Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN HASIL TELAAH LITERATURE

JENIS-JENIS PERMAINAN TRADISIONAL DI SULAWESI


Dosen Pengampu: Drs. Muliadi. M.Kes

OLEH:
AMALIA RAMADHANI
31C
210407560013

PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
❖ Jenis-jenis permainan tradisional sulawesi selatan dan kearifan lokalnya

1. Permainan Akbombo-bombo
Kajang adalah suatu kecamatan yang berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah permainan yang oleh masyarakatnya
disebut akbombo-bombo. Akbombo-bombo merupakan kata jadian (gabungan)
dari dua kata, yaitu ak yang berarti “melakukan sesuatu” dan bombo yang
mempunyai dua arti, yaitu: (1) makhluk halus sebangsa jin, yang menurut
kepercayaan masyarakat Kajang, sering menampakkan diri dalam wujud
binatang aneh (amping), makhluk tinggi besar (longgak), makhluk yang
mengeluarkan api di atas kepalanya (dapok/bombo eillak), ataupun dalam bentuk
suara-suara yang menakutkan; dan (2) orang yang dibungkus dengan kain mulai
dari kepala hingga kaki, sehingga tidak dapat melihat keadaan di sekitarnya.
Dengan demikian, akbombo-bombo dapat diartikan sebagai “melakukan sesuatu
yang menyerupai bombo (makhluk halus atau orang yang seluruh tubuhnya
dibalut dengan kain)”.

Konon, permainan akbombo-bombo berawal dari upaya orang dewasa untuk


menakuti anak-anak, apabila mereka terus bermain hingga malam hari. Cara
menakutinya adalah dengan menutup muka menggunakan sarung dan secara tiba-
tiba muncul di hadapan anak-anak sambil berteriak, “Ya bombo. Ya bombo”.
Tujuannya adalah agar mereka takut melihat orang yang menyerupai “bombo”
dan segera pulang ke rumah masing-masing.

Namun, dalam perkembangannya, usaha yang tadinya dilakukan oleh orang


dewasa untuk menakuti anak-anak, akhirnya malah berubah menjadi suatu
permainan yang disebut akbombo-bombo. Dalam permainan ini, pemain yang
berperan sebagai bombo harus ditutup mukanya dengan sarung, sebelum
menebak nama salah seorang pemain hanya dengan rabaan sambil mengucapkan
perkataan yang lucu agar pemain yang sedang diraba tertawa dan dapat diketahui
atau disebut namanya.

Pemain
Pemain akbombo-bombo berjumlah 13--21 orang, dengan usia 7--14 tahun.
Permainan ini dapat dimainkan secara bersama-sama oleh laki-laki dan
perempuan. Dari sekian banyak pemain tersebut, hanya satu orang yang menjadi
bombo, sedangkan pemain yang lainnya akan berdiri membentuk sebuah
lingkaran mengelilingi bombo, yang nantinya akan ditebak namanya oleh bombo.
Selain pemain, akbombo-bombo juga menggunakan seorang wasit (matowa)
yang diambil dari para penonton untuk mengawasi jalannya permainan.

Tempat Permainan
Permainan akbombo-bombo dapat dilakukan di mana saja; bisa di halaman rumah,
di halaman rumah adat, atau di lapangan, pada siang ataupun sore hari.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini hanyalah sebuah sarung untuk
menutup kepala pemain yang menjadi bombo.

Aturan Permainan
Permainan yang disebut akbombo-bombo intinya adalah pemain yang menjadi
bombo harus menebak (dengan mata ditutup sarung) nama salah seorang pemain
hanya dengan meraba sambil berucap perkataan yang lucu. Apabila ia berhasil
menebak, maka pemain yang ditebak tersebut harus menggantikannya menjadi
bombo. Namun, apabila tebakan salah, maka pemain tersebut akan tetap menjadi
bombo. Secara lebih rinci aturan-aturan tersebut adalah: (1) pemain yang menjadi
bombo harus ditutup kepalanya menggunakan sarung; (2) Si bombo tidak
diperkenankan memegang bagian wajahnya untuk mengintip pemain lain; (3) Si
bombo hanya boleh meraba bagian kepala hingga dada pemain lain. Apabila Si
bombo meraba hingga ke bagian alat vital pemain lain, maka ia akan
diperingatkan oleh wasit. Namun, apabila perbuatan tersebut tetap dilakukannya
hingga 3 kali, maka ia tidak boleh ikut bermain lagi; (4) Si bombo diperbolehkan
untuk mengucapkan perkataan yang lucu agar pemain tertawa; (5) setelah bombo
ditutup kepalanya, pemain lain tidak boleh berpindah atau bertukar tempat; dan
(6) pemain yang akan ditebak namanya tidak boleh membuka perhiasan yang
sedang dikenakannya. Apabila ada pemain yang akan ditebak namanya oleh Si
bombo melanggar peraturan yang ditetapkan, maka pemain tersebut akan
menggantikan posisi pemain yang menjadi bombo.

Jalannya Permainan
Setelah lokasi permainan ditentukan dan peralatan disiapkan, maka wasit
(matowa) akan menentukan siapa yang akan berperan sebagai bombo. Apabila
telah ditentukan, maka pemain tersebut akan ditutup sebagian kepalanya (dari
rambut hingga mata) oleh matowa. Pada saat Si bombo ditutup sebagian
kepalanya tersebut, pemain lain yang akan ditebak namanya berdiri dan
membentuk sebuah lingkaran yang mengelilingi Si bombo. Setelah matowa
menyatakan permainan siap untuk dimulai, Si bombo akan berjalan ke arah para
pemain yang mengelilinginya. Apabila ia telah memegang salah seorang pemain,
maka ia akan mulai meraba sambil berucap hal-hal yang lucu agar pemain yang
dirabanya tertawa atau mengeluarkan suara, sehingga lebih mudah untuk ditebak
namanya. Apabila tebakannya salah, maka ia akan dihukum untuk menangis atau
bernyanyi di tengah-tengah lingkaran. Hukuman yang sama juga dijatuhkan
apabila bombo melanggar peraturan. Namun, apabila Si bombo berhasil menebak
pemain yang ia raba, maka pemain yang ditebak tersebut harus menggantikan
posisinya menjadi bombo. Permainan akbombo-bombo akan berakhir apabila
para pemainnya sudah merasa lelah atau puas bermain.
Selain dimainkan secara individual, akbombo-bombo juga dapat dimainkan
secara beregu (terdiri dari 2 regu) yang masing-masing mempunyai seorang
bombo. Pada permainan yang dilakukan secara beregu ini memiliki satu aturan
tambahan yaitu, regu yang bombonya sedang menebak tidak diperbolehkan
memberikan isyarat-isyarat yang memudahkan si bombo menebak nama anggota
regu lawannya. Sedangkan, dalam proses permainannya kedua regu akan berbaris
memanjang sebelum salah satu regu ditebak nama pemainnya oleh bombo dari
regu lawan. Apabila Si bombo dapat menebak nama pemain regu lawan, maka
regu Si bombo akan mendapatkan satu nilai. Begitu seterusnya, hingga seluruh
nama anggota regu lawan tertebak seluruhnya. Namun, apabila tidak berhasil
menebak, maka akan terjadi pergantian posisi, bombo regu lawan yang akan
menjadi penebak. Begitu seterusnya. Regu yang paling banyak mengumpulkan
nilai dinyatakan sebagai pemenangnya. Namun, apabila perolehan nilai kedua
regu sama, maka penentuannya dilakukan dengan menghitung jumlah
pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing regu. Regu yang paling sedikit
melakukan pelanggaran, dinyatakan sebagai pemenangnya.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan akbombo-bombo adalah: kerja keras,
kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari usaha pemain yang
menjadi bombo untuk mengenali pemain lain hanya dengan rabaan dan
perkataan-perkataan yang dapat membuat pemain yang diraba tertawa. Nilai kerja
sama tercermin dari permainan yang dilakukan secara beregu. Setiap regu,
anggotanya akan bekerja sama untuk mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya
agar dapat mengalahkan regu lawan. Nilai sportivitas tercermin dari sikap para
pemain yang tidak berbuat curang selama permainan berlangsung dan bersedia
menggantikan posisi pemain yang menjadi bombo. Nilai sportivitas juga perlu
ditunjukkan oleh sebuah regu yang harus berlapang dada apabila regunya kalah
dari regu lawan.
2. Permainan Maggalenceng
Maggalenceng adalah salah satu permainan yang ada di kalangan orang Bugis.
Permainan ini dahulu dianggap sakral karena hanya dimainkan pada saat ada
kematian. Dengan perkataan lain, permainan ini tidak boleh dilakukan di
sembarang waktu karena dapat mendatangkan kematian bagi anggota keluarga si
pemain. Oleh karena itu, para orang tua melarang siapa saja yang memainkan
permainan ini pada saat yang tidak tepat (bukan saat-saat ada kematian).

Penyelenggara permainan ini adalah pihak keluarga yang berkabung. Lama dan
singkatnya penyelenggaraan permainan ini bergantung pada status sosial orang
keluarga yang meninggal. Dalam konteks ini jika orang yang meninggalkan
adalah orang kebanyakan, maka penyelenggaraan permainan hanya dilakukan
dalam waktu 7 hari (berturut-turut dan dilakukan pada malam sampai menjelang
pagi hari). Namun, jika orang yang meninggal mempunyai status sosial yang
tinggi di dalam masyarakatnya (kaum bangsawan), maka permainan biasanya
akan diselenggarakan selama 40--100 hari.

Kesakralan permainan yang sebenarnya hanya untuk berjaga-jaga agar tidak


mengantuk dan sekaligus menghibur anggota keluarga yang meninggal itu
berangsur-angsur memudar sejak datangnya agama Islam yang dibawa oleh
Abdul Makmur dari Minangkabau (Sumatera Barat) pada abad ke-16
(www.wikipedia.org). Dewasa ini tidak ada lagi kesakralannya. Malahan,
fungsinya berubah menjadi suatu permainan muda-mudi. Melalui permainan ini
remaja yang berlainan jenis itu saling merajuk dan atau mengungkapkan isi
hatinya.dengan nyanyian yang berupa syair. Syair itu antara lain adalah sebagai
berikut:

Addara-dara teduce
Anggalacang tasitembak
Manna taduce
Naduceanji kalenna
Manna tatette
Natettekanji kalenna

Artinya:
Bermain dara-dara tidak pernah salah
Bermain galaceng tidak saling mengalahkan
Walau tidak kalah
Dia mengalahkan dirinya
Meskipun tidak menang
Dia memenangkan dirinya

Laka-kelamaan para pemuda menganggap bahwa permainan ini kurang


menantang karena tidak perlu mengeluarkan tenaga dan fisik yang kuat, sehingga
jarang pemuda ikut dalam permainan ini.

Pemain
Permainan maggalenceng dapat dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa laki-
laki maupun perempuan. Namun, saat ini, secara umum maggalenceng dimainkan
oleh kaum perempuan, terutama anak-anak yang berusia 6--12 tahun. Kaum laki-
laki sangat jarang memainkannya. Jumlah pemain tergantung dari jumlah papan
maggalenceng yang tersedia. Untuk satu papan permainan hanya dapat
dimainkan oleh dua orang.

Tempat Permainan
Dahulu maggalenceng hanya dimainkan di teras atau beranda rumah orang yang
baru saja meninggal dunia. Namun, sekarang ini dapat dimainkan di mana saja
dan kapan saja karena tidak memerlukan tempat yang khusus. Jadi, bisa di dalam
rumah, di beranda rumah, atau di balai-balai rumah adat (bisa pagi, siang, sore,
atau malam hari).

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah aggalancengngeng yang
terbuat dari kayu yang tebalnya kurang lebih 10 cm, lebar 20 cm dan panjang 50
cm. Kayu tersebut diberi lubang-lubang (bundar) dengan kedalaman kurang lebih
5 cm. Jumlah lubang seluruhnya adalah 12 buah, dengan rincian 10 lubang dibuat
dua jejer (masing-masing jejer 5 lubang), kemudian dua lubang yang agak besar
di setiap ujungnya (aggalancengngeng). Selain aggalancengngeng, permainan ini
juga menggunakan biji-biji buah pohon asam atau kerikil yang jumlahnya antara
50--70 biji untuk mengisi lubang yang tersedia. Biji-biji tersebut nantinya dibagi
menjadi dua untuk masing-masing pemain.

Aturan Permainan
Ada empat cara yang dikenal oleh orang Bugis-Makassar dalam permainan ini.
Pertama, mabbetta, yaitu jika biji yang terakhir kena lubang yang kosong di
daerahnya sendiri, sementara lubang lawan di depannya berisi maka bijinya
diambil sebagai kemenangan pihak lawan. Kedua, maddappeng, yaitu apabila biji
persis habis pada lubang lawan yang berisi tiga biji, maka bijinya diambil sebagai
kemenangan lawan. Ketiga, gabungan dari mabbetta dan maddappeng. Dan,
keempat sigappae, yaitu masing-masing ulu tidak diisi tetapi digunakan sebagai
tempat biji kemenangan.

Jalannya Permainan
Jalannya permainan dimulai dengan memasukkan biji-biji ke dalam lubang-
lubang yang ada di dalam papan permainan (aggalancengngeng), kecuali dua
buah lubang besar saja yang berada di ujung aggalancengngeng. Kedua lubang
ini tidak boleh diisi. Jumlah biji pada setiap lubang adalah sama. Jika jumlah
seluruh biji yang disepakati adalah 70 biji, maka setiap lubang akan diisi oleh 7
biji. Kemudian salah satu pemain yang mendapat kesempatan pertama akan
mengambil semua biji dari lubang paling ujung yang ada di daerahnya sendiri.
Biji-biji tersebut kemudian akan diedarkan satu persatu dengan arah yang
berlawanan jarum jam ke setiap lubang yang ada di papan permainan, kecuali
satu lubang besar di ujung papan yang menjadi “milik” lawan. Apabila biji masuk
ke lubang yang paling besar (miliknya sendiri), maka biji tersebut merupakan
nilai bagi pemain yang bersangkutan. Namun, jika biji yang terakhir jatuh ke
lubang yang masih ada bijinya, maka pemain mengambil biji-biji tersebut untuk
diedarkan kembali. Demikian seterusnya hingga suatu saat biji terakhir jatuh pada
lubang yang kosong. Jika itu terjadi, maka pemain yang lain (lawan mainnya)
akan menggantikannya. Permainan akan berlangsung terus hingga biji-biji yang
berada di lubang-lubang kecil seluruhnya masuk ke dua buah lubang besar di
ujung papan permainan milik kedua pemain. Bagi pemain yang mendapatkan biji
terbanyak akan menjadi pemenangnya.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan maggalenceng adalah kecermatan dan
sportivitas. Nilai kecermatan tercermin dari perlunya perhitungan yang pas agar
biji-biji yang akan dijatuhkan tidak mengenai lubang yang kosong sehingga dapat
terus bermain dan mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Nilai sportivitas
tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat
berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang
dada. (pepeng)

3. Gasing (Maggassing)
Maggasing adalah penamaan dalam bahasa Bugis, sedangkan orang Makassar,
Indonesia, menamainya akgasing yang dalam bahasa Indonesia umumnya
dikenal dengan bermain gasing. Penamaan permainan ini bersumber dari
peralatan pokok yang digunakan dalam bermain yaitu gasing. Asal usul
permainan gasing menurut Kuderen dan Mathes dalam “Tot Bijdragen de
Etnologie van Zuid Celebes”, berasal dari daerah Sumatera, kemudian
berkembang ke daerah-daerah lainnya sesudah Islam, melalui hubungan dagang.

Pemain
Jumlah pemain maggasing 2—6 orang. Secara umum maggasing dimainkan oleh
kaum laki-laki, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa.

Tempat dan Peralatan Permainan


Maggasing dapat dilakukan di mana saja; bisa di halaman rumah, di halaman
rumah adat, ataupun di lapangan pada waktu pagi dan atau sore hari. Peralatan
yang digunakan adalah sebuah gasing yang terbuat dari kayu yang berkualitas
baik, seperti: kayu jati, teras batang nangka, kayu bayam, teras batang jambu dan
kepundung. Kayu tersebut dibentuk dengan garis tengah antara 2,5—4 cm.
Bagian bawahnya agak runcing, kemudian ujungnya dibentuk seperti paku
dengan tonjolan sepanjang kira-kira 2 mm. Saat ini tonjolan tersebut sebagian
besar sudah menggunakan paku besi. Paku inilah yang nantinya akan menyentuh
tanah sewaktu gasing berputar. Peralatan lainnya adalah ulang atau benang yang
diameternya sekitar 1 mm dan panjangnya 3 meter. Salah satu ujung benang
dibuhul kuat-kuat. Ujung yang lain dikaitkan pada sekerat kayu kecil sebesar lidi
yang panjangnya 3 cm. Sekerat kayu ini berfungsi sebagai penahan benang
sewaktu gasing dilontarkan.
Aturan dan Proses Permainan
Ada dua jenis permainan beserta aturannya yang ditumbuh-kembangkan oleh
masyarakat Bugis, yaitu permainan yang mengutamakan bentuk, keindahan, serta
lamanya perputaran gasing dan permainan kompetisi. Pada permainan pertama
yang dinilai tidak hanya bentuk, keindahan, ukuran, tinggi badan gasing,
kehalusan rautannya dan lamanya putaran, tetapi juga keseimbangannya dalam
berputar. Peserta yang paling memenuhi kriteria itu dinyatakan sebagai
pemenangnya. Sedangkan pada permainan kedua lebih mengutamakan keahlian
seseorang dalam bermain dan dapat mengeluarkan semua gasing lawan dari
lingkaran. Pemain yang dapat melakukannya dianggap sebagai pemenang.

Nilai Budaya
Permainan yang disebut sebagai maggasing mengandung nilai keserasian dan
sekaligus keindahan serta ketangkasan dan kecermatan. Nilai keserasian dan
keindahan tercermin dalam pembuatan gasing. Dalam konteks ini gasing tidak
hanya dapat berputar, tetapi keserasian bentuk dan keindahan sehingga enak
dipandang mata juga diperhatikan. Nilai ketangkasan dan kecermatan tercermin
dalam usaha mengeluarkan gasing lawan dari arena (lingkaran permainan).
Tentunya ini membutuhkan ketangkasan dan kecermatan. Sebab jika tidak, sulit
untuk mengeluarkan gasing lawan dari dalam arena. (pepeng)

Gasing adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan berkesetimbangan pada
suatu titik. Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs
arkeologi dan masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan
orang dewasa, gasing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib.

Sebagian besar gasing dibuat dari kayu, walaupun sering dibuat dari plastik, atau
bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing.
Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing tradisional dibuat
dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada panjang
lengan orang yang memainkan.

Gerakan gasing berdasarkan efek giroskopik. Gasing biasanya berputar


terhuyung-huyung untuk beberapa saat hingga interaksi bagian kaki (paksi)
dengan permukaan tanah membuatnya tegak. Setelah gasing berputar tegak untuk
sementara waktu, momentum sudut dan efek giroskopik berkurang sedikit demi
sedikit hingga akhirnya bagian badan terjatuh secara kasar ke permukaan tanah.
Gasing di Berbagai Daerah Indonesia
Gasing merupakan salah satu permainan tradisional Nusantara, walaupun sejarah
penyebarannya belum diketahui secara pasti.
Di wilayah Pulau Tujuh (Natuna), Kepulauan Riau, permainan gasing telah ada
jauh sebelum penjajahan Belanda. Sedangkan di Sulawesi Utara, gasing mulai
dikenal sejak 1930-an. Permainan ini dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa.
Biasanya, dilakukan di pekarangan rumah yang kondisi tanahnya keras dan datar.
Permainan gasing dapat dilakukan secara perorangan ataupun beregu dengan
jumlah pemain yang bervariasi, menurut kebiasaan di daerah masing-masing.
Hingga kini, gasing masih sangat populer dilakukan di sejumlah daerah di
Indonesia. Bahkan warga di kepulauan Rian rutin menyelenggarakan kompetisi.
Sementara di Demak,biasanya gasing dimainkan saat pergantian musim hujan ke
musim kemarau. Masyarakat bengkulu ramai-ramai memainkan gasing saat
perayaan Tahun Baru Islam, 1 Muharram.
Beragam Nama Sejumlah daerah memiliki istilah berbeda untuk menyebut gasing.
Masyarakat Jawa Barat dan DKI Jakarta menyebutnya gangsing atau panggal.
Masyarakat Lampung menamaninya pukang, warga Kalimantan Timur
menyebutnya begasing, sedangkan di Maluku disebut Apiong dan di
Nusatenggara Barat dinamai Maggasing. Hanya masyarakat Jambi, Bengkulu,
Sumatera Barat, Tanjungpinang dan Kepulauan Riau yang menyebut gasing.

Nama maggasing atau aggasing juga dikenal masyarakat bugis di Sulawesi


Selatan. Sedangkan masyarakat Bolaang Mangondow di daerah Sulawesi Utara
mengenal gasing dengan nama Paki. Orang jawa timur menyebut gasing sebagai
kekehan.Sedangkan di Yogyakarta, gasing disebut dengan dua nana berbeda. Jika
terbuat dari bambu disebut gangsingan, dan jika terbuat dari kayu dinamai pathon.
Bentuk Gasing
Gasing memiliki beragam bentuk, tergantung daerahnya. Ada yang bulat lonjong,
ada yang berbentuk seperti jantung, kerucut, silinder, juga ada yang berbentuk
seperti piring terbang. Gasing terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian
kaki (paksi). Namun, bentuk, ukuran danbgain gasing, berbeda-beda menurut
daerah masing-masing.

Gasing di Ambon (apiong) memiliki kepala dan leher. Namun umumnya, gasing
di Jakarta dan Jawa Barat hanya memiliki bagian kepala dan paksi yang tampak
jelas, terbuat dari paku atau logam. Sementara paksi gasing natuna, tidak nampak.

Jenis Gasing
Gasing dapat dibedakan menjadi gasing adu bunyi, adu putar dan adu pukul

Permainan Gasing
Cara memainkan gasing, tidaklah sulit. Yang penting, pemain gasing tidak boleh
ragu-ragu saat melempar gasing ke tanah.

Cara main:
Gasing di pegang di tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang tali.
Lilitkan tali pada gasing, mulai dari bagian paksi sampai bagian badan gasing.
lilit kuat dan lempar ke tanah maka gasing akan berputar.

4. Marraga
Marraga berasal dari kata Bugis, sedangkan orang Makassar, sering menyebut
permainan ini dengan akraga (olah raga). Marraga termasuk jenis permainan yang
memadukan unsur olah raga dan seni. Permainan ini memerlukan kecekatan,
ketangkasan dan kelincahan. Permainan yang berasal dari Malaka ini, konon
hanya dilakukan oleh para bangsawan Bugis saat diadakannya upacara-upacara
resmi kerajaan seperti, pelantikan raja dan perkawinan anggota kerajaan. Versi
yang lain menyebutkan bahwa permainan ini berasal dari Pulau Nias (Sumatera
Utara). Dewasa ini marraga bukan hanya dimainkan oleh para bangsawan, tetapi
juga oleh orang kebanyakan.

Pemain
Marraga umumnya dimainkan oleh pria, baik remaja maupun dewasa. Dalam satu
permainan jumlah pemainnya 5--15 orang.

Tempat dan Peralatan Permainan


Permainan ini dilakukan pada sebidang tanah datar yang permukaannya dibuat
lingkaran dengan garis tengah minimal 6 meter. Peralatan yang digunakan adalah
raga, yaitu sejenis bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah, diraut halus
kemudian dianyam. Alat ini umumnya berdiameter 15 cm. Adakalanya gendang
dipergunakan untuk mengiringi jalannya permainan.

Aturan dan Proses Permainan


Peraturan permainan marraga dapat dikatakan sederhana, yaitu pemain (jika
menerima raga dari pemain lain) harus melambungkan raga tersebut agar jangan
sampai terjatuh sebelum dioperkan pada pemain lainnya. Cara melambungkan
raga adalah dengan menggunakan kaki, tangan, bahu, dada, dan anggota tubuh
lainnya, tetapi tidak boleh di pegang. Tinggi dan rendahnya lambungan raga ada
yang dapat mencapai 3 meter dari permukaan tanah secara tegak lurus (sempak
sarring/anrong sempak); ada yang sedikit melampaui kepala (sepak biasa); dan
ada yang di bawah pusar (sempak caddi). Hal itu bergantung keinginan dan
keahlian pemain. Orang yang dianggap mahir (niak sempakna atau niak belona),
selain dapat mempertahankan raga agar tidak jatuh ke tanah, juga dapat
melambungkan raga sesuai dengan persyaratan permainan (bajiki anrong
sempakna), yaitu: (1) pintar mengambil raga, disiplin dan mampu menghidupkan
suasana bermain (caraddeki anggalle raga); dan (2) sepakannya bervariasi dan
sulit ditiru oleh pemain lainnya (jai sempak masagalana).

Sebelum permainan dimulai, para pemain berdiri membentuk lingkaran. Salah


seorang pemain (termahir) memegang raga kemudian melambungkannya.
Pemain yang posisinya pas dengan jatuhnya raga, maka dia yang harus memulai
permainan. Selanjutnya, raga dioperkan pada pemain lain dalam lingkaran
tersebut, demikianlah seterusnya secara bergiliran. Sebagai catatan, seorang
pemain tidak boleh memonopoli permainan dan menyerobot kesempatan bermain
pemain lain. Dalam hal ini berlaku asas pemerataan kesempatan bagi para pemain
untuk menunjukkan keahliannya masing-masing. Pertandingan dianggap selesai
jika bola jatuh ke tanah. Pemain yang menjatuhkannya dapat dikeluarkan sebelum
permainan dimulai kembali seperti semula.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan marraga adalah kerja keras, kerja sama,
kecermatan, demokrasi dan sportivitas. Nilai kerja keras dan kerja sama tercermin
dari usaha para pemain untuk menjaga dengan berbagai macam cara agar raga
tidak jatuh ke tanah. Nilai kecermatan tercermin dari usaha para pemain untuk
melambungkan atau menyepak raga ke sasaran yang dituju, sehigga raga tidak
keluar dari arena permainan. Nilai demokrasi tercermin dari tidak adanya
pemonopolian atau penyerobotan kesempatan pemain lain. Jadi, para pemain
diberi kesempatan untuk menunjukkan keahliannya. Dan, nilai sportivitas
tercermin dari pemain yang dengan lapang dada keluar arena karena menjatuhkan
raga ke tanah.

5. Aklobang
Bugis dan Makassar sesungguhnya dua kelompok etnik yang masing-masing
memiliki variasi budaya. Namun, kedua etnik tersebut sering disatukan dengan
nama “Bugis-Makassar” karena banyak persamaannya (Melalatoa, 1995:184).
Lepas dari masalah itu, yang jelas masing-masing etnik tersebut juga
menumbuhkembangkan budaya yang sesuai dengan kondisi geografis daerahnya.
Mereka yang tinggal di daerah pesisir Ara, Bima dan Lemo-lemo yang termasuk
dalam wilayah Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia,
pada umumnya bekerja sebagai pembuat perahu layar. Keahlian itulah yang
kemudian seringkali membuat kaum laki-laki (para suami) meninggalkan desa
untuk waktu yang relatif lama (bekerja di luar desanya). Sementara, anak dan
isterinya tetap tinggal di desanya dan berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya
dengan melakukan berbagai pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh kaum laki-
laki, seperti mencari kayu bakar di hutan. Kegiatan mencari kayu bakar yang
dilakukan oleh kaum perempuan inilah yang kemudian melahirkan suatu
permainan yang disebut sebagai aklobang, karena ketika mereka ke hutan yang
diperoleh bukan hanya kayu bakar tetapi, pada musim-musim tertentu, juga buah
kemiri. Buah ini sebagian digunakan sebagai pelengkap masakan (untuk
memasak) dan sebagian digunakan sebagai alat untuk bermain. Aklobang itu
sendiri merupakan gabungan dua kata, yaitu “ak” dan “lobang”. Ak berarti
“melemparkan sesuatu” dan lobang berarti “lubang”. Sesuatu yang dimaksud
dalam konteks ini adalah “buah kemiri”. Jadi, aklobang dapat diartikan sebagai
melemparkan sesuatu ke dalam lubang dengan jarak tertentu.

Pada mulanya sistem permainan ini sangat sederhana. Pemain yang dapat
memasukkan kemiri dalam jumlah yang banyak pada lubang yang telah
disediakan, maka yang bersangkutan dinyatakan sebagai pemenang. Selaras
dengan perkembangan zaman, permainan yang disebut sebagai aklobang ini juga
mengalami perubahan, baik yang menyangkut arena maupun aturan-aturan yang
mesti disepakti dan atau dipatuhi oleh pemain. Sebagai contoh, jika di masa lalu
kemiri yang telah dimainkan akan dibuang begitu saja, maka dewasa ini kemiri
tersebut menjadi barang taruhan yang akan dibawa pulang oleh pemenang
permainan. Artinya, yang kalah harus menyerahkan kemirinya (sesuai dengan
kesepakatan) kepada pemenang.

Permainan semacam aklobang tampaknya tidak hanya dikenal oleh masyarakat


Bulukumba semata, tetapi juga masyarakat yang ada di daerah Gowa. Masyarakat
Gowa menyebut permainan ini sebagai akkobbang. Namun demikian, tidak sama
persis karena di sana alat mainnya bukan buah kemiri melainkan pudek (buah
kepundung) atau kelereng. Jumlah lubangnya juga berbeda; jika aklobang hanya
sebuah, maka akkobbang tiga buah.

Pemain
Permainan khas orang Bugis-Makassar ini dapat dikategorikan sebagai
permainan anak-anak, yang pada umumnya dilakukan oleh anak perempuan usia
6--15 tahun. Jumlah pemainnya 2--6 orang.

Tempat Permainan
Permainan yang oleh orang Bugis-Makassar disebut sebagai aklobang ini tidak
membutuhkan tempat (lapangan) yang khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja,
asalkan di atas tanah. Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah lapang atau di pekarangan
rumah.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan adalah beberapa buah kemiri (jumlahnya tergantung
kesepakatan pemain). Kemiri-kemiri tersebut nantinya ada yang digunakan
sebagai pelontar (batu pengambak) dan ada yang dijadikan sebagai taruhan.
Selain buah kemiri, permainan ini juga memerlukan sebuah papan penampang
(pangampang) yang berukuran panjang sekitar 70 cm dan lebar 5 cm. Papan
penampang akan ditaruh di belakang lubang dengan jarak sekitar 50 cm yang
berfungsi sebagai garis batas jatuhnya batu pengambak. Jika pelemparan batu
pengambak melewati garis penampang, maka pemain harus mengulangi
lemparannya. Selanjutnya, yang merupakan kelengkapan pokok dalam
permainan ini adalah lubang yang berdiameter sekitar 7 cm dan berkedalaman 5
cm.
Aturan Permainan
Aturan permainan aklobang adalah sebagai berikut: (1) pada saat melempar,
pemain tidak boleh melewati garis batas; (2) jenis batu pengambak terdiri dari
dua macam, bergantung dari jumlah taruhan yang disepakati, yaitu: (a) sapiri diti
(kemiri kecil) apabila jumlah taruhannya kecil; dan (b) sapiri lompo (kemiri besar)
apabila jumlah taruhannya besar; (3) kemiri yang akan dikenai oleh batu
pengambak adalah kemiri yang telah ditunjuk oleh lawan mainnya; (4) pemain
yang batu pengambak-nya mengenai batu pengambak lawan yang telah lebih
dahulu dilontarkan, harus mengulangi melempar; (5) batu pengambak yang tidak
melewati garis batas permainan harus diulangi; (6) pemain yang dapat membuat
batu pengambak-nya masuk ke dalam lubang, dapat mengambil seluruh kemiri
taruhan yang ada di dalamnya; (7) lemparan tidak boleh mengenai dua buah
kemiri sekaligus; dan (8) Untuk mengenai buah kemiri taruhan batu pengambak
boleh dipantulkan ke papan penampang.

Proses Permainan
Ada empat tahap yang dilalui atau dilakukan dalam permainan ini. Pertama,
ammenteng (pengundian), yaitu sebelum permainan dimulai akan dilakukan
pengundian terlebih dahulu, dengan cara melontarkan batu pengambak ke arah
lubang. Pemain yang dapat memasukkan batu pengambak-nya ke dalam lubang
akan memulai permainan. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang dapat
memasukkan pengambak-nya ke dalam lubang, maka pengambak yang paling
dekat dengan lubang akan memulai permainan. Apabila ada beberapa pengambak
yang jaraknya sama, maka pelontarnya diharuskan untuk melempar kembali.
Kedua, akbuang (membuang), yaitu pemain yang mendapat kesempatan memulai
permainan akan mengumpulkan kemiri taruhan dari setiap pemain untuk
disebarkan di sekitar lubang. Ketiga, ajjojjok (menunjuk), yaitu setelah taruhan
disebar, pemain lain (lawan) akan menunjuk buah kemiri mana yang harus
dikenai oleh pelontar. Kemiri yang ditunjuk biasanya adalah kemiri yang
posisinya sulit untuk dikenai atau apabila terkena akan mengenai kemiri lain. Dan,
keempat angngambak (melontar), yaitu. pemain akan mulai melontarkan batu
Pengambak-nya. Apabila dapat mengenai taruhan yang ditunjuk, maka buah
kemiri taruhan tersebut menjadi milik si pelontar. Apabila buah kemiri taruhan
yang terkena lontaran masuk ke dalam lubang, si pelontar berhak mengambil
semua buah taruhan yang ada. Namun, apabila tidak ada satu kemiri taruhan pun
yang dapat dikenai, maka pelontar harus digantikan oleh pemain yang lain.
Pemain yang dapat mengumpulkan buah kemiri taruhan paling banyak
dinyatakan sebagai pemenang.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan aklobang adalah: ketangkasan,
kecermatan, keuletan, dan sportivitas. Nilai ketangkasan, kecermatan dan
keuletan tercermin dari usaha para pemain untuk dapat mengenai kemiri taruhan,
walaupun posisinya terkadang sangat sulit. Nilai-nilai tersebut dapat berfungsi
sebagai acuan dalam menghadapi lingkungan geografisnya yang kurang
menguntungkan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari kesediaan menyerahkan
buah-buah kemiri yang menjadi taruhan kepada lawan main yang keluar sebagai
pemenangnya.

6. Makbenteng
Polewali-Mandar adalah sebuah daerah yang tergabung dalam wilayah Provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Di masa lalu, di daerah yang terletak di pesisir utara
Sulawesi Selatan ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Pitu Baba
Binaga. Saharudin (1977), menyebutkan bahwa kerajaan ini ketika berperang
dengan kerajaan lainnya selalu mengusung panji-panji (bendera) yang harus
dibela mati-matian oleh para jowak-nya (prajuritnya). Tradisi inilah yang
kemudian melahirkan suatu permainan yang disebut sebagai makbenteng.
Makbenteng itu sendiri adalah bahasa setempat yang merupakan gabungan atas
dua kata, yaitu “mak” yang berarti “tiang” dan “benteng” yang berarti “tempat
pertahanan”. Dengan demikian, makbenteng dapat diartikan sebagai usaha
mempertahankan benteng.

Pada masa lalu, permainan yang intinya adalah mempertahankan benteng ini
hanya diselenggakan oleh dan untuk kerajaan. Artinya, hanya para remaja
bangsawanlah yang melakukannya. Tujuannya, di samping untuk menghibur
pejabat-pejabat istana dan keluarga kerajaan, juga untuk menanamkan rasa cinta
tanah air dan menjunjung tinggi panji-panji kebesaran kerajaan (arajang[1]).
Selain itu, melalui permainan ini anak-anak remaja kaum bangsawan akan terlatih
dalam membela dan mempertahankan kerajaan dari serangan musuh.

Seiring dengan perkembangan zaman, ditambah dengan runtuhnya kerajaan Pitu


Baba Binaga, maka permainan ini tidak hanya menjadi “milik” para bangsawan
lagi, melainkan dewasa ini siapa saja dapat melakukannya.

Pemain
Permainan yang disebut sebagai makbenteng termasuk dalam kategori “keras”
karena membutuhkan fisik yang kuat dan tenaga yang prima. Sehubungan dengan
itu, maka permainan ini pada umumnya hanya dimainkan oleh anak laki-laki yang
berusia sekitar 10--16 tahun. Bentuk permainan ini adalah beregu dengan anggota
4 orang.
Tempat Permainan
Makbenteng memerlukan tempat yang agak luas (sekitar 10 x 20 meter). Luas
tersebut dibagi menjadi dua bagian; sebagian untuk regu yang satu dan sebagian
regu yang lain. Mengingat arena yang dibutuhkan relatif luas, maka permainan
ini biasanya dilakukan di sebuah tanah yang lapangan (lapangan) atau halaman
rumah yang cukup luas.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah: (1) dua buah bendera yang
terbuat dari kain, berukuran 15 x 20 cm dan berbentuk segi empat (bendera yang
digunakan oleh setiap regu memiliki warna yang berbeda agar pemain tidak keliru
saat memperebutkannya); (2) dua buah tiang bendera dengan tinggi sekitar 1,5
meter; dan (3) sebuah kentongan bambu beserta kayu pemukulnya yang nantinya
akan digunakan oleh wasit untuk mengatur jalannya permainan. Wasit itu sendiri
dari salah seorang penonton.

Peraturan Permainan
Permainan yang disebut sebagai makbenteng intinya adalah saling menyerang ke
daerah pertahanan lawan dan merobohkan benderanya. Siapa diantara kedua regu
tersebut yang dapat merobohkan bendera paling banyak akan menjadi
pemenangnya. Agar permainan itu dapat berjalan secara baik, maka dibutuhkan
aturan main. Aturan-aturan itu adalah sebagai berikut: (1) permainan baru dimulai
ketika kentongan telah dipukul oleh wasit sebanyak 3 kali; (2) setiap terjadi
pelanggaran, kentongan akan berbunyi 1 kali; (3) setiap pemain tidak boleh
keluar dari arena permainan; (4) pada waktu menyerang tidak boleh menyakiti
atau melukai lawan; (5) saat menjatuhkan lawan harus dilakukan secara perlahan-
lahan; (6) pemain boleh menangkap lawan untuk menghalangi pergerakannya; (7)
tiang bendera tidak boleh dipindahkan dari tempatnya semula karena jika hal itu
dilakukan, maka dianggap sebagai suatu kesalahan dan regu lawan akan
mendapatkan satu nilai; (8) tiang bendera tidak boleh ditanam terlalu dalam agar
mudah ketika dirobohkan; (9) ujung tiang bendera tidak boleh menyentuh tanah
ketika dirobohkan, jika itu terjadi (dilanggar), maka regu pemilik bendera akan
mendapatkan satu nilai; dan (10) selain dirobohkan, bendera yang berhasil
dipegang oleh anggota regu lawan dalam waktu yang agak lama, maka regu lawan
akan mendapatkan satu nilai. Penentuan lama tidaknya bendera dipegang
ditentukan oleh wasit.

Jalannya Permainan
Setelah lokasi permainan ditentukan, peralatan permainan disiapkan, dan
pembagian regu telah dilakukan, maka pemain akan berdiri pada posisinya
masing-masing. Dalam satu regu, 3 orang anggotanya akan ditempatkan sebagai
penyerang dan satu orang yang dianggap paling kuat sebagai penjaga bendera
(jowak). Para penyerang tersebut nantinya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
penyerang tengah (jowak tangnga), penyerang sayap kiri (jowak biring) dan
penyerang sayap kanan (jowak biring) yang akan berdiri tepat di belakang garis
batas wilayah kekuasaan regunya dengan regu lawan. Selanjutnya, wasit akan
memberikan aba-aba dengan memukul kentongan sebanyak tiga kali agar
permainan dimulai. Ketika kentongan telah dipukul tiga kali, barulah para
penyerang akan berlari dan berhadapan untuk saling menghalangi dengan
memegang, mendorong atau membanting lawannya. Apabila ada penyerang yang
berhasil lolos dari hadangan penyerang regu lain, maka akan berhadapan dengan
penjaga bendera. Dan, apabila berhasil memegang atau menjatuhkan bendera
lawan, kelompoknya akan mendapatkan satu nilai dan permainan dimulai
kembali seperti semula. Pelanggaran yang dilakukan pada saat permainan sedang
berlangsung ditentukan oleh wasit dengan membunyikan kentongan satu kali.
Jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh setiap regu nantinya akan digunakan
sebagai perhitungan kalah-menangnya sebuah regu. Permainan akan berhenti
apabila para pemain sudah merasa lelah atau salah satu regu mengaku kalah.
Permainan akan diakhiri oleh wasit dengan memukul kentongan sebanyak tiga
kali.

Regu yang dinyatakan sebagai pemenang adalah regu yang dapat mengumpulkan
nilai lebih banyak dari regu lawannya. Regu yang menang ini disebut sebagai
topuang (penguasa). Sedangkan regu yang kalah disebut sebagai batuah musuk
atau orang yang dijadikan budak karena kalah perang. Namun, apabila perolehan
nilainya sama, penentuannya adalah dengan menghitung banyaknya pelanggaran
“ringan” yang dilakukan oleh setiap anggota regu (keluar lapangan atau
menjatuhkan bendera hingga menyentuh tanah). Dan, jika ternyata pelanggaran
yang dilakukan oleh kedua regu itu pun sama banyaknya, maka jumlah
pelanggaran “berat” yang akan dihitung, seperti membanting secara sengaja dan
menyakiti lawan (taupalik).

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai makbenteng ini
adalah kecintaan terhadap wilayah (tanah air), kerja keras, kerja sama, dan
sportivitas. Nilai kecintaan terhadap wilayah tercermin dari usaha para pemain
untuk mempertahankan bentengnya. Nilai kerja keras dan kerja sama tercermin
dari usaha untuk mempertahankan bendera regunya dan merobohkan bendera
lawan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari sikap dan perilaku yang sportif dari
para pemain. Dalam konteks ini jika kalah akan mengakui kekalahannya dengan
lapang dada, dan jika menang tidak menyombongkan diri. Sikap sportif perlu
ditunjukkan karena permainan ini adalah permainan fisik (adu kekuatan) yang
dapat menyulut emosi setiap pemain yang pada gilirannya dapat menimbulkan
perkelahian. (pepeng)
7. Gallak-gallak
Pada masyarakat Bugis-Makassar yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia, ada sebuah permainan yang disebut sebagai gallak-gallak. Dari mana
dan kapan permainan ini bermula sulit diketahui secara pasti, karena permainan
tersebut telah dikenal oleh orang Bugis-Makassar secara turun-temurun.

Gallak-gallak yang merupakan bahasa Makassar berasal dari kata gallak yang
berarti “nama gelar tertentu” yang menunjukkan status sosial seseorang dalam
masyarakatnya. Stratifikasi sosial masyarakat Bugis-Makassar pada dasarnya
dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yakni golongan bangsawan (karaeng),
golongan orang biasa (tusamara) dan hamba atau budak (ata). Orang-orang yang
secara genealogis masih keturunan raja-raja Bugis-Makassar menempati lapisan
atas yang disebut sebagai bangsawan (karaeng). Kemudian, orang-orang yang
secara genealogis bukan keturunan raja-raja disebut sebagai orang biasa
(tusamara). Sedangkan, orang-orang yang menjadi tawanan karena kalah perang
disebut sebagai hamba/budak (ata). Dewasa ini mereka hanya mengenal dua
golongan dalam stratifikasi sosialnya, yaitu karaeng dan tusamara karena
golongan ata sudah lama hilang seiring dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan di
daerah Sulawesi Selatan.

Gallak-gallak, dengan demikian, dapat diartikan sebagai suatu permainan


pemberian gelar “jadi-jadian” bagi pemain yang berhasil melewati tahap-tahap
permainan. Dalam konteks ini, sebuah regu akan menebak anggota regu lawan
yang menyembunyikan batu di dalam genggaman tangannya. Apabila tebakan
salah, maka si pemain yang menyembunyikan batu tersebut akan melangkah pada
garis-garis yang telah ditentukan, hingga melewati seluruh garis menuju sebuah
lingkaran untuk mendapatkan gelar galararung (raja/bangsawan).

Pada masa lalu, garis yang dibuat agar dapat mencapai posisi galararung, hanya
3 buah, sesuai dengan tingkatan stratifikasi masyarakat Bugis-Makassar. Namun
setelah masa kemerdekaan, dan banyak anak-anak mulai bersekolah di Sekolah
Rakyat, maka garis-garis permainan disesuaikan dengan tingkatan Sekolah
Rakyat, yaitu 6 buah.

Pemain
Gallak-gallak adalah permainan kelompok. Artinya, permainan ini baru dapat
dilakukan jika ada dua kelompok. Jumlah keseluruhan pemainnya 8--14 orang
(bergantung dari banyaknya garis tingkatan). Apabila jumlah garis yang dibuat
untuk mencapai tingkatan galararung hanya tiga buah, maka untuk satu regu
jumlahnya hanya 4 orang (seorang pemimpin (pagallak) dan 3 orang anggota atau
tunigallak). Sedangkan, apabila garisnya 6 buah, maka jumlah pemainnya untuk
satu regu adalah 7 orang (seorang pagallak dan 6 orang tunigallak). Permainan
gallak-gallak ini dapat dimainkan oleh anak laki-laki maupun perempuan yang
berumur 6--13 tahun.

Tempat Permainan
Luas arena permainan gallak-gallak bergantung dari jumlah pemainnya. Apabila
pemainnya 14 orang, maka luas arenanya sekitar 22 x 10 meter. Arena tersebut
dibagi menjadi dua bagian, kemudian ditengahnya dibuat sebuah lingkaran
sebagai “tempat pengukuhan” pemenang permainan. Sedangkan, di setiap bagian
akan dibuat 6 buah garis dengan jarak antargaris sekitar 2 meter (sebagai
tingkatan bagi pemain sebelum mendapatkan gelar galararung). Apabila jumlah
pemainnya hanya 8 orang, maka luas arena pun hanya sekitar 16 x 10 meter
persegi, karena hanya memerlukan 3 buah garis pada setiap bagiannya.
Permainan ini biasanya dilakukan pada sore hari di tanah lapang atau pekarangan
rumah yang agak luas.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini hanyalah sebuah batu sebesar
kelereng untuk setiap regu. Dalam permainan, batu tersebut diedarkan oleh
pemimpin regu, kemudian diberikan kepada salah seorang anggota regunya,
sebelum regu lawan dipersilahkan untuk menebak.

Peraturan Permainan
Permainan yang disebut sebagai gallak-gallak intinya adalah menebak batu yang
disembunyikan oleh salah seorang pemain regu lawan. Apabila tidak dapat
menebak, maka pemain yang menyembunyikan batu tersebut dipersilahkan untuk
melangkah pada garis pertama dari 3 atau 6 garis yang disediakan. Begitu
seterusnya, hingga mencapai garis terakhir dan dinyatakan sebagai pemenang.
Namun apabila tebakan regu lawan tepat, maka akan terjadi pergantian posisi.
Regu penebak akan menjadi regu yang menyembunyikan batu. Sebaliknya, regu
yang tadinya menyembunyikan batu menjadi regu penebak. Secara lebih rinci
aturan-aturan tersebut adalah: (1) pemimpin regu tidak diperkenankan
menggunakan lebih dari satu batu saat mengedarkannya; (2) pada waktu ketua
kelompok menunjuk salah seorang pemain (lawan), maka pemain tersebut harus
mengangkat kedua tangannya, untuk memperlihatkan ada atau tidak batu di
tangannya; (3) pemimpin regu tidak boleh mengedarkan batu lagi pada saat regu
lawan sedang menebak; (4) pada saat menebak harus menunjuk satu orang
pemain lawan saja, dan tidak boleh dua atau tiga orang pemain sekaligus; (5)
pemain yang kebetulan memegang batu dan tidak berhasil ditebak oleh regu
lawan, berhak maju sabanyak satu garis; dan (6) pemain hanya boleh maju satu
garis demi satu garis dan tidak boleh dua atau tiga garis sekaligus.

Proses Permainan
Setelah lokasi permainan ditentukan, maka peserta akan membagi diri menjadi
dua regu dengan jalan musyawarah. Kemudian, setiap regu akan bermusyawarah
kembali untuk menentukan salah seorang diantara mereka yang akan menjadi
pemimpin regu. Orang yang menjadi pemimpin regu biasanya adalah orang yang
“dituakan” dan lebih “berwibawa” ketimbang yang lain, sehingga dapat mengatur
anggota regunya.

Kedua pemimpin regu (pagallak) berhadapan dan mengadakan undian dengan


cara siut. Siapa yang menang, regunya akan memulai permainan. Setelah itu,
masing-masing tunigallak akan berbaris satu atau dua meter dari garis start
pertama dengan posisi tangan seperti sedang dalam keadaan “istirahat di tempat”.
Sementara, pagallak berdiri di belakang para tunigallak. Bagi regu yang
mendapat giliran untuk bermain, pagallak-nya mulai mengedarkan batu kecil
pada setiap anggotanya secara berganti-gantian. Pada waktu mengedarkan
tersebut, pagallak akan menaruh batu pada seorang pemain sambil terus
mengedarkan batu “kosong” hingga regu lawan sukar untuk menebak.

Setelah selesai menaruh batu pada salah seorang anggotanya, pemimpin regu
tersebut akan mempersilahkan regu lawan untuk menebak. Regu lawan
selanjutnya bermusyawarah, dan setelah selesai, pemimpinnya akan menunjuk
salah seorang pemain yang diperkirakan menyembunyikan batu.

Pemain yang ditunjuk kemudian akan mengangkat kedua tangannya ke atas untuk
membuktikan ada atau tidaknya batu pada genggaman tangannya. Apabila tidak
terbukti, maka pemain tersebut dipersilahkan untuk maju satu langkah (satu garis).
dan pemimpin regunya akan kembali mengedarkan batu ke setiap pemain untuk
ditebak oleh regu lawan. Demikian seterusnya, hingga seluruh anggota melewati
garis-garis yang telah ditetapkan, dan akhirnya berada di dalam lingkaran untuk
dikukuhkan sebagai raja. Namun, apabila tebakan regu lawan tepat, maka akan
terjadi pergantian posisi, regu pengedar batu akan menjadi regu penebak dan regu
penebak akan mengedarkan batu. Regu yang anggotanya paling banyak
menduduki posisi raja dinyatakan sebagai pemenang permainan.
Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan gallak-gallak adalah: kerja sama dan
sportivitas. Nilai kerja sama tercermin dari sikap seluruh anggota regu yang
seolah-olah sedang menyembunyikan batu, sehingga lawan sukar menebak. Nilai
sportivitas tercermin dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang selama
permainan berlangsung. Sikap sportif ini perlu ditunjukkan karena dalam
permainan ini para pemain akan berusaha menyembunyikan sebuah batu kecil.

8. Mallulok
Luwuk adalah salah satu daerah yang tergabung dalam Provinsi Sulawesi Selatan.
Di daerah ini ada sebuah permainan yang oleh mereka disebut mallulok. Mallulok
merupakan kata jadian (penggabungan) dari dua kata, yakni ma yang berarti
“melakukan sesuatu” dan lulok yaitu nama sebuah alat yang digunakan untuk
menghalau binatang, terutama burung-burung. Alat ini jika dipergunakan akan
mengeluarkan suara yang bising. Kebisingan inilah yang kemudian membuat
binatang atau burung-burung ketakutan (lari menjauh).

Konon, pada walnya permainan ini dilakukan oleh anak-anak petani ketika sawah
telah kering dan bersih dari tanaman padi (sesudah panen). Dalam permainan ini,
siapa yang kalah harus berteriak-teriak, sehingga burung-burung yang menyerang
padi-padi yang lepas dari tuaian menjadi ketakutan dan berterbangan. Ketika itu,
alat yang digunakan untuk bermain bukan batu pipih yang, jika dilempar, dapat
mengeluarkan suara yang bising, tetapi sembarang batu.

Dalam perkembangannya, permainan ini tidak hanya dimainkan di sawah saja,


melainkan di sekitar permukiman penduduk (perkampungan). Teriakan-teriakan
keras yang dilakukan oleh pemain yang kalah tentunya mengganggu ketenangan
warga dan karenanya banyak yang melarangnya. Lalu, sebagai ganti teriakan
pemain, digunakan batu yang berbentuk pipih, yang jika dilontarkan akan
mengeluarkan suara yang menyerupai suara lulok. Suara yang keluar dari batu
pipih tersebut, walau tidak terlalu bising, dianggap dapat menggantikan suara
teriakan pemain yang kalah. Oleh karena itu, permainan ini kemudian disebut
sebagai mallulok.

Pemain
Mallulok adalah suau permainan yang memerlukan fisik dan tenaga yang kuat,
sehingga permainan ini pada umumnya dilakukan oleh laki-laki, baik anak-anak
maupun remaja (usia 7--16 tahun). Permainan ini dilakukan secara kelompok.
Jadi, ada 2 kelompok yang masing-masing beranggotakan 3 orang.

Tempat permainan
Mallulok dapat dimainkan di mana saja, dengan catatan di atas areal yang luasnya
80 meter persegi (10 x 8 meter). Jadi, bisa di lapangan, di pekarangan rumah (adat)
ataupun di tempat-tempat lain yang memungkinkan. Arena yang luasnya 80 meter
persegi itu diberi 3 buah garis batas lontar. Garis pertama jaraknya sekitar 9 meter
dari batu lulok, garis kedua sekitar 7,5 meter, dan garis ketiga (terakhir) jaraknya
sekitar 6 meter.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan adalah sebuah batu yang bentuknya agak bulat dan
pipih dengan diameter sekitar 6 cm (untuk setiap pemain). Batu-batu tersebut
bukan buatan pemain, tetapi “batu alam” (terbentuk secara alami) yang dapat
diperoleh (dicari) di sekitar sungai. Batu ini sering disebut sebagai pengngambak.
Selain batu itu, ada juga batu lulok yang berukuran besar (sebesar buah kelapa),
yang digunakan sebagai sasaran lontaran.

Aturan Permainan
Inti dari permainan yang disebut sebagai mallulok ini, adalah pelontaran
pengngambak ke batu sasaran (batu lulok). Regu yang dapat mengenai batu
sasaran, dinyatakan sebagai pemenangnya. Aturan mainnya adalah sebagai
berikut: (1) lontaran yang dianggap sah adalah yang berhasil mengenai batu
sasaran (batu lulok); (2) apabila pengngambak jatuhnya berdempetan dengan batu
lulok, maka pengngambak akan digeser. Jika dalam pergeseran itu batu
pengngambak bergoyang/bergetar, maka lontaran tersebut dianggap sah. Namun,
jika tidak, lemparan dianggap tidak sah; (3) apabila salah satu anggota regu
berhasil mengenai batu lulok, maka anggota yang lain dalam regu tersebut tidak
perlu melempar lagi, dan dapat maju ke garis batas lemparan yang berikutnya; (4)
apabila pelontar pertama tidak dapat mengenai batu lulok, maka dapat diganti
oleh anggota regunya yang lain; (5) pemain yang lontarannya mengenai batu
pengngambak lawan yang sudah terlebih dahulu dilontarkan, harus kembali
mengulangi lontarannya; (6) sebelum mulai melontar, pemain harus berjongkok
dan melentingkan batu pengngambaknya terlebih dahulu ke udara melewati batas
lutut, dan kemudian ditangkap kembali. Apabila tidak berhasil menangkap,
pemain tersebut tidak diperkenankan untuk melontar; dan (7) pergantian pelontar
dilakukan apabila seluruh anggota regu tidak dapat mengenai batu lulok.

Proses Permainan
Permainan ini diawali dengan undian untuk menentukan regu mana yang akan
mulai permainan. Proses pengundian dimulai dengan berbarisnya setiap anggota
regu pada garis anjak yang terjauh dari batu lulok. Kemudian, satu-persatu
anggota kedua regu tersebut akan melemparkan pengngambaknya ke arah batu
sasaran. Bagi regu yang anggotanya paling banyak mengenai batu lulok, maka
regu tersebut akan memulai permainan. Namun, apabila tidak ada seorang pun
yang dapat mengenai batu sasaran, maka batu pengngambak pemain yang paling
dekat dengan sasaran yang akan memulai permainan. Selanjutnya, bagi regu yang
kalah, akan berdiri di dekat batu lulok untuk mengamati jalannya permainan.
Sedangkan, anggota regu yang mendapat giliran untuk melontar berdiri di garis
anjak yang terjauh dari batu lulok (jaraknya sekitar 9 meter). Sebelum mulai
melontar, anggota regu yang mendapat giliran akan berjongkok dan melentingkan
batu pengngambaknya hingga melebihi lutut sebelum ditangkap kembali.
Apabila ia dapat menangkap pengngambaknya, maka pemain tersebut baru
diperbolehkan melontarkannya ke batu sasaran. Apabila pemain tidak berhasil
menangkap pengngambak yang dilentingkannya, maka ia dianggap gagal dan
harus digantikan oleh anggota regunya yang lain.

Cara-cara melempar yang ditetapkan pada setiap garis anjak dapat dibagi menjadi
3, yaitu:

(1) Pada garis anjak pertama, pemain boleh melontarkan pengngambaknya


sambil berdiri. Apabila salah seorang dari anggota ada yang berhasil mengenai
batu lulok, maka seluruh anggota regu dinyatakan berhasil dan dapat maju ke
garis anjak yang kedua;

(2) pada garis anjak yang kedua, pemain diharuskan untuk melontar sambil
berjongkok. Pada tahap ini, pemain juga diharuskan untuk melentingkan
pengngambaknya terlebih dahulu sebelum melontarkannya ke arah batu lulok;
dan

(3) pada garis anjak yang terakhir, yang berjarak sekitar 6 meter dari batu lulok,
pemain diharuskan berjongkok dengan kaki kanan ke depan. Saat berada dalam
posisi tersebut, pemain kemudian akan melontarkan pengngambaknya dari
belakang, melewati “lorong” di antara kedua kakinya. Apabila telah berhasil
mengenai batu lulok maka regu tersebut akan mendapatkan satu nilai, dan
permainan dimulai lagi seperti semula dengan regu pelontar menjadi pengamat
dan sebaliknya, regu pengamat menjadi pelontar. Bagi regu yang berhasil
mendapatkan satu nilai, dipersilahkan untuk melemparkan batu pengngambaknya
sejauh mungkin. Tempat jatuhnya batu pengngambak tersebut, nantinya akan
digunakan sebagai “garis start” yang harus ditempuh oleh regu yang kalah untuk
menggendong regu yang menang, hingga ke garis anjak permainan. Dalam
permainan mallulok, regu yang paling banyak mendapatkan nilai akan dinyatakan
sebagai pemenang.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai mallulok adalah:
kerja keras, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat
pemain yang berusaha agar pengngambak yang dilontarkannya dapat mengenai
sasaran (batu lulok). Nilai kerja sama tercermin dari kekompakan setiap regu,
yang anggotanya akan saling membantu agar dapat melewati tahap-tahap
permainan secara bersama-sama, sampai berhasil mendapatkan satu nilai. Nilai
sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat
curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan
dengan lapang dada.

❖ Jenis permainan tradisional di sulawesi tengah dan kearifan lokal

Permainan Nobangan
Nobangan adalah sebutan bagi orang Kaili di Sulawesi Tengah untuk sebuah
permainan melempar kemiri yang dijadikan gacu ke sebuah lingkaran yang di
dalamnya terdapat kemiri lain sebagai taruhannya. Nobangan itu sendiri
merupakan gabungan dari dua kata, yaitu “no” dan “banga”. “No” adalah kata
awalan yang menunjukkan kata kerja dan “banga”, yang secara harafiah berarti
“tempurung kelapa”, dalam permainan nobangan berarti suatu kejadian pada saat
gacu mengenai dan mengeluarkan kemiri taruhan dari dalam lingkaran. Saat itu
para pemain akan berteriak mobanga. Jadi, kata mobanga sebenarnya hanya
berhubungan dengan kena atau tidaknya gacu pada taruhan yang ada di dalam
lingkaran.
Pemain

Permainan nobangan ini dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak, yang


pada umumnya dilakukan oleh anak laki-laki usia 7-14 tahun. Jumlah pemainnya
2-6 orang.

Tempat Permainan

Permainan yang disebut sebagai nobangan ini tidak membutuhkan tempat


(lapangan) yang khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja, asalkan di atas tanah.
Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah lapang atau di pekarangan rumah. Di dalam
arena permainan tersebut akan dibuat sebuah lingkaran yang berdiameter sekitar
10 cm. sedangkan, jarak antara garis batas lemparan pemain dengan lingkaran
sekitar 6-10 meter.

Peralatan Permainan

Peralatan yang digunakan adalah beberapa buah kemiri. Kemiri-kemiri tersebut


nantinya ada yang digunakan sebagai pelontar (pataba) dan ada yang dijadikan
sebagai taruhan (potaa). Kemiri yang akan digunakan sebagai taruhan (potaa)
jumlahnya sekitar 4--5 biji untuk setiap pemain. Sedangkan, kemiri yang akan
dijadikan pataba bentuknya lebih besar yang dihiasi dengan satu atau dua helai
bulu ekor ayam jantan yang panjang dan beberapa helai bulu lainnya yang lebih
kecil dan pendek. Cara membuat pataba ini, mula-mula kemiri yang telah dipilih,
dilubangi pada bagian atasnya kira-kira sebesar ujung tangkai bulu ekor ayam
jantan dengan menggunakan pisau atau bor. Selanjutnya seluruh isi kemiri
dikeluarkan, sehingga terdapat rongga pada buah kemiri itu. Setelah itu,
dimasukkan ujung tangkai bulu ekor ayam jantan, lalu diteteskan tima putih cair.
Apabila tima putih telah kering, disekitar bulu ayam jantan yang panjang itu,
dipasang lagi bulu yang diambil pada bagian leher atau bagian punggung ayam
dan dibalut dengan tarujanese.

Aturan Permainan

Aturan permainan nobangan adalah sebagai berikut:

(1) pada saat melontar, pemain tidak boleh melewati garis batas;

(2) pemain yang pataba-nya mengenai kemiri taruhan (potaa) hingga keluar dari
lingkaran, dapat mengambil potaa tersebut dan mengulangi melontar;

(3) apabila lontaran tidak berhasil mengenai potaa, maka posisinya akan
digantikan oleh pemain lain; dan

(4) pemain yang dapat mengumpulkan potaa paling banyak, dinyatakan sebagai
pemenang.

Jalannya Permainan

Ada tiga tahap yang harus dilalui atau dilakukan dalam permainan ini. Pertama,
tahap pengundian sebelum permainan dimulai, dengan cara melontarkan pataba
ke arah lingkaran. Pemain yang dapat memasukkan pataba-nya ke dalam
lingkaran akan memulai permainan. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang
dapat memasukkan pataba-nya ke dalam lingkaran, maka pataba yang paling
dekat dengan lingkaran akan memulai permainan. Apabila ada beberapa pataba
yang jaraknya sama, maka pelontarnya diharuskan untuk melontar kembali.
Tahap kedua, pemain yang mendapat kesempatan memulai permainan akan
mengumpulkan kemiri taruhan dari setiap pemain untuk ditaruh di dalam
Lingkaran. Tahap ketiga, yaitu setelah kemiri taruhan berada di dalam lingkaran,
pemain akan mulai melontarkan pataba-nya. Apabila pataba dapat mengenai
taruhan (potaa), maka buah kemiri taruhan tersebut menjadi milik si pelontar dan
selanjutnya akan melontarkan kembali pataba-nya. Begitu seterusnya, hingga
potaa dalam lingkaran habis. Namun, apabila tidak ada satu kemiri taruhan pun
yang dapat dikenai, maka pelontar harus digantikan oleh pemain yang lain.
Pemain yang dapat mengumpulkan buah kemiri taruhan paling banyak
dinyatakan sebagai pemenang.

Nilai Budaya

Nilai yang terkandung dalam permainan nobangan adalah: ketangkasan,


kecermatan, keuletan, dan sportivitas. Nilai ketangkasan, kecermatan dan
keuletan tercermin dari usaha para pemain untuk dapat mengenai kemiri taruhan,
walaupun posisinya terkadang sangat sulit. Dan, nilai sportivitas tercermin
tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat
berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menyerahkan buah-buah kemiri yang
menjadi taruhan kepada lawan main yang keluar sebagai pemenangnya. (gufron).

❖ Permainan tradisional disulawesi tenggara

Celle (permainan)

Celle merupakan jenis permainan tradisional yang berasal dari salah satu daerah
di sulawesi tenggara. Dinamakan juga dengan Selle oleh penduduk di
Kecamatan lasoko dan sampara. Ada kemungkinan ini berasal dari bahasa
Bugis atau bahasa daerah Kendari yang telah mendapat pengaruh dialek Bugis,
karena wilayah ini terdiri atas sebagian orang-orang Bugis. Dalam bahasa
Kendari (bahasa Tolaki) hanya ada istilah seleko yang merupakan nama salah
satu tempat penyimpanan padi terdiri atas selembar jelajah bambu yang
dilingkarkan sehingga berbentuk drum. Dimungkinkan dari sini kemudian
dihubungkan dengan suatu permainan yang mana para pemainnya berusaha
untuk mempertahankan sekeliling lingkaran permainan agar tidak dimasuki
lawan untuk diserang. Sejak pendudukan jepang di Sulawesi Tenggara,
permainan ini mulai berkembang di daerah Kabupaten Kendari. Akan tetapi,
berdasarkan tradisi masyarakat suku tolaki di Kabupaten Kendari, permainan ini
merupakan hasil kreasi mereka sendiri. Siapa pencipta permainan ini masih
menjadi misteri sampai saat ini. Namun, diperkirakan permainan ini telah
berusia lebih dari setengah abad.Permainan ini biasa dimainkan oleh anak-anak
sekolah pada sore atau malam hari.
permainan ini, antara lain:
◆ Jumlah, usia, dan jenis kelamin pemain terdiri dari dua kelompok yang
saling berkompetisi, tiap kelompok memiliki namanya masing-masing
sesuai selera mereka. Satu kelompok terdiri atas 4 s.d. 7 orang dengan
ketentuan jumlah anggota dari masing-masing kelompok sama. Usia rata-
rata 9 sampai 15 tahun. Dapat dimainkan oleh laki-laki saja, perempuan
saja, ataupun dicampur keduanya
◆ Peralatan permainan hanya memerlukan sebuah lapangan rata yang tidak
berumput dan berlumpur. Di atas tanah lapang tersebut dibuat sebuah
lingkaran dengan jari-jari +/- 3 meter
Permainan dilakukan dengan jalan:
sebelum dimulai, masing-masing kelompok telah menetapkan anggotanya, satu
diantaranya bertindak sebagai Kapten; kedua pimpinan melakukan suit untuk
menentukan kelompok mana yang menjadi penjaga dan penyerang terlebih
dahulu, kelompok yang kalah bertindak sebagai penjaga
Tahap pertama, kelompok pemenang mencari tempat persembunyian dan
mengintai wilayah lawan, mereka mengamati sekitar wilayah pertahanan lawan
Tahap kedua, anggota kelompok penyerang bergerak dari persembunyian untuk
menyerang ke medan pertahanan lawan (pihak penjaga menjaga ketat daerah
pertahanannya agar tidak dimasuki lawan sebelum mereka dapat menyentuh
bagian tubuh penyerangnya, sebaliknya penyerang berusaha mengelakkan diri
dari jangkauan lawan dan memasuki garis pertahanan lawan dengan selamat
tanpa tersentuh kelompok yang bertahan.
Tahap ketiga, terjadi pengejaran oleh penjaga terhadap kelompok penyerang
yang mendekati garis pertahanan melalui satu garis lurus (tidak boleh
membelok), penyerang dapat mengelakkan diri dari jangkauan lawan dengan
membelok sedikit dari garis pelariannya tetapi tidak boleh keluar dari batas
lapangan yang sudah dibuat
Tahap keempat, bila seorang penyerang tertangkap (berhasil disentuh) penjaga,
maka yang bersangkutan dianggap gugur, tetapi bila salah satu anggota
penyerang berhasil menginjak wilayah pertahanan lawan ia harus berteriak
"Celle" dan mengangkat kedua tangan sebagai tanda kemenangan (pada saat itu
juga pengejaran bagi penyerang yang belum gugur dihentikan dan dinyatakan
satu kemenangan bagi kelompok penyerang
Tahap kelima, merupakan tahap pergantian peran antara kedua kelompok
(peralihan peran terjadi bila keseluruhan anggota penyerang gugur sebelum ada
yang berhasil memasuki wilayah pertahanan lawan), bila terjadi hal tersebut,
maka kelompok penjaga segera menyebar untuk mencari tempat persembunyian
di sekitar wilayah pertahanan lawan sedangkan kelompok yang tadinya
bertindak sebagai penyerang harus segera memasuki lingkaran pertahanan dan
mengamati tiap gerak-gerik lawan yang sudah siap mengintai dan memasuki
wilayah pertahanan.

Anda mungkin juga menyukai