Anda di halaman 1dari 2

Humanisasi Diri di Bulan Suci

Oleh: Muhammad Sholeh Muria

Sebentar lagi Kita akan menghadapi, merasakan kembali, menambah ketakwaan lagi di
bulan suci yang penuh keistimewaan, yakni bulan Ramadhan. Dalam bulan suci ini, tak hanya
dari pihak muslim saja yang mendapatkan keberkahannya, melainkan juga non muslim
-khususnya dalam ranah ekonomi. Namun di pihak yang lain -juga masih dalam koridor
perekonomian-, justru mengalami kemunduran pemasukan. Contohnya adalah pelaku usaha
hiburan malam. Tempat hiburan terpaksa harus mengurangi intensitas operasionalnya dalam
menjalani usahanya. Hal ini dikarenakan, dari pemilik kebijakan sendiri (pemerintah) juga
memberikan instruksi akan hal tersebut. Namun, penulis rasa hal tersebut wajar, karena bulan
Ramadhan merupakan bulan suci, maka secara tidak langsung, aspek-aspek keburukan akan
terkikis.

Dengan obyek bulan Ramadhan yang tidak hanya berorientasi pada para muslim saja,
hal ini memberikan bukti bahwa bulan Ramadhan merupakan bula yang humanis. Tak
pandang siapapun. Untuk itu Kita perlu meneladani apa yang menjadi dampak dari datangnya
bulan Ramadhan, yakni juga berupaya sebaik mungkin untuk menjadi humanis (orang yang
memanusiakan manusia).

Penulis berpandangan bahwa memanusiakan manusia itu perlu dari diri sendiri terlebih
dahulu. Hal ini dikarenakan, memanusiakan manusia lainnya pasti relatif sulit dilakukan
ketika Kita masih belum dapat bersikap kepada diri sendiri selayaknya bersikap kepada
manusia. Maka humanisasi diri di bulan suci ini diperlukan.

Dalam al-Quran sudah jelas ter-maktub bahwa puasa di bulan Ramadhan tujuannya
tidak lain agar la’allakum tattaqun, manusia menjadi bertakwa. Maka akan melahirkan
sebuah konklusi, orang yang berpuasa di bulan Ramadhan akan menjadi bertakwa. Jika hal
itu meleset , artinya tidak ada peningkatan atau terjadi kemunduran takwa, berarti ada yang
salah dengan puasanya. Ada hal-hal yang membuat output dari puasa Ramadhan terhalang
untuk diraih.

Maka penulis memiliki pandangan bahwa dengan jalan humanisasi diri, yakni
kesadaran bahwa manusia muslim adalah obyek dari puasanya bulan Ramadhan, dan akan
bersikap sebagaimana manusia yang menjalankan kewajiban. Dalam puasa, maka perlu
menjalani syarat sah puasa dan menjauhi segala hal yang dapat membatalkannya.
Humanisasi diri untuk menjadi humanis kepada orang lain itu pun memerlukan waktu
yang tidak singkat. Perlu adaptasi. Dari yang -mungkin- sebelumnya egois mengalami
transisi yang sama sekali berbeda dengan humanis. Perlu pembiasaan dan juga keyakinan
bahwa tindakan humanisasi (humanisme) itu sebagai sebuah kebaikan dalam menjalani
hidup.

Anda mungkin juga menyukai