Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering


ditemukan pada pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat
Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) yang bergejala pada pria berusia 40–49 tahun mencapai hampir
15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59
tahun prevalensinya mencapai hampir 5% dan pada usia 60 tahun mencapai angka
sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia sebagai gambaran hospital
prevalensi di dua Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras
selama 3 tahun (1994–1999) terdapat 1040 kasus.
Di Amerika Serikat 5-10 % penduduknya menderita penyakit
vesikolitiasis, sedangkan di seluruhdunia rata-rata terdapat 1-12 % penduduk yang
menderita batu saluran kemih. Penyakit inimerupakan tiga penyakit terbanyak di
bidang urologi di samping infeksi saluran kemih danpembesaran prostat benigna.
Batu buli-buli atau vesikolitiasis sering tejadi pada pasien yang menderita
gangguan miksiatau terdapat benda asing di buli-buli.Gangguan miksi terjadi pada
pasien-pasien hyperplasiaprostat, striktura uretra, divertikel buli-buli, atau buli-
buli neurogenik. Kateter yang terpasangpada buli-buli dalam waktu yang lama,
adanya benda asing lain yang secara tidak sengajadimasukkan ke dalam buli-buli
seringkali menjadi inti untuk terbentuknya batu buli-buli.Selain itu batu buli-buli
dapat berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang turun ke buli-buli.
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang
menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari
pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher
buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladderoutlet obstruction (BOO).
Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut
sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat
menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan
komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Adanya BPH ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih
dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai
dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai
tindakan yang paling berat yaitu pembedahan.
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan
pemeriksaan yang pentingpada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada
regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur,
ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi.
Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar
33%.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Hiperplasia Prostat Benigna
2.1 Anatomi Prostat
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang
terletak di sebela inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior.
Prostat berbentuk seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar
fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami
pembesaran organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar
aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm
dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram.

Gambar 1. Alat Reproduksi Pria

Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus : 3


a. Lobus medius
b. Lobus lateralis (2 lobus)
c. Lobus anterior
d. Lobus posterior

Pada kelenjar prostat juga dibagi dalam 5 zona : 3


a. Zona Anterior atau Ventral .

3
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
b. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal
karsinoma terbanyak.
c. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus
tengah meliputi 25% massa glandular prostat.Zona ini resisten
terhadap inflamasi.
d. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjarperiuretra disebut juga sebagai
kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu
kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma
fibromuskular anterior menjadi benignprostatic hyperpiasia (BPH).
e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar
abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.

Gambar 2. Zona Kelenjar Prostat

4
2.2 Fisiologi Prostat

Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-


sama sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari
cairan semen. Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak
asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai
fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret
prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. kelenjar
prostat juga menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan
perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80%
pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen
Bodies dan dapat dihentikandengan pemberian Stilbestrol. 3

2.3 Definisi

Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana


kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan pembesaran
kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang
biasanya pada usia pertengahan atau lanjut. 4

Gambar 3. Benign Prostat Hyperplasia

5
2.4 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua) . Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak
adalah : (1) Teori Dihidrotestosteron, (2) Adanya ketidakseimbangan antara
estrogen-testosteron, (3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4)
Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) Teori Stem sel.5
a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk
dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan
bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada
inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal. 5

b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara
estrogen : testosterone relatif meningkat. Telah diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat

6
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun
rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone
menurun, tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar. 5

c. Interaksi stroma epitel


Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan
sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun stroma. 5

d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)


Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen
berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat.1

e. Teori stem cell


Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa
pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan
epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di
dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel
aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel
aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara

7
mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan
berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.

2.5 Patofisiologi
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron, yang
di dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi metabolit
aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel- sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang
memacu pertumbuhan kelenjar prostat. 5
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli- buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-
buli. Perubahan struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatimus. 5
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter
ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi
refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal. 5

2.6 Manifestas Klinik

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)5

Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :

8
Obstruksi Iritasi

 Hesistansi  Frekuensi

 Pancaran miksi lemah  Nokturi

 Intermitensi  Urgensi

 Miksi tidak puas  Disuria

 Distensi abdomen Urgensi dan disuria jarang terjadi,


jika ada disebabkan oleh
 Terminal dribbling (menetes) ketidakstabilan detrusor sehingga
terjadi kontraksi involunter.
 Volume urine menurun

 Mengejan saat berkemih


Tabel 1.Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia


prostat masih tergantung tiga faktor, yaitu:

 Volume kelenjar periuretral

 Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

 Kekuatan kontraksi otot detrusor

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli


untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami
kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.

Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara


lain :

1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan


yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)

2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/


infeksi prostat)

3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot


detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α)

9
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan
penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan
pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat
beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring
System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological
Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta
untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan
skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19
sedang, dan 20-35 berat.

b. Gejala pada saluran kemih bagian atas5

Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi


antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam
(infeksi/ urosepsis).

10
c. Gejala di luar saluran kemih

Keluhanpadapenyakithernia/ hemoroidseringmengikutipenyakit
hipertropiprostat.Timbulnyakeduapenyakitinikarenaseringmengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra
abdominal.
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
(Brunner & Suddarth, 2001). Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi
4 gradiasi, yaitu:

 Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE


(colok dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine
kurang dari 50 ml.

 Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1,


prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa
urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.

 Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba


lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml.

 Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

2.7 Pemeriksaan Fisik

Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra
simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu
menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.

1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )

Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat


memberikangambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya
kelainan lain sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba
prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :

11
 Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal

 Adakah asimetri

 Adakah nodul pada prostat

 Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih
dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.

Gambar 4.Pemeriksaan Colok Dubur

Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal,
permukaan licin dan konsistensi kenyal.12Pemeriksaan fisik apabila
sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang
ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan
massa supra pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Daerah inguinal
harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia
eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa
navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis,
condiloma di daerah meatus1.

12
2) Derajat berat obstruksi

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah


sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur
urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi. Sisa urin lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk
indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.Derajat berat
obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu
miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-
rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik.
Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik,
sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium 5,7,9:


a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit,
leukosit, bakteri, protein atau glukosa.
b. Kultur urin

13
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan
c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran
kemih bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk
insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid
residu (PVR) yang tinggi.
d. Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang
dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik)
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat
2. Pemeriksaan Patologi Anatomi 9
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan
stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot
hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia

Gambar 5. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat


Hiperplasia

3. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:


a. Foto polos5

14
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi
urine
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)5,7,10
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di
prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar
prostat pada layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah
yang abnormal tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar
USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai.
Jarum mengumpulkan beberapa potong jaringan prostat untuk
pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy terutama dilakukan untuk
pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk
pengukur volume prostat, caranya antara lain :
 Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata
area horizontal diukur dari dasar sampai puncak.
 Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi
(H/height) ,lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan
rumus : ½ (H x W x L)
c. Sistoskopi 7,11
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah
solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang.
Tabung, disebut sebuah “cystoscope” , berisi lensa dan sistem cahaya
yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung
kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran
kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.

15
Gambar 6. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat Hiperplasia
d. Ultrasonografi trans abdominal 10,11
 Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan
pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic
dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung
menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan
hyperplasia dengan zona perifer adalah “surgical capsule”.
 USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH
yang lama.

Gambar 7. Gambaran Sonografi Prostat Normal

Gambar 8. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia

16
e. Sistografi buli11

Gambar 9.Gambaran Elevasi Dasar Buli yang Mengindikasikan


Benigna Prostat Hiperplasia

4. Pemeriksaan lain5,12 :
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur:
 Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan
kateterisasi/USG setelah miksi
 Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang
sering pada BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya
kurang dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu urin.Post-void
residualmengukur jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung
kemih setelah buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum
menunjukkan pengosongan kandung kemih yang memadai dan
pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan
sumbatan. Pasien diminta untuk buang air kecil segera sebelum tes
dan sisa urin ditentukan oleh USG atau kateterisasi.

17
Gambar 10. Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH
Keterangan :

Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran urin
lebih dari 15mL/s, urin residu 9 mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia
prostat, terlihat waktu berkemih memanjang dengan aliran urin kurang
dari 10mL/s, pasien ini urin residunya 100 mL.

2.9 Komplikasi
 Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin,
distensi kandung kemih, nyeri suprapubik
 Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli
teraba, tidak nyeri
 Infeksi traktus urinaria
 Batu buli
 Hematuri
 Inkontinensia-urgensi
 Hidroureter
 Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal

2.10 Penatalaksanaan

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan


medik.Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh
sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja.

18
Namun adapula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan
medik yang lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi,
(2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi
volume residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit.
Hal ini dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan
endourologi yang kurang invasif.

Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimal


Watchful Penghambat Prostatektomi terbuka  TUMT
waiting adrenergik α  TUBD
Penghambat Endourologi  Stent uretra
reduktese α  TUNA
Fisioterapi 1. TURP
Hormonal 2. TUIP
3. TULP
Elektovaporasi
Tabel 3. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna

19
Riwayat

Pemeriksaan fisik & DRE

Urinalisa

Indeks gejala Retensi urinaria+gejala yang


AUA berhubungan dg BPH

Gejala ringan Gejala sedang Hematuria persistent

(AUA≤7)/ Batu buli


Tes diagnostic

Uroflow Operasi

Pilihan terapi

Terapi non-invasif Terapi invasif

Tes diagnostic

Watchful waiting Terapi medis Pressure flow

Uretrosistoskopi

Terapi minimal invasif Operasi

Bagan 2. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia14

Penatalaksanaan Nilai indeks gejala Efek samping


BPH
Wactfull waiting Gejala hilang/timbul Risiko kecil , dapat terjadi
retensi urinaria
Penatalaksanaan medis
Alpha-blockers Sedang 6-8 Gaster/usus halus-11%
Hidung berair-11%
Sakit kepala-12%
Menggigil-15%

20
5 alpha-reductase Ringan 3-4 Masalah ereksi-8%
inhibitors Kehilangan hasrat sex-5%
Berkurangnya semen-4%
Terapi kombinasi Sedang 6-7 kombinasi
Terapi invasi minimal
Transuretral microwave Sedang-berat 9-11 Urgensi/frekuensi-28-74%
heat Infeksi-9%
Prosedur kedua dibutuhkan-
10-16%
TUNA Sedang 9 Urgensi/frekuensi-31%
Infeksi-17%
Prosedur kedua dibutuhkan-
23%
Operasi
TURP, laser & operasi Berat 14-20 Retensi urinaria-1-21%
sejenis Urgensi&frekuensi-6-99%
Gangguan ereksi-3-13%
Operasi terbuka Berat Inkontinensia 6%

Tabel 4. Penatalaksaan Berdasarkan Nilai Indeks Gejala Benigna Prostat


Hiperplasia15

a. Watchful waiting 5
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai
sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1)
jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat),
(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedasadan asin, dan (5) jangan
menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau
uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.

21
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi
resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa
blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan
cara menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT)
melalui penghambat 5α-reduktase.
1) Penghambat reseptor adrenergik α. 5,
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang
membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh
pembesaran prostat di BPH.
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin
(Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua
seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini
akan meningkatkan pancaran urin dan mengakibatkan perbaikan
gejala dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran
prostat.

Gambar 14. Lokasi Reseptor 1-Adrenergik (1-ARs)

2) Penghambat 5 α reduktase 5
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh
enzim 5 α reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT

22
menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun.
Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT,
sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran
prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.
c. Terapi Invasif Minimal
Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pembedahan
1) Microwave transurethral.
Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan
gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan
prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave
thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim
gelombang mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian prostat
dipilih untuk setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem
pendingin melindungi saluran kemih selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat
dilakukan secara rawat jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum
dilaporkan menyebabkan disfungsi ereksi atau
inkontinensia.Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan
BPH, tapi mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan
intermitensi.

Gambar 11. Microwave Transurethral

23
2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui
transurethral jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem untuk
pengobatan BPH. Sistem TUNA memberikan energy radiofrekuensi
tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region prostat yang
membesar. Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat panas.
Sistem TUNA meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala
dengan efek samping yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan
reseksi transurethral dari prostat (TURP).

Gambar 12. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal

3) Thermotherapy dengan air. Terapi ini menggunakan air panas


untuk menghancurkan jaringan kelebihan dalam prostat. Sebuah
kateter mengandung beberapa lubang diposisikan dalam uretra
sehingga balon pengobatan terletak di tengah prostat. Sebuah
komputer mengontrol suhu air, yang mengalir ke balon dan
memanaskan jaringan prostat sekitarnya. Sistem ini memfokuskan
panas di wilayah yang tepat prostat.Sekitar jaringan dalam uretra dan
kandung kemih dilindungi. Jaringan yang hancur keluar melalui urin

24
Gambar 13. Thermotherapy dengan Air

d. Bedah
1) Operasi transurethral.5,11,13,16,17
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan.Setelah
memberikan anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan
memasukkan instrumen melalui uretra.
Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP)
digunakan untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan
untuk BPH. Dengan TURP, alat yang disebut resectoscope
dimasukkan melalui penis. The resectoscope, yaitu panjang sekitar
12 inci dan diameter 1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk
mengendalikan cairan irigasi, dan loop listrik yang memotong
jaringan dan segel pembuluh darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades .kerugian dari aquades
adalah sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui
sirkulasi sistemik dan menyebabkan hipotermia relative atau gejala
intoksikasi air yang dikenal dengan sindrom TURP. Ditandai dengan
pasien yang mulai gelisah, somnolen dan tekanan darah meningkat
dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien
akanmengalami edema otak dan jatuh ke dalam koma. Untuk
mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP operator harus
membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam dan
baru memasang sistostomi terlebih dauhlu sebelum reseksi
diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik.
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat
resectoscope untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian

25
pada suatu waktu. Potongan-potongan jaringan dibawa oleh cairan
ke kandung kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir
operasi.Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk
operasi terbuka dan memerlukan waktu pemulihan lebih pendek.
Salah satu efek samping yang mungkin TURP adalah ejakulasi
retrograde, atau ke belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir
mundur ke dalam kandung kemih selama klimaks bukannya keluar
uretra.
Selama operasi Pasca bedah dini Pasca bedah lanjut
Perdarahan Perdarahan Inkontinensi
Sindrom TURP Infeksi lokal/sistemik Dinsfungsi ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograde
Striktur uretra

Berbagai Penyulit TURP, Selama maupun Setelah Pembedahan

(a)

(b)

(c)
Gambar 14. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca
TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP),
prosedur ini melebar urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di

26
leher kandung kemih, di mana terdapat kelenjar prostat. Prosedur ini
digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak tartalu besar, tanpa ada
pembesaran lobus medius dan pada pasen yang umurnya masih muda.

2) Open surgery.5,12
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak
dapat digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal,
dapat digunakan.Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar
sangat membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika
kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi
terbuka dilakukan melalui pendekatan suprarubik transvesikal
(Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat
terjadi adalah inkontinensia uirn (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi
retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (305%).
Perbaikan gejala klinis 85-100%.
3) Operasi laser 5, 7,11
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami
koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi.
Teknik laser menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya terapi
ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya

27
adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi
(kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering banyak menimbulkan
disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak
langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate
lebih rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke
dalam prostat menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan
beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60
detik.Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan
penyusutan.

Gambar 16. Operasi Laser pada Prostat


a) Interstitial laser coagulation.Tidak seperti prosedur laser lain,
koagulasi laser interstisial tempat ujung probe serat optik
langsung ke jaringan prostat untuk menghancurkannya.

Gambar 17. Interstitial laser coagulation


b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP).
PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan
prostat. Cara sama dengan TURP, hanya saja teknik ini
memakai roller ball yang spesifik dengan mesin diatermi yang
cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar
prostat. Teknik ini cukup aman tidak menimbulkan perdarahan
pada saat operasi.Namun teknik ini hanya diperuntukan pada
prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan
waktu operasi yang lebih lama.

28
Gambar 18. Potoselectif vaporisasi prostat
e. Kontrol berkala 5

 Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk
mengetahui apakah terdapat perbaikan klinis
 Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
 Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan
melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca
miksi
 Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan
penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin
 Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan penyulit.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identifikasi
Identitas Pasien
Nama : Tn. J
Tanggal Lahir/ Usia : 12 Juni 1970 (50 tahun)
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Rajabasa

29
Agama : Islam
No. RM : 159764
MRS : 29 Mei 2021

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


A. Keluhan Utama
Sulit BAK sejak kurang lebih 1 bulan SMRS.

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke poli bedah dengan keluhan sulit BAK sejak kurang
lebih 1 bulan SMRS. Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien sulit
untuk memulai BAK, terkadang harus disertai dengan mengedan, pancaran
BAK lemah dan tersendat-sendat. Pasien juga merasa nyeri saat setelah BAK.
Frekuensi BAK pasien setiap 1 jam dalam sehari. Pasien terkadang masih
bisa menahan BAK. Pasien sering terbangun ke kamar mandi pada malam
hari untuk BAK kurang lebih 5x tiap malam namun saat BAK hanya menetes
dan merasan kurang puas. BAK berpasir ada, tidak berdarah, demam tidak
ada, nyeri pinggang tidak ada, BAB seperti biasa.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Diabetes Melitus (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat penyakit tiroid (-)
 Riwayat penyakit asma (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat diabetes (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat penyakit tiroid (-)
 Riwayat penyakit asma (-)

E. Riwayat Kebiasaan
 Riwayat merokok : ada

30
 Riwayat minum kopi : ada
 Riwayat minum alkohol : disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi Keluarga


Riwayat sosial ekonomi termasuk dalam ekonomi rendah.Pasien tinggal di
kawasan tidak padat penduduk.

3.3 Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 20x/menit, reguler, thoracal, kussmaul negatif
Suhu : 36,7oC
:
Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Edema palpebra -/-, conjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen -/-
Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-
Mulut : Mukosa bibir basah, faring tidak hiperemis, atrofi papil
lidah, Tonsil T1-T1
Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak
ada deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran KGB
Thorak : Retraksi suprasternal (-)
- Pulmo
• Inspeksi : Normochest, dinding dada simetris
• Palpasi : ekspansi dada simetris
• Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
• Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Cor
• Inspeksi : Tidak tampak ictus cordis
• Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
• Perkusi : Batas Kiri atas ICS II linea parasternal sinistra

31
Batas Kanan atas ICS II linea parasternal dextra
Batas kiri bawah ICS V antara linea midclavicula
dan axilaris anterior
Batas kanan bawah ICS V linea stemalis dextra
• Auskultasi : BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -/-
Abdomen : Inspeksi : Perut agak cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi :Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepar
teraba 2 jari dibawah arcus costae & lien
tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai (-), capilary refill <2detik

B. Pemeriksaan Rektal Toucher


Inspeksi : Kemerahan tidak ada, benjolan tidak ada, darah tidak ada,
pus tidak ada.
Rektal Toucher : Sphingter ani menjepit, mukosa rektum licin, ampulla
recti intak, prostat teraba membesar berukuran sebesar
telur puyuh, batas atas teraba, konsistensi kenyal, batas
tegas, permukaan licin, pool atas tidak teraba, nodul tidak
ada, nyeri tekan tidak ada, sulcus medianus teraba.
Handscoone : Feses, lendir dan darah tidak ada.

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium darah (diperiksa tanggal 29/05/2021)
Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hematologi
Hemoglobin 15,2/dl 14 - 16 g/dl Normal
Leukosit 9.200/ul 5000 – 10.000/ul Normal
Trombosit 191/103ul 150 - 400 /103ul Normal
Kimia Darah

Glukosa darah 101 <200 mg/dl Normal


sewaktu

32
Ureum 34 10-50/dl Normal

Kreatinin 1,1 0,6-1,1 mg/dl Normal

Natrium 143 nmol/l Normal

Kalium 2,6 Nmol/l Hipokalemi

Swab antigen negatif negatif Normal

2. Laboratorium darah (diperiksa tanggal 31/05/2021)


Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hematologi
Hemoglobin 13,1/dl 14 - 16 g/dl Normal
Leukosit 8.500/ul 5000 – 10.000/ul Normal
Trombosit 163/103ul 150 - 400 /103ul Normal
Kimia Darah

Natrium 148 nmol/l Normal

Kalium 2,9 Nmol/l hipokalemi

3. Laboratorium darah (diperiksa tanggal 2/06/2021)


Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
Kimia Darah

Natrium 147 nmol/l Normal

Kalium 3,0 Nmol/l hipokalemi

4. Pemeriksaan USG
Ginjal kanan : dalam batas normal
Ginjal kiri : dalam batas normal
Prostat : volume prostat 78
Kesimpulan : Kesan BPH

3.5 Diagnosis Kerja


Benign Prostat Hiperplasia + Hipokalemi

3.6 Prognosis

33
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

3.7 Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
29 Mei S/ Sulit BAK (+), nyeri saat setelah BAK  Pro TURP tanggal 31
2021 (+), lemas (+) Mei 2021
O/ KU : tampak sakit sedang  Konsul dr. Rina,
Sens: compos mentis Sp.PD, advice :
TD : 110/80 mmHg  Toleransi operasi
HR : 86 x/menit ringan-sedang jika
RR : 20 x/menit kalium > 3 drip
o
Suhu : 36,7 C KCl 1fls dalam
A/ BPH + hipokalemi R20 tpm
 KSR 2x2 tab
31 Mei S/ Sulit BAK (+), nyeri saat setelah BAK  Konsul ulang dr. Rina,
2021 (+), lemas (+) Sp.PD, advice :
O/ KU : tampak sakit sedang Drip KCl lanjutkan,
Sens: compos mentis toleransi risiko operasi
TD : 120/80 mmHg ringan-sedang
HR : 82 x/menit  Konsul dr.Joan, Sp.An
RR : 19 x/menit advice :
o
Suhu : 36,8 C Acc operasi, koreksi
A/ BPH + hipokalemi kalium post op
1 Juni S/ nyeri pada luka operasi (+)  IVFD RL gtt 20x/mnt
2021 O/ KU : tampak sakit sedang  Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
Sens: compos mentis  Inj. OMZ 3x1 vial
TD : 110/70 mmHg  Inj. Ketorolac 2x1 amp
HR : 88 x/menit
 Asam tranexamat 2x1
RR : 20 x/menit
 Aspar K 3x1
Suhu : 36,9 C
 Kateter (+)
A/ post op turp H1 + hipokalemi

34
2 Juni S/ Nyeri pada luka operasi (+)  IVFD RL gtt 20x/mnt
2021 O/ KU : tampak sakit sedang  Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
Sens: compos mentis  Inj. OMZ 3x1 vial
TD : 120/80 mmHg  Inj. Ketorolac 2x1 amp
HR : 90 x/menit
 Asam tranexamat 2x1
RR : 20 x/menit
 Aspar K 3x1
Suhu : 36,5 C
 Kateter (+)
A/ post op turp H2
3 Juni S/ Nyeri pada luka operasi berkurang  Pasien BLPL, kontrol
2021 O/ KU : tampak sakit ringan kembali ke poli
Sens: compos mentis minggu depan
TD : 120/70 mmHg  Kateter (+)
HR : 86 x/menit  Obat pulang :
RR : 19 x/menit  Ciprofloxacin 2x1
Suhu : 36,7 C  Na diclofenac 2x1
A/ post op turp H3
 Harnal 1x1

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery 8 th


Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005
2. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam:
Kapita selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344.
3. Mulyono, A. 1995. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam :
Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 40-48.5.
4. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung
Seto.
5. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah.
Binarupa aksara, Jakarta ; 161-703.
6. Ramon P, Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah, Fakultas KedokteranUniversitas
Padjajaran ; 2002: 203-75.
7. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan.
EGC. 1994.
8. Sjafei, M. 1995. Diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Dalam :
Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ; 6-17
9. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar
Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997; 1058-64.
10. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak.
Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 1-52.
11. Staf pengajar ilmu bedah UI. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta : Bina
Rupa Aksara.2010.

36
12. Fabio C, Et.al. Surgical Management og Bladder Stones: Literatur Review.
Rev.Col.Bras.Cir. 2012;40(3):227-133.

37

Anda mungkin juga menyukai