Anda di halaman 1dari 24

7

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori
1. Metode Diskusi
a. Pengertian Metode Pembelajaran
Metode secara harfiah berarti cara. Dalam pemakaian yang umum,
metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk
mencapai tujuan tertentu. Metode pembelajaran berarti cara-cara yang
dipakai untuk menyajikan bahan pelajaran kepada peserta didik untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Salah satu
keterampilan guru yang memegang posisi penting adalah keterampilan
memilih metode pembelajaran. Pemilihan metode pembelajaran berkaitan
langsung dengan usaha guru dalam menampilkan pengajaran sesuai
dengan situasi dan kondisi, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai
secara optimal (Fathurrohman,dkk, 2007: 55).
Metode merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran
tertentu dan memiliki peranan yang sangat strategis. Nilai strategis
metode pembelajaran dapat mempengaruhi jalannya kegiatan
pembelajaran. Suatu contoh, kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru
menjadi kurang terjadi interaksi antara guru dan peserta didik serta
kurang memberikan motivasi belajar kepada peserta didik karena
menggunakan metode pembelajaran yang kurang tepat. Pemilihan metode
mengajar yang kurang tepat justru akan mempersulit guru untuk
mencapai tujuan pembelajaran (Djamarah, 2006: 86).
Metode megajar pada umumnya ditujukan untuk membimbing
peserta didik dalam belajar sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-
masing. Efektifitas penggunaan metode pembelajaran tergantung pada
kesesuaian metode pembelajaran dengan tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran, kemampuan guru, kondisi peserta didik, sarana dan
prasarana, situasi dan kondisi serta waktu (Sumiati, 2008: 91).

7
8

Surakhmad dalam Djamarah (2006: 46) mengemukakan lima


macam faktor yang mempengaruhi metode pembelajaran yaitu:
Pertama, tujuan dan berbagai jenis dan fungsinya. Kedua, anak
didik dan berbagai macam tingkat kematangannya. Ketiga situasi
dan berbagai macam keadaanya. Keempat, fasilitas dan berbagai
kualitas dan kuantitas. Kelima, pribadi guru serta kemampuan
profesionalnya yang berbeda-beda.

Menurut berbagai pengertian tentang metode pembelajaran, dapat


diambil kesimpulan bahwa metode belajar adalah cara yang dilakukan
oleh guru untuk mencapai tujuan belajar dalam proses pembelajaran
untuk mewujudkan hubungan dengan peserta didik dalam proses
pembelajaran. Oleh karena itu, peranan metode belajar ialah sebagai alat
untuk menciptakan proses belajar mengajar. Pada kegiatan belajar
mengajar, metode diperlukan oleh guru dan penggunaannya bervariasi
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pengajaran berakhir.

b. Pengertian Diskusi
Kata diskusi berasal dari bahasa latin yaitu discussus yang berarti to
excamine, investigte (memeriksa atau menyelidiki). Discuture berasal dari
kata dis dan cuture, dis artinya terpisah, cuture artinya
menggulung/memukul. Kalau diartikan maka discuture adalah suatu
pukulan yang dapat memisahkan sesuatu. Atau dengan kata lain membuat
sesuatu itu jelas dengan cara memecahkan atau menguraikan sesuatu
tersebut (Arikunto, 2012:212).
Diskusi adalah suatu proses penglihatan dua atau lebih individu
yang berinteraksi secara verbal dan saling berhadapan muka mengenai
tujuan atau sasaran yang sudah ditentukan melalui cara tukar menukar
informasi, mempertahankan pendapat, atau pemecahan masalah. Dengan
demikian diskusi adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana
guru memberi kesempatan kepada siswa (kelompok-kelompok siswa)
untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat,
membuat kesimpulan, atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas
suatu masalah (Taniredja, 2011: 23).
Diskusi juga mengandung unsur-unsur demokratis, berbeda dengan
ceramah, diskusi tidak diarahkan oleh guru, siswa diberi kesempatan
untuk mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Ada berbagai bentuk
kegiatan yang dapat disebut diskusi, dari tanya jawab yang kaku sampai
pertemuan kelompok yang tampaknya lebih bersifat terapis daripada
instruksional (Hadi, 2001: 84).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa
metode diskusi adalah proses pembelajaran dimana guru memberi
kesempatan kepada para siswa/kelompok untuk mengadakan
perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat
kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan suatu masalah.
Metode diskusi juga dimaksudkan untuk merangsang siswa dalam belajar
dan berpikir secara kritis dan mengeluarkan pendapatnya secara rasional
dan obyektif dalam pemecahan suatu masalah sehingga dengan metode
ini diharapkan proses pembelajaran akan lebih mengarah pada
pembentukan kemandirian siswa dalam berpikir dan bertindak.

2. Tinjauan Tentang Metode Diskusi Buzz Group


a. Pengertian Diskusi Buzz Group
Buzz Group adalah sebuah tim yang terdiri atas 4 hingga 6
mahasiswa/siswa yang dibentuk dengan cepat dan tanpa persiapan untuk
merespon pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
pembelajaran. Setiap kelompok dapat merespons satu atau lebih
pertanyaan dan dapat mendiskusikan pertanyaan yang sama atau berbeda.
Teknik diskusi buzz group ini efektif untuk menggali informasi dan
gagasan dalam waktu singkat. Dengan membagi seluruh kelas menjadi
kelompok-kelompok kecil, akan lebih banyak siswa yang mendapat
kesempatan untuk mengekspresikan pikiran mereka sehingga diskusi
kelas biasanya menjadi lebih kaya dan partisipatif (Barkley, dkk. dalam
Yusron, 2014: 169).
Metode diskusi buzz group merupakan diskusi yang terdiri dari
kelompok-kelompok kecil beranggotakan 3-4 siswa yang mendiskusikan
sub bab topik. Setelah diperoleh hasil diskusi maka perwakilan dari tiap
kelompok kecil memaparkan hasil diskusinya ke diskusi pleno dan
meminta kelompok kecil lainnya untuk menanggapi atau menambahkan
dari hasil diskusi yang telah dipaparkan tersebut. Melalui kegiatan diskusi
buzz group siswa akan diajak untuk benar-benar aktif dalam silang
pendapat untuk mencapai suatu pemecahan masalah (Sudjana, 2005:
122).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian diskusi
kelompok kecil (buzz group discusion) adalah sebuah kelompok besar
yang berkumpul dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil sekitar 3
sampai 6 orang untuk mendiskusikan masalah tertentu dalam waktu yang
singkat, misalnya 5 menit atau tidak lebih dari 15 menit. Sesi buzz
kemudian harus ditindaklanjuti dengan diskusi kelas utuh untuk
menyimpulkan hasil temuan. Seorang pemimpin yang telah ditunjuk oleh
masing-masing kelompok buzz melaporkan temuannya ke kelompok
besar.
Diskusi kelompok kecil ini diadakan ditengah atau di akhir
pelajaran dengan maksud menajamkan kerangka bahan pelajaran,
memperjelas bahan pelajaran atau menjawab pertanyaan-pertanyaan.

b. Tujuan Pembelajaran Diskusi Buzz Group


Tujuan dari pengajaran kelompok buzz menurut Pinheiro & Connors
dalam Ichsan (2010: 39) ) ialah sebagai berikut:
Pertama, membina kerjasama. Kedua, meningkatkan partisipasi di
antara semua anggota kelompok. Ketiga, mengaktifkan pengetahuan
sebelumnya dari peserta didik. Keempat, berfungsi sebagai metode
untuk pemecahan masalah. Kelima, mendorong refleksi kelompok

Dengan demikian tujuan dari diskusi kelompok kecil (buzz group


discussion) yaitu berfungsi sebagai metode untuk pemecahan masalah,
membina kerjasama dan partisipasi dalam sebuah kelompok,
membantu melatih berpikir ketika berinteraksi dengan orang lain. Dengan
diskusi siswa dapat melatih diri untuk memecahkan masalah, sehingga
pembelajaran yang diharapkan dengan pendekatan PAIKEM
(pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) dapat
terwujud.

c. Langkah-Langkah Diskusi Buzz Group


Dalam pelaksanakan metode diskusi buzz group terdapat beberapa
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pendidik bersama peserta didik memilih dan menentukan masalah dan
bagian-bagian masalah yang akan dibahas dan perlu dipecahkan dalam
kegiatan belajar.
2. Pendidik menunjuk beberapa peserta didik untuk membentuk
kelompok kecil. Jumlah kelompok yang akan dibentuk dan banyaknya
peserta dalam setiap kelompok kecil disesuaikan dengan jumlah bagian
masalah yang akan dibahas.
3. Pendidik membagikan bagian-bagian masalah kepada masing-masing
kelompok kecil. Satu kelompok membahas satu bagian masalah.
Selanjutnya, pendidik menjelaskan tentang tugas kelompok yang harus
dilakukan, waktu pembahasan (biasanya 5-15 menit), pemilihan
pelapor, dan lain sebagainya.
4. Kelompok-kelompok kecil berdiskusi untuk membahas bagian
masalah yang telah ditentukan. Para peserta didik dalam kelompok
kecil itu memperjelas bagian masalah, serta memberikan saran-saran
untuk pemecahannya.
5. Apabila waktu yang ditentukan telah selesai, pendidik mengundang
kelompok-kelompok kecil untuk berkumpul kembali dalam kelompok
besar, kemudian mempersilahkan para pelapor dari masing-masing
kelompok kecil secara bergiliran untuk menyampaikan laporannya
kepada kelompok besar.
6. Selanjutnya para peserta didik diminta untuk menambah, mengurangi,
atau mengomentari laporan tersebut.
7. Pendidik dapat menugaskan salah seorang atau beberapa orang peserta
didik untuk merangkum hasil pembahasan akhir laporan itu.
8. Pendidik bersama peserta didik dapat mengajukan kemungkinan
kegiatan lanjutan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil diskusi dan
selanjutnya melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil diskusi itu
(Sudjana, 2005: 123).

d. Kelebihan dan Kekurangan Diskusi Buzz Group


Kelebihan dari diskusi kelompok kecil (buzz group discussion)
diantaranya ialah 1) Peserta didik yang kurang biasa menyampaikan
pendapat dalam kelompok belajar dibantu untuk berbicara dalam
kelompok kecil. 2) Menumbuhkan suasana yang akrab, penuh perhatian
terhadap pendapat orang lain, dan mungkin akan menyenangkan. 3)
Dapat menghimpun berbagai pendapat tentang bagian-bagian masalah
dalam waktu singkat. 4) Dapat digunakan bersama teknik lain sehingga
penggunaan teknik ini bervariasi (Sudjana, 2005: 124).
Sementara itu diskusi buzz group memiliki beberapa kekurangan
sebagai berikut: 1) Kemungkinan terjadi kelompok yang terdiri dari orang
yang tidak tahu apa-apa. 2) Dapat memboroskan waktu, terutama bila
terjadi hal-hal yang bersifat negatif. 3) Perlu belajar apabila ingin
memperoleh hasil yang maksimal. 4) Kemungkinan mendapatkan
pemimpin yang lemah. 5) Laporan hasil diskusi kemungkinan tidak
tersusun dengan baik (Sudjana, 2005: 124).

3. Keaktifan Belajar
a. Pengertian Keaktifan Belajar
Aktif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 23) berarti
giat. Aktif mendapat awalan ke- dan –an, sehingga menjadi keaktifan
yang mempunyai arti kegiatan atau kesibukan. Jadi, keaktifan belajar
adalah kegiatan atau kesibukan peserta didik dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah maupun di luar sekolah yang menunjang
keberhasilan belajar siswa.
Keaktifan tersebut tidak hanya keaktifan jasmani saja, melainkan
juga keaktifan rohani. Keaktifan jasmani dan rohani yang dilakukan
peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar adalah sebagai berikut:
Pertama, keaktifan indera; pendengaran, penglihatan, peraba, dan
sebagainya. Peserta didik harus dirangsang agar dapat menggunakan alat
inderanya sebaik mungkin. Mendikte dan memerintahkan mereka menulis
sepanjang jam pelajaran akan menjenuhkan. Demikian pula dengan
menerangkan terus tanpa menulis sesuatu di papan tulis. Maka pergantian
dari membaca ke menulis, menulis ke menerangkan dan seterusnya akan
lebih menarik dan menyenangkan. Kedua, keaktifan akal; akal peserta
didik harus aktif atau diaktifkan untuk memecahkan masalah,
menimbang, menyusun pendapat dan mengambil keputusan. Ketiga,
keaktifan ingatan; pada saat proses belajar mengajar peserta didik harus
aktif menerima bahan pelajaran yang disampaikan oleh guru, dan
menyimpannya dalam otak. Kemudian pada suatu saat ia siap dan mampu
mengutarakan kembali. Keempat, keaktifan emosi dalam hal ini peserta
didik hendaklah senantiasa berusaha mencintai pelajarannya, karena
dengan mencintai pelajarannya akan menambah hasil belajar peserta
didik itu sendiri (Sriyono dkk, 1992: 75).
Aktivitas siswa pada saat proses pembelajaran perlu diperhatikan
oleh guru, agar proses belajar mengajar yang ditempuh mendapatkan
hasil yang maksimal. Maka guru perlu mencari cara untuk meningkatkan
keaktifan siswa.
Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan
aktivitas dan kreatifitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan
pengalaman belajar. Keaktifan belajar siswa merupakan unsur dasar yang
penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Keaktifan adalah kegiatan
yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berfikir sebagai
suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan (Sardiman, 2001:98).
Pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruh
atau setidaknya sebagian besar peserta didik terlibat secara aktif, baik
fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping
menunjukan kegairahan belajar tinggi, semangat belajar besar, dan rasa
percaya diri sendiri. Berdasarkan hal tersebut, upaya guru dalam
mengembangkan keaktifan belajar siswa sangatlah penting, sebab
keaktifan belajar siswa menjadi penentu bagi keberhasilan pembelajaran
yang dilaksankan (Mulyasa, 2004: 32).
Belajar dengan mengaktifkan siswa wajib dilakukan guru agar
mereka mempunyai kemandirian, kepercayan diri, semangat dan
kerjasama antara para siswa. Kemandirian belajar agar mereka dapat
memecahkan masalah sendiri. Selain itu siswa diharapkan mendapat
gambaran dan memahami pelajaran dengan sebaik-baiknya sehingga
pengetahuan yang mereka peroleh adalah pengetahuan berharga yang
mereka dapatkan dari hasil keringat dan menjadi internalisasi diri mereka
(Silberman, 2007: 17).
Siswa dikatakan aktif dalam kegiatan pembelajaran jika siswa
melakukan sebagian besar pekerjaan yang harus dilakukan. Mereka
menggunakan otak mereka, mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan
berbagai masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari (Silberman,
2007: 21).
Menurut Bonwell dalam Machmudah & Rasyidi (2005: 90)
pembelajaran aktif memiliki karakteristik sebagai berikut:
Pertama, penekanan proses pembelajaran bukan pada penyampaian
informasi oleh pengajar melainkan pada pengembangan
keterampilan pemikiran analitis dan kritis terhadap topik atau
permasalahan yang dibahas. Kedua, siswa tidak hanya
mendengarkan pelajaran secara pasif, tetapi mengerjakan sesuatu
yang berkaitan dengan materi pelajaran. Ketiga, penekanan pada
eksplorasi nilai-nilai dan sikap-sikap berkenaan dengan materi
pelajaran. Keempat, siswa lebih banyak dituntut berfikir kritis,
menganlisa dan melakukan evaluasi. Kelima, umpan balik yang
lebih cepat akan terjadi dalam proses pembelajaran.
Karakteristik pembelajaran di atas dapat terwujud dengan adanya
penerapan metode pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi
kelas, siswa dan materi yang disampaikan.

b. Klasifikasi Keaktifan Belajar


Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di sekolah.
Aktivitas siswa tidak hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang
lazim terdapat di sekolah – sekolah tradisional. Sardiman (2009: 100)
menjelaskan jenis-jenis aktivitas siswa dalam belajar adalah sebagai
berikut:
1) Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya membaca,
memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang
lain. 2) Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya,
memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara,
diskusi. 3) Listening activities, sebagai contoh mendengarkan
percakapan, diskusi, musik, pidato. 4) Writing activities, seperti
menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin. 5) Drawing
activities, misalnya menggambar, membuat grafik, peta, diagram. 6)
Motor activities, yang termasuk didalamnya antara lain melakukan
percobaan, membuat konstruksi, bermain. 7) Mental activities,
sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan
soal, menganalisa, mengambil keputusan. 8) Emotional activities,
seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat,
bergairah, tenang.
Salah satu penilaian proses dalam KBM adalah melihat sejauh mana
keaktifan siswa dalam mengikutinya pembelajaran tersebut. Sudjana
(2004: 61) menyatakan keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal:
1) Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya. 2) Terlibat
dalam pemecahan masalah. 3) Bertanya kepada siswa lain atau guru
apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya. 4) Berusaha
mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan
masalah. 5) Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan
petunjuk guru. 6) Menilai kemampuan dirinya dan hasil– hasil yang
diperolehnya. 7) Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah
yang sejenis. 8) Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa
yang diperoleh dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang
dihadapinya.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keaktifan Belajar
Faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik dapat
digolongkan menjadi tiga macam, yaitu faktor internal (faktor dari dalam
peserta didik), faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), dan faktor
pendekatan belajar (approach to learning).Secara sederhana faktor-faktor
yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik tersebut dapat
diuraiakan sebagai berikut:
1. Faktor internal peserta didik, merupakan faktor yang berasal dari dalam
diri peserta didik itu sendiri, yang meliputi:
a) Aspek fisiologis, yaitu kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan
otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-
sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas peserta didik
dalam mengikuti pelajaran.
b) Aspek psikologis, belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis.
Oleh karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja
mempengaruhi belajar seseorang. Adapun faktor psikologis peserta
didik yang mempengaruhi keaktifan belajarnya adalah sebagai
berikut: 1) Inteligensi; tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ)
peserta didik tidak dapat diragukan lagi dalam menentukan keaktifan
dan keberhasilan belajar peserta didik. Ini bermakna bahwa semakin
tinggi tingkat inteligensinya maka semakin besar peluangnya untuk
meraih sukses, begitu juga sebaliknya, 2) Sikap, adalah gejala
internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk
mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap
objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun
negative, 3) Bakat, adalah potensi atau kecakapan dasar yang dibawa
sejak lahir yang berguna untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat
tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing, 4) Minat, adalah
kecenderungan atau kegairahan yang tinggi atau keinginan yang
besar terhadap sesuatu, dan 5) Motivasi, adalah kondisi psikologis
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi
belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk
belajar (Syah, 2012: 146).
2. Faktor eksternal peserta didik, merupakan faktor dari luar siswa yakni
kondisi lingkungan di sekitar siswa. Adapaun yang termasuk dari
faktor ekstrenal di anataranya adalah: a) Lingkungan sosial, yang
meliputi: para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas,
serta b) Lingkungan non sosial, yang meliputi gedung sekolah dan
letaknya, rumah tempat tinggal keluarga peserta didik dan letaknya,
alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan
peserta didik.
3. Faktor pendekatan belajar yang merupakan segala cara atau strategi
yang digunakan peserta didik dalam menunjang keefektifan dan
efisiensi proses pembelajaran materi tertentu.

d. Indikator Keaktifan Belajar


Indiaktor pada dasarnya adalah ciri-ciri yang tampak dan dapat
diamati serta diukur oleh siapa pun yang tugasnya berkenaan dengan
pendidikan dan pengajaran, yakni guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Menurut Sudjana & Suwariyah (2010: 11) keaktifan belajar siswa dapat
dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut:
1) Adanya aktivitas belajar siswa secara individual untuk penerapan
konsep, prinsip, dan generalisasi. 2) Adanya aktivitas siswa dalam
bentuk kelompok untuk memecahkan masalah (problem solving). 3)
Adanya partisipasi setiap siswa dalam melaksanakan tugas
belajarnya melalui berbagai cara. 4) Adanya keberanian siswa
mengajukan pendapatnya. 5) Adanya aktivitas belajar analisis,
sintesis, penilaian, dan kesimpulan. 6) Adanya hubungan sosial
antarsiswa dalam melaksanakan kegiatan belajar. 7) Setiap siswa
bisa mengomentari dan memberikan tanggapan terhadap siswa
lainnya. 8) Adanya kesempatan bagi setiap siswa untuk
menggunakan berbagai sumber belajar yang tersedia. 9) Adanya
upaya bagi setiap siswa untuk menilai hasil belajarnya. 10) upaya
siswa untuk bertanya kepada guru dan meminta pendapat guru dalam
upaya kegiatan belajarnya.
4. Pembelajaran IPS
a. Pengertian IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang
memang sudah diterapkan dari jenjang SD/MI, sampai tingkat sekolah
menengah baik SMP maupun SMA. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
merupakan mata pelajaran pada jenjang pendidikan di tingkat sekolah,
yang dikembangkan secara terintegrasi dengan mengambil konsep-
konsep esensial dari Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. IPS mengkaji
berbagai masalah-masalah dan fenomena sosial yang ada di masyarakat.
Ilmu pengetahuan sosial merupakan perpaduan dari berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, antara lain seperti ekonomi, sejarah, geografi,
dan sosiologi yang disusun secara sistematis dan terpadu yang kemudian
menjadi suatu disiplin ilmu yang tidak dapat dipecah-pecah lagi karena
telah terintegrasi dalam ilmu pengetahuan sosial. Numan Soemantri
(2001: 93) menyatakan bahwa
Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin
ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasa manusia yang
diorganisasikan dan dikaji secara ilmiah dan pedagogis atau
psikologis untuk tujuan pendidikan.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Trianto (2010: 171) yang


menyatakan bahwa:
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai
cabang ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial yang dimaksud seperti
sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya.
Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan
fenomena sosial masyarakat yang diwujudkan dalam satu
pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabangcabang ilmu sosial
tersebut.

Sementara itu konsep dasar IPS meliputi 1) interaksi, 2) saling


ketergantungan, 3) kesinambungan dan perubahan, 4) keragaman/
kesamaan/ perbedaan, 5) konflik dan konsensus, 6) pola, 7) tempat, 8)
kekuasaan, 9) nilai kepercayaan, 10) keadilan dan pemerataan, 11)
kelangkaan, 12) kekhususan, 13) budaya, 14) nasionalisme (Solihatin,
2009: 15).
Menurut penjelasan para ahli di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yaitu mata pelajaran yang merupakan
suatu perpaduan dari sejumlah disiplin ilmu sosial seperti geografi,
sosiologi, sejarah, ekonomi, hukum, politik, kewarganegaraan dan masih
banyak lagi. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) lebih banyak menekankan
hubungan antara manusia dengan masyarakat, hubungan manusia didalam
masyarakat, disamping hubungan manusia dengan lingkungan fisiknya.

b. Tujuan Pembelajaran IPS


Tujuan pendidikan IPS adalah mendidik dan memberi bekal
kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai
dengan bakat, minat kemampuan dan lingkungannya serta berbagai bekal
siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
(Trianto, 2010: 174). Selanjutnya Soemantri (2001: 43) menjelaskan
tujuan pendidikan IPS disekolah adalah menumbuhkan nilai-nilai
kewarganegaraan, moral, idiologi negara, dan agama.
Tujuan Pendidikan IPS adalah untuk mempersiapkan siswa menjadi
warga negara yang baik dalam kehidupannya di masyarakat. Selain itu
tujuan dari pendidikan IPS adalah untuk mengembangkan kemampuan
siswa menggunakan penalaran dalam mengambil keputusan setiap
persoalan yang dihadapinya (Gross dalam Solihatin, 2009: 14).
Berdasarkan berbagai definisi tentang tujuan pendidikan IPS di
atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan IPS di SMP bertujuan
untuk membentuk warga negara yang memiliki ketrampilan yang berguna
bagi dirinya sendiri, orang lain, maupun negara, serta menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa serta memiliki rasa cinta tanah air dan
kepedulian sosial yang tinggi.
c. Karakteristik Pembelajaran IPS di SMP/MTs
Karakteristik mata pelajaran IPS berbeda dengan disiplin ilmu lain
yang bersifat monolitik. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan
integrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, sejarah,
geografi, ekonomi. Rumusan Ilmu Pengetahuan Sosial berdasarkan realitas
dan fenomena sosial melalui pendekatan interdisipliner dari aspek dan
cabang-cabang ilmu sosial tersebut.
Mata pelajaran IPS di SMP/ MTs memiliki beberapa karakteristik
antara lain pertama, Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan dari
unsur-unsur geografi, sejarah, ekonomi, hukum dan politik,
kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan
dan agama. Kedua, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS
berasal dari struktur keilmuan geografi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi,
yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi pokok bahasan atau tema
tertentu. Ketiga, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dapat
menyangkut berbagai masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan
interdisipliner dan multidisipliner. Keempat, Standar Kompetensi dan
Kompetesi Dasar dapat menyangkut peristiwa dan perubahan kehidupan
masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan, adaptasi dan
pengelolaan lingkungan, struktur, proses, dan masalah sosial serta upaya-
upaya perjuangan hidup agar survive seperti pemenuhan kebutuhan,
kekuasaan, keadilan dan jaminan keamanan (Trianto, 2010: 174-175).

B. Penelitian Tindakan Kelas


1. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan kelas dapat diartikan sebagai proses pengkajian
masalah pembelajaran didalam kelas melalui refleksi diri dalam upaya
memecahkan masalah tersebut dengan cara melakukan berbagai tindakan
yang terencana dalam situasi nyata serta mnganalisis setiap pengaruh dari
perlakuan tersebut (Sanjaya, 2009:26).
Sementara menurut Arikunto (2010: 3) definisi Penelitian Tindakan
Kelas (Classroom Action Research) ialah:
Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatu pencermatan terhadap
kegiatan belajar berupa sebuah tidakan yang sengaja dimunculkan dan
terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan
oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa.

2. Tujuan Penelitian Tindakan Kelas


a) Memperbaiki dan meningkatkan kondisi serta kualitas pembelajaran di
kelas.
b) Meningkatkan layanan profesional dalam konteks pembelajaran di kelas,
khususnya layanan kepada peserta didik.
c) Memberikan kesempatan kepada guru untuk melakukan tindakan dalam
pembelajaran yang direncanakan di kelas.
d) Memberikan kesempatan kepada guru untuk melakukan pengkajian
terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan (Mulyasa, 2011: 155).

Adapun tujuan utama Penelitian Tindakan Kelas adalah peningkatan


kualitas proses dan hasil belajar.

3. Manfaat Penelitian Tindakan Kelas


Banyak manfaat dalam pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas,
manfaat tersebut ialah sebagai berikut:
a) Dengan pelaksanaan PTK akan terjadi peningkatan kompetensi guru
dalam mengatasi masalah pembelajaran yang menjadi tugas utamanya.
b) Dengan pelaksanaan PTK akan terjadi peningkatan sikap professional
guru.
c) Dengan pelaksanaan PTK akan terjadi perbaikan dan peningkatan
kinerja belajar dan kompetensi siswa.
d) Dengan pelaksanaan PTK akan terjadi perbaikan dan peningkatan
kualitas proses pembelajaran di kelas.
e) Dengan pelaksanaan PTK akan terjadi perbaikan dan peningkatan
kualitas penggunaan media, alat bantu belajar, dan sumber belajar
lainnya.
f) Dengan pelaksanaan PTK akan terjadi perbaikan dan peningkatan kualitas
prosedur dan alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur proses dan
hasil belajar siswa.
g) Dengan pelaksanaan PTK akan terjadi perbaikan dan pengembangan
pribadi siswa di sekolah.
h) Dengan pelaksanaan PTK akan terjadi perbaikan dan peningkatan kualitas
penerapan kurikulum (Muslich, 2011: 11)

4. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas


Penelitian tindakan kelas merupakan sarana penilaian pembelajaran
khususnya, dan pendidikan pada umumnya, yang hasilnya akan memberikan
masukan bermanfaat bagi pengambilan keputusan. Oleh karena itu penelitian
ini merupakan suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif, melalui
tindakan tertentu untuk memperbaiki dan meningkatkan praktek
pembelajaran di kelas secara lebih profesional. Penelitian tindakan kelas
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) On-the-job problem oriented (masalah yang diteliti adalah masalah riil
atau nyata yang muncul dari dunia kerja peneliti atau yang ada dalam
kewenangan atau tanggung jawab peneliti). Dengan demikian, PTK
didasarkan pada masalah yang benar-benar dihadapi guru dalam proses
belajar mengajar di kelas).
b) Problem-solving oriented (berorientasi pada pemecahan masalah). PTK
yang dilakukan oleh guru dilkakukan sebagai upaya untuk memecahkan
masalah yang dihadapi oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas
melalui suatu tindakan tertentu sebagai upaya menyempurnakan proses
pembelajaran di kelasnya).
c) Improvement-oriented (berorientasi pada peningkatan mutu). PTK
dilaksanakan dalam kerangka untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu
proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru di kelasnya. PTK
bertujuan memperbaiki atau meningkatkan kualitas pembelajaran dengan
asumsi bahwa semakin baik kualitas proses pembelajaran maka semakin
baik pula hasil belajar yang dicapai siswa).
d) Ciclic (siklus). Konsep tindakan (action) dalam PTK diterapkan melalui
urutan yang terdiri dari beberapa tahap berdaur ulang (cyclical). Siklus
dalam PTK terdiri dari empat tahapan, yakni perencanaan tindakan,
melakukan tindakan, pengamatan atau observasi dan analisis atau refleksi.
e) Action oriented. Dalam PTK selalu didasarkan pada adanya tindakan
tertentu untuk memperbaiki proses belajar mengajar di kelasnya. Jadi
tindakan dalam PTK adalah sebagai alat atau cara untuk memperbaiki
masalah dalam proses belajar mengajar yang dihadapi guru di kelas.
f) Pengkajian terhadap dampak tindakan. Dampak tindakan yang dilakukan
harus dikaji apakah sesuai dengan tujuan, apakah memberikan dampak
positif lain yang tidak diduga sebelumnya, atau bahkan menimbulkan
dampak negatif yang merugikan peserta didik.
g) Specifics contextual. Aktivitas PTK dipicu oleh permasalahan praktis yang
dihadapi oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas.
h) Partisipatory (collaborative). PTK dilaksanakan secara kolaboratif dan
bermitra dengan pihak lain, seperti teman sejawat. Jadi, dalam PTK perlu
ada partisipasi dari pihak lain yang berperan sebagai pengamat. Hal ini
diperlukan untuk mendukung objektivitas dari hasil PTK.
i) Peneliti sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi. Kegiatan
penting lainnya dalam PTK adalah adanya refleksi. Dalam refleksi ini
banyak hal yang harus dilakukan, yaitu mulai dari mengevaluasi tindakan
sampai dengan memutuskan apakah masalah itu tuntas atau perlu tindakan
lain dalam siklus berikutnya. Dilaksanakan dalam rangkaian langkah
dengan beberapa siklus dimana dalam satu siklus terdiri dari tahapan
perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observation), dan
refleksi (reflection), dan selanjutnya diulang kembali dalam beberapa
siklus (Kunandar, 2010: 58-63).
C. Penelitian Relevan (Literature Review)
Penelitian terdahulu dimaksudkan untuk mengungkap sejumlah karya
ilmiah sebelumnya yang memiliki relevansi dan dinilai penting terkait dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis. Survey literatur bertujuan memastikan
sejauhmana penelitian yang akan dilakukan ini pernah atau belum pernah
diteliti oleh orang lain. Bukan saja untuk menghindari adanya plagiat dan
pengulangan penelitian dengan masalah yang sama, bentuk kesiapan peneliti
dengan teori-teori yang akan digunakan dan penguasaan sumber yang relevan,
melainkan juga penegasan peneliti tentang orisinalitas dan ide-ide kreatif
dalam penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu terkait dengan penelitian
sekarang yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Nur’aini dengan judul “Bimbingan
Kelompok Metode Diskusi Buzz group untuk Meningkatkan Interaksi
Sosial Siswa Kelas VII SMP Muhammadiyah 1 Gondangrejo
Karanganyar” tahun 2012.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode


diskusi buzz group bimbingan kelompok dalam meningkatkan interaksi
sosial siswa kelas satu SMP Muhammadiyah 1 Gondangrejo tahun
2012/2013.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan bimbingan dan konseling
yang diadakan dalam dua siklus , siklus I dan siklus II. Setiap siklus terdiri
dari kegiatan perencanaan, tindakan, evaluasi, analisis, dan refleksi. Subjek
penelitian ini adalah siswa kelas SMP Muhammadiyah 1 Gondangrejo
bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya jarang terdiri dari 12 siswa.
Tindakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskusi buzz
group bimbingan kelompok yang merupakan layanan bimbingan kelompok
yang diselenggarakan dengan membahas dalam kelompok kecil untuk
memecahkan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam diri siswa. Sumber
data dari penelitian ini adalah siswa yang terpilih sebagai subjek dan
konselor dari SMP Muhammadiyah 1 Gondangrejo. Metode pengumpulan
data adalah dengan kuesioner interaksi sosial siswa. Validasi data
menggunakan triangulasi sumber data dan metode. Analisis data
menggunakan analisis persentase analisis lebih lanjut klinis D. L Godwin
dan T. J Coates.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa layanan metode diskusi buzz
group bimbingan kelompok dapat meningkatkan interaksi sosial siswa.
Hasil ini diperoleh dari kenaikan skor pretest dan posttest siklus I skor dan
posttest skor siklus II. Rata-rata jumlah skor pretest adalah 42,08 dalam aksi
siklus I, ada peningkatan dari 24,42%, tapi hasilnya mereka tidak signifikan
namun karena yang bergantian sampai mencapai berada di bawah indikator
keberhasilan 50%. Pada siklus II ada peningkatan yang signifikan dalam
jumlah 52,53%, sehingga berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa
tindakan pada siklus II adalah kesuksesan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa bimbingan
kelompok diskusi kelompok metode buzz efektif untuk meningkatkan
interaksi sosial siswa kelas VII SMP Muhammadiyah 1 Gondangrejo.

Penelitian terdahulu di atas lebih menekankan pada masalah sosial yang


dihadapi siswa, yakni pada tataran interaksi sosial semata. Meskipun ada
kesamaan pada penerapan metode diskusi buzz group, namun dalam hal ini
interaksi tersebut hanya sebatas interaksi sesama teman anggota kelompok.
Sementara keaktifan siswa menyampaikan hasil diskusi kelompok dalam
pleno dan bobot dari apa yang disampaikan dalam kaitannya dengan materi
ajar belum teruji. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
lebih mengedepankan pada keaktifan belajar siswa di dalam kelompoknya
dan dihadapan pleno (kelompok lain).

2. Penelitian yang dilakukan oleh Setya Norma Sulistyani dengan judul


“Peningkatan Keaktifan Belajar Siswa dengan Penerepan Metode
Guided Note Taking Pada Mata Diklat Memilih bahan Baku Busana di
SMK Negeri 4 Yogyakarta” tahun 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) penerapan metode guide
note taking dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa pada mata diklat
memilih bahan baku busana di SMK N 4 Yogyakarta, 2) besarnya
peningkatan keaktifan belajar siswa dengan menerapkan metode guide note
taking pada mata diklat memilih bahan baku busana di SMK N 4
Yogyakarta.
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan desain penelitian
model Kemmis dan Mc. Taggart yang dilaksanakan dengan tahapan
perencanaan-tindakan pengamatan-refleksi. Penelitian dilaksanakan di SMK
N 4 Yogyakarta dengan subjek penelitian ditentukan berdasarkan metode
purposive sampling. Subjek penelitian adalah 36 siswa pada kelas X Busana
Butik 1 tahun ajaran 2011/2012. Metode pengumpulan data menggunakan
lembar observasi dan angket. Uji validitas berdasarkan pendapat dari para
ahli (judgement expert), seperti ahli metode pembelajaran, ahli materi, ahli
lembar observasi, ahli lembar angket dan guru mata diklat memilih bahan
baku busana. Hasil validasi menunjukkan bahwa metode, materi, lembar
observasi dan lembar angket yang digunakan sudah layak dan instrumen
dinyatakan sudah valid. Uji validitas angket menggunakan rumus product
moment dengan nilai 0,611. Sedangkan reliabilitas angket menggunakan
rumus alpha cronbach dengan nilai 0,858. Metode analisis data yang
digunakan dalam adalah analisis deskriptif dengan persentase.
Hasil penelitian meliputi 1) penerapan metode guide note taking
dilaksanakan dalam dua siklus yang meliputi (a) membuka pelajaran,
dengan mengucap salam dan doa, mengecek presensi, menjelaskan tujuan
pembelajaran, apersepsi dan penjelasan metode guided note taking, (b)
membentuk kelompok, siswa dibagi menjadi 6 kelompok terdiri atas 6
siswa, (c) diskusi dan kerjasama dalam mengisi handout, (d) presentasi oleh
masing-masing kelompok, (e) usaha mengaktifkan siswa, guru
mengaktifkan siswa dengan terus mengingatkan agar bertanya,
mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan dari guru (f) evaluasi,
guru mengevaluasi hasil presentasi, (g) kesimpulan, guru menyimpulkan
hasil presentasi 2) keaktifan belajar siswa pada pra siklus sebesar 27,68%
atau sejumlah 10 siswa yang melakukan. Setelah dikenai tindakan pada
siklus pertama keaktifan belajarsiswa meningkat 25,58% menjadi 53,26%
atau sejumlah 19 siswa yang melakukan. Pada siklus kedua keaktifan belajar
siswa meningkat 22,52% menjadi 75,78% atau sejumlah 27siswa yang
melakukan. Hasil penelitian pada siklus kedua tidak mencapai 100% karena
sejumlah 24,23% atau 9 siswa masih merasa takut melakukan keaktifan
belajar seperti bertanya, mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan
dari guru. Selain itu faktor keterbatasan waktu juga membatasi jumlah siswa
yang bertanya, mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan dari
guru. Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan metode guided note
taking dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa pada mata diklat memilih
bahan baku busana.

Terlihat jelas antara penelitian terdahulu di atas dengan penelitian yang


akan dilakukan, yakni memiliki persamaan dari jenis penelitiannya yaitu
Penelitian Tindakan Kelas. Perbedaannya terletak pada metode
pembelajaran sebagai upaya yang dilakukan guru dalam menumbuhkan
keaktifan belajar siswa.

D. Kerangka Pemikiran
Pembelajaran aktif merupakan pendekatan pembelajaran yang lebih
banyak melibatkan aktivitas siswa dalam mengakses berbagai informasi dan
pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas,
sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan
pemahaman dan kompetensinya. Lebih dari itu, pembelajaran aktif
memungkinkan siswa mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi,
seperti menganalisis dan melakukan penilaian terhadap berbagai peristiwa
belajar dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan
pembelajaran aktif, Rusman (2011: 324) mengatakan bahwa:
Dalam pembelajaran aktif guru lebih banyak memosisikan dirinya
sebagai fasilitator, yang bertugas memberikan kemudahan belajar (to
facilitate of learning) kepada siswa. Siswa terlibat secara aktif dan
berperan dalam proses pembelajaran, sedangkan guru lebih banyak
memberikan arahan dan bimbingan, serta mengatur sirkulasi dan jalannya
proses pembelajaran.

Siswa aktif biasanya di bawah bimbingan guru yang aktif pula. Diantara
cara mengaktifkan siswa belajar adalah dengan menerapkan konsep CBSA
(Cara Belajar Siswa Aktif – Student Active Learning), oleh karena itu agar
mengajar dengan pendekatan kelompok dapat mendorong siswa belajar secara
optimal perlu diterapkan konsep CBSA.
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) pada hakekatnya merupakan suatu
konsep dalam mengembangkan keaktifan proses belajar mengajar baik
dilakukan guru maupun siswa. Jadi dalam CBSA tampak jelas adanya guru
aktif mengajar pada anak (Child Centered Curriculum). Penerapannya
berlandaskan kepada teori belajar yang menekankan pentingnya belajar melalui
proses mengalami untuk memperoleh pemahaman (Ali, 2004: 68)
Rangkaian peristiwa dalam mengajar sebagai pendorong siswa belajar
diterima oleh setiap siswa secara individual pula. Artinya setiap individu siswa
memperoleh pengaruh dari luar dalam proses belajar dalam kadar yang
berbeda-beda sesuai dengan kemampuan potensial masing-masing (Ali, 2004:
67).
Meskipun pengaruh pengajaran yang diterima oleh setiap siswa bersifat
individual, namun proses pembelajaran itu sendiri dapat dilakukan dalam
bentuk kelompok. Dengan istilah lain strategi belajar mengajar dapat ditempuh
dengan pendekatan kelompok. Dengan demikian guru harus memikirkan
bagaimana siswa dapat belajar secara optimal.
Pembelajaran di kelas merupakan suatu kegiatan yang diharapkan dapat
melibatkan peran kedua belah pihak, baik guru maupun siswa. Namun beberpa
fakta yang ditemukan guru sering hanya menjadikan siswa sebagai objek saat
kegiatan pembelajaran. Dalam menyampaikan materi guru cenderung
menggunakan metode konvensional sehingga siswa kurang dilibatkan dalam
kegiatan pembelajaran. Hal ini menjadi salah satu sebab rendahnya keaktifan
belajar siswa.
Menumbuhkan keaktifan siswa dalam pembelajaran sangat penting,
karena keaktifan siswa menjadi salah satu penentu bagi keberhasilan
pembelajaran yang dilaksanakan. Siswa MTs Darul Hikam Kota Cirebon
memiliki keaktifan belajar pada mata pelajaran IPS yang rendah. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran IPS masih didominasi oleh guru
sehingga siswa cenderung pasif dan kurang ada timbal balik dari siswa. Oleh
karena itu, diperlukan usaha perbaikan yang dapat meningkatkan keaktifan
belajar. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa pembelajaran aktif
menekankan pada keaktifan siswa, interaksi dan kerjasama dalam kelompok.
Diskusi buzz group merupakan salah satu dari metode dalam model
pembelajaran aktif. Alasan memilih metode ini karena metode ini cocok
diterapkan pada kelompok dalam jumlah besar maupun kecil. Metode ini cocok
diterapkan pada materi ajar berbasis pemecahan masalah dan penjelasan yang
terdapat pada materi ajar IPS. Metode diskusi buzz group merupakan metode
pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar.
Pokok pikiran metode diskusi buzz group adalah memberikan kesempatan
kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan
dalam kegiatan belajar. Metode buzz group ini adalah bagian dari metode
diskusi, dimana dalam metode ini anggotanya berjumlah 3-4 orang dan waktu
yang digunakan juga relatif lebih singkat.
Pada diskusi buzz group guru dapat memberikan penguatan kepada
kelompok siswa yang berdiskusi. Pembatasan waktu akan mendorong siswa
berdiskusi secara serius dan terarah pada topik yang didiskusikan. Siswa tidak
punya keesempatan untuk mengerjakan hal-hal lain di luar topik diskusi,
karena khawatir tidak dapat menyelesaikan tepat waktu. Guru juga terlihat
secara aktif dalam metode ini, karena pada saat siswa melaksanakan diskusi
guru selalu mendatangi kelompok-kelompok siswa secara bergiliran.
Secara grafis, pemikiran yang dilakukan oleh peneliti dapat
digambarkan dalam bentuk bagan berikut:

KEAKTIFAN BELAJAR IPS


RENDAH Keunggulan Diskusi Buzz group:
1. Cocok digunakan untukkelas
besar.
Memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif
Guru dapat memberikan penguatan kepada kelompok siswa yang berdiskusi.
PENERAPAN METODE DISKUSI
BUZZ GROUP

PENINGKATAN KEAKTIFAN Indikator keaktifan belajar siswa dalam Sudjana (2010: 11)
BELAJAR Interaksi antarsiswa serta dengan guru guru dalam KBM.
Kerjarsama dalam kelompok.

3. Keberanian pendapat.
siswa mengemukakan

Memberi gagasan yang cemerlang.


Memanfaatkan sumber belajar yang tersedia.
Mengomentari dan memberi tanggapan terhadap pendapat siswa lainnya, dan lain-la

Bagan 1.
Kerangka Pemikiran

E. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan uraian yang dikuatkan oleh beberapa teori, penulis menilai
bahwa metode diskusi buzz gruop sebagai upaya meningkatkan keaktifan
belajar siswa pada mata pelajaran IPS serta hasil tes yang meningkat.
Selanjutnya dapat dikemukakan dalam hipotesis tindakan sebagai berikut: “jika
metode diskusi buzz group diterapkan dalam pembelajaran IPS dengan
maksimal, maka keaktifan belajar siswa kelas VII A di MTs Darul Hikam Kota
Cirebon akan meningkat”.

Anda mungkin juga menyukai