Anda di halaman 1dari 2

manusia diciptakan dalam proses yang terakhir setelah semua yang ada di alam semesta diciptakan.

Artinya, manusia diciptakan sebagai puncak ciptaan Allah. Manusia diciptakan sesuai dengan gambar
dan rupa Allah, dengan karunia istimewa yaitu akal budi, hati/perasaan, dan kehendak bebas. Adanya
karunia akal- budi menjadikan manusia bisa atau memiliki kemampuan untuk memilih, karunia
hati/perasaan menjadikan manusia bisa merasakan, dan karunia kehendak bebas menjadikan manusia
mampu membangun niat-niat.

Pandangan tentang manusia diuraikan oleh Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan
“menurut gambar Allah”; ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia
ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini (Kej 1:26) “Apakah manusia, sehingga Engkau
mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah
membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau
menjadikannya berkuasa atas buatan tangan- Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya”
(Mzm 8:5-7). “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga
Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan
memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas buatan tangan-
Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7).

Manusia sebagai makhluk sosial

Dalam kehidupannya manusia sadar akan dirinya bersama dengan orang lain. Manusia bersama dengan
orang lain, secara bersama-sama memberikan arti dan nilai dan saling memanusiawikan. Anda menjadi
pribadi justru dalam pengakuan dari sesame.relasi dan persekutuan ini memperlihatkan suatu
ketergantungan dasariah antarmanusia sebagai makhluk yang selalu ada bersama. Karena itu, manusia
hidupnya tergantung satu sama lain.

Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antarpribadi. Sebab dari kodratnya yang
terdalam, manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau
mengembangkan bakat-pembawaannya

Hubungan Manusia dengan Sesamanya

Manusia berperan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang dapat dibedakan melalui hak dan
kewajibannya. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena manusia merupakan bagian dari masyarakat.
Hubungan manusia sebagai individu dengan masyarakatnya terjalin dalam keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan.

Membangun relasi dengan diri sendiri, sesama, lingkungan, dan Tuhan membutuhkan hati nurani
sebagai pedoman. Hati nurani menyuarakan tuntutan mutlak untuk selalu memilih yang baik dan
menolak yang buruk. Itu berarti tidak lain bahwa dalam hati nurani Anda bertemu dengan realitas
mutlak yang menuntut Anda memperhatikan Anda, dan Anda merasa malu apabila Anda mengelak dari
tuntutannya. Dengan kata lain, siapa yang mengikuti suara hatinya, dia akan taat pada tuntutan mutlak
untuk memilih yang baik dan menolak yang buruk sehingga Anda akan dapat bertumbuh dalam
mengembangkan relasi dengan diri sendiri, sesama, lingkungan, dan Tuhan.
Manusia dengan masyarakat

Manusia melaksanakan agamanya secara bersama dengan umat seiman dalam aneka upacara ibadat,
misalnya merayakan ibadah penerimaan anggota baru, inisiasi, menjalankan perintah-perintah agama
seperti puasa, berpantang, merayakan pesta dan menjalankan ziarah, dsb. Semua ini adalah aspek sosial
agama. Seluruh kompleks perwujudan lahiriah serta sosial ini sering pula dimaksudkan dengan agama
atau religi. Agama dalam arti seperti ini, dilaksanakan di tengah-tengah khalayak ramai. Sejauh agama
berupa lembaga sosial, terjadi pengaruh timbal-balik antara agama dan masyarakat. Agama menerima
dari lingkungan sosio-budaya sarana-sarana seperti bahasa, cara-cara ekspresi simbolis, tata pergaulan,
nilai-nilai etis, dst. Beberapa bentuk lahiriah dan cara mengekpresikan keyakinan keagamaan sudah
digunakan secara turun-temurun, sehingga bentuk-bentuk tersebut dianggap sebagai suatu yang mutlak
tidak terpisahkan dari iman (umpamanya, bahasa ‘suci’, tata upacara ibadat, kedudukan wanita, bentuk
lembaga-lembaga sosial seperti mesjid, pure atau gereja). Padahal sebenarnya, bentuk-bentuk tertentu
meskipun bentuk itu sudah terdapat pada zaman pendiri agama itu – hanya kebetulan, bukan hakiki dan
dengan demikian sebenarnya juga terbatas pada lingkungan kebudayaan tertentu saja, sehingga boleh
dan kadang-kadang harus diubah dalam lingkungan kebudayaan lain (misalnya hubungan agama dengan
negara, kedudukan wanita, bahasa ibadat).

Iman yang lepas dari kehidupan masyarakat dan kebudayaan, bukanlah iman yang konkret dan
sebetulnya bukan iman yang benar. Iman yang konkret selalu menyangkut hidup yang konkret, dan tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat serta kebudayaan. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang asing bagi
iman. “Inkulturasi” sebetulnya sesuatu yang aneh, seolah-olah ada iman di luar kebudayaan dahulu,
yang kemudian mencoba masuk ke dalam suatu kebudayaan tertentu dan “mengenakan” kebudayaan
itu bagaikan pakaian. Iman dari semula dihayati dalam suatu kebudayaan tertentu dan senantiasa
mendapat bentuk yang baru. Iman tidak pernah terikat pada satu kebudayaan atau bahasa. Konsili
Vatikan II malah berani berkata, bahwa Allah sendiri “telah bersabda menurut kebudayaan yang khas
bagi pelbagai zaman” (GS 58). Tidak semua orang akan setuju dengan pernyataan ini. Ada agama yang
berpendapat bahwa wahyu Allah terikat pada bahasa dan kebudayaan tertentu, dan bahwa
“terjemahan” dalam kebudayaan lain, bukan lagi wahyu Allah yang asli.

Anda mungkin juga menyukai