi dalam Persidangan Lawrence M. Friedman mengkonsepkan tentang
DPR masa itu, Presiden mengesahkan rancangan UU sistem hukum (legal system), seperti yang dikutip
yang telah disetujui bersama untuk dijadikan UU, oleh M. Bakri, “A legal system in actual operation is
dalam hal rancangan UU yang telah disetujui complex organism in which structure, substance, and
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam culture interac”. Lebih jelas lihat, M. Bakri,
waktu tiga puluh hari semenjak rancangan UU Pengantar Hukum Indonesia: Sistem Hukum
tersebut disetujui, rancangan UU tersebut sah Indonesia Pada Era Reformasi, cet. Ke-2 (Malang:
menjadi UU dan wajib diundangkan. UB Press, 2013), 20.
58 Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016

dalam arti bahwa setiap kelompok dikarenakan oleh keragaman42 dan ketidak
masyarakat mempraktikkan perkawinan konsistenan suatu masyarakat dalam
berdasarkan kepercayaan (Agama), mempraktikkan budaya yang sudah ada,
kebudayaan (Adat), dan ketentuan Negara. sehingga akan digantikan secara langsung
Kelompk Agamawan mempraktikkan proses oleh kebudayaan yang baru, maka akan
perkawinan berdasarkan ajaran atau hukum terjadi apa yang disebut oleh para ahli
masing-masing agamanya, kelompok sebagai evolusi kebudayaan atau mungkin
budayawan (Masyarakat Adat) perubahan kebudayaan (Culture Chance).43
mempraktikkan proses perkawinan itu Jadi, apabila proses praktik perkawinan
berdasarkan ajaran dan hukum adatnya masyarakat suku Adat itu tidak konsisten
masing-masing, sedangkan kalangan dipraktikkan oleh penganutnya, maka dapat
Nasionalis dan masyarakat perkotaan dipastikan bahwa budaya perkawinan
melaksanakan perkawinan itu berdasarkan masyarakat suku Adat otomatis akan digeser
ketentuan dari Negara. atau digantikan oleh prosedur-prosesur
Seiring dengan isu-isu globalisasi perkawinan yang sudah mendapatkan
yang semakin deras, Negara pun secara legitimasi penuh dari Negara.
dramatis menginginkan masyarakat Sebelum Undang-Undang No. 1
Agamawan dan masyarakat Budayawan tahun 1974 tentang perkawinan ini dibuat,
mematuhi undang-undang perkawinan itu. ada aturan yang sangat menarik mengenai
Berbagai upaya yang dilakukan Negara perlindungan dan pemberlakuan hukum adat
untuk menarik simpati masyarakatnya, dalam perundang-undangan di Indoensia.
diantaranya sosialisasi mengenai misi Aturan ini misalnya dapat dilihat pada
Negara untuk melindungi, mengayomi, dan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 (L.N.
mensejahtrakan warga Negaranya. Namun 1970. No. 74), peraturan ini mengatur
sayangnya, berbagai upaya Negara di atas tentang ketentuan-ketentuan pokok
ternyata menimbulkan berbagai masalah di kekuasaan kehakiman. Seiring dengan ini,
kalangan masyarakat agamawan dan Ihrom menjelaskan dalam tulisannya
budayawan. Bagi masyarakat agamawan berjudul “Adat Perkawinan Toraja Sadan dan
dan budayawan yang masih berdomisili di Tempatnya dalam Hukum Positif Masa Kini”
berbagai plosok Indonesia, ketika akan mengatakan bahwa pasal 71 ayat 1 dalam
menjalankan amanat Negara, ternyata penjelasannya (T.L.N. No. 295, tahun 1970)
terkendala dengan imprastruktur yang tidak mengatakan “Hakim sebagai penegak
memungkinkan mereka menjalani kehendak hukum dan keadilan wajib menggali,
Negara, ditambah lagi dengan hegomoni, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
panatismeme keagamaan/kebudayaan yang yang hidup dalam masyarakat.44 Undang-
sangat tinggi, dan keterbatasan pengetahuan
mengenai perundang-undangan, memicu 42
Adanya keanekaragaman adalah modal
peraturan yang dilegalkan oleh Negara utama dari proses evolusi, tanpa adanya
belum siap untuk diimplementasikan atau keanekaraman, proses evolusi tidak dapat terjadi.
diaplikasikan. Djoko T. Iskandar, Evolusi, ed. Ke-4 (Jakarta:
Apabila Negara terlalu memaksakan Universitas Terbuka, 2008), 40.
43
Ahmad Fedyani Saifuddin, Antropologi
kehendaknya kepada hukum Adat yang
Kontemporer “Suatu Pengantar Kritis Mengenai
tidak mendapatkan legalitas dari Negara, Paradigma”, 100-101.
maka sudah dapat dipastikan bahwa hukum 44
Penjelasan dari Undang-Undang
Adat tidak akan mampu bertahan lama, dan maksudnya adalah dalam masyarakat yang mengenal
secara otomatis hukum adat akan tergusur hukum tidak tertulis. Serta berada dalam masa
pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan
oleh hukum Negara sebagai basis
perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
masyarakat modern. Salah satu sebab hidup di kalangan rakyat. Untuk itu Ia harus terjun
evolusi kebudayaan terjadi adalah ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Murdan 59

undang ini sangat jelas menghendaki bahwa masyarakat Nusantara, ini menunjukkan
hukum Adat mendapatkan porsi dalam begitu dewasanya nenek moyang bangsa
peraturan perundang-undangan Indonesia, Indonesia. Perseteruan-perseteruan yang
namun setelah disahkannya Undang-Undang ada, pada dasarnya bukanlah dipicu oleh
Perkawinan No. 1 tahun 1974 hukum adat masyarakat pribumi, namun lebih
tidak mendapatkan porsi legalitas sedikit disebabkan oleh kebudayaan-kebudayaan
pun dalam peraturan perundang-undang asing yang masuk di barisan kepulauan ini.
Indonesia. Setelah UU Perkawinan No. 1 Misalnya perseteruan antara hukum Adat
tahun 1974 disahkan, ternyata hukum adat dan hukum Islam, bukan disebabkan oleh
tidak mendapatkan porsi yang cukup dalam keinginan masyarakat pribumi untuk
perundang-undangan, namun pluralism melegalkan hukum adat yang ada, namun
hukum di Indonesia semakin terasa ketika lebih disebabkan oleh keinginan
Negara menjadikan Agama salah satu unsur pemerintahan Hindia Belanda untuk
penting dalam sahnya suatu perkawinan mendapatkan legitimasi dari masyarakat
masyarkat Indonesia. Sehingga, secara tidak pribumi. Masyarakat pribumi tidak pernah
sadar Negara telah mendorong terjadinya menjastis bahwa hukum adat bertentangan
Pluralisme hukum di masyarakatnya, dalam dengan hukum Islam lebih khusus bagi
masyarakat yang lebih mendominankan masyarakat adat Indonesia yang memeluk
perkawinan agama lebih memberikan agama Islam, namun mereka lebih bahagia
perhatian spesial terhadap pernikahan agama mengatakan bahwa hukum adat adalah
dari pada pernikahan yang bernuansa selalu sejalan dengan hukum Islam, ini bisa
Negara.45 Salah satu pasal yang memacu dilihat dari ungkapan beberapa masyarakat
terjadinya pluralism hukum adalah pasal adat yang mengatakan bahwa hukum Islam
tentang pembagian harta bersama sebagai petunjuk dan hukum Adat adalah
(permbagian harta setelah perceraian), pasal sebagai pelaksana dari petunjuk hukum
ini mengatur bahwa setiap pembagian harta Islam itu. Demikian yang dapat
bersama setelah perceraian dilakukan disampaikan, tentu dalam tulisan yang
berdasarkan hukum masing-masing sederhana ini terdapat banyak kekurangan,
mempelai.46 oleh karenanya mohon dimaklumi.

Penutup Daftar Pustaka


Keberadaan hukum Adat, Agama,
dan Negara merupakan realitas yang sangat Abdullah, Taufik, Adat and Islam
penting dalam pendewasaan masyarakat Examination of Conflict in
Indonesia. Keterbukaan masyarakat Minangkabau, dalam Southeast Asia
Nusantara terhadap berbagai kebudayaan Program Publications at Cornell
asing yang melakukan penyebaran University, Vol: No.2 Oct., 1966.
kebudayaan tidak pernah dilawan oleh Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan
Konstirusionalisme Indonesia, cet.
Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan Bakri, M., Pengantar Hukum Indonesia:
yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
Sistem Hukum Indonesia Pada Era
masyarakat. Lebih jelas, lihat T.O. Ihrom, Adat
Perkawinan Toraja Sadan dan Tempatnya dalam Reformasi, cet. Ke-2, Malang: UB
Hukum Positif Masa Kini (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2013.
University Press, 1981), 7. Bowen, John R., Islam, law and equality in
45
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan Indonesia: An Anthropology of
menurut hukum masing-masing agama dan
Public Reasoning, Inggris:
kepercayaanya itu. Lihat, UUP RI Tahun 1974
tentang perkawinan, pasal 2, ayat 1. Cambridje University Press, 2006.
46
Bila perkawinan putus karena perceraian, Coulson, Noel James, Muslim Custom and
harta bersama diatur menurut hukumnya masing- Case Law, dalam Die Welt des
masing. UUP tahun 1974, pasal. 37.
60 Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Islam, New Series, Vol. 6, Issue ½ Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.


(1959), pp.13-24. Nurlaelawati, Euis, Modernization Tradition
Drewes, G., Snouck Hurgronje and The and Identity: The Kompilasi Hukum
Study of Islam, dalam Bijdragen tot Islam and Legal Practice in the
de Taal, Vol. 113 (1957), No. 1, Indonesia Religious Courts,
Leiden. Amsterdam: Amsterdam University
Haar, B. Tear, Adat Law in Indonesia, Press, 2010.
Jakarta: Bhratara, 1962. Nurtjahjo, Hendra, Legal Standing Kesatuan
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Masyarakat Hukum Adat, Jakarta:
Kewarisan Islam di Indonesia, Salemba Humanika, 2010.
Jakarta: Kencana, 2011. Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme
Hasan, Yunani, Politik Christian Snouck Dalam Undang-Undang Perkawinan
Hurgronje Terhadap Perjuangan di Indonesia, cet. Ke-5, Surabaya:
Rakyat Aceh, dalam Jurnal Pusat Penerbitan dan Percetakan
Pendidikan dan Kajian Sejarah, Vol. Unair, 2012.
3 No. 4 Agustus (2013). Rosyadi, A. dan Ahmad Rais, Formalisasi
Ihrom, T.O., Adat Perkawinan Toraja Syari’at Islam dalam perspektif Tata
Sadan dan Tempatnya dalam Hukum Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia
Positif Masa Kini, Yogyakarta: Indonesia, 2006.
Gadjah Mada University Press, Saifuddin, Ahmad Fedyani, Antropologi
1981. Kontemporer “Suatu Pengantar
Iskandar, Djoko T., Evolusi, ed. Ke-4, Kritis Mengenai Paradigma”, ed.
Jakarta: Universitas Terbuka, 2008. Pertama, Jakarta: Kencana, 2005.
Kaplan, David dan Manners, Albert A., Sedryawati, Edi, Budaya Indonesia “Kajian
“The Theory of Cultur: Teori Arkeologi, Seni, dan Sejarah”,
Budaya,” terj. Landung Simatupang, Jakarta: Raja Grafindo, 2007.
cet. Ke-4, Yogyakarta: Pustaka Shiddiqi, Nuruzzaman, Muhammad Hasbi
Pelajar, 2012. Ash Shiddieqy Dalam Perspektif
Karim, M. Abdul, Islam Nusantara, Sejarah Pemikiran Islam di
Yogyakarta: Pustaka Book Indonesia, dalam Perpustakaan
Publisher, 2007. Digital UIN Sunan Kalijaga
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Yogyakarta.
I, Jakarta: UI Press, 2010. Sjarif, Surini Ahlan dan Elmiyah Nurul,
Lukito, Ratno, Islamic Law And Adat Hukum Kewarisan Perdata Barat:
Encounter “The Experience of Pewarisan menurut Undang-Undang
Indonesia”, Jakarta: Logos, 2001. cet. Ke-3, Jakarta: Kencana, 2010.
Lukito, Ratno, Pergumulan Hukum Islam Suherman, Ade Maman, Pengantar
dan Adat di Indonesia, Yogyakarta: Perbandingan Sistem Hukum,
Manyar Media, 2003. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Indonesia, 2012.
Yogyakarta: Teras, 2008. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan
Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Islam di Indonesia, Jakarta:
Hukum, cet. Ke-4, Jakarta: Putra Kencana, 2011.
Grafika, 2013. Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih Versus
Marwan dan Jimmy, Dalam Kamus Hukum: Hermeneutika “Membaca Islam dari
Dictionary of Law Complete Edition, Kanada dan Amerika, cet. Ke-8,
Surabaya: Reality Publisher, 2009. Yogyakarta: Nawesea Press, 2014.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu

Anda mungkin juga menyukai