Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI PUISI

Disusun guna memenuhi tugas Apresiasi Puisi


Dosen Pengampu :
Siti Fathonah, S.Pd., M.Pd
Lokal : A2

Disusun Oleh :

Kelompok 6

1. Adi Gunawan (2040602086)


2. Cindy Fatika Putri (2040602020)
3. Isnaini Ariska (2040602055)
4. Mitha Crhistina (2040602084)
5. Nopita (2040602047)
6. Pipit Susanti (2040602016)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan
dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Apresiasi Puisi. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tarakan, September 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 2009: 210) ketidaklangsungan pernyataan
puisi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu: penggantian arti (displacing of meaning),
penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Pada umunya kata-kata kiasan mengganti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan
metomini Riffaterre (dalam Pradopo, 2009: 212). Dalam penggantian arti ini suatu kata
(kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya).
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 209: 213) penyimpangan terjadi bila dalam
sajak ada abiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
Dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda,
menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah
satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikan. Ironi ini biasanya
untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara
membuat pembaca berpikir. Sering juga membuat orang tersenyum atau membuat orang
berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Nonsense merupakan bentuk kata-
kata yang secara linguistic tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata.

B. Rumusan Masalah
1. Mendeskripsikan Penggunaan Arti Dalam Puisi?
2. Menjelaskan Penyimpangan Arti Dalam Puisi?
3. Menjelaskan Penciptaan Arti Dalam Puisi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui ekspresi puisi.
2. Untuk memahami ketidaklangsungan ekspresi puisi.
3. Selain itu pembaca juga dapat mengetahui apa saja yang harus diperhatikan dalam
ketidaklangsungan ekspresi puisi.
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis struktural yang digabungkan dengan semiotik disebut strukturalisme dinamik
( Teeuw, 1983:62 ). Hal ini untuk mengatasi keterbatasan strukturalisme murni yang perspektif
tinjauannya sinkronis yang tidak sepenuhnya dapat menangkap relevansi eksistensial (rangka
sosial-budaya) dan makna historis (Seung, 1982:ix;Teeuw, 1983:61).

Di muka telah dikemukakan bahwa sastra(Puisi) itu merupakan sistem tanda ( Semiotik )
tingkat kedua yang mempergunakan medium bahasa. Sastra merupakan sistem tanda (tingkat
kedua) yang mempergunakan bahasa yang sudah merupakan sistem tanda sebelum dipergunakan
ddalam sastra. Oleh karena itu, dipandang dari sudut sastra, bahasa merupakan sistem tanda
tingkat pertama dan sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua. Bahasa adalah tanda yang
sudah mempunyai arti dan mempunyai konvensi sendiri karena bahasa merupakan lembaga
masyarakat. Dengan demikian, sastra terikat arti bahasa dan konvensi bahasa. Meskipun
demikian, bahasa itu disesuaikan dengan konvensi sastra sebab sastra juga merupakan lembaga
masyarakat yang mempunyai konvensi sendiri. Jadi, dalam sastra ada konvensi bahasa yang
merupakan konvensi diluar sastra dan konvensi sastra sendiri yang disebut konvensi tambahan
oleh Preminger (1974:981). Konvensi tambahan dalam sastra di antaranya konvensi bahasa
kiasan, persajakan, pembagian bait, bahkan juga enjambement(perloncatan baris) dan
tipografi(susunan tulisan). Hal ini memanfaatkan bentuk visual untuk memberi arti tambahan.
Baik konvensi bahasa maupun konvensi tambahan memberikan atau menimbulkan makna dalam
sajak. Mislnya tipografi sajak Sutardji Calzoum Bachri “ tragedi Winka dan Shika “. (lihat him
211).

Tipografi sajak tersebut berdasarkan konteks strukturnya dapat diberi makna sebagai
pengalaman hidup yang tidak menyenangkan. Disitu digambarkan sebagai susunan huruf, tulisan
yang berbentuk zig-zag, salah satu tafsiran makna sajak Sutardji tersebut adalah sebagai berikut,
perkawinan yang mengandung ideal kehidupan suami-isteri yang penuh kebahagiaan,yang pada
mulanya masih penuh bahagia melewati jalan hidup yang berliku-liku dan pada akhirnya
mengalami kemalangan atau bencana, misalnya pada saat mereka beranak lima “terpaksa”
bercerai, tentulah ini merupakan tragedi winka dan Shika. Seperti dalam bab 1 telah
dikemukakan bahwa sistem tanda –tanda sastra yang pokok adalah sistem tanda kebahasaan ,
maka dalam uraian berikut diutamakan analisis sistem ketandaan bahasa dan konvensi tambahan
yang berhubungan dengan bahasa.

Di antara konvensi-konvensi tambahan itu adalah konvensi bahasa kiasan ( symbolic


extrapolation)(Preminger, 1974:981). Juga sebagai yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1)
merupakan konvensi tambahan puisi bahwa puisi itu menyatakan pengertian-pengertian atau hal-
hal secara tidak langsung , yaitu sesuatu hal dan berarti yang lain. Dengan demikian, bahasa puisi
memberikan makna lain daripada bahasa biasa.

Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga
hal yaitu : Penggantian arti (displacing), penyimpangan arti (distorting), dan penciptaan arti
(Creating of meaning).

1. Penggantian arti

Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih
metafora dan metonimi ( Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan)
berarti yang lain ( tidak menurut arti sesungguhnya),misalnya dalam sajak Chairil ini (1959:19).

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku


Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita mati datang tidak membelah……

Di hitam matamu kembang mawar dan melati: Mawar dan melati adalah metafora dalam
baris ini , berarti yang lain : sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi, dalam mata kekasih
si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau menggairahkan dan murni seperti keindahan
bunga mawar (yang merah) dan Melati (yang putih) yang mekar. Metafora itu bahasa kiasan
yang menyatakan sesuatu seharga dengan hal yang sesungguhnya tidak sama.
(Altenbernd,1970:15). Secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan seperti
perbandingan, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi itu biasa disebut saja dengan metafora
meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan lain, mempunyai sifat sendiri.
Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain.

Dalam bait kedua baris pertama “sepi menyanyi” adalah personifikasi, dalam keadaan yang
mesra itu tiba-tiba terasa sepi : “sepilah yang menyanyi” karena mereka berdua tidak berkata-
kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Maka dalam keadaan diam
itu jiwa si akulah yang berteriak seperti air kolam kena angin. Dalam baris ke-3 dan ke-4, “Dan
dalam dadaku memerdu lagu/menarik menari seluruh aku.” Kata lagu dan menari itu mengiaskan
kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya menggairahkan, yang bersandar tari
warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat menyenangkan.

Dalam bait ketiga baris pertama : “Hidup dari hidupku, pintu terbuka.” Mengiaskan bahwa ada
jalan, ada harapan-harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya yang dikiaskan sebagai
“Selama matamu bagiku menengadah”. Kalau kekasih masih hidup, masih dapat merasa sakit
dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah : tidak bercerai.
Semuanya itu merupakan “ sajak putih”, yaitu pernyataan hati si penyair (yaitu sajak) yang
diucapkan dengan tulus ikhlas : dengan : “putih”.
2. Penyimpangan Arti

Dikemukakan Riffaterre (1978:2) penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas,
kontradiksi, ataupun nonsense.

a. Ambiguitas

Dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak
tafsir atau ambigu. Misalnya dalam “Sajak Putih” Chairil Anwar bait ke-3 dan ke-4, baris-baris
itu sesungguhnya ambigu : “Hidup dari hidupku, pintu terbuka/selama matamu bagiku
menengadah.” Ini dapat ditafsirkan dengan arti ganda bahwa si aku akan selalu ada jalan keluar,
ada harapan-harapan, atau kegairahan selama kekasihnya masih suka memandang dia, masih
mencintainya, masih setia kepadanya, masih percaya kepadanya, masih menghendakinya, masih
membutuhkannya si aku. “Selama kau darah mengalir dari luka / antara kita mati datang tidak
membelah….” Itu dapat ditafsirkan bermacam-macam di sekitar arti kata-kata dan kalimat itu :
Selama kau masih hidup, masih dapat merasakan sakitnya hidup, antara si aku dan kekasihnya
tidak bertengkar, berselisih pendapat, dan juga tidak bercerai …. Maka si aku akan hidup penuh
harapan (bait 3). Sebuah contoh lagi sajak Sutardji Calzoum Bachri (1981:91).

TAPI

aku bawakan bunga padamu

tapi kau bilang masih

aku bawakan resahku padamu

tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu

tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu

tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu


tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu

tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu

tapi kau bilang kalau

tanpa apa aku datang padamu

wah!

Aku bawakan bunga padamu, dapat ditafsirkan : aku bawakan sesuatu yang indah, yang
menggairahkan, yang menyenangkan tapi kau bilang masih : belum cukup, belum memadai,
ataupun masih belum berarti. “Aku bawakan resahku padamu”: aku datang padamu dengan
kegelisahan, kecemasan, dengan perasaan tak tenteram, dengan ketakutan, bahkan juga dengan
rasa bercampur baur, penuh kegugupan tapi kau bilang hanya seperti itu tidak cukup, tidak ada
artinya. “Aku bawakan darahku padamu”: si aku datang menyerahkan diri dan hidupnya …itu
pun Cuma hal yang tidak berarti bagi si kau! Bahkan segala apapun yang dibawa si aku kepada si
kau belum cukup, belum sempurna, belum seperti yang diharapkan si kau. Lebih-lebih lagi si aku
datang tanpa membawa apa-apa, maka jawab si kau : “wah!” keterlaluan, tak berterima kasih, tak
tahu di untung, dan sebagainya. Jadi, si aku datang dengan segala apapun belum cukup! Atau
malah sebaliknya, jika si aku datang dengan kekosongan tanpa merasa memiliki apa-apa, bahkan
juga nyawanya pun tak dirasa sebagai miliknya, sebab manusia itu tidak memiliki apa-apa,
segalanya milik tuhan, maka jawab si kau : “wah!” itulah yang diharapkan, dalam arti manusia
datang pada kau (Tuhan) jangan membawa apa-apa, dalam arti jangan merasa memiliki apapun,
dalam keadaan kosong berserah seluruhnya kepada Kau.

Dengan ambiguitas seperti itu puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan
arti sesuai dengan asosiasinya. Dengan demikian, setiap kali sajak ini dibaca selalu memberikan
arti baru. Hal seperti ini yang dikemukakan oleh Julia Kristeva (tokoh semiotic terkenal)
(Preminger dkk, 1974:982) bahwa dalam puisi arti tidak terletak “di balik” penanda (tanda
bahasa: kata), seperti sesuatu yang “dipikirkan” oleh pengarang, melainkan tanda itu (kata-kata
itu) menjanjikan sebuah arti (arti-arti) yang harus diusahakan diproduksi oleh pembaca.

b. Kontradiksi

Dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara
berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatuyang keterlaluan. Ironi ini
menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir. Sering juga untuk membuat orang
tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Dalam
puisi Indonesia, penyair Subagio Sastrowardojo sering menulis ironi, misalnya yang terkenal
“Afrika Selatan”, yang lain “Bulan Ruwah”, “Katechisasi”, “Nyanyian Ladang”.

AFRIKA SELATAN

Kristus pengasih putih wajah,

Kulihat dalam injil bergambar

danarca-arca gereja dari marmar-

Orang putih bersorak:”Hosannah”

Dan ramai berarak ke sorga

Tapi kulitku hitam.

Dan sorga bukan tempatku berdiam.

Bumi hitam

Iblis hitam

Dosa hitam

Karena itu:
Aku bumi lata

Aku iblis laknat

Aku dosa melekat

Aku sampah di tengah jalan.

Mereka membuat rel dan sepur

Hotel dan kapal terbang.

Mereka membuat sekolah dan kantor pos

Gereja dan restoran.

Tapi tidak buatku.

Tidak buatku.

Diamku di batu-batu pinggir kota

Di gubug-gubug penuh nyamuk

Di rawa-rawa berasap.

Mereka boleh memburu

Mereka boleh membakar

Mereka boleh menembak


Taoi isteriku terus berbiak

Seperti rumput di pekarangan mereka

Seperti lumut di tembok mereka

Seperti cendawan di roti mereka.

Tambang intan milik kami

Gunung Natal milik kami.

Mereka boleh membunuh.

Mereka boleh membunuh.

Mrreka boleh membunuh.

Sebab mereka kulit putih

Dan kristos pengasih putih wajah.

(1975:26-27)

Dalam sajak itu Subagio menyatakan suatu hal atau maksud secara kontradiktoris atau
berbalikan. Dalam sajak itu ia mengkritik orang kulit putih, khususnya di Afrika Selatan atas
kebiadabannya: merampok, membunuh bangsa kulit hitam. Secara implicit dikemukakan orang
putih menyebarkan agama Kristen ke Afrika Selatan, mengajarkan ajaran cinta kasih Yesus
Kristus. Sesuai dengan itu mestinya mereka berbelas kasih kepada sesame makhluk, termasuk
orang kulit hitam, tetapi kenyatannya mereka melakukan ras diskriminasi dan melakukan
kebiadaban: membunuh dan merampok. Hal ini tentu bertentangan dengan ajaran agama cinta
kasih tersebut. Mestinya mereka, orang kulit putih, di Afrika Selatan itu masuk gereja, tetapi
secara ironis dikatakan pada bait ke-1: “Hisonnah”/dan ramai berarak ke sorga,” Sebaliknya
untuk orang kulit hitam dikatakan : “Tetapi kulitku hitam./ Dan sorga bukan tempatku berdiam./
…./ aku iblis laknat / aku dosa melekat / aku sampah di tengah jalan.”
Seharusnya orang kulit putih memberikan cinta kasih kepada orang hitam, tetapi
kenyataannya mereka egois, membangun gedung, rel, dan kereta api, serta kapal terbang untuk
mereka sendiri, sedang orang hitam, orang Afrika tetap tinggal di gubug-gubug penuh nyamuk.
Klimaks ironi itu tampak dalam bait-bait berikut.

Mereka boleh memburu

Mereka boleh membakar

Mereka boleh menembak

…..

Sebab bumi hitam milik kami

Tambang intan milik kami.

Gunung Natal milik kami.

Mereka boleh membuh.

Mereka boleh membunuh.

Mereka boleh membunuh.

Sebab mereka kulit putih

Dan kristos pengasih putih wajah.

NYANYIAN LADANG

Kau akan cukup punya istirah

Di hari siang.Setelah selesai mengerjakan sawah

Pak tani, jangan menangis


Kau akan cukup punya sandang

Buat menikah. Setelah selesai melunas hutang.

Pak tanu, jangan menangis.

Kau akan cukup punya pangan

Buat si ujang. Setelah selesai pergi kondangan.

Pak tani, jangan menangis.

Kau akan cukup punya lading

Buat bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang.

Pak tani, jangan menangis.

(Daerah Perbatasan, 1970:19).

Dalam sajak tersebut si penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba
kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya
sudah cukup bagi pak tani: akan cukup istirah, cukup punya kerja di sawah, cukup sandang,
punya sandang setelah lunas hutang, cukup punya pangan sesudah kondangan (kenduri), cukup
punya lading buat bersawah.

Kehidupan petani sesungguhnya sangat sederhana, dan sengsara, semua serba: akan Pak
tani jangan mennagis- itu sesungguhnya dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, hanya
punya makan pun sehabis pergi kondangan, dan sawahnya hanya lading, dalam arti tak cukup
baik untuk menanam padi.
c. Nonsense

Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak
terdapat dalam kosa kata, misalnya penggunaan dua kata atau lebih (sepisuapi, sepisuapa)
menjadi bentuk baru, penggulunggan suku kata dalam satu kata: terkekehkekeh-kehkehkeh.
Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan
susana aneh, suasana gaib, atau pun suasana lucu. Dalamsajak “Sepisuapi” (1981) sebagai
berikut.

SEPISUAPI

Sepisau luka sepisau duri


Sepikul dosa sepukau sepi
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau nyanyi

Sepisaupa sepisaupi
Sepisapanya sepikau sepi
Sepisaupa sepisaupi
Sepikul diri keranjang duri

Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sampai pisauNya kedalam nyanyi

Sutradji menggabungkan kata sepi dan pisau dan sapa menjadi sepisau, sepisaupi, dan sepisuapa,
sepisapanya,maka sapanya itu menusuk seperti pisau. di situ arti sepi dan pisau digabungkan
hingga terjadi makna sepi seperti pisau yang menusuk. Juga, sepi digabungkan dengan pikul
menjadi sepikul dosa.
3. Penciptaan Arti
Terjadi penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) bila ruang teks berlaku sebagai prinsip
pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang
sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjembement, atau
ekuivalensi-ekuivalensi makna diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Dalam puisi
sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris
dalam bait.
Homologues (persamaan posisi) itu misalnya tanpak dalam sejak pantun atau yang
semacam pantun. Semua tanda diluar kebahasaan itu menciptakan makna diluar arti kebahasaan.
Misalnya makna yang mengeras dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan
paralellisme. Misalnya bait sajak rendra ini.

Elang yang gugur tergeletak


Elang yang tergugur terebah
Satu harapanku pada anak
Ingatkan pulang pabila lelalh

Dalam bait sajak itu ada persejajaran bentuk menimbulkan persejajajran arti: bahwa bagimana
pun hebatnya elang, sekali-sekali ia gugur tergeletak dan terebah, begitu juga si anak akan lelah
juga dan ingat akan pulang. Dibawah ini sajak sutardji (1981:25) yang penuh persejajaran bentuk
dan arti. Oleh ulangan yang berturut-turut terjadilah orkestrasi dan irama. Orkestrasi ini
menyebabkan liris dan konsentrasi ini adalah makna diluar kebahasaan.

MARI
Mari pecahkan botolbotol
Ambil lukanya
Jadikan bunga
Mari pecahkan tik-tok jam
Ambil jarumnya
Jadikan diam
Mari pecahkan pelita
ambil apinya
jadikan terang
mari patahkan rodaroda
kembalikan asalnya:
jadikan jalan
mari kembali
pada adam
sepi pertama
dan duduk memandang diri kita
yang telah kita punahkan
ada dan tiada
yang disediakan adam pada kita
dan
mari berlari
pada diri kita
dan kembali menyimak
dengan keheranan adam pada perjumpaan
pertama dengan dunia

sebuah conto lagi sajak subagiosastrowardojo (1975:33)


KEHARUAN
Aku tak terharu lagi
Sejak bapak tak menciumku di ubun
Aku tak terharu lagi
Sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.

Keharuan menawan
Ketika bung karno bersama rakyat
Teriak “merdeka” 17 kali.

Keharuan menawan
Ketika pasukan gerilya masuk jokja
Sudah kita rebut kembali.
Aku rindu keharuman
Ketika hujan membasahi bumi
Sehabis kering sebulan.

Aku rindu keharuan


Waktu bendera dwiwarna
Berkibar ditanah pahlawan.

Aku ingin terharu


melihat garis lengkung bertemu dengan ujung
aku ingin terharu
melihat dua tangan damai terhubung.
Kita manusia perasa yang lekas terharu.

Sajak Subagio itu penuh dengan keseimbangan, baik dalam hal rima akhirnya, baris-baris
dalam baitnya, maupun antara bait yang satu sama dengan yang lain. Baris-baris dan bait itu
merupakan paralisme yang tersusun rapi, bahkan juga tipografisnya dibuat seimbang.
Karena sejajar, timbul makna baru seperti bait pertama: “mencium di ubun” sejajar dengan
“selesai dengan ampun”, maka “mencium di ubun” itu selain bermakna kasih sayang juga
bermakna maaf atau ampun. Jadi, bapak mencium ubun, itu tandanya ia memberi ampun kepada
anaknya atau pun tanda kasih sayang.
Pada bait kedua dari bait terakhir ada persejajaran yang menciptakan arti baru: “melihat garis
lengkung bertemu di ujung” menjadi bermakna baru karena disejajarkan dengan “melihat dua
tangan damai berhubung”, baris yang kedu itu tidak akan mempunyai makna “perdamaian” bila
tak di sejajarkan dengan baris yang keempat:
.....
Melihat garis lengkung bertemu diujung
.....
Melihat dua tangan damai terhubung
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan materi yang sudah diulas maka secara garis besar dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu:
a) Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti
yang sesungguhnya).
b) Penyimpangan terjadi bila dalam sajak ada abiguitas, kontradiksi, ataupun
nonsense.
c) Bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk
membuat tanda-tanda keluar dar hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya
secara linguistic tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjebement, atau
ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi
dalam bait (homologues).
B. Saran
Sebaiknya kita memahami tentang Teori dan Apresiasi Puisi, pemahaman bahan ajar ini
akan membantu kita dalam menentukan strategi pembelajaran yang sesuai dengan
perkembangan pendidikan sehingga akan tercapai hasil belajar yang optimal.

Anda mungkin juga menyukai