BPK menemukan sejumlah masalah dalam pemeriksaan kinerja KPK yaitu terkait perubahan
peraturan KPK yang termaktub dalam Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020. Temuan
BPK, Perkom tersebut tidak disertai kajian dan analisis sehingga banyak direktorat yang tidak
diatur dari segi tugas dan fungsinya.
"Mendukung tugas dan fungsi koordinasi bidang pencegahan dan pengelolaan atas benda sitaan dan
barang rampasan. Di antaranya, penyusunan Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020
belum didukung kajian, analisis, dan penyelarasan yang memadai serta terdapat tugas dan fungsi
yang tidak lagi diatur dalam Perkom 7 Tahun 2020 antara lain kewenangan dan unit kerja
pelaksana tugas koordinasi pencegahan KPK, tugas dan fungsi Direktorat Pelacakan Aset
Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi), pelaksana fungsi pengembangan aplikasi sistem
informasi dan data Direktorat Labuksi, serta uraian pekerjaan/job description terkait pengelolaan
titipan uang sitaan dan uang gratifikasi," tulis BPK
BPK mencatat hal itu kemudian berakibat pada melemahnya fungsi pencegahan dan pengelolaan
benda sitaan dan barang rampasan oleh KPK. Upaya pencegahan korupsi pun tidak berjalan efektif
serta tidak ada payung hukum yang melandasi dasar pelaksanaan kegiatan.
"Akibatnya, upaya untuk memperkuat fungsi pencegahan dan pengelolaan benda sitaan dan barang
rampasan berpotensi tidak dapat dilaksanakan secara efektif, serta potensi tidak terlaksananya
payung hukum yang dapat menjadi dasar pelaksanaan kegiatan," ungkap BPK.
Poin berikutnya, BPK melaporkan monitoring center for prevention (MCP) yang dilakukan KPK
untuk pencegahan korupsi belum memadai. BPK menilai dalam hal ini tidak ada sarana dan
prasarana yang mendukung fungsi kegiatan MCP ini sehingga tidak optimal dalam pembobotan
nilai pencegahan korupsi di tingkat pemerintah daerah.
"Upaya pencegahan korupsi melalui fungsi koordinasi dan monitoring pada kegiatan Monitoring
Center for Prevention (MCP) belum dilaksanakan secara memadai. Di antaranya, pada dukungan
sarana dan prasarana untuk pelaksanaan fungsi koordinasi dan monitoring pencegahan korupsi
belum optimal, proses penyusunan indikator dan subindikator serta pembobotan nilai area
intervensi pencegahan korupsi pada tata kelola pemerintah daerah belum memadai dan belum
melibatkan kementerian/lembaga/pemda sebagai stakeholder, penerapan pedoman kegiatan
monitoring pencegahan korupsi pada tata kelola pemerintah daerah belum sepenuhnya konsisten,"
kata BPK.
"Akibatnya, kegiatan MCP oleh Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah)
belum optimal dalam mendukung upaya pencegahan korupsi," tulis BPK.
Tak hanya sampai di situ, pemeriksaan BPK terhadap kinerja KPK dalam pelaksanaan penindakan
dan eksekusi barang sitaan belum dilakukan dengan optimal. Seperti di Direktorat Penyelidikan
yang kurang optimal dalam melakukan pengawasan terhadap barang titipan satgas penyelidikan.
"Pelaksanaan fungsi penindakan dan eksekusi belum mendukung pengelolaan benda titipan/sitaan,
barang rampasan dan benda sita eksekusi secara memadai. Diantaranya pada Direktorat
Penyelidikan yang belum optimal dalam melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap
pengelolaan benda/barang titipan yang masih dikuasai oleh penyelidikan/satgas penyelidikan," tulis
BPK.
Masih dalam fungsi penindakan, Direktorat Penyelidikan dan Direktorat Labuksi juga belum
menetapkan SOP yang mengatur mekanisme rekonsiliasi data surat tanda penerima barang bukti
(STPBB). Hal itulah, kata BPK, yang menyebabkan pengelolaan data dan administrasi penindakan
tidak akurat dan transparan.
"Selain itu, Direktorat Penyelidikan dan Direktorat Labuksi juga belum menyusun dan menetapkan
SOP yang mengatur mekanisme rekonsiliasi data Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti (STPBB).
KPK juga belum memiliki fasilitas penyimpanan barang bukti yang memadai. Akibatnya, tujuan
pengembangan aplikasi SINERGI untuk mendukung pengelolaan data dan informasi administrasi
penindakan secara lengkap, terintegrasi, mutakhir dan akurat belum dicapai dan pelaksanaan
benda/barang titipan di tahap penyelidikan menjadi belum terukur dan belum dapat dievaluasi
kinerjanya secara akurat serta ketidakkonsistenan pelaksanaan dengan SOP sehingga informasi
barang titipan dalam tahap penyelidikan menjadi kurang akurat dan transparan," ungkap BPK.
KPK pun angkat bicara perihal pemeriksaan kinerja pencegahan korupsi oleh BPK pada semester II
tahun 2020 itu. KPK menyebut tak semestinya BPK menyimpulkan efektivitas upaya pencegahan
KPK hanya dari sisi koordinasi dan supervisi pencegahan.
"Permintaan KPK agar BPK mengaudit pencegahan yang dilakukan oleh KPK juga didasarkan
pada tujuan untuk terus meningkatkan kinerja di bidang pencegahan. Sehingga, menurut kami
kurang tepat jika menyimpulkan efektivitas upaya pencegahan KPK hanya dengan sampel dari unit
korsupgah," kata Plt Juru Bicara KPK, Ipi Maryatu Kuding dalam keterangan pers tertulisnya.
KPK, kata Ipi, juga telah menindaklanjuti rekomendasi BPK untuk memperbaiki Perkom 7 tahun
2020 yang telah diputuskan pada April 2021 saat rapat evaluasi atas audit kinerja. Ipi mengklaim
MCP yang menjadi alat ukur pembangunan tata kelola pemda untuk pencegahan korupsi telah
berjalan efektif dan strategis.
"Rekomendasi lain tentang korsupgah, yaitu BPK menilai bahwa Monitoring Center for Prevention
(MCP) Korsupgah untuk mengukur kemajuan pembangunan tata kelola pemerintahan daerah untuk
pencegaham korupsi dalam 8 elemen, sangat efektif dan strategis. Bahkan direkomendasikan untuk
memperkuat regulasi terkait MCP dalam bentuk Perpres atau aturan lainnya, sehingga kemudian
dapat dikelola bersama-sama dengan kementerian/lembaga dan instansi lainnya," kata Ipi.
Ipi menuturkan kelemahan MCP yang dilaporkan BPK telah diperbaiki sarana dan prasana yang
mendukung. KPK, lanjut Ipi, juga telah merevisi indikator penilaian agar lebih realistis.
"Rekomendasi berikut diberikan terkait dengan kelemahan MCP berdasarkan pengamatan BPK di
lapangan. Perbaikan MCP direkomendasikan berupa (a) penguatan dukungan sarana dan prasarana
di pemda, (b) revisi indikator penilaian agar lebih tajam dan realistis dan pelibatan
kementerian/lembaga/pemda sebagai stakeholder, serta (c) penerapan pedoman monitoring
pencegahan korupsi pada tata kelola pemda," imbuhnya.
Sumber :
https://news.detik.com/berita/d-5639696/penjelasan-kpk-soal-audit-bpk-sebut-pencegahan-kurang-
efektif.
Organisasi sektor publik merupakan sektor pelayanan yang menyediakan barang dan jasa
bagi masyarakat umum dengan sumber dana yang berasal dari pajak dan penerimaan negara
lainnya, dimana kegiatanya banyak diatur dengan ketntuan dan peraturan. Pemerintah sebagai
pertanggungjawab dalam pelaksana sektor publik memiliki tujuan fungsi dalam
pertanggungjawaban pelaporan dengan apek-aspek sektor publik sebagai berupa :
Sehingga berdasarkan 3 analisis diatas, adanya sara rekomendasi yang mampu meningkatkan
fungsi dan tanggungjawa KPK selaku penyelanggaran di sektor publik yaitu:
1. BPK menilai bahwa Monitoring Center for Prevention (MCP) Korsupgah untuk
mengukur kemajuan pembangunan tata kelola pemerintahan daerah untuk pencegaham
korupsi dalam 8 elemen, sangat efektif dan strategis.
2. Untuk memperkuat regulasi terkait MCP dalam bentuk Perpres atau aturan lainnya,
sehingga kemudian dapat dikelola bersama-sama dengan kementerian/lembaga dan
instansi lainnya
3. penguatan dukungan sarana dan prasarana di pemda,
4. revisi indikator penilaian agar lebih tajam dan realistis dan pelibatan
kementerian/lembaga/pemda sebagai stakeholder, serta
5. penerapan pedoman monitoring pencegahan korupsi pada tata kelola pemda," imbuhnya