Anda di halaman 1dari 19

HAKIKAT SISTEM TANAM PAKSA

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Nasionalisme Dan Jati Diri Bangsa,
Dosen Pengampu: Siha Abdurohim M,pd.

Disusun Oleh :
Agung Nurzais
NIM: 202101040005
Dina Shelvia Wulandari
NIM: 202101040016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN


SOSIAL SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN (STKIP) AL-AMIN INDRAMAYU
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT serta shalawat
dan salam kita sampaikan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Adapun
maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Nasionalisme Dan Jati Diri. Dalam proses penyusunan
tugas ini penulis menjumpai hambatan, namun berkat dukungan materil dari
berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan cukup
baik.
Adapun makalah ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.Tidak ada yang dapat
penulis berikan kepada mereka selain ucapan terimakasih, semoga Allah SWT
membalas semua kebaikannya. Segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta dapat memberikan
pengembangan ilmu pengetahuan.

Indramayu, 25 Oktober 2021

Penulis

I
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR..............................................................................................I
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................II
1.1 LATAR BELAKANG...............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Pelaksanaan Tanam Paksa..........................................................................3
2.2 Dampak Sistem Tanam paksa.....................................................................4
2.3 Penghapusan Tanam Paksa.........................................................................7
2.4 Sistem Tanam Paksa dan Politik Etis.........................................................8
BAB III PENUTUP...............................................................................................15
3.1 Kesimpulan...............................................................................................15
3.2 Saran.........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

II
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa dimulai pada
tahun 1830. Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya mampu
mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Tidak ada tantangan serius
terhadap kekuasaan mereka sampai abad 20. Pihak Belanda juga telah mampu
terlibat langsung di Jawa sampai daerah pedalaman. Dominasi politik
akhirnya tercapai di seluruh Jawa pada tahun 1830.
Kondisi finansial Belanda pada tahun 1830 ternyata tidak semulus
dengan keberhasilannya menguasai Jawa. Keuntungan yang diperoleh dari
penguasaannya di Jawa habis digunakan untuk biaya militer dan administrasi.
Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda
untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha
penyelamatan keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa
atau culturstelsel.
Faktor utama diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah
adanya kesulitan keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda.
Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai
akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda dan Perang Jawa
atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Belgia berakhir
dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan
menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan
perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari
pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden.
Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der
Capellen menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk
menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan yang
ditempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk
menghasilkan produk yang dapat dijual sehingga lebih memudahkan mereka

1
membayar sewa tanah. Kebijakan ini menemui kegagalan karena pengeluaran
tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya harga komoditi pertanian tropis
di dunia.
Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena
persainganpersaingan dagang internasional. Persaingan dagang tersebut
diantaranya dengan pihak Inggris, dan setelah berdirinya Singapura pada
tahun 1819 menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil
di kawasan Asia Tenggara. Permasalahan di kawasan Indonesia sendiri
diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa, dimana
kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.
Selama Perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai
rencana untuk memperoleh keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama
Pulau Jawa. Pada tahun 1829 Johannes Van den Bosch menyampaikan
kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut culturstelsel. Van den
Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air
dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian
tropis, terutama kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga
dapat bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain. Van den Bosch
menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang
Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil
bumi (forced cultivation) kepada pemerintah. Raja menyetuji usulan-usulan
tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai
Gubernur Jenderal yang baru.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah dalam laporan ini adalah:
1. Bagaimana Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa?
2. Bagaimana dampak dari pemberlakuan Sistem Tanam Paksa?
3. Bagaimana Akhir dari pemberlakuan Sistem Tanam Paksa?
4. Bagaimana Relasi sistem tanam paksa dan politik etis?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pelaksanaan Tanam Paksa


Ketentuan tentang tanam paksa ternyata hanya tertulis di atas kertas.
Terdapat perbedaan besar antara ketentuan yang sudah ditetapkan dengan
keadaan sebenarnya di lapangan. Penyimpangan-penyimpangan yang muncul
antara lain:
a. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam
pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial
memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala
daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.
b. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk culturstelsel adalah
seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima
tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.
c. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah
Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang
ditentukan adalah 66 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya
adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
d. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah,
tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang
sangat murah.
e. Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal,
maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa
menghasilkan lebih banyak.
f. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman
mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam tanamannya
sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
g. Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
Sistem tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam
perbaikan keuangan, ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan
surplus meskipun dalam paksaan. Surplus ini hanya digunakan untuk
menopang pemerintahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya di

3
daerah luar Jawa, dan perekonomian dalam negara Belanda. Investasi yang
utama adalah tenaga kerja orang Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik
pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional. Pihak Belanda
berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan keuntungan-keutungan
yang berarti yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil
masyarakat pribumi.
2.2 Dampak Sistem Tanam paksa
a. Tanah dan Tenaga Kerja
Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mempengaruhi dua unsur
pokok kehidupan agraris pedesaan Jawa, yaitu tanah dan tenaga kerja.
Sistem tanam paksa pertama-tama mencampuri sistem pemilikan tanah
penduduk pedesaan, karena para petani diharuskan menyerahkan tanahnya
untuk penanaman tanaman ekspor. Tuntutan akan kebutuhan tanah
pertanian untuk penanaman tanaman ekspor yang dilakukan dengan ikatan
desa telah mempengaruhi pergeseran sistem pemilikan dan penguasaan
tanah. Ini terjadi karena berbagai hal, baik karena adanya pertukaran atau
pembagian tanah-tanah pertanian untuk pemerataan pembagian kewajiban
menyediakan tanah dan kerja kepada pemerintah, maupun karena
kecenderungan perusahaan pemilikan tanah perseorangan menjadi tanah
komunal desa.
Selain tanah, sistem tanam paksa membutuhkan pengerahan tenaga
kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman,
pemanenan, pengangkutan dan pengolahan di pusat-pusat pengelolaan atau
pabrik. Pengerahan tenaga kerja yang dibutuhkan itu dilakukan dengan
menggunakan ikatan organisasi desa. Oleh karena itu, sistem tanam paksa
menyentuh unsur tenaga kerja dari kehidupan masyarakat agraris pedesaan
Jawa. Dalam praktiknya, semua kerja yang dibutuhkan dilakukan dengan
sistem kerja paksa.
b. Politik Ekonomi Uang
Pelaksanaan sistem tanam paksa juga besar artinya dalam
mengenalkan ekonomi uang ke dalam lingkungan kehidupan pedesaan
agraris. Kehidupan perekonomian desa yang semula masih tradisional dan

4
subsisten, secara berangsur-angsur berkenalan dengan ekonomi uang,
yakni melalui proses komersialisasi produksi pertanian dan pasaran kerja.
Pengenalan penanaman tanaman ekspor dan penyerapan tenaga kerja
bebas yang berlangsung sejak sistem tanam paksa, pada dasarnya telah
menjadi pintu masuknya peredaran uang ke daerah pedesaan secara luas,
yang besar pengaruhnya dalam membawa pergeseran perekonomian desa
ke arah kehidupan ekonomi pasar. Peredaran uang itu masuk antara lain
melalui sistem pembayaran upah tanaman kepada petani penanam
(plantloon), pembayaran ”uang penggalak tanaman” (cultuurprocenten)
kepada para pejabat, pembayaran upah kerja bebas, dan dalam
perkembangan terakhir pembayaran sewa tanah pada petani.
c. Kelaparan
Bahaya kelaparan melanda daerah Jawa Tengah pada tahun 1849
sampai 1850, terutama terjadi di residen Semarang. Pada tahun 1850,
residen Semarang penduduknya berkurang 9% sebagai akibat dari
kematian dan pengungsian penduduk menuju daerah lain. Sebab yang
mendasari terjadinya kelaparan adalah Kesewenang-wenangan pemerintah
dan penyalahgunaan para kepala pribumi, Beberapa tanaman pemerintah
yang wajib dilaksanakan oleh penduduk seperti kopi, tembakau, tebu, dan
nila, Perluasan tanaman nila secara besar-besaran.
Tanaman nila ini menuntut lebih banyak tenaga pengerjaan serta
memberikan upah sedikit dan lebih merugikan jika dibanding dengan
tanaman lain. Melihat kenyataan ini, maka pemerintah melakukan
penggantian tanaman nila dengan tanaman tebu. Tanaman nila bagi
penduduk menimbulkan keberatan besar dan berpengaruh pada harga padi
yang sangat mahal. Selain disebabkan oleh pelaksanaan sistem tanam
paksa, ada juga sebab lain seperti kegagalan panen, berjangkitnya wabah
penyakit dsb.
Kekurangan bahan makanan secara mengerikan sempat terjadi di
Demak dan Grobogan sebagai akibat kegagalan panen karena panen yang
ada diserang oleh hama belalang dan berbagai praktik pemerasan, di mana
tentang hal ini pihak pemerintah Belanda sendiri tidak pernah memikirkan

5
terhadap akibat-akibat yang mengkhawatirkannya. Di daerah Demak,
kesengsaraan terjadi karena terlalu tingginya pemungutan pajak tanah dan
pelaksanaan dinas-dinas wajib untuk pembuatan benteng yang terlalu
memberatkan.
d. Penyakit
Penyakit tampaknya juga berhubungan dengan tempat tinggal dan
makanan serta minuman atau kebiasaan-kebiasaan lain dalam kehidupan
sosial budaya orang-orang desa. Di kabupaten Demak, Grobogan, dan
Semarang kelaparan menyebabkan banyak kematian. Selama panen gagal
dan kelaparan, banyak penduduk-penduduk daerah ini yang menikmati
makan hanya sekali sehari ditambah dengan makanan tambahan kecil
seperti jagung, singkong, ubi. Oleh karena itu kegagalan panen dan
kelaparan di Semarang sering diikuti oleh penyakit. Pengabaian terhadap
masalah kebersihan juga menyebabkan penduduk mudah terserang
penyakit. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tanah-tanah daratan juga
mempengaruhi penyakit, khususnya perluasan pekerjaan-pekerjaan irigasi,
pembukaan sawah-sawah baru, dan perbaikan komunikasi dan
transportasi.
Menghadapi situasi yang demikian, tidak ada pemecahan atas
permasalahan yang timbul ini, selain dengan cara-cara tradisional dan
keyakinan. Penduduk di Jawa pada umumnya meyakini dua penyebab
utama timbulnya penyakit yakni fisikal dan spiritual. Yang pertama
menyangkut penyakit yang timbul dari sebab-sebab nyata seperti sakit
perut, luka dsb. Penyakit ini biasanya diobati dengan ramuan obat lokal
yang dibuat dari tanaman yang tumbuh di halaman rumah orang desa.
Sedang yang kedua, disebabkan oleh kekuatan supranatural seperti ilmu
hitam. Dalam hal ini pasien dibawa ke dukun untuk mendapat pertolongan.
Kebijakan kesehatan pemerintah Belanda di Jawa abad ke-19 hanya
berorientasi kepada orang Eropa dan kolonial. Penekanan dan pelayanan
kesehatan lebih ditujukan untuk melindungi kesehatan orang-orang Eropa,
baik sipil maupun militer daripada untuk penduduk pribumi. Fasilitas-
fasilitas kesehatan lebih banyak dikonsentrasikan di kota-kota pusat

6
administratif Belanda seperti Batavia, Semarang dan Surabaya. Penduduk
di luar kota berada di luar kepentingan dan bahkan pelayanan pengobatan
untuk pribumi pun sangat terbatas, karena halangan warna kulit dan biaya.
e. Teknologi Baru
Secara tidak langsung pelaksanaan sistem tanam paksa, pada
dasarnya telah mengenalkan teknologi baru, terutama dalam pengenalan
biji-biji tanaman perdagangan, seperti tebu, indigo dan tembakau, beserta
cara penanamannya, meskipun pengenalan teknologi pertanian baru yang
terjadi pada masa itu belum dapat merangsang perubahan dan
pertumbuhan perekonomian rakyat pedesaan pada umumnya.
2.3 Penghapusan Tanam Paksa
Culturstelsel menghadapi berbagai masalah pada tahun 1840, tanda-
tanda penderitaan di kalangan orang Jawa dan Sunda mulai tampak,
khususnya di daerah-daerah penanaman tebu. Wabah-wabah penyakit
terjangkit pada tahun 1846-1849, dan kelaparan meluas di Jawa Tengah
sekitar tahun 1850. Sementara itu, pemerintah menetapkan kenaikan pajak
tanah dan pajak-pajak lainnya secara drastis.11 Akibatnya rakyat menjadi
semakin menderita. Upaya menentang culturstelsel kini muncul di Negeri
Belanda. Pemerintah mulai menjadi bimbang apakah sistem itu masih dapat
dipertahankan lebih lama. Pada tahun 1848 untuk yang pertama kalinya
konstitusi liberal memberikan parlemen Belanda (State-generaal) peranan
yang berpengaruh dalam urusan-urusan penjajahan.
Kepentingan-kepentingan kelas menengah Belanda menuntut
diadakannya perubahan. Mereka mendesak diadakannya suatu pembaharuan
“liberal”: pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial
secara drastis, pembebasan terhadap pembatasan-pembatasan perusahaan
swasta di Jawa, dan diakhirinya kerja paksa dan penindasan terhadap orang-
orang Jawa dan Sunda. Pada tahun 1860 seorang mantan pejabat kolonial,
Eduard Douwes Dekker menerbitkan sebuah novel yang berjudul Max
Havelaar dengan nama samaran “Multatuli”. Dampak langsung adanya buku
ini masih diperdebatkan, tetapi dalam jangka panjang buku ini menjadi
sebuah senjata yang ampuh dalam menentang rezim penjajahan dari abad 19

7
di Jawa.12 Penghapusan tanam paksa secara radikal berlangsung sesudah
tahun 1860-an. Tanaman paksa lada dihapus pada tahun 1862. Penghapusan
tanaman-tanaman paksa indigo dan teh pada tahun 1865. Ketika Fransen van
den Putte menjadi menteri jajahan (1863-1866) melakukan berbagai
perbaikan. Penanaman paksa tembakau dan tanaman lainnya, selain tebu dan
kopi di Jawa dihapuskan. Undang-undang lain menghapuskan rodi di hutan
jati, melarang memukul dengan rotan sebagai hukuman terhadap orang yang
dianggap salah. Pada tahun 1864 Staten-Generaal menerima undang-undang
Comptabiliteit, tetapi baru mulai berlaku tahun 1867. Undang-undang ini
menetapkan bahwa biaya tahunan untuk Indonesia harus dibuat oleh Staten-
Generaal sehingga Staten-Generaal langsung mempengaruhi arah
kebijaksanaan pemerintahan di Indonesia.
Kopi dan gula merupakan tanaman yang paling penting untuk
mendapatkan keuntungan sehingga tanam paksa pada dua tanaman ini paling
akhir dihapuskan. Undang-Undang Gula tahun 1870 ditetapkan bahwa
pemerintah akan menarik diri atas penanaman tebu selama 12 tahun, yang
dimulai pada tahun 1878. Penghapusan penanaman kopi baru berakhir di
Priangan pada awal tahun1917, dan di beberapa daerah pesisir utara Jawa
pada bulan Juni 1919.
2.4 Sistem Tanam Paksa dan Politik Etis
Berahirnya perang Diponegoro (De Java Oorlog/Perang Jawa 1825-
1830 ) membawa malapetaka besar untuk penduduk Jawa khususnya
Mancanegara kilen yaitu Kedoe (Kedu) dan Banjoemas (Banyumas), wilayah
ini jatuh ke tangan Belanda dari kekuasaan Kasultanan Surakarta sebagai
ganti atas biaya kekalahan perang. Ini berlaku di seluruh tanah Jawa dan
beberapa di luar pulau Jawa. Setelah jatuh ke tangan Belanda wilayah-
wilayah tersebut tidak lagi berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan
yang tersebar di seluruh tanah Jawa. Namun di bagi menjadi beberapa
Propinsi - Karsidenan - Kabupaten - Distrik untuk mengakomodasi
kepentingan Belanda dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber
daya manusia.

8
Campur tangan pemerintah Belanda dalam menjalankan
kekuasaannya sangat terlihat sampai dengan wilayah Kabupaten dimana
Residen (orang Belanda) juga melakukan tugas monitoring langsung
dengan menunjuk seorang asisten Residen di setiap kabupaten untuk
bekerja selevel dengan Regent (Bupati).
a. Cultuurstelsel
Cultuurstelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan
setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor yang memang sangat di butuhkan pasar dunia, khususnya
kopi, teh, tembakau, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual
kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil
panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak
memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-
kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak
tahun 1830 sampai tahun 1835. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras
dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani
yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini
harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga
yang ditetapkan kepada pemerintah Belanda. Dan menjelang tahun 1840
sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Badan operasional sistem
tanam paksa dipegang oleh Nederlandsche Handel Maatschappij
(NHM) yang merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Dan aset
tanam paksa memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman
keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
b. Cultuurstelsel di Banjoemas (Banyumas)
1. Bencana Kelaparan.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras dan berbagai bahan pangan
semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843,

9
muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga
melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
2. Berakhirnya Cultuurstelsel
Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai
menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi
menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala
kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa
pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap
bumiputra Jawa.
Undang-undang Agraria 1870 Yang bahasa belanda adalah
Agrarische Wet 1870 diberlakukan pada tahun 1870 oleh Engelbertus
de Waal (menteri jajahan) sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah
Hindia-Belanda di Jawa yang di pelopori oleh kaum Liberal. Latar
belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet)
antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah
rakyat. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju
dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa
sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan
mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta. UU Agraria
memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah
penduduk dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat
diserahkan. UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya sejumlah
perusahaan swasta di Hindia-Belanda.
Sedangkan kaum Humanis mengeluarkan beberapa karya sastra
diantaranya adalah yang terkenal dengan buku Max Havelaar
(1860) karya Douwes Dekker yang menggunakan nama
samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat
petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. Eduard
Douwes Dekker adalah seorang Asisten Residen di Lebak, Banten.
Seorang wartawan Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat
tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di
tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De

10
Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya
menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan
penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van
Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
3. Politik Etis
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang
menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab
moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik
terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang di pelopori
oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van
Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk
lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Wolter
Robert baron van Hoëvell seorang negarawan dan pendeta ini pada
tahun 1848, ia menggalang demonstrasi di Batavia, dan mengajukan
petisi untuk kebebasan pers, pembentukan sekolah-sekolah di daerah
koloni (dalam hal ini di Jawa) dan perwakilan Hindia Belanda di
Tweede Kamer.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta
menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa
pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een
eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu
Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan
politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van Deventer yang
meliputi:
a) Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-
pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
b) Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
c) Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan
pendidikan.
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini
dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan
beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian

11
dikenal sebagai pencetus politik etis ini. Kebijakan pertama dan
kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun
irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi
dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan
Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti
bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan
sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia
pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari
kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H.
Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan
Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah
berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat
biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) adalah yang merangkum semua
surat RA. Kartini menjadi sebuah buku “DOOR DUISTERNIS TOT
LICHT” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dan merupakan teman
dekat Snouck Hurgronje (Abdul Ghaffar) seorang teologi ahli sastra
Arab. R.A. Kartini terlalu kritis untuk pemerintah Belanda apalagi
sebagai seorang priyayi, sehingga pemerintah Belanda banyak
memperkenalkan orang-orang Belanda untuk mengajari (R.A
Kartini diantaranya adalah  Dr. Adriani (Pendeta), Annie
Glasser (tangan kanan J.H. Abendanon), Estelle Zeehande laar 
(Perempuan Yahudi Belanda) dan Nellie Van Kol (humanisme
progresif) yang berperan mendangkalkan aqidah dan berusaha
mengkristenkan RA Kartini. Maka bisa jadi pemikiran Prof. Dr.
Harsja W. Bachtiar (guru besar Universitas Indonesia) benar dimana
"R.A.Kartini Pahlawan Wanita Bikinan Belanda". Sementara itu,
dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara
orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung
politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan
diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka

12
berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari
belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat,
yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah
swadaya.
4. Penyimpangan Politik Etis
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van
Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai
Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.
a. Irigasi 
Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur
untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak
dialiri air dari irigasi.
b. Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah.
Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi
yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh
rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri
dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan
yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai
negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II
kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
c. Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah
yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal
ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di
daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara,
khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli
kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena
migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja,
maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah
agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda

13
mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan
bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap
polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya. Dari
ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih banyak untuk
kepentingan pemerintahan Belanda.
d. Kritik Politik Etis
Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik.
Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga kelas dua namun
secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di
kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan
pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat
masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang
pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya
sangat mahal. Ernest Douwes Dekker 1879-1950 (Danudirja
Setiabudi) termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini
karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang
memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal
seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli
Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang
Eropa yang menetap (blijvers).

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tanam paksa adalah suatu aturan yang sengaja ditetapkan oleh
Belanda untuk mengisi kekosongan kas Negara Belanda dari pembiayaan
biaya perang melawan Belgia maupun di Indonesia, serta Karena hutang luar
negeri Belanda. Namun, secara tidak langsung setelah diutusnya Van Den
Bosch, maka ia menetapkan aturan-aturan tanam paksa yang ternyata adalah
kebalikan dari aturan-aturan tanam paksa yang telah dibentuk sebelumnya di
Belanda.
Jadi, intinya apabila bangsa Indonesia tidak melakukan perubahan
pada aspek iptek, bangsa Indonesia akan tergilas bangsa lain dan dapat
dibodoh-bodohi dan dimanfaatkan kelemahan Indonesia untuk keuntungan
bangsa lain. Oleh karena itu, marilah kita sebagai Bangsa Indonesia bersama-
sama mewujudkan Indonesia untuk tidak dapat lagi dibodoh-bodohi.
3.2 Saran
Demikianlah pembuatan makalah ini, penulis juga menyadari makalah
ini masih banyak kesalahan dan kekurangan maka dari pada itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah yang
akan datang akan lebih baik lagi. Kritik dan saran penulis ucapkan terima
kasih.

15
DAFTAR PUSTAKA

Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20 (Jilid I): Dari Kebangkitan Nasional
sampai Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius.
Mubyarto, dkk. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja. Jakarta: Bentang.
Mulyoto. 1999. Sejarah Indonesia Madya. Surakarta: UNS Press.
Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa. Bandung: Insist.
Sartono Kartodidrjo & Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia:
Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Snouck Hurgronje. Christiaan. id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje.

Douwes Dekker. Eduard. id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker.

16

Anda mungkin juga menyukai