Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kayu putih (Melaleuca leucadendron, LINN) merupakan tanaman yang

tidak asing bagi masyarakat di Indonesia karena dapat menghasilkan minyak kayu

putih (cajuputi oil) yang berkhasiat sebagai obat, insektisida dan wangi-wangian.

Selain itu, pohon kayu putih dapat digunakan untuk konservasi lahan kritis dan

kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan (bukan sebagai bahan

bangunan). Dengan demikian, kayu putih memiliki nilai ekonomi cukup tinggi

(Sunanto, 2003). Minyak kayu putih merupakan produk hasil hutan bukan kayu

(HHBK) dan termasuk produk utama tanaman kayu putih yang diperoleh melalui

proses penyulingan daun dan ranting kayu putih. Nilai ekonomi tanaman kayu

putih yang cukup tinggi ini menyebabkan kayu putih menjadi tanaman budidaya

dan saat ini sudah banyak dibudidayakan di berbagai daerah.

Tujuan utama pembangunan hutan kayu putih adalah untuk diambil

daunnya. Melalui proses pemangkasan, daun yang sudah tua (umur 6-12 bulan)

dipanen dan kemudian dilakukan penyulingan (Kasmudjo, 2010). Tegakan yang

diperuntukkan sebagai produksi daun kayu putih merupakan tegakan yang telah

dilakukan pemangkasan batang. Batang pohon kayu putih tersebut dipangkas pada

ketinggian 110 cm di atas permukaan tanah pada umur 4-5 tahun setelah

penanaman (Kasmudjo, 2010). Pemangkasan ini akan mempermudah

pengambilan daun kayu putih selanjutnya. Setelah dipangkas, pohon tersebut akan

mengalami pertumbuhan tunas dan akan membentuk tajuk baru.

1
2

Kemampuan produksi daun kayu putih dapat ditingkatkan dengan

melakukan intensif pemeliharaan melalui silvikultur hutan pangkas (coppice

system). Perlakuan pemangkasan ini akan memacu tumbuhnya tunas baru dan

akan semakin bertambah banyak, setiap kali dilakukan pemangkasan. Pencapaian

target pungutan daun selama ini masih menggunakan metode konvensional yaitu

dengan inventarisasi menggunakan produksi daun rata-rata sehingga perlu

dicarikan alternatif atau metode lain dalam penaksiran daun dan ranting kayu

putih.

Dalam rangka mengetahui volume produksi daun kayu putih, penaksiran

produksi daun kayu putih dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan

diameter batang. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa semakin besar

diameter, semakin luas bidang dasarnya sehingga memungkinkan semakin banyak

cabang yang tumbuh karena tersedianya ruang tumbuh yang akhirnya

meningkatkan produksi daun dan ranting kayu putih (Laily, 2009). Semakin

banyak cabang/tunas yang tumbuh, akan semakin banyak pula daun yang

dihasilkan. Dengan asumsi tersebut, maka penaksiran produksi daun kayu putih

dengan pendekatan diameter dirasa tepat dilakukan.

RPH Menggoran merupakan salah satu penghasil daun kayu putih yang

terdapat di BDH Playen, KPH Yogyakarta. Tegakan kayu putih di RPH

Menggoran memiliki struktur tegakan yang beragam. Struktur tegakan yang

beragam dapat berpengaruh terhadap produktivitas suatu tegakan (Clutter, 1983).

Adanya variasi kelas diameter yang besar pada tegakan kayu putih tentu akan

berpengaruh terhadap produktivitas daun kayu putih, oleh karena itu pendekatan
diameter batang untuk menaksir produksi daun kayu putih di RPH Menggoran

perlu dilakukan.

Hingga kini total luas tanaman kayu putih di Indonesia mencapai lebih

dari 248.756 ha (Sunanto, 2003). Kebutuhan nasional terhadap permintaan

minyak kayu putih (MKP) sebesar 1.500 ton per tahun dan baru dapat dipenuhi

oleh industri dalam negri sebanyak 450 ton per tahun yang sebagian besar berada

di Wilayah Perum Perhutani dengan produksi tahunan mencapai 300 ton minyak

kayu putih (MKP). Produksi tahunan di Kepulauan Ambon mencapai 90 ton

dengan bahan baku dari tegakan alam, serta D.I Yogyakarta 50 ton. Kekurangan

produksi MKP tersebut dipenuhi melalui import yang sebagian besar berasal dari

Cina (Kartikawati et al., 2014).

Luas hutan kayu putih yang ada di Yogyakarta mencapai 4.603,72 ha dan

produksi daun yang dihasilkan 4794,48 ton. Daun tersebut diolah oleh 4 pabrik

yaitu pabrik gelaran, sendangmole, kediwung dan dlingo. Minyak kayu putih yang

dihasilkan sebanyak 46.321 liter yang setara dengan Rp. 7.581.090.000,-.

(Departemen Khutanan, 2014). Meskipun mempunyai prospek cerah dan memiliki

andil besar terhadap pendapatan daerah, keberadaan pabrik penyulingan minyak

kayu putih yang ada di komplek hutan Sendangmole Desa Gading Kecamatan

Playen, masih terhambat masalah bahan baku berupa daun kayu putih. Pabrik

kayu putih yang memiliki empat tabung stainliess stell ini dapat mengolah 6 ton

daun kayu putih. Dengan proses selama 6 jam maka diperoleh sebanyak 60 liter

minyak kayu putih. “Jika bisa maksimal, maka ada enam kali operasi dalam

sehari, namun demikian, kebutuhan daun kayu putih masih belum tercukupi”
demikian kata Bambang Prijambada, Kepala Bidang Sertivikasi Mutu Benih

Dinas Kehutanan Provinsi DIY (Berita Daerah, 2015). Oleh karena itu, perlu

diketahui potensi daun kayu putih di Yogyakarta hususnya di RPH Menggoran.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang terjadi di RPH Menggoran berupa kematian pohon

kayu putih. Kematian tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain

serangan hama tikus pada akar kayu putih. Selain serangan hama tikus, kematian

juga terjadi akibat ulah manusia seperti perencekan tanaman kayu putih dan

perusakan tanaman muda (Sukma, 2010). Kematian juga terjadi karena ulah

pesanggem itu sendiri. Adanya pola pangkas mati pada tegakan kayu putih yang

sudah besar, mengakibatkan datangnya semut dan rayap pada tanaman tersebut,

sehingga menghambat pertumbuhan tunas selanjutnya.

Agar jumlah tanaman kayu putih per hektar (n/ha) tetap terpenuhi, maka

dilakukan pengkayaan tanaman berupa penyulaman dengan menggunakan

tanaman muda. Dampak positif dari adanya praktek penyulaman yang dilakukan

yaitu produksi daun kayu putih di RPH Menggoran masih tetap stabil. Namun

adanya penyulaman tersebut mengakibatkan munculnya variasi diameter batang

kayu putih yang cukup besar atau munculnya kelas diameter yang beragam.

Menurut Anonim (2014), tegakan di RPH Menggoran diklasifikasikan menjadi 6

kelas diameter. Besarnya variasi kelas diameter tersebut diasumsikan memiliki

pengaruh yang besar pula terhadap produktivitas daun kayu putih.


1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui model persamaan pada berbagai kelas diameter kayu putih.

2. Mengetahui potensi produksi daun kayu putih menggunakan model

persamaan yang telah terbentuk.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pelajar atau

akademisi sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil penelitian

ini juga diharapkan dapat digunakan oleh pengelola hutan tanaman kayu putih

sebagai dasar untuk menaksir potensi produksi daun kayu putih, khususnya di

RPH Menggoran.

Anda mungkin juga menyukai