Anda di halaman 1dari 3

Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) pada dasarnya sama

dengan fungsi dari undang-undang (Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011). Namun, mengapa
menurut UUD 1945 masa berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) sifatnya terbatas (Tanggapan anda harus menyertakan dasar hukumnya)?
Jawaban :
Karena PERPU itu haruslah mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang
berikut. Jika tidak mendapatkan persetujuan, peraturan pemerintah tersebut harus dicabut.
Hal ini sebagaimana yang tertera dalam Pasal 22 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 Setelah
Amandemen.
Hadirnya Perpu yang dilandasi dengan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 merupakan hal yang
penting dan perlu dipertimbangkan mengingat dalam praktik penyelenggaraan negara atau
pemerintahan (sangat dimungkinkan) sering terjadi hal-hal yang tidak normal dalam menata
kehidupan kenegaraan, di mana sistem hukum yang biasa digunakan tidak mampu
mengakomodasi kepentingan negara atau masyarakat sehingga memerlukan pengaturan
tersendiri untuk menggerakkan fungsi-fungsi negara agar dapat berjalan secara efektif guna
menjamin penghormatan kepada negara dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.
Dengan demikian, pemerintah atau administrasi negara (bestuur) memerlukan ruang gerak
yang lebih bebas agar dapat bertindak cepat, tepat dan berfaedah atas inisiatif sendiri
terhadap sesuatu yang peraturannya belum dibuat oleh pembuat undang-undang atau yang
telah dibuat tetapi peraturannya tidak konkret.
Apabila ditelusuri lebih lanjut tentu disatu sisi Perpu menjadi upaya pemerintah untuk
mengatasi dan mengendalikan situasi dan kondisi yang tidak biasa, namun disatu sisi
kehadiran Perpu sendiri sebenarnya mampu menjadi hal yang berisiko bagi kehidupan
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kewenangan Presiden untuk membentuk
Perpu dengan landasan hal kegentingan yang tidak ditentukan bagaimana dan apa kriteria
yang harus terpenuhi, menyebabkan Presiden memiliki hak subjektif untuk menafsirkan
sendiri suatu situasi tertentu.
Kewenangan Presiden untuk menafsirkan secara subjektif inilah yang menyebakan akan
adanya (kemungkinan) penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pembentukan
Perpu. Sifatnya yang subjektif inilah yang memungkinkan terjadi penyimpangan dari segi
maksud dan tujuan.
Melalui Perpu, Presiden mampu dan memiliki kewenangan untuk membuat suatu peraturan
yang menyimpang dari tata cara yang biasa, yang secara lanjut akan mampu memunculkan
kediktaktoran akan tetapi sah berdasarkan Konstitusi karena perancang UU tidak
memberikan bagaimana dan apa saja kriteria mengenai “hal ikhwal kegentingan memaksa”
tersebut.
Hal ini tentu bukanlah hambatan, karena perkembangan ilmu pengetahuan yang terus
berkembang, berbagai pendapat ahli pun terus berkembang untuk menafsirkan arti “hal
ikhwal kegentingan memaksa” sebagai tolak ukur pembentukan Perpu. Bagir Manan pun
menjelaskan ciri umum kegentingan memaksa tersebut, diantaranya;
Adanya Krisis, terjadi bila suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan mendadak
sifatnya;
Adanya kemendesakan (emergency), bila terjadi berbagai keadaan yang tidak
diperhitungkan sebelumnya dan menuntut tindakan segera tanpa memerlukan perundingan.
Berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/ 2009 Tentang
Pengujian UU KPK, menjelaskan bahwa Perpu diperlukan apabila:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara
cepat berdasarkan UU;
UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU
tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur
biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam tahap kehadiran perpu dipertanyakan, kita bisa melaksanakan pengujian terhadap
perpu tersebut. Makna Pengujian menjadi upaya penting sebagai wujud pengawasan, agar
materi suatu peraturan perundang-undangan tidak bertentangan atau berlawanan atau
menyimpang dengan materi peraturan perundang-undangan diatasnya (derajat lebih tinggi).
Bagir manan menjelaskan, untuk menjaga kaidah-kaidah konstitusi konstitusional lainnya
tidak dilanggar atau disimpangi (baik dalam bentuk yang termuat dalam Undang-Undang
Dasar dan peraturan perundang-undangan, maupun dalam bentuk tindakan-tindakan
pemerintah lainnya), perlu ada badan serta tata cara mengawasinya.
Dalam literatur yang ada terdapat tiga kategori besar pengujan peraturan perundang-
undangan dan perbuatan administrasi negara, yaitu: (1) pengujian oleh badan peradilan
(judicial review), (2) Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review), dan (3)
Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review).
Dalam hal proses pengujian, untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, suatu Perpu
diuji oleh dua lembaga negara, yaitu melalui DPR sebagai legislator dengan metode
legislative review dan Mahkamah Konstitusi dengan metode judicial review.
DPR sebagai legislator melalui amanat yang diberikan oleh UUD 1945, memiliki
kewenangan untuk mengawasi kewenangan dan tindakan Presiden dalam pembentukan
Perpu. Kewenangan ini dapat dilihat dalam Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945, bahwa DPR
memiliki peran dan kewenangan untuk memberikan persetujuan atau tidak terhadap Perpu
yang telah dibentuk oleh Presiden tersebut.
DPR dapat menilai apakah subjektivitas Presiden dalam menafsirkan kegentingan memaksa
yang merupakan syarat konstitusi dalam membentuk Perpu dapat dibenarkan atau tidak,
yang pada akhirnya pula, penilaian tersebut akan berujung dalam Persidangan DPR apakah
dapat diterima atau ditolak Perpu tersebut menjadi Undang-Undang.
Idealnya, upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mengakhiri Perpu akan lebih baik
dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi, walaupun saat ini masih terjadi perdebatan
tersendiri mengenai dapat-tidaknya suatu Pwrpu dijadikan objek judicial review di
Mahkamah Konstitusi.
Permasalahan mengenai bisa atau tidaknya Perpu menjadi objek judicial review ini
diakibatkan pengaturan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sendiri yang menegaskan bahwa judicial review hanya dapat
dilakukan atas suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Artinya, Perpu
bukanlah bagian dari objek judicial review dalam Mahkamah Konstitusi.
Namun, berdasarkan pertimbangan yang diberikan, Perpu dapat dijadikan objek judicial
review terhadap Undang-Undang Dasar, penyebab utamanya adalah : Pertama, kesamaan
materi muatan yang terkandung di dalam undang-undang maupun Perpu; Kedua, Dalam
Pasal 7 UU.No.12/2011, undang-undang dan Perpi mempunyai kedudukan hierarki yang
setara atau sejajar.
Dengan demikian, apabila Mahkamah Konstitusi tidak berwenang melakukan judicial review
suatu Perpu bisa dipastikan tidak ada satupun lembaga yang dapat melakukan pengujian
terhadap sebuah Perpu. Ketiga, jika Perpu tidak bisa dijadikan objek judicial review dalam
ranah yudikatif manapun, maka bukan tidak mungkin suatu Perpu dapat menjadi alat
represif pemegang pemerintahan, yang dalam hal ini akan menimbulkan risiko dalam upaya
pengelolaan tata pemerintahan yang baik.

https://kawanhukum.id/berlaku-dan-berakhirnya-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-
undang-perpu/3/ dan
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=3000:peraturan-pemerintah-pengganti-undang-
undang-dari-masa-ke-masa&catid=100&Itemid=180 dan
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5235ce3d531c8/kedudukan-peraturan-
pemerintah-pengganti-undang-undang-perpu

Anda mungkin juga menyukai