BAB I
PENDAHULUAN
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Demam
terjadi pada temperature >37,2°C. Demam biasanya disebabkan oleh infeksi
(bakteri, virus, jamur atau parasit), penyakit autoimun, keganasan, ataupun obat-
obatan.
Demam merupakan gejala yang paling umum dikeluhkan oleh setiap
penderita dalam praktek sehari-hari, dan dianggap sebagai penanda adanya suatu
gangguan dalam tubuh. Pada umumnya demam terjadi dalam waktu singkat yang
terkadang menimbulkan rasa tidak enak atau tidak nyaman bagi penderita. 1,2
Sejak masa Hipocrates, demam sudah diketahui sebagai pertanda adanya
suatu penyakit. Galileo pada abad pertengahan menciptakan alat pengukur suhu dan
Santorio di Padua melaksanakan aplikasi pertama penemuan alat ini di lingkungan
klinik. Wunderlich menerbitkan sebuah analisis yang didasarkan pada pengamatan
terhadap 20.000 subyek, yang meyakinkan dokter terhadap nilai grafik suhu dari
waktu ke waktu. Traube memperlihatkan sebuah kurva suhu secara menyeluruh
yang dibuat di sebuah klinik di Leipzig. Penggunaan kurva suhu semakin meluas
setelah dipublikasikannya pendapat Wunderlich pada tahun 1868, dimana beliau
mengatakan bahwa dengan semakin banyak pengalamannya dalam memakai alat
pengukur suhu ini, semakin bertambah keyakinannya mengenai manfaat
pengukuran tersebut, khususnya untuk mendapatkan informasi yang cukup akurat
dan prediktif mengenai kondisi seorang pasien.1,3
Demam dapat memberikan informasi penting tentang adanya gejala
penyakit, terutama infeksi, dan tentang perubahan status klinis pasien yang
memiliki gejala klinis yang mirip, khususnya pada demam berdarah dengue dan
demam tifoid.
2
BAB II
DEMAM
Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila diukur pada rektal
>38°C (100,4°F), diukur pada oral >37,8°C, dan bila diukur melalui aksila >37,2°C
(99°F). Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi
berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan ransangan
pirogenik lain. Bila produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas yang
dapat ditoleransi maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan,
tetapi bila telah melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan
tubuh.3
Demam merupakan gejala bukan suatu penyakit. Demam adalah respon normal
tubuh terhadap adanya infeksi. Infeksi adalah keadaan masuknya
mikroorganisme kedalam tubuh. Mikroorganisme tersebut dapat berupa virus, bakteri,
parasit, maupun jamur. Kebanyakan demam disebabkan oleh infeksi virus. Demam
bisa juga disebabkan oleh paparan panas yang berlebihan (overhating), dehidrasi
atau kekurangan cairan, alergi maupun dikarenakan gangguan sistem imun.
Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis pirogen
yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh dan
berkemampuan untuk merangsang IL-1, sedangkan pirogen endogen berasal dari
dalam tubuh dan mempunyai kemampuan untuk merangsang demam dengan
mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Interleukin-1, tumor necrosis
factor ( TNF) dan interferon (INF) adalah pirogen endogen.4
Pirogen Eksogen
Pirogen Mikrobial
1. Bakteri Gram- negative
Pirogenitas bakteri Gram-negative (misalnya Escherichia coli, Salmonela)
disebabkan adanya heat-stable factor yaitu endotoksin, suatu pirogen eksogen yang
pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri
yaitu lipopolisakarida. Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif
tergantung dari dosis (dose-related). Endotoksin Gram- negative tidak selalu
merangsang terjadinya demam; pada bayi dan anak infeksi Gram-negatif akan
mengalami hipotermia.4
2. Bakteri Gram-positif
Pirogen utama bakteri Gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah
peptidoglikan dinding sel. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada
peptidoglikan. Hal ini menerangkan perbedaan prognosis lebih buruk
berhubungan dengan infeksi bakteri Gram- negative. Mekanisme yang
bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi Pneumokokus
diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh
basil Gram-positif pada umumnya demam yang ditimbulkan tidak begitu tinggi
dibandingkan dengan Gram-positif piogenik atau bakteri Gram-negatif lainnya.4
3. Virus
Telah diketahui secara klinis bahwa virus menyebabkan demam. Pada tahun
1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalan serum kelinci yang
mengalami demam setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus
memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invasi langsung ke
dalam makrofag, reaksi imunologik terhadap komponen virus termasuk
diantaranya pembentukan antibody, induksi oleh interferon dan nekrosis sel akibat
virus.4
4
4. Jamur
Jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen eksogen yang akan
merangsang terjadinya demam. Demam umumnya timbul ketika mikroba berada
dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya
leukemia) disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia mempunyai
resiko tinggi untuk terserang infeksi jamur invasive.4
Pirogen Non-Mikrobial
Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab
untuk terjadinya demam dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun
(immune haemolytic anaemia).5
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui
sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal MIP-1 (machrophage
inflammatory protein-1) ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik. 6
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas,
sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi
pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan
demikian, pembentukan demam sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah
sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi. 3
Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi
derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam,
dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:1,2,6,7
Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan
suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24
jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.
6
Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai
normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe
demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik
untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi,
khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.
Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi
hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis
demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.
Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten
menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat
besar.
7
o Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren
yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan
ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).
Ga
mbar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)
Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang
secara tiba-tiba berlangsung selama 3 – 6 hari, diikuti oleh periode bebas
demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat
mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne.
Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan
perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai
Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 – 8 jam),
yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan
oleh pelepasan endotoksin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik.
JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi
9
ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan
brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai
reaksi anafilaktik full-blown.
o Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus
dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 – 10 minggu
sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.
o Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein
pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH).
Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini,
tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari
demam yang berlangsung 3 – 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam
durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan
dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.
BAB III
DEMAM BERDARAH DENGUE
3.1 Definisi
3.3 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan
berat molekul 4x106.8
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotipe dapat ditemukan di Indonesia dari pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit, namun serotipe DEN-3
merupakan yang terbanyak dan diasumsikan bahwa serotipe ini yang menunjukkan
manifestasi klinis yang berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan
Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus.8
3.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan
sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis
DBD adalah: 10
1. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut
antibody dependent enhancement (ADE).
2. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
3. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
4. Aktivasi komplemen oleh komples imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.
12
3. Stopwatch
Langkah Kerja:
1. Pasang manset sphymomanometer pada lengan dan ukur tekanan darah
pasien.
2. Setelah tekanan darah pasien diketahui, pompa kembali
sphymomanometer dan pertahankan posisi air raksa pada angka yang
merupakan hasil perhitungan: (Tekanan sistolik + tekanan diastolik):2.
Namun angka maksimal yang diperbolehkan adalah 100 mmHg.
3. Biarkan posisi tersebut selama minimal 15 menit
4. Buatlah lingkaran dengan diameter 5 cm yang terletak pada lengan
bawah pasien kurang lebih 1 inci (2,4 cm) dari lipat siku.
5. Setelah 15 menit, buka katup pada balon dan biarkan air raksa turun ke
angka nol. Lalu lepaskan manset.
6. Amati lengan bawah pasien pada daerah lingkaran untuk melihat ptechiae
7. Lakukan interpretasi terhadap hasil tes Rumple Leede di regio volar (di
dalam lingkaran tersebut).
Interpretasi Hasil:
Hasil pemeriksaan dikatakan positif atau negatif dengan kriteria sebagai
berikut:
Negatif = < 20 ptechiae
Positif = > 20 ptechiae
15
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD
adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
Sindrom syok dengue (SSD) jika seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai
kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah
turun (≤ 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan
lembab serta gelisah. 11
Berikut ini adalah tabel derajat penyakit infeksi virus dengue 12
16
biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8
Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam
Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah
Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase) dapat meningkat
Ureum kreatinin terganggu bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60 – 90 hari. IgG pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari
ke 14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke 2
Antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di
permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. NS1 dapat terdeteksi dalam
kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi
primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).
2. Pemeriksaan Radiologis 2
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai
pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto Rontgen dada sebaiknya dalam
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan).
Asites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG.
18
Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling
sering dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.
3.8 Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat
tanda syok merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di
pihak lain perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para
dokter untuk mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok) dengan baik. 10
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang
paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap
dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
19
BAB IV
DEMAM TIFOID
4.1 Definisi
20
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-
negara berkembang.
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah
penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala
demam selama 7 hari atau tebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan
kesadaran. Atau ada juga penulis lain yang membuat kriteria demam tifoid
sebagai penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteriemia,
perubahan pada system retikuioendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi pada Nodus Peyeri di distal Ileum.
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama dilingkungan kering dan
beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 °C. Organisme
ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah
kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat
bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa
merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber
penularan alami Salmonella tiphy melalui kontak langsung maupun tidak
langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.
4.2 Epidemiologi
Insiden cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di
negara maju dan yang sedang berkembang. Demam tifoid merupakan penyakit
endemis di Indonesia. 96% kasus demem tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi,
sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. 90% kasus demam tifoid terjadi
pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.
Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid
bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian
demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai
negara berkembang, diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan
500.000 kematian di seluruh dunia. Di negara maju perkiraan angka kejadian
demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 - 0,7 kasus per 100.000
penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus
21
4.3 Etiologi
Samonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus
Salmonella. Kuman S. Typhi berbentuk batang, Gram negatifi, tidak berspora,
motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37°C (15°C-
41°G), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung
empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4 °C selama satu jam dan 60°C
selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella
mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak
terhadap laktosa atau sukrosa.13
S. typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:
- Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)
- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi antigen terhadap fagositosis. Dalam serum penderita terdapat zat anti
(aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple. 3,6,9
4.4 Patogenesis
Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada
manusia. Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1)
proses invasi kuman S. Typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan
hidup dalam makrofag dan (3) proses bekembang biaknya kuman dalam makrofag.
22
Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan
membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non
spesifik disaluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2)
mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebafan tubuh humoral dan selular.
spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob
di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam
lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil
mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat
pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam
kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh
monosit dan makrofag. Namun demikian S. Typhi saluran pencernaan, baik secara
kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebafan
tubuh humoral dan selular.
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melaiui muiut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman
sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat
melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi
asam lambung. 8,9
dewasa. Rose sopts (bercak makulopapular) ukuran 16 mm, dapat timbul pada kulit
dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3
hari). Jika tidak ada kompiikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi
berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan
alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat
Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak
dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada
waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan
jaringan-jaringan fibroblas.
Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri
perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada
selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih
mencolok, mual muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika
terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3. Batuk dan epistaksis mungkin ada. Kelesuan
berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat
menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40 °C. 4
Tanda-tanda fisik adalah bradikardi reiatif, yang tidak seimbang dengan
tingginya demam. hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri
difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit.
Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu: 6
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada
sore hari dan malam hari. Dalam minggu I, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu III.
Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah-pecah
(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung
(meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan
tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, coma atau gelisah. Disamping gejala-gejala
diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejaia lain:
- Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest
dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan
diameter 2-4 mm yang akan hiiang dengan penekanan dan sukar didapat
pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri
dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama dernam.
- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang
biasanya ditemukan pada awal minggu ke 11 dan nadi mempunyai
karakteristik notch (dicrotic notch).
(2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S. Typhi dan
menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan
(3) pemeriksaan meiacak DNA kuman S. Typhi.
4.7 Komplikasi
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus haius): Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
(a) Perdarahan usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena dan kalau sangat berat
dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda syok: berupa
penurunan suhu tubuh dan tekanan darah yang drastis, sudden tachycardia.
(c) Peritonitis
Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri pefut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense muscuiair) dan nyeri tekan.
(d) Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia)
4
yaitu hepar, gallbladder, dan pankreas.
4.8 Tatalaksana
28
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi
dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi
menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif
dalam mengeradikasi karier kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali
sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur
tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan , atau 100
mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya
diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya
memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan
kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.
dengan vaksin terhadap demam tifoid. Beberapa jenis vaksin telah beredar
di Indonesia saat ini.
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan
tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi
serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di
rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping
observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.
BAB V
TABEL KOMPARATIF
31
antibodi IgM.
2. Dengue dengan tanda-tanda bahaya
Tinggal atau bepergian ke area
endemis dengue dengan demam
antara 2-7 hari, ditambah salah satu
gejala: nyeri/nyeri tekan abdomen,
muntah persisten, tanda klinis
akumulasi cairan, perdarahan
mukosa, letargi, lemah, pembesaran
hati, laboratorium: peningkatan
hematokrit dan/atau penurunan
trombosit.
3. Dengue berat
Tinggal atau bepergian ke area
endemis dengue dengan demam
antara 2-7 hari dengan manifestasi
klinis dengue di atas dengan atau
tanpa tanda bahaya, ditambah
dengan:
o Kebocoran plasma berat yang
mengakibatkan: syok, akumulasi
cairan dengan gangguan
pernapasan.
o Perdarahan berat: epistaksis tidak
terkendali, hematemesis dan/atau
melena, perdarahan otak,
hematuria grosmakroskopik,
hematoskezia.
o Gangguan organ berat: hati
(SGOT/SGPT ≥ 1000), sistem
saraf pusat (kejang/gangguan
kesadaran), jantung, ginjal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah perifer:
Leukopenia pada hari ke-2 dan 3 leukopenia/normal/leukositosis,
pada DD. Pada DBD dijumpai anemia ringan, trombositopenia,
trombositopenia dan peningkatan LED, peningkatan
hemokonsentrasi yang terlihat SGOT/SGPT
bermakna pada fase kritis. Uji widal: deteksi titer antibodi
Uji serologi: dengan blot yang terhadap S.typhi, S.paratyphi yakni
mengukur antibodi tanpa aglutinin O (dari tubuh bakteri) dan
memandang kelas antibodinya dan aglutinin H (flagel). Pembentukan
uji IgM anti dengue. aglutinin mulai terjadi pada akhir
Antigen nonstructural protein 1 minggu pertama demam, puncaknya
(NS1). pada minggu keempat, dan tetap tinggi
dalam beberapa minggu dengan
peningkatan aglutinin O terlebih
dahulu diikuti oleh aglutinin H.
33
BAB VI
35
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
36
1. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll
J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin:
Springer-Verlag; 2009.
2. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce
TG, penyunting. Moffet’s Pediatric infectious diseases: A problem-oriented
approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005.
3. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC;
1996.
4. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :
Infeksi & Penyakit Tropis. Ed.I. IDAI. Jakarta.
5. Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.20. EGC.
Jakarta.
6. Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. FKUI. Jakarta.
7. Widodo, Djoko. 2004. Bunga Rampai Penyakit Infeksi. FKUI. Jakarta.
8. Hendarwanto. Dengue. In: Noer HMS, Waspadji S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam edisi ke – 4. Jakarta: balai penerbit FKUI ; 2006. P.417-26.
9. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan. Jakarta: departemen kesehatan RI; 2008.
10. Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue
di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3.
Jakarta. 2008.
11. World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat
di: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm.
12. Behrman RE, dkk : Typhoid Fever. Nelson textbook of pediatrics, 14th edition:
WB Saunders Co, 1992: 731-734