Peradilan Di Republik Arab-Mesir - 1 Oleh Anshoruddin
Peradilan Di Republik Arab-Mesir - 1 Oleh Anshoruddin
I. PENDAHULUAN
Antara Indonesia dan Mesir terdapat beberapa kemiripan dalam sejarah hukum.
Pertama, sebelum datangnya penjajahan barat, dalam bidang peradilan, Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syar’iyyah adalah lembaga peradilan yang dominan di kedua
negara. Kedua, Indonesia dan Mesir sama-sama merasakan dualisme pendidikan hukum
dan peradilan. Di satu pihak terdapat pendidikan hukum untuk hukum warisan colonial
yang bermuara ke Pengadilan Umum dan di lain pihak terdapat pendidikan syari’ah untuk
hukum Islam yang bermuara ke Pengadilan Agama. Ketiga, kedua Negara sama-sama
berbasis tradisi civil law di mana asal usul hukum materiil dan acara berasal dari Prancis.
Mesir mengambilnya melalui Code Napoleon dan perundang-undangan Perancis modern,
dan Indonesia mengambilnya melalui Belanda karena Belanda pernah dijajah Perancis.
Keempat, kedua Negara berusaha untuk menyatukan kedua sistem hukum dan peradilan
dalam kerangka hukum nasional masing-masing. Di Mesir, hukum private Islam sudah
menyatu dengan hukum private umum dan Peradilan Agama (Mahkama Syar’iyyah)
sudah menyatu dengan Peradilan Umum, sedang di Indonesia pada tanggal 30 Juni 2004
Menteri Agama , telah menyerahkan Organisasi, Administrasi, dan finansial lingkungan
Peradilan Agama kepada ketua Mahkamah Agung RI: (pasal 42 ayat (2) Undang-Undang
No. 4 tahun 2004 dan KEPRES No. 21 tahun 2004).1
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yang menjadi inti
pembahasan adalah :
1. Bagaimana bentuk dan sistem peradilan di Negara Republik Arab Mesir, dan apa sisi
persamaan dan perbedaannya dengan bentuk dan sistem peradilan Indonesia ?
2. Bidang-bidang apa saja yang mungkin dikembangkan di Indonesia dari apa yang ada
di Mesir ?
3. Apakah secara khusus pengalaman Mesir dalam bidang hukum materiil dan hukum
acara keluarga dapat memperkaya hukum materiil dan hukum acara keluarga di
lingkungan Peradilan Agama ?
1
Anshoruddin ; Makalah Peradilan Satu Atap Dan Positivisasi Hukum Islam
1
II. POSISI AGAMA DALAM NEGARA
Sebelum revolusi tahun 1952, Mesir adalah sebuah kerajaan berkonstitusi, yaitu
konstitusi tahun 1923 yang menyatakan bahwa Mesir adalah sebuah negara Islam
independen yang berdaulat dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan mempunyai
dewan perwakilan rakyat. Konstitusi tahun 1923 ini dihapuskan, lalu partai-partai politik
dibubarkan pada tahun 1953, dan sebuah konstitusi baru diumumkan pada tahun 1956
yang diikuti dengan proklamasi Republik Mesir. Antara tahun 1958 dan 1961, Mesir dan
Syria melebur diri menjadi satu Negara, disebut Republik Persatuan Arab. Setelah Syria
menarik diri pada tahun 1961, Nama Republik Persatuan Arab masih tetap dipakai oleh
Mesir. Persatuan Nasional didirikan pada tahun 1957 menggantikan partai-partai politik
yang dihapuskan pada tahun 1953 dan menjadi Persatuan Sosialis Arab pada tahun 1962.
Pada tahun 1971, Mesir, Libya dan Syria sepakat mendirikan Konfederasi
Republik-Republik Arab. Sebuah draft konstitusi diterima oleh kepala Negara setiap
negeri dan dikukuhkan melalui referendum di ketiga negara anggota. Kairo dipilih
menjadi ibukota konfederasi ini. Pada tahun 1979 konfederasi bubar berikut
penandatanganan perdamaian antara Mesir dan Israel.
2
memberhentikan satu atau lebih wakil presiden, perdana menteri, menteri-menteri dan
wakil-wakilnya. Lembaga Legislatif adalah Majelis Rakyat (Majlis asy-Sya’b) yang
memilih presiden dengan suara mayoritas dua pertiga anggota Majelis. Kandidat
kemudian dikukuhkan oleh plebisit nasional (referendum).
Kekuasaan legislatif terletak di tangan Majelis Rakyat, yang terdiri dari 444
anggota terpilih. Beberapa orang anggota harus wanita dan 10 anggota tambahan yang
ditunjuk oleh presiden. Majelis dipilih berdasarkan sistem proporsional untuk jangka
waktu 5 tahun. Setiap warga Negara yang sudah berumur 18 tahun ke atas dan sudah
mendaftar dapat menggunakan hak pilihnya. Presidenlah yang membuka dan menutup
masa sidang Majelis Rakyat.
Fungsi untuk Majelis Rakyat adalah untuk menetapkan kebijakan. Para anggota
harus mengesahkan semua undang-undang dan memeriksa serta menetapkan anggaran
nasional. Majelis juga membuat program yang dijalankan oleh kabinet yang baru terpilih.
Majelis harus menarik anggotanya yang seharusnya sudah berhenti/pensiun. Presiden
tidak dapat membubarkan Majelis kecuali dalam situasi tertentu atau setelah ada
persetujuan melalui referendum rakyat. Pemilihan anggota Majelis yang baru harus
diadakan tidak lebih dari 60 hari setelah pembubaran Majelis.
3
Sampai dengan tahun 1960, administrasi pemerintahan sangat bersifat sentralisasi.
Pada tahun tersebut, sistem administrasi pemerintah daerah didirikan untuk
mengembangkan desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam
pemerintahan daerah.
Mesir dibagi kepada 26 muhafazhah. Lima kota, yaitu Kairo, Alexandria, Ismailia,
Port Said dan Suez mempunyai status muhafazhah. Gubernur ditunjuk dan dapat
diberhentikan oleh presiden. Gubernur memegang kekuasaan eksekutif tertinggi di
muhafazah. Ia mempunyai kekuasaan administratif terhadap seluruh personil
pemerintahan, kecuali para hakim, dalam muhafazahnya dan bertanggung jawab untuk
menjalankan kebijakan.
2
Disarikan dari CD-ROOM Encyclopedia Britannica 2002, Artikel “Egypt: Government and Social
Conditions”.
4
III. SISTIM PERADILAN MESIR
Secara historis, sistem peradilan Republik Arab Mesir telah dikenal sejak
zaman kuno, yakni kurang lebih 3000 SM, yang telah meletakkan asas-asas peradilan
modern seperti pemeringkatan peradilan, karakteristik peradilan, sistem peradilan,
sengketa administrasi, asas-asas peradilan serta indepedensi hakim seperti
kemandirian dan kehati-hatian hakim.
Pada waktu itu penguasa di setiap wilayah secara ex officio menjabat sebagai
hakim. System peradilan pada zaman Islam, dimulai pada masa pemerintahan ‘Amar
bin ‘Ash ketika menjabat sebagai Gubernur Mesir. Kemudian pada masa
pemerintahan dinasti Mamalik, terbentuk empat macam peradilan. Pada masa
pemerintahan Muhammad ‘Ali, terbuka pengaruh sistem peradilan Eropah modern
yang ditandai dengan pendirian Dewan Wali pada tahun 1735.
5
4. Hai’ah Qadhaya ad-Daulah (Lembaga Kasus-Kasus Negara);
5. An-Niyabah al-Idariyyah (Kejaksaan Administrasif).
1. Tingkatan-Tingkatan Peradilan
a. Peradilan Bagian (Al-Mahkamah Al-Juz’iyyah)
b. Peradilan Pertama (Al-Mahkamah Al-Ibtida’iyyah)
c. Peradilan Banding (Al-Mahkamah Al-Isti’nafiyyah)
d. Peradilan Kasasi (Mahkama an-Naqdh)
6
pertama, perkara yang dimintakan pengadilan ulang dari pengadilan
juz’iyyah dan kedua, perkara perdata yang nilainya lebih dari L.E. 5.000
(lima ribu pound Mesir).
3. Lingkungan Peradilan
3
Dr. Hamid Muhammad Abu Tholib, Nidhoomu Al-Khodhooi Al-Mishriyyi Fii Miizaani Assyarii’ah, Daru al
Fikri Al ‘arobiyyi, Kairo- Mesir, 1993 Hal. 54-60.
9
Beradsarkan pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1979, kewenangan
Mahkamah Agung Konstitusi dibatasi dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Peninjauan terhadap Undang-Undang Dasar serta peraturan di bawahnya.
2. Memutus sengketa kewenangan antara lembaga dan badan peradilan.
3. Menyelesaikan sengketa yang berkenaan dengan eksekusi terhadap dua putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Menafsirkan teks-teks undang-undang yang dikeluarkan lembaga legislatif serta
keputusan-keputusan Presiden.
Pertama, apabila pada saat proses gugatan ditemukan fakta bahwa perkara
yang diajukan tidak berdasarkan hukum, maka pemeriksaan terhadap perkara ini
harus segera dihentikan, dan dialihkan ke Mahkamah Agung Konstitusi.
Kedua, apabila pada saat proses persidangan ada eksepsi terhadap salah satu
lembaga peradilan tentang gugatan yang tidak ada dasar hukumnya, dan Mahkamah
Agung Konstitusi memandang bahwa eksepsi tersebut beralasan, maka ia diberi
kesempatan untuk mengajukan gugatan tersebut ke Mahkamah Agung Konstitusi
dalam tengang waktu tidak lebih dari tiga bulan.
10
individu dan profesi tertentu. Mahkamah Agung Konstitusi berpendapat bahwa hak
istimewa merupakan pelecehan terhadap asas persamaan, kesempatan dan peluang
untuk menikmati hak yang dimiliki oleh warga negara.
2. Promosi hakim;
11
4. Mutasi.4
4
Ceramah Dr. ‘Izzat Sa’ad, Duta Besar Republik Arab Mesir untuk Indonesia, Tgl. 12 Juli 2002.
12
B. Sumber Hukum Pidana Mesir
13
negara, tawanan perang serta kejahatan-kejahatan yang terjadi di kamp-kamp dan
barak-barak militer, meskipun pelakunya warga sipil.
C. Proses Penuntutan:
14
mayat tergeletak ditengah jalan yang berlumuran darah. Jika ia melihat langsung
tersangka di tempat kejadian perkara, maka ia dapat secara langsung menangkap
terasngka tersebut. Jika disitu terdapat banyak orang, ia harus berhati-hati dalam
melakukan penagkapan. Dalam hal ini tersangka dapat ditahan Selama 3 (tiga) bulan.
Apabila tersangka tidak ada ditempat, apa yang harus dilakukan oleh al-
Ma’mur bi Dhabt al-Qadha? Dalam keadaan semacam ini, ia dapat mencari
informasi tentang keberadaan tersangka. Jika tersangka telah dapat diidentifikasikan,
maka ia dapat melaporkan kepada pihak kejaksaan untuk dilakukan penagkapan.
Tersangka tidak dapat ditangkap di rumah kediamannya, kecuali atas izin pihak yang
berwenang.
A. Hukum Keluarga
5
Ceramah Pada Pelatihan Hakim Di Mesir oleh Kanselir Mohammad Ahmad Hasan Tgl. 15 Juli 2002.
15
Mahkamah Syar’iyyah, akan tetapi sejak tahun 1955 dihapus dan dimasukkan ke
dalam peradilan perdata.
Setiap bagian memiliki hukum materiil dan hukum acara tersendiri. Hukum
materiil wilayah ‘ala an-Nafs di atur oleh Undang-Undang Nomor 100 Tahun 1985
sebagai perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 20 dan 25 Tahun 1929.
sedangkan hukum acara diatur oleh undang-undang nomor 1 tahun 2000. Hukum
materiil wilayah ‘ala al-Mal diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 119 Tahun
1952, dan hukum acaranya berdasarkan undang-undang nomor 1 tahun 2000.6
Berikut ini yang disampaikan hanya menyangkut (1) Wilayah ‘ala an-Nafs
dan (2) Wilayah ‘ala al-Mal.
Perbedaan antar wilayah ‘ala al-nafs dan wilayah ‘ala al-mal dapat
digambarkan sebagai berikut:
6
Anwar Al-‘Amri Wasyyi, Ushulu Al-Muroofa’ati Asyar ‘iiyyati Fii masaaili Al-Ahwaali Asyyakhshiyyati,
Cecakan ke Tujuh, Iskandariya, Mesir, 1989. Hal. 58.
16
Pertama: Wilayah ‘ala al-nafs diterapkan hukum agama. Dengan kata
lain, untuk muslim berlaku hukum Islam dan non-muslim berlaku hukum
agamanya masing-masing. Sedangkan wilayah ‘ala al-mal diterapkan untuk
seluruh warga negara Mesir tanpa memandang agamanya.
Kedua: Wilayah ‘ala al-nafs berakhir apabila anak telah mencapai usia
16 tahun untuk anak laki-laki, dan 18 tahun untuk anak perempuan. Sedangkan
wilayah ‘ala al-mal apabila seseorang telah mencapai usia 21 tahun.
7
Dr. Nashr Farid Washil, Al-Wilaayatu Al-Khooshotu, Al-Wilayatu ‘ala an-Nafs wa al-Mal, Daru Asysyuruuq,
Mesir, 2002, Hal.9-12.
17
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 ini berdasarkan hukum Islam dan
berlaku untuk semua warga negara Mesir dan untuk semua golongan dan agama di
seluruh wilayah Mesir, baik itu agama Islam, Katolik, Kristen, Kopti, Ortodoks
Yunani dan lain-lain sebagainya. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000
diatur tentang:
Kedua, wilayah ‘ala al-mal (yang berkaitan dengan harta benda), misalnya
nafkah anak, nafkah isteri, hadhanah, mut’ah, harta cacat mental dan lain-lain
sebagainya.
18
Dalam penyelesaian perkara keluarga, pada dasarnya tidak memerlukan
pengacara, tetapi bagi perempuan yang mampu boleh menggunakan jasa pengacara.
Dalam hal ini gugatan isteri tersebut harus ditandatangani oleh pengacara, dan
seluruh biaya perkara dibebankan kepada negara. Hal tersebut dimaksudkan untuk
membela kepentingan yang lemah dalam upaya menyampaikan hak dan
kepentingannya di depan pengadilan.
Oleh karena menurut ketentuan hak talak ada pada suami, maka sering timbul
permasalahan, apakah pernyataan talak terhadap isteri tersebut harus dinyatakan
secara kinayah atau sharih? Untuk menjawab masalah ini, menurut pasal 21 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2000 pernyataan talak itu harus dilakukan secara sharih,
kecuali dibarengi dengan bukti yang kuat atau dengan saksi.8
VI. KESIMPULAN
8
Anwar Al-‘Amri Wasi, Ushulu al-Muroofa’aati Asysyariyyati fii Masaaili al Ahwaali Asyakhsyiyyati, cetakan
ke tujuh, Iskandariyah, Mesir, 1989, Hal. 63
19
negara sama-sama pernah dijajah oleh kolonial Barat dalam kurun waktu yang cukup
lama, sehingga mempengaruhi sistem peradilan masing-masing. Meskipun demikian,
Mesir mempunyai karakteristik tersendiri dalam mengantisipasi dan membendung
pengaruh kolonial terhadap sistem hukum yang ada. Hal tersebut terbukti dengan adanya
konsesi nasional untuk menempatkan syari’at Islam sebagai satu-satunya sumber dari
segala sumber hukum di Mesir.
20
Pontianak, Kamis 19 Januari 2017
21
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Al-‘Amri wasyyi, Ushulu Al-Muroofa’ati Asyar ‘iiyyati fii Masaaili Al-Ahwaali
Asyyakhshiyyati, cetakan ke tujuh, Iskandariya, Mesir, 1989.
Ceramah Dr. ‘Izzat Sa’ad, Duta Besar Republik Arab Mesir untuk Indonesia, Tgl. 12Juli
2002.
Ceramah pada pelatihan Hukum di Mesir oleh kanselir Mohammad Ahmad Hasan Tgl. 15 Juli
2002.
Disarikan dari CD-Room Encyclopedia Britannica, Artikel “Eqypt: Government and Social
Conditions.
Dr. Nashr Farid Washil, Al-Wilaayatu Al-Khooshotu, Al-Wilayaatu ‘ala an-Nafs wa al-Mai,
Daru Asysyuruq, Mesir, 2002.
Anshoruddin , Makalah tentang Peradilan Satu Atap dan Positivisasi Hukum Islam.
22