Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan
family Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes,
terutama Aedes aegypti1. Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat
menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya penyakit ini berkaitan dengan
kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat2.
Penyakit demam berdarah dengue pertama kali dilaporkan di Asia
Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya menyebar ke berbagai
negara. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DBD,
namun sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara,
diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan
Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya kasus DBD. Jumlah kasus di
Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati 1,2 juta kasus ditahun
2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat
sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus merupakan DBD
berat. Perkembangan kasus DBD di tingkat global semakin meningkat, seperti
dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni dari 980 kasus di hampir
100 negara tahun 1954-1959 menjadi 1.016.612 kasus di hampir 60 negara tahun
2000-20093.
Indonesia adalah daerah endemis DBD dan mengalami epidemik sekali
dalam 4-5 tahun. Faktor lingkungan dengan banyaknya genangan air bersih yang
menjadi sarang nyamuk, mobilitas penduduk yang tinggi dan cepatnya trasportasi
antar daerah, menyebabkan sering terjadinya demam berdarah dengue. Indonesia
termasuk dalam salah satu Negara yang endemik demam berdarah dengue karena
jumlah penderitanya yang terus menerus bertambah dan penyebarannya semakin
luas4,5.
Kemenkes RI mencatat di tahun 2015 pada bulan Oktober ada 3.219 kasus
DBD dengan kematian mencapai 32 jiwa, sementara November ada 2.921 kasus

1
dengan 37 angka kematian, dan Desember 1.104 kasus dengan 31 kematian.
Dibandingkan dengan tahun 2014 pada Oktober tercatat 8.149 kasus dengan 81
kematian, November 7.877 kasus dengan 66 kematian, dan Desember 7.856 kasus
dengan 50 kematian2.
Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai apa itu demam berdarah
dengue (DBD), penyebab berkembang biaknya nyamuk aedes aeygepti dan
penanggulangan terhadap nyamuk aedes aeygepti mempengaruhi angka kejadian
demam berdarah. Oleh karena itu salah satu cara untuk menurunkan angka demam
berdarah yaitu diadakannya progam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
dengan cara 3M plus perlu dilakukan secara berkelanjutan sepanjang tahun
khususnya pada musim penghujan6.
Demam tifoid dan paratifoid adalah penyakit demam akut dan sering
mengancam jiwa yang disebabkan oleh infeksi sistemik dari bakteri Salmonella
enterica serotipe typhi dan Salmonella enterica paratyphi7. Demam tifoid adalah
penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi sedangkan demam
paratifoid menunjukkan manifestasi klinik yang sama dengan demam tifoid namun
lebih ringan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella yang lainnya8.
Penyakit demam tifoid dan paratifoid ini juga dapat menular melalui
makanan atau air yang terkontaminasi, selain itu terjadi karena sanitasi yang buruk
dan kebersihan lingkungan9. Di India, demam tifoid diperkirakan menyebabkan
21,6 juta penyakit dan 216.500 kematian secara global, dan demam paratifoid
sedang diperkirakan terjadi sekitar 5,4 juta penyakit pada tahun 200010.
Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada pasien demam tifoid sangat
penting, karena dapat mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian 11.
Antibiotik yang diberikan pada infeksi Salmonella typhi yaitu kloramfenikol,
ampisilin, atau sulfametoksazol, namun multidrug resistence (MDR) terhadap
antibiotik mulai muncul pada tahun 1990. Untuk mengatasi hal itu para dokter
memberikan antibiotik fluoroquinolon atau sefalosforin generasi ketiga untuk
memastikan hasil pengobatan yang lebih baik12.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
a. Nama : Nn. D
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Tanggal Lahir/Umur : 31/03/2000/18 Tahun
d. Alamat : Lorong Aman Kertapati
e. Pekerjaan : Swasta
f. Agama : Islam
g. No. RM : 5-43-92
h. Tanggal Pemeriksaan : 19-03-2019
i. Ruang : Penyakit dalam kelas III, Ruang Infeksi
j. Dokter Pemeriksa : dr. Edy Saputra, Sp. PD, FINASIM.
k. Co. Asisten : Dorratun Rezky, S.Ked
l. Tanggal Masuk : 16-03-2019

Anamnesis
2.2 Keluhan Utama
Os mengeluh demam.

2.3 Riwayat Perjalan Penyakit


Os datang dengan keluhan demam 5 hari SMRS. Os merasakan demam
tinggi terutama sore dan malam hari, keluhan demam disertai dengan menggigil.
Adapun keluhan tambahan lainnya adanya mual, muntah 1x sebanyak 1 gelas
belimbing dan muntah apa yang dimakan. Os mengatakan dia juga mengeluh sakit
kepala, nyeri belakang bola mata, nyeri otot dan nyeri sendi. Os juga mengatakan
timbul bercak merah di lengan kanan sebanyak 1-3 buah dan semakin lama
semakin banyak. Os juga mengeluh nyeri didaerah perut terus menerus dan lidah
terasa pahit sehingga pasien tidak nafsu makan. Pasien menyangkal adanya
pendarahan hidung, pendarahan gusi, BAB berdarah, BAK berdarah dan kejang.

3
Os mengatakan untuk meredakan panas Os meminum obat paracetamol
3x1 selama 2 hari.

2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Os pernah mengalami keluhan serupa ditahun 2017 dan adanya riwayat
sakit
maag sejak 2 tahun yang lalu.

2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Adik Os pernah mengalami keluhan serupa pada tahun 2017. Pada keluarga
riwayat penyakit hipertensi disangkal, riwayat penyakit diabetes mellitus
disangkal, riwayat penyakit lambung disangkal, riwayat penyakit alergi disangkal,
riwayat penyakit asma disangkal, riwayat minum obat selama 6 bulan disangkal.

a. Riwayat Kebiasaan
Os mengatakan juga sering makan diluar atau jajan diluar sejak 2 tahun ini.
Os menyangkal sering mengkonsumsi jamu, alkohol. Os juga mengatakan dia
jarang berolahraga.

b. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang karyawan swasta. Pada lingkungan rumah tidak ada
tetangga yang memiliki keluhan sama. Os mengatakan disekitar rumah banyak
terdapat genangan air, bak rumah yang belum dikuras, dan banyak gantungan
baju.

c. Status Gizi
Makan 3 kali sehari dengan porsi yang cukup namun tidak suka makan
sayur. Namun setelah sakit nafsu makan berkurang.

2.6 Pemeriksaan fisik


a. Keadaan umum:
1. Keadaan sakit : Tampak sakit sedang

4
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Berat badan : 62kg
4. Tinggi badan : 158 cm
5. Keadaan Gizi : Cukup
6. Bentuk tubuh : Astenicus
7. Tekanan darah : 110/70 mmHg
8. Nadi
- Frekuensi : 82 x/menit
- Irama : Reguler
- Isi : Cukup
- Tegangan : Kuat
- Kualitas : Baik
9. Pernafasan
- Frekuensi : 18 x/menit
- Irama : Reguler
- Tipe : thoraco-abdominal
10. Temperatur : 36,5°C

b.Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk : Normocephali
- Rambut : Hitam, lebat, tidak mudah dicabut
- Simetris Muka : Simetris
- Ekspresi : Sesuai
2. Pemeriksaan Mata:
- Eksophtalmus : Tidak ada (-/-)
- Endophtalmus : Tidak ada (-/-)
- Palpebra : Tidak ada edema (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sklera : Tidak ikterik (-/-)
- Pupil : Isokor, refleks cahaya ada kiri dan kanan (+/+)
- Pergerakan mata : Kesegalah arah baik

5
3. Pemeriksaan Telinga :
- Liang Telinga : Lapang
- Serumen : ada
- Sekret : Tidak ada
- Nyeri Tekan Tragus : Tidak ada
- Gangguan Pendengaran: Tidak ada

4. Pemeriksaan Hidung :
- Deformitas : Tidak ada
- Sekret : Tidak ada
- Epitaksis : Tidak ada
- Mukosa Hiperemis : Tidak ada
- Septum Deviasi : Tidak ada

5. Pemeriksaan Mulut dan Tengorokan:


- Bibir : Sianosis tidak ada, stomatitis tidak ada
- Gigi –geligi : Lengkap
- Gusi : Hiperemis (-/-), Normal.
- Lidah : Sariawan (-), atrofi papil lidah (-), coated tongue(-)
- Tonsil : T1/T1 tenang
- Faring : Hiperemis.

6. Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan
- Palpasi : Pembesaran Tiroid tidak ada, Pembesaran KGB tidak ada
- JVP : 5-2 cm H2O

7. Kulit
- Hiperpigmentasi : Tidak ada
- Ikterik : Tidak ada
- Ptekhie : Ada, Rumple leed (+)

6
- Sianosis : Tidak ada
- Pucat pada telapak tangan : Tidak ada
- Pucat pada telapak kaki : Tidak ada
- Turgor : Kembali cepat <3 detik
- Pemeriksaan Rumple leed : (+)

8. Pemeriksaan Thorax
Bentuk dada : Simetris, Sela iga tidak tampak melebar.
Pembuluh darah : Spider nevi tidak ada, venektasi tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada
Krepitasi : Tidak ada
Paru Depan
- Inspeksi : Statis: Simetris, dinamis: Simetris, paru kanan = paru
kiri tidak ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi tidak
ada, Sela iga tidak tampak melebar. Jejas tidak ada.
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama. Sela iga tidak
melebar.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan dan kiri,

7
nyeri ketok tidak ada.
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler normal, ronchi basah (-),
wheezing (-)

Paru Belakang
- Inspeksi : Statis: Simetris, dinamis: Simetris, paru kanan = paru
kiri tidak ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi tidak
ada. Jejas tidak ada.
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan dan kiri,
nyeri ketok tidak ada.
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler normal, ronchi basah (-),
wheezing (-)

9. Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat.
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill(-).
- Perkusi : Batas jantung normal.
-Auskultasi : Bunyi jantung S1- S2 reguler
murmur (-), gallop tidak ada.

10. Pembuluh Darah


- Temporalis : Teraba, kuat, reguler.
- Carotis : Teraba, kuat, reguler.
- Brachialis : Teraba, kuat, reguler.
- Radialis : Teraba, kuat, reguler.
- Femoralis : Teraba, kuat, reguler.
- Poplitea : Teraba, kuat, reguler.
- Tibialis Posterior : Teraba, kuat, reguler.
- Dorsalis Pedis : Teraba, kuat, reguler.

11. Pemeriksaan Abdomen

8
- Inspeksi : simetris, datar, venektasi tidak ada, caput medusa
tidak ada, spider naevi tidak ada, benjolan tidak ada
- Palpasi : lemas, nyeri tekan (+), hepar lien tidak teraba.
- Perkusi : Tympani, shifting dullness tidak ada, nyeri ketok tidak ada
- Auskultasi : Bising usus normal, bruit tidak ada.

12. Pemeriksaan Ekstremitas


Superior : Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan 5, nyeri sendi
tidak ada, palmar eritem tidak ada, edema pada kedua
lengan dan tangan tidak ada.
Inferior : Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan 5, nyeri sendi
tidak ada, palmar eritem tidak ada, edema pada kedua
tungkai tidak ada.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaa Laboratorium
1. Hematologi
Tanggal : 16 Maret 2019
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12.8 12.0 – 14.0
Eritrosit 4.6 4.0 – 4.5
Leukosit 4.5 5.0 – 10.0
Trombosit 126 150 – 400
Hematokrit 39 37.0 – 43.0
Hitung Jenis
Basofil 0 0.0 – 1.0
Eusinofil 1 1.0 – 3.0
Batang 2 2.0 - 6.0
Segmen 63 50.0 – 70.0
Limfosit 28 20.0 – 40.0
Monosit 6 2.0 – 8.0

Widal Test

9
O
Typhus O 1/80
Paratyphus A O 1/80
Paratyphus B O 1/160
Paratyphus C O 1/160
H
Typhus O 1/80
Paratyphus A H 1/80
Paratyphus B H Negatif (-)
Paratyphus C H Negatif (-)

2. Hematologi
Tanggal : 17 Maret 2019
Parameter Hasil Nilai Normal
Trombosit 94 150.0 – 400.00
Hematokrit 39 37.0 – 43.0

3. Hematologi
Tanggal 18 Maret 2019 pukul 07.08
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13.2 12.0 – 14-0
Trombosit 65 150.0 – 400.00
Hematokrit 40 37.0 – 43.0

4. Hematologi
Tanggal 18 Maret 2019 pukul 18.45
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12.7 12.0 – 14.0
Trombosit 61 150 - 400
Hematokrit 39 37.0 – 43.0
Lain-Lain
IgM Positif (+) 60.0 – 370.0
lgG Positif (+) 800.0 – 1700.0

5. Hematologi
Tanggal 19 Maret 2019

10
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12.4 12.0 – 14-0
Trombosit 76 150.0 – 400.00
Hematokrit 38 37.0 – 43.0

6. Hematologi
Tanggal 20 Maret 2019
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12.2 12.0 – 14.0
Trombosit 83 150 - 400
Hematokrit 37 37.0 – 43.0

Widal Test
O
Typhus O 1/80
Paratyphus A O 1/80
Paratyphus B O -
Paratyphus C O -
H
Typhus O 1/80
Paratyphus A H 1/80
Paratyphus B H -
Paratyphus C H Negatif (-)

2.8 Resume
Os datang dengan keluhan demam 5 hari SMRS. Os merasakan demam
tinggi terutama sore dan malam hari, keluhan demam disertai dengan
menggigil. Adapun keluhan tambahan lainnya adanya mual, muntah 1x
sebanyak 1 gelas belimbing dan muntah apa yang dimakan. Os mengatakan
dia juga mengeluh sakit kepala, nyeri belakang bola mata, nyeri otot dan nyeri
sendi. Os juga mengatakan timbul bercak merah di lengan kanan sebanyak 1-3
buah dan semakin lama semakin banyak. Os juga mengeluh nyeri didaerah
perut terus menerus dan lidah terasa pahit sehingga pasien tidak nafus makan.

11
Pasien menyangkal adanya pendarahan hidung, pendarahan gusi, BAB
berdarah, BAK berdarah dan kejang.
Os mengatakan untuk meredakan panas Os meminum obat paracetamol
3x1 selama 2 hari.

Pemeriksaan Fisik yang didapatkan:


KU : Tampak sakit sedang
Tanda Vital:
- TD : 110/70 mmHg
- HR : 82 x/menit
- RR : 18 x/menit
- T : 36.5ºC
Leher : JVP 5-2 cmH2O

Paru-paru :
Paru Depan
- Inspeksi :Statis: Simetris, dinamis: Simetris, paru kanan = paru kiri
tidak ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi (-), Sela iga
tampak melebar. Jejas (-).
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama. Sela iga melebar.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan dan kiri,
nyeri ketok tidak ada.
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler normal, ronchi basah (-),
wheezing (-).

Paru Belakang
- Inspeksi :Statis: Simetris, dinamis: Simetris, paru kanan = paru
kiri tidak ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi (-).
Jejas (-).
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan dan kiri.
- Auskultasi :Suara nafas vesikuler normal, ronchi (-), wheezing (-).

12
Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat.
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill(-).
- Perkusi : Batas jantung normal.
-Auskultasi : Bunyi jantung S1- S2 reguler
murmur (-), gallop tidak ada.
Hasil pemeriksaan laboratorium terlampir dan rumple leed (+).

2.9 Diagnosa Kerja


Demam berdarah dengue derajat 1 dan demam paratyphus.

2.10 Diagnosa Banding


- Demam berdarah dengue
- Demam paratyphus
- Malaria
- ITP (idiophatic thrombocytopenic purpura)

2.11 Penatalaksanaan
Non Farmakologis
- Istirahat tirah baring.
- Diet makanan lunak

Medikamentosa
- IVFD RL gtt xx/menit
- Injeksi ranitidine 2 x 1 amp
- Injeksi ceftriaxone 1 vial
- Paracetamol 3 x 500mg
- Ambroxol 3 x 1 tab
- Neurodex 1 x 1 tab

2.12 Pemeriksaan Penunjang

13
- Cek Darah Rutin
- Widal Test
- Kultur bakteri (Gall Culture)

2.13 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
- Quo ad Sanationam : Dubia

2.14 FOLLOW UP
19 Maret 2019
S : Nyeri perut
Demam (+)
O : Keadaan Umum
Sensorium Compos Mentis
Tekanan Darah 110/70 mmHg
Nadi 82 x/m reguler
Frekuensi Pernapasan 18 x /m
Temperatur 36,5º C

Keadaan Spesifik
Kepala conjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cm H2O, Pembesaran KGB (-)
Thorax Cor :
Batas jantung normal
Pulmo :
Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (-)
di kedua basal paru, Wheezing (-), murmur (-)
Abdomen Datar, lemas, undulasi (-), Shifting dullness
(-), hepar dan lien tidak teraba, Tympani,
Nyeri tekan epigastrium (+), Bising usus (+)
Ekstremitas normal.
Edema pretibial (-)

14
A : DBD derajat 1 + demam paratyphus
P : - Istirahat tirah baring.
- Diet makanan lunak
- IVFD RL gtt XX/menit
- Injeksi ceftriaxone 1 vial
- Ambroxol 3x1 tab
- Neurodex 2x1 tab
- Lansoprazole 1 x 30 mg
- Antasida syr 3 x 1 c
20 Maret 2019
S : Demam (+)
Mual
O : Keadaan Umum
Sensorium Compos Mentis
Tekanan Darah 120/80 mmHg
Nadi 85 x/m reguler
Frekuensi Pernapasan 22x / m
Temperatur 36,7º C

Keadaan Spesifik
Kepala conjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cm H2O, Pembesaran KGB (-)
Thorax Cor :
Batas jantung normal
Pulmo :
Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (-)
di kedua basal paru, Wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, undulasi (-), Shifting dullness
(-), hepar dan lien tidak teraba, Tympani,
Nyeri tekan epigastrium (+), Bising usus (+)
Ekstremitas normal.
Edema pretibial (-)
A : DBD derajat 1 + demam paratyphus
P : - Istirahat tirah baring.

15
- Diet makanan lunak
- IVFD RL gtt xx/menit
- Injeksi ceftriaxone 1 vial
- Ambroxol syr 1c
- Neurodex 1x1 tab
- Lansoprazole 1x30 mg
- Antasida syr 3x1 c

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorragic Fever)


A. Definisi Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorragic Fever)
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan dapat juga ditularkan
oleh Aedes albopictus, yang ditandai dengan : Demam tinggi mendadak, tanpa
sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi
perdarahan, termasuk uji Tourniquet positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤

16
100.000/µl), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%), disertai dengan
atau tanpa perbesaran hati13.
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam family
virus Flaviviridae dan terdiri dari 4 serotipe. Virus ini ditransmisikan ke manusia
melalui nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk ini merupakan
vektor utama dari virus dengue. Setelah inkubasi virus selama 4-10 hari, nyamuk
yang terinfeksi mampu mentransmisikan virus sepanjang hidupnya3.
DBD merupakan penyakit infeksi yang endemis di daerah tropis seperti
Indonesia. Penyakit infeksi ini berlangsung sepanjang tahun dan mencapai
puncaknya pada saat musim hujan. Hal ini disebabkan karena banyaknya tempat
yang menjadi sumber genangan air yang merupakan sarana perkembangbiakan
jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti14.

B. EPIDEMIOLOGI
Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali masuk Indonesia pada
tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta. Dilaporkan pada saat itu terdapat 58 kasus
dengan jumlah kematian 24 kasus. Sejak itu, kasus DBD di Indonesia terus
meningkat dan penyebarannya juga sangat cepat. Pada tahun 1994 dilaporkan
DBD sudah tersebar ke seluruh Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi kejadian luar
biasa (KLB)/wabah besar di Indonesia, tercatat terdapat 72.133 kasus dengan
1.411 kematian. Sedangkan untuk data terakhir pada tahun 2012 dilaporkan
terdapat 90.245 kasus dengan 816 kasus dengan setiap 100.000 penduduk terdapat
37 kasus. Dibandingkan dengan tahun 2011 terdapat peningkatan jumlah kasus
sebesar 65.72515.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, jumlah rata-rata penderita 5
tahun terakhir (2008-2012) adalah 2.203 penderita (Dinkes DIY, 2013). Pada 4
kabupaten di DIY pada tahun 2010 tercatat jumlah kasus DBD untuk Kota Yogya,
Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul masing-masing 759, 628, 551,
292 dan 290 kasus16.

C. ETIOLOGI

17
Virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dan famili
Flaviridae adalah virus penyebab DBD. Virus dengue membentuk susunan yang
kompleks dalam genus Flavivirus berdasarkan pada karakteristik biologis dan
antigen. Terdapat empat serotipe virus, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan
DENV-4. Infeksi oleh salah satu serotipe tersebut menimbulkan imunitas seumur
hidup terhadap serotipe tersebut. Walaupun keempat serotipe tersebut secara
antigen hampir sama, tetapi serotipe-serotipe tersebut cukup berbeda untuk
mendapatkan cross-protection untuk beberapa bulan setelah terinfeksi oleh salah
satu dari serotipe tersebut17.
Terdapat kemungkinan variasi genetik dalam masing-masing serotipe
dalam bentuk filogenetis sub-tipe atau genotipe yang berbeda. Saat ini, tiga sub-
tipe dapat diidentifikasi untuk DENV-1, enam untuk DENV-2, empat untuk
DENV-3 dan empat untuk DENV-4. 12 virus dengue dari empat serotipe telah
diakitkan dengan epidemi demam dengue (dengan atau tanpa DBD) dengan
tingkat keparahan yang beragam17.
Virus dengue adalah anggota dari genus Flavivirus dan famili
Flaviviridae. Virus kecil (50nm) ini mengandung satu untai RNA sebagai
genome. Virionnya terdiri dari nukleokapsid dengan kubik simetrisnya tertutup
didalam envelope lipoprotein. Genome virus dengue sepanjang 11.644 nekleotid
dan tersusun dari tiga gen protein struktural yang mengkode nukleokaptid atau
protein inti (C), protein membrane-associated (M), protein envelope (E), dan
tujuh protein gen non struktural (NS)17.
Diantara protein non struktural, glikoprotein envelope, NS1, digunakan
untuk kepentingan diagnostik dan patologik. Ukurannya 45kDa dan terkait dengan
aktivitas viral hemaglutinasi dan netralisasi. Infeksi kedua oleh serotipe yang lain
atau infeksi multiple oleh serotipe yang berbeda menyebabkan bentuk dengue
yang parah (DHF/DSS)17.

D. PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih
diperdebatkan. Dua teori yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah Hipotesis

18
immune enhancement dan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary hetelogous
dengue infection)18,19.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DHF adalah:
a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibody. Sel target virus ini adalah sel monosit terutama dan sel
makrofag sebagai tempat replikasi.
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. TH1 akan memproduksi interferon
gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5,IL-6,dan
IL-10.
c) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibody.
Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskuler ke ruang ekstravaskuler.
Hipotesis ”the secondary heterologous infection” yang di rumuskan oleh
Suvatte,1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang
berlainan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik yang akan terjadi
dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi dengan
menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue18.

19
Gambar 1. Teori heterologous dengue infection

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak


langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DHF berat. Antibodi
herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok18.

E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau
dapat berupa demam yang tidak khas. Pada umumnya pasien mengalami demam
dengan suhu tubuh 39-40oC, bersifat bifasik (menyerupai Pelana kuda), fase
demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis pada hari ke-3 selama 2-3

20
hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko
untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat18.
Fase Febris: - Demam mendadak tinggi 2-7 hari
- Muka kemerahan, eritema kulit
- Sakit kepala
- Beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorokan,injeksi faring dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.
- Dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti petekie, perdarahan
mukosa, walau jarang terjadi dapat pula terjadi perdarahan
pervaginam dan gastrointestinal.
Fase Kritis: - Terjadi pada hari 3-7 sakit.
- Ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan
permeabilitas kepiler dan timbul kebocoran plasma yang biasanya
berlangsun 24-48 jam.
- Kebocoran plasma sering didahului leukopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit.
- Dapat terjadi syok.
Fase Pemulihan: - Terjadi setelah fase kritis.
-Terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke
intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya.
- KU membaik, nafsu makan pulih, hemodinamik stabil, diuresis
membaik.
Menurut manifestasi kliniknya DHF sangat bervariasi, WHO membagi menjadi 4
derajat20 :
Derajat I : Demam disertai uji tourniquet positif.
Derajat II : Demam + uji tourniquet positif disertai manifestasi perdarahan
(seperti : Epistaksis, perdarahan gusi )
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menyempit (<20 mmhg), hipotensi, sianosis,
disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound syok), nadi tidak teraba, dan tekanan
darah tidak terukur.

21
F. DIAGNOSIS
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan Kriteria diagnosis menurut WHO
tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris21.
Kriteria klinis :
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, atau riwayat demam akut,
berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, biasanya bifasik (plana kuda).
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji torniquet positif.
- Petekie, ekimosis, purpura.
- Perdarahan mukosa (epitaksis atau perdarahan gusi)
- Hematemesis atau melena.
3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi,kaki dan tangan dingin,kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris :
1. Trombositopenia ( jumlah trombosit <100.000/ul ).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut :
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Dibawah ini adalah uji laboratorium yang tersedia untuk mendiagnosis demam
dengue dan DBD menurut WHO17 :
1. Isolasi virus
Isolasi virus dengue dari spesimen klinis adalah mungkin pastikan sampel
diambil selama enam hari pertama dan diproses tanpa penundaan. Spesimen
yang cocok untuk isolasi virus meliputi: serum fase akut, plasma, jaringan

22
otopsi dari kasus yang fatal (terutama hati, limpa, kelenjar getah bening dan
timus), dan nyamuk yang dikumpulkan dari daerah endemik. Isolasi virus ini
digunakan untuk menentukan karakteristik serotipik/genotipik dari virus
dengue.

2. Deteksi asam nukleid virus


Genom virus dengue, yang terdiri dari asam ribonukleat (RNA), dapat
dideteksi dengan uji Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-
PCR). RNA adalah heat-labil dan, karena itu, spesimen untuk deteksi asam
nukleat harus ditangani dan disimpan sesuai dengan prosedur yang dijelaskan
untuk isolasi virus.

3. Deteksi antigen virus


Produk gen NS1 adalah glikoprotein yang diproduksi oleh semua
flavivirus dan sangat penting untuk replikasi dan kelangsungan hidup virus.
Protein ini disekresikan oleh sel-sel mamalia tetapi tidak oleh sel serangga.
NS1 antigen muncul pada hari pertama setelah timbulnya demam dan
menurun ke tingkat yang tidak terdeteksi setelah 5-6 hari. Oleh karena itu, tes
berdasarkan antigen ini dapat digunakan untuk diagnosis dini. ELISA dan tes
blot dot ditujukan terhadap antigen envelop/ membran (EM) dan
nonstruktural protein 1 (NS1) menunjukkan bahwa antigen ini hadir dalam
konsentrasi tinggi dalam serum pasien yang terinfeksi virus dengue selama
fase klinis awal penyakit dan dapat dideteksi pada pasien dengan infeksi
dengue primer dan sekunder sampai enam hari setelah onset penyakit.

4. Tes berdasarkan respon imunologi


- Uji kadar antibodi IgM dan IgG
IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat cepat sampai dengan minggu
ke-2, menghilang setelah 60-90 hari. Antibodi IgG terdeteksi dalam jumlah
yang kecil pada akhir minggu pertama selanjutnya meningkat dan bertahan
dalam waktu yang lama.

23
Pada infeksi sekunder, titer antibodi meningkat secara cepat. Antibodi IgG
terdeteksi pada level yang tinggi, walaupun pada fase initial dan bertahan dalam
beberapa bulan hingga seumur hidup. Antibodi IgG mulai terdeteksi pada hari ke-
14 pada infeksi primer dan pada hari ke-2 pada infeksi sekunder. Dibawah ini
adalah timeline infeksi primer dan sekunder virus dengue dan metode diagnostik
yang digunakan.

H. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini
terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut22: .
1. Penanganan tersangka DHF tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka DHF tanpa syok.


Seorang yang tersangka menderita DHF dilakukan pemeriksaan
haemoglobin, hematokrit, dan trombosit, bila :
- Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan Hb,

24
Ht, lekosit dan trombosit tiap 24 jam ) atau bila keadaan penderita
memburuk segera kembali ke instalansi gawat darurat.
- Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
- Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
dirawat.

Gambar 3. Penanganan tersangka DHF tanpa syok

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DHF di ruang rawat.


Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka diruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + (20 x( BB-20) ml
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, HT tiap 24 jam :
- Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap, tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap
12 jam.
- Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000, maka Pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DHF dengan peningkatan
Ht>20%.

25
Gambar 4. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
Protokol 3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.

Gambar 5. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%

26
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DHF.
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DHF dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali, perdarahan saluran cerna
(henatemesis dan melena atau hematokesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.

Protokol 5. Tatalaksana sindrom syok dengue.


Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue pada dewasa (SSD)
maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi
dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera
dilakukan. Angka kematian pada sindrom syok dengue sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi
karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan pertolongan/pengobatan,
penatalaksanaan tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-
tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat (Corales,
2004).

27
Gambar 6. Tatalaksana sindroma syok dengue

Kriteria memulangkan pasien, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini18:


1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distress pernafasan (efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cendrung naik > 50.000/nl
6. Tiga hari setelah syok teratasi

28
7. Nafsu makan membaik

I. Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DHF dengan maupun tanpa syok
2. Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut akibat syok
berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan
4. Dengue Shock Syndrome18

J. Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada
DHF/DSS mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya,
Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit
umumnya lebih ringan dari pada anak-anak23.

3.2 Demam Paratyphoid


A. Definisi Demam Paratyphoid
Paratyphoid dan typhoid fever adalah jenis demam enterik24. Demam
paratyphoid adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh salah satu dari
tiga jenis Salmonella enterica . Paratyphoid disebabkan oleh bakteri Salmonella
enterica dari serotipe Paratyphi A, Paratyphi B, atau Paratyphi C yang tumbuh
di usus dan darah. Bakteri menyebar dengan makan atau minum makanan atau air
yang terkontaminasi dengan kotoran orang yang terinfeksi 25.  Faktor risiko
termasuk sanitasi yang buruk seperti yang ditemukan di antara populasi miskin
yang padat.  Kadang-kadang, mereka dapat ditularkan melalui hubungan seks24.

B. ETIOLOGI
Demam paratyphoid disebabkan oleh salah satu dari tiga
jenis Salmonella paratyphoid: S. Paratyphi A, S. schottmuelleri (juga
disebut S. Paratyphi B), atau S. hirschfeldii (juga disebut S.Paratyphi C)26.

C. EPIDEMIOLOGI

29
Paratyphoid mempengaruhi sekitar enam juta orang per tahun.  Ini paling
umum di beberapa bagian Asia dan langka di negara maju27. Sebagian besar kasus
disebabkan oleh Paratyphi A daripada Paratyphi B atau C.  Pada 2015, demam
paratyphoid mengakibatkan sekitar 29.200 kematian, turun dari 63.000 kematian
pada tahun 1990.  Risiko kematian adalah antara 10 dan 15% tanpa pengobatan,
sementara dengan perawatan, mungkin kurang dari 1%28.

D. PATOFISIOLOGI
Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Manusia yang
terinfeksi bakteri Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret
saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis
demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari penempelan bakteri ke lumen usus,
bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan hidup di aliran darah
dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke
lumen intestinal. Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan atau minuman
masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan
suasana asam banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai
usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus
dinding usus tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel M, sel epitel yang melapisi
Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella
Typhi.
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada
mukosa usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.
Kemudian mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang
melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System
(RES) di organ hati dan limpa.
Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui
duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi bakteri
di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui feses.
Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan
mesenterika untuk melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan

30
nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis
pada demam tifoid.
Penularan Salmonella Typhi sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama dengan feses. Dapat juga terjadi
transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada keadaan
bakterimia kepada bayinya18.

E. TANDA DAN GEJALA


Demam paratifoid menyerupai demam tifoid. Pada minggu pertama
muncul tanda infeksi akut seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak nyaman diperut,
batuk, dan epistaksis. Demam yang terjadi berpola seperti anak tangga dengan
suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi pada
sore hari.
Pada minggu kedua gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia
relative, lidah tifoid (kotor ditengah, tepi dan ujung berwarna merah, disertai
tremor), hepatomegaly, splenomegaly, meteorismus, gangguan kesadaran.
Hanya 20 hingga 40% orang yang awalnya mengalami sakit perut. Gejala
tidak spesifik seperti menggigil, berkeringat , sakit kepala, kehilangan nafsu
makan, batuk, lemas, sakit tenggorokan, pusing, dan nyeri otot sering muncul
sebelum timbulnya demam. Beberapa gejala yang sangat jarang adalah psikosis
(gangguan mental), kebingungan, dan kejang18.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Uji widal
Deteksi titer antibody terhadap S. Typhii atau S Paratyphii yakni
agglutinin O (dari tubuh kuman) dan agglutinin H (flagella kuman). Pembentukan
agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, puncak pada minggu
ke empat dan tetap tinggi dalam beberapa minggu dengan peningkatan agglutinin
O terlebih dahulu baru diikuti agglutinin H. Aglutinin O menetap 4-6 bulan,
sedangkan agglutinin H menetap 9-12 bulan. Titer antibody O > 1: 320 atau
atibodi H > 1:640 menguatkan diagnosis pada gambaran klinis yang khas18.

31
2. Uji Typhidot
Deteksi IgM dan IgG pada protein membrane luar S. Typhii. Hasil positif
diperboleh 2-3 hari setelah infeksi spesifik mengidentifikasi IgM dan IgG
terhadap S. Typhii. Sensitivitas 98% dan spesifisitas 76,6%.

3. Pemeriksaan darah tepi


Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada
permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang
sederhana akan tetapi berguna untuk membantu diagnosis yang cepat.

4.      Pemeriksaan sumsum tulang


Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak
termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum tulang
berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofog. Sedangkan sistem
eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis berkurang.

5. Biakan empedu
Basil Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya
dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan
feses dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu
pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan
diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses 2 kali
berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar
sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman18.

G. PENATALAKSANAAN

32
Perawatan di rumah dapat dilakukan apabila keadaan umum dan kesadaran
pasien lumayan baik, serta gejala dan tanda klinis tidak menunjukkan infeksi
tifoid berlanjut. Perawatan di rumah sakit dilakukan pada keadaan tertentu dapat
dilakukan di bangsal umum maupun ICU, tergantung pada keadaan klinis pasien.
Terapi farmakologis (Terapi antibiotik)

a. Ciprofloxacin
Mempunyai mekanisme menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba29.
Fluroquinolones yaitu Ciprofloxacin direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
untuk anak – anak dan orang dewasa yang terinfeksi dengan resistensi sensitif dan
multi-obat, Salmonella typhi dan paratyphi 30. Sefalosporin generasi ketiga yaitu
Ceftriaxone menjadi penggunaan alternatif untuk kasus seperti halnya resistensi
multi-obat (resistensi terhadap kloramfenikol, amoksisilin dan cotrimoxazole).
Pada penelitian prospektif India utara ada perkembangan bertahap resistensi
terhadap Fluroquinolones 4,4 % resistensi diamati pada Sparfloxacin, resistensi
8,8 % pada ofloxacin dan resistensi yang tinggi 13 % pada Ciprofloxacin 31.
Golongan quinolon (ciprofloxacin) ini tidak dianjurkan untuk anak-anak, karena
dapat menimbulkan efek samping pada tulang dan sendi, bila diberikan pada anak
akan menggganggu pertumbuhan tulang pada masa pertumbuhan anak32.

b. Cefixime
Cefixime mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel
mikroba29. Sefalosporin generasi ketiga yaitu Cefixime oral (15-20 mg/kg/hari,
untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah banyak digunakan pada
anak-anak dalam berbagai daerah geografis diamati penggunaan Cefixime oral
memuaskan. Namun, dalam beberapa percobaan Cefixime menunjukan tingkat
kegagalan dan kekambuhan yang lebih tinggi daripada fluoroquinolones33.

c. Kloramfenikol
Kloramfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel
mikroba29. Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan
demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara

33
oral34. Efek samping yang sangat berat yaitu anemia aplastik atau biasa dikenal
dengan depresi sumsum tulang dan jika diberikan pada bayi < 2 minggu dengan
gangguan hepar dan ginjal, kloramfenikol akan terakumulasi dengan darah pada
bayi khususnya pada pemberian dosis tinggi akan menyebabkan gray baby
sindrom, serta dapat menghambat pembentukan selsel darah (eritrosit,trombosit
dan granulosit) yang timbul dalam waktu 5 hari sesudah dimulainya terapi, dari
efek samping yang timbul sehingga kloramfenikol memiliki persentase nomor dua
dibandingkan penggunaan golongan sefalosporin32. Walaupun penggunaan
kloramfenikol memerlukan kehati-hatian, namun penggunaannya masih lebih baik
pada tifoid dibandingkan antibiotika lain yang dilaporkan sudah resistensi, seperti
ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, nalidixic acid, ciprofloxacin34.

d. Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel
mikroba. Pilihan lain yang analog dengan kloramfenikol, yang masih digunakan
di Indonesia dan masih dianggap efektif untuk menyembuhkan demam tifoid
adalah tiamfenikol. Efek samping hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih
jarang daripada kloramfenikol34.

e. Ceftriaxone
Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel
mikroba29. Bila dibandingkan dengan intravena ceftriaxone (75 mg / hari;
maksimum 2,5 g / hari) setiap hari selama 5 hari, azitromisin oral (20 mg / kg /
hari; maksimum 1000 mg / hari) tercapai tingkat efikasi yang hampir serupa (97%
vs. 94%). Tidak terdapat pasien yang menggunakan azitromisin mengalami
kekambuhan, sedangkan beberapa kekambuhan diamati pada pasien yang
menggunakan ceftriaxone30.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat lebih sering terjadi pada individu yang tidak diobati
sehingga memungkinkan terjadinya pendarahan dan perforasi usus ataupun infeksi
fecal seperti visceral abses31.

34
BAB IV
ANALISA KASUS

Os datang dengan keluhan demam 5 hari SMRS. Os merasakan demam


tinggi terutama sore dan malam hari, keluhan demam disertai dengan menggigil.
Adapun keluhan tambahan lainnya adanya mual, muntah 1x sebanyak 1 gelas
belimbing dan muntah apa yang dimakan. Os mengatakan dia juga mengeluh sakit
kepala, nyeri belakang bola mata, nyeri otot dan nyeri sendi. Os juga mengatakan
timbul bercak merah di lengan kanan sebanyak 1-3 buah. Os juga mengeluh nyeri
didaerah perut terus menerus dan lidah terasa pahit sehingga pasien tidak nafsu
makan. Pasien menyangkal adanya pendarahan hidung, pendarahan gusi, BAB
berdarah, BAK berdarah dan kejang. Pada pemeriksaan ditemukan uji tourniquet
(+).
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien mengalami demam 5 hari sebelum
masuk rumah sakit. Hal ini sesuai dengan teori pada demam berdarah dengue
(DHF) dimana pada fase febris terjadi demam mendadak selama 2-7 hari, sakit
kepala,mual dan muntah, nyeri dibelakang bola mata serta ditemukan petekie
sebagai tanda adanya perdarahan. Dan sesuai dengan teori bahwa gejala yang
dialami pasien merupakan gejala DBD Derajat I yaitu demam disertai uji
tourniquet positif18.
Pasien mengalami demam yang tinggi yang terjadi pada sore hari dan
malam hari, nyeri perut, nyeri otot dan sendi, lidah terasa pahit, mual muntah. Hal
ini sesuai dengan teori pada demam thyphoid dan demam parathyphoid bahwa
pada minggu pertama muncul tanda infeksi akut seperti demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
nyaman diperut, batuk, dan epistaksis. Demam yang terjadi berpola seperti anak

35
tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan
tinggi pada sore hari18.
Os mengatakan untuk meredakan panas Os meminum obat paracetamol
3x1 selama 2 hari. Hal ini sesuai dengan teori bahwa penatalaksanaan untuk
menurunkan demam adalah menggunakan antipiretik. Cara kerja paracetamol
adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Saraf
Pusat (SSP) sehingga dapat menurunkan suhu tubuh35.
Os mengatakan juga sering makan diluar atau jajan diluar sejak 2 tahun
ini. Hal ini sesuai dengan teori bahwa Penularan Salmonella Typhi sebagian besar
jalur fekal oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri
yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama
dengan feses. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil
yang berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya18.
Os mengatakan disekitar rumah banyak terdapat genangan air, bak rumah
yang belum dikuras, dan banyak gantungan baju. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang
seluruh kelompok umur. Munculnya penyakit ini berkaitan dengan kondisi
lingkungan dan perilaku masyarakat2. Indonesia adalah daerah endemis DBD dan
mengalami epidemik sekali dalam 4-5 tahun. Faktor lingkungan dengan
banyaknya genangan air bersih yang menjadi sarang nyamuk, mobilitas penduduk
yang tinggi dan cepatnya trasportasi antar daerah, menyebabkan sering terjadinya
demam berdarah dengue4.
Pasien mengatakan setelah sakit nafsu makan menjadi berkurang. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala seperti
timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis albumin
serta transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari kerjasama IL-1
danTNF-α. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa.
Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipotalamus
ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan36.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 16 maret 2019 didapatkan
hasil leukosit 4.600 dan trombosit 120.000. dan hasil untuk widal test didapatkan
titer O pada parathypus B O = 1/ 160 dan parathypus C O 1/160. Hal ini sesuai

36
dengan teori bahwa pada DBD kriteria laboratoris Trombositopenia (jumlah
trombosit <100.000/ul ). Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui
mekanisme: 1) supresi sumsum tulang, 2) destruksi dan pemendekan masa hidup
trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari)
menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadi
tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoesis termasuk megakariopoesis.
Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukan kenaikan, hal ini menunjukan terjadinya stimulasi trombopoesis
sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus
dengue, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda
degranulasi trombosit18.
Deteksi titer antibody terhadap S. Typhii atau S Paratyphii yakni
agglutinin O (dari tubuh kuman) dan agglutinin H (flagella kuman). Pembentukan
agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, puncak pada minggu
ke empat dan tetap tinggi dalam beberapa minggu dengan peningkatan agglutinin
O terlebih dahulu baru diikuti agglutinin H. Aglutinin O menetap 4-6 bulan,
sedangkan agglutinin H menetap 9-12 bulan. Titer antibody O > 1: 320 atau
atibodi H > 1:640 menguatkan diagnosis pada gambaran klinis yang khas18.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 18 maret 2019 didapatkan hasil
pemeriksaan IgG dan IgM positif. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada DBD
IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat cepat sampai dengan minggu ke-2,
menghilang setelah 60-90 hari. Antibodi IgG terdeteksi dalam jumlah yang kecil
pada akhir minggu pertama selanjutnya meningkat dan bertahan dalam waktu
yang lama. Pada infeksi sekunder, titer antibodi meningkat secara cepat. Antibodi
IgG terdeteksi pada level yang tinggi, walaupun pada fase initial dan bertahan
dalam beberapa bulan hingga seumur hidup. Antibodi IgG mulai terdeteksi pada
hari ke-14 pada infeksi primer dan pada hari ke-2 pada infeksi sekunder17.
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien adalah istirahat tirah baring, dan
diet makanan lunak serta IVFD RL gtt xx/menit, Injeksi ranitidine 2 x 1 amp,

37
Paracetamol 3 x 500mg, Ambroxol 3 x 1 tab, Neurodex 1 x 1 tab, injeksi
ceftriaxone 1 vial. Hal ini sesuai bahwa penataksanaan untuk demam tyhphoid
dapat diberikan antibiotic salah satunya ceftriaxone (75 mg / hari; maksimum 2,5
g / hari) setiap hari selama 5 hari 30. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga,
terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan,
maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi
dan hemokonsentrasi. Pada pasien DBD derajat I tanpa syok dengan rawat inap
dirumah sakit dapat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + (20 x( BB-20) ml
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, HT tiap 24 jam :
- Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap, tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap
12 jam.
- Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000, maka Pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DHF dengan peningkatan
Ht>20%22.
Diberikan ranitidin untuk mengurangi produksi asam lambung, diberikan
ambroxol untuk mengurangi produksi mukus akibat keluhan batuk, dan pemberian
neurodex pada pasien adalah sebagai multivitamin atau untuk menjaga fungsi
saraf. Pemberian paracetamol sebagai antiperik untuk menurunkan panas35.
Adapun prognosis pada pasien ini yaitu dubia ad bonam. Prognosis penyakit
ini baik dengan terapi suportif yang adekuat.

38
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus pada seorang perempuan berusia 18 tahun


dirawat di bangsal penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI.
Berdasarkan anamnesa didapatkan adanya keluhan demam 5 hari SMRS. Os
merasakan demam tinggi terutama sore dan malam hari, keluhan demam disertai
dengan menggigil. Adapun keluhan tambahan lainnya adanya mual, muntah 1x
sebanyak 1 gelas belimbing dan muntah apa yang dimakan. Os mengatakan dia
juga mengeluh sakit kepala, nyeri belakang bola mata, nyeri otot dan nyeri sendi.
Os juga mengatakan timbul bercak merah di lengan kanan sebanyak 1-3 buah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan rumple leed (+). Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan trombositopenia, dan titer antibody parathyphoid (+), dan
igG (+) dan igM (+). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang diatas, dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis Demam Berdarah Dengue Derajat I dan Demam
Paratyphoid.

39
40

Anda mungkin juga menyukai