Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I
PENDAHULUAN

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Demam
terjadi pada temperature >37,2°C. Demam biasanya disebabkan oleh infeksi
(bakteri, virus, jamur atau parasit), penyakit autoimun, keganasan, ataupun obat-
obatan.
Demam merupakan gejala yang paling umum dikeluhkan oleh setiap
penderita dalam praktek sehari-hari, dan dianggap sebagai penanda adanya suatu
gangguan dalam tubuh. Pada umumnya demam terjadi dalam waktu singkat yang
terkadang menimbulkan rasa tidak enak atau tidak nyaman bagi penderita. 1,2
Sejak masa Hipocrates, demam sudah diketahui sebagai pertanda adanya
suatu penyakit. Galileo pada abad pertengahan menciptakan alat pengukur suhu dan
Santorio di Padua melaksanakan aplikasi pertama penemuan alat ini di lingkungan
klinik. Wunderlich menerbitkan sebuah analisis yang didasarkan pada pengamatan
terhadap 20.000 subyek, yang meyakinkan dokter terhadap nilai grafik suhu dari
waktu ke waktu. Traube memperlihatkan sebuah kurva suhu secara menyeluruh
yang dibuat di sebuah klinik di Leipzig. Penggunaan kurva suhu semakin meluas
setelah dipublikasikannya pendapat Wunderlich pada tahun 1868, dimana beliau
mengatakan bahwa dengan semakin banyak pengalamannya dalam memakai alat
pengukur suhu ini, semakin bertambah keyakinannya mengenai manfaat
pengukuran tersebut, khususnya untuk mendapatkan informasi yang cukup akurat
dan prediktif mengenai kondisi seorang pasien.1,3
Demam dapat memberikan informasi penting tentang adanya gejala
penyakit, terutama infeksi, dan tentang perubahan status klinis pasien yang
memiliki gejala klinis yang mirip, khususnya pada demam berdarah dengue dan
demam tifoid.
2

BAB II
DEMAM

2.1 Definisi Demam

Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila diukur pada rektal
>38°C (100,4°F), diukur pada oral >37,8°C, dan bila diukur melalui aksila >37,2°C
(99°F). Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi
berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan ransangan
pirogenik lain. Bila produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas yang
dapat ditoleransi maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan,
tetapi bila telah melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan
tubuh.3

2.2 Penyebab Demam

Demam merupakan gejala bukan suatu penyakit. Demam adalah respon normal
tubuh terhadap adanya infeksi. Infeksi adalah keadaan masuknya
mikroorganisme kedalam tubuh. Mikroorganisme tersebut dapat berupa virus, bakteri,
parasit, maupun jamur. Kebanyakan demam disebabkan oleh infeksi virus. Demam
bisa juga disebabkan oleh paparan panas yang berlebihan (overhating), dehidrasi
atau kekurangan cairan, alergi maupun dikarenakan gangguan sistem imun.

Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis pirogen
yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh dan
berkemampuan untuk merangsang IL-1, sedangkan pirogen endogen berasal dari
dalam tubuh dan mempunyai kemampuan untuk merangsang demam dengan
mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Interleukin-1, tumor necrosis
factor ( TNF) dan interferon (INF) adalah pirogen endogen.4

 Pirogen Eksogen

Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar.


Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk
merangsang sintesis IL-1. Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen
3

eksogen (misalnya endotoksin), bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah


pengatur suhu. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin yang akan merangsang
secara langsung makrofag dan monosit untuk melepas IL-1. Mekanisme ini dijumpai
pada scarlet fever dan toxin schock syndrome. Pirogen eksogen dapat berasal dari
mikroba atau non-mikroba.4

 Pirogen Mikrobial
1. Bakteri Gram- negative
Pirogenitas bakteri Gram-negative (misalnya Escherichia coli, Salmonela)
disebabkan adanya heat-stable factor yaitu endotoksin, suatu pirogen eksogen yang
pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri
yaitu lipopolisakarida. Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif
tergantung dari dosis (dose-related). Endotoksin Gram- negative tidak selalu
merangsang terjadinya demam; pada bayi dan anak infeksi Gram-negatif akan
mengalami hipotermia.4

2. Bakteri Gram-positif
Pirogen utama bakteri Gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah
peptidoglikan dinding sel. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada
peptidoglikan. Hal ini menerangkan perbedaan prognosis lebih buruk
berhubungan dengan infeksi bakteri Gram- negative. Mekanisme yang
bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi Pneumokokus
diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh
basil Gram-positif pada umumnya demam yang ditimbulkan tidak begitu tinggi
dibandingkan dengan Gram-positif piogenik atau bakteri Gram-negatif lainnya.4
3. Virus
Telah diketahui secara klinis bahwa virus menyebabkan demam. Pada tahun
1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalan serum kelinci yang
mengalami demam setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus
memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invasi langsung ke
dalam makrofag, reaksi imunologik terhadap komponen virus termasuk
diantaranya pembentukan antibody, induksi oleh interferon dan nekrosis sel akibat
virus.4
4

4. Jamur
Jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen eksogen yang akan
merangsang terjadinya demam. Demam umumnya timbul ketika mikroba berada
dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya
leukemia) disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia mempunyai
resiko tinggi untuk terserang infeksi jamur invasive.4

 Pirogen Non-Mikrobial
Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab
untuk terjadinya demam dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun
(immune haemolytic anaemia).5

2.3 Mekanisme Demam


Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan
sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen IL-
1 (interleukin 1), TNFα (Tumor Necrosis Factor α), IL-6 (interleukin 6), dan INF
(interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan
patokan termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan
bukan di suhu normal. Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan
menjadi 38,9° C, hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37° C
terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanismemekanisme respon dingin untuk
meningkatkan suhu tubuh.5
Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh
berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk
mengatasi berbagai rangsang. Ransangan endogen seperti eksotoksin dan endotoksin
menginduksi leuko sit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang poten
diantaranya adalah IL-1 dan TNFα, selain IL-6 dan IFN. Pirogen endogen ini akan
bekerja pada sistem saraf pusat tingkat OVLT (Organum Vasculosum Laminae
Terminalis) yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral nukleus preoptik,
hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai respon terhadap sitokin tersebut
maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2
melalui metabolisme asam arakidonat jalur COX-2 (cyclooxygenase 2), dan
menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam.6
5

Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui
sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal MIP-1 (machrophage
inflammatory protein-1) ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik. 6
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas,
sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi
pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan
demikian, pembentukan demam sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah
sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi. 3

2.4 Pola Demam


Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, akan tetapi bila pola
demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu,
informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.).1

Tabel 2. Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik


Pola demam Penyakit
Kontinyu Demam tifoid, malaria falciparum malignan
Remitten Sebagian besar penyakit virus dan bakteri
Intermiten Malaria, limfoma, endokarditis
Hektik atau septik Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik
Quotidian Malaria karena P.vivax
Double quotidian Arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid arthritis, beberapa drug
fever (contoh karbamazepin)
Relapsing atau periodik Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis
Demam rekuren Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi
derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam,
dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:1,2,6,7
 Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan
suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24
jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.
6

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

 Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai
normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe
demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik
untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi,
khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

 Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi
hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis
demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar 3. Demam intermiten

 Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten
menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat
besar.
7

 Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme


demam yang terjadi setiap hari.
 Demam quotidian ganda (Gambar 4.) memiliki dua puncak dalam 12 jam
(siklus 12 jam)

Gambar 4. Demam quotidian

 Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan


menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi
normal.
 Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama
demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari
untuk infeksi saluran nafas atas.
 Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular
pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus
urinarius) atau sistem organ multipel.
 Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang
berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis
merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas
untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever,
spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever
(Marburg, Ebola, dan demam Lassa).
 Relapsing fever dan demam periodik:
o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan
interval regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa
hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang
dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam
terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4)
(Gambar 5.)dan brucellosis.
8

Gambar 5. Pola demam malaria

o Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren
yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan
ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Ga
mbar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)
Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang
secara tiba-tiba berlangsung selama 3 – 6 hari, diikuti oleh periode bebas
demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat
mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne.
Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan
perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai
Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 – 8 jam),
yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan
oleh pelepasan endotoksin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik.
JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi
9

ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan
brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai
reaksi anafilaktik full-blown.
o Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus
dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 – 10 minggu
sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.
o Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein
pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH).
Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini,
tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari
demam yang berlangsung 3 – 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam
durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan
dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).


10

BAB III
DEMAM BERDARAH DENGUE

3.1 Definisi

Demam dengue/DD (dengue fever/DF) dan demam berdarah dengue/DBD


(dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok.8
3.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk
(1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35
per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung
menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. 9
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat
penampungan air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan
transmisi virus dengue yaitu: 8
1. Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain
2. Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan atau keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin
3. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk
11

3.3 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan
berat molekul 4x106.8
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotipe dapat ditemukan di Indonesia dari pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit, namun serotipe DEN-3
merupakan yang terbanyak dan diasumsikan bahwa serotipe ini yang menunjukkan
manifestasi klinis yang berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan
Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus.8

3.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan
sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis
DBD adalah: 10
1. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut
antibody dependent enhancement (ADE).
2. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
3. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
4. Aktivasi komplemen oleh komples imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.
12

Secondary heterologous dengue infection


Replikasi virus Amnestic antibody
response
Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin
dalam urin ↑
Permeabilitas kapiler ↑ Ht ↑
> 30% pada Perembesan plasma Natrium ↓
kasus syok 24-48 jam
Hipovolemia Cairan dalam rongga
serosa
Syok
Anoksia Asidosis
Meninggal
Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD 4

Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang mefagositosis


kompleks virus antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan
T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti
TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan
terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan
C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus antibodi yang juga mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma. 8
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 9
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang
pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi
megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoeisis termasuk megakariopoesis.
13

Kadar trombopoeitin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru


menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis
sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopatidan sekuestrasi di perifer. Gangguan
fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-hemoglobin dan PF4 yang merupakan degranulasi trombosit.8
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga kberperan melalui aktivasi faktor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).9
3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau
sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama
2-7 hari, yang di ikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien
sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan tidak adekuat. 9
Demam dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: 10
 Nyeri kepala
 Nyeri retro-orbital
 Mialgia/artralgia
 Ruam kulit
 Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)

Cara melakukan Tes Rumple Leede:


Alat:
1. Sphygmomanometer
2. Stetoskop
14

3. Stopwatch

Langkah Kerja:
1. Pasang manset sphymomanometer pada lengan dan ukur tekanan darah
pasien.
2. Setelah tekanan darah pasien diketahui, pompa kembali
sphymomanometer dan pertahankan posisi air raksa pada angka yang
merupakan hasil perhitungan: (Tekanan sistolik + tekanan diastolik):2.
Namun angka maksimal yang diperbolehkan adalah 100 mmHg.
3. Biarkan posisi tersebut selama minimal 15 menit
4. Buatlah lingkaran dengan diameter 5 cm yang terletak pada lengan
bawah pasien kurang lebih 1 inci (2,4 cm) dari lipat siku.
5. Setelah 15 menit, buka katup pada balon dan biarkan air raksa turun ke
angka nol. Lalu lepaskan manset.
6. Amati lengan bawah pasien pada daerah lingkaran untuk melihat ptechiae
7. Lakukan interpretasi terhadap hasil tes Rumple Leede di regio volar (di
dalam lingkaran tersebut).

Interpretasi Hasil:
Hasil pemeriksaan dikatakan positif atau negatif dengan kriteria sebagai
berikut:
Negatif = < 20 ptechiae
Positif = > 20 ptechiae
15

Gambar 1. Petekie hasil tes Rumple Leede


 Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien
DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

Demam berdarah dengue (DBD) berdasarkan kriteria WHO diagnosis DBD


ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi: 11
 Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari biasanya bifasik
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
- Uji bendung positif
- Petekie, ekimosis atau purpura
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau
perdarahan dari tempat lain
- Hematemesis atau melena
 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
 Terdapat minimal satu tanda – tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya
- Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemia

Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD
adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
Sindrom syok dengue (SSD) jika seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai
kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah
turun (≤ 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan
lembab serta gelisah. 11
Berikut ini adalah tabel derajat penyakit infeksi virus dengue 12
16

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium


DD Demam disertai 2 Leukopenia,
atau lebih tanda: serologi dengue
sakit kepala, nyeri positif
retro orbital,
mialgia, artralgia

DBD I Gejala di atas Trombositopenia


ditambah uji (<100.000/ul), bukti
bendung positif ada kebocoran
plasma
DBD II Gejala di atas Trombositopenia
ditambah (<100.000/ul), bukti
perdarahan ada kebocoran
spontan plasma
DBD III Gejala di atas Trombositopenia
ditambah (<100.000/ul), bukti
kegagalan sirkulasi ada kebocoran
(kulit dingin dan plasma
lembab serta
gelisah)
DBD IV Syok berat disertai Trombositopenia
dengan tekanan (<100.000/ul), bukti
darah dan nadi ada kebocoran
tidak terukur plasma
DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)

3.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium 9
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell
culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR
(Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction) namun karena teknik
yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi
spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
 Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma
17

biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat
 Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8
 Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam
 Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah
 Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
 SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase) dapat meningkat
 Ureum kreatinin terganggu bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
 Elektrolit sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
 Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah
 Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60 – 90 hari. IgG pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari
ke 14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke 2
 Antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di
permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. NS1 dapat terdeteksi dalam
kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi
primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).
2. Pemeriksaan Radiologis 2
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai
pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto Rontgen dada sebaiknya dalam
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan).
Asites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG.
18

3.7 Diagnosis Kerja


Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari) timbul
gejala prodormal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan
perasaan lelah. Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di
laboratorium dengan cara, isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam
serum atau jaringan tubuh dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien.
Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi
dengue yaitu:
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI = Haemaglutination Inhibition test)
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF test)
3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test)
4. IgM Elisa
5. IgG Elisa

Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling
sering dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.

3.8 Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat
tanda syok merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di
pihak lain perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para
dokter untuk mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok) dengan baik. 10
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang
paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap
dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
19

dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk


mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Volume cairan
kristaloid per hari yang diperlukan sesuai rumus berikut 1500 + {20x(BB dalam kg
– 20)}, transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan
spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm 3 disertai atau tanpa
KID.10
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemberantasan sebelum
musim penularan meliputi perlindungan perorangan, pemberantasan sarang
nyamuk dan pengasapan. Perlindungan perorangan untuk mencegah gigitan
nyamuk bisa dilakukan dengan meniadakan sarang nyamuk di dalam rumah dan
memakai kelambu pada waktu tidur siang, memasang kasa di lubang ventilasi
dan memakai penolak nyamuk.
Pergerakan pemberantasan sarang nyamuk dengan menguras bak mandi/wc
dan tempat penampungan air lainnya secara teratur sekurang-kurangnya
seminggu sekali, menutup rapat TPA, membersihkan halaman dari kaleng,
botol, ban bekas, tempurung, dll sehingga tidak menjadi sarang nyamuk,
mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung,
mencegah/mengeringkan air tergenang di atap atau talang dan menutup lubang
pohon atau bambu dengan tanah.
Pengasapan masal dilaksanakan 2 siklus di semua rumah terutama di
kelurahan endemis tinggi, dan tempat umum di seluruh wilayah kota.
Pengasapan dilakukan di dalam dan di sekitar rumah dengan menggunakan
larutan malathion 4% (atau fenitrotion) dalam solar dengan dosis 438 ml/Ha.

BAB IV
DEMAM TIFOID

4.1 Definisi
20

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-
negara berkembang.
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah
penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala
demam selama 7 hari atau tebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan
kesadaran. Atau ada juga penulis lain yang membuat kriteria demam tifoid
sebagai penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteriemia,
perubahan pada system retikuioendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi pada Nodus Peyeri di distal Ileum.
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama dilingkungan kering dan
beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 °C. Organisme
ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah
kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat
bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa
merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber
penularan alami Salmonella tiphy melalui kontak langsung maupun tidak
langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.

4.2 Epidemiologi
Insiden cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di
negara maju dan yang sedang berkembang. Demam tifoid merupakan penyakit
endemis di Indonesia. 96% kasus demem tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi,
sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. 90% kasus demam tifoid terjadi
pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.
Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid
bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian
demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai
negara berkembang, diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan
500.000 kematian di seluruh dunia. Di negara maju perkiraan angka kejadian
demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 - 0,7 kasus per 100.000
penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus
21

per100.000 penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih


merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka
kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000
penduduk per tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 - 1,5 juta kasus setiap
tahunnya.

4.3 Etiologi
Samonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus
Salmonella. Kuman S. Typhi berbentuk batang, Gram negatifi, tidak berspora,
motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37°C (15°C-
41°G), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung
empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4 °C selama satu jam dan 60°C
selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella
mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak
terhadap laktosa atau sukrosa.13
S. typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:
- Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)
- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi antigen terhadap fagositosis. Dalam serum penderita terdapat zat anti
(aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple. 3,6,9

4.4 Patogenesis
Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada
manusia. Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1)
proses invasi kuman S. Typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan
hidup dalam makrofag dan (3) proses bekembang biaknya kuman dalam makrofag.
22

Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan
membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non
spesifik disaluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2)
mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebafan tubuh humoral dan selular.

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melaiui mulut


bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman
sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat
melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi
asam lambung.
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan S. Typhi sebanyak 103-109 yang
tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat
menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan
terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria
atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan
tersebut S. Typhi febih mudah mefewati pertahanan tubuh.
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan loka! berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh
berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non
23

spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob
di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam
lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil
mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat
pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam
kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh
monosit dan makrofag. Namun demikian S. Typhi saluran pencernaan, baik secara
kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebafan
tubuh humoral dan selular.
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melaiui muiut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman
sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat
melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi
asam lambung. 8,9

4.5 Manifestasi Klinis


Demam tifoid pada biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbu! setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari,
selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu anorexia,
letargia, malaise, dullness, continuous headache, non productive cough, bradikardi
relatif Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan
gejaia konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan
kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.
Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada
minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang
terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu
tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan
24

dewasa. Rose sopts (bercak makulopapular) ukuran 16 mm, dapat timbul pada kulit
dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3
hari). Jika tidak ada kompiikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi
berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan
alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat
Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak
dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada
waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan
jaringan-jaringan fibroblas.
Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri
perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada
selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih
mencolok, mual muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika
terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3. Batuk dan epistaksis mungkin ada. Kelesuan
berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat
menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40 °C. 4
Tanda-tanda fisik adalah bradikardi reiatif, yang tidak seimbang dengan
tingginya demam. hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri
difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit.
Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu: 6
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada
sore hari dan malam hari. Dalam minggu I, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu III.

2. Gangguan saluran cema


25

Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah-pecah
(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung
(meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan
tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.

3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, coma atau gelisah. Disamping gejala-gejala
diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejaia lain:
- Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest
dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan
diameter 2-4 mm yang akan hiiang dengan penekanan dan sukar didapat
pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri
dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama dernam.
- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang
biasanya ditemukan pada awal minggu ke 11 dan nadi mempunyai
karakteristik notch (dicrotic notch).

4.6 Pemeriksaan Penunjang


Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan taboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis. Da1am kepustakaan
lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
(1) isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen
penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose
spot,
26

(2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S. Typhi dan
menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan
(3) pemeriksaan meiacak DNA kuman S. Typhi.

Pemeriksaan yang menyokong diagnosis yaitu pemeriksaan darah tepi.


Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif, neutropenia pada permulaan
sakit. Mungkin juga terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Patogenesis
perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya
ditandai dengan leukopeni, limfositosis relatif dan menghilangnya eosinofii
(aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik
yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai
gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh
toksin dalam peredaran darah. 8
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah
pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti.
Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu
berikutnya.
(a) Biakan empedu
80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah penderita.
Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feces dan akan tetap positif untuk
waktu yang lama.
(b) Widal test
Dasar pemeriksaan iaiah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita
dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa
dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 11200
atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5
hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut
mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd
antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah
mendapat imunisasi atau bita penderita tetah lama sembuh. Titer thd antigen Vi
juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman. Tidak
selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus
27

abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan


kesembuhan penderita. Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:
 Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi
basil coli patogen dlm usus.
 Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.
 Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).
 Akibat imunisasis secara alamiah karena masuknya basisi peroral atau pada
keadaan infeksi.

4.7 Komplikasi
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus haius): Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
(a) Perdarahan usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena dan kalau sangat berat
dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda syok: berupa
penurunan suhu tubuh dan tekanan darah yang drastis, sudden tachycardia.

(b) Perforasi usus.


Timbul pada minggu ketiga atau seteiah itu dan sering terjadi pada distal
ileum. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat ditemukan
bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghiiang dan
terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto
Rontgenabdomen yang dibuat dalam posisi tegak.

(c) Peritonitis
Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri pefut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense muscuiair) dan nyeri tekan.

(d) Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia)
4
yaitu hepar, gallbladder, dan pankreas.

4.8 Tatalaksana
28

Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi


demam tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi demam
tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan
98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Pemberian terapi singkat degan
ofloxacin memiliki angka kesuksesan yang sama dengan pemberian agen kuinolon
terhadap salmonela yang sensitif. Di Asia, penggunaan luas agen fluorokuinolon
secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS (decreased
ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon
sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Pasien yang terinfeksi dengan
golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi menggunakan ceftriaxone, azithromycin
atau ciprofloksasin dalam dosis besar. Penggunaan fluorokuinolon dosis besar
dalam 7 hari sebagai terapi demam typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan
resolusi dan meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam
typhoid DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam
waktu 14 hari.
Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk
demam tifoid MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang
resisten dengan fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1
minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka relaps
3-6%. Pemberian azithromycin oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari, dengan
angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian
azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi yang rendah, dan durasi
hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon. Sefalosporin
generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak efektif pada terapi
demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah
dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare
menetap atau distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan
terapi suportif (tirah baring dan dukungan nutrisi )disertai pemberian antibiotik
parenteral sefalosporin generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung dari tingkat
sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10 hari atau selama 5 hari
setelah resolusi demam.
29

Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi
dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi
menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif
dalam mengeradikasi karier kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali
sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur
tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan , atau 100
mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya
diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya
memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan
kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.

Tabel 4.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid

Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki


sanitasi lingkungan dan perilaku sehari-hari, serta imunisasi secara aktif
30

dengan vaksin terhadap demam tifoid. Beberapa jenis vaksin telah beredar
di Indonesia saat ini.
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan
tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi
serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di
rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping
observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.

BAB V
TABEL KOMPARATIF
31

Demam berdarah dengue Demam tifoid


Definisi
Penyakit yang disebabkan oleh virus Infeksi sistemik akut yang disebakan oleh
dengue. Salmonella enterik serotipe typhi atau
parathypi.
Etiologi
Etiologi DD/DBD adalah virus dengue Etiologi demam tifoid adalah Salmonella
yang merupakan anggota genus typhi dan Salmonella paratyphi
Flavavirus dan terdiri dari 4 serotipe. berserotipe A, B, atau C. Kedua spesies
Virus tersebut ditularkan oleh gigitan Salmonella ini berbentuk batang,
vektor nyamuk Aedes aegypti dan berflagel, aerobik, serta gram negatif.
Aedes albopictus dengan masa
inkubasi 4-10 hari.
Manifestasi
 Demam bifasik yang muncul tiba- Masa tunas sekitar 10-14 hari. Gejala
tiba yang timbul bervariasi:
 Mual, muntah  Pada minggu pertama muncul tanda
 Petekie kulit infeksi akut seperti demam, nyeri
 Nyeri kepala & nyeri otot dan kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
tulang. Nyeri otot terutama pada mual, muntah, obstipasi atau diare,
tendon dan otot perut apabila perasaan tidak nyaman di perut, batuk
ditekan dan epistaksis. Demam yang terjadi
 Gangguan pada mata berpola seperti anak tangga dengan
 Tanda bahaya: nyeri perut, muntah suhu makin tinggi dari hari ke hari,
persisten, akumulasi cairan yang lebih rendah pada pagi hari dan tinggi
dapat terlihat dari pemeriksaan pada sore hari.
fisik, perdarahan mukosa, letargi,  Pada minggu kedua gejala menjadi
pembesaran hepar >2cm, dan lebih jelas dengan demam, bradikardia
peningkatan hematokrit bersamaan relatif, lidah tifoid (kotor di tengah,
dengan penurunan jumlah tepi & ujung berwarna merah, disertai
trombosit. tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan kesadaran,
Berdasarkan WHO 2009, demam roseolae (lebih jarang).
dengue terbagi menjadi tiga bagian:
1. Dengue tanpa tanda-tanda bahaya
Tinggal atau bepergian ke area
endemis dengue dengan demam,
ditambah 2 tanda gejala: nyeri
kepala, malaise, mialgia, artralgia,
nyeri retro-orbital, anoreksia,
nausea, muntah, diare, flushed skin,
ruam (petekie) dan pada
pemeriksaan laboratorium
ditemukan leukopenia dengan atau
tanpa trombositopenia dan/atau tes
antigen dengue NS1 atau tes
32

antibodi IgM.
2. Dengue dengan tanda-tanda bahaya
Tinggal atau bepergian ke area
endemis dengue dengan demam
antara 2-7 hari, ditambah salah satu
gejala: nyeri/nyeri tekan abdomen,
muntah persisten, tanda klinis
akumulasi cairan, perdarahan
mukosa, letargi, lemah, pembesaran
hati, laboratorium: peningkatan
hematokrit dan/atau penurunan
trombosit.
3. Dengue berat
Tinggal atau bepergian ke area
endemis dengue dengan demam
antara 2-7 hari dengan manifestasi
klinis dengue di atas dengan atau
tanpa tanda bahaya, ditambah
dengan:
o Kebocoran plasma berat yang
mengakibatkan: syok, akumulasi
cairan dengan gangguan
pernapasan.
o Perdarahan berat: epistaksis tidak
terkendali, hematemesis dan/atau
melena, perdarahan otak,
hematuria grosmakroskopik,
hematoskezia.
o Gangguan organ berat: hati
(SGOT/SGPT ≥ 1000), sistem
saraf pusat (kejang/gangguan
kesadaran), jantung, ginjal.
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah  Pemeriksaan darah perifer:
Leukopenia pada hari ke-2 dan 3 leukopenia/normal/leukositosis,
pada DD. Pada DBD dijumpai anemia ringan, trombositopenia,
trombositopenia dan peningkatan LED, peningkatan
hemokonsentrasi yang terlihat SGOT/SGPT
bermakna pada fase kritis.  Uji widal: deteksi titer antibodi
 Uji serologi: dengan blot yang terhadap S.typhi, S.paratyphi yakni
mengukur antibodi tanpa aglutinin O (dari tubuh bakteri) dan
memandang kelas antibodinya dan aglutinin H (flagel). Pembentukan
uji IgM anti dengue. aglutinin mulai terjadi pada akhir
 Antigen nonstructural protein 1 minggu pertama demam, puncaknya
(NS1). pada minggu keempat, dan tetap tinggi
dalam beberapa minggu dengan
peningkatan aglutinin O terlebih
dahulu diikuti oleh aglutinin H.
33

Aglutinin O menetap 4-6 bulan


sedangkan aglutinin H menetap 9-12
bulan. Titer antibodi O >1:320 atau
antibodi H >1:640 menguatkan
diagnosis pada gambaran klinis yang
khas.
 Uji TUBEX: uji semikuantitatif
kolometrik untuk deteksi antibodi anti
S.typhi O9. Hasil positif menunjukkan
infeksi Salmonellae serogroup D dan
tidak spesifik S.typhi. Infeksi
S.paratyphi menunjukkan hasil negatif.
Sensitivitas 75-80% dan spesifisitas
75-90%.
 Uji typhidot: deteksi IgM san IgG pada
protein membran luar S.typhi. Hasil
positif diperoleh 2-3 hari setelah
infeksi dan spesifik mengidentifikasi
IgM dan IgG terhadap S.typhi.
Sensitivitas 98%, spesifisitas 76,6%.
 Uji IgM dipstick: deteksi khusus IgM
spesifik S.typhi pada spesimen serum
atau darah dengan menggunakan strip
yang mengandung antigen
lipopolisakarida S.typhi dan anti IgM
sebagai kontrol. Sensitivitas 65-77%
dan spesifisitas 95-100%. Akurasi
diperoleh jika pemeriksaan dilakukan
1 minggu setelah timbulnya gejala.
 Kultur darah: hasil postif memastikan
demam tifoid namun hasil negatif tidak
menyingkirkan.
Tatalaksana
Tatalaksana DD atau DBD secara  Istirahat dan perawatan untuk
umum adalah tirah baring, pemberian mencegah komplikasi
cairan, medikamentosa simtomatik,  Diet lunak dan terapi suportif
dan antibiotik hanya apabila terdapat (antipiretik, anti-emetik, cairan yang
infeksi sekunder. adekuat)
 Antibiotik, dengan pilihan antara lain:
o Kloramfenikol 4x500 mg/hari per
oral/iv hingga 7 hari bebas demam
o Tiamfenikol 4x500 mg
o Kontrimoksazol 2x960 mg selama 2
minggu
o Ampisilin dan amoksisilin 50-150
mg/KgBB selama 2 minggu
o Seftriakson 3-4 gram dalam
34

dekstrosa 100cc selama ½ jam per


infus sekali sehari selama 3-5 hari
o Golongan fluorokuinolon:
 Norfloksasin 2x400 mg/hari
selama 14 hari
 Siprofloksasin 2x500 mg/hari
selama 6 hari
 Ofloksasin 2x400 mg/hari selama
7 hari
o Kombinasi antibiotik diberikan
pada tifoid toksik, peritonitis atau
perforasi, syok septik
o Pada kehamilan: ampisilin,
amoksisilin, seftriakson.

BAB VI
35

KESIMPULAN

Demam merupakan keadaan terjadinya suhu tubuh di atas variasi sirkadian


yang normal yaitu > 37,2C sebagai akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi
yang terletak dalam hipotalamus anterior.
Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit yang disebebkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, petekie, limfadenopati, trombositopenia dan disertai
haemoragik. Sindrom renjatan dengue adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan atau syok. Penyebab terjadinya Demam Berdarah Dengue
disebabkan oleh virus dengue, dimana terdapat 4 serortipe virus DEN 1, DEN 2,
DEN 3, DEN 4. Diagnosis DBD dapat ditegakkan apabila hasil laboratorium di
dapatkannya leukopenia, trombositopenia dan hemokonsentrasi serta IgM dan IgG
terhadap dengue dan atau antigen nonstructural protein 1 (NS1). Tatalaksana DD
atau DBD secara umum adalah tirah baring, pemberian cairan, medikamentosa
simtomatik, dan antibiotik apabila terdapat infeksi sekunder.
Demam typhoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh
kuman Salmonella Typhii. Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut pada usus
halus dengan gejala demam selama 7 hari, dengan gangguan saluran pencernaan
yaitu obstipasi atau diare, perasaan tidak nyaman di perut, bradikardia relatif dan
lidah tifoid (kotor di tengah, tepi & ujung berwarna merah, disertai tremor).
Tatalaksana pada demam typhoid yaitu istirahat dan perawatan, diet, terapi
penunjang serta pemberian antibiotik kloramfenikol 4x500 mg/hari per oral/iv
hingga 7 hari bebas demam atau seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100cc
selama ½ jam per infus sekali sehari selama 3-5 hari.

DAFTAR PUSTAKA
36

1. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll
J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin:
Springer-Verlag; 2009.
2. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce
TG, penyunting. Moffet’s Pediatric infectious diseases: A problem-oriented
approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005.
3. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC;
1996.
4. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :
Infeksi & Penyakit Tropis. Ed.I. IDAI. Jakarta.
5. Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.20. EGC.
Jakarta.
6. Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. FKUI. Jakarta.
7. Widodo, Djoko. 2004. Bunga Rampai Penyakit Infeksi. FKUI. Jakarta.
8. Hendarwanto. Dengue. In: Noer HMS, Waspadji S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam edisi ke – 4. Jakarta: balai penerbit FKUI ; 2006. P.417-26.
9. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan. Jakarta: departemen kesehatan RI; 2008.
10. Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue
di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3.
Jakarta. 2008.
11. World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat
di: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm.
12. Behrman RE, dkk : Typhoid Fever. Nelson textbook of pediatrics, 14th edition:
WB Saunders Co, 1992: 731-734

Anda mungkin juga menyukai