Anda di halaman 1dari 6

LECTURER NOTES

MATA KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA


SESI PERKULIAHAN : PERTEMUAN SESI 10 (SEPULUH)
TOPIK : 1. DINAMIKA PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
2. ESENSI PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
3. TANTANGAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
PENYUSUN : TIM DOSEN MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

1. DINAMIKA PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Dinamika Pancasila sebagai sistem filsafat di Indonesia dapat dijelaskan melalui


beberapa periode pemerintahan. Masa pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai
sistem filsafat dikenal dengan istilah “Philosofische Grondslag”. Gagasan ini lahir sebagai
perenungan mendalam Soekarno dari segi filosofis mengenai rencana berdirinya
negara Indonesia medeka. Sebagai pemikir kebangsaan, Soekarno menginginkan
adanya negara Indonesia merdeka berdasarkan prinsip dasar kerohanian dalam
penyelenggaraan negara. Indonesia sebagai negara ber-Tuhan maka senantiasa tidak
meminggirkan agama dalam mengatur dan mengelola negara Indonesia kelak. Gagasan
itu mendapatkan sambutan positif dari berbagai kalangan. Pada sidang BPUPKI
pertama pada 1 Juni 1945, para peserta mengapresiasi apa yang disampaikan
Soekarno. Namun, gagasan ini sejatinya belum terperinci sehingga perlu dijelaskan
secara detail agar tidak menjadi adagium politik semata. Sebab jika masih bersifat
abstrak, teoritis dan umum, gagasan ini lebih mirip sebagai politik pencitraan untuk
menarik simpati anggota sidang. Dalam perjalanannya, pascakemerdekaan—terutama
pada saat pemerintahan Orde Lama memimpin Indonesia—Soekarno menekankan
Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi kebudayaan
bangsa Indonesia.

Pada era pemerintahan Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat


berkembang ke arah yang lebih praktis (dalam hal ini istilah yang lebih tepat adalah
“Weltanschauung”). Filsafat Pancasila tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan
kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Soeharto
menekankan filsafat praktis agar Pancasila dapat dirasakan dan ditemui secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dengan demikian, tidak akan ditemukan
kesulitan berarti dalam mengamalkan Pancasila sebab perilaku dan teori Pancasila ada
dalam kehidupan nyata. Kondisi itu mendorong Soeharto mengembangkan sistem

1
LECTURER NOTES
filsafat Pancasila menjadi penataran P4. Dengan memberikan pembekalan Pancasila
kepada masyarakat dan penyelenggara negara, diharapkan masyarakat secara luas
mampu dan mau membantu pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan
nasional. Apalagi saat itu Indonesia sedang mengalami pembangunan di segala bidang
yang cukup pesat sehingga manusia Indonesia berkewajiban mendukungnya. Adanya
P4 diharapkan mampu memfasilitasi itu sekaligus menjadi ajang penanaman kesadaran
kolektif sebagai manusia Pancasilais. Namun, dalam perjalanannya, indoktrinasi P4
justru menutup ruang kritik, aspirasi, dan hanya menekankan pendekatan
pembelajaran yang bersifat teoretis yang kesulitan menemui realitas praktis manusia
Pancasilais di lapangan.

Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang terdengar


resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana
akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1
Juni 2011. Habibie menyatakan bahwa “Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran
sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi.

Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang
diucapkan, dikutip, dan dibahas, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan,
kebangsaan, maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi
justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan
demokrasi dan kebebasan berpolitik” (Habibie, 2011: 1-2). Jika disimak, pernyataan
Habibie mampu melukiskan kondisi Pancasila pascareformasi yang dianggap tidak
penting dan cenderung dihilangkan dalam memori bangsa Indonesia. Pancasila
kehilangan maknanya untuk diamalkan, kehilangan dialektikanya karena dipinggirkan
dalam setiap diskusi, dan kehilangan arahnya karena tidak lagi dijadikan panduan wajib
bagi institusi pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi. Dampaknya cukup
terasa, masyarakat Indonesia kehilangan pegangan dan arah dalam keseharian
kehidupannnya karena tidak lagi memahami dan mengamalkan Pancasila.

2. ESENSI PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT

Kata hakikat, sebagaimana dijelaskan Surip, dkk. (2015: 107-109) adalah suatu
inti terdalam dari segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang
mewujudkan sesuatu itu sehingga terpisah dengan sesuatu yang lain dan bersifat
mutlak. Terkait dengan hakikat dalam sila Pancasila, dapat dipahami dalam tiga
kategori.

1. Hakikat abstrak yang mengandung unsur yang sama, tetap, dan tidak berubah.

2
LECTURER NOTES
Haikat abstrak Pancasila merujuk pada kata ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Menurut bentuknya, Pancasila terdiri atas
kata Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil yang dibubuhi awalan dan akhiran
(Notonagoro, 1967: 39, dalam Surip, dkk., 2015).
2. Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus, artinya terikat kepada
barang sesuatu. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk kepada ciri khusus dalam
sila Pancasila yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat istiadat, nilai agama,
nilai kebudayaan, sifat, dan karakter yang melekat pada bangsa Indonesia yang
membedakan dari bangsa lain.
3. Hakikat konkret yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya yang
terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dalam realisasinya,
Pancasila adalah pedoman praktis, yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis
dalam kehidupan negara, bangsa, dan negara Indonesia yang sesuai dengan
kenyataan sehari-hari, tempat, keadaan, dan waktu (Notonagoro, 1975: 58-61,
dalam Surip, dkk., 2015).

Paristiyanti, dkk. (2016: 171) menjelaskan hakikat (esensi) Pancasila sebagai


sistem filsafat terletak pada hal-hal sebagai berikut:

1. Pertama, hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia


bahwa Tuhan sebagai prinsip utama dalam kehidupan semua makhluk. Artinya,
setiap makhluk hidup, termasuk warga negara, harus memiliki kesadaran yang
otonom (kebebasan, kemandirian) di satu pihak dan berkesadaran sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang akan dimintai pertanggungjawaban atas
semua tindakan yang dilakukan. Artinya, kebebasan dihadapkan pada tanggung
jawab dan tanggung jawab tertinggi kepada Sang Pencipta.

2. Kedua, hakikat sila kemanusiaan menurut Notonagoro adalah manusia


monopluralis, yang terdiri atas tiga monodualis, yaitu susunan kodrat (jiwa dan
raga), sifat kodrat (makhluk individu dan makhluk sosial), kedudukan kodrat
(makhluk pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan).

3. Ketiga, hakikat sila persatuan terkait dengan semangat kebangsaan. Rasa


kebangsaan terwujud dalam bentuk cinta tanah air yang dibedakan ke dalam
tiga jenis menurut Daoed Joesoef (1987: 18-20, dalam Paristiyanti, 2016).

a. Tanah air real adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, bersuka,
dan berduka yang sehari-hari dialami secara fisik.
b. Tanah air formal adalah negara bangsa yang berundang-undang dasar; yang
manusia Indonesia menjadi salah seorang warganya; yang membuat undangundang;

menggariskan hukum dan peraturan; menata, mengatur, dan

3
LECTURER NOTES
memberikan hak, serta kewajiban; mengesahkan atau membatalkan,
memberikan perlindungan, dan menghukum; dan memberikan paspor atau
surat pengenal lainnya.
c. Tanah air mental bukan bersifat teritorial karena tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu, melainkan imajinasi yang dibentuk dan dibina oleh ideologi atau
seperangkat gagasan vital.

4. Keempat, hakikat sila kerakyatan ada pada musyawarah. Keputusan yang


diambil berdasarkan musyawarah mufakat, bukan membenarkan pendapat
mayoritas tanpa peduli pendapat minoritas.

5. Kelima, hakikat sila keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan distributif,
legal, dan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan bersifat membagi dari
negara kepada warga negara. Keadilan legal adalah kewajiban warga negara
terhadap negara. Keadilan komutatif adalah keadilan antara sesama warga
negara (Notonagoro dalam Kaelan, 2013: 402).

Pancasila sebagai sistem filsafat sudah dikenal sejak para pendiri negara
membicarakan masalah dasar filosofis negara (Philosofische Grondslag) dan pandangan
hidup bangsa (Weltanschauung). Meskipun, kedua istilah tersebut mengandung muatan
filosofis, tetapi Pancasila sebagai sistem filsafat yang mengandung pengertian lebih
akademis memerlukan perenungan lebih mendalam. Sering berjalannya waktu,
Pancasila menghadapi tantangan dengan adanya ideologi asing yang masuk ke
Indonesia. Tantangan ideologis ini tentu bukan persoalan mudah dan jika dibiarkan
akan mengganggu stabilitas sosial-politik di Indonesia.

Paristiyanti, dkk. (2016: 169-170) menjelaskan ada beberapa bentuk tantangan


terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat yang muncul dalam bentuk-bentuk sebagai
berikut:

1. Pertama, kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa kebebasan individual


pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam rangka meraih keuntungan
sebesar-besarnya merupakan upaya untuk menyejahterakan masyarakat. Salah
satu bentuk tantangan kapitalisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah
meletakkan kebebasan individual secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan
berbagai dampak negatif, seperti monopoli, gaya hidup konsumerisme, dan lainlain.
Gaya
hidup

4
LECTURER NOTES
konsumerisme
membuat
manusia
Indonesia
terjebak
budaya
yang

mudah

menghambur-hamburkan uang. Monopoli membuat perekonomian


nasional dikuasai segelintir orang sehingga pembangunan dan kesejahteraan
berjalan tidak merata. Dampak lainnya, tercipta kesenjangan sosial yang lebar di
masyarakat antara si kaya dan si miskin.

2. Kedua, komunisme, yaitu sebuah paham yang muncul sebagai reaksi atas
perkembangan kapitalisme sebagai produk masyarakat liberal. Komunisme
merupakan aliran yang meyakini bahwa kepemilikan modal dikuasai oleh negara
untuk kemakmuran rakyat secara merata. Salah satu bentuk tantangan komunisme
terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah dominasi negara yang berlebihan
sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan bernegara. Dominasi
negara secara berlebihan membuat kreativitas individu tidak berjalan dan
mematikan potensi sektor swasta untuk membantu pemerintah dalam
meningkatkan perekonomian nasional. Padahal, sektor swasta menjadi salah satu
penopang dalam pembangunan dan perekonomian nasional.

Selain tantangan yang bersifat ideologis, Pancasila memiliki beberapa tantangan


lain, seperti korupsi dan melemahnya nilai-nilai luhur dalam Pancasila. Penyakit korupsi
merupakan budaya yang sudah berkembang sejak zaman sebelum Indonesia merdeka.
Pada masa kerajaan, korupsi dilakukan oleh petinggi kerajaan, sedangkan pada zaman
penjajahan, sudah mulai berkembang sejak zaman penjajahan Belanda. Adanya korupsi
di era sekarang merupakan tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat agar

korupsi dapat diberantas sampai ke akar-akarnya dan dihilangkan dari bumi Indonesia.
Tentu saja hal ini membutuhkan perjuangan panjang, kerja keras, dan kerja sama
semua pihak.

Lunturnya nilai-nilai luhur dalam Pancasila. Dampak negatif globalisasi

5
LECTURER NOTES
menggerus nilai asli bangsa Indonesia, seperti budaya gotong royong di masyarakat.
Individualisme merebak menggantikan kerja sama dan budaya kolektif yang sudah
mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya jujur juga mulai dirasakan
menghilang, sikap plagiarisme dan mencontek yang merupakan tindakan kurang terpuji
dan minim kreativitas justru banyak bermunculan di berbagai institusi pendidikan.
Menurunnya budaya gotong royong dan kejujuran menandakan ada persoalan serius
dalam tubuh bangsa Indonesia yang berdampak kepada kepribadian manusia
Indonesia. Nilai Pancasila mulai meredup digantikan dengan nilai lainnya yang jauh dari
kekhasan bangsa Indonesia.

Tantangan di atas merupakan persoalan bersama yang membutuhkan solusi


dan tindakan nyata. Jika tantangan ideologis dibiarkan, akan membuat manusia
Indonesia semakin jauh dari pemahaman dan pengamalan nilai Pancasila. Sementara,
tantangan nonideologis, jika dibiarkan maka akan membuat manusia Indonesia
kehilangan pegangan dalam menentukan arah kehidupannya.

Anda mungkin juga menyukai