Anda di halaman 1dari 36

PROBLEMATIKA HUKUM COMMUNITY POLICING DAN

PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT DALAM


KAJIAN HUKUM PROGRESIF

MAKALAH 

DOSEN PENGAMPU: 

Dr. M. HATTA ROMA TAMPUBOLON, SH., MH. 

Makalah ini disusun untuk memenuhi penugasan


Mata Kuliah Sosiologi Hukum pada Semester
Ganjil TA. 2021/2022 Program Magister Hukum
Fakultas Hukum 

Oleh :  

NURHIJRA LAHIYA
NIM: D 102 21 061 

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM 


UNIVERSITAS TADULAKO 
PALU 
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur tak henti – hentinya penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH
SWT, Tuhan Yang Maha Esa Atas berkat rahmatnya penulis dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini. Melalui makalah ini penulis membahas mengenai
“Problematika Hukum Community Policing dan Perlindungan Hukum
Masyarakat Dalam Kajian Hukum Progresif”.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan makalah ini tidaklah terlepas
dari pihak – pihak terkait. Atas segala bantuan dan yang diberikan penyusunan
mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya. Penulis menyadari bahwa ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena, itu penulis mengharapkan masukan
dan kritik yang  membangun dari dosen yang membaca makalah ini. Penulis
berharap hasil dari makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membutuhkannya. Semoga makalah ini dapat meningkatkan  pemahaman kita di
masa  yang akan datang. Amin.

Palu,   November  2021

            
  Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................... 2

Daftar Isi..................................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang Masalah...................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 27

1.3 Tujuan Penulisan................................................................................ 28

1.4. Manfaat Penulisan............................................................................. 28

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pluralisme Hukum Di Indonesia............................................................... 12

BAB IV PENUTUP

3.1 Kesimpulan............................................................................................31

3.2 Saran.......................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................33

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa reformasi ini fungsi dan peran Kepolisian Negara

Republik Indonesia dari masa ke masa selalu menjadi bahan perbincangan

berbagai kalangan, mulai dari praktisi hukum maupun akademis bahkan

masyarakat kebanyakan.1 Terutama dalam hal mengatasi tingginya tingkat

kejahatan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Kejahatan adalah

suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat

tertentu atau dalam negara tertentu.2

Kejahatan membawa kerugian yang besar bagi masyarakat, baik

kerugian yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Kerugian yang

diderita oleh masyarakat dalam jumlah yang tidak sedikit akibat adanya

kejahatan, menyebabkan tingginya tuntutan masyarakat terhadap

dibuatnya langkah-langkah untuk melakukan pencegahan kejahatan.3

Peningkatan peranan Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya

disingkat dengan POLRI) dalam menanggulangi kejahatan yang ada di

Indonesia sangatlah dibutuhkan, baik yang sifatnya preventif, represif

maupun tindakan lainnya agar dapat menimbulkan kesadaran dan ketaatan

dalam mematuhi aturan-aturan hukum yang ada, sehingga terwujudanya

keteraturan dan kedisiplinan dalam masyarakat. Tugas di bidang preventif

1
W. Hadi Utomo, “Hukum Kepolisian Indonesia”, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2005, hlm.3
2
Topo Santoso, Polisi dan Jaksa, Pergulatan atau Keterpaduan, cet.1 Jakarta: Pusat Studi Peradilan
Pidana Indonesia, 2000, hlm. 17
3
Ibid hlm 18

4
dilaksanakan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud pemberian

pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, agar

masyarakat merasa aman, tertib dan tentram tidak terganggu segala

aktivitasnya. 4

Community Policing (selanjutnya disebut sebagai Pemolisian

Komunitas) adalah suatu upaya kolaborasi antara polisi dan komunitas

untuk mengidentifikasi masalah-masalah kejahatan dan ketidak-tertiban

dan untuk mengembangkan policing Pemolisian Komunitas, baik sebagai

filosofi dan sebuah strategi organisasional, membawa polisi dan penduduk

komunitas untuk bekerja bersama secara erat dalam sebuah cara baru

untuk menyelesaikan masalah-masalah kejahatan., ketakutan terhadap

kejahatan, ketidak-tertiban phisik dan sosial, dan pembusukkan

lingkungan ketetangganya.

Konsep Pemolisian Komunitas telah dipergunakan secara luas di

kalangan organisasi polisi, tetapi konsep tersebut belum dapat memberikan

gambaran yang tepat tentang maknanya. Berkenaan dengan hal tersebut,

terdapat dua ciri utama dari kata-kata itu yang dapat diketengahkan yaitu :

pertama, kegiatan Pemolisian Komunitas dapat diartikan sebagai penataan

kembali kegiatan polisi secara intern yang lebih di arahkan pada wawasan
4
Sadjijono, Hukum Kepolisian, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2006, hlm. 119

5
kemasyarakatan; kedua, kegiatan Pemolisian berpendekatan

kemasyarakatan diartikan sebagai kegiatan polisi yang aktif mendorong

adanya peran serta masyarakat dan hubungan baik antara polisi dengan

masyarakat. Pengertian yang pertama merujuk kepada kegiatan polisi yang

bersifat pro aktif dalam rangka membina hubungan baik antara polisi dan

masyarakat, misalnya melalui kegiatan perondaan lingkungan yang bukan

untuk keadaan bahaya dan pendirian pos-pos mini ataupun pos polisi di

kampong-kampung. Ciri yang kedua merujuk pada peran serta masyarakat

dalam menanggulangi kejahatan, misalnya melalui sistem keamanan

lingkungan (siskamling). Pemolisian Komunitas dianggap revolusioner

karena menawarkan resolusi-resolusi baru bagi masalah-masalah sosial

yang telah lama ada. Elemen yang dapat mengangkat community policing

juga telah ada sejak lama. Pemolisian Komunitas juga merupakan sebuah

gejala yang mendunia dan berkembang secara konstan.

Banyak orang mungkin saja berpikir bahwa konsepsi dari

pemolisian yang berorientasi komunitas adalah sesuatu hal yang baru

tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Sebelum petugas polisi

bermobil diperkenalkan, petugas polisi ditugasi untuk melakukan patroli

6
jalan kaki, yang memberikan suatu kesempatan kepada mereka mengenal

penduduk di mana mereka bekerja. Kontak

personal ini menyebabkan hubungan antara petugas polisi dan warga

komunitas menjadi akrab. Pada gilirannya, polisi dapat lebih mengenal

masalah-masalah sosial yang ada di lingkungan komunitas. Peningkatan

jumlah petugas polisi secara perorangan bukanlah merupakan jawaban

bagi menurunnya kejahatan. Polisi dan komunitas harus menciptakan

sebuah kemitraan dalam pemolisian dan mengembangkan hubungan-

hubungan baru yang positif. Banyak orang percaya bahwa polisi adalah

garis terdepan bagi pertahanan melawan kejahatan, tetapi pendapat yang

demikian adalah tidak tepat karena yang sebenarnya adalah komunitas.

Komunitas mengawasi kejahatan dan petugas polisi hanya

merupakan catalyst. Kepolisian tidak lagi dapat melindungi masyarakat

secara sendirian terhadap kejahatan, tetapi mereka harus berkoordinasi

dengan komunitas. Dalam kemitraan komunitas, polisi harus

mengembangkan hubungan-hubungan positif dengan komunitas. Artinya

bahwa polisi harus melibatkan komunitas dalam upaya-upaya pencegahan

dan pengurangan kejahatan. Mereka secara kolektif harus menempatkan

7
komunitas dalam upayaupaya keterlibatan dan pemecahan masalah-

masalah kamtibmas.

setelah mengalami kekalahan dalam perang dunia ke II pada tahun

1945, Jepang mulai membangun prinsip-prinsip demokrasi dalam

pemerintahannya. Pemerintah menghapuskan keberadaan kekuatan militer

dan menggantinya dengan Pasukan Bela Diri serta mengganti sistem

hukum Eropa Kontinental dengan sistem hukum Anglo Saxon.

Dalam bidang kepolisian, Pemerintah melakukan reformasi

struktur dan misi kepolisian dengan membangun suatu kepolisian yang

berdiri di atas prinsipprinsip demokrasi. Reformasi kepolisian tersebut

meliputi 3 substansi pokok, yaitu : (a) melakukan re-organisasi dari bentuk

kepolisian terpusat menjadi kepolisian pemerintahan; (b) mendirikan

Komisi Keamanan Umum; (c) mengurangi kekuasaan administratif

kepolisian yang terlalu besar (Walter. 1981: 21).

Dalam pelaksanannya Kepolisian Jepang berada di bawah

pengawasan Komisi Keamanan Umum (Public Safety Comission) baik

pada tingkat maupun tingkat Prefektur . Tugas utama komisi tersebut

adalah untuk menjaga kegiatan polisi agar tetap berada pada rel yang

8
demokratis dan netral serta melakukan tugas-tugas hanya untuk

melindungi, menjaga dan melayani masyarakat. Mulai

saat itu juga fungsi Koban, yang sebelumnya dititik-beratkan pada

kegiatan untuk memata-matai kegiatan rakyat, berubah menjadi fungsi

terdepan kegiatan kepolisian demokratis yang dekat dengan masyarakat

(Mee. 1988: 34). Struktur dan status kepolisian yang semula bersifat

nasional dan terpusat dirubah menjadi kepolisian pemerintahan. Pada saat

itu terdapat kebijakan pemerintah bahwa pada setiap 5.000 orang

penduduk didirikan sebuah kantor polisi (Police Station / kantor polisi

setingkat Polres), dengan demikian jumlah

kantor polisi meningkat dengan cepat. Dan Pemerintah menempatkan

sistem kepolisian pada pemerintah daerah tingkat II/ Kotamadya atau

Kabupaten. Sehingga pemerintah daerah tingkat II dapat mengatur sistem

kepolisiannya sendiri. Kantor-kantor polisi dan asrama-asrama serta segala

fasilitasnya dibangun dengan menggunakan biaya pemerintah Daerah

tingkat II (Walter. 1981: 24).

Pada tahun 1952 dilakukan perubahan mendasar pada sistem

kepolisian. Dengan pertimbangan bahwa anggaran kepolisian dirasakan

9
sangat memberatkan pemda tingkat II dan penanganan kejahatan tidak

dapat dilakukan dalam ruang lingkup yang lebih luas, maka sistem

Kepolisian dilakukan penyempurnaan sistem kepolisian dengan cara

memadukan sistem polisi nasional dengan polisi daerah namun basis

operasional berada pada setiap kepolisian Prefektur. Sistem kepolisian

yang semula ditempatkan pada pemerintah daerah tingkat kotamadya atau

Kabupaten dikembalikan ke pemerintah daerah tingkat Propinsi (Mee,

1988:34).

Kebijakan tersebut diikuti dengan pembentukan Markas Besar

Kepolisian Prefektur/ Police Prefecture Headquarter (PPH), pembentukan

Komisi Kemanan Umum pada setiap Prefektur yang mengawasi tugas-

tugas polisi di wilayah setempat, serta peresmian NPA (National Police

Agency) sebagai Badan Kepolisian Nasional Jepang. Status polisi yang

semula adalah sebagai pembantu Jaksa dirubah menjadi polisi yang

mandiri, sehingga dia dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan

pidana secara independent. Karena tingginya aktifitas pelaksanaan

kegiatan-kegiatan tersebut maka peranan Koban dan Chuzaisho menjadi

sangat populer di dalam masyarakat Jepang (Mee. 1988: 36)

10
Istilah Koban pernah diganti dengan nama “Police Box“, akan

tetapi karena masyarakat Jepang merasa lebih dekat dengan istilah Koban,

maka pada akhirnya istilah Koban kembali digunakan sebagai unit

terdepan pelaksanaan misi kepolsian yang demokratis.

Pencegahan kejahatan by neighborhood di Jepang sangat signifikan

untuk memberikan rasaaman kepada masyarakat dan mencegah kejahatan

jalanan dan perampokan rumahan.5 (Anna, 2018) Salah satu aktivitas yang

tinggi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari para petugas kepolisian Koban

dan Chuzaisho adalah kegiatan patroli. “Patroli” bahkan menjadi satu

bagian tersendiri dalam struktur organisasi Kepolisian yaitu dengan

dibentuknya seksi patroli polisi (patrol police) (Walter. 1981:

26).Penggunaan isitilah “Community Police” atau “Polisi Masyarakat”

pada Kepolisian Jepang dimulai pada tahun 1993. Di Negara berkembang

seperti Zimbabwe mengakui pula bahwa community policing

(istilah yang digunakan adalah Komisi Pengawas Lingkungan /The

Neighbourhood Watch Committee), sebagai langkah strategis dalam

menanggulangi kejahatan, dengan memposisikan kepala Adat sebagai

5
Anna, M. S. (2018, September ). Crime Prevention Through Community Empowerment: An
Empirical Study Of Social Capital In Kyoto, Japan. International Journal of Law,
Crime and Justice, 54, 89 - 101

11
orang berperan penting untuk keberhasilan strategi ini. Peran yang

diberikan dari perekrutan anggota Komite Pengawas Lingkungan sampai

dengan mengorganisir anggota.6 Kepolisian Masyarakat di Ethiopia bisa

menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat dalam menanggulangi

kejahatan, sehingga masyarakat berpandangan bahwa keamanan

masyarakat merupakan kebutuhan bersama.7

Istilah tersebut diilhami dari tulisan David Bayley yang berisi

tentang hasil penelitian mengenai sistem Koban dan Chuzaisho di Jepang.

Dalam tulisannya ia menggambarkan bahwa misi utama Koban dan

Chuzaisho adalah memecahkan permasalahan penduduk serta melayani

masyarakat. Kedua hal tersebut lebih diutamakan dari pada menangani

kejahatan (Mee. 1988: 37).

Dengan community policing maka Kepolisian Jepang lebih menitik

beratkan pada kegiatan-kegiatan prefentif dibandingkan tindakan represif.

Dengan mengedepankan kegiatan-kegiatan yang mengutamakan problem

solving, pelayanan masyarakat, pembangunan hubungan baik dengan

masyarakat serta berbagai kegiatan yang secara nyata dapat mendekati

6
Zikhali, W. (2019, November 04). Community Policing and Crime Prevention: Evaluating the
Role of Traditional Leaders under Chief Madliwa in Nkayi District, Zimbabwe. International
Journal for Crime, Justice and Social Democracy, 8(4), 109 - 122.
7
Italemahu, M. T. (2019, October ). Crime Prevention Through Community Policing
Interventions: Evidence from Harar City, Eastern Ethiopia. Humaniora, 31(3), 326 - 337

12
perwujudan rasa aman dalam masyarakat.Tindakan yang dilakukan antara

lain : patroli, melakukan kunjungan kepada masyarakat, memberikan

pengarahan atau konseling dan mengusahakan partisipasi masyarakat di

wilayahnya untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan petugas polisi

di Koban atau Chuzaisho. Penindakan hukum dilakukan secara terbatas,

yaitu : mendatangi tempat kejadian perkara, melakukan

penindakan hukum terhadap pelanggar lalu lintas dan menangkap orang

pada perkara yang tersangkanya tertangkap tangan dan segera

menyerahkan kepada kantor polisi setingkat Polres (police station) (Mee.

1988: 37)

Banyak orang mungkin saja berpikir bahwa konsepsi dari

pemolisian yang berorientasi komunitas adalah sesuatu hal yang baru

tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Sebelum petugas polisi

bermobil diperkenalkan, petugas polisi ditugasi untuk melakukan patroli

jalan kaki, yang memberikan kepadanya suatu kesempatan kepada mereka

mengenal penduduk di mana mereka bekerja. Kontak personal ini

menyebabkan hubungan antara petugas polisi dan warga komunitas

menjadi akrab. Pada gilirannya, polisi dapat lebih mengenal masalah-

13
masalah sosial yang ada di lingkungan komunitas. Peningkatan jumlah

petugas polisi secara perorangan bukanlah merupakan jawaban bagi

menurunnya kejahatan. Polisi dan komunitas harus menciptakan sebuah

kemitraan dalam pemolisian dan mengembangkan hubungan-hubungan

baru yang positif.

Banyak orang percaya bahwa polisi adalah garis terdepan bagi

pertahanan melawan kejahatan, tetapi pendapat yang demikian adalah

tidak tepat karena yang sebenarnya adalah komunitas. Komunitas

mengawasi kejahatan dan petugas polisi hanya merupakan catalyst.

Kepolisian tidak lagi dapat melindungi masyarakat secara sendirian

terhadap kejahatan, tetapi mereka harus berkoordinasi dengan komunitas.

Dalam kemitraan komunitas, polisi harus mengembangkan

hubungan-hubungan positif dengan komunitas. Artinya bahwa polisi harus

melibatkan komunitas dalam upaya-upaya pencegahan dan pengurangan

kejahatan. Mereka secara kolektif harus menempatkan komunitas dalam

upayaupaya keterlibatan dan pemecahan masalah-masalah kamtibmas

Setelah mengalami kekalahan dalam perang dunia ke II pada tahun

1945, Jepang mulai membangun prinsip-prinsip demokrasi dalam

14
pemerintahannya. Pemerintah menghapuskan keberadaan kekuatan militer

dan menggantinyadengan Pasukan Bela Diri serta mengganti sistemhukum

Eropa Kontinental dengan sistem hukum Anglo Saxon (Walter. 1981: 21)

Dalam bidang kepolisian, Pemerintah melakukan reformasi

struktur dan misi kepolisian dengan membangun suatu kepolisian yang

berdiri di atas prinsipprinsip demokrasi. Reformasi kepolisian tersebut

meliputi 3 substansi pokok, yaitu : (a) melakukan re-organisasi dari bentuk

kepolisian terpusat menjadi kepolisian pemerintahan; (b) mendirikan

Komisi Keamanan Umum; (c) mengurangi kekuasaan administratif

kepolisian yang terlalu besar (Walter. 1981: 21).

Dalam pelaksanannya Kepolisian Jepang berada di bawah

pengawasan Komisi Keamanan Umum (Public Safety Comission) baik

pada tingkat maupun tingkat Prefektur . Tugas utama komisi tersebut

adalah untuk menjaga kegiatan polisi agar tetap berada pada rel yang

demokratis dan netral serta melakukan tugas-tugas hanya untuk

melindungi, menjaga dan melayani masyarakat. Mulai

saat itu juga fungsi Koban, yang sebelumnya dititik-beratkan pada

kegiatan untuk memata-matai kegiatan rakyat, berubah menjadi fungsi

15
terdepan kegiatan kepolisian demokratis yang dekat dengan masyarakat

(Mee. 1988: 34).

Struktur dan status kepolisian yang semula bersifat nasional dan

terpusat dirubah menjadi kepolisian pemerintahan. Pada saat itu terdapat

kebijakan pemerintah bahwa pada setiap 5.000 orang penduduk didirikan

sebuah kantor polisi (Police Station / kantor polisi setingkat Polres),

dengan demikian jumlah kantor polisi meningkat dengan cepat. Dan

Pemerintah menempatkan sister kepolisian pada pemerintah daerah tingkat

II/ Kotamadya atau Kabupaten. Sehingga pemerintah daerah tingkat II

dapat mengatur sistem kepolisiannya sendiri. Kantor-kantor polisi dan

asrama-asrama serta segala fasilitasnya dibangun dengan menggunakan

biaya pemerintah Daerah tingkat II (Walter. 1981: 24).

Pada tahun 1952 dilakukan perubahan mendasar pada sistem

kepolisian. Dengan pertimbangan bahwa anggaran kepolisian dirasakan

sangat memberatkan pemda tingkat II dan penanganan kejahatan tidak

dapat dilakukan dalam ruang lingkup yang lebih luas, maka sistem

Kepolisian dilakukan penyempurnaan sistem kepolisian dengan cara

memadukan sistem polisi nasional dengan polisi daerah

namun basis operasional berada pada setiap kepolisian Prefektur. Sistem

16
kepolisian yang semula ditempatkan pada pemerintah daerah tingkat

kotamadya atau Kabupaten dikembalikan ke pemerintah daerah tingkat

Propinsi (Mee, 1988:34).

Kebijakan tersebut diikuti dengan pembentukan Markas Besar

Kepolisian Prefektur/ Police Prefecture Headquarter (PPH), pembentukan

Komisi Kemanan Umum pada setiap Prefektur yang mengawasi tugas-

tugas polisi di wilayah setempat, serta peresmian NPA (National Police

Agency) sebagai Badan Kepolisian Nasional Jepang. Status polisi yang

semula adalah sebagai pembantu Jaksa dirubah menjadi polisi yang

mandiri, sehingga dia dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan

pidana secara independent. Karena tingginya aktifitas pelaksanaan

kegiatan-kegiatan tersebut maka peranan Koban dan Chuzaisho menjadi

sangat populer di dalam masyarakat Jepang (Mee. 1988: 36)..

Istilah Koban pernah diganti dengan nama “Police Box“, akan

tetapi karena masyarakat Jepang merasa lebih dekat dengan istilah Koban,

maka pada akhirnya istilah Koban kembali digunakan sebagai unit

terdepan pelaksanaan misi kepolsian yang demokratis. Salah satu aktivitas

yang tinggi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari para petugas kepolisian

17
Koban dan Chuzaisho adalah kegiatan patroli. “Patroli” bahkan menjadi

satu bagian tersendiri dalam struktur organisasi Kepolisian yaitu dengan

dibentuknya seksi patroli polisi (patrol police) Penggunaan isitilah

“Community Police” atau “Polisi Masyarakat” pada

Kepolisian Jepang dimulai pada tahun 1993. Istilah tersebut diilhami dari

tulisanDavid Bayley yang berisi tentang hasil penelitian mengenai sistem

Koban dan Chuzaisho di Jepang. Dalam tulisannya ia menggambarkan

bahwa misi utama Koban dan Chuzaisho adalah memecahkan

permasalahanpenduduk serta melayani masyarakat. Kedua hal tersebut

lebih diutamakan dari pada menangani kejahatan.

Dengan community policing maka Kepolisian Jepang lebih menitik

beratkan pada kegiatan-kegiatan prefentif dibandingkan tindakan represif.

Dengan mengedepankan kegiatan-kegiatan yang mengutamakan problem

solving, pelayanan masyarakat, pembangunan hubungan baik dengan

masyarakat serta berbagai kegiatan yang secara nyata dapat mendekati

perwujudan rasa aman dalam masyarakat.

Tindakan yang dilakukan antara lain : patroli, melakukan

kunjungan kepada masyarakat, memberikan pengarahan atau konseling

dan mengusahakan partisipasi masyarakat di wilayahnya untuk berperan

18
aktif dan bekerja sama dengan petugas polisi di Koban atau Chuzaisho.

Penindakan hukum dilakukan secara terbatas, yaitu : mendatangi tempat

kejadian perkara, melakukan penindakan hukum terhadap pelanggar lalu

lintas dan menangkap orang pada perkara yang tersangkanya tertangkap

tangan dan segera menyerahkan kepada kantor polisi setingkat Polres

(police station.

Bentuk interaksi dan partisipasi masyarakat dalam membantu tugas

polisi (Koban atau Chuzaiso), salah satunya adalah Dewan Koban atau

Dewan Chuzaiso, yaitu sejumlah masyarakat yang mempunyai perhatian

tertentu terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungannya.

Mereka secara aktif memberikan informasi tentang berbagai hal yang

dianggap meresahkan dan membahayakan masyarakat, selain itu mereka

juga memberikan saran penanggulangan dan pencegahannya serta

bersama-sama dengan petugas polisi di Koban dan Chuzaisho melakukan

kegiatan kampanye pencegahan kejahatan seperti pencegahan penggunaan

obat bius, pencegahan terjadinya penjambretan atau kejahatan perampasan

tas. Koban dan Chuzaisho senantiasa diupayakan agar benar-benar

menjadi tempat bagi masyarakat Jepang menyampaikan berbagai

19
permasalahan. Dan juga senantiasa menumbuh kembangkan kepercayaan

masyarakat terhadap Polisi

Di Amerika Serikat, tuntutan masyarakat terhadap pengutamaan

pelaksanaan prinsip-prinsip moral dan demokrasi menjadi akar perubahan

pemolisaian di Lembaga Kepolisian. Strategi pemolisian tradisional yang

selama ini dijalankan Kepolisian di Amerika Serikat di anggap tidak

efektif dalam menekan angka kejahatan yang terjadi di Amerika Serikat.

Beberapa tindakan kepolisian tradisional yang selama ini dijalankan antara

lain adalah patroli pencegahan (preventive patrol), reaksi cepat ke Tempat

Kejadian Perkara termasuk 911 (quick response) serta penyidikan tindak

pidana (follow up investigation).

Kegagalan strategi pemolisian tradisional yang dialami oleh

Kepolisian Amerika Serikat ini dalam menekan angka kejahatan

menyebabkan direkomendasikannya perubahan mendasar dalam

pemolisian di Amerika Serikat. Tuntutan perubahan ini juga didorong oleh

beberapa faktor lainnya, yakni terjadinya perubahan masyarakat yang

sangat pesat, hubungan Polisi dengan warga yang menjadi semakin jauh

dan tantangan tugas Kepolisian yang semakin besar. Perlu ditekankan

bahwa dengan adanya perubahan mendasar sehingga muncul strategi baru

20
dalam pemolisian yang menekankan bahwa penanggulangan kejahatan

bukan tanggung jawab Polri saja maka dapat disimpulkan bahwa

pemolisian tradisional yang dijalankan Amerika Serikat selama ini telah

dianggap gagal dalam menjamin Kamtibmas.

Perubahan pemolisian di Amerika Serikat tersebut ditandai dengan

diberlakukannya konsep Problem-oriented Policing (Pemolisian

berorientasi pemecahan masalah) yang awalnya diperkenalkan oleh

Goldstein (1979).

Konsep ini pada dasarnya melihat kejahatan sebagai puncak

gunung es yang dibawahnya terdapat masalah dan akar masalah. Jika

selama ini dengan pemolisian tradisonal polisi cenderung menangani

kasus-kasus kejahatan yang terjadi (represif dan reaktif) maka dengan

konsep ini, Polisi disarankan agar melakukan analisa atas

kejahatan yang terjadi sehingga dapat mengungkapkan akar masalah

penyebab kejahatan. Menanggulangi akar masalah ini dipercaya akan

dapat menghilangkan berbagai kasus kejahatan yang terjadi berulang-

ulang.

Metode ini merubah cara penanganan kejahatan yang semula

reaktif menangani kasus menjadi proaktif dengan menangani akar masalah

21
kasus-kasus tersebut. Dalam pemolisian yang berorientasi pemecahan

masalah tersebut, metode yang populer digunakan antara lain

menggunakan model SARA (Scanning, Analysis, Response, dan Assess)

dan Segitiga Kejahatan (Crime triangle) yaitu analisa terhadap korban,

lokasi dan pelaku, yang semuanya merupakan ketrampilan baru bagi

petugas Polisi (Safir, Howard. 1997: 69). Salah satu proyek uji coba

tentang pemolisian baru ini dilakukan oleh Polisi San Diego dengan

memperkenalkan konsep “beat profiling”, di mana para anggota yang

bertugas disuatu lingkungan bersama warga mulai mempelajari.

topografi, demografi, dan sejarah situasi Kamtibmas wilayah

tugasnya. Anggota diberikan kebebasan menetapkan patroli sesuai kondisi

daerah masing-masing dan harapan warga komunitas di mana petugas

Polisi itu ditempatkan. Proyek uji coba ini kemudian menghasilkan

kesimpulan bahwa adalah sangat penting bagi petugas Polisi untuk

mendapatkan dukungan dan partisipasi warga dalam menjalankan

tugasnya menyelesaikan masalah sosial sehingga tidak menjadi ancaman

potensial bagi Kamtibmas (Safir, Howard. 1997: 72). Kesimpulan tersebut

membawa keyakinan yang besar bahwa polisi harus kembali

bermitra/bekerja sama dengan warga dan menggunakan pendekatan

22
pemecahan masalah bersama warga, bila ingin berhasil dalam memelihara

Kamtibmas. Dengan latar belakang hal-hal tersebut

konsep Community Policing (Pemolisian Komunitas) lahir dan

diterapkan oleh berbagai organisasi Polisi di Amerika dan kemudian

menyebar ke berbagai negara lain. Di Inggris, Pemerintah pusat, melalui

Departemen Dalam Negeri, memainkan peran kunci di bidang kepolisian

di Inggris. Hal ini diperkuat lagi dengan wewenang anggaran atas

komando kepolisian lokal yang dipegang oleh Departemen Dalam Negeri.

Namun demikian, Terdapat pula aspek-aspek desentralisasi administrasi

kepolisian dalam bentuk otoritas kepolisian lokal (Dewan Kota untuk

kepolisian kota London, Sekertariat Kepolisian Metropolitan

London dan komite-komite yang terdiri atas pejabat-pejabat daerah dan

majelis rendah untuk komando propinsi) dan dalam bentuk kepala

eksekutif ( dikenal sebagai kepala sector ) yang mengatur operasi sehari-

hari (Silverman, 1995: 37). Kegiatan kepolisian di Inggris terfokus pada

patrol, pencegahan kejahatan dan pembinaan tanggung jawab

(akuntabilitas). Pada saat ini di Inggris Pembinaan Kamtibmas menjadi

topik umum dalam diskusi professional maupun ilmiah tentang strategi

dan inovasi yang terkait dengan kebijakan

23
Pada masa lalu Polisi di Inggris dilihat sebagi pekerja sukarela

yang tidak disukai dan digambarkan dan dipersepsikan sebagai penindas.

Pada masa itu kepolisian merupakan sebuah instansi yang stabil, agak

konservatif dalam penampilan dan lambat menerima perubahan. Namun

seiring dengan perjalanan. waktu pada abad ke -19 terdapat beberapa

penyesuaian yang dapat dilihat dari beberapa kebijakan kepolisian di

beberapa kota di Inggris yang beralih menjadi Polisi Baru yang lebih

professional , direkrut dari masyarakat yang dilayaninya.

Di Tahun 1960-an polisi dilihat sebagai penyedia layanan sosial

dan dengan demikian perlu menunjukkan tanggung jawab kepada

masyarakat. Ini diikuti dengan tuntutan untuk melaksanakan restrukturisasi

pengawasan kepolisian untuk membuatnya lebih mampu menanggapi

masalah kejahatan yang terus berkembang. Sama seperti di Negara lain, di

Inggris program pembinaan kamtibmas datang dari tekanan praktis seperti

keluhan masyarakat, persepsi peningkatan kecemasan terhdap kejahatan,

keterbatsan dana, dan berbagai kerusuhan dan kekacauan di akhir 1970-an

dan awal 1980-an.

Pada saat itu, faktor keorganisasian berperan dalam

ketidakmampuan polisi dalam melaksanakan tugas dengan baik. Karena

24
tuntutan akan perubahan akan pasti datang baik dari pihak kepolisian

maupun masyarakat, berbagai reorganisasi structural kepolisian inggris

telah berjalan untuk mempertemukan antara teori dengan praktek. Ada

bebrapa inovasi yang dilakukan dalam persiapan organisasi untuk

menghadapi perubahan sikap baik dipihak kepolisian maupun masyrakat

yaitu diperkenalkan perencanaan nasional kedinamisan dan pengutamaan

pentingnya meraih keberhasilan yang menjadi ciri khas kepolisian, secara

bersamaan mengutamakan program pembinaan kamtibmas dengan

berangsur-angsur mengendorkan fungsi tradisional kepolisian yang

menggunakan kekuatan dalam menangani konflik (Silverman,

1995: 40).

Berbagai jenis kegiatan yang dilakukan oleh polisi Inggris untuk

membuat polisi lebih dekat dengan masyarakat dapat dilihat dari beberapa

kegiatan yang dilakukan antara lain : Kampanye Kehumasan, Program

Pengawasan Kampung, Asosiasi keamanan masyarakat, Upaya Konsultatif

berdasarkan mandat peraturan khusus, kerjasama dengan berbagai pihak

Proyek kepolisian sektoral yaitu Patroli berwawasan masyarakat.

Hukum dan keadilan merupakan dua buah sisi mata uang yang

tidak dapat dipisahkan, hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan

25
keadilan tanpa hukum menjadi lumpuh. Akan tetapi untuk mendapatkan

keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur yang

tidak adil. Sehingga hukum menjadi persoalan bagi masyarakat, hukum

bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah

menyengsarakan masyarakat. Hukum tidak dapat memberikan keadilan

ditengah masyarakat.

Penegakan hukum yang selama ini diperjuangakan hanyalah

sebagai tanda (sign) tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan

bahasa (language of game) yang hanya memberikan kekecewaan bagi

masyarakat. Reformasi yang telah lahir di Indonesia telah memberikan

warna dalam kehidupan bernegara yang lebih demokrasi, dan hal ini juga

membawa perubahan sistem hukum yang ada, dari model yang tertutup

hingga menjadi model terbuka dengan lebih mengedepankan keadilan

ditengah masyarakat dari pada keadilan yang dipasung oleh Penguasa.

Gagasan Hukum progresif oleh Satjipto Rahardjo merupakan

pergumulan pemikirannya yang panjang terhadap penerapan sistem hukum

di Indonesia yang selalu statis, koruptif, dan tidak mempunyai

keberpihakan struktural terhadap hukum yang hidup di masyarakat.

26
Hukum di Indonesia telah kehilangan basis sosialnya, basis

multikulturalnya dan ditegakkan secara sentralistik dalam bangunan sistem

hukum. Hukum kemudian dipaksakan, didesakkan dan diterapkan dengan

kekerasan struktural oleh aparat penegak hukum. Melihat sistem hukum

dan kondisi penegakan hukum yang penuh dengan problematik di

Indonesia maka Satjipto Rahardjo mengemukakan pentingnya persatuan

kekuatan hukum progresif untuk melawan kekuatan status quo madzhab

hukum yang telah sekian lama diterapkan dalam sistem hukum di

Indonesia.

Menurutnya, lemahnya kekuatan madzhab hukum progresif

disebabkan kekuatan hukum progresif masih belum memiliki dasar yang

akan membangun sinergi dan kekuatan. Oleh sebab itu mendesak kekuatan

hukum progresif untuk saling bersatu dalam ide, dukungan untuk

memperkuat kekuatan madzhab hukum progresif.

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah uraiakan maka penulis mempunya

rumusan masalah yaitu : bagaimana problematika hukum community Policing dan

perlindungan hukum masyarakat dalam kajian hukum progresif?

27
1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui problematika hukum community Policing dan

perlindungan hukum masyarakat dalam kajian hukum progresif

` 1.4 Manfaat Penulisan

Pada Kegunaan penelitian harus tergambar bahwa penelitian yang dibuat

memilki beberapa manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat

penelitian dari sisi teoritis adalah manfaat yang dapat diberikan sebagai

sumbangan pada Ilmu Pengetahuan pada umumnya maupun pada ilmu Hukum

pada khususnya. Adapun dari sisi praktis adalah manfaat yang dapat diberikan

bagi kepentingan negara pada umumnya dan kepentingan masyarakat pada

umumnya

28
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Problematika Hukum Community Policing Dan Perlindungan Hukum

Masyarakat Dalam Kajian Hukum Progresif

community policing banyak mendapat perhatian sejak awal tahun 1980-an

di Amerika Serikat, ketika sebuah kelompok eksekutif polisi progresif dan

kalangan akademik yang visioner memulai bekerjasama melakukan pengkajian

intensif terhadap sistem kepolisian negara yang selama ini berlaku, yang

mereka anggap sudah gagal. Sistem lama itu dinamakan traditional policing

seperti yang berlaku di Indonesia dewasa ini, yang didasarkan pada reformasi

model "modern" a tau "professional" policing yang diluncurkan pada tahun

1930-an, sebuah pendekatan yang menekankan pada efisiensi rapid response

sebagai alat dasar untuk menjawab kriminal serius.

Pada waktu itu, logika yang dikembangkan memang tidak terbantahkan -

bahwa solusi terhadap tindak kriminal serius cukup sederhana, yakni

membutuhkan identifikasi (identifying), menangkap (arresting), dan menahan

(locking up) semua orang yang diduga melakukan tindak kejahatan. Diilhami

oleh seorang master criminals, John Dillinger, fokus pada penjahat jelas masuk

akal. Oleh karena itu, misi polisi pada waktu itu adalah secepatnya menuju

TKP, dengan harapan dapat menangkap pelanggar hukum (culprits) secara on

the spot (atau paling tidak dapat mengumpulkan bukti-bukti yang mengarah

kepada penahanan).

Polisi modern juga menawarkan bureaucratic advantages dengan cara

upgrading pendidikan, pelatihan, dan memberikan gaji yang tinggi kepada

29
perwira polisi (police officers), pada waktu bersamaan hal itu membongkar

kekusutan jaringan politik dan korupsi perorangan. Selama beberapa dekade,

hal ini menjadi jelas bahwa masalah kriminal kontemporer membutuhkan suatu

pendekatan berbeda.

Untuk mengembangkan model community policing di Indonesia,

diperlukan suatu kerangka pemikiran tentang bagaimana menciptakan

kemitraan polisi-komunitas terlebih dahulu. Dalam kaitan ini, maka kita perlu

belajar dari Hukum Progresif. Ada tembok besar sudah menghadang hukum

progresif di Indonesia yaitu kekuatan positifisme hukum yang sacara

hegemonik telah membangun struktur hierarkis secara teoritik dan normatif

dan juga telah berhasil membangun jejaring intelektual di berbagai universitas

hukum di Indonesia.

Hukum progresif telah menjadi wacana beberapa intelektual dan beberapa

kaum muda, sama halnya dengan wacana-wacana hukum empirical dan kritis

lainnya. Tetapi, kekuatan wacana itu masih sangat lemah dan gampang

terpatahkan dalam debat hukum di ruang-ruang struktural.

Wacana hukum progresif perlu kekuatan yang lebih besar hingga

sebanding dengan madzhab positivisme baik secara teoritik, norma-norma,

pelaku-pelaku hukum dan jejaring para intelektualnya. Problem utama yang

30
harus didorong untuk mewujudkan hal tersebut adalah menciptakan basis

paradigma pembangunan hukum di Indonesia. Abdul Hakim G. Nusantara

pada tahun 1983 telah menggagas tentang strategi pembangunan hukum

responsif dan progresif di Indonesia. Usaha-usaha yang harus dilakukan

diantaranya ialah perlu diciptakan kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan

pertumbuhan sejati kelompok-kelompok kolektif masyarakat lapisan bawah

untuk mengorganisasikan dan memperjuangkan hak-haknya, akses masyarakat

terhadap pengadilan diperkuat, kelompok-kelompok sosial non negara

pemerintah harus bergerak menyadarkan hak-hak masyarakat bawah, dan

pemerintah baik eksekutif dan legislatif penting didorong untuk merespon

kepentingan masyarakat lapisan bawah.8

Dalam konteks pembangunan hukum yang responsif dan progresif

tersebut, Abdul Hakim G. Nusantara mengkritik keras terhadap paradigma

hukum kontinental (rule of law) yang saat ini sesungguhnya menjadi basis

paradigma para penegak hukum, perumus hukum dan beberapa intelektual

hukum di Indonesia. Menurut Abdul Hakim, tipe tradisi hukum kontinental

merupakan model pembangunan hukum yang ortodoks yang mempunyai ciri-

ciri adanya peranan yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara

8
Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, 1988), h. 24-48

31
(pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah hukum dalam suatu

masyarakat. Hukum akhirnya bersifat positivisinstrumentalis. Hukum menjadi

alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara.9 Nilai-nilai

tersebut didasari oleh pandangan hidup dan keyakinan masyarakat tentang

konsep keharmonisan alam semesta. Nilai – nilai ini menjadi identitas bangsa

Indonesia, sebagai bangsa yang beradab.10

Kondisi terbalik terjadi pada tipe pembangunan hukum dengan model

hukum adat (common law) yang responsif. Ciri-ciri dari tradisi model common

law ialah adanya peranan besar dari lembaga-lembaga peradilan dan partisipasi

yang luas kelompok-kelompok sosial atau individuindividu di masyarakat

dalam menentukan arah pembangunan hukum.

Keberadaan pemerintah dan parlemen menjadi lebih relatif, dan adanya

tekanan yang timbul dari partisipasi masyarakat luas dan kedudukannya yang

relatif bebas mendorong lembaga peradilan lebih kreatif dalam menghadapi

masalah yang timbul di masyarakat. Peradilan mempunyai peranan substansial

dalam pembangunan hukum. 11Secara historis, dua tipe pembangunan hukum

9
Ibid., Hlm 27
10
Gushidayat Afriandi, e. a. (2018, November 30). Tradisi Sarasehan Nilai – nilai Kearifan Lokal
Masyarakat Transmigran di Nagari Sungai Duo dalam Mewujudkan Keharmonisan Sosial.
Journal of Civic Education , 1(2), 204 - 210
11
Ibid

32
dengan model civil law dan common law tersebut mempunyai kelebihan dan

kekurangannya.

John Henry Marryman mengungkapkan, di Inggris dan Amerika Serikat

yang menjadi model tipe hukum common law para hakimnya selalu menjadi

kekuatan yang progresif dan berada di pihak individu dalam melawan

penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa, mereka juga memainkan peranan

penting dalam melaksanakan sentralisasi kekuasaan, dan dalam penghancuran

feodalisme.12

Berbeda dengan Eropa Kontinental dimana fakta sejarah mengatakan

bahwa kompilasi dan kodifikasi risalah-risalah dan komentarkomentar hukum

karya para sarjana hukum oleh Kaisar Justianus menjadi kebutuhan hukum

kekaisaran Roma yang besar untuk mengatur penduduk dan wilayahnya yang

luas. Kompilasi dan kodifikasi dilakukan sebagai usaha memurnikan kembali

nilai-nilai hukum Romawi Kuno yang agung dan dianggap mampu melayani

pemerintah dan masyarakat. Ada kepercayaan dengan memurnikan dan

melestarikan nilai-nilai hukum Romawi Kuno kelangsungan hidup kekaisaran

Roma di bawah Justianus akan lebih terjamin.13

12
John Henry Marryman, The Civil Law Tradition, (California: Stanford University Press, 1969),
hlm.17
13
Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum´Op. Cit, hlm 30

33
Menurut Suparman, penegakan hukum progresif menempatkan

kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat sebagai titik orientasinya, karena

aparatur penegak hukum harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan

yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah salah satu persoalan

krusial dalam konteks itu ialah keterbelengguan manusia dalam struktur-

struktur yang menindas baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun oleh

hukum yang manipulatif. Dalam kondisi-kondisi tersebut, keberadaan hukum

progresif harus menjadi institusi yang emansipatoris yang membawa

pemberdayaan. Konsep kesamaan (aquality) yang didasarkan pada kolektivitas

atau komunitas (group related equality) dan bukan individu sebagai unit

(individual equality). Aksi-aksi afirmatif penegakan hukum hukum HAM

progresif didukung oleh keinginan untuk mendayagunakan hukum HAM bagi

kepentingan rakyat yang lemah atau rentan.14

14
Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan : Politik Hukum HAM Era Reformasi, (Yogyakarta:
Pusham UII, 2011), hlm 269-270

34
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian tersebut maka penulis berkesimpulan

bahwa Comunity policing sebagai sebuah solusi yang tepat bagi

penegak hukum dalam melindungi masyarakat karena Comunity

policing hadir dengan kegiatan yang bersifat pro aktif dalam rangka

membina hubungan baik antara polisi dan masyarakat, tentu dalam

perspektif hukum progresif ini tentu sangat penting karena dalam

kajian hukum progresif dengan visinya yaitu ingin menjadikan hukum

untuk manusia dan rakyat.

3.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut maka penulis memberikan saran

bahwa diperlukan persiapan pihak kepolisian dan pihak terkait lainnya

untuk menyiapkan kader-kader polisi yang profesional yang memiliki

pengetahuan dan keterampilan bukan hanya di bidang kepolisian tradisional,

tetapi disiplin ilmu-ilmu yang lain yang diperlukan untuk menunjang

keberhasilan tugasnya bekerja bersama-sama dengan komunitas dan profesi

lainnya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan


Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988), h. 24-48
Anna, M. S. (2018, September ). Crime Prevention Through Community
Empowerment: An
Empirical Study Of Social Capital In Kyoto, Japan. International Journal of Law,
Crime and Justice, 54, 89 – 101

Gushidayat Afriandi, e. a. (2018, November 30). Tradisi Sarasehan Nilai – nilai


Kearifan Lokal Masyarakat Transmigran di Nagari Sungai Duo dalam
Mewujudkan Keharmonisan Sosial. Journal of Civic Education , 1(2), 204 - 210
Italemahu, M. T. (2019, October ). Crime Prevention Through Community
Policing Interventions: Evidence from Harar City, Eastern Ethiopia. Humaniora,
31(3), 326 – 337

John Henry Marryman, The Civil Law Tradition, (California: Stanford University
Press, 1969)
Sadjijono, Hukum Kepolisian, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2006,

Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan : Politik Hukum HAM Era Reformasi,


(Yogyakarta: Pusham UII, 2011)
Topo Santoso, Polisi dan Jaksa, Pergulatan atau Keterpaduan, cet.1 Jakarta: Pusat
Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000

W. Hadi Utomo, “Hukum Kepolisian Indonesia”, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2005,


hlm.3

Zikhali, W. (2019, November 04). Community Policing and Crime Prevention:


Evaluating the Role of Traditional Leaders under Chief Madliwa in Nkayi
District, Zimbabwe. International Journal for Crime, Justice and Social
Democracy, 8(4), 109 - 122

36

Anda mungkin juga menyukai