Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Posisi akal dan wahyu dalam Ilmu Kalam

(Pendapat Mutakallimin dalam ayat-ayat Mutasyabihat)

Guna Memenuhi Tugas Semester Pendek Mata Kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu: Ahmad Dhiyaa Ul Haqq,M. Pd.

Disusun Oleh:

Rita Nur Aliyah

T20181145

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KYAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya
sehingga pneulis bisa menyelsaikan makalah Ilmu Kalam dengan judul “Posisi Akal Dan
Wahyu Dalam Ilmu Kalam Pendapat Mutakallimin Dalam Ayat-Ayat Mutasyabihat” dengan
tepat waktu, kedua kalinya sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw. Yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang
terang benderang. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada diri saya karena telah
berjuang menyelesaikan makalah dengan tanpa halngan suatu apapun.

Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam yang
diampu oleh Bapak Dosen Ahmad Dhiyaa Ul Haqq,M. Pd. Selain itu makalah ini juga
disusun untuk menambah wawasan pengetahuan bagi kita semua terutama bagi penulis juga
pembaca, agar dapat memahami terkait pemahaman tentang posisi akal dan wahyu dalam
Ilmu Kalam pendapat Mutakallimin dalam ayat-ayat Mutasyabihat.

Penulis menyadari akan masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
kurang lengkapnya materi, ketidak rapian penulisan maupun salah dalam penggunaan kosa
kata penulisan. Oleh karenanya, penulis berharap akan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca agar penulis bisa belajar lebih baik lagi dalam penyusunan makalah.

Jember, Oktober 2021

Penulis

Rita Nur Aliyah

NIM. T20181145
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu kalam adalah ilmu yang berkaitan dengan Ke-Tuhanan berdasarkan
argumentasi logika dan filsafat. Membahas mengenai akidah tentang iman yang
diperkuat dalil-dalil rasional. Ilmu ini berkaitan tentang pembahasan mengenai segi-
segi yang menjadi landasan pokok Islam yaitu tentang Ke-Maha Esaan Tuhan,
masalah nubuwah, akhirat dan hal yang berhubungan dengan pokok tersebut. Oleh
karenanya Ilmu Kalam menempati posisi yang sentral dalam tradisi keilmuan Islam.
Pembahasannya yang luas selalu didasarkan pada argumentasi logika dan
filsafat, sehingga tidak jarang dalam beberapa pendapat sering menimbulkan polemic
dari beberapa pihak yang memiliki cara pandang berbeda. Didalam Ilmu Kalam juga
tidak asing dengan ayat-ayat Mutasyabihat, yaitu ayat samar-samar yang berkaitan
dengan pembahasan sifat Allah, dimana manusia tidak bisa memahaminya secara
literatur dan mentahan saja karena akan menimbulkan pemahaman yang tidak
semestinya. Pemahaman yang tidak sesuai nantinya malah menjadi permasalahan di
kemudian hari.
Akal dan wahyu juga bagian dari pembahasan Ilmu Kalam, yaitu masalah
mengenai Tuhan dan masalah mengetahui baik dan jahat. Dalam mendefinisikan
antara akal dan wahyu pun terjadi polemik karena berbeda pendapat dalam
memahami keduanya. Perbedaan pendapat dan munculnya polemic tentang posisi akal
dan wahyu dalam Ilmu Kalam akibat adanya beda pemahaman antara tokoh filosof
dengan tokoh Ilmu Kalam atau yang biasa dikenal dengan Mutakallimin. Dalam
pandangan Mutakallimin wahyu berfungsi sebagai pemberitahuan yang sama sekali
belum diketahui, sedangkan akal itu berfungsi untuk menyampaikan penjelasan dari
wahyu dan sebaliknya menurut pendapat filosof. Dari uraian latar belakang diatas,
penulis akan mengulas mengenai posisi akal dan wahyu dalam Ilmu Kalam pendapat
Mutakallimin dalam ayat-ayat Mutasyabihat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akal dan wahyu dalam Ilmu Kalam?
2. Bagaimana posisi akal dan wahyu dalam Ilmu Kalam
3. Bagaimana pendapat Mutakallimin tentang akal dan wahyu dalam ayat
Mutasyabihat?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian akal dan wahyu dalam Ilmu Kalam.
2. Untuk mengetahui posisi akal dan wahyu dalam ilmu kalam
3. Untuk mengetahui pendapat Mutakallimin tentang akal dan wahyu dalam ayat
Mutasyabihat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian akal dan wahyu

Kata akal berasal dari bahasa Arab (al’aqlu) yang berarti ikatan, pemikiran,
pemahaman dan pengertian.Kata kerja (‘aqilu) yang berarti memahami atau
mengerti.Dari pengertian tersebut maka secara terminlogis, kata akal dapat diartikan
sebagai, daya pikir yang dianugerahkan Allah Swt kepada manusia untuk
menghasilkan pengetahuan melalui kesan-kesan yang diperoleh pancaindera.1

Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang tertulis, yang didalamnya terdapat


berbagai macam pengetahuan.Pengetahuan diperoleh dari akal, dan di dalam Al-
Qur’an sendiri akal diberikan penghargaan yang tinggi.Tidak sedikit ayat-ayat yang
menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berfikir dan mempergunakan
akalnya.Kata-kata yang dipakai dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan
berfikir bukan hanya ‘aqala saja.

Berdasarkan penggunaan kata ‘aql dalam berbagai susunannya dapat


dijelaskan beberapa penggunanya, yang diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Digunakan untuk memikirkan dalil-dalil dan dasar keimanan.


b. Digunakan untuk memikirkan dan memahami alam semesta, serta
hukumnya.
c. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap peringatan dan wahyu Allah.
d. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaan
umat manusia di dunia.
e. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah.
f. Dihubungkan dengan pemahaman terhadaphukum-hukum yang berkaitan
dengan moral.
g. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna ibadah, semacam
shalat.2
Selain dari pada itu terdapat pula dalam Al-Qur’an sebutan-sebutan yang
member sifat berfikir bagi seorang muslim, yaitu ulul al-albab (orang

1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press1986),h. 39
2
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 41
berfikiran), ulu-al-‘ilm (orang berilmu), ulu al-albab(orang yang mempunyai
pandangan), ulu al-nuha(orang bijaksana).

Begitulah tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam, tinggi bukan


hanya dalam soal-soal keduniaan saja tetapi juga dalam soal-soal keagamaan
sendiri. Penghargaan tinggi terhadap akal ini sejalan pula dengan ajaran Islam
lain yang erat hubungannya dengan akal, yaitu menuntut ilmu. Ayat yang
pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai diketahui adalah
ayat :

ْ ‫ا ْق َر ْأ بِا‬
َ َ‫س ِم َربِّكَ الَّ ِذى َخل‬
١:‫ق ﴿العلق‬

ٍ َ‫سانَ ِمنْ َعل‬


٢:‫ق ﴿العلق‬ َ ‫ق اإْل ِ ْن‬
َ َ‫َخل‬

٣:‫ا ْق َر ْأ َو َر ُّب َك اأْل َ ْك َر ُم ﴿العلق‬

٤:‫الَّ ِذى َعلَّ َم بِا ْلقَلَ ِم ﴿العلق‬

َ ‫َعلَّ َم اإْل ِ ْن‬


٥:‫سانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم ﴿العلق‬

1. Bacalah dengan (menyebut)nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. Al-
Alaq: 1-5)

Kata-kata membaca, mengajar, pena dan mengetahui, jelas hubungannya erat


sekali dengan ilmu pengetahuan. Dalam ayat ini terkandung pula rahasia penciptaan
manusia, siapa yang menciptakannya dan dari apa ia diciptakan. Ilmu yang mendalam
sekali, ilmu tentang asal-usul manusia dan tentang dasar dari segala dasar.
Selanjutnya ayat itu datang bukan dalam bentuk pernyataan, tetapi dalam bentuk
perintah, tegasnya perintah bagi tiap muslim untuk sejalan dengan akal yang diberikan
kepada manusia, mencari ilmu pengetahuan.3

Kata wahyu juga berasal dari bahasa Arab (al-wahyu) yang memiliki makna
tersembunyi dan cepat.Oleh karena itu, wahyu sering disebut sebagai sebuah
pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih, tanpa seorang
pun yang mengetahuinya.Wahyu juga bisa bermakna pengetahuan yang didapat
seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah
Swt baik melalui perantara maupun tanpa perantara, baik menjelma seperti suara yang
masuk dalam telinga maupun telinganya.4

Menurut bahasa, wahyu mempunyai arti pemberian isyarat, pembicaraan


rahasia, dan menggerakkan hati.Sedangkan menurut istilah, wahyu adalah
pemberitahuan yang datangnya dari Allah kepada para Nabinya, yang didalamnya
terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar.5

Jadi dapat disimpulkan bahwa wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung
ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan
hidupnya baik di dunia maupun akhirat yaitu yang sudah tertulis di dalam Al-Qur’an.
Dalam Islam, wahyu atau sabda yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw,
terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an . Penjelasan tentang cara terjadinya
komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi Nya, yang diberikan oleh Al-Qur’an sendiri
digambarkan dalam konsep wahyu sterkandung pengertian adanya pengertian adanya
komunikasi antara Tuhan, bersifat immateri dan manusia yang bersifat materi.

1. Akal Menurut al-Qur’an dan Sunnah


Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang tertulis, yang di dalamnya
terdapat berbagai macam pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dari akal,
dan di dalam Al-Qur’an sendiri akal diberikan penghargaan yang tinggi.
Tidak sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia
supaya banyak berfikir dan memepergunakan akalnya. Kata-kata yang

3
Faqih Mansour, Mencari Teologi untuk kaum tertindas, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam,70 tahun
Harun Nasution, (Jakarta:LSAF, 1989)
4
Muhammad Abduh, Risalah at-Tauhid, (Kairo: t.p, 1969 h.
5
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h.15
dipakai dalam AlQur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan
hanya ‘aqala saja.6
Akallah makhluk Tuhan yang tertinggi dan akallah yang
memperbedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya.
Karena akalnyalah manusia bertanggung-jawab atas perbuatan-
perbuatannya dan akal yang ada dalam diri manusia itulah yang dipakai
Tuhan sebagai pegangan dalam menentukan pemberian pahala atau
hukuman kepada seseorang. Makhluk selain manusia, karena tidak
mempunyai akal, maka tidak bertanggungjawab dan tidak menerima
hukuman atau pahala atas perbuatanperbuatannya. Bahkan manusiapun
kalau belum akil baligh dan orang yang tidak waras pikirannya, tidak
bertanggung-jawab atas perbuatannya dan tidak mendapat hukuman atas
kesalahan dan kejahatan yang dilakukannya.7
2. Wahyu menurut al-Qur’an dan Sunnah
Wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung ajaran, petunjuk dan
pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnua baik
di dunia maupun akhirat. Dalam Islam wahyu atau sabda yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, terkumpul semuanya dalam
Al-Qur’an.
Sebagai telah disebut wahyu yang disampaikan Tuhan kepada Nabi
Muhammad SAW, melalui Jibril mengambil bentuk Al-Qur’an. Al-Qur’an
mengandung sabda Tuhan dan wahyu, sebagai disebut salah satu ayat di
atas, diturunkan dalam bahasa Arab.8
Ayat tentang kejadian atau kosmos, dalam Al-Qur’an disebut bahwa
kosmos ini penuh dengan tanda-tanda yang harus diperhatikan, diteliti dan
difikirkan manusia, untuk mengetahui rahasia yang terletak dibelakang
tandatanda itu. Semua bentuk ayat-ayat yang di jelaskan di atas, ada ayat-
ayat yang berisikan sebutan ulu al-albab, ulu al-‘ilm, ulu al-absar, ulu al-
nuha, dan ayat kauniah, mengandung anjuran, dorongan bahkan perintah
agar manusia banyak berfikir dan mempergunakan akalnya. Selain dalam
Al-Qur’an, disinggung juga akal dan wahyu dalam hadis, bahwa hadis

6
Makrus, S. ThI, Berpikir Dengan "Jantung" (Studi Terhadap Relasi ‘Aql dan Qalb dalam AlQuran), Skripsi (Semarang: Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo, 2009), hlm. 38
7
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 15
8
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 18-19
sebagai sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam yang sejalan dengan Al-
Qur’an. Hadis memberi kedudukan yang tinggi pada akal.9
Tidak semua kebaikan dan kejahatan dapat diketahui akal. Akal, kata
Ibn Abi Hasyim, seorang tokoh Mu’tazilah lain, mengetahui kewajiban
menjauhi perbuatan-perbuatan yang membawa kemudaratan, tetapi ada
perbuatan-perbuatan yang membawa kemudaratan, tetapi ada
perbuatanperbuatan yang tak dapat dketahui akal apakah membawa
kebaikan atau kejahatan. Dalam hal demikian wahyulah yang menentukan
buruk atau baiknya perbuatan bersangkutan. Umpamanya akal mengatakan
bahwa memotong binatang adalah perbuatan tidak baik. Tetapi wahyu
turun menjelaskan bahwa menyembelih binatang untuk keperluan-
keperluan tertentu, seperti memperingati peristiwa keagamaan bersejarah,
memperkuat tali persaudaraan dengan tetangga dan menunjukkan rasa
kasih sayang kepada fakir miskin, adalah baik. Sejalan dengan pendapat
kaum Mu’tazilah, mereka mengadakan perbedaan perbuatan-perbuatan
yang tidak baik menurut pendapat akal, perbuatan-perbuatan yang tidak
baik menurut wahyu. Juga mereka berpendapat kewajiban yang ditentukan
akal dan kewajiban yang ditentukan oleh wahyu.10
B. Posisi akal dan wahyu dalam Ilmu Kalam

Teologi sebagai ilmu yang membahas tentang soal-soal ke-Tuhanan dan


kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, sedang akal dan wahyu dipakai untuk
memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berfikir
yang ada pada diri manusia, berusaha keras untuk mencapai pengetahuan Tuhan.11

Wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia


dengan keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
Konsepsi ini dapat dijelaskan bahwa Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan
manusia di kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan, dan Tuhan
sendiri dengan belas kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan
dengan ke Maha Kuasaan Tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu
melalui Nabi-nabi dan Rasul-rasul.

9
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 49
10
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hlm97
11
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), h.81.
Kaum Mu‟tazilah adalah kaum yang membawa persoalan-persoalan teologi
yang lebih mendalam dan bersifat filosofis.Miktazilah mempunyai pandangan yang
menempatkan manusia sebagi menciptakan sendiri perbuatannya. Dalam pembahasan
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama ‟kaum rasionalis
Islam‟. Bagi kaum Mu‟tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara
akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.

Maka berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah


wajib.Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan
yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib pula.Maka disimpulkan bahwa dari
keempat masalah pokok itu diketahui oleh akal.Akal juga mempunyai fungsi dan
tugas moral, yaitu petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi
pencipta perbuatannya.Berbeda dengan Mu‟tazilah, bahwa dari aliran Asy‟ariah
menolak sebagian besar pendapat Mu‟tazilah.Karena dalam pendapatnya segala
kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui
bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi
manusia.Benar bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang
mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya. Dalam
hubungan ini Abu Al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya
wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan, jika ia tidak berterima kasih
kepada Tuhan orang sedemikian akan mendapat hukuman.

Baik dan jahat menurut pendapatnya, juga dapat diketahui dengan perantara
akal dan dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik, umpamanya bersikap
lurus dan adil, dan wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan bersikap zalim.

Diantara pimpinan-pimpinan Mu‟talizah yaitu Al-Nazzam berpendapat serupa


dengan Abu Al-Huzail, begitu juga al-Jubbai.Golongan al-Murdar bahkan melebihi
pemikiran di atas.Yaitu bahwa dalam kewajiban mengetahui Tuhan termasuk
kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan, sungguhpun wahyu
belum ada. Dan orang yang tidak mengetahui hal itu dan tidak berterima kasih kepada
Tuhan, akan mendapat hukuman kekal dalam neraka. Dan menurut Al-Syahrastani,
sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution, kaum Mu‟tazilah berpendapat bahwa
kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan
yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal. Maka sebelum
mengetahui bahwa sesuatu hal adalah wajib, orang harus lebih dahulu mengetahui
hakekat itu sendiri.12

Dengan kata lain, keberadaanTeologi Islam merupakan fakta yang


menunjukkan adanya sense of social crisis para ahli agama terhadap realitas
masyarakat. Pada saat itu,umat Islam sedang menghadapi problemperlunya upaya
rasionalisasi terhadap pokok-pokok akidah mereka akibat pengaruh mainstream
pemikiran Yunani yang mulai merambah umat Islam. Adalah dapat dimaklumi jika
pada saat itu persoalan yang dibahas teologi Islam hanya berkutat dengan
permasalahan-permasalahan yang bersifat trensenden-spekulatif.13(paradigma
pemikiran teologi Islam klasik lebih cenderung(tend) pada persoalan-persoalan al-
mantiq, al-thabi’iyat dan al-ilahiyyat).14

Kaum Muktazilah adalah kaum yang membawa persoalan-persoalan teologi


yang lebih mendalam dan bersifat filosofis, dalam pembahasan mereka banyak
memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”. 15 Bagi kaum
Muktazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Maka
berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat
wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang jahat adalah wajib pula.16 Maka disimpulkan bahwa dari ke empat masalah
pokok itu diketahui oleh akal. Akal juga mempunyai fungsi dan tugas moral, yaitu
petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta
perbuatannya.

Berbeda dengan Muktazilah, bahwa dari aliran Asy’ariah menolak sebagian


besar pendapat Muktazilah. Karena dalam pendapatnya segala kewajiban manusia
hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib
dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk
adalah wajib bagi manusia. Benar bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi
wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya.
12
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (kairoh: Al-Maktabab, 1967, Jilid I, Fasal 4), h.
52
13
Amin Abdullah, Falsafah Teologi Islam dalam Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1955), h. 48
14
Amin Abdullah, Falsafah Teologi Islam dalam Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1955), h. 87
15
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, Cet 5, 1986), hlm. 38
16
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, Cet 5, 1986), hlm.80
Dan dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan
memperoleh upah dan yang tidak patuh kepadaNya akan mendapat hukuman. Dari
kutipan diatas disimpulakan bahwa akal tak mampu untuk mengetahui kewajiban-
kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan. 17 Dan menurut kalangan
Maturidiyah, bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, mengetahui Tuhan dan
berterima kasih kepada Tuhan. Sedang kewajiban berbuat baik dan menjahui yang
buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu.18

Dalam hubungan ini Abu al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum
turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan, dan jika ia tidak
berterima kasih kepada Tuhan orang sedemikian akan mendapat hukuman. Baik dan
jahat menurut pendapatnya, juga dapat diketahui denga perantaraan akal dan dengan
demikian orang wajib mengerjakan yang baik, umpamanya bersikap lurus dan adil,
dan wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan bersikap zalim.19

Diantara pemimpin-pemimpin Muktazilah yaitu al-Nazzam berpendapat


serupa dengan Abu Al-Huzail, begitu juga al-Jubbai. Golongan al-Murdar bahkan
melebihi pemikiran di atas. Yaitu bahwa dalam kewajiban mengetahui Tuhan
termasuk kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifatsifat Tuhan, sungguhpun
wahyu belum ada. Dan orang yang tidak mengetahui hal itu dan tidak berterima kasih
kepada Tuhan, akan mendapat hukuman kekal dalam neraka.20

Dan menurut al-Syahrastani, sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution,


kaum Muktazilah berpendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih
kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk dapat
diketahui oleh akal. Maka sebelum mengetahui bahwa sesuatu hal adalah wajib, orang
harus lebih dahulu mengetahui hakekat itu sendiri. Jelasnya bahwa, sebelum
mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik
dan menjauhi perbuatan jahat, orang harus terlebih dahulu mengetahui Tuhan dan
mengetahui baik dan buruk.

Akal dalam pendapat Mu’tazilah dapat mengetahui hanya garis-garis besar


dari ke-empat masalah di atas. Bahwa akal hanya dapat mengetahui kewajiban-

17
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, Cet 5, 1986), hlm.81
18
7 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, Cet 5, 1986), hlm. 87
19
1 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Kairo: 1967, jilid I, fasal 4), hlm. 52
20
Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin, al-Nahdah al-Misriyah (Kairo: 1950, jilid I), hlm. 58
kewajiban secara umum, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik
mengenai hidup manusia di akhirat nanti, maupun mengenai hidup manusia di dunia
sekarang. Wahyu datang untuk menjelaskan perincian dari garis-garis besar itu.
Umpamanya akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada
Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui cara dan perinciannya.36 Wahyulah yang
menjelaskan cara dan perincian kewajiban tersebut yaitu dalam bentuk salat lima kali
sehari, zakat setahun sekali, puasa sebulan setahun dan haji sekali seumur hidup

C. Pendapat Mutakallimin tentang akal dan wahyu dalam ayat Mutasyabihat


1. Muhammad Abduh
Bagi Muhammad Abduh, Islam adalah agama yang rasional , agama yang
sejalan dengan akal, bahkan agama yang didasarkan atas akal. Pemikiran rasional
ini menurut Abduh adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman tidaklah
sempurna, bila tidak didasarkan atas akal, iman harus berdasar pada keyakinan,
bukan pada pendapat, dan akal-lah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan,
ilmu serta kemahakuasaan-Nya dan pada rasul. 21 Rasionalisme yang mendasar
dalam pikiran Abduh menyebabkan ia menolak taqlid dan menerima penafsiran
(ta’wil) berdasarkan asal ketimbang menerima terjemahan literal mengenai
sumber-sumber agama. Pernyataan tersebut, pada dasarnya Muhammad Abduh
mengajak kita untuk berpikir kreatif dan melarang kita berdiam diri dengan
keadaan yang ada. Ia mengajak untuk melakukan ta’wil terhadap nash-nash Al-
Qur'an yang tidak bisa kita pahami.
Ia juga menegaskan lewat buku-bukunya agar memisahkan pemahaman
tentang eksistensi dan karakter ajaran agama yang seutuhnya dengan hasil
pemikiran orang-orang yang hanya mengaku dirinya sebagai agamawan.
Kelihatannya Abduh lebih berhati-hati terhadap penafsiran yang mengada- ada
(tidak rasional) terhadap agama. Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh,
akal dapat mengetahui beberapa hal sebagai berikut : Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Keberadaan hidup di akhirat. Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya
mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada
sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat. Kewajiban manusia
mengenal Tuhan. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan

21
Nurlaehah Abbas, Muhammad Abduh : Konsep Rasionalisme Dalam Islam. Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15,
No. 1, Juni 2014 : 51 – 68.
jahat untuk kebahagiaan di akhirat. Hukum-hukum mengenai kewajiban-
kewajiban itu.
Bagi Muhammad Abduh, akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat
mengetahui adanya Tuhan dan adanya kehidupan dibalik kehidupan dunia ini.
Dengan akal, manusia dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan, kebaikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasar
kesengsaraan di akhirat. Tetapi, daya akal tiap manusia itu berbeda. Perbedaan itu,
tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pendidikan, tapi juga perbedaan
pembawaan alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak manusia. Oleh karena
itu, ia membagi manusia ke dalam dua golongan: khawas dan awam. Keharusan
manusia untuk menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang
terdapat dalam dirinya, tapi juga merupakan ajaran Al-Qur'an kitab suci ini,
memerintahkan kita untuk berfikir dan melarang kita bertaklid.
Abduh sangat menentang taklid karena menurutnya, taklid adalah salah satu
penyebab kemunduran umat Islam abad 19 dan 20. Ia amat menyesalkan sikap
taklid dalam berbagai aspek kehidupan. Perkembangan dalam bahasa, organisasi
sosial, hukum, lembaga-lembaga pendidikan, dan sebagainya menjadi terhambat.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal di
atas, dapat pula diketahui bagaimana fungsi wahyu baginya. Akal dan wahyu
menurut Abduh, mempunyai fungsi sebagai berikut: Wahyu memberi keyakinan
kepada manusia bahwa jiwanya akan terus ada setelah tubuh mati. Wahyu
menolong akal untuk mengetahui akhirat dan keadaan hidup manusia di sana.
Wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip
umum yang dibawanya sebagai sumber ketenteraman hidup dalam masyarakat.
Wahyu menolong akal agar dapat mengetahui cara beribadah, dan berterimakasih
pada Allah.
Wahyu mempunyai fungsi konfirmasi untuk menggunakan pendapat akal
melalui sifat kesucian dan kemutlakan yang terdapat dalam wahyu yang bisa
membuat orang manfaat. Secara garis besar, sistem pemikiran teologi Abduh,
wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu memberi konfirmasi dan informasi,
sehingga baginya wahyu itu sangat diperlukan untuk menyempurnakan
pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Akal dan wahyu mempunyai hubungan
yang sangat erat, karena akal memerlukan wahyu, sementara wahyu itu tidak
mungkin berlawanan dengan akal. Jika nampak pada lahirnya wahyu itu
berlawanan dengan akal, maka Muhammad Abduh memberi kebebasan pada akal
untuk memberi interpretasi agar wahyu itu sesuai dengan pendapat akal dan tidak
berlawanan dengan akal. Dengan demikian, hubungan antara wahyu dan akal
dapat terjalin harmonis.
Abduh juga berpendapat bahwa, premis yang melandasi keimanan ini adalah
sedemikian rupa sehingga bukti-bukti pun tidak lagi diperlukan kendati digunakan
kata “digambarkan” wujud Tuhan tidak dapat dipahami. Ada hal-hal yang tidak
boleh dipertanyakan ketika rasa ingin tahu hanya menyebabkan “kekacauan
iman”. Sekalipun demikian, apa yang disampaikan dalam wahyu harus dipahami
secara rasional sebuah kewajiban bagi setiap generasi. Karena itu, akal dan wahyu
saling menguatkan karena, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi untuk
menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal.
Kebebasan Manusia Kepercayaan pada kekuatan akal, membawa Muhammad
Abduh selanjutnya kepada faham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Dalam teologi dan falsafah terdapat dua
konsep mengenai hal tersebut. Pertama, pendapat mengatakan bahwa semua
perbuatan manusia telah ditentukan semenjak aza, sebelum ia lahir, dan faham ini
dalam teologi Islam disebut jabariah. Dalam teologi Barat pendapat ini disebut
fatalisme atau predestination. Kedua, bahwa manusia mempunyai kebebasan
sungguh pun terbatas sesuai dengan keterbatasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan. Faham ini dalam Islam disebut qadariyah, dan dalam teologi Barat
disebut free will and free act.
Dalam “al-Urwah al-Wusqa” Muhammad Abduh bersama-sama dengan
Jamaluddin al-Afghani menjelaskan bahwa sebenarnya faham qada’ dan qadar
telah diselewengkan menjadi fatalisme, sedang paham itu sebenarnya
mengandung unsur dinamis yang membuat umat Islam di zaman Klasik dapat
membawa Islam sampai di Spanyol dan dapat menimbulkan peradaban yang
tinggi. Paham fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islam perlu dirubah
dengan faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang
menimbulkan dinamika umat Islam kembali. Kemudian, Muhammad Abduh
menjelaskankan dalam Risalah al-Tauhid bahwa, manusia tahu akan wujudnya
tanpa memerlukan bukti apa pun, demikian pulalah ia mengetahui adanya
perbuatan atas pilihan sendiri (ikhtiyar) dalam dirinya. Hukum alamlah yang
menentukan adanya perbuatan atas pilihannya sendiri yang ada dalam diri
manusia.
Muhammad Abduh percaya pada pendapat bahwa alam ini diatur hukum alam
tidak berubah-ubah yang dciptakan Tuhan. Hukum alam ciptaan Tuhan ini ia
sebut sunnah Allah. Sunnah Allah dalam pendapatnya mencakup semua makhluk.
Segala yang ada di alam ini diciptakan sesuai dengan hukum alam atau sifat
dasarnya, manusia sendiri diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus
baginya yaitu berfikir dan memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya.
Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia ini bertolak dari satu deduksi,
bahwa manusia adalah mahluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun,
kebebasan tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan
yang menurut Abduh mendasari perbuatan manusia, yakni pertama, manusia
melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya, kedua, kekuasaan Allah
adalah tempat kembali semua yang terjadi.
Dengan demikian, manusia selain mempunyai daya berfikir, ia juga
mempunyai kebebasan memilih sebagai sifat dasar alami yang mesti ada dalam
diri manusia. Dan bila sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, niscaya dia bukan
manusia lagi melainkan makhluk lain entah malaikat atau hewan. Manusia dengan
akalnya dapat mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukannya,
kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya
mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada dalam dirinya. Jadi faham yang
dipaksakan atas manusia atau Jabariah tidak sejalan dengan pandangan
Muhammad Abduh. Menurutnya, manusia adalah semata-mata karena ia
mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan memilih, meskipun kebebasan
tersebut tidak bersifat mutlak, bahkan mencap takabur dan angkuh terhadap orang
yang mengatakan seperti itu. Dalam Tafsir al-Manar, ia menjelaskan bahwa
manusia, sungguhpun berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri, namun
tidaklah sempurnah daya, kemauan dan pengetahuannya. Terkadang ada sesuatu
hal yang dapat menimpa umat manusia diluar dugaan dan manusia tidak mampu
mengendalikannya, maka itulah bukti bahwa manusia mempunyai keterbatasan,
hanya Allah-lah yang Maha sempurnah.
2. Harun Nasution
Salah satu fokus Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia
menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Wahyu dan akal merupakan dua entitas yang
sebenarnya tidak perlu dipertentangkan secara diametral. Wahyu sebagai tuntunan
Ilahi diturunkan tidak lain untuk membimbing entitas akal menuju jalan yang
benar sesuai rambu-rambu Tuhan. Sebaliknya akal pikiran diciptakan Tuhan
menjadi Mi’yar (tolok ukur) dalam menentukan baik-buruk, suci-najis dan
mashlahah-mafsadah. Akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolok ukur
dalam menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Dalam teologi Islam, akal
dan wahyu dihubungkan dengan persoalan mengetahui Tuhan dan persoalan baik
dan jahat. Akal digunakan sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia,
berusaha untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari
alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang
Tuhan dan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan.
Menurut Harun Nasution, kata al ‘aql mengandung beberapa arti dan
pengertian, antara lain, mengikat dan menahan. Makna akar katanya adalah ikatan.
Ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Lebih jauh, Harun
Nasution menjelaskan bahwa akal menjadi daya (kekuatan, tenaga) untuk
memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan
antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan (tidak berwujud)
benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Sedangkan wahyu didefinisikan
sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi.
Wahyu dalam pengertian Muhammad Abduh berfungsi sebagai konfirmasi,
yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Lebih jauh lagi menurutnya, bahwa menggunakan akal merupakan salah satu
dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
Islam adalah agama yang pertama kali mempersaudarakan antara akal dan agama.
Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal.
Kemudian dia beranggapan bahwa wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin
bertentangan dengan akal. Kalau ternyata antara keduanya pertentangan,
penyimpangan, maka diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada
penyesuaian. Ilmu dalam Islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui
akal semata, tetapi juga melalui wahyu.
Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan
ilmu, sedangkan wahyu datang memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus
dilalui akal. Secara fungsional, wahyu tidak akan berfungsi tanpa adanya akal-
pikiran, begitu juga akal, ia akan kehilangan arah tanpa bimbingan wahyu. Karena
kedua entitas tersebut berasal dari sumber yang sama dan memiliki fungsi yang
sama, hanya saja wilayah kerjanya berbeda, walaupun demikian tentu akan
bertemu pada titik yang sama pula. Sepintas kelihatannya kedudukan akal dan
wahyu itu sama. Namun sebagian mutakallimin menyuarakan kedudukan yang
istimewa itu pada wahyu, sedang akal adalah membantu menjelaskan lebih rinci
pernyataan wahyu. Wahyu berfungsi sebagai pemberitahuan yang sama sekali
belum diketahui (i’lam), sedangkan akal berfungsi memberikan penjelasan
terhadap informasi wahyu (bayan).
Maka dari itu, kedudukan akal dalam Islam itu sangat penting. Akal inilah
yang menjadi wadah yang menampung akidah, syariah serta akhlak dan
menjelaskannya. Kita sendiri tidak pernah dapat memahami Islam tanpa
menggunakan akal. Dengan menggunakan akalnya secara baik dan benar, sesuai
dengan petunjuk Allah, manusia akan selalu merasa terikat dan dengan sukarela
mengikatkan diri kepada Allah. Dengan menggunakan akalnya, manusia dapat
berbuat atau bertindak, memahami, dan mewujudkan sesuatu. Karena posisinya
yang demikian, dapatlah dipahami kalau dalam ajaran Islam ada ungkapan yang
menyatakan: Akal adalah kehidupan, hilang akal berarti kematian. Harun
Nasution merupakan seorang Mutakallim yang menempatkan akal lebih banyak
porsinya dari pada wahyu. Meskipun demikian, peranan akal terhadap wahyu
ditempatkan sebagai pengembang atas teks yang masih bersifat global menjadi
suatu bentuk nyata dalam kehidupan. Akal menafsirkan wahyu, sementara wahyu
merupakan sandaran utama bagi akal untuk berkembang.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat
kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah juga bisa
benar.Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.Pengetahuan adalah
hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji
secara ilmiah dan kebenarannya jelas.

Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat
manusia.Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan
bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah.Pada
saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya budaya dengan
memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan dinamis, kreatif dan
terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan
antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang
satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Kairo: 1967, jilid I, fasal 4), hlm. 52


Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin, al-Nahdah al-Misriyah (Kairo: 1950, jilid I), hlm. 58
Amin Abdullah, Falsafah Teologi Islam dalam Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1955), h. 48
Amin Abdullah, Falsafah Teologi Islam dalam Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1955), h. 87
Faqih Mansour, Mencari Teologi untuk kaum tertindas, Refleksi Pembaharuan Pemikiran
Islam,70 tahun Harun Nasution, (Jakarta:LSAF, 1989)
Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 49
Nok Aenul Latifah, Paham Ilmu Kalam, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2017),
hlm.3.
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press1986),hlm. 39

Anda mungkin juga menyukai