Laporan Pendahuluan BPH
Laporan Pendahuluan BPH
Disusun oleh:
2018
A. Pengertian
A. Klasifikasi
B. Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan bahwa
terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti usia, adanya
peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel
prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya
proses apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar
bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya
kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS
(lower urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi
(voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi
retensi urin (IAUI, 2003).
C. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di
perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung
pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra
daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara
garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika
dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat
akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan
detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa
dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda
gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan
miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi
miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi
kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis
urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan
iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi
melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama
(hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala
antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),
perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria)
(Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari
BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih,
aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine
akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
Normal : Tidak ada sisa
Grade I : sisa 0-50 cc
Grade II : sisa 50-150 cc
Grade III : sisa > 150 cc
Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
E. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan
pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,
BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan
sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi
buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai
tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis
dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari
USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu
urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi
ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,
sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat
adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
F. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam
1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi
definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b) Medikamentosa
Mengharnbat adrenoreseptor α
Obat anti androgen
Penghambat enzim α -2 reduktase
Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih
pada kanker prostat.
G. Pengkajian keperawatan
I. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
Nyeri akut
Cemas
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Kerusakan eleminasi urin
2. Post operasi
Nyeri akut
Resiko infeksi
Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
Defisit perawatan diri
J. Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
Batasan karakteristik:
Perilaku :
Produktivitas 2. Koping yang baik
berkurang Definisi : Tindakan untuk
Scanning dan mengelola stressor yang
kewaspadaan menggunakan sumber individu
Kontak mata yang Indikator :
buruk Mengenal koping efektif
Gelisah Mengenal koping tak efektif
Pandangan sekilas Memverbalkan kemampuan
Pergerakan yang tidak kontrol
berhubungan, (misal : Melaporkan menurunnya
berjalan dengan stress
menyeret kaki, Memverbalkan penerimaan
pergelangan terhadap situasi
tangan/lengan Mencari informasi yang
Menunjukkan berkaitan dengan penyakit
perhatian seharusnya dan pengobatannya
dalam kejadian hidup Modifikasi gaya hidup sesuai
Insomnia kebutuhan
Resah Beradaptasi dengan
Affektive: perubahan perkembangan
Penyesalan Menggunakan support sosial
Irritable yang memungkinkan
Kesedihan yang Mengerjakan sesuatu yang
mendalam menurunkan stress
Ketakutan Mengenal strategi koping
Gelisah, gugup multipel
Mudah tersinggung Menggunakan strategi koping
Rasa nyeri hebat dan efektif
menetap Menghindari situasi penuh
Ketidakberdayaan stress
meningkat Memverbalkan kebutuhan
Membingungkan akan bantuan
Ketidaktentuan Mencari pertolongan
Peningkatan professional yang sesuai
kewaspadaan Melaporkan menurunnya
Fokus pada diri keluhan fisik
Perasaan tidak Melaporkan menurunnya
adekuat perasaan negatif
Ketakutan Melaporkan kenyamanan
Distress psikologis yang meningkat
Kekhawatiran,
prihatin
Cemas
Fisiologis :
Suara gemetar
Gemetar, tangan
tremor
Goyah
Respirasi meningkat
(simpatis)
Keinginan kencing
(parasimpatis)
Nadi meningkat
(simpatis)
Berkeringat banyak
Wajah tegang
Anorexia (simpatis)
Jantung berdetak kuat
(simpatis)
Diare (parasimpatis)
Keragu-raguan dalam
berkemih
(parasimpatis)
Kelelahan (Simpatis)
Mulut kering
(simpatis)
Kelemahan (simpatis)
Wajah kemerahan
(simpatis)
Faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau mencerna
makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
atau ekonomi.
Post Operasi
1.
1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nyeri
keperawatan selama ….x 24 jam, Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
Definisi : Sensori dan klien dapat: kenyamanan yang dapat diterima pasien
pengalaman emosional 1. Mengontol nyeri
yang tidak menyenangkan Intervensi:
Definisi : tindakan seseorang untuk
yang timbul dari mengontrol nyeri. 1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
kerusakan jaringan aktual Indikator: karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
atau potensial, muncul Mengenal faktor-faktor penyebab intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
tiba-tiba atau lambat Mengenal onset/waktu kejadian 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
dengan intensitas ringan nyeri khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
sampai berat dengan akhir efektif
Tindakan pertolongan non-
yang bisa diantisipasi atau 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
analgetik
diduga dan berlangsung 4. Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat
Menggunakan analgetik
kurang dari 6 bulan. mengekspresikan nyeri
Melaporkan gejala-gejala kepada 5. Kaji latar belakang budaya klien
Batasan karakteristik :
tim kesehatan (dokter, perawat) 6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup:
Laporan secara verbal Nyeri terkontrol
atau non verbal adanya pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan, pekerjaan,
nyeri tanggungjawab peran
Keterangan: 7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan
Fakta dari observasi 1 = tidak pernah dilakukan nyeri kronis
Posisi untuk
2 = jarang dilakukan 8. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
menghindari nyeri
3 = kadang-kadang dilakukan yang telah digunakan
Gerakan melindungi
4 = sering dilakukan 9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
Tingkah laku berhati- 10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
hati 5 = selalu dilakukan
lama terjadi, dan tindakan pencegahan
Muka topeng 11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
Gangguan tidur (mata respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur
sayu, tampak capek, 2. Menunjukkan tingkat nyeri ruangan, penyinaran, dll)
sulit atau gerakan Definisi : tingkat keparahan dari 12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
kacau, menyeringai) nyeri yang dilaporkan atau 13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
Terfokus pada diri ditunjukan guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
sendiri Indikator: massase)
Fokus menyempit Melaporkan nyeri 14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang
(penurunan persepsi Frekuensi nyeri telah digunakan
waktu, kerusakan Lamanya episode nyeri 15. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
proses berpikir, Ekspresi nyeri: wajah 16. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
penurunan interaksi Posisi melindungi tubuh lama terjadi, dan tindakan pencegahan
dengan orang dan Kegelisahan 17. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
lingkungan) respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur
Perubahan Respirasirate
Tingkah laku distraksi, ruangan, penyinaran, dll)
Perubahan Heart Rate
contoh : jalan-jalan, 18. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
Perubahan tekanan Darah 19. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
menemui orang lain
Perubahan ukuran Pupil guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
dan/atau aktivitas,
Perspirasi massase)
aktivitas berulang-
ulang) Kehilangan nafsu makan 20. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
Respon autonom 21. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
(seperti diaphoresis, klien
perubahan tekanan 22. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
darah, perubahan nafas, 23. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
nadi dan dilatasi pupil) secara tepat
Perubahan autonomic 24. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
dalam tonus otot keluhan
(mungkin dalam 25. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota keluarga
rentang dari lemah ke saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan
kaku) preventif
Tingkah laku ekspresif 26. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
(contoh : gelisah,
merintih, menangis, 2. Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi
atau menghilangkan nyeri.
Intervensi:
Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan
keparahan sebelum pengobatan
Berikan obat dengan prinsip 5 benar
Cek riwayat alergi obat
Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan
Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik,
NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
tidak diinginkan
Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
Intervensi :
Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
Batasi pengunjung
Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
Sediakan lingkungan yang tenang
Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
Atur posisi pasien yang membuat nyaman.
3. Pengobatan, dengan
indikator: 3. Ajarkan : pengobatan
Menggambarkan metode
pengobatan yang tepat Intervensi :
Menggambarkan tindakan- 1. Jelaskan klien utk mengenal karakteristik obat
tindakan dalam pengobatan 2. Informasikan nama generik dan nama dagang
Menggambarkan efek samping 3. Jelaskan tujuan dan kerja obat
dalam pengobatan 4. Jelaskan dosis, rute dan durasi obat
5. Evaluasi kemampuan klien menggunakan obat
Menyebutkan interakasi obat
6. Ajarkan klien untuk melakukan prosedur sebelum
dengan agen yang lainnya
minum obat
Menyebutkan rute pemberian
7. Informasikan apa yang dilakukan jika dosis obat
obat yang tepat
hilang
8. Informasikan akibat tidak minum obat
Keterangan : 9. Informasikan efek samping obat
1 : Tidak pernah 10. Jelaskan tanda dan gejala over dosis obat
2 : Terbatas 11. Jelaskan cara menyimpan obat
3 : Sedang 12. Jelaskan interaksi obat
4 : Luas 13. Jelaskan cara mencegah atau mengurangi efek
5 : Sangat luas samping obat
14. Berikan informasi tertulis tentang aksi, tujuan, efek
samping obat, dll
4 Defisit Perawatan Diri Setelah dilakukan asuhan 1. Bantu dalam perawatan diri (mandi, berpakaian,
(kurang perawatan diri : keperawatan selama … x 24 jam, berhias, makan, toileting)
mandi, berpakaian, klien mampu melakukan perawatan Definisi : membantu pasien untuk memenuhi ADL
makan, dan toileting) diri: Activities of Daily Living
Intervensi :
Definisi : Gangguan (ADL), dengan indikator: 1. Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang
kemampuan untuk makan mandiri.
melakukan ADL pada diri berpakaian 2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk
toileting kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
Batasan karakteristik : mandi 3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk
ketidakmampuan untuk berhias melakukan self-care.
hygiene 4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang
mandi, ketidakmampuan
oral hygiene normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
untuk berpakaian, 5. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri
ambulasi: berjalan
ketidakmampuan untuk bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
ambulasi: wheelchair
makan, ketidakmampuan 6. Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian,
transfer performance
untuk toileting untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak
mampu untuk melakukannya.
Keterangan:
Faktor yang 7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
1: bergantung total 8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan
berhubungan : 2 : dibantu orang dan alat aktivitas sehari-hari.
kelemahan, kerusakan 3 ; dibantu orang
kognitif atau perceptual, 4 : dibantu alat
kerusakan neuromuskular/ 5: mandiri
otot-otot saraf.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
2. Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
3. DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New
York: Delmar.
4. Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., (1999), Rencana asuhan
keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.
Edisi 3. EGC: Jakarta.
5. IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH di
Indonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh pada 17 Februari
2015).
6. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009.
Komnas Lansia: Jakarta
7. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakan kaum
renta. Style sheet: http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?
name=News&file=article&sid =26. (Diunduh 16 Februari 2015)
8. Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media
Aesculapius, Jakarta.
9. Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing: Promoting
the health of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
10. Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract
symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder Dysfunct
Rep, 5:212–218.
11. Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
12. Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:
http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-kota.html.
(Diunduh 16 Februari 2015).
13. Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th
ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.
14. Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal
782–786): Jakarta
15. Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
16. Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri:
Mosby
17. Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan.
Edisi 9. EGC : Jakarta