Anda di halaman 1dari 15

KEDUDUKAN PERDAMAIAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

oleh : Naomi Renata Manihuruk – 19941222 201712 2 001

Pendahuluan
Proses penegakan hukum pidana di Indonesia secara umum bertumpu pada Undang-
undang No. 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang No. 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), dimana penegakan hukum hanya bertumpu
pada negara sebagai pemberi keadilan, sehingga sedikit peran individu dalam penyelesaian
perkara pidana. Pencari keadilan sepenuhnya terpaku pada sistem peradilan pidana yang lebih
dimaknai dengan menyelesaikan semua penanganan perkara pidana dengan rambu-rambu
hukum positif yang bersifat kaku, sehingga penyelenggaraan penegakan hukum dijalankan
tanpa seleksi perkara dan lebih mewujudkan pada keadilan prosedural1.
Beberapa pandangan para ahli maupun tulisan-tulisan yang dibaca oleh Penulis
menyatakan bahwa hukum pidana yang digunakan di Indonesia, khususnya KUHAP dan
KUHP, merupakan hukum peninggalan Belanda yang sudah sangat tertinggal jauh dengan
perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum pidana yang lebih baik2. Sistem
pemidanaan saat ini pula dianggap tidak memuaskan masyarakat dan mengabaikan realitas
nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia3. Hal ini telah memicu sejumlah penelitian-penelitian
untuk melakukan upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan penanganan tindak pidana, salah satunya adalah melalui mekanisme perdamaian.
Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme perdamaian merupakan upaya yang dapat
menjadi salah satu acuan implikasi proses penegakan yang melibatkan korban, pelaku,
masyarakat, dan termasuk juga dalam konteks putusan pemidanaan dari hakim.
Namun, mekanisme perdamaian lazim digunakan dalam penyelesaian terkait dengan
kasus-kasus keperdataan, dengan mempertemukan antara para pihak yang bersengketa,
menyelesaikan persoalannya secara kekeluargaan, dan berujung pada pemberian ganti rugi
kepada pihak yang dirugikan. Pola penyelesaian yang demikian sudah barang tentu tidak
dikenal dalam hukum pidana, mengingat keberadaan hukum pidana dengan perangkat
sanksinya baik berupa pidana mati, penjara, kurungan atau denda. Dalam hukum perdata, pola
penyelesaian yang demikian memang diisyaratkan karena tujuan keberadaan hukum perdata

1
Manggala Saraya dkk, Jurnal: Kedudukan Hukum Kesepakatan Damai Melalui Mediasi Penal Pada
Proses Perkara Pidana (Fakultas Hukum Universitas Lampung: 2018).
2
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi
Anatara Asas, Teori, dan Penerapannya (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 1.
3
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hlm. 2.

1
untuk melindungi hak-hak sipil/privat, sedangkan keberadaan hukum pidana dengan saksinya
dimaksudkan untuk tujuan pemberian efek jera pada pelaku tindak pidana (moral and
deterrent effects). Namun, berkaitan dengan tujuan pemberian efek jera tersebut, Bentham
menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila semata-
mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan. Penjatuhan hukuman
melalui pidana yang berupa memberikan pembalasan penderitaan kepada pelaku bukanlah hal
yang utama4. Karena pada prinsipnya hukum pidana berlaku sebagai ultimum remidium yang
memiliki arti bahwa hukum pidana merupakan sarana terakhir yang digunakan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan hukum.
Pada hukum positif Indonesia (KUHAP dan KUHP) asasnya perkara pidana tidak
dapat diselesaikan melalui perdamaian, akan tetapi, pada praktiknya terdapat beberapa
perkara pidana diselesaikan secara damai, antara lain: melalui diskresi aparat penegak hukum,
lembaga adat, dan Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya
mekanisme perdamaian dapat diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, hanya
saja belum secara eksplisit dan tegas diatur.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana kedudukan perdamaian dalam
penyelesaian perkara pidana, apakah perdamaian dapat dimasukkan ke dalam sistem
peradilan pidana Indonesia; bagaimana urgensi perdamaian guna mewujudkan keadilan dalam
pembaharuan sistem peradilan pidana Indonesia. Tulisan ini juga akan membahas mengenai
akibat hukum dan persoalan-persoalan lain dari pelaksanaan perdamaian, misalnya mengenai:
apakah perdamaian dapat diterapkan pada semua perkara pidana; bagaimanakah bentuk
perdamaian yang akan diterapkan, bentuk pernyataan permintaan maaf atau bentuk ganti rugi;
apakah bentuk putusan dapat didasarkan pada penghapusan pemidanaan atau hanya menjadi
pertimbangan keringanan pidana.

Permasalahan
Berdasarkan pendahuluan yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini, yakni: Bagaimana praktik perdamaian
sebagai penyelesaian perkara pidana yang terjadi saat ini? Bagaimana prespektif penerapan
perdamaian dalam pengadilan pidana? dan Bagaimana mekanisme perdamaian diakomodasi
oleh pembaharuan hukum pidana nasional?

4
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015), hlm.
30.
Pembahasan
A. Praktik Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Mekanisme Perdamaian
Mekanisme perdamaian dalam sistem hukum nasional sesungguhnya telah lama
ditetapkan khususnya pada bidang penyelesaian perkara perdata. Penerapan upaya
perdamaian ditentukan dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg. Kemudian, Pasca reformasi
Pemerintah memberlakukan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini telah memberikan tempat khusus bagi
keberadaan alternatif penyelesaian sengketa di luar proses litigasi. Perkembangan
selanjutnya, penerapan perdamaian di dalam proses litigasi telah diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung No. 1
Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Selain pada bidang penyelesaian perkara perdata, mekanisme perdamaian juga dikenal
dalam praktik penyelesaian perkara pidana. Perdamaian dalam penyelesaian perkara pidana
diistilahkan sebagai mediasi penal. Keberadaan dan pelaksanaan dari mediasi penal ini adalah
di luar pengadilan. Mediasi penal tidak diatur dalam undang-undang melainkan hanya diatur
secara parsial dan dalam bentuk diskresi penegak hukum. Mediasi penal dapat ditemukan
pada aturan di kepolisian, seperti: Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS
tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)
serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2008 tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri. Pada dasarnya, peraturan tersebut mengatur tentang penanganan kasus pidana
melalui ADR dengan sifat kerugian materi kecil, disepakati para pihak, dilakukan melalui
prinsip musyawarah mufakat, menghormati norma sosial/adat, serta memenuhi asas keadilan
dan apabila dicapai melalui ADR pelakunya tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum
lainnya5.
Mediasi penal sebagaimana konteks di atas gradasi pengaturannya diatur pada level di
bawah undang-undang. Akan tetapi, dalam batas pengaturan ditingkat undang-undang, untuk
perkara pidana pada asasnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Namun,
penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi penal ini perlu untuk dipertimbangkan.
Mengapa? Apabila suatu perkara memiliki sifat kerugian perkaranya kecil atau ringan namun
dilakukan melalui proses dalam sub sistem peradilan pidana maka relatif akan menimbulkan
gejolak karena rasa keadilan masyarakat akan terusik. Misalnya, dapat disebutkan contoh
kasus Ny Minah seorang
nenek pencuri tiga biji bibit kakao diperkebunan PT Rumpun Sari Antan yang divonis oleh

5
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bandung: PT. Alumni,
2015), hlm. 38-39.
pengadilan, yang menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat dengan dibawanya kasus
pencurian tersebut ke pengadilan dan dijatuhkan pidana. Namun, apabila seandainya masalah
ini dapat diselesaikan tanpa perlu dipersidangkan, maka besar kemungkinan gejolak ini akan
terhindar. Pada dasarnya, konteks penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi
penal puncaknya diharapkan dapat menekan penumpukan perkara di pengadilan.
Perdamaian sesungguh telah diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
namun hanya dikenal dalam perkara pidana yang berkaitan dengan anak, yang diatur dalam
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perdamaian ini
disebut dengan istilah diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Penerapan diversi dimaksudkan
untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan. Dalam
diversi ini melibatkan partisipasi aktif korban, pelaku, maupun warga masyarakat misalnya
anggota keluarga, profesional/ahli, dan pihak lain yang berkepentingan. Dalam undang-
undang tersebut diatur bahwa hasil diversi dapat berbentuk, antara lain: perdamaian dengan
atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam
Pendidikan atau pelatihan di Lembaga Pendidikan, atau pelayanan masyarakat. Dalam hal
diversi tercapai maka pemeriksaan perkara dihentikan.
Selain melalui mediasi dan Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dijelaskan
diatas, terdapat juga praktik perdamaian dalam penyelesaian perkara pidana yang
dilangsungkan di luar sistem peradilan pidana Indonesia namun diakui dan dapat ditemukan
pada putusan-putusan terdahulu, yakni dalam perkara-perkara adat. Sampai sekarang pun
masih banyak hakim yang mendasarkan putusannya pada hukum pidana adat atau
menganggap hukum pidana adat masih berlaku6. Setiap hukum adat selalu berkaitan atau
mengandung unsur budaya dan keyakinan yang hidup dalam masyarakat (magis religious).
Hukuman dalam perkara adat semata-mata dilakukan untuk menetapkan sanksi adat yang
dianggap dapat membetulkan hukum adat yang dilanggar tersebut. Sanksi adat dapat
dilakukan oleh si pelanggar dengan cara membayar ganti rugi kepada pihak yang terkena
akibat pelanggaran tersebut, atau membayar uang adat kepada pihak yang terkena dan/atau
masyarakat. Jika melihat dari konsep persidangan adat tersebut maka tersirat bahwa
persidangan adat bertujuan untuk mencapai kedamaian, rekonsiliasi, kekeluargaan, serta tetap
mempertahankan harkat dan
martabat pada masyarakat adat secara keseluruhan.
6
Ibid., hlm. 46-55
Dari praktik-praktik perdamaian sebagaimana dijelaskan diatas dapat disimpulkan
bahwa seringkali penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme non formal (di luar sistem
peradilan) ini dinilai lebih memuaskan karena lebih menguntungkan kedua belah pihak. Hal
ini tidak lepas dari penyelesaian perkara yang mendasar kepada prinsip musyawarah. Apabila
dikaitkan dengan Pancasila sebagai ideologi negara, maka mekanisme perdamaian yang
berbentuk musyawarah sejalan dengan sila ke-4 Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Pancasila menyerukan
untuk pembuatan keputusan harus mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Selain prinsip musyawarah, mekanisme perdamian ini pula sejalan dengan konsep keadilan
restoratif. Konsep restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-
beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta
korbannya sendiri, sehingga partisipasi aktif antara korban, pelaku, maupun masyarakat
sangat diharapkan dalam mencari penyelesaian masalah7. Dalam konteks ini perdamaian
menjadi instrumen efektif dan efisien untuk memulihkan kondisi akibat terjadinya tindak
pidana secara harmonis dan kekeluargaan antara korban dan pelaku serta keluarganya
maupun masyarakat.

B. Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Dalam Mengakomodasi Mekanisme Perdamaian


Sebelum membahas mengenai mekanisme perdamaian yang telah diakomodasi dalam
Rancangan KUHP, akan dijelaskan dahulu bagaimana mekanisme perdamaian dalam praktik
di pengadilan. Mekanisme perdamaian dalam praktik di pengadilan pidana juga banyak
dilakukan. Namun, eksistensi perdamaian dalam praktik di pengadilan yang digunakan oleh
sebagian besar hakim dalam menjatuhkan putusannya hanya sebagai bahan pertimbangan
meringankan penjatuhan hukuman terdakwa (sekalipun ketentuan peringanan penjatuhan
hukuman ini tidak diatur dalam KUHAP ataupun KUHP). Sebagai contoh, Penulis mengikuti
sidang di Pengadilan Negeri Sumedang dengan nomor perkara 289/Pid.B/2018/PN Smd yang
berlangsung pada tanggal 31 Januari 2019. Terdakwa dalam perkara ini melakukan
pelanggaran Pasal 378 KUHP yakni penipuan. Didalam proses persidangan diketahui bahwa
terdakwa telah melakukan perdamaian dengan korban dan telah mengganti seluruh kerugian
yang dialami korban, yang mana pernyataan ini telah dituangkan dalam surat perdamaian
dibawah tangan yang ditandatangani oleh korban dan terdakwa. Kemudian didalam putusan
keberadaan perdamaian dalam bentuk ganti rugi diakui adanya, namun perdamaian tersebut
7
HukumOnline.com diakses 24/02/19 “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia
Oleh: Jecky Tengens, SH” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan -
irestorative- justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-.
hanya disebutkan dalam bagian ‘hal yang meringankan terdakwa’, dan penjatuhan pidana
tetap diberikan, terdakwa dihukum pidana penjara lima bulan.
Sebagaimana contoh diatas, sekalipun sudah ada surat pernyataan yang dibuat oleh
pelaku dan korban yang pada intinya korban sudah memaafkan terdakwa dan sesungguhnya
keadaan korban sudah terpulihkan, namun perdamaian yang dilakukan antara korban dengan
pelaku tindak pidana tidak dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana ataupun
meminta penghentian proses perkara pidana. Pada ketentuan KUHP, mengenai penghapusan
pertanggungjawaban pidana Pasal 44 sampai dengan Pasal 52 menyebutkan bahwa
penghapusan pidana didasarkan pada: cacat jiwa, orang yang berada di bawah umur,
pengaruh daya paksa, melaksanakan undang-undang atau melaksanakan perintah jabatan.
Lalu aturan dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 menyebutkan bahwa peniadaan
penuntutan dan penghapusan hak menuntut didasarkan pada: telah terdapat putusan hakim
yang berkekuatan hukum tetap terhadap tindakan yang sama, terdakwa meninggal dunia, atau
perkara telah daluwarsa. Melihat dari aturan-aturan dalam KUHP tersebut, kita mengetahui
bahwa sesungguhnya upaya damai tidak pernah menjadi komponen yang utama dan
menentukan baik pada awal proses maupun pada akhir proses penanganan perkara pidana.
Hukum pidana menempatkan masalah perdamaian menjadi urusan tersendiri di luar
pengadilan. Menanggapi hal ini, Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan,
SH, MCL sebagaimana tertuang dalam buku “Refleksi Dinamika Hukum – Rangkaian
Pemikiran dalam Dekade Terakhir8” menuliskan bahwa hambatan dalam melaksanakan
perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum
yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun
telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Menurut
Beliau, apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah
berdamai satu sama lain? Beliau menekankan bahwa tujuan penegakan hukum bukanlah
untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman
dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.
Pada perkembangan kekinian terhadap hukum pidana memperlihatkan bahwa terdapat
pergeseran paradigma keadilan, yaitu dari keadilan retributif (berorientasi pada pembalasan
terhadap pelaku tindak pidana) menuju keadilan restoratif (berorientasi pada keseimbangan
yang memperhatikan korban dan pelaku tindak pidana). Restorative justice secara perlahan
dijadikan paradigma baru yang menutupi kekurangan daripada retributive justice. Secara tepat

8
Ibid., dikutip dari HukumOnline.com
konsep, sistem pemidanaan dalam Rancangan KUHP (Tahun 2017) menganut paradigma
keadilan restoratif serta mengakomodir penerapan mekanisme perdamaian. Keadilan restoratif
sangat jelas tergambarkan dalam tujuan pemidaan pada Pasal 55 yang menyebutkan9:
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan
dan pengayoman masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
aman dan damai dalam masyarakat; dan menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan
rasa bersalah pada terpidana. Dalam pasal ini menekan pula bahwa pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Mekanisme perdamaian pula sangat jelas tergambarkan dalam Rancangan KUHP yang
telah mengakomodasi mengenai pengaruh tindak pidana terhadap korban/keluarganya, dan
pemaafan dari korban dan/atau keluarganya, menjadi dasar pertimbangan dalam pemidanaan
(Pasal 56 ayat (1) huruf i, j dan k). Selain itu, pemberian ganti kerugian yang layak atau
perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan menjadi
faktor peringanan pidana (Pasal 139). Bahkan dimungkinkannya hakim memberi
maaf/pengampunan (rechterlijk pardon) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun terhadap
terdakwa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan.
Namun dalam Rancangan KUHP tersebut tidak mencantumkan ruang lingkup
terhadap perkara apa saja yang dapat diselesaikan melalui mekanisme perdamaian. Dalam
tulisan ini akan dikuti pendapat Mudzakkir yang mengemukakan beberapa kategorisasi
sebagai tolak ukur dan ruang lingkup terhadap perkara yang dapat diselesaikan di luar
pengadilan melalui perdamaian adalah sebagai berikut:10 1. Pelanggaran hukum pidana
tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang
bersifat relatif; 2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai
ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP); 3.
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”; 4.
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi
yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium; 5. Pelanggaran hukum pidana
tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan
wewenangnya untuk melakukan
diskresi; 6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke
pengadilan

9
Naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Hasil Pembahasan Panitia Kerja
R-KUHP DPR RI 24 Februari 2017.
10
OpCit., Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm. 4-5.
(deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya; 7.
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang
diselesaikan melalui lembaga adat.
Pada rumusan yang ada dalam pembaruan hukum pidana nasional tersebut di atas,
hakim diberikan ruang untuk menilai pemulihan kerugian dan pemaafan korban terhadap
pelaku dalam lingkup perdamaian sesuai nilai Pancasila yaitu permusyawaratan dalam
kebijaksanaan pemidanaan. Muladi menjelaskan bahwa11 hakikat tujuan pemidanaan dalam
konteks Pancasila, yang pertama-tama harus dihayati adalah pendekatan multidimensional
yang bersifat mendasar terhadap dampak tindak pidana. Dengan demikian tujuan pemidanaan
adalah untuk memperbaiki kerusakan baik yang bersifat individual, maupun yang bersifat
sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Berkaitan dengan konteks perdamaian berdasarkan permusyawaratan dan
kebijaksanaan dalam tujuan pemidanaan di atas maka sudah seharusnya bahwa tidak saja
menjadi alasan peringanan pidana saja, tetapi dapat berupa penghapusan pemidanaan
bilamana telah terpulihkannya kerugian korban dan akibat terganggunya sosial dari tindak
pidana telah pula diharmonisasikan kembali. Dengan demikian pembaruan hukum pidana
nasional telah memberikan penegasan akan sebuah upaya refilosofi pemidanaan dari
retributive justice menuju restorative justice. Orientasi penghukuman sejauh mungkin dapat
bermanfaat bagi para pihak (dalam hal ini Korban, Pelaku dan masyarakat) guna pemulihan
konflik di masa yang akan datang. Oleh karenanya output dari proses peradilan ini adalah
tetap berlandaskan pada penyelesaian konflik dan pemulihan hubungan antar pihak.

Penutupan
1. Kesimpulan
Perdamaian merupakan cara penyelesaian sengketa dan konflik yang terbaik dalam
kultur bangsa Indonesia. Perdamaian dalam sistem hukum positif sudah diakui eksistensinya
dalam penyelesaian perkara perdata, baik melalui arbitrase maupun mediasi. Dalam
penyelesaian perkara pidana, perdamaian yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat
masih terbatas dan dilaksanakan di luar pengadilan. Khusus untuk peradilan pidana anak,
sudah mengakomodasi perdamaian melalui lembaga diversi. Terkecuali perkara pidana
anak,
penerapan perdamaian dalam sidang pengadilan tidak dapat menghapuskan pemidanaan dari
11
Eko Soponyono, Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban, Jurnal
Masalah-masalah Hukum, Jilid 41 Nomor 1 Januari 2012, hlm. 30. Dikutip dari Jurnal Rechtsvinding Media
Pembinaan Hukum Nasional, Volume 6 Nomor 1 April 2017.
hakim. Perdamaian antar pelaku dan korban dengan diikuti penggantian kerugian dan
pemaafan hanya berfungsi meringankan pemidanaan terhadap pelaku.
Penulis melihat bahwa mekanisme perdamaian merupakan upaya yang ideal dalam
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dan mewujudkan keadilan dalam masyarakat
Indonesia. Pernyataan ini dijelaskan sebagai berikut: (i) Apabila dikaitkan dengan Pancasila
sebagai ideologi negara, maka mekanisme perdamaian merupakan cerminan dari penerapan
musyawarah mufakat yang tertulis dalam sila ke-4 Pancasila. (ii) Mekanisme perdamaian
sesuai dengan paradigma penegakan hukum pidana yang telah bergeser dari keadilan
retributif menjadi keadilan restoratif. Tata acara peradilan pidana dalam keadilan restoratif
berporos pada proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian
perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. (iii) Mekanisme
perdamaian juga sesuai dengan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan adalah mencapai
keseimbangan terhadap dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan
individu. (iv) Mekanisme perdamaian pula dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian
perkara yang dapat mewujudkan penyelesaian sengketa lebih cepat dan murah, serta mampu
mengurangi penumpukan perkara di pengadilan.

2. Saran
• Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan mencapai solusi serta
alternatif terbaik untuk menyelesaikan perkara diantara mereka. Implikasi dari
pencapaian ini maka pihak pelaku dan korban dapat mengajukan kompensasi yang
ditawarkan, disepakati dan dirundingkan antar mereka bersama sehingga solusi yang
dicapai bersifat “menang-menang” (win-win), serta menciptakan pada harmonisasi
sosial.
• Pembentuk undang-undang (Legislatif) agar membuat aturan (khususnya dalam
hukum acara pidana) yang membuka peluang terhadap aturan kesepakatan damai
(dengan batasan-batasan tertentu) sebagai alasan penghentian poses perkara pidana,
supaya praktik perdamaian memiliki legitimasi dalam sistem peradilan pidana
Indonesia.
Daftar Pustaka
Manggala Saraya dkk, Jurnal: Kedudukan Hukum Kesepakatan Damai Melalui Mediasi Penal
Pada Proses Perkara Pidana (Fakultas Hukum Universitas Lampung: 2018).
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi Anatara Asas, Teori, dan Penerapannya (Jakarta: Kencana, 2016).
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan (Bandung: Lubuk Agung, 2011).
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2015). Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
(Bandung: PT.
Alumni, 2015).
HukumOnline.com “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia Oleh:
Jecky Tengens, SH”
Naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Hasil Pembahasan Panitia
Kerja R-KUHP DPR RI 24 Februari 2017.
Eko Soponyono, Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban,
Jurnal Masalah-masalah Hukum, Jilid 41 Nomor 1 Januari 2012, hlm. 30. Dikutip
dari Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 6 Nomor 1
April
2017.

Anda mungkin juga menyukai